Anda di halaman 1dari 17

ANALISIS TAFSIR TEMATIK

NIKAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Tematik yang diampu oleh
Dosen Hj Ibanah Suhrowardiyah Shiam Mubarokah, S.Th.I., M.A.

Disusun oleh Kelompok 8:

Ahmad Rico Fauzi 205104010003


Moh.Nilzam Yahya Zidqillah 205104010013
Nasrullah 205104010005
Rizki Alif Setyawan 205104010010

PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH ACHMAD SIDDIQ JEMBER
2022
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah dengan judul “Analisis
Tafsir Tematik Jual Beli dan Riba dalam Al-Qur’an” dapat terselesaikan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ibanah Suhrowardiyah
Shiam Mubarokah, S.Th.I., M.A. selaku dosen mata kuliah Tafsir Tematik, yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan pada bidang
mata kuliah yang kami tekuni saat ini.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi mata
kuliah Tafsir Tematik. Selain itu, makalah ini juga bertujuan agar menambah
wawasan bagi penulis dan pembaca. Makalah ini berisi tentang ayat-ayat yang
berkaitan dengan tema dan analisis ayat yang berkaitan dengan judul makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini telah dilaksanakan semaksimal mungkin
untuk mendapatkan makalah yang optimal dan baik, akan tetapi penulis
menyadari sepenuhnya bahwa penulisan ini masih perlu mendapat kritik dan saran
untuk menyempurnakan dalam makalah ini.

Jember, 5 Mei 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI
Halaman Sampul ...............................................................................................1

Kata Pengantar......................................................................................................2

Daftar Isi.................................................................................................................3

Bab I Pendahuluan................................................................................................4

A. Latar Belakang.............................................................................................4
B. Rumusan Masalah........................................................................................4
C. Tujuan..........................................................................................................4
Bab II Pembahasan..........................................................................................5

A. Pengertian Nikah..............................................................................................5
B. Analisis Tematik tentang Nikah dalam Al-Qur`an...........................................5
Bab III Penutup..............................................................................................11

A. Kesimpulan..................................................................................................11
B. Saran.............................................................................................................11
Daftar Pustaka................................................................................................ 12

3
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kalam Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw. melalui Malaikat Jibril sebagai petunjuk dan pemberi kabar
gembira kepada seluruh umat manusia. Al-Qur’an merupakan pedoman dan
sebuah penjelasan mengenai ajaran-ajaran Islam.
Dalam upaya memahami al-Qur’an, maka berkembanglah tafsir. Tafsir
al-Qur’an sebagai interpretasi terhadap teks al-Qur’an sudah ada ataupun
dimulai sejak zaman ketika Nabi Muhammad hidup hingga wafatnya sampai
saat ini. Dalam perjalanannya tafsir terhadap al-Qur’an mengalami
perkembangan dan karakteristik yang berbeda-beda dari masa ke masa.
Upaya dan metode yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an juga
bermacam-macam. Salah satunya adalah metode tematik atau yang biasa
dikenal sebagai metode maudlu’i. Metode ini banyak digunakan untuk
menjawab problematik umat dengan tema tertentu sehingga langsung mengenai
sasaran. Salah satu yang akan dibahas dalam makalah ini adalah tentang Nikah.
Tidak dapat dipungkiri, kita sebagai manusia tidak terlepas dari
manusia lain karena hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Untuk
memenuhi kebutuhannya juga manusia membutuhkan manusia lain, maka hal
ini mendorong manusia untuk hidup berdampingan antara laki-laki dan
perempuan dengan bercita-cita mempunyai keturunan yang sholih sholihah,
maka dari itu pembahasan Nikah di makalah ini perlu sangat dipahami cukup
mendalam.
B. Rumusan Masalah
1. apa itu Nikah ?
2. Bagaimana Nikah di dalam Al-Qur’an ?

C. Tujuan
1. Menganalisis Nikah di dalam Al-Qur’an.

4
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah
Didalam alqur’an kata nikah di sebut sebanyak 23 kali 1, kata Nikah
menurut bahasa diartikan dengan Berkumpul menjadi satu. Sedangkan menurut
syara’, Nikah diartikan dengan “Akad yang menghalalkan persetubuhan” dengan
menggunakan lafadz nikah atau tajwiz. Menurut pendapat as-Shahih bahwa kata
nikah secara hakikat mempunyai makna akad, sedangkan majaznya adalah
“Persetubuhan”. Sunnah menikah bagi orang yang sangat “Butuh bersetubuh”
Sekalipun dalam hal ini dia masih sibuk dengan ibadahnya, dengan catatan ia
mampu memikul biaya untuk mahar, pakaian musim makan minum untuk istrinya
yang telah menyerahkan dirinya kepada suami dan nafkah sehari semalam setiap
harinya. Hukum sunnah menikah tersebut berdasarkan pada beberapa hadits yang
tertera dalam kitab Sunan, dimana sejumlah hadits-hadits tersebut dijelaskan di
dalam kitab saya yang berjudul Ihkamu Ahkamin Nikah. Disamping itu melakukan
pernikahan juga dapat menjaga agama seseorang dan melanggengkan keturunan.2

B. Analisis Tematik Ayat Nikah dalam Al-Qur`an

Al maidah ayat 5

َ ‫ت َو ۡٱل ُم ۡح‬
ُ ‫صن َٰـ‬
{ ‫ت‬ ِ ‫ت ِمنَ ۡٱل ُم ۡؤ ِمن َٰـ‬ َ ‫ب ِح ࣱّل لَّ ُكمۡ َوطَ َعا ُم ُكمۡ ِح ࣱّل لَّهُمۡۖ َو ۡٱل ُم ۡح‬
ُ ‫صن َٰـ‬ َ ‫وا ۡٱل ِكتَ ٰـ‬ ُ ۖ ‫ۡٱلیَ ۡو َم ُأ ِح َّل لَ ُك ُم ٱلطَّیِّبَ ٰـ‬
۟ ُ‫ت َوطَ َعا ُم ٱلَّ ِذینَ ُأوت‬

‫ر بِٱِإۡل ی َم ٰـ ِن‬Bۡ Bُ‫خ دَا ࣲۗن َو َمن یَ ۡكف‬ ِ ‫ب ِمن قَ ۡبلِ ُكمۡ ِإ َذ ۤا َءات َۡیتُ ُموه َُّن ُأجُو َره َُّن ُم ۡح‬
Bۡ ‫صنِینَ غ َۡی َر ُم َس ٰـفِ ِحینَ َواَل ُمتَّ ِخ ِذ ۤی َأ‬ ۟ ُ‫ِمنَ ٱلَّ ِذینَ ُأوت‬
َ ‫وا ۡٱل ِكتَ ٰـ‬
َ‫} فَقَ ۡد َحبِطَ َع َملُهۥُ َوهُ َو فِی ۡٱلـَٔا ِخ َر ِة ِمنَ ۡٱل َخ ٰـ ِس ِرین‬

[Surat Al-Ma'idah: 5]

Dalam ayat ini ada 3 macam hal yang halal bagi orang mukmin:

1
Muhammad fu’ad ‘abd Al-Baql, Al mu’jam al-mufahras li alfas al-qur’an al-karim
2
Fathulmuin bab nikah hal 97

5
1. Makanan yang baik-baik, seperti yang dimaksud pada ayat keempat.
Menerangkan bahwa diperbolehkannya memakan makanan yang baik-baik itu
tidak merubah.

2. Makanan ahli kitab, makanan disini menurut Jumhur ulama' ialah sembelihan
orang-orang yahudi dan nasrani karena mereka pada waktu itu mempunyai
kepercayaan bahwa haram hukumnya memakan binatang yang disembelih dengan
menyebut nama selain Allah. Selama mereka masih mempunyai kepercayaan
seperti itu, maka sembelihan mereka tetap halal.

3. Mengawini perempuan-perempuan merdeka (bukan budak) dan mengawini


perempuan-perempuan dan perempuan Ahli kitab hukumnya halal. Menurut
sebagian mufassir yang dimaksud al-muhsanat ialah perempuan-perempuan yang
menjaga kehormatan dirinya.

Laki-laki boleh mengawini perempuan-perempuan tersebut dengan


kewajiban memberi nafkah, asalkan tidak ada maksud lain yang terkandung dalam
hati seperti mengambil mereka untuk berzina dan tidak pula dijadikan gundik.
Kemudian akhir ayat kelima ini memperingatkan, bahwa barang siapa yang kafir
sesudah beriman, maka semua amal baik yang pernah dikerjakannya akan hapus
semuanya dan di akhirat termasuk orang yang rugi.

Al baqarah ayat 221

{ ‫ُوا ۡٱل ُم ۡش ِر ِكینَ َحتَّ ٰى ی ُۡؤ ِمنُ ۟ۚوا َولَ َع ۡب ࣱد‬


۟ ‫ت َحتَّ ٰى ی ُۡؤ ِم ۚ َّن َوَأَلم ࣱة ُّم ۡؤ ِمنَةٌ خَ ۡی ࣱر ِّمن ُّم ۡشر َك ࣲة َولَ ۡو َأ ۡع َجبَ ۡت ُكمۡۗ َواَل تُن ِكح‬
ِ َ
۟ ‫َواَل تَن ِكح‬
ِ ‫ُوا ۡٱل ُم ۡش ِر َك ٰـ‬
ۡ ۡ ۡ ۟ ۤ ‫ُأ‬
ِ ۖ َّ‫ُّم ۡؤ ِم ٌن خَ ۡی ࣱر ِّمن ُّم ۡش ِر ࣲك َولَ ۡو َأ ۡع َجبَ ُكمۡۗ ۟ولَ ٰـ ِٕىكَ یَ ۡد ُعونَ ِإلَى ٱلن‬
ِ َّ‫ار َوٱهَّلل ُ یَ ۡدع ُۤوا ِإلَى ٱل َجنَّ ِة َوٱل َم ۡغفِ َر ِة بِِإذنِ ِۖۦه َویُبَیِّنُ َءایَ ٰـتِ ِهۦ ِللن‬
ۡ‫اس لَ َعلَّهُم‬
َ‫} یَتَ َذ َّكرُون‬

[Surat Al-Baqarah: 221]

6
Didalam ayat ini ditegaskan larangan bagi seorang Muslim mengawini
perempuan musyrik dan larangan mengawinkan perempuan Mukmin dengan laki-
laki musyrik, kecuali kalau mereka telah beriman. Walaupun mereka itu cantik dan
rupawan, gagah, kaya, dan lainnya. Budak perempuan atau budak laki-laki yang
mukmin lebih baik untuk dikawini daripada mereka. Dari pihak perempuan yang
beriman tidak sedikit pula jumlahnya yang cantik, menarik hati, dan berakhlak.

Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: karena hartanya, karena
keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Pilihlah perempuan
yang beragama, maka engkau akan beruntung. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim
dari Abu Hurairah)

Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda:

Jangan kamu mengawini perempuan karena kecantikannya, mungkin


kecantikan itu akan membinasakan mereka, janganlah kamu mengawini mereka
karena harta kekayaannya, mungkin harta kekayaan itu akan menyebabkan mereka
durhaka dan keras kepala. Tetapi kawinilah mereka agamanya (iman dan
akhlaknya). Budak perempuan yang hitam, tetapi beragama, lebih baik dari mereka
yang tersebut diatas. (Riwayat Ibnu Majah dari Abdullah bin 'Umar).

Perkawinan erat hubungannya dengan agama. Orang musyrik bukan orang


beragama, mereka menyembah selain Allah. Dalam soal perkawinan dengan orang
musyrik ada batas larangan yang kuat, tetapi dalam soal pergaulan, bermasyarakat
itu biasa saja. Sebab perkawinan erat hubungannya dengan keturunan dan
keturunan erat hubungannya dengan harta warisan, makan dan minum, dan ada
hubungannya dengan pendidikan dan pembangunan islam.

Perkawinan dengan orang musyrik dianggap membahayakan seperti


dijelaskan diatas, maka Allah melarang mengadakan hubungan perkawinan dengan
mereka. Golongan orang musyrik itu akan selalu menjerumuskan umat Islam

7
kedalam bahaya dunia, dan menjerumuskannya ke dalam neraka di akhirat, sedang
ajaran-ajaran Allah kepada orang-orang Mukmin selalu membawa kepada
kebahagiaan dunia dan akhirat.

An nur ayat 32

۟ ُ‫ص ٰـلِ ِحینَ ِم ۡن ِعبَا ِد ُكمۡ َو م ۤاى ُكمۡۚ ن َی ُكون‬


ۡ َ‫وا فُقَ َر ۤا َء ی ُۡغنِ ِه ُم ٱهَّلل ُ ِمن ف‬
{ ‫ضلِ ِۗۦه َوٱهَّلل ُ َو ٰ ِس ٌع َعلِی ࣱم‬ ۟ ‫} َوَأن ِكح‬
َّ ‫ُوا ٱَأۡلیَ ٰـ َم ٰى ِمن ُكمۡ َوٱل‬
‫ِإ َ ِٕ ِإ‬

[Surat An-Nur: 32]

Pada ayat ini Allah menyerukan kepada semua pihak yang memikul
tanggung jawab atas kesucian dan kebersihan akhlak umat, agar mereka
menikahkan laki-laki yang tidak beristri, baik duda atau jejaka da perempuan yang
tidak bersuami baik gadis atau janda. Demikian pula terhadap hamba sahaya laki-
laki atau perempuan yang sudah patut dinikahkan, hendaklah diberikan pula
kesempatan yang serupa. Seruan ini berlaku untuk semua para wali (wali nikah)
seperti bapak, paman dan saudara yang memikul tanggung jawab atas keselamatan
keluarganya, berlaku pula untuk orang-orang yang memiliki hamba sahaya,
janganlah mereka menghalangi anggota keluarga atau budak yang dibawah
kekuasaan mereka untuk nikah, asal saja syarat syarat untuk nikah itu sudah
dipenuhi. Dengan demikian terbentuklah keluarga yang sehat, bersih, dan
terhormat. Dari keluarga inilah terbentuk suatu umat dan pastilah umat atau bangsa
itu akan menjadi kuat dan terhormat pula. Oleh sebab itu pula Rasulullah saw.
bersabda:

Nikah itu termasuk sunnahku, barang siapa yang membenci sunnahku


maka dia tidak termasuk golonganku. (Riwayat Muslim)

8
Bila diantara orang-orang yang mau nikah itu ada yang dalam keadaan
miskin sehingga belum sanggup memenuhi semua keperluan pernikahannya dan
belum sanggup memenuhi segala kebutuhan rumah tangganya, hendaklah orang-
orang yang seperti itu didorong dan dibantu untuk melaksanakan niat baiknya itu.
Janganlah kemiskinan seseorang menjadi alasan untuk mengurungkan pernikahan,
asal saja benar-benar dapat diharapkan daripadanya kemauan yang kuat untuk
melangsungkan pernikahan. Siapa tahu dibelakang hari Allah akan membukakan
baginya pintu rezeki yang halal, baik, dan memberikan kepadanya karunia dan
rahmat-Nya. Sesungguhnya Allah mahaluas rahmat-Nya dan kasih sayang-Nya,
Mahaluas ilmu pengetahuan-Nya. Dia melapangkan rezeki bagi siapa yang
dikehendaki-Nya dan menyempitkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki sesuai
dengan hikmat kebijaksanaan-Nya.

Ibnu Abbas berkata, Allah menganjurkan pernikahan dan


menggalakkannya, serta menyuruh manusia supaya mengawinkan orang-orang
yang merdeka dan hamba sahaya, dan Allah menjanjikan akan memberikan
kecukupan kepada orang-orang yang telah berkeluarga itu kekayaan.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda:

Ada tiga macam orang yang Allah berkewajiban menolongnya: orang yang
nikah dengan maksud memelihara kesucian dirinya, hamba sahaya yang berusaha
memerdekakan dirinya dengan membayar tebusan kepada tuannya, dan orang yang
berperang di jalan Allah. (Riwayat Ahmad)

An nur ayat 33

َ ‫ونَ ۡٱل ِكت َٰـ‬BB‫لِ ِۗۦه َوٱلَّ ِذینَ یَ ۡبتَ ُغ‬B‫ض‬


{ ‫اتِبُوهُمۡ ِإ ۡن‬BB‫ب ِم َّما َملَك َۡت َأ ۡی َم ٰـنُ ُكمۡ فَ َك‬ ِ ِ‫َو ۡلیَ ۡست َۡعف‬
ۡ َ‫ا َحتَّ ٰى ی ُۡغنِیَهُ ُم ٱهَّلل ُ ِمن ف‬BB‫ ُدونَ نِكَا ًح‬B‫ف ٱلَّ ِذینَ اَل یَ ِج‬
‫ض ۡٱل َحیَ ٰو ِة‬
َ ‫وا َع َر‬ ۟ ‫ُوا فَتَیَ ٰـتِ ُكمۡ َعلَى ۡٱلبغ َۤا ِء ۡن َأ َر ۡدنَ تَ َحصُّ ࣰنا لِّت َۡبتَ ُغ‬ ۟ ‫ال ٱهَّلل ِ ٱلَّ ِذ ۤی َءاتَ ٰى ُكمۡۚ َواَل تُ ۡكره‬
ِ ‫َعلِمۡ تُمۡ فِی ِهمۡ َخ ۡی ࣰر ۖا َو َءاتُوهُم ِّمن َّم‬
‫ِ ِإ‬ ِ
‫} ٱل ُّد ۡنیَ ۚا َو َمن ی ُۡك ِرهه َُّّن فَِإ َّن ٱهَّلل َ ِم ۢن بَ ۡع ِد ِإ ۡك َر ٰ ِه ِه َّن َغفُو ࣱر َّر ِحی ࣱم‬

9
[Surat An-Nur: 33]

Bila arahan pada ayat sebelumnya ditujukan kepada para wali atau pihak
yang dapat membantu pernikahan, arahan pada ayat ini ditujukan kepada pria agar
tidak mendesak wali untuk buru-buru menikahkannya. Dan orang-orang yang tidak
mampu menikah hendaklah menjaga kesucian diri-Nya dengan berpuasa atau
dengan aktivitas lain, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan
karunia-Nya dan memberi mereka kemudahan untuk menikah. Dan jika hamba
sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian, yaitu kesepakatan untuk
memerdekakan diri dengan membayar tebusan, hendaklah kamu buat perjanjian
kepada mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, yaitu jika kamu
tahu mereka akan melaksanakan tugas dan kewajiban mereka, mampu menjaga
diri, serta mampu menjalankan tuntunan agama mereka, dan berikanlah kepada
mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu: berupa zakat
untuk membantu pembebasan mereka dari perbudakan. Dan janganlah kamu paksa
hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri
menginginkan kesucian, hanya karena kamu hendak mencari keuntungan
kehidupan duniawi dari pelacuran itu. Barang siapa memaksa mereka untuk
memaksa melakukan perbuatan tercela itu, maka sungguh, Allah Maha
Pengampun terhadap perempuan-perempuan yang dipaksa itu, Maha Penyayang
kepada mereka setelah mereka dipaksa, dan dia akan memikulkan dosa kepada
orang yang memaksa mereka.

An Nisa’ ayat 22

Dalam ayat ini menjelaskan larangan bagi seorang anak untuk menikahi
mantan istri ayahnya meskipun anak tersebut sholeh dan ayahnya pun telah
meninggal. Karena hal tersebut perbuatan keji dan hina.

Kata Maqtan artinya adalah perbuatan yang dibenci. Maksudnya adalah


menikahi mantan istri ayah adalah perbuatan yang berdampak sangat buruk. Itu

10
dapat mengundang kebencian anak terhadap anaknya. Karena pada umumnya
menikahi perempuan yang sudah dicerai suaminya akan menimblkan suatu
kebencian kepada suami sebelumnya. Oleh karena itu diharamkannya menikahi
istri-istri nabi SAW bagi umat ini. Kedudukan beliau sama dengan ayah, bahkan
beliau lebih besar haknya dan lebih agung dibanding kan hak ayah, berdasarkan
kesepakatan ulama.

Sehubungan dengan kata Maqtan , Atha’ bin abi Rabbah mengatakan


maksudnya Allah SWT benci dan murka kepada orang yang melakukan hal
tersebut. Sedangkan kata selanjutnya Wasa a sabiilan, maknanya alangkah
buruknya orang yang menempuh jalan tersebut. Dan hukuman bagi orang yang
melakukannya adalah dianggap murtad karena telah ada larangan keras terhadap
hal tersebut dan dijatuhi hukuman mati. Selain itu hartanya disita dan akan
diberikan kepada baitul mal.

Kesepakatan ulama terkait hokum diatas yakni, haram seorang menikahi


istri ayahnya yang telah digauli, baik melalui nikah, perbudakan atau syubhat
(persetubuhan secara keliru).

An Nisa ayat 23

ۖ۟
{ ‫ ۡب ۚنَ َو ۡسَٔـلُ ۟وا ٱهَّلل َ ِمن‬B‫ی ࣱب ِّم َّما ۡٱكت ََس‬B‫َص‬
ِ ‫ُوا َولِلنِّ َس ۤا ِء ن‬ ‫صی ࣱب ِّم َّما ۡٱكتَ َسب‬ َّ َ‫َواَل تَتَ َمنَّ ۡو ۟ا َما ف‬
َ ‫ض َل ٱهَّلل ُ بِ ِهۦ بَ ۡع‬
َ ِّ‫ض ُكمۡ َعلَ ٰى بَ ۡع ࣲۚض ل‬
ِ َ‫لرِّجا ِل ن‬
‫ضلِ ِۤۚۦه ِإ َّن ٱهَّلل َ َكانَ بِ ُك ِّل ش َۡی ٍء َعلِی ࣰما‬
ۡ َ‫} ف‬

[Surat An-Nisa': 32]

Firman Allah SWT yang mulia merupakan ayat yang menjelaskan tentang
wanita-wanita yang haram nikahi baik karena hubungan nasab, persusuan atau
pernikahan.

11
Wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat ini yakni : Ibu kandung, anak
perempuan, saudara perempuan, saudara ayah yang perempuan, saudara ibu yang
perempuan, anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki ataupun perempuan,
ibu yang menyusuimu, saudara perempuan yang sesusuan, ibu istrimu (mertua),
anak perempuan dari istri (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu, dan istri yang
telah kamu campuri tetapi jika kamu belum mencampuri dan sudah kamu ceraikan
maka tidak berdosa kamu, istri anak kandungmu (menantu).

Dalam hal ini kelompok kami memiliki beberapa analisis : disebutkan


dalam ayat ini larangan menikahi anak kandung (anak yang terlahir dari dirimu)
bagaimana dengan anak dari perbuatan zina, apakah boleh dinikahi atau tidak?.
Dan dalam kata persusuan di ayat, maksud dari bilangan persusuan yang
menyebabkan terjadinya mahram ?.

Untuk pertanyaan pertama kami memaparkan beberapa pendapat ulama,


Imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Ahmad dan pendapat Jumhur haram untuk
menikahi anak perempuan yang dihasilkan dari pernikahan yang sah. Dalilnya
adalah keumuman firman Allah SWT tersebut. Dan pendapat yang dipegang oleh
imam Syafi’I tidak diharamkan bagi sang ayah untuk mengawininnya, karena anak
perempuan tersebut tidak terlahir dari hasil perkawinan yang syar’i. sesuai dengan
Ijma’, anak hasil perzinaan itu tidak dapat mewarisi harta ayahnya. Dengan
demukian tidak diharamkan oleh sang ayah untuk menikahinya, seperti ayat 11
dan 12 surat an Nisa’. Pendapat yang kuat terkait hal ini adalah yang pertama.

Terkait dengan bilangan persusuan yang menyebabkan terjadinya mahram,


kami akan memaparkan beberapa pendapat ulama : Pertama, sudah dianggap
mahram hanya dengan susuan satu kali, hal ini didasarkan oleh keumuman ayat
Waummahatukumul laatii ardho’nakum , pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu
Umar dan dipegang oleh Sa’id bin Musayyab, Urwah bin Zubair, dan az Zuhri.
Dan juga dikemukakan Imam Malik. Kedua, Tidak menjadi mahram bila
penyusuanya kurang dari tiga kali. Maka jika hanya satu atau dua tidak bias

12
menjadi mahram. Dalilnya hadist dari Aisyah “Tidaklah menjadi mahram satu
kali sedotan atau dua kali sedotan” (H.R. Muslim). Ini adalah pendapat Imam
Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur. Pendapat tersebut
diriwayatkan dari Ali, Aisyah, Ummu Al Fadhl, Ibnu Az Zubair, Sulaiman bin
Yasar, Said bin Zubair dan yang lainnya. Ketiga, Tidak menjadikan mahram jika
kurang dari lima kali penyusuan. Dalilnya adalah Hadist dari Aisyah bahwa dia
berkata “Dahulu termasuk diantara ayat yang diturunkan adalah tentang sepuluh
kali susuan yang dimaklumi menjadikan adanya mahram, kemudian ayat tersebut
di Nasakh dengan lima kali susuan yang dimaklumi. Pendapat ini dipegang oleh
Imam As Syafi’i.

Perlu dicatat hendaknya masa penyusuan itu dilakukan dalam usia kecil
dibawah 2 tahun seperti Q.S. al Baqarah : 233. Menurut Jumhur Ulama dan Imam
empat, yang menyebabkan terjadinya mahram adalah air susu dari pihak ayah
persusuan (Laban al fahl). Maksudnya status mahram itu merembet kepada pihak
ibu, paman dari pihak ayah, dan paman dari pihak ibu susuan. Sedangkan menurut
Ulama salaf, mahram persusuan itu berlaku khusus pada ibu saja, Namun yang
paling kuat adalah pendapat Jumhur Ulama.

Al Ahzab 55

{ ‫س ۤا ِٕى ِهنَّ َواَل َما َملَك َۡت‬


َ ِ‫اح َعلَ ۡی ِهنَّ فِ ۤی َءابَ ۤا ِٕى ِهنَّ َواَل ۤ َأ ۡبنَ ۤا ِٕى ِهنَّ َواَل ۤ ِإ ۡخ َو ٰنِ ِهنَّ َواَل ۤ َأ ۡبنَ ۤا ِء ِإ ۡخ َو ٰنِ ِهنَّ َواَل ۤ َأ ۡبنَ ۤا ِء َأ َخ َو ٰتِ ِهنَّ َواَل ن‬
َ َ‫اَّل ُجن‬
َ ‫} َأ ۡی َم ٰـنُ ُه ۗنَّ َوٱتَّقِینَ ٱهَّلل ۚ َ ِإنَّ ٱهَّلل َ َكانَ َعلَ ٰى ُك ِّل ش َۡی ࣲء‬
‫ش ِهیدًا‬

[Surat Al-Ahzab: 55]

13
Ayat ini menjelaskan kebolehan seorang perempuan untuk tidak berhijab
dihadapan bapak mereka, ana-anak laiki-laki mereka saudara laki-laki mereka,
keponakan laki-laki mereka, baik dari saudara laki-laki ataupun perempuan,
wanita-wanita yang beriman, hamba sahaya mereka, karena adanya tekad kuat
membantu mereka. Dan untuk wanita-wanita janganlah melanggar larangan yang
telah Allah tetapkan sesungguhnya allah melihat segala sesuatu. Dalam ayat ini
menjelaskan kebolehan istri nabi SAW membuka hijabnya didpan orang-orang
telah disebutkan di atas.

14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan ayat-ayat yang telah diuraikan di atas dapat diambil
sebuah kesimpulan bahwa pernikahan selain sebagai pemenuhan kebutuhan
seksual, juga bermakna pertalian yang syah antara seorang laki-laki dan
perempuan yang hidup bersama, dengan tujuan membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan, serta mencegah perzinahan dan menjaga ketentraman jiwa.
Pada prinsipnya ayat-ayat tersebut di atas mengandung anjuran menikah dan
menikahkan orang-orang yang tidak bersuami dan tidak beristri, termasuk juga
budak-budak yang sudah layak dan sudah cukup usia hendaklah dibantu dalam
melaksanakan keinginannya. Apabila mereka belum mampu untuk menikah maka
bersabarlah dengan menahan dir dari hawa nafsu. Kemudian tidak diperkenankan
berlaku tidak adil terhadap perempuan yatim yang ada di bawah perwalian
seseorang dengan menikahi mereka tanpa membayar mahar, dan
mencampuradukkan harta mereka dengan harta si wali.
Allah SWT mensyari’atkan pernikahan itu untuk mengatur manusia dengan
tujuan mulia dan manfaat yang besar.Dan Allah memerintah untuk memudahkan
jalannya pernikahan karena pernikahan cara yang tepat untuk mereproduksi
keturunan, sehingga tersebar luas penduduk bumi dengan keturunan yang benar.
Allah tidak menghendaki ada kekacauan di antara laki-laki dan perempuan, yang
saling meninggalkan dan melantarkan seperti yang terjadi pada binatang. Tetapi
dengan meletakkan peraturan tepat yang melindungi martabat manusia dan
melestarikan kehormatan. Sehingga tercipta hubungan laki-laki dan perempuan
dengan hubungan yang bersih dan murni atas dasar saling ridla. Dengan ini wanita
akan merasa dilindungi dan aman.
Ada beberapa point yang perlu di perhatikan yakni
 Menikahlah ketika dirimu sudah siap/bisa memberi nafkah dan bisa
bertanggung jawab
 Perempuan dinikahi karena 4 hal, yakni hartanya, keturunannya,
kecantikannya dan agamanya.
 Larangan menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman
( meskipun menarik hati )
 Larangan menikahi mantan istri dari ayah/bapak
 Ketika menikah allah akan melapangkan rezekinya sesuai hadist Abu
Hurairah.
 Larangan menikahi Orang musyrik.  
 Allah SWT mengajak ke surga

15
B. Saran
Dari tugas makalah ini, banyak hal yang dapat kita pelajari. Seperti halnya
yang sudah kami harapkan dan sampaikan. Semoga kita dapat mengamalkan ilmu
pengetahuan dari makalah ini. Penulis juga memohon kritik dan saran yang
membangun untuk pengembangan makalah ini selanjutnya.

16
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad fu’ad ‘abd Al-Baql, Al mu’jam al-mufahras li alfas al-qur’an al-karim

Fathulmuin bab nikah hal 97

17

Anda mungkin juga menyukai