Mulyadi
NIM 204104020019
Muhammad Rizky Ardiansyah
NIM 204104020023
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. karena atas rahmat dan karunia-Nya penyusun
dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah
Falsafah Ulum Islamiyah dengan judul: “Epistemologi Intuitif Mulla Shadra”.
Penyusun dalam menyusun makalah ini mendapatkan bantuan dari berbagai sumber
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini, yang tidak dapat disebutkan tanpa
mengurangi rasa hormat rasa terimakasih.
Terlepas dari semua itu, penyusun menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan
tangan terbuka penyusun menerima kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun
agar penyusun dapat memperbaiki makalah ini sehingga lebih baik lagi.
Akhir kata penyusun berharap semoga makalah ini dapat memberi informasi yang
berguna untuk pembaca, terutama bagi mahasiswa agar dapat memahami tentang
“Epistemologi Intuitif Mulla Shadra”.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................
C. Tujuan Penulisan............................................................................
BAB II PEMBAHASAN.......................................................
A. Kesimpulan....................................................................................
B.Saran...............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di awal abad ke 11 terjadi perubahan besar dalam substansi pengkajian dan
sistematika pembahasan konsep-konsep dalam filsafat Islam. sebelum abad ke-11
terdapat 4 aliran filsafat yang bersifat mandiri, terpisah satu sama lain dan masing-
masing berpijak pada teori dan gagasannya sendiri-sendiri. Tapi di awal abad ke-11 4
aliran tersebut berhasil dipandukan dan disatukan oleh Mulla Shadra sehingga
melahirkan satu aliran dan system filsafat baru yang di sebut Al-Hikmah Al-
Muta’aliyyah.
Aliran filsafat baru ini disamping memanfaatkan warisan pemikiran dan kaidah-
kaidah filsafat terbaru, juga dapat menjembatani antara pemikiran-pemikiran filsafat
dan doktrin-doktrin suci agama.
B. Rumusan Masalah
1. Epistemologi Mulla Shadra
2. Pemikiran Etika Mulla Shadra
3. Pengaruh Filsafat Mulla Shadra.
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Epistemologi Mulla Shadra
2. Bagaimana Pemikiran Etika Mulla Shadra
3. Bagaiamana pengaruh Filsafat Mulla Shadra
BAB II
PEMBAHASAN
3
Murtadha Muthahhari. Tema-Tema Penting Filsafat Islam. Terj. A Rifa’I Hasan dan Yuliani L. (Bandung:
Yayasan Muthahhari,1993), 48.
B. Pemikiran etika Mulla Shadra
Era Modern di satu sisi menawarkan manusia kemudahan hidup dalam segala hal.
Namun disisi lainnya, kenyataan menunjukan bahwa masyarakat dunia secara umum
tengah mengalami krisis multidimensional, termasuk moral dan spiritual. Sehingga
pada akhirnya menggiring umat manusia ke arah kehampaan nilai-nilai untuk kemudian
terasingkan dari poros eksistensi. Beberapa contoh kasus ekstrim yang mewarnai dunia,
orang yang bergelimang harta kekayaan, materi namun memilih bunuh diri karena
kehampaan dalam hidupnya, juga orang-orang yang demi kepintingan pribadi atau
golongannya mengabaikanniral moral dengan melakukan kedzoliman, kekerasan dan
peperangan (dalam skala yang lebih besar). Semua ini menunjukan kurangnya ke arifan
& kebijaksanaan dalam memaknai kehidupan.
Salah satu penyebabnya adalah akibat cara pandang dunia (worrldview)yang di
anggap sudah mapan akan tetapi tanpa disadari telah mengesampingkan aspek penting
lainnya. Yakni cara pandang filosofis yang mengususng nilai-nilai spiritualisme.
Paradigma modern di satu sisi berhasil mengembangkan sains dan teknologi yang
memudahkan kehidupan manusia, namun di sisi lainnya telah mereduksi kekayaan
kehidupan manusia itu sendiri. Termasuk juga telah mereduksi nilai-nilai filosofis dan
spiritual. Untuk itu dibutuhkan suatu paradigma baru yang lebih holistic, yakni sebuan
pandangan dunia baru yang menyeluruh dalam mempersepsi realitas. Hal ini dapat
ditemukan dalam filsafat hikmah yang dapat dijadikan landangan bagi pengembangan
ilmu pengetahuan yang sejalan dengan spiritualisme.
Melalui pandangan yang lebih filosofis dan holistik, diharapkan ada interaksi yang
erat antara filsafat (dalam hal ini filsafat hikmah) dengan disiplin-disiplin ilmu lainnya,
apalagi ilmu filsafat pernah diterima secara luas sebagai “mother of science”.
Pandangan ini mengharapkan suatu pencapaian integrasi ilmu, meskipun dengan
berbagai sumber fakultas yang berbeda namun terintegrasi dengan harmonis. Karena
manusia telah dianugerahi secara komplit, berbagai macam sumber fakultas untuk
mencerap nilai dan pengetahuan untuk memaknai kehidupannya. Hal ini diharapkan
dapat menghilangkan dikotomi antara ilmu agama yang bersumber dari wahyu ilahi dan
yang nonagama, dikotomi antara ilmu sains yang bersumber dari pengamatan empiris
(melalui indera) dengan ilmu filsafat yang bersumber dari pemikiran rasional (melalui
akal), juga dikotomi antara ilmu filsafat dan ilmu tasawuf/irfan yang bersumber dari
pengalaman spiritual (melalui dzauq/ intuisi kalbu).
Dalam hal ini, seorang filosof Muslim bernama Mulla Shadra, dengan pemikiran-
pemikirannya dalam filsafat hikmah yang brilian dan orisinil mampu menjawab semua
tantangan itu. Filsafat hikmah merupakan evolusi
dari filsafat Islam yang bagi sebagian besar orang, dianggap telah berakhir hanya
sampai masa Ibn Rusyd, dan diikuti dengan menurunnya Peradaban Islam. Namun di
bagian wilayah lain, filsafat Islam tetap bertahan dan berkembang menjadi filsafat
hikmah yang diperkenalkan Mulla Shadra. Filsafatnya bukan hanya didasarkan pada
pengalaman trans-intelektual dan gnostik, tetapi juga berupa sistem rasional yang solid.
Ia berjasa dalam menunjukkan dan menawarkan cara pandang holistik menuju
paradigma keilmuan yang islami, karena beliau mampu menjembatani filsafat sebagai
“mother of science” dengan ilmu agama/teologi dan tasawuf/irfan secara harmonis.
Pemikiran beliau juga unik, dibingkai dengan nilai spiritualitas sebagai
suatu perjalanan yaitu: 1) Dari Mahkluk menuju Tuhannya (min al-khalq ilaPemikiran
beliau juga unik, dibingkai dengan nilai spiritualitas sebagai suatu perjalanan yaitu: 1)
Dari Mahkluk menuju Tuhannya (min al-khalq ila
al-Haqq), 2) Dengan Tuhan dalam Tuhan (bi al-Haqq fi al-Haqq), 3) Dari dan dengan
Tuhan menuju makhluk (min al-Haqq ila al-khalq), dan 4) Dalam makhluk dengan
Tuhan (bi al-Haqq fi al-khalq). (Mustamin Al-Mandary, 2003: 178)
Etika, bersama politik dan ekonomi, dalam khazanah pemikiran Islam
biasa dimasukkan dalam apa yang disebut sebagai filsafat praktis (al-hikmah
al-‘amaliyah). Filsafat praktis berbicara tentang segala sesuatu sebagaimana
seharusnya. Namun demikian tetap harus didasarkan pada filsafat teoretis (al-hikmah
al-nazhariyyah), yakni pembahasa sesuatu sebagaimana adanya, termasuk di dalamnya
metafisika.( Haidar Bagir, 2005: 193)
Dalam pandangan berbagai pemikir dan filosof Muslim, ada beberapa prinsip
utama etika Islam di antaranya, pertama, etika bersifat universal dan fitri, sebagaimana
sabda Nabi Muhammad Saw bahwa perbuatan baik adalah yang membuat hatimu
tenteram, sedangkan perbuatan buruk adalah
yang membuat hatimu gelisah. Dalam pandangan atau teori etika dari filosof
Yunani klasik, Sokrates yang dipromosikan oleh Plato, menyatakan bahwa
moralitas itu bersifat fitri, yaitu pengetahuan baik buruk atau dorongan untuk berbuat
baik sesungguhnya telah ada pada sifat alami pembawaan manusia (fitrah/innate
nature). ( Haidar Bagir, 2005: 195)Kedua, moralitas dalam Islam didasarkan kepada
keadilan. Ketiga, tindakan etis pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan bagi
pelakunya_bagi Aristoteles bahwa pada puncaknya tujuan dari tindakan-tindakan etis
adalah kebahagiaan yang bersifat intelektual.
Pengaruh Mulla shadra pada masanya sangat terbatas dan madzhabnya hanya
mempunyai sedikit pengikut. Ajaran Shadra menyebar secara gradual terutama berkat
komentar-komentarnta terhadap karya Ibnu Sina dan Ashuhawardi yang menarik
perhatian para pengikut madzhab peripatetikme (logika Aristoteles) dan
Illuminasionisme.
Tokoh penting pertama Madzhab Mulla Shadra yang sebenarnya, yang telah
mencetak sejumlah murid yang handal aktif adalah Mullah’Ali Nuri (wafat 1246)
sementara itu Asytiyani memproklamasikan diri sebagai pengikut terbesar dan terbaik
dikalangan para komentator Shadra.
Mulla Shadra bukan sekedar filusuf terkenal selama 6 abad terakhir. Bagi Sebagian
orang ia telah dianggap setara dengan Ibnu Sina dan Alfarabi bahkan melampaui
keduanya. Meskipun ia menguasai semua Madzab filsafat pada zamannya (peripatetic,
Illuminasionisme, teologi Islam, dan Irfan) ia tak pernah secara total dipengaruhi dan
meretas pada Madzhab filsafatnya sendiri, filsafat transenden (Al-Hikmah Al-
Muta’aliyah). Ia mengkritik semua titik lemah yang disuguhkan oleh filusuf agung
sebelumnya dan mencoba menyajikan sejumlah pemecahan filsufis atas masalah-
masalah tersebut.
Hal itu membuktikan bahwa Mulla Shadra merupakan seorang filsuf muslim yang
cukup produktif, kreatik, dan orisinal dengan karyanya yang begitu banyak mencakup
berbagai bidang pemikiran Islam yang ditulis, baik dengan Bahasa Arab maupun
dengan Bahasa Persia. Dari semua karyanya Al-Hikmah Al-Muta’aliyyah fi Asfar Al-
Arba’ah merupakan karyanya yang terbesar.
Pengaruh pemikirannya merambat keberbagai pemikiran Islam lainnya seperti
Iran,Irak,India dan Pakistan. Al Maududi menerjemahkan secara khusus Kitab Al-Asfar
Mulla Shadra. Terakhir, pemikiran Islam yang konser terhadap filsafat Mulla Shadra
adaah Fazlur Rohman dengan bukunya The Philosophy of Mulla Shadra.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kemunculan seorang figur dengan kapasitas intelektual dan spritual seperti Mulla
Shadra di Persia pada periode Safawi, jelas menunjukkan adanya kehidupan suatu
tradisi intelektual yang kuat, yang memungkinkan baginya untuk tumbuh
danberkembang dengan baik, yang kemudian mendorongnya untuk tampil ke
permukaan dengan membawa arus-arus yang terdalam dari tradisi yang
melahirkannya. Epistemologi Mulla Shadra dibangun dari empat aliran pemikiran
Islam klasik pasca Mongol, yaitu masysya’i (Peripatetik), isyraqi (Illmunianionis),
‘Irfani (Gnosis, Sufisme atau Tasawuf), dan kalam (Teologi Islam), dengan seluruh
variasi yang terkandung di dalamnya, berkembang secara luas selama empat abad
sebelum Mulla Shadra. Disamping itu keempat aliran tersebut saling mendekat satu
sama lain, sehingga mempersiapkan dasar baginya untuk kemudian menciptakan
suatu sintesis besar (grand synthesis)
Di dalam bangunan Filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah Shadra, tergambar jelas
Mulla Shadrā melakukan harmonisasi semua elemen filsafat sebelumnya sehingga
membentuk warna baru yang masing-masing kesatuan saling terkait dan mendukung
satu sama lain. Kita kemudian dapat menemukan posisi filsafat al-Hikmah al-
Muta’āliyyah yang jelas-jelas memunculkan sebuah warna baru diantara aliran filsafat
yang ada.Karakteristik al-hikmah al-muta’aliyah yang bersifat sintesis merupakan
hasil kombinasi dan harmonisasi dari ajaran-ajaran wahyu, ucapan-ucapan para Imam,
kebenaran-kebenaran yang diperoleh melalui penghayatan spiritual dan iluminasi
intelektual, serta tuntutan-tuntutan logika dan pembuktian rasional. Sintesis dan
harmonisasi ini bertujuan untuk memadukan pengetahuan yang diperoleh melalui
sarana Sufisme atau ’irfan, Iluminasionisme atau isyraqiyyah, filsafat rasional atau
yang identik dengan Peripatetik atau masysya’iyyah, dan ilmu-ilmu keagamaan dalam
arti sempit, termasuk kalam. Dengan demikian, kemunculannya tidak dapat
dipisahkan dari, dan harus dilihat dalam konteks aliran-aliran pemikiran Islam yang
mendahuluinya.
B. Saran
Menurut Mulla Shadra filsafat itu adalah kesempurnaan jiwa manusia melalui
pengetahuan terhadap realita atau terhadap kebneran atas keberadaan berdasarkan
bukti yang jelas. Menurutnya juga dengan pengetahuan bisa menjadi saran yang
membebaskan manusia dari keterikatan yang bersifat material atau duniawi dan
mengantarkan Kembali kepada asal-usul penciptanya. Dimana jika
mengimplementasikan dari pemikirannya yaitu kita sebagai manusia dalam menjalani
hidup tidak selalu mengejar kebahagiaan duniawi saja namun kita hidup dan mati
hanya untuk sang pencipta, taka da sebuah materi yang membuat kita bernafsu untuk
selalu mengejarnya namun semuanya akan tetap di kembalikan kepada sang pencipta.
Menurut mulla shadra juga tempat sebaik baiknya adalah bagian jiwa yang
bersifat spiritual sedangkan tempat serendah rendahnya menunjukkan manusia
bersifat material. Dimana jika di terapkan hal tersebut yaitu manusia akan lebih
mementingkan duniawi saja sehingga akan melupakan akhirat. Jika kita sebagai
manusia lebih mengedepankan duniawi maka sama artinya itu adalah tempat serendah
rendahnya kita sebagai manusia, namun jika kita bisa menyeimbangkan antara
spiritual dan duniawi itu akan membuat kita lebih baik atau lebih seimbang dan
tenang dalam menjalani hidup. Dimana kebutuhan spiritual dan duniawi akan sama-
sama terpenuhi.
Untuk menjaga jiwa agar tidak rusak menurut mulla shadra yaitu yang
pertama kebodohan tentang pengetahuan diri yang merupakan realitas manusia. Yang
kedua lebih mementingan tentang hawa nafsu sehingga selalu menginginkan
kedudukan atau jabatan, dan yang ketiga godaan jiwa yang selalu ingin memerintah.
Maka agar jiwa tidak rusak hindari 3 hal tersebut yang bisa saja akan merusak jiwa.
DAFTAR PUSTAKA