Anda di halaman 1dari 12

TUGAS DIPLOMASI BUDAYA

BUDAYA OMIAI UNTUK MENGATASI KRISIS PERNIKAHAN


PADA KALANGAN MASYARAKAT DI JEPANG

Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester pada mata kuliah
Diplomasi Budaya

ditulis oleh:
Septianzi Citra Asri Imonita
NPM. 180810170014

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS ILMU BUDAYA
2019
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada umumnya, masyarakat pada zaman ini menganggap bahwa perjodohan
merupakan suatu hal yang bersifat kuno, meski hal ini bersifat sangat lumrah di
zaman dulu—setidaknya sampai abad ke-19 atau 20. Kebanyakan masyarakat zaman
sekarang menganggap bahwa perjodohan adalah suatu hal yang bersifat terlalu
memaksa, dan rasanya kecil sekali kemungkinan untuk mendapatkan kehidupan
pernikahan yang cenderung bahagia melalui perjodohan.
Namun, hal tersebut cukup bertolak belakang di Jepang. Meski di Negeri
Sakura ini sudah banyak penduduk yang menikah atas dasar cinta, namun hal
tersebut tidak sebanding dengan jumlah populasi masyarakat yang masih melajang.
Inilah mengapa budaya omiai cenderung sangat populer di kalangan masyarakat
Jepang, hingga pemerintah juga turut mengambil peran dalam menjodohkan warga
negaranya sendiri.

1.2 Tujuan Makalah


Makalah ini memiliki tujuan untuk mengetahui tentang seluk-beluk budaya
omiai di Jepang, serta menganalisis guna omiai sebagai solusi dalam meningkatkan
populasi masyarakat yang menikah di Jepang.

1.3 Manfaat Makalah


Makalah ini memiliki manfaat untuk mengetahui budaya omiai serta
manfaatnya dalam kalangan masyarakat Jepang, berhubung budaya semacam ini
menjadi suatu pengecualian bagi Jepang yang terhitung sebagai negara maju di
dunia.

2
TEORI TENTANG OMIAI

2.1 Pengertian Omiai


Omiai adalah pertemuan antara dua orang agar saling melihat satu sama lain.
Pengertian lainnya adalah suatu pertemuan formal di mana adanya perkenalan
antara seorang pria dan seorang wanita yang diatur oleh nakodo (seorang perantara)
dengan tujuan mencari pasangan untuk menikah, sehingga omiai selalu dikaitkan
dengan perjodohan.
Budaya omiai diperkirakan telah dimulai sejak Zaman Kamakura (1185 –
1333) di Jepang. Sudah menjadi hal yang lumrah sejak zaman dulu, bahwa
pernikahan yang terjadi di kalangan masyarakat Jepang lebih kepada keinginan dari
keluarga, bukan atas keinginan untuk menjalin hubungan komitmen berdasarkan
cinta. Hal itu dikarenakan sangat pentingnya peranan keluarga bagi setiap orang di
Jepang.
Budaya omiai masih sangat populer di kalangan masyarakat Negeri Sakura,
khususnya pada kalangan orang tua yang memiliki anak yang telah memasukki usia
matang untuk pernikahan. Perkiraan usia menikah bagi wanita Jepang adalah 25
tahun, sedangkan kaum lelaki sekitar 30 tahun. Bahkan ada istilah Christmas cake
bagi wanita yang belum menikah setelah usia 25 tahun, yang diibaratkan sebagai
kue natal yang kadaluarsa karena belum terjual setelah hari Natal terlewat. Faktor-
faktor yang menyebakan hal ini terjadi disebabkan karena belum menemukan cinta
sejati atau orang yang cocok, kesulitan dalam mendekati lawan jenis, kesibukan
bekerja sehingga tidak mempunyai waktu untuk membangun hubungan, biaya
hidup di Jepang yang semakin mahal, dan sebagainya.

2.2 Sejarah Omiai


Pada awalnya, omiai merupakan suatu istilah di mana dua orang yang
dipertemukan secara formal, tanpa tahu bahwa tujuan dari pertemuan tersebut adalah
untuk pernikahan. Tradisi ini sangat lumrah dilakukan pada kalangan keluarga
samurai, dengan tujuan untuk membentuk dan memperkuat aliansi militer lewat
pernikahan.

3
Tradisi ini menjadi bagian dari kebudayaan Jepang sejak Zaman Kamakura (1185
– 1333), dengan diawali pada kalangan masyarakat kelas atas, seperti keluarga imperial
dan klan samurai. Hal ini berkaitan dengan keinginan untuk mempertahankan status
kebangsawanan dalam keluarga atau klan mereka. Budaya ini mulai merambat pada
kalangan masyarakat biasa sejak Zaman Edo (1600 - 1868).
Pernikahan melalui omiai menciptakan suatu keluarga yang tidak didasarkan pada
hubungan romantis, melainkan tergantung pada keluarga yang terkesan menjadi sebuah
bentuk kawin paksa. Meski demikian, kebanyakan masyarakat Jepang memang menolak
gagasan menikah lewat cinta dengan alasan yang realistis. Bagi orang Jepang saat itu,
cinta bukanlah hal yang bisa membangun hubungan serius, dan tentu saja tidak untuk
pernikahan, berhubung cinta bisa memudar dalam waktu cepat atau lambat. Inilah
mengapa omiai dilaksanakan lebih ke tujuan politik atau ekonomi, bukan dari cinta.
Membangun pernikahan melalui omiai harus dengan persetujuan orangtua atau
perwakilan dari keluarga. Orangtua yang menentukan apakah menerima atau tidak
pasangan yang akan menikah dengan anak mereka. Menurut mereka, pernikahan
melalui omiai dinilai mampu bertahan lebih lama dibandingkan dengan pernikahan
atas dasar cinta. Hal itu didasari dengan kepastian dari diketahui latar belakangnya,
baik dari finansial maupun status keluarga di kalangan masyarakat.
Budaya omiai sempat mengalami penurunan kepopuleritas setelah Perang
Dunia Kedua, di mana tradisi dari kalangan orang barat dan gagasan romantis
tersebar di seluruh Jepang. Inilah menjadi penyebab adanya baby boom pada masa
itu, di mana tingkat kelahiran bayi meningkat dengan sangat pesat dalam sensus
kependudukan Jepang. Hal ini disebabkan karena adanya kebebasan dalam memilih
pasangan, sehingga segala bentuk seks bebas maupun pemerkosaan di Jepang yang
mendukung baby boom tidak dapat dihindari lagi. Oleh sebab itu, pemerintah Jepang
melegalkan undang-undang mengenai aborsi yang cukup efektif untuk menurunkan
tingkat kelahiran.
Namun, hal ini berbuah simalakama di masa depan. Jumlah populasi
masyarakat Jepang dalam sensus penduduk mengalami penurunan yang cukup
drastis. Pemerintah Jepang kembali membuat strategi atas dasar kekhawatiran
kepunahan populasi bila hal ini terus berlanjut, dimulai dengan diubahnya status
undang-undang aborsi menjadi ilegal (kecuali untuk alasan kesehatan). Pemerintah

4
Jepang juga memberikan arahan pada warganya untuk segera menikah dan
menghasilkan keturunan demi meningkatkan angka kelahiran. Akan tetapi, dengan
kondisi masyarakat Jepang yang lebih memilih mengejar karier dibanding
berkeluarga dan mempunyai keturunan, masalah ini masih belum menemukan solusi
yang tepat. Kebanyakan warga Jepang yang menyadari adanya dampak penurunan
angka populasi di negaranya sendiri, menjadi ikut berpikir untuk menemukan cara
agar warga Jepang tertarik dengan pernikahan dan mempunyai keturunan dengan
perjodohan secara modern.
Oleh karena itu, omiai kembali marak dengan sistem yang lebih modern,
seperti diadakan di sebuah restoran, bioskop, maupun pertunjukan musik teater oleh
nakodo (istilah untuk mak comblang dalam omiai) dan orangtua kedua calon
pasangan. Keputusan untuk berhenti atau melanjutkan ke hubungan yang lebih serius
didasarkan pada penilaian antar pasangan dalam setiap pertemuannya.
Omiai juga dapat dilakukan di rumah calon pengantin wanita, dengan cara
calon pengantin pria datang bersama nakodo dan orang tuanya. Dalam hal ini, calon
pengantin pria dan orang tuanya dapat melihat bagaiman pembawaan diri dan
tingkah lakunya, tidak saja hanya melihat dari penampilan luar saja. Dapat dilihat
ketika calon pengantin wanita memiliki keterampilan dalam menyambut para tamu
dan cara menyajikan makanan dan minuman. Biasanya, omiai yang dilakukan di
rumah calon pengantin wanita disebabkan karena calon pengantin pria yang hendak
mencari wanita tipe yamato nadeshiko, yaitu sebuah gambaran wanita rumah tangga
yang penurut dan terkesan ideal.
Pada Era Heisei (1989 – 2019) muncul istilah “Kekkon Katsudo” yang
merupakan bentuk adopsi dari omiai yang lebih modern. Pada tahun 2007, istilah
semakin populer, dengan didasarkan pada kesadaran diri masyarakat Jepang akan
jodoh mereka tidak akan datang apabila tidak dicari, sehingga mereka menjadi tidak
sungkan untuk mendatangi biro jodoh ketika usianya sudah cukup untuk menikah.
Dengan adanya kekkon katsudou ini, tingkat angka pasangan yang menikah di Jepang
semakin meningkat, walaupun peningkatannya tidak secara drastis dan masih belum
mencapai target pemerintah. Pada tahun 2005 sempat terjadi peningkatan pernikahan
untuk pasangan yang menikah, namun tidak bertahan lama, terlebih pada tahun 2010
hingga 2016 sempat terjadi penurunan kembali. Namun, di sela penurunan angka

5
pernikahan, pada tahun 2015 masyarakat Jepang dihebohkan dengan adanya
fenomena Kousai Zero Nichikon. Sama seperti sebelumnya, fenomena tersebut
merupakan salah satu bentuk omiai yang lebih modern, dengan perbedaannya
terletak pada praktiknya. Dalam Kousai Zero Nichikon, pasangan dapat
melangsungkan menikah tanpa adanya proses berkencan dalam jangka waktu yang
lama. Fenomena terbaru inilah yang semakin membuat masyarakat Jepang sadar
untuk meningkatkan populasi penduduk.
Seiring berkembangnya zaman, maka teknologi juga turut berkembang pesat,
seperti teknologi informasi dan komunikasi dalam bentuk internet. Oleh karena itu,
menemukan jodoh dengan memanfaatkan internet sudah tidak asing lagi di telinga
masyarakat Jepang. Bahkan biro jodoh yang melakukan jasa praktek omiai juga
menggunakan internet untuk mempermudah jangkauan masyarakat.
Pemerintah juga turut andil dalam urusan perkawinan, seperti dalam
mendirikan Zenkoku Nakodo Rengokai alias Asosiasi Perjodohan Nasional. Namun,
berbeda dengan biro jodoh swasta, lembaga ini masih menggunakan metode omiai
yang digunakam pada zaman dahulu. Dalam asosiasi tersebut, terdapat seorang
penasihat yang akan memberikan saran pada kliennya tentang bagaimana cara sang
klien harus bertindak jika ingin cepat mendapatkan jodoh.
Sayangnya, penggunaan jasa tersebut tidak bersifat bebas. Untuk melakukan
konsultasi maka harus mengeluarkan dana yang cukup besar, berbeda dengan omiai
yang lebih modern dan murah karena melalui perantara internet. Selain lebih hemat
dan tidak serumit zaman dulu, waktu yang diperlukan juga tidak terlalu banyak,
sehingga tidak akan mengganggu pekerjaan dan kegiatan penting bagi kedua calon
pengantin.

2.3 Konsep Omiai


Pada umumnya, terdapat dua konsep dalam melakukan omiai di zaman
sekarang, yaitu:
1. Melibatkan jasa perantara (biro jodoh) yang mengantarkan proposal pernikahan
untuk kedua belah pihak. Sebenarnya konsep ini hampir sama dengan yang
dilakukan sejak zaman dulu, dan terkadang perantara tersebut akan memilih
pasangan yang paling cocok dengan dilihat dari latar belakang pendidikan, hobi,

6
prospek karir, dan sebagainya. Namun, ada kalanya perantara ini hanya
memasangkan duapasangan yang tidak memiliki pasangan. Biasanya ini dilakukan
untuk berjaga-jaga bila salah satu anggota keluarganya telah menikah.
2. Omiai yang diatur oleh biro jodoh. Biasanya biro jodoh tersebut akan menggelar
pesta untuk para anggotanya secara serempak, dengan harapan mereka bisa
menemukan pasangan yang cocok.
Kesamaan dari kedua jenis konsep omiai yang diikuti adalah kewajiban dalam
mempersiapkan formulir berupa informasi pribadi yang disebut dengan shinjosho.
Formulir tersebut biasanya berisi data pribadi seperti nama, pekerjaan, kualifikasi,
kondisi kesehatan, dan penghasilan. Setelah mengisi formulir, kedua orang ini
kemudian akan dipertemukan oleh nakodo sesuai dengan janji waktu pertemuan.
Pada pertemuan pertama biasanya hanya sekedar basa-basi dengan saling
bertukar informasi. Proses omiai ini dapat dipituskan untuk dilanjutkan atau tidak
pada akhir pertemuan pertama. Hal ini juga harus disetujui oleh orangtua dari kedua
belah pihak. Kedua pasangan yang akan dijodohkan dapat bertemu secara langsung
di tempat yang pribadi, seperti ruangan di hotel yang privat, rumah pihak calon
pengantin pria, maupun wanita. Tata cara pakaiannya harus bersifat formal, bahkan
ada yang memakai pakaian tradisonal Jepang. Biasanya, acara pendahuluan
dilakukan dengan melakukan jamuan makan bersama. Dan, setelah acara
pendahuluan itu selesai, biasanya para orang tua akan meninggalkan pasangan
tersebut berbincang bincang berdua untuk saling mengenal.
Jasa kedua memilih cara yang lebih simple. Perantara akan menggelar pesta
yang diikuti oleh anggota omiai dengan harapan dalam pesta tersebut mereka saling
berinteraksi dan bertukar informasi sehingga mendapatkan pasangan yang cocok.
Biasanya pada saat proses omiai berlangsung, pasangan tidak membicarakan hal
seperti mantan kekasih, pandangan politik, masalah pendapatan, dan agama,
berhubung topik tersebut dinilai cukup berat dalam sebuah perkenalan awal. Setelah
dilakukan pertemuan secara berkala, maka pasangan akan memutuskan akan
menikah atau tidak. Jika akhirnya memutuskan untuk menikah, maka si perantara
akan mendapatkan 10% dari mas kawin sebagai tanda terima kasih dan bisa menjadi
pendamping mempelai sebagai pengganti peran orang tua.

7
Jika kedua orang tersebut merasa cocok dan berujung pada rencana pernikahan,
maka pernikahan tersebut akan disebut sebagai miai kekkon. Jika memutuskan untuk
berhenti di tengah jalan, maka salah satu atau kedua calon pasangan tidak boleh
memberitahu secara langsung pada satu sama lain, melainkan lewat nakodo.
Pernikahan yang terjadi dengan menggunakan tradisi omiai ini biasanya bertahan
lama, berhubung biasanya pasangan akan menghormati tradisi dan menghargai
sebuah perkawinan. Faktanya, tingkat perceraian pasangan yang melakukan omiai
cenderung sedikit lebih rendah dibanding menikah atas dasar cinta. Inilah sebabnya
mengapa tradisi omiai masih terus dilanjutkan sampai sekarang.

8
ANALISIS TEORI MENGENAI OMIAI

Ada berbagai penyebab mengapa angka pernikahan di kalangan masyarakat


Jepang semakin menurun, disertai dengan angka kelahiran dalam sensus kependudukan.
Pertama, modernisasi dalam pola pemikiran masyarakat membuat para wanita
merasa tergerak untuk memiliki pendidikan yang tinggi dan hidup secara mandiri.
Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa Jepang merupakan salah satu negara dengan
adat patriarki yang cukup kuat, bahkan masih terasa hingga sekarang. Inilah penyebab
mengapa wanita memilih untuk mengejar karier dibanding cepat-cepat menikah di masa
muda, sehingga keinginan mereka untuk menikah menjadi semakin memudar. Wanita
Jepang modern ini menginginkan kebebasan hidup yang tidak pernah dimiliki oleh
wanita zaman dahulu, di mana mereka harus selalu tunduk pada kaum pria.
Untuk kaum pria, pada umumnya mereka terlalu banyak menghabiskan waktu
untuk bekerja. Sudah menjadi semacam trait untuk penggambaran masyarakat Jepang,
bahwa mereka adalah tipe yang pekerja keras. Mereka seakan tidak punya banyak
waktu untuk memikat pasangan, berhubung jam kerja kantoran di Jepang pada
umumnya bisa terhitung padat dan memakan banyak waktu dalam keseharian.
Ada pula anggapan dari kalangan masyarakat Jepang, bila mereka sudah merasa
bahagia dengan banyak uang dan pekerjaan stabil, mengapa harus menikah? Mereka
juga memiliki ketakutan tersendiri perihal pasangan yang bisa saja menghancurkan
“kehidupan stabil” yang mereka dapatkan pada masa lajang. Selain itu, dengan hidup
berpasangan jelas sekali membuat mereka harus “berbagi” pada pasangannya. Dua hal
tersebut sudah cukup menjadi alasan mengapa mereka enggan menikah. Mereka
menginginkan kebebasan untuk melakukan apa yang disuka tanpa mengkhawatirkan
pasangan, berfoya-foya dalam menghabiskan sebagian gaji, bahkan menyiapkan
tabungan sendiri untuk jaminan di masa lansia. Mereka semakin enggan untuk hidup
terkekang hanya karena keberadaan pasangan.
Seiring dengan pola pemikiran masyarakat Jepang yang semakin berkembang,
terdapat pula perbedaan keinginan antara pria dan wanita dalam mencari pasangan
hidup. Bagi pria, mereka menginginkan wanita yang tunduk dan setia padanya,
berhubung kebanyakan dari mereka ingin mempertahankan budaya patriarki yang
mengakar sejak dulu. Sedangkan kebanyakan wanita menginginkan pasangan yang

9
mapan, bertanggung jawab, dan pengertian akan persamaan kedudukan dalam rumah
tangga. Bila semua itu tidak bisa dicapai, untuk apa menikah daripada hidup tidak
bahagia bersama pasangan yang tidak diinginkan?
Menikah atas dasar cinta (alias Ren’ai Kekkon) memang cukup populer dengan
disandingkan dengan menikah lewat omiai, namun seperti pola pikir masyarakat zaman
dahulu, menikah atas dasar cinta tidak menjamin untuk selalu bersama, justru menikah
dengan Ren’ai Kekkon memiliki tingkat perceraian yang lebih tinggi dibanding lewat
omiai. Oleh karena itu, omiai dapat memperbaiki mereka dalam kembali mencari
pasangan hidup yang lebih cocok dan sesuai dengan kriteria. Omiai dapat membantu
mereka yang pernah gagal dalam melakukan Ren’ai Kekkon. Inilah mengapa omiai
masih terbilang populer hingga sekarang.
Omiai dinilai memiliki kelebihan dalam kehidupan masyarakat modern,
berhubung omiai telah mengalami perubahan bentuk dan sistem, salah satunya dengan
tidak adanya paksaan harus menerima perjodohan. Semua keputusan berada pada kedua
calon pasangan, berbeda dengan omiai zaman dahulu yang tidak dapat menolak calon
yang sudah diperkenalkan.
Saking banyaknya biro jodoh sebagai sarana perantara dalam mempertemukan
kedua belah pihak, bisa disimpulkan bahwa kebanyakan masyarakat Jepang cenderung
tidak ingin merasa repot dalam mencari jodoh. Sebuah survey yang dilakukan oleh The
Cabinet Office Japan kepada 7000 pria dan wanita lajang berusia 29 hingga 30 tahun
menunjukkan bahwa 40% dari mereka tidak tertarik untuk menjalin hubungan asmara.
Alasan terbanyak yakni 46.2% menyatakan bahwa menjalin hubugan asmara merupakan
suatu hal yang merepotkan, lalu sebanyak 45.1% menunjukkan bahwa mereka ingin
lebih fokus pada karir dan hobinya. Sedangkan alasan lain di luar itu menyatakan bahwa
mereka tidak mengerti bagaimana cara untuk memulai suatu hubungan asmara dan
menemukan pasangan.
Dari faktor-faktor di atas, maka banyak anak muda yang mengalami perubahan
pandangan terhadap hubungan pernikahan, yaitu dengan melihat adanya sisi positif dari
budaya omiai. Budaya ini diharapkan untuk dapat meningkatkan jumlah pasangan yang
menikah di Jepang, serta meningkatkan populasi penduduk yang terus dikhawatirkan
pada pemerintah di era sekarang.

10
KESIMPULAN

Omiai dipandang sebagai suatu budaya dari zaman dahulu yang terus dilestarikan
di Jepang, bahkan pemerintah juga turut andil dalam berperan mengenai
pelaksanaannya. Meski demikian, omiai di zaman dahulu berbeda dengan masa
sekarang, di mana tidak adanya paksaan untuk langsung menikah setelah bertemu, serta
kedua pasangan dapat memutuskan sendiri untuk melanjutkan atau tidak lewat perantara
nakodo. Inilah mengapa omiai menjadi populer hingga sekarang, di mana kebanyakan
dari para muda-mudi di Jepang memiliki pola pikir bahwa hanya dengan cinta saja
bukan menjadi kunci dalam melanggengkan suatu pernikahan. Mereka berpikir cukup
realistis dan terkesan tidak ingin repot dalam mencari pasangan. Asal cocok dan sesuai
kriteria, maka pernikahan bisa dilangsungkan lewat omiai.
Bila kebudayaan omiai ini sampai untuk diterapkan di Indonesia, penulis berpikir
bahwa omiai tidak begitu cocok untuk diterapkan dalam masyarakat negeri ini.
Perjodohan bukanlah sesuatu yang diminati oleh kebanyakan masyarakat secara umum
di Indonesia, terlebih lagi menjadi bucin atau budak cinta merupakan suatu kenikmatan
tersendiri bagi masyarakat Indonesia dalam menjalin suatu hubungan. Untuk apa
dilakukan omiai bila sudah bisa menemukan tambatan hati sendiri atas dasar kemauan
dan cinta? Inilah perbedaannya.
Menurut saya, omiai tidak dapat dipandang dengan benar maupun salah, tetapi
dari segi kecocokan untuk dilakukan oleh masyarakat kebanyakan. Bila omiai
dipandang sebagai salah satu jalan terbaik bagi masyarakat Jepang untuk meningkatkan
angka pernikahan dan kelahiran, mengapa tidak untuk menerapkannya? Meski hasil
yang dicapai belum sesuai target yang diinginkan, namun masyakarat Jepang masih
memiliki harapan untuk melestarikan keturunan mereka bila upaya seperti ini terus
dilakukan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Japan Info. (2018, 28 Januari). Omiai: Budaya Pernikahan Melalui Perjodohan di


Jepang. Diakses pada 5 November 2019 dari https://jpninfo.com/id/2636.
Mulyadi, Budi. 2018. Fenomena Penurunan Angka Pernikahan dan Perkembangan
Budaya Omiai di Jepang. Semarang: Kiryoku.
Sianipar, Fransyska Oktavia. 2019. Perubahan Bentuk Pelaksanaan Omiai pada
Masyarakat Jepang Dewasa Ini. Medan: Repositori Institusi USU.

12

Anda mungkin juga menyukai