Anda di halaman 1dari 8

Fenemonologi Gender Di Jember

Hegel mendefinisikan fenomenologi sebagai pengetahuan sebagaimana pengatahuan


tersebut tampil atau hadir terhadap kesadaran (Moustakas, 1994: 26). Selain itu fenomenologi juga
dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang penggambaran apa yang dilihat oleh seseorang,
pa yang dirasakan dan diketahuinya dalam immediate awarensess and experience-nya. Meskipun
Hegel adalah tokoh yang mulai merumuskan pengertian fenomenologi dengan lebih jelas, akan
tetapi hal ini rupanya tidak sangat berpengaruh terhadap Edmund Husserl, yang merupakan pelopor
aliran fenomenologi. Husserl lebih banyak dipengaruhi oleh ahli filsafat Perancis, Rene Descrtes.
Fenomenologi terbagi dua macam; (1) fenomenologi transcendental dan (2) fenomenologi
eksistensial. Fenomenologi trasendental dengan sendirinya terkait dengan filsafat trasendental
seperti yang dikembangkan oleh Immanuel Kant dan ilmu pengetahuan trasendental seperti yang
dirintis oleh Rene Descartes.
Dasar dari filsafat adalah kenyataan itu sendiri, kenyataan sebagaimana dia menampilkjan
dirinya, sebagaimana dia mengahdirkan dirinya. Husserl melanjutkan bahwa yang dimaksudkannya
dengan sesuatu itu sendiri tidak lain adalah kesadaran. Husserl ada dua aspek kesadaran yang
saling mengisi, yakni (1) proses sadar itu sendiri (the cogito), yang wujudnya bisa beberapa macam
(misalnya mengingat, melihat, menilai) dan (2) yang menjadi obyek dari kesadaran tersebut. Bahwa
kesadaran bukanlah sesuatu yang immanen, yang ada di dalam sesuatu tetapi pada dasarnya
bersifat intentional atau punya maksud, punya tujuan, karena kesadaran ini selalu merupakan
kesadaran tentang sesuatu bukan kesadaran yang tanpa arah, yang kosong. Hal ini berarti bahwa
kesadaran ini selalu diarahkan, ditujukan, kepada sesuatu. Jika dikatakan bahwa kesadaran adalah
sesuatu itu sendiri, atau dasar dari semua pengetahuan, hal ini maksudnya adalah bahwa itu
merupakan kesadaran yang mencakup semua yang muncul, yang hadir di dalam atau ada di
hadapannya. Lebih teknis lagi, kesadaran dengan struktur noetic dan neomaticnya serta obyekobyek yang membangun dirinya sebagai obyek dalam kesadaran, merupakan the only absolute
being (Ijsseling, 1979: 5).
Kesadaran yang mengandung maksud tersebut selalu diarahkan kepadadunia kehidupan
(life world), dan dunia ini tidak lain merupakan sebuah dunia antarsubyek (intersubjektive).
Artinya, manusia yang berada dalam dunia tersebut saling berhubungan, sehingga kesadaran yang
terbentuk di antara mereka bersifat social atau memiliki bersama. Kesadaran yang mengandung
maksud tersebut selalu diarahkan kepada dunia kehidupan dan dunia ini tidak lain merupakan
sebuah dunia antarsubyek. Artinya, manusia yang berada dalam dunia tersebut saling berhubungan,
sehingga kesadaran yang terbentuk di antara mereka bersifat social atau dimiliki bersama. Bahwa
gejala-gejala tersebut dialami atau bisa dialami oleh orang lain sebagaimana dialaminya. Manusia
selalu mengira bahwa obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa tersebut bagi orang lain adlah sama
halnya dengan gejala-gejala tersebut bagi dia. Beranggapan bahwa makna yang diberikannya
terhadp gejala itu sama dengan makna yang diberikan oleh orang lain. Inilah yang dimaksud dengan
intersubyektivitas dunia kehidupan (Phillipson, 1972: 125).
Hakekat makna tang ada dalam pengalaman dan tindakan manusia menyebabkan
pendekatan seperti yang dilakukan pada ilmu alam dalam ilmu social tidak lagi mengena, karena
masalahnya berada pada tingkat yang berbeda, yakni tingkat makna, yang tidak terdapat pada
berbagai gejala yang diamati oleh ilmu alam. Sebelum sampai pada tingkat makna itu sendiri,
menurut Husserl kita perlu mengetahui terlebih dulu cara-cara yang digunakan oleh orang-orang
yang kita teliti untuk memberikan arti, cap (label) yang kemudian menciptakan suatu kenyataan
yang tidak mereka sangsikan lagi kebenarannya. Lahir juga sebuah pandangan pokok
fenomenologi, yakni menuju sesuatu itu sendiri (to the things themselves). Dengan kata lain
menuju apa yang muncul dan memberikan dorongan (impetus) untuk adanya pengalaman dan
membangkitkan pengetahuan baru. Fenomena, gejala adalah batu-batu bangunan utama
pengetahuan manusia dan merupakan daar bagi semua pengetahuan (Moustakas, 1994: 26). Bahwa
fenomenologi bebas untuk menggeluti, menelaah, semua wilayah pengalaman manusia. Apakh ini
tidak sama atau mirip dengan psikologi naturalistic? Tidak, menurut Husserl.

Dalam pengamatan Husserl, psikologi naturalistic, yang mengikuti cara-cara dalam ilmuilmu alam seperti halnya sosiologi- telah gagal mengetahui keterbatasan-keterbatasannya, karena
psikologi seperti telah kehilangan sense atau rasa dari gejala yang dipelajarinya. Metodemetode dipandang tidak tepat karena metode dan konsep yang berkembang di dalamnya telah
mengabaikan fenomena pengalaman sebagaimana dialami oleh manusia. Menurut Husserl,
metode yang benar dari sebuah disiplin ilmu pengetahuan seharusnya follows the nature of the
things to be investigated and notour prejudices and preconceptions, dan tidak berdasarkan atas
prasangka-prasangka atau prekonsepsi-prekonsepsi kita mengenainya (1965: 102). Husserl
menambahkan, Fenomenologi tidak hanya harus menjadi psikologi deskriptif, tetapi juga harus
menjadi filsafat trasendental. Filsafat harus bersaing dengan ilmu pengetahuan positif dan tidak
hanya puas dengan spekulasi filosofis saja. Filsafat fenomenologi transcendental berupaya
menemukan struktur yang paling elementer, yang we, here and now, are always departing from and
which lead and make possible our perceiving ang knowing, speaking ang thinking, remembering
and expecting.. (Ijsseling, p.8-9).
Dalam tulisn Prof. Heddy, sumbangan Husserl yang lain adalah pandangannya tentang
natural attitude. Konsep inilah yang kemudian hari menghubungkan filsafat fenomenologi dengan
sosiologi. Husserl mengemukakan bahwa seorang Ego yang berada dalam situasi tertentu biasanya
menggunakan penalaran yang praktis, seperti dalam kehidupan sehari-hari. Ego tersebut tidak
mempertanyakan lagi secara rinci apa yang ada di sekitarnya. Dia menganggap apa yang
dihadapinya kemarin atau dulu (Phillipson, 1972: 127). Dengan perbedaan ini Husserl meletakkan
salah satu ide pokok yang kemudian dikembangkan oleh Alfred Schutz dan Harold Garfinkel dalam
etnometodologi. Di situ mereka menghubungkan attitude tersebut dengan bisa-tidaknya proses
interaksi social terjadi (Leiter, 1980: 40-44).
Alfred Schutz: Fenomenologi Untuk Sosiologi
Adalah salah seorang murid Husserl yang mencoba memasukkan ide-ide Husserl ke dalam
sosiologi, dan apa yang dilakukannya ternyata tidak sia-sia. Beliau matarantai penghubung filsafat
fenomenologi dari Husserl dengan sosiologi. Konsep intersubyektivitas misalnya, dikembangkan
lebih jauh. Pendapatnya bahwa bentuk dasar intersubyektivitas ini tidak lain adalah timbale-balik
perspektif, yang mencakup dua macam bentuk idealisasi, yakni interchangability of viewpoints dan
congruence of system of relevances (Phillpson), 1972: 125-126). Pertama, seorang Ego
beranggapan bahwa Ego dan orang lain akan mendapatkan pengalaman yang sama atas dunia
bersama. Ego berasumsi bahwa cara-cara memahami, mengalami dunia atau situasi yang
dihadapi akan sama dalam pergantian posisi semacam ini. Kedua, masalah yang perlu dipahami
adalah bagaimana si pelaku mendefinisikan situasi yang dihadapi. Schutz menambahkan, bahwa
unsure-unsur mana yang relevan dalam situasi bagi si pelaku ditentukan oleh biografi atau sejarah
hidupnya serta pilihannya atas berbagai kepentingan yang menyangkut dirinya. Relevansi dengan
msalah yang melibat si pelaku dan kepentingan-kepentingannya.
Selanjutnya, Schutz juga mengutarakan bahwa dalam proses interaksi social para pelaku di
situ harus mendefinisikan situasi yang dihadapi, termasuk di dalamnnya pelaku-pelaku lain. Di sini
para pelaku sadar atau tidak melakukan typification atau pemberian tipe atau ciri. Konsep
typification dari Schutz inilah yang memungkinkan aliran etnosains dan antropologi kognitif dalam
antropologi bertemu dengan sosiologi yang fenomenologis, sehingga etnosains dan antropologi
kognitif kemudian dapat dikatakan sebagai antropologi yang fenomenologis. Dalam etnosains dan
antropologi kognitif tidak digunakan konsep typification.
Harold Garfinkel dan Etnometodologi
Sosok yang memunculkan pendekatan baru dalam sosiologi, yakni etnometodologi. Sebuah
istilah dari salah satu sumber inspirasi pendekatanm baru ini, yakni antropologi social-budaya,
khususnya yang mempelajari gejala-gejala social-budaya melalui sudut pandang pelaku. Sejarah
etnometodologi dimulai dari sebuah rekaman analisis percakapan di antara para juri dan
pertimbangan-pertimbangan yang mereka berikan. Metodologi para juri yang menjadi perhatian

Garfinkel. Pengertian metodologi di sini sangat berbeda dengan arti yang biasa diberikan oleh ahliahli sosiologi pada konsep tersebut. Beliau peroleh dari sewaktu menggunakan data cross-cultural
area dari Universitas Yale. Dia temukan berbagai istilah yang dipakai dalam antropologi, seperti
etnobotani, etnofisiologi, etnofarmakologi dan sebagainya. Awalan etno oleh Garfinkel dimaknai
sebagai the availability to a member of commonsense knowledge of his society as commonsense
knowledge of the whatever (Garfinkel, 1974: 16). Etnometodologi adalah members methods of
making sense of their social world (Wallace, 1980: 263). Pendekatannya selalu mempersoalkan
hal-hal yang biasanya tidak dianggap sebagai persoalan oleh orang-orang dalam kehidupan mereka
sehari-hari atau hal-hal yang dianggap sudah sebagaimana adanya, yang membuat mereka dapat
pula memahami dunia mereka.
Sosiologi Fenomenologis
Husserl juga memunculkan aliran baru dalam sosiologi, yang biasanya disebut sebagai aliran
Konstruksionis, dengan tokoh pentingnya Peter Berger dan Thomas Luckmann. Kedua orang
tersebut lebih tertarik pada persoalan terbangunnya kenyataan-kenyataan (bukan dalam artian
empiris, tetapi fenomenologi) dlam kehidupan social manusia. Kenyataan yang dianggap obyektidf
ini, yang tidak diragukan lagi kebenarannya, dan merupakan common sense dalam kehidupan
manusia, ingin dicari dasar-dasarnya oleh kedua orang tersebut. Secara fenomenologis kenyataan
tidak lagi didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat empiris. Kenyataan empiris hadir dalam
kehidupan manusia tidak sebagaimana adanya, tetapi lewat tirai consciousness, tirai kesadaran.
Bahwa pandangan kedua orang ini, mengenai kenyataan sebagai produk dari proses interaksi social
inilah yang kini mengilhami banyak kajian yang fenomenologis dalam sosiologi.
Antropologi Fenomenologi
Beberapa ahli antropologi berpendapat bahwa antropologi dengan nuanssa fenomenologi
sebenarnya sudah cukup lama hadir (lihat Laughlin, 1996), dan sekarang malahan tengah
mengalami perubahan orientasi atau arah kajian (lihat Jackson, 1996). Menurut pendapat Prof.
Heddy bahwa antropologi sebenarnya belum begitu lama dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi,
dan ketika pengaruh ini masuk yang terjadi adalah penguatan kembali tradisi penelitian lapangan
yang memang sudah lama ada dalam antropologi. Beliau menambahkan, bahwa masuknya
pengaruh filsafat fenomenologi dalam antropologi telah memperkuat landasan filosofis,
epistemologis dari salah satu aliran dalam antropologi yang memusatkan kajiannya pada sisi
pengetahuan atau sisi kognitif dari kehidupan manusia, yakni Ethnoscience (Etnosains). Etnosains
sendiri muncul dari antropologi bukan karena pengaruh filsafat fenomenologi, tetapi karena
beberapa masalah yang ada dalam etnografi-etnografi ketiga etnografi-etnografi tersebut akan
digunakan sebagai bahan utama untuk melakukan studi perbandingan kebudayaan (lihat AhimsaPutra, 1985). Salah satu cara yang diusulkan guna mengatasi masalah-masalah tersebut adalah
antropologi perlu menggunakan model atau analogi yang berbeda dalam penelitiannya.
Mendeskripsikan kebudayaan pada dasarnya adalah sama dengan mendeskripsikan bahasa,
maka kebudayaan kemudian tidak lagi dapat mencakup hal-hal yang bersifat fisik. Kebudayaan
tidak lain adalah juga seperangkat aturan-aturan untuk berperilaku, untuk melakukan komunikasi
dengan individu-individu lain dalam masyarakat. Goodenough kemudian mendefinisikan
kebudayaan sebagai hal-hal yang harus diketahui oleh seseorang agar dia dapat menjelankan
peran dalam masyarakat dengan baik dan benar. Kebudayaan tidak lain adalah perangkat
pengetahuan, yang merupakan hasil dari proses belajar. Bahwa kesadaran yang menjadi bahan
kajian antropologi bukanlah kesadaran individual, sebab jika itu yang terjadi maka antropologi tidak
akan berbeda dengan psikologi. Antrropologi social-budaya tidak meneliti gejala-gejala yang
individual sifatnya, tetapi yang social, yang melibatkan banyak orang atau mencakup banyak orang.
Pengertian kesadaran seperti dalam kesadaran kolektif inilah yang dapat menghubungkan
antropologi dengan filsafat fenomenologi. Makna konsep kesadaran kolektif yang dikemukakan
oleh Durkheim ternyata mirip atau sama dengan makna konsep kebudayaan dalam antropologi
(Koentjaraningrat, 1980).

Makna konsep yang paling fenomenologis adalah kebudayaan sebagai perangkat


pengetahuan, seperti yang telah didefinisikan oleh Goodenough, yang kemudian memunculkan
aliran Etnosains. Prof. Heddy mengatakan bahwa aliran Etnosains dalam antropologi adalah
antropologi yang fenomenologis. Pendapat diatas diperkuat dengan fakta bahwa etnometodologi
sebagai sosiologi yang fenomenologi-, menggunakan prefix atau awalan etno- sebagaimana
halnya etnosains. Awalan etno- menunjukkan penekanan pada pentingnya pandangan-pandangan,
pemahaman-pemahaman pelaku atas dunia mereka sendiri bagi sosiologi dan antropologi.
Selanjutnya, salah satu topic penting yang muncul dalam sosiologi fenomenologis (yang berasal
dari Alfred Schutz) adlah typification, dan topic ini dalam etnosains tidak lain adalah klasifikasi
atau kategorisasi.
Mengapa Fenomenologi Gender
Menurut Prof. Heddy terhadap peneliti Fenomenologi gender bahwa yang ingin diketahui
dari si peneliti adalah pandangan di kalangan ulama perempuan Islam mengenai kesadaran
gender. Tentu, para ulama perempuan ini tidak selalu tahu dan sadar mengenai persoalan
ketimpangan dan kesataraan gender ini. Sebagian tahu atau sebagian lagi tidak mau tahu. Pada
banyak penelitian, persoalan ketimpangan dan kesataraan gender lebih merupakan persoalan para
peneliti daripada persoalan para pelaku.
Prof. Heddy juga mengutarakan bahwa bukan hal mudah bagi Hamdanah untuk
melaksanakan penelitian tersebut karena ini masih termasuk hal yang baru. Oleh karena itulah disini
kita bisa melihat bahwa penggunaan perspektif pelaku atau tineliti (pihak yang diteliti) di sini hanya
dapat dilakukan separo saja, tidak full. Mengapa?, pertama, penggunaan perspektif tineliti secara
full membutuhkan partisipasi dan observasi yang lebih lama. Kedua, masalah gender belum tentu
merupakan sebuah masalah dalam kehidupan masyarakat yang ditelilti, sehingga mengandalkan
pandangan tineliti saja dalam mengkaji masalah ini belum tentu akan berhasil menngungkapkan
hal-hal yang berkaitan dengan masalah gender yang ingin diteliti. Ditambahkan lagi oleh beliau,
bahwa kajian buku ini menggunakan perspektif fenomenologi, karena peneliti masih memfokuskan
pada pandangan dari pelaku. Hamdanah juga menggunakan pedoman atau indicator yang telah
disusun oleh peneliti Barat untuk dapat menentukan ada-tidaknya kesetaraan dan ketimpangan
relasi gender dalam masyarkat yang diteliti.
Si peneliti dapat mengungkapkan pandangan-pandangan ulama perempuan mengenai hal-hal
yang dipandang ideal, yang seharusnya berkenaan dengan interaksi dan relasi antara laki-laki dan
perempuan, antara suami dan istri, dan kemudian menempatkan pandangan-pandangan tersebut
sebagai hasil utama penelitian dan sebagai titik fokusanalisis. Menurut Prof. Heddy, Hamdanah
telah berhasil melakukannya dengan baik. Kelemahannya hanyalah bahwa seluruh potensi analisis
fenomenolgis dapat dimanfaatkannya di sini. Menurut Prof. Heddy, alasan Ha,mdanah memilih
kajian fenomenologi karena pertama, kajian tersebut jarang digunakan di Indonesia sekalipun ada
akan tetapi penggunaannya masih belum tepat. Kedua, bahwa dalam Islam pandangan ulama lakilakilah yang pada umumnya dijadikan rujukan oleh umat Islam, laki maupun perempuan Hamdanah
mungkin termasuk salah seorang yang tidak bersedia menerima anggapan ini begitu saja.
Beberapa Catatan Metodologis
Prof. Heddy menjelaskan hasil penelitian buku ini agar tidal menimbulkan kekeliruan. Yang
pertama, adanya table-table yang-bagi mereka yang kurang teliti dan paham tentang metodologi
penelitian- menberi kesan bahwa peneliti di sini memakai metode penelitian kuantitatif. Berbeda
dengan table yang biasa ditemui dalm analisis statistic, karena table disini tidak menunjukkan
angka-angka tetapi pola-pola pandangan yang diikuti oleh para informan (ulama) yang berhasil
diwawancara secara mendalam. Table berupa tanda bukan angka, jadi cara membacanya harus
berbeda dengan angka statistic. Table tersebut bukanlah kuantitatif tetapi table kualitatif yang
menunjukkan ciri, kategori atau isi pandangan informan. Dikatakan bahwa ulama perempuan dari
organisasi Islam tertentu berpendapat bahwa seorang perempuan sebaiknya tidak menolak ajakan
suaminya untuk melakukan hubungan seksual walaupun dia sedang capek, karena penolakan si

perempuan akan merugikan perempuan itu sendiri.


Ulama perempuan yang lain berpendapat sebaliknya, tidak apa-apa bagi perempuan
menolak ajakan suami, kalau memang dia sedang capek atau tidak selera untuk melayani suami.
Sedang ulama lain, ada lagi menganut pandangan yang seolah-olah berada di antara dua kutub
pandangan sebelumnya. Jadi menurut Prof. Heddy, ada tiga kategori pandangan yang berlainan.
Perbedaan ini merupakan perbedaan kualitatif bukan kuantitatif. Prof. Heddy juga mengatakan
bahwa secara metodologis sudah tepat, namun kalau kemudian dinilai melalui perspektif
epistemologis yang berbeda tentu akan muncul kesangsian. Beberapa asumsi yang mendasari
penggunaan sejumlah kecil individu sebagai narasumber dalam sebuah penelitian social-budaya.
Penelitian kualitatif di sini harus diartikan sebagai penelitian ditujukan untuk mendapatkan data
kualitatif, data berupa pernyataan-pernyataan. Kemudian digunakan untuk mendeskripsikan adanya
pola-pola tertentu dalam masyarakat dan kebudayaan yang diteliti, karena tujuan akhir dari
penelitian seperti ini adalah memaparkan, menggambarkan pola-pola yang ada dilapangan. Polapola tersebut dimiliki bersama, bersifat intersubyektif. Pola-pola tersebut bersifat social, kolektif,
tidak individual.
Analogi, model atau perumpamaan yang paling tepat adalah di sini bahasa. Fenomena
bahasa pola-pola di atas tidak lain adalah tata bahasa, dan sebagaimana kita ketahui tidak semua
orang dapat menjelaskan seluk-beluk tata bahasa ini, meskipun mereka dapat menggunakan bahasa
itu sendiri dengan sangat baik, sangat fasih dan cepat. Dalam mempelajari sebuah bahasa orang
tidak perlu menggunakan banyak informan. Bahkan satu informan saja mungkin sudah cukup,
asalkan informan ini mampu memberikan informasi yang banyak dan rinci tentang tata bahasa dari
bahasa tersebut. Perubahan-perubahan dalam bahasa dalam waktu yang cepat, adalah perubahan
pada tataran makna, semantic, bukan pada tataran tata-bahasa. Aturan-aturan, cara-cara dalam
berbahasa yang kita pelajari tidak lain adalah pola-paola, keteraturan-keteraturan, keterulanganketerulangan (regularity), bukan opini yang bersifat subyektif.
Sumbangan Penting
Paparan Prof. Heddy, merupakan sumbangan penting bagi perkembangan ilmu socialbudaya di Indonesia. Pertama, kajian ini menggunakan persspektif ilmu social-budaya yang relative
jarang digunakan oleh peneliti gender di Indonesia. Munculnya kajian gender dengan paradigm
yang lebih fenomenologis merupakan sebuah angin segar (jika tidak dapat diakatakan sebagai
terobosan). Apa yang disajikan Hamdanah merupakan salah satu contoh bagaimana data kualitatif
dianalisis (walaupun masih belum optimal) dan bagaimana hasil analisis tersebut disajikan dalam
sebuah penelitian. Adalah menjadi tugas ilmuwan social-budaya lain di Indonesia untuk
memberikan finishing taouch guna menyempurnakan hasil yang telah dicapai oleh Hamdanah.
Contoh penerapan pendekatan antropologis fenomenologis ini merupakan sumbangan kedua yang
penting dari buku ini. Penggunaan paradigm baru merupakan sumbangan ketiga dari buku ini.
Dengan perspektif antropologis-fenomenologis Hamdanah berhasil menyodorkan pada kita temuantemuan empiris baru yang penting bagi upaya memahami fenomena ketimpangan gender, terutama
yang ada dalam masyarakat Jember di Jawa Timur, yang masyarakatnya dikenal sangat
menghormati para pemuka agama Islam.
Hamdanah menunjukkan bahwa di kalangan ulama perempuan ternyata tidak atau belum
terdapat kesamaan-kesamaan pandangan berkenaan dengan beberapa indicator kesetaraan gender.
Sekalipun ada, kesamaan-kesamaan tampaknya hal itu kebetulan daripada karena kesadaran sebagai
sesame ulama perempuan. Kesamaan-kesamaan inipun tidak terlihat korelasinya dengan organisasi
Islam tempat para ulama perempuan tersebut bernaung. Banyak orang tidak tahu mengenai
heterogenitas pandangan di kalangan para ulama ini (baik ulama laki-laki maupun perempuan).
Banyak orang beranggapan bahwa para ulama memiliki pandangan-pandangan yang kurang lebih
sama. Hasil penelitian Hamdanah di sini merontokkan anggapan-anggapan tersebut, sekaligus juga
mengungkapkan isi pandangan-pandangan ulama yang berbeda-beda tersebut.
Beberapa pemaparan Prof. Heddy mengenai sumbangan buku ini secara praktis, ditujukan untuk
membangun sebuah masyarakat yang lebih sadar gender atau masyarakat yang lebih setara

gender. Salah satu asumsi penting dari penelitian antropologis fenomenologis di sini adalah bahwa
perilaku manusia diatur, dibimbing oleh pengetahuan, pemahaman manusia mengenai situasi dan
kondisi yang dihadapinya. Dengan mengungkap pandangan para ulama perempuan mengenai
berbagai topic yang merupakan indicator dari timpang-seteranya relasi gender dalam suatu
masyarakat Hamdanah telah menunjukkan kepada kita pandangan-pandangan penting yang
mendasari hubungan social laki-permpuan dlam masyarakat Jember, yang dimilikinya maka upaya
menciptakan masyarakat yang lebih setara gender dapat dilakukan dengan mengubah isi
pengetahuan yang mendasari berbagai perilaku yang menunjukkan adanya ketimpangan dalam
relasi gender. Akhir kata, Prof. Heddy menegaskan pandangan-pandangan para ulama perempuan
di sini akan dapat memudahkan upaya-upaya untuk membangun sebuah masyarakat yang setara
gender, sadar gender, dan peka gender.
Etnosains Dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan
Menurut Goodenough (1964: 7-9) ada tiga masalah pokok, pertama mengenai
ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh perbedaan minat dikalangan ahli antropologi
sendiri. Kedua, masalah sifat data itu sendiri, artinya sebarapa jauh data yang tersedia benar-benar
dapat dibandingkan atau seberapa jauh data tersebut bisa dikatakan melukiskan gejala yang sama
dari masyarakat yang berbeda, mengingat para ahli antropologi sendiri menggunakan metode yang
berbeda-beda,dlam mendapatkan data tersebut, disamping tujuan mereka yang berlainan pula.
Ketiga, menyangkut soal klasifikasi. Agar data dapat dibandingkan biasanya diadakan
pengklasifikasiaan terlebih dulu, dan di sini diperlukan criteria lagi yang rupanya antara ahli
antropologi sendiri juga terdapat perbedaan. Dalam cabang ilmu ini dikenal dua cara penulisan
bunyi bahasa, yaitu secara fonemik dan fonetik. Fonemik menggunakan cara penulisan bunyi
bahasa menurut cara yang digunakan oleh si pemakai bahasa sedang fonetik adalah sebaliknya,
yakni memakai symbol-simbol bunyi bahasa yang ada pada si peneliti (ahli bahasa) atau alphabet
fonetia.
Etnometodologi
Dasar dari pendekatan ini dimulai dari filsafat fenomenologi dengan tokohnya Husserl. Ia
berusaha mengembangkan suatu fenomenologi transcendental, yang berbeda dengan fenomenologi
eksistensial. Kedua konsep ada kesamaan pada pusat perhatian soal kesadaran (consciousness).
Jadi usaha fenomenologi ini merupakan upaya untuk menggambarkan kesadaran manusia serta
bagaimana kesadaran tersebut terbentuk atau muncul. Hal ini juga tidak dipersoalkan apakah
kesadaran ini benar atau salah. Pandangan inilah yang menjadi salah satu landasan etnometodologi
(Leiter, 1980: 39). (sudah dibahas dalam tulisan pengantar sebelumnya).
Data dan Analisis
Paparan Prof. Heddy bahwa bagi etnosains yang penting adalah linguistic utterances
(Perchonock dan Werner, 1969: 229). Si peneliti akan bertanya apa yang dimaksud dengan gresek,
dan keterangan yang diperoleh mungkin berupa jawaban Gresek itu cari barang rongsokan. Tentu
saja peneliti tidak puas dengan jawaban ini dan bertanya lagi Apakah kertas juga termasuk barang
rongsokan?. Cara bertanya semacam inilah yang menjadi ciri khas Etnosains. Dengan pertanyaan
semacam ini akan didapatkan bermacam-macam kategori dan akhirnya si peneliti dpat mengetahui
bahwa yang termasuk barang rongsokan misalnya kaleng-kaleng bekas, sepatu bekas, potonganpotongan besi, mesin-mesin rusak sedang yang dimaksud dengan gresek bukan hanya mencari
barang rongsokan, melainkan benda-benda bekas yang sudah dibuang di tempat sampah.
Prof. Heddy juga menjelaskan dengan aliran ketiga dalam etnosains, metode yang digunakan tidak
berbeda jauh dengan metode yang pertama hanya saja perhatiannya diarahkan pada masalah yang
lain. Di sisi lain, jenis klasifikasi yang dicari juga jauh lebih banyak. Prof. Heddy juga mengurai
mengenai si peneliti bahwa su peneliti akan mengetahui kategorisasi wilayah atau tempat gresek
yang ternyata kemudian berkaitan dengan jenis barang yang digresek dengan penggreseknya
dengan strategi gresek serta kategorisasi-kategorisasi yang lain lagi. Berbagai kategorisasi

dikumpulkan dan kemudian dianalisis. Analisis ini menurut Prof. Heddy yang lebih dikenal dengna
istilah analisis komponen (Spradley, 1979: 174), bertujuan untuk mendapatkan attribute atau unsurunsur makna yang berhubungan dengan symbol-simbol budaya.
Dalam pengantar buku ini, Prof. Heddy menjelaskan beberapa cara menggunakan tema-tema
budaya (lihat Spradley). Pertama, yaitu setelah berhasil memperoleh berbagai macam kategorisasi
peneliti membaca kembali data tersebut. Kedua, dapat dilaksanakan dengan memperhatikan
dimensi-dimensi kontras tadi dan melihat persamaan yang ada antar berbagai dimensi kontras yang
berhasil diketahui. Ketiga, seorang peneliti dalam usahanya mendapatkan tema budaya tersebut
dapat dengan menganalisis secara mendlam suatu organizing domains yang tidak lain adalah system
kategori mengenai cara-cara atau langkah-langkah yang dijalankan oleh si informan dalam suatu
kegiatan tertentu. Keempat, yakni si peneliti menggambarkan hubungan-hubungan yang ada antar
berbagai bidang tertantu dari kebudayaan yang diteliti.
Ethnoscience yaitu system pengetahuan yang ada pada warga masyarakat atau kelompok
masyarakat tertentu dan bukan pola dari tingkah laku mereka. Tujuan etnometodologi adalah
mengetahui metode yang dipakai oleh manusia dalam making sense of their social world, yang
berarti cara orang menafsirkan atau menjelaskan dunia social mereka. Bahasa juga merupakan
sarana yang paling pokok untuk membangun intersubyektivitas dan mengkomunikasikan
kenyataan-kenyataan social dan makna-makna yang ada pada masing-masing pelaku.
Etnometodologi juga menekankan bahwa ekspresi atau pernyataan-pernyataan dari si pelaku
indeksikal sifatnya, yaitu tergantung pada konteks oleh karena itu penelitianatas bahasa tersebut
tidak dapat dikerjakan seperti halnya seorang ahli bahasa tetapi harus dalam konteks yang alami
(natural) (Phillipson, 1972: 140-141), dan si peneliti juga harus memperhatikan konteks-konteks di
mana pembicaraan tersebut berlangsung.
Perbandingan
Di sini Prof. Heddy mengurai, ada beberapa persamaan dan perbedaan antara etnosains dan
etnometodologi. Beberapa persamaan yang tampak antara lain yaitu kedua-duanya sama
menggunakan data bahasa atau pernyataan-pernyataan yang diucapkan oleh orang yang diteliti
sebagai bahan untuk dianalisis. Pernyataan-pernyataan ini dianggap mencerminkan pengetahuanpengetahuan atau ide-ide yang dimiliki oleh si pemakai bahasa. Baik etnosains maupun
etnometodologi tidak mempermasalahkan apakah pengetahuan tersebut salah atau benar menurut
criteria tertentu. Prof. Heddy membantah pernyataan Churchill, yang dalam membandingkan
etnosains dan etnometodologi, Churchill mengatakan bahwa,
ethnoscience suggest the existence of defective science. Primitives have these
quaint ideas about natural events that are simply wrong as shown by modern Western
science. However, ethnomethodology does not contain the same suggetstion of
defective methods when compared with scientific methods. Scientific methods are
not superior to everyday methods for the ethnomethodologist, they are simply one
kind of everyday methods among others. (Churcill, 1971: 183).
Bantahan Prof. Heddy, yang ketidak tahuan beliau mengenai dari mana Churcill sampai
pada pandangan yang sama sekali keliru ini. Yang pasti, pendapat tersebut menunjukkan bahwa
Churcill tidak mengatahui sama sekali apa yang dilakukan oleh etnosains beserta segala asumsi
dasarnya. Etnometodologi dan etnosains sama-sama terlibat dalam masalah relativisme budaya,
sebab keduanya tidak mengatakan bahwa satu kebudayaan lebih tinggi daripada kebudayaan lain.
Persamaan yang lain, etnometodologi dan sebagian ethnoscientist berusaha mendapatkan aturanaturan yang mendasari tingkah-laku manusia. Juga ada perbedaan karena etnometodologi juga
mencoba mendapatkan apa yang disebut basic rules dari interaksi manusia. Masalah mereka adalah
apa yang melatarbelakangi interaksi manusia dan bagaimana mereka menjelaskan gejala yang
dihadapi , selanjutnya etnosains dan etnometodologi juga mencoba menemukan prinsip-prinsip
yang universal. Etnometodologi menurut Psathas dapat mencapai hal ini karena bertitik-tolak dari

phenomenology di mana pendekatan yang digunakan adalah upaya mendapatkan essential


features dari gejala yang diamati. Ini berbeda dengan etnosains yang dasar berpijaknya tetap pada
tradisi antropologi, yaitu menggunakan metode perbandingan.
Persamaan yang lain, yakni bahwa keduanya berangkat dari asumsi yang sama tentang manusia
bahwa manusia pada dasarnya selalu memberikan makna terhadap gejala yang dihadapi karena itu
ilmu social juga harus memperhatikan aspek makna ini dalam penjelasan mereka tentang suatu
gejala social. Pemberian makna manusia dengan binatang oleh Psathas mengatakan:
Given this grounding in phenomenology (of Schuzt and others), the
ethnomethodologists approach to problems, it seems to me, is some what different
from that of the ethnoscientists. one contrast is that the former is directed more
towards problems of meaning in everday life situasion (Psathas, 1968: 513).
Prof. Heddy tidak sepakat dengan pemikiran Psathas, menurut beliau etnosains juga
menaruh perhatian terhadap makna dalam situasi kehidupan sehari-hari. Apa yang dikerjakan oleh
Goodenough, Spradley dan sebagainya tidak lain merupakan upaya untuk mengetahui berbagai arti
yang diberikan oleh para pelaku pada situasi dihadapan mereka, serta aturan-aturan yang dipakai
guna mewujudkan tingkah-laku dalam hidup sehari-hari. Jadi bagaimanapun dalam hal ini etnosains
tidak berbeda dengan etnometodologi, perbedaannya adalah bahwa etnosains lebih banyak
memperhatikan komponen-komponen yang ada dalam system pengetahuan si pelaku, sedang
etnometodologi seperti dikatakan Psathas sendiri lebih menyibukkan diri dengan usaha untuk
menemukan. Langkah selanjutnya adalah mencoba mencari relevansi dua pendekatan ini dengan
usaha membangun dan meningkatkan taraf hidup rakyat banyak di Indonesia.
Satu hal penting menurut Prof. Heddy adalah penekanan aliran ini pada aspek kognitif. Memang hal
ini bukan merupakan hal yang sama sekali baru dalam antropologi, namun dengan member tekanan
ekstra pada segi ini, orang kemudian akan lebih memperhatikan metode-metode untuk penelitiannya
serta pelukisannya, serta pengembangannya. Etnosains berangkat dari pandangan-pandangan atau
pemikiran-pemikiran yang ada pada masyarakat yang diteliti. Dia mencoba melihat lingkungan
dimana suatu masyarakat berada lewat kacamata masyarakat itu sendiri, mencoba menjelaskan
berbagai gejala social yang ada dengan memperhatikan juga penafsiran-penafsiran para pelakunya.
Pengetahuan mengenai system ide ini sangat penting bagi perencana pembangunan atau bagi usaha
memajukan masyarakat, sebab pada hakikatnya pembangunan menuntut juga adanya perubahan
sikap dan tindakan dalam menanggapi lingkungan dan perubahan ini tidak mudah terjadi tanpa
adanya perubahan pada system pengetahuan lebih dulu yang merupakan landasan terwujudnya
sikap atau tindakan tertentu.
***

Anda mungkin juga menyukai