Dalam pengamatan Husserl, psikologi naturalistic, yang mengikuti cara-cara dalam ilmuilmu alam seperti halnya sosiologi- telah gagal mengetahui keterbatasan-keterbatasannya, karena
psikologi seperti telah kehilangan sense atau rasa dari gejala yang dipelajarinya. Metodemetode dipandang tidak tepat karena metode dan konsep yang berkembang di dalamnya telah
mengabaikan fenomena pengalaman sebagaimana dialami oleh manusia. Menurut Husserl,
metode yang benar dari sebuah disiplin ilmu pengetahuan seharusnya follows the nature of the
things to be investigated and notour prejudices and preconceptions, dan tidak berdasarkan atas
prasangka-prasangka atau prekonsepsi-prekonsepsi kita mengenainya (1965: 102). Husserl
menambahkan, Fenomenologi tidak hanya harus menjadi psikologi deskriptif, tetapi juga harus
menjadi filsafat trasendental. Filsafat harus bersaing dengan ilmu pengetahuan positif dan tidak
hanya puas dengan spekulasi filosofis saja. Filsafat fenomenologi transcendental berupaya
menemukan struktur yang paling elementer, yang we, here and now, are always departing from and
which lead and make possible our perceiving ang knowing, speaking ang thinking, remembering
and expecting.. (Ijsseling, p.8-9).
Dalam tulisn Prof. Heddy, sumbangan Husserl yang lain adalah pandangannya tentang
natural attitude. Konsep inilah yang kemudian hari menghubungkan filsafat fenomenologi dengan
sosiologi. Husserl mengemukakan bahwa seorang Ego yang berada dalam situasi tertentu biasanya
menggunakan penalaran yang praktis, seperti dalam kehidupan sehari-hari. Ego tersebut tidak
mempertanyakan lagi secara rinci apa yang ada di sekitarnya. Dia menganggap apa yang
dihadapinya kemarin atau dulu (Phillipson, 1972: 127). Dengan perbedaan ini Husserl meletakkan
salah satu ide pokok yang kemudian dikembangkan oleh Alfred Schutz dan Harold Garfinkel dalam
etnometodologi. Di situ mereka menghubungkan attitude tersebut dengan bisa-tidaknya proses
interaksi social terjadi (Leiter, 1980: 40-44).
Alfred Schutz: Fenomenologi Untuk Sosiologi
Adalah salah seorang murid Husserl yang mencoba memasukkan ide-ide Husserl ke dalam
sosiologi, dan apa yang dilakukannya ternyata tidak sia-sia. Beliau matarantai penghubung filsafat
fenomenologi dari Husserl dengan sosiologi. Konsep intersubyektivitas misalnya, dikembangkan
lebih jauh. Pendapatnya bahwa bentuk dasar intersubyektivitas ini tidak lain adalah timbale-balik
perspektif, yang mencakup dua macam bentuk idealisasi, yakni interchangability of viewpoints dan
congruence of system of relevances (Phillpson), 1972: 125-126). Pertama, seorang Ego
beranggapan bahwa Ego dan orang lain akan mendapatkan pengalaman yang sama atas dunia
bersama. Ego berasumsi bahwa cara-cara memahami, mengalami dunia atau situasi yang
dihadapi akan sama dalam pergantian posisi semacam ini. Kedua, masalah yang perlu dipahami
adalah bagaimana si pelaku mendefinisikan situasi yang dihadapi. Schutz menambahkan, bahwa
unsure-unsur mana yang relevan dalam situasi bagi si pelaku ditentukan oleh biografi atau sejarah
hidupnya serta pilihannya atas berbagai kepentingan yang menyangkut dirinya. Relevansi dengan
msalah yang melibat si pelaku dan kepentingan-kepentingannya.
Selanjutnya, Schutz juga mengutarakan bahwa dalam proses interaksi social para pelaku di
situ harus mendefinisikan situasi yang dihadapi, termasuk di dalamnnya pelaku-pelaku lain. Di sini
para pelaku sadar atau tidak melakukan typification atau pemberian tipe atau ciri. Konsep
typification dari Schutz inilah yang memungkinkan aliran etnosains dan antropologi kognitif dalam
antropologi bertemu dengan sosiologi yang fenomenologis, sehingga etnosains dan antropologi
kognitif kemudian dapat dikatakan sebagai antropologi yang fenomenologis. Dalam etnosains dan
antropologi kognitif tidak digunakan konsep typification.
Harold Garfinkel dan Etnometodologi
Sosok yang memunculkan pendekatan baru dalam sosiologi, yakni etnometodologi. Sebuah
istilah dari salah satu sumber inspirasi pendekatanm baru ini, yakni antropologi social-budaya,
khususnya yang mempelajari gejala-gejala social-budaya melalui sudut pandang pelaku. Sejarah
etnometodologi dimulai dari sebuah rekaman analisis percakapan di antara para juri dan
pertimbangan-pertimbangan yang mereka berikan. Metodologi para juri yang menjadi perhatian
Garfinkel. Pengertian metodologi di sini sangat berbeda dengan arti yang biasa diberikan oleh ahliahli sosiologi pada konsep tersebut. Beliau peroleh dari sewaktu menggunakan data cross-cultural
area dari Universitas Yale. Dia temukan berbagai istilah yang dipakai dalam antropologi, seperti
etnobotani, etnofisiologi, etnofarmakologi dan sebagainya. Awalan etno oleh Garfinkel dimaknai
sebagai the availability to a member of commonsense knowledge of his society as commonsense
knowledge of the whatever (Garfinkel, 1974: 16). Etnometodologi adalah members methods of
making sense of their social world (Wallace, 1980: 263). Pendekatannya selalu mempersoalkan
hal-hal yang biasanya tidak dianggap sebagai persoalan oleh orang-orang dalam kehidupan mereka
sehari-hari atau hal-hal yang dianggap sudah sebagaimana adanya, yang membuat mereka dapat
pula memahami dunia mereka.
Sosiologi Fenomenologis
Husserl juga memunculkan aliran baru dalam sosiologi, yang biasanya disebut sebagai aliran
Konstruksionis, dengan tokoh pentingnya Peter Berger dan Thomas Luckmann. Kedua orang
tersebut lebih tertarik pada persoalan terbangunnya kenyataan-kenyataan (bukan dalam artian
empiris, tetapi fenomenologi) dlam kehidupan social manusia. Kenyataan yang dianggap obyektidf
ini, yang tidak diragukan lagi kebenarannya, dan merupakan common sense dalam kehidupan
manusia, ingin dicari dasar-dasarnya oleh kedua orang tersebut. Secara fenomenologis kenyataan
tidak lagi didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat empiris. Kenyataan empiris hadir dalam
kehidupan manusia tidak sebagaimana adanya, tetapi lewat tirai consciousness, tirai kesadaran.
Bahwa pandangan kedua orang ini, mengenai kenyataan sebagai produk dari proses interaksi social
inilah yang kini mengilhami banyak kajian yang fenomenologis dalam sosiologi.
Antropologi Fenomenologi
Beberapa ahli antropologi berpendapat bahwa antropologi dengan nuanssa fenomenologi
sebenarnya sudah cukup lama hadir (lihat Laughlin, 1996), dan sekarang malahan tengah
mengalami perubahan orientasi atau arah kajian (lihat Jackson, 1996). Menurut pendapat Prof.
Heddy bahwa antropologi sebenarnya belum begitu lama dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi,
dan ketika pengaruh ini masuk yang terjadi adalah penguatan kembali tradisi penelitian lapangan
yang memang sudah lama ada dalam antropologi. Beliau menambahkan, bahwa masuknya
pengaruh filsafat fenomenologi dalam antropologi telah memperkuat landasan filosofis,
epistemologis dari salah satu aliran dalam antropologi yang memusatkan kajiannya pada sisi
pengetahuan atau sisi kognitif dari kehidupan manusia, yakni Ethnoscience (Etnosains). Etnosains
sendiri muncul dari antropologi bukan karena pengaruh filsafat fenomenologi, tetapi karena
beberapa masalah yang ada dalam etnografi-etnografi ketiga etnografi-etnografi tersebut akan
digunakan sebagai bahan utama untuk melakukan studi perbandingan kebudayaan (lihat AhimsaPutra, 1985). Salah satu cara yang diusulkan guna mengatasi masalah-masalah tersebut adalah
antropologi perlu menggunakan model atau analogi yang berbeda dalam penelitiannya.
Mendeskripsikan kebudayaan pada dasarnya adalah sama dengan mendeskripsikan bahasa,
maka kebudayaan kemudian tidak lagi dapat mencakup hal-hal yang bersifat fisik. Kebudayaan
tidak lain adalah juga seperangkat aturan-aturan untuk berperilaku, untuk melakukan komunikasi
dengan individu-individu lain dalam masyarakat. Goodenough kemudian mendefinisikan
kebudayaan sebagai hal-hal yang harus diketahui oleh seseorang agar dia dapat menjelankan
peran dalam masyarakat dengan baik dan benar. Kebudayaan tidak lain adalah perangkat
pengetahuan, yang merupakan hasil dari proses belajar. Bahwa kesadaran yang menjadi bahan
kajian antropologi bukanlah kesadaran individual, sebab jika itu yang terjadi maka antropologi tidak
akan berbeda dengan psikologi. Antrropologi social-budaya tidak meneliti gejala-gejala yang
individual sifatnya, tetapi yang social, yang melibatkan banyak orang atau mencakup banyak orang.
Pengertian kesadaran seperti dalam kesadaran kolektif inilah yang dapat menghubungkan
antropologi dengan filsafat fenomenologi. Makna konsep kesadaran kolektif yang dikemukakan
oleh Durkheim ternyata mirip atau sama dengan makna konsep kebudayaan dalam antropologi
(Koentjaraningrat, 1980).
gender. Salah satu asumsi penting dari penelitian antropologis fenomenologis di sini adalah bahwa
perilaku manusia diatur, dibimbing oleh pengetahuan, pemahaman manusia mengenai situasi dan
kondisi yang dihadapinya. Dengan mengungkap pandangan para ulama perempuan mengenai
berbagai topic yang merupakan indicator dari timpang-seteranya relasi gender dalam suatu
masyarakat Hamdanah telah menunjukkan kepada kita pandangan-pandangan penting yang
mendasari hubungan social laki-permpuan dlam masyarakat Jember, yang dimilikinya maka upaya
menciptakan masyarakat yang lebih setara gender dapat dilakukan dengan mengubah isi
pengetahuan yang mendasari berbagai perilaku yang menunjukkan adanya ketimpangan dalam
relasi gender. Akhir kata, Prof. Heddy menegaskan pandangan-pandangan para ulama perempuan
di sini akan dapat memudahkan upaya-upaya untuk membangun sebuah masyarakat yang setara
gender, sadar gender, dan peka gender.
Etnosains Dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan
Menurut Goodenough (1964: 7-9) ada tiga masalah pokok, pertama mengenai
ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh perbedaan minat dikalangan ahli antropologi
sendiri. Kedua, masalah sifat data itu sendiri, artinya sebarapa jauh data yang tersedia benar-benar
dapat dibandingkan atau seberapa jauh data tersebut bisa dikatakan melukiskan gejala yang sama
dari masyarakat yang berbeda, mengingat para ahli antropologi sendiri menggunakan metode yang
berbeda-beda,dlam mendapatkan data tersebut, disamping tujuan mereka yang berlainan pula.
Ketiga, menyangkut soal klasifikasi. Agar data dapat dibandingkan biasanya diadakan
pengklasifikasiaan terlebih dulu, dan di sini diperlukan criteria lagi yang rupanya antara ahli
antropologi sendiri juga terdapat perbedaan. Dalam cabang ilmu ini dikenal dua cara penulisan
bunyi bahasa, yaitu secara fonemik dan fonetik. Fonemik menggunakan cara penulisan bunyi
bahasa menurut cara yang digunakan oleh si pemakai bahasa sedang fonetik adalah sebaliknya,
yakni memakai symbol-simbol bunyi bahasa yang ada pada si peneliti (ahli bahasa) atau alphabet
fonetia.
Etnometodologi
Dasar dari pendekatan ini dimulai dari filsafat fenomenologi dengan tokohnya Husserl. Ia
berusaha mengembangkan suatu fenomenologi transcendental, yang berbeda dengan fenomenologi
eksistensial. Kedua konsep ada kesamaan pada pusat perhatian soal kesadaran (consciousness).
Jadi usaha fenomenologi ini merupakan upaya untuk menggambarkan kesadaran manusia serta
bagaimana kesadaran tersebut terbentuk atau muncul. Hal ini juga tidak dipersoalkan apakah
kesadaran ini benar atau salah. Pandangan inilah yang menjadi salah satu landasan etnometodologi
(Leiter, 1980: 39). (sudah dibahas dalam tulisan pengantar sebelumnya).
Data dan Analisis
Paparan Prof. Heddy bahwa bagi etnosains yang penting adalah linguistic utterances
(Perchonock dan Werner, 1969: 229). Si peneliti akan bertanya apa yang dimaksud dengan gresek,
dan keterangan yang diperoleh mungkin berupa jawaban Gresek itu cari barang rongsokan. Tentu
saja peneliti tidak puas dengan jawaban ini dan bertanya lagi Apakah kertas juga termasuk barang
rongsokan?. Cara bertanya semacam inilah yang menjadi ciri khas Etnosains. Dengan pertanyaan
semacam ini akan didapatkan bermacam-macam kategori dan akhirnya si peneliti dpat mengetahui
bahwa yang termasuk barang rongsokan misalnya kaleng-kaleng bekas, sepatu bekas, potonganpotongan besi, mesin-mesin rusak sedang yang dimaksud dengan gresek bukan hanya mencari
barang rongsokan, melainkan benda-benda bekas yang sudah dibuang di tempat sampah.
Prof. Heddy juga menjelaskan dengan aliran ketiga dalam etnosains, metode yang digunakan tidak
berbeda jauh dengan metode yang pertama hanya saja perhatiannya diarahkan pada masalah yang
lain. Di sisi lain, jenis klasifikasi yang dicari juga jauh lebih banyak. Prof. Heddy juga mengurai
mengenai si peneliti bahwa su peneliti akan mengetahui kategorisasi wilayah atau tempat gresek
yang ternyata kemudian berkaitan dengan jenis barang yang digresek dengan penggreseknya
dengan strategi gresek serta kategorisasi-kategorisasi yang lain lagi. Berbagai kategorisasi
dikumpulkan dan kemudian dianalisis. Analisis ini menurut Prof. Heddy yang lebih dikenal dengna
istilah analisis komponen (Spradley, 1979: 174), bertujuan untuk mendapatkan attribute atau unsurunsur makna yang berhubungan dengan symbol-simbol budaya.
Dalam pengantar buku ini, Prof. Heddy menjelaskan beberapa cara menggunakan tema-tema
budaya (lihat Spradley). Pertama, yaitu setelah berhasil memperoleh berbagai macam kategorisasi
peneliti membaca kembali data tersebut. Kedua, dapat dilaksanakan dengan memperhatikan
dimensi-dimensi kontras tadi dan melihat persamaan yang ada antar berbagai dimensi kontras yang
berhasil diketahui. Ketiga, seorang peneliti dalam usahanya mendapatkan tema budaya tersebut
dapat dengan menganalisis secara mendlam suatu organizing domains yang tidak lain adalah system
kategori mengenai cara-cara atau langkah-langkah yang dijalankan oleh si informan dalam suatu
kegiatan tertentu. Keempat, yakni si peneliti menggambarkan hubungan-hubungan yang ada antar
berbagai bidang tertantu dari kebudayaan yang diteliti.
Ethnoscience yaitu system pengetahuan yang ada pada warga masyarakat atau kelompok
masyarakat tertentu dan bukan pola dari tingkah laku mereka. Tujuan etnometodologi adalah
mengetahui metode yang dipakai oleh manusia dalam making sense of their social world, yang
berarti cara orang menafsirkan atau menjelaskan dunia social mereka. Bahasa juga merupakan
sarana yang paling pokok untuk membangun intersubyektivitas dan mengkomunikasikan
kenyataan-kenyataan social dan makna-makna yang ada pada masing-masing pelaku.
Etnometodologi juga menekankan bahwa ekspresi atau pernyataan-pernyataan dari si pelaku
indeksikal sifatnya, yaitu tergantung pada konteks oleh karena itu penelitianatas bahasa tersebut
tidak dapat dikerjakan seperti halnya seorang ahli bahasa tetapi harus dalam konteks yang alami
(natural) (Phillipson, 1972: 140-141), dan si peneliti juga harus memperhatikan konteks-konteks di
mana pembicaraan tersebut berlangsung.
Perbandingan
Di sini Prof. Heddy mengurai, ada beberapa persamaan dan perbedaan antara etnosains dan
etnometodologi. Beberapa persamaan yang tampak antara lain yaitu kedua-duanya sama
menggunakan data bahasa atau pernyataan-pernyataan yang diucapkan oleh orang yang diteliti
sebagai bahan untuk dianalisis. Pernyataan-pernyataan ini dianggap mencerminkan pengetahuanpengetahuan atau ide-ide yang dimiliki oleh si pemakai bahasa. Baik etnosains maupun
etnometodologi tidak mempermasalahkan apakah pengetahuan tersebut salah atau benar menurut
criteria tertentu. Prof. Heddy membantah pernyataan Churchill, yang dalam membandingkan
etnosains dan etnometodologi, Churchill mengatakan bahwa,
ethnoscience suggest the existence of defective science. Primitives have these
quaint ideas about natural events that are simply wrong as shown by modern Western
science. However, ethnomethodology does not contain the same suggetstion of
defective methods when compared with scientific methods. Scientific methods are
not superior to everyday methods for the ethnomethodologist, they are simply one
kind of everyday methods among others. (Churcill, 1971: 183).
Bantahan Prof. Heddy, yang ketidak tahuan beliau mengenai dari mana Churcill sampai
pada pandangan yang sama sekali keliru ini. Yang pasti, pendapat tersebut menunjukkan bahwa
Churcill tidak mengatahui sama sekali apa yang dilakukan oleh etnosains beserta segala asumsi
dasarnya. Etnometodologi dan etnosains sama-sama terlibat dalam masalah relativisme budaya,
sebab keduanya tidak mengatakan bahwa satu kebudayaan lebih tinggi daripada kebudayaan lain.
Persamaan yang lain, etnometodologi dan sebagian ethnoscientist berusaha mendapatkan aturanaturan yang mendasari tingkah-laku manusia. Juga ada perbedaan karena etnometodologi juga
mencoba mendapatkan apa yang disebut basic rules dari interaksi manusia. Masalah mereka adalah
apa yang melatarbelakangi interaksi manusia dan bagaimana mereka menjelaskan gejala yang
dihadapi , selanjutnya etnosains dan etnometodologi juga mencoba menemukan prinsip-prinsip
yang universal. Etnometodologi menurut Psathas dapat mencapai hal ini karena bertitik-tolak dari