Edmund Husserl, seorang filsuf Jerman, adalah orang pertama yang memulai aliran filsafat
Fenomenologi. Namun, lucunya, meskipun memiliki julukan sebagai Bapak Fenomenologi, Husserl
pernah tidak mengerti dengan jelas mengenai Fenomenologi pada mulanya. Hal itu disebabkan oleh
cara pemikiran Husserl yang masih dipengaruhi oleh cara berpikir dan pendapat lama, sehingga
membuatnya kerap kali mengatakan kekeliruan dalam mengenalkan aliran filsafat ini.
Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan Fenomenologi? Bila dimulai dari membedah kata
tersebut, maka kita akan menemukan kata fenomena dan logos. Bila meninjau definisinya dari
KBBI, “Fenomena merupakan suatu hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra (dilihat,
didengar, diraba, dicium, dan dirasakan), kemudian dapat dijelaskan dan dinilai secara ilmiah.” Dari
fenomena, kita dapat mengenal kata fenomon, atau bisa disebut sebagai gejala. Sedangkan kata
logos, dalam bahasa Yunani, berarti pikiran atau dasar pemikiran tentang suatu hal. Maka, bisa
disimpulkan bahwa Fenomenologi merupakan pemikiran tentang fenomon yang terlihat jelas atau
nampak untuk dirasakan oleh pancaindra.
Fenomenologi memiliki pengaruh yang sangat besar di dunia, terutama oleh para filsuf yang
haus akan kebenaran yang ada. Fenomenologi membuka jalan bagi para filsuf untuk mencari
pengertian yang benar. Bagi mereka, pengertian yang benar itu memiliki realitas dan dapat
dibuktikan dengan realitas itu sendiri. Hanya saja, realita dapat membuka dan menutup diri secara
bersamaan, seperti koin yang hanya dapat dilihat dari satu sisi saja. Oleh karena itulah,
Fenomenologi menjadi semacam alat bantu untuk melihat realita secara keseluruhan.
Lalu, bila dilanjut dari perumpamaan koin di atas, bagaimana cara untuk dapat melihat sisi
koin yang satunya lagi? Perlu diketahui bahwa tidak hanya realitas yang dihadapi, namun juga
kepribadian dalam diri setiap manusia. Konsep, cara berpikir, bahkan lingkungan dan suasana hidup
manusia bisa menjadi penghalang untuk dapat melihat sisi lain dari koin tersebut, salah satunya
dengan rasa skeptis yang sempat menghantui bangsa Eropa pada masa Husserl masih hidup.
Aliran skeptisme menjadi salah satu penghalang untuk mempercayai bahwa realita yang
sebenarnya itu tidak ada. Dalam menghadapi aliran tersebut, Husserl pernah berkata, “Nach den
Sachen seblst,” dengan artinya sebagai, “Kembali pada halnya sendiri,” atau ungkapan lain dari
“Lihat realitanya sendiri!”