Anda di halaman 1dari 2

Septianzi Citra Asri Imonita

180810170014 – Sastra Jerman


Dasar-dasar Filsafat

HUSSERL DALAM FENOMENOLOGI: IDEALISME ATAU REALISME?

Edmund Husserl, seorang filsuf Jerman, adalah orang pertama yang memulai aliran filsafat
Fenomenologi. Namun, lucunya, meskipun memiliki julukan sebagai Bapak Fenomenologi, Husserl
pernah tidak mengerti dengan jelas mengenai Fenomenologi pada mulanya. Hal itu disebabkan oleh
cara pemikiran Husserl yang masih dipengaruhi oleh cara berpikir dan pendapat lama, sehingga
membuatnya kerap kali mengatakan kekeliruan dalam mengenalkan aliran filsafat ini.
Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan Fenomenologi? Bila dimulai dari membedah kata
tersebut, maka kita akan menemukan kata fenomena dan logos. Bila meninjau definisinya dari
KBBI, “Fenomena merupakan suatu hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra (dilihat,
didengar, diraba, dicium, dan dirasakan), kemudian dapat dijelaskan dan dinilai secara ilmiah.” Dari
fenomena, kita dapat mengenal kata fenomon, atau bisa disebut sebagai gejala. Sedangkan kata
logos, dalam bahasa Yunani, berarti pikiran atau dasar pemikiran tentang suatu hal. Maka, bisa
disimpulkan bahwa Fenomenologi merupakan pemikiran tentang fenomon yang terlihat jelas atau
nampak untuk dirasakan oleh pancaindra.
Fenomenologi memiliki pengaruh yang sangat besar di dunia, terutama oleh para filsuf yang
haus akan kebenaran yang ada. Fenomenologi membuka jalan bagi para filsuf untuk mencari
pengertian yang benar. Bagi mereka, pengertian yang benar itu memiliki realitas dan dapat
dibuktikan dengan realitas itu sendiri. Hanya saja, realita dapat membuka dan menutup diri secara
bersamaan, seperti koin yang hanya dapat dilihat dari satu sisi saja. Oleh karena itulah,
Fenomenologi menjadi semacam alat bantu untuk melihat realita secara keseluruhan.
Lalu, bila dilanjut dari perumpamaan koin di atas, bagaimana cara untuk dapat melihat sisi
koin yang satunya lagi? Perlu diketahui bahwa tidak hanya realitas yang dihadapi, namun juga
kepribadian dalam diri setiap manusia. Konsep, cara berpikir, bahkan lingkungan dan suasana hidup
manusia bisa menjadi penghalang untuk dapat melihat sisi lain dari koin tersebut, salah satunya
dengan rasa skeptis yang sempat menghantui bangsa Eropa pada masa Husserl masih hidup.
Aliran skeptisme menjadi salah satu penghalang untuk mempercayai bahwa realita yang
sebenarnya itu tidak ada. Dalam menghadapi aliran tersebut, Husserl pernah berkata, “Nach den
Sachen seblst,” dengan artinya sebagai, “Kembali pada halnya sendiri,” atau ungkapan lain dari
“Lihat realitanya sendiri!”

Sumber: Driyarkara. 2006. Karya Lengkap Driyarkara, hal. 1319 – 1340.


Sekarang, mari kita mempelajari mengenai apa yang dipikirkan oleh Husserl dalam
Fenomonologi. Perlu diketahui bahwa tujuan Husserl adalah setiap pengertian memiliki suatu objek
yang berkaitan dengan fenomena yang ada. Kebanyakan manusia memiliki pendirian yang biasa
dan spontan, atau dalam istilahnya sebagai natürliche Einstellung. Pendirian yang biasa ini
disebabkan karena manusia memandang makhluk hidup dan pengalaman sehari-hari, diakui sebagai
sesuatu yang objektif secara spontan. Pendirian yang biasa dan spontan seperti itulah dianggap tidak
cukup oleh para filsuf untuk menemukan realita yang ada, sebab pendirian tersebut juga memiliki
unsur subjektif yang dapat menjauhkan manusia untuk menemukan realita. Ibaratnya seperti hanya
melihat secara sekilas atau permukaan, tanpa benar-benar mengenal objeknya secara keseluruhan.
Dalam menemukan realitas, Husserl mengenalkan beberapa langkah yang bisa diterapkan.
Pertama adalah penyaringan dari berbagai pengalaman yang dialami oleh manusia itu sendiri.
Penyaringan diperlukan karena sebelumnya manusia hanya melihat fenomen yang tampak jelas dari
permukaan, padahal bisa jadi jawabannya berada di luar dari kesadaran manusia. Ketika sudah
menemukan fenomen dari hasil penyaringan tersebut, maka selanjutnya adalah membuat idea untuk
mendapatkan intisari atau hakikatnya.
Hanya saja, beliau juga berpikir bahwa sepertinya tidak ada kepastian yang sepenuhnya dapat
dilihat. Hal ini disebabkan karena manusia tidak dapat mengerti sepenuhnya dari objek yang ada di
dunia. Kalau dilihat kembali dari awal pembahasan, justru teori dari Husserl ini malah menjadi
terkesan abstrak. Beliau telah sampai di titik di mana ada dua jalur yang harus ditempuh: realita dari
segala pengalaman, atau transedental? Hal ini sama saja dengan harus memilih, antara idealisme
atau realisme?
Jawabannya, inti dari pemikiran Husserl adalah idealisme transedental. Apa maksudnya itu?
Hal ini merupakan sebuah pandangan bahwa pengalaman manusia mengenai suatu hal adalah
tentang bagaimana mereka muncul untuk direpresentasikan, bukan tentang hal-hal seperti yang
dalam dan dari objek tersebut. Bisa dilihat bahwa Husserl ingin sekali menunjukkan objektivitas
pada pengertian manusia. Namun, Husserl hanya mementingkan objektivitasnya, dan malah
melupakan sumber objektivitasnya (alias pendirian yang biasa dan spontan tersebut).
Bisa disimpulkan bahwa pandangan Husserl mengenai fenomen maupun cara memandang
pengalaman dari diri sendiri dan dunia, masihlah bersifat janggal. Bisa dilihat dalam pendapatnya,
terlihat jelas bahwa Husserl telah mencari realitas yang ada berdasarkan caranya dalam mencari
pengertian yang ada, meskipun beliau memiliki pemikiran yang abstrak dan menjurus ke arah
idealisme. Oleh karena itu, sebenarnya pemikiran ini belum diselesaikan secara tuntas oleh Husserl
sendiri. Jadilah kita tidak bisa langsung menyimpulkan begitu saja, apakah dia jatuh ke idealisme
sepenuhnya, atau masih di permukaan dengan pencarian realitasnya tersebut.

Sumber: Driyarkara. 2006. Karya Lengkap Driyarkara, hal. 1319 – 1340.

Anda mungkin juga menyukai