Anda di halaman 1dari 5

David Hume; yang Katanya Radikal

Oleh ; Kader Rayon FUAH


Muatan kali ini terbangun untuk memenuhi kesepakatan kawan-kawan Manunggal
Institute (suatu BANOM dari PMII Rayon FUAH, UIN KHAS), tidak mungkin saya acuh
terhadap itu. Hal ini bukan kepatuhan terhadap kontrak forum, namun suatu tanggung jawab
yang harus diselesaikan. Mudah-mudahan, hasil dari ini menjadi pemicu kader-kader untuk
berperang gagasan, kritik, dan menjadi garis besar dalam kajian kali ini.
Bukan hanya itu, tulisan ini sebagai langkah awal dalam upaya menuang pemahaman
saya dalam bentuk karya. Lalu angan-angan tentang “kapan saya bisa nulis”, segera
direalisasikan. Mengendapkan pengetahuan itu tidak bagus, hingga terkonstruksi dalam
imajianasi, untuk membentuk tulisan dalam memproduksi literatur. Dan keinginan
selanjutnya, dapat menyapaikan suatu gagasan hangat.
Sejak logos dideklarasikan sebagai gerbang pengetahuan, sampai taraf keusangan
nalar post-modern, sajian-sajian diskursus tokoh masih relevan sampai saat ini. Saya rasa
pada kesempatan ini, kita coba bedah tokoh Hume dengan empiris radikalnya. Manakala akan
menjadi pangkal dari segala aspek ilmu pengetahuan, kemajuan orang-orang Eropa,
paradigma-paradigma yang mengalamai perkembangan pesat, serta kemewahan subjektifitas
sains.
David Hume merupakan sosok Filosof yang memiliki pengaruh besar dalam Filsafat
kontemporer dengan corak nalar empirisism. Beberapa pemikirannya dipengaruhi oleh John
Locke dan Berkeley, akan tetapi pada akhirnya juga mengkritik mereka. Kajian kali ini
sangat menarik, jika pembacaan ini dimulai saat lahir sampai Dialoque Concerning Natural
Relegion, salah satu karyanya, diinisiasi terbit ketika telah wafat. Kesempatan ini difokuskan
melihat lebih dalam tentang empirisisme radikalnya, yang kemudian akan menjadi garis besar
dari diskusi kawan-kawan Manunggal Institute.
Hume memulai hidupnya di Edinburgh Skotlandia, tanggal lahirnya 26 April 1711.
Lahir seperti manusia pada umumnya, anak bungsu dari keluarga tidak kaya apalagi miskin,
hematnya sederhana. Namun hari sialnya sudah dimulai sejak bayi, ditandai dengan
kepergian sang ayah ke alam lain. Ketika kecil, hidup biasa saja dengan seorang ibu di
perkebunan Ninewells.
Beruntungnya si ibu mampu menfasilitasi pendidikannya sejak awal. Disekolahkan
seperti murid-murid pada umumnya, namun Hume terlalu keren jika dibandingkan dengan
kawan-kawan Manunggal Institute. Sebab Ia menjelma sebagai pelajar sukses, dan dijuluki
anak muda produktif. Sesingkat-singkatnya, menjadi mahasiswa di Universitas Edinburgh
pada tahun 1723, waktu itu usianya masih 12 tahun!. Sebagai anak Shaleh, memulai studi
hukum di kampus itu atas kehendak ibunya. Kemudian men-DOkan diri ketika berusia 15
tahun, karena perasaan tidak puas menyertai.
Kita coba lihat lebih jelas lagi, ada sedikit keberuntungan dari keterangan hidup
David Hume. Ada literatur lain yang baru saya temukan ketika bangun tidur dan sudah
diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ahmad Asnawi, Spd. Judul bukunya Essays Moral
Political And Literay Buku 1. Dalam buku tersebut rupanya tersisipkan keterangan hidup,
yang begitu bersahaja, namun ampasnya juga banyak. Sebaagai Filsuf PD (Percaya Diri),
mendeklarasikan diri. Sebagai manusia berwatak suka belajar, tenang hati, sehingga
keluarganya memiliki gagasan singkat untuk memiliki gelar Hukum.
Namun sejak awal si Hume sudah memiliki Hasrat lebih pada Sastra dan Filsafat.
Karya-karya Voet dan Vinnius, Cicero dan Virgil dikonsumsi secara diam-diam.
Kecendrungan tersebut, sebagai pengantar konstruksi besar terhadap Empirisisme
sebelumnya. Komitmennya terhadap pengetahuan seperti anak kecil berlari untuk
mendapatkan layangan putus, meskipun medannya berlumpur, tetap gigih untuk
menjangkaunya.
Hume merasa produktif pada tahun 1734, lalu pergi ke Briston, dengan beberapa
rekomendasi para pedagang terkemuka. Selang beberapa bulan, merasa tidak layak, tidak
cocok, atau gak kerasan di sana. Hingga hijrah ke Prancis, untuk melanjutkan studinya.
Sebagai Filsuf ngece berwatak rajin, juga tidak sombong, Ia memusatkan perhatiannya untuk
mengembangkan Sastra.
Di Prancis, Hume menapakkan kakinya di Reims, beberapa waktu kemudian, ke
Fleche, di Anjou. Sepanjang hidupnya di Prancis Ia menyusun Treatise Of Human Nature.
Pada 1737, kemudian hengkang ke London. Menerbitkan karyanya pada akhir 1738, namun
hari itu menjadi kurang beruntung, hal ini disebabkan karya itu tidak digubris oleh Pers.
Hume tetaplah Hume, tidak ciut untuk tetap maju dalam kancah literatur, maskipun galaunya
parah, Diks!
Ketika kembali ke Edinburgh, essaynya diterbitkan pada 1742, dan memiliki
perlakuan serta respon baik di sana. Bertepatan pada 1745, Hume menerima surat dari
Marquis Of Annanele, diundang untuk datang serta tinggal bersama bangsawan-bangsawan
di Inggris selama 12 bulan. Beberapa saat setelah itu, dijadikan sekretaris oleh St. Clair dalam
upaya ekpedisinya. Bertepatan tahun 1747, dijadikan pembantu kedutaan militer di Wina
dan Turin.
Sejumlah prestasi Hume bagi saya merupakan pencapaian elok, beruntung memiliki
zaman ideal untuk memperkaya pengetahuan. Berani mengorbankan perut, untuk
pengetahuan. Sebelum kaya, bisa digambarkan seperti kader-kader Rayon Ushuluddin,
mampu ngerokok dan makan dengan dalih silaturridinglah, diskusi, ngopi bareng, pada
intinya gratisan. Tahun 1749, si Filsuf memutuskan untuk tinggal bersama saudara laki-
lakinya, sembari melanjutkan kiprah produktifnya dengan menyusun Essay Political
Discursuse. Pada 1752, pindah lagi ke kota, kemudian karya itu dipublikasikan di Edinburgh.
Di tahun yang sama, menghibahkan dirinya sebagai pustakawan di Fakultas Hukum.
Hume memang diidentifikasi terlibat dalam carut marut politik kala itu, serta menjadi
anugrah tersendiri sebagai manusia beruntung. Kecondongan terhadap Tory (salah satu partai
di Inggris), merupakan izin dari langit untuk ketenarannya. Tidak lama kemudian, bertepatan
pada 1759, berhasil menerbitkan History of the House of Tudor karya ini menjadi titik awal
narsisnya di kancah literatur. Sedikit tambahan dari Betrand Russel, dalam bukunya Sejarah
Filsafat Barat dalam bentuk terjemahan ke bahasa Indonesi. 1763, mengunjungi Paris serta
mendapati pujian-pujian dari komunitas Filsafat setempat.
Secara sepihak, saya menganggap Hume sebagai ahlinya Sastra. Ia tidak
membenamkan cerita hidupnya apalagi melangitkan, dalam Essai Moral Political And
Leterary auto-biografinya sangat singkat, padat, serta dapat diukur dengan fakta historis,
tidak seperti dongeng-dongeng Senior
Sebenarnya Hume memiliki beberapa riwayat gangguan mental sejak Ia berusia 18
tahun dengan beberapa gejala seperti adanya bintik-bintik di jari, sehingga dokter waktu itu
mendiagnonis “Penyakit Orang Terpelajar”. Wafat pada tanggal 25 Agustus 1776, karena
penyakit kanker perut, parah sih.
Saya rasa sekian Biografi Hume, sebenarnya pembahasan ini masih belum tuntas,
karena saya paham karakter dari pembaca, tidak pernah menuntaskan bacaan. Namun semoga
tulisan di atas sudah cukup banyak membahas kehidupan sang filosof, yang terombang
ambing dalam ekspedisinya terhadap pengetahuan.
Selanjutnya kita memasuki alam berfikir dari Hume, saya rasa ini sudah mulai agak
serius. Pasalanya semenjak berusia 12-tahunan, dengan sikap skeptis, kemudian membangun
segala bantahan terhadap tumpukan teori metafisis. Kesangsian tersebut bukan soal
ngeyelnya, akan tetapi pandangan tentang kekayaan pengetahuan rasionalisme, hanya seperti
bungkusan teori-teori bias dan tidak senada dengan kenyataan konkrit.
Bagi hume akal tidak memiliki tempat tertinggi dalam subjektivitas manusia, dengan
demikian akal teridentifikasi bukan aktor utama untuk merespon soal (tugas-kampus) apalagi
persoalan, serta sebagai mesin utama dalam memproduksi gagsan/ide baru. Bantahannya
terhadap kaum rasional, akal yang diagungkan oleh mereka hanyalah budak dari sensasi.
Nalar luar biasanya, sampai pada Jonh Lock dan Brekeley. Dengan mengkrtitik pandangan
empiris terdahulu, yang dirasa terlalu normatif serta memiliki batasan.
Mari kita intip ruang produksi Epistemologi empirisisme radikal Hume, kata kunci
dari ajarannya ialah; kesan (impressions) sebagai poin utama di sini. Mula-mula Hume
memberikan takaran, posisi, dan perbedaan terhadap “kesan” (impressions) serta
“gagasan/ide” (Ideas). Bahwasanya indra melahirkan kesan, serta memiliki kebenaran yang
konkrit terhadap realitas. Sedangkan gagasan/ide, merupakan tempat pengolahan data-data
dari fenomena yang dihasilkan oleh kesan melewati pengindraan.
Pada intinya kesan lebih konkret dari pada gagasan/ide, yang sifatnya kabur. Saya
coba memberikan gambaran jelas tentang ini, rasa kopi yang sekarang lebih konkrit dari pada
rasa kopi yang saya coba gagas dan diimajinasikan nanti malam. Atau kita coba memikirkan
kebenaran “rasa” dimarahi oleh ketua Rayon, itu merupakan persepsi yang samar, kebenaran
yang paling konkrit ketika rasa itu diperoleh dari kesan langsung atau kejadian waktu itu loh.
Gagasan (Ideas) itu sendiri, rupanya dijabarkan lagi oleh Hume, yakni; gagasan
sederhana dan gagasan kompleks. Uraiannya begini; gagasan sederhana merupakan lanjutan
dari kesan sederhana, namun penempatan diantara keduanya tentu berbeda, kesan merupakan
yang konkrit sedangkan gagasan sederhana masih saja buram. Selanjutnya gagasan kompleks,
gagasan kompleks ini berangkat dari kesan-kesan yang dikumpulkan, dibakukan, dan
dibentuk untuk memproduksi gagasan baru atau pengetahuan baru.
Mudahnya begini, “gagasan sederhana” merupakan gagasan yang didapat dari kesan
sederhana tentang kopi. Penjelasan ini menekankan pada ketunggalan tentang; bentuk, warna,
rasa, dan kejadian yang tersimpan dalam ruang ingatan, kemudian tergagas dalam bentuk
penyampaian dari kesan yang sudah dialami. Misalnya, gagasan sederahana “cewe itu
cantik”, berangkat dari kesan sederhana yang lahir dari indra, ketika menyaksikan cewek itu.
Sedangkan gagasan kompleks merupakan konsentrasi perumusan gagasan baru, semisal
gagasan tentang “Kedai B AJ tempat yang nyaman”, kesimpulan atau gagasan baru tentang B
AJ, merupakan tumpukan “kesan” yang didapat. Semisal, kopi robustanya, pembelinya tidak
rasis, tidak ada kelas sosial, baristanya cakep, alunan lagu-lagu percik, dan kesan-kesan
lainnya, sehingga pada suatu momen kita merumuskan gagasan B AJ sebagai tempat ter-
nyaman. Dari penyampaian pendek diatas, gagasan merupakan tokoh pembantu, pesuruh,
budak, dan pada intinya kinerja lanjutan dari kesan serta tidak bisa apa-apa tanpa kesan.
Tertuang dari literatur-litaratur lain, bahwa yang memberi pengaruh besar terhadap
pengetahuan, budaya, sosial, politik, ekonomi, pemerintahan dan lain-lainnya, adalah
epistemologi empirisisme radikal ini. Meskipun, pemikir lain di abad-abad selanjutnya
menuduh Hume merupakan sosok yang destruktif. Sejujurnya dalam penulisan ini, saya
dibantu oleh Betrand Russel, Fahrudin Fais, F. Budi Hardiman dan obrolan-oborolan kecil
tentang David Hume ini.
Kritik terhadap kausalitas dan persepsi individu tentang Tuhan. Kali ini saya akan
ringkas saja, persoalan paham atau enggak itu terserah kalian. Tentang kausalitas (sebab-
akibat), awal mulanya terkonstruk dari Yunani kuno, dan bangunan-bangunan kausalitas
Cartesian yang mengatakan adanya X Disebabkan Y. Kata Hume: tidak ada yang begitu-
begituan!, adanya suatu kejadian atau peristiwa dilahirkan oleh peristiwa lainnya, rentetan itu
merupakan satu kelompok peristiwa. Tentunya menjadi bantahan keras terhadap kausalitas
tadi. Saya contohkan, peristiwa saya minum robusta susu, merupakan rentetan dari peritiwa
kang Barista nyeduh, sanpai nganterkan ke meja saya. Semua itu, tersusun dari peristiwa-
peristiwa sebelumnya. Ajaran Hume yang ini nih, menjadi alasan merosotnya keyakinan
Deisme kala itu.
Kemudian persepsi Tuhan, indvidu yang berimajinasi, mengkonstruk, dan meng
mngambarkan, merupakan nalar atau imajinasi liar individu. Bagi Hume, kesan subjek
terhadap objek dan gagasan kompleks, merupakan pengantar kepada tuhan, untuk narasi
lengkapnya biasa baca di Treatise Of Human Nature, Essays Moral Politikal and Literay.
Sederhananya, kesan dari objek keindahan alam, objek kasih sayang ibu, kerasnya bapak, dan
posesifnya ayang, dengan sendirinya akan menkonstruksi kecerdasan individu bawasa dibalik
itu, ada Yang Maha, melebihi objek-objek yang tadi. Wes cukup!
Sejujurnya merasa malas menyimpulkan isi pemikirannya, namun saya berusaha
mencoba mengkaji fenomena yang terjadi diluar pemikiran Hume. Dari atas sampai atasnya
paragraf ini, bahwa kekayaan pengetahuan sebelumnya masih perlu diukur relevansinya
dengan zaman yang terjadi sekarang, point pertama.
Empirisisme radikal ini menjadi cikal bakal dari keseksian pengetahuan barat.
Selayaknya Lock dengan emprisismenya, kemudian di evaluasi lagi oleh emprisismenya
Hume. Gaya-gaya itu, berlaku pada budaya pengetahuan barat secara terus menerus.
Penempatan skeptis sebagai analisis kritis, sebagai akses pertama untuk mempelajari filsfafat.
Point terakhir, selayaknya manusia yang menghamba kepada Tuhan, kita hentikan sikap
fanatik bahkan taklid buta.
Selanjutnya, harapan. Teruntuk para pembaca, semoga tulisan ini tidak hanya menjadi
tumpukan teori-teori, bahkan menjadi standar kebenaran. Kenyataan masih bergerak sampai
sakarang, kerja-kerja fenomena tersebut menjadi tantangan besar terhadap kita. Seyogyanya
upaya membangun pengetahuan, harus!! Dilakukan secara berkala, untuk menjadi perisai dan
tombak dalam menghadapi hiruk-pikuk era globalisasi ini.
Sempat saya berfikir begini, setidaknya kita terlihat cupu dari segi penampilan, serta
miskin, akan tetapi keren dalam beretorika dan kaya pengetahuan. Untuk mendapatkan itu, ya
baca buku dan diskusi. Masalah good looking, itu tergantung dompet kalean. Jika bisa,
dapatkan keduanya. Sebagaimana manusia idaman, bagus diluar dan dalam.
Kemudian dari Hume, kita mendapati tamparan keras bilamana kita lebih nyaman
ngurung diri di kos tanpa kegiatan produktif apapun (Ngegoa), berkelompok namun tidak
mengasilkan apa-apa, dan nongkrong hanya untuk kepentingan media tanpa mengakses
pengetahuan apapun. Untuk terahir, tetaplah menjadi Insan ulul albab sebagai harapan
sebelum titik.
Saya sebagai kader menyampaikan juga kepada keder, kondisi zikir, mental, rasa, dan
keintelektualan harus menjadi konsenstrasi untuk tujuan luhur PMII. Sebagaimana konflik-
konflik pengetahuan sebelumnya, upaya yang dibangun dalam ruang ini berorientasi pada
kepentingan pengetahuan, dengan harapan kemaslahatan publik.
“Dari tuhan saya tahu, dan untuk tuhan, saya memberi tahu kepada kalean”

Love Of Wisdom

Anda mungkin juga menyukai