Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN

I.1.

Latar Belakang
Perkembangan dunia ke arah globalisasi di segala bidang kehidupan, yang

meliputi bidang politik, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya telah membawa
banyak dampak, baik positif maupun negatif. Globalisasi dapat memacu kemajuan
yang sangat pesat terhadap perkembangan suatu negara. Sebaliknya, globalisasi
akan dirasa memberikan dampak buruk bagi negara yang tidak memiliki kesiapan
dalam proses globalisasi. Globalisasi membawa konsekuensi yang cukup rumit
bagi setiap negara, terutama negara-negara berkembang, globalisasi menyebabkan
dunia menjadi tanpa batas, dan penyebab utama globalisasi saat ini adalah
kemajuan teknologi informasi, dan komunikasi (Latief, 2000;32).
Globalisasi ekonomi adalah salah satu proses yang dapat dilihat secara
nyata dan membawa dampak terhadap bidang kehidupan yang lain. Di bidang
ekonomi globalisasi sangat membutuhkan kesiapan suatu negara untuk
menerimanya, terlebih dukungan sumber daya manusia sebagai pelaku ekonomi,
terutama kemampuan untuk menerapkan teknologi. Globalisasi ekonomi
dimaksudkan sebagai proses terintegrasinya perekonomian negara-negara ke arah
masyarakat ekonomi dunia yang saling terkait, saling tergantung, dan saling
pengaruh mempengaruhi (Latief, 2000;48). Bertitik tolak dari fenomena diatas,
globalisasi ekonomi dapat melahirkan pasar global. Di samping melahirkan pasar

bebas, globalisasi ekonomi juga melahirkan kapitalisme, di mana menurut Pilliang


(2004;101) kecepatan komodifikasi kapitalisme, tak lain dari kecepatan
mengaitkan segala aspek kehidupan dengan perputaran uang. Waktu, ruang, uang,
dan kecepatan merupakan empat unsur yang tidak bisa dipisahkan dari wacana
kapitalisme global. Secara singkat kapitalisme adalah bagaimana modal dan
kapital dimanfaatkan untuk mengejar keuntungan.
Sejalan dengan perubahan tatanan politik di Indonesia yang mengarah
pada era demokratisasi serta perubahan tatanan dunia yang mengarah pada
gobalisasi, maka pembangunan sektor pertanian tetap dianggap terpenting dari
keseluruhan pembangunan ekonomi, apalagi semenjak sektor pertanian ini
menjadi penyelamat perekonomian nasional,

karena justru pertumbuhannya

meningkat. Sementara sektor lain pertumbuhannya negatif. Beberapa alasan yang


mendasari pentingnya pertanian di Indonesia ; 1) potensi sumberdayanya yang
besar dan beragam, 2) besarnya penduduk yang mengantungkan hidupnya pada
sektor ini dan 4) menjadi basis pertumbuhan di pedesaan. Potensi pertanian yang
besar namun sebagian besar dari petani banyak yang termasuk golongan miskin
adalah sangat ironis terjadi di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa
pemerintah bukan saja kurang memberdayakan petani tetapi sektor pertanian
keseluruhan.
Apalagi Indonesia yang wilayahnya membentang dari Sabang sampai
Merauke merupakan Negara Kepulauan. Di samping mempunyai kekayaan laut
yang melimpah, hasil tambang, dan juga memiliki tanah subur untuk pertanian
dan perkebunan. Tidak salah grup penyanyi Koesplus menciptakan lagu dengan

syair yang menyanjung kekakayaan alam dan kesuburan bumi pertiwi yang
dimiliki bangsa Indonesia. Seperti terdapat pada syair orang bilang tanah kita
tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Dari syair tongkat kayu dan
batu jadi tanaman menandakan betapa suburnya tanah air Indonesia. Berbagai
hasil bumi dari bercocok tanam, baik pada lahan basah (sawah) maupun lahan
kering (perkebunan) telah menghidupi rakyatnya, bahkan telah menjadi komoditi
yang diperjualbelikan. Selain beras sebagai makanan pokok yang dihasilkan dari
bercocok tanam padi juga ada palawija seperti jagung, kacang tanah dan kedelai.
Komoditi lainnya yang dibudidayakan di tanah persada Indonesia, dalam hal ini
diperkebunan lahan kering, adalah kopi, vanili, coklat, dan cengkeh.
Hasil pertanian dan perkebunan yang disebutkan tidak lepas dari peran
para petani, baik yang menggarap lahan basah maupun lahan kering. Akan tetapi,
keberadaan petani di Indonesia masih terpinggirkan. Kenyataan empiris sering
tidak sejalan dengan tataran teoretis, yaitu petani sangat berperan sebagai aset
bangsa yang menghidupi hajat hidup orang banyak, terutama dengan produksi
hasil pertanian baik beras, palawija, kopi, cengkeh, dan hasil pertanian lainnya.
Jasa yang begitu besar disumbangkan oleh petani tidaklah seimbang dengan
imbalan yang diterima oleh petani tersebut. Banyak petani yang terjepit karena
harga pupuk yang melambung, harga hasil panen yang anjlok tidak sesuai dengan
biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk biaya produksi.
Dalam rangka melindungi petani, khususnya petani cengkeh, pemerintah
melalui Inpres No.50 Tahun 1976 menetapkan kebijakan Tata Niaga Cengkeh.
Disusul kemudian Keppres No.8 Tahun 1980 yang menetapkan kebijakan harga

dasar dan pelaksanaan kegiatan penyanggaan cengkeh oleh PT Kerta Niaga.


Konon maksudnya, disamping melindungi petani petani juga untuk meningkatkan
peranan koperasi (KUD), serta menjamin tersedianya cengkeh bagi konsumen
yakni pabrik rokok kretek. Anjloknya harga cengkeh ini, juga melahirkan apa
yang dinamai Konsorsium Cengkeh Nasional (KCN) dan disusul Badan
Penyangga Pemasaran Cenkeh (BPPC) pada Desember 1990. Namun kebijakan
pemerintah menampung semua cengkeh yang diproduksi petani sejak tahun 1991
melalui BPPC, telah menimbulkan stok cengkeh nasional yang berlebihan secara
akumulatif. Stok cengkeh per 1 Januari 1995 misalnya mencapai 65.000 ton setiap
tahunnya.
Kebijakan pemerintah membentuk KCN dan BPPC itu, telah membuahkan
kritikan karena kemelut harga cengkeh terus berlanjut. Apalagi, dalam lembaga
itu ditenggarai jelas-jelas mengandung unsur monopoli. Buntutnya, KCN dan
BPPC pun dibubarkan dan tata niaga cengkeh dihapus. Perdagangan cengkeh
dikembaliakn ke pasar bebes sejalan dengan tuntutan dari Negara-negara anggota
WTO, seperti Mandagaskar dan Tanzania, agar Indonesia membuka impor
cengkehnya. Dihapusnya tata niaga (yang sebenarnya lebih cocok disebut
monopoli) cengkeh itu, langsung mendongkrak harga cengkeh. Secara pelan dan
pasti harga cengkeh terus meroket. Penyebab terus meroketnya harga cengkeh ini,
tidak lain karena berkurangnya pasokan dari petani secara signifikan. Sudah
menjadi rahasia umum, saat harga cengkeh anjlok (ditangani BPPC) banyak
petani cengkeh yang membabat habis tanaman cengkehnya.

Hal yang sama juga menimpa para petani cengkeh, khususnya di Bali pada
daerah-daerah sentra penghasil cengkeh, salah satunya adalah Desa Bengkel,
Kecamatan Busung Biu, Buleleng. Para petani sering mengalami kesulitan ketika
memasarkan hasil panen cengkehnya, karena harga sering berfluktuasi. Dulu
peran BPPC yang dimotori oleh pengusaha nasional Tomi Soeharto dengan
menunjuk Nurdin Halid sebagai Ketua Induk Koperasi Unit Desa (INKUD), yang
memonopoli harga cengkeh yang dipasarkan petani (Bali Post, Selasa 16 Juni
2005). Secara konsep badan ini bertujuan membantu petani, namun kenyataan
mencekik leher petani cengkeh, harga cengkeh kering turun sampai Rp. 3000/kg.
Tentu saja harga ini sangat rendah jika dibandingkan dengan biaya produksi
panen.
Keuntungan yang dirasakan petani cengkeh terusik kembali, oleh ulah para
tengkulak dan broker yang kerap kali menentukan harga beli cengkeh lebih
rendah dari harga pasar.

Dengan beragam alasan yang dikemukakan, pada

akhirnya pihak tengkulaklah yang memiliki posisi daya tawar yang lebih kuat
dibandingkan dengan para petani cengkeh. Pada prinsipnya tawar-menawar dalam
dunia perdagangan adalah hal yang biasa, namun untuk beberapa komoditi dan
pada wilayah tertentu, seringkali proses tawar-menawar terjadi tidak secara
seimbang. Maksudnya, para petani selalu menjadi pihak yang lebih dirugikan,
bahkan seringkali penetapan harga jual, terlalu jauh dari harga pasar. Tidak
menutup kemungkinan para petani lebih banyak menanggung rugi, sebab harga
jual lebih rendah daripada modal kerja yang dibutuhkan, sehingga tidak mampu

menutupi seluruh modal kerja yang telah dikeluarkan dalam pemeliharaan


komoditas cengkeh.
Desa Bengkel, yang dikenal sebagai desa penghasil cengkeh di Kabupaten
Buleleng, merupakan wilayah pertanian yang cukup dikenal mampu menghasilkan
bunga cengkeh kualitas baik. Secara geografi dan klimatologi, lokasi desa
Bengkel merupakan wilayah yang subur dan mudah diakses melalui darat dan
laut. Sehingga kepopuleran cengkeh asal desa Bengkel telah melewati batas
kabupaten dan propinsi Bali.
Logikanya, para petani cengkeh di Desa Bengkel dapat menikmati hasil
perkebunan mereka secara layak sebagaimana hal yang sama dinikmati oleh para
petani cengkeh di daerah lainnya di wilayah Republik Indonesia. Pertanian
cengkeh merupakan warisan yang diturunkan dari para petani terdahulu.
Kehidupan pertanian yang telah lama dilakukan oleh para leluhur, tetap dipelihara
sampai sekarang. Demikian halnya dengan para pedagang/ saudagar cengkeh,
umumnya kegiatan usaha berdagang komoditas cengkeh, merupakan pekerjaan
atau usaha keluarga. Tidak jauh berbeda dengan regenerasi para petani cengkeh,
para saudagar cengkeh juga mewarisi segala usahanya kepada anak dan cucu
mereka.
Seiring dengan berjalannya waktu, perubahan-perubahan juga mewarnai
sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Desa Bengkel. Kekuatan pasar
bebas telah merambah ke segala penjuru arah, tidak terkecuali di Bali, fenomena
ini tidak mampu memberikan peluang yang lebih baik bagi para petani cengkeh

dalam meningkatkan kualitas hidup mereka melalui harga jual cengkeh yang
sesuai dengan harga pasar dunia.
Tidak jauh berbeda, pewarisan tanah pertanian kepada generasi yang lebih
muda, tidak mampu membuat kualitas kehidupan petani cengkeh berubah secara
perlahan. Kualitas pendidikan yang lebih baik, selayaknya memberikan peluang
yang lebih besar guna menaikkan derajat kehidupan petani cengkeh. Namun, pada
saat yang bersamaan, regenerasi saudagar cengkeh juga dilakukan pada kurun
waktu yang bersamaan, sehingga proses yang berkesinambungan dari waktu ke
waktu dalam suatu lingkungan yang sama, pada akhirnya membuat nasib para
petani, anak-anak mereka dan bahkan para cucu mereka tidak berubah secara
drastis.
Hegemoni saudagar cengkeh terhadap para petani cengkeh, secara nyata
tidak dapat diputuskan, sebagaimana diharapkan dari kalangan petani cengkeh.
Ketergantungan yang terjadi, antara petani cengkeh kepada para saudagar
cengkeh, tidak dapat dengan mudah dihilangkan. Bahkan, tidak menutup
kemungkinan bahwa ketergantungan dalam banyak dimensi, dianggap merupakan
suatu fenomena yang lumrah atau natural. Orang kaya/ memiliki modal yang lebih
menentukan segalanya, dibandingkan dengan orang yang tidak mampu/ tidak
memiliki modal. Pada akhirnya semua merasakan sudah berjalan sebagaimana
mestinya, tidak perlu mengkritisi kondisi yang sudah berjalan sebagaimana
mestinya. Apalagi sampai mempertanyakan harga jual yang lebih rendah
dibandingkan dengan harga pasaran.

1.2

Rumusan masalah
Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan masalah penelitian ini

sebagai berikut,
a. Bagaimanakah bentuk hegemoni tengkulak terhadap petani cengkeh di
Desa Bengkel, Kecamatan Busung Biu, Buleleng ?
b. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya hegemoni tengkulak
terhadap petani cengkeh di Desa Bengkel, Kecamatan Busung Biu,
Buleleng.?
c Apakah dampak dan makna hegemoni tengkulak terhadap kehidupan petani
cengkeh di Desa Bengkel, Kecamatan Busung Biu, Buleleng ?

1.3

Tujuan Penelitian

1.3.1

Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perihal
hegemoni tengkulak terhadap petani cengkeh dan dampaknya terhadap
kehidupan petani tersebut.

1.3.2

Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut,
a. Untuk mengetahui bentuk hegemoni tengkulak terhadap petani cengkeh
di DesaBengkel, Kecamatan Busung Biu, Bulelelng.

b. Untuk memahami faktor-faktor

yang menyebabkan terjadinya

tengkulak melakukan hegemoni terhadap petani cengkeh di Desa


Bengkel, Kecamatan Busung Biu, Buleleng.
c. Untuk menginterpretasi dampak dan makna hegemoni tengkulak
terhadap petani cengkeh di Desa Bengkel, Kecamatan Busung Biu,
Buleleng.

1.3

Manfaat Penelitian

1.3.1

Manfaat Teoretis
a. Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah pengetahuan khususnya
kajian budaya tentang pemecahan masalah hegemoni tengkulak
terhadap para petani cengkeh.
b. Dapat menambah referensi yang dapat dijadikan titik tolak studi lebih
lanjut bagi mereka yang tertarik terhadap masalah pertanian,
khususnya petani cengkeh.

1.3.2

Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran terhadap pemerintah khususnya dalam penetapan dan
kebijakan di bidang

pertanian dengan senantiasa memberikan

keberpihakan kepada para petani, dalam hal ini petani tidak selalu
tergantung kepada para tengkulak.

10

b. Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan atau informasi tentang


penyusunan kebijakan pada bidang-bidang umum yang terkait lainnya
seperti, bidang hukum ekonomi, sosial dan budaya.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan praktis
dan pengalaman kepada para petani dalam pemanfaatan modal dan
pengelolaan tanah pertaniannya, sehingga dapat mengantisipasi
terhadap dampak yang ditimbulkan

11

BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN
MODEL PENELITIAN

2.1

Kajian Pustaka
Kajian pustaka yang dimaksudkan adalah kajian terhadap beberapa hasil

penelitian yang relevan dengan masalah yang dikaji. Ada beberapa pandangan
yang dapat digunakan sebagai bahan bandingan yang terkait dengan kerangka
teori dan metode penelian yang diteliti.
Penelitian yang dilakukan oleh Ni Wayan Widhiasthini (2007), yang
berjudul

Hegemoni

Iklan Oli Top One pada Media Elektronik di Kota

Denpasar: Sebuah Kajian Budaya, Dalam penelitian yang dilakukan Widhiastini


ini salah satu menyebutkan bagaimana konsumerisme dapat dikatakan satu bentuk
kekuasaan yang melatarbelakangi produksi dan konsumsi di dalam masyarakat
consumer (Pilliang,2003:152). Konsumtivisme merupakan paham untuk hidup
secara konsumtif, sehingga orang yang konsumtif dapat dikatakan tidak lagi
mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika membeli barang melainkan
mempertimbangkan

prestise

yang

melekat

pada

barang

tersebut.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori hegemoni dan wacana
kekuasaan pengetahuan. Penelitian Widhiasthini ini hampir sama dengan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti, karena dalam penelitian ini juga terjadi
hegemoni akan tetapi perbedaannya bentuk hegemoni disini dilakukan oleh suatu
produk yang menyebabkan konsumen menjadi tidak kuasa untuk tidak

11

12

memakainya, sementara dalam penelitian ini terjadinya hegemoni dilakukan oleh


tengkulak dalam pembelian hasil cengkeh di Desa Bengkel. Dalam hal ini terjadi
bentuk penguasaan terhadap seseorang, kalau dalam pengertian Widhiasthini
bentuk penguasaan konsumen terhadap produk oli, sedangkan dalam penelitian ini
bentuk penguasaanya terhadap petani yang menjual cengkehnya. Di samping
perbedaan tersebut juga terdapat pada lokasi. Dalam penelitian yang dilakukan
Widhiasthini dapat memberikan gambaran bahwa hegemoni sebenarnya bisa
dilakukan karena ada persetujuan dari konsumen, begitu juga dalam penelitian ini
hegemoni muncul karena petani cengkeh menyetujui menjual cengkehnya kepada
para tengkulak, sementara mereka tahu bahwa harga yang diperoleh lebih murah
dibandingkan kalau menjual langsung ke pabrik. Teori yang digunakan dalam
penelitian ini

mempergunakan teori hegemoni yaitu sebagai analisis dalam

membahas semua permasalahan baik bentuk, faktor-faktor penyebab, dan dampak


hegemoni tengkulak terhadap petani cengkeh.
Hasil penelitian yang dilakukan Ida bagus Ketut Astina (2002) yang
berjudul Resistensi Petani Susuan terhadap Pemerintah (Studi kasus tentang
gerakan petani di subak susuan kabupaten karangasem 1976). Dalam penelitian
yang dilakukan Astina ini dijelaskan bagaimana hegemoni pemerintah terhadap
petani semakin terasa, terlihat pada awal tahun 1970-an pemerintah mengeluarkan
program pembangunan pertanian dikenal dengan revolusi hijau dan masyarakat
petani lebih mengenal dengan program Bimas. Revolusi hijau tidak hanya sebagai
program pertanian semata melainkan sebuah strategi perubahan perlawanan
terhadap paradigma tradisional.

13

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah kabupaten


Karangasem yang mengeluarkan instruksi untuk mewajibkan petani melakukan
pola tanam padi baru tidak memperoleh respon dari petani dan tetap menanam
padi lokal. Akibatnya pemerintah lewat petugas dilapangan melakukan tindakan
represif dengan menginjak dan mencabut beberapa bibit padi petani. Tindakan
petugas pemerintah menjadi faktor pemicu terjadinya resistensi petani Susuan
menggunakan wahana subak sebagai upaya memobilisasi massa petani. Fungsi
resistensi petani Susuan sebagai kontrol sosial terhadap pemerintah dalam
kebijakan yang cendrung merugikan petani. Makna resistensi disini sebagai upaya
mengungkapkan ketidakadilan, protes terhadap tindakan represif, dan sebagai
embrio munculnya penguatan cinta masyarakat sipil.

Dalam penelitian yang

dilakukan oleh Astina juga dijelaskan bagaimana hegemoni yang dilakukan oleh
pemerintah tetapi di sini lebih cenderung bagaimana petani itu melakukan
perlawanannya. Penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan dalam membahas
makna hegemoni tengkulak terhadap petani.
Di samping itu, ditemukan dalam jurnal dari Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian (2007) yang berjudul Prospek
dan Arah Pengembangan Agribisnis; Cengkeh. Dipaparkan di sini bagaimana
cengkeh adalah merupakan tanaman asli Indonesia yang pada awalnya merupakan
komoditas ekspor, berubah posisi menjadi komoditas yang harus diimpor karena
pesatnya perkembangnya industri rokok kretek. Pada dasarnya agribisnis cengkeh
sangat menguntugkan, apalagi dengan adanya peluang pengembangan industri
untuk keperluan makanan, farmasi dan pestisida termasuk ekspor. Dalam hal ini

14

dukungan

kebijakan pemerintah

yang

diperlukan

adalah pemberdayaan

penyuluhan dan organisasi kelompok tani untuk memprioritaskan pengembangan


cengkeh. Dukungan juga diperlukan untuk akses pembiayaan bagi UKM,
stabilitas harga dan kemudahan swasta untuk ikut berinvestasi. Fungsi jurnal ini
terhadap penelitian ini menunjukkan bahwa secara geografis cengkeh adalah
merupakan tanaman yang yang memiliki daya jual yang sangat bagus, itu dilihat
dari pesatnya perkembangan industri rokok yang ada di Indonesia. Itu semua tidak
terlepas dari peran petani cengkeh yang ada.

2.2

Konsep
Menurut Tan (dalam Koentjaraningrat, 1994:21), konsep atau pengertian

merupakan unsur pokok suatu penelitian, sebagai definisi singkat dari sekelompok
fakta atau gejala. Konsep yang dimaksud dalam penelitian ini adalah beberapa
pengertian dasar yang secara langsung terkait dengan topik penelitian seperti yang
dijelaskan di bawah ini.

2.2.1

Hegemoni Tengkulak
Hegemoni adalah tentang kelas yang berkuasa mampu mensubordinasi

kelompok sosial supaya menyetujui hubungan yang ada, dan ia akan


melakukannya dengan menawarkan harga kepada kelompok subordinan, dengan
begitu apa yang disetujui sebenarnya adalah hasil negosiasi dari ideologi dan
budaya kelas yang berkuasa (Bennet, dalam tester, 2003: 29). Konsep hegemoni
di atas sangat jelas menunjukkan bahwa ada paling sedikit dua pihak yang terlibat

15

dalam suatu masalah, sebagai pihak yang menghegemoni dan pihak yang
terhegemoni tanpa memberi batasan dalam konteks apa hegemoni tersebut
berlangsung, sehingga hegemoni dapat terjadi dalam bidang apapun. Berkaitan
dengan penelitian ini juga terdapat pihak yang terhegemoni dan pihak yang
menghegemoni, pihak yang terhegemoni adalah petani dan pihak yang
menghegemoni adalah tengkulak. Kekuasaan yang tergolong hegemoni tersebut
tanpa disadari dan dirasakan oleh petani. Dengan demikian konsep hegemoni yang
dimaksud adalah kemampuan tengkulak untuk menguasai petani melalui
serangkaian negosiasi dan tindakan tanpa menggunakan kekerasan, hingga
akhirnyaterjadikesepakatan. Hegemoni tengkulak dalam penelitian ini adalah
kemampuan yang dimiliki oleh tengkulak untuk mempertahankan kekuasaan
ekonomi khususnya dalam transaksi cengkeh terhadap petani.
Menurut Marx, ekonomi sebagai faktor mekanisme terjadinya kekuasaan,
sedangkan Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses
penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif
mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan
kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang
dikuasai. Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat
dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan
kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring
kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka
yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya
usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa.

16

Demikian halnya yang terjadi pada kondisi petani cengkeh di Desa


Bengkel, secara turun-temurun petani cengkeh adalah pihak yang terhegemoni
oleh para tengkulak. Tengkulak kebanyakan merupakan salah satu jenis pekerjaan
yang diteruskan secara turun-temurun. Sehingga hubungan timbal-balik sudah
berlangsung lama ini, semakin mengukuhkan hegemoni tengkulak terhadap
kelompok petani cengkeh. Keberadaan/eksistensi para tengkulak didorong oleh
kondisi sosial ekonomi masyarakat desa Bengkel yang dari waktu ke waktu selalu
membutuhkan modal, untuk berbagai keperluan, dengan akses dan prosedur yang
mudah. Salah satu alternatif sumber dana cepat dan mudah adalah para tengkulak.
Dengan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan/diberikan oleh para tengkulak,
lama-kelamaan para petani cengkeh merasa berhutang-budi kepada para
tengkulak.
Perlahan tetapi pasti, segala ide-ide dan nilai-nilai yang berkembang,
khususnya yang datang dari kelompok tengkulak, menjadi nilai-nilai/normanorma yang alamiah dan diterima oleh kedua belah pihak tanpa ada rasa dirugikan
atau merugikan. Bilamana interaksi sosial yang menjurus kepada transaksitransaksi ekonomi, secara sadar kedua belah pihak, petani cengkeh dan tengkulak,
menyakini bahwa kesepakatan-kesepakatan yang dibuat adalah bermanfaat secara
seimbang bagi kedua belah pihak. Para petani cengkeh biasanya tidak dapat
bernegosiasi lebih dari apa yang telah ditetapkan/diputuskan oleh para tengkulak.
Pada kondisi inilah para tengkulak telah menghegemoni para petani cengkeh.

17

Konsep ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana petani cengkeh bisa


merasa rela saat tengkulak membeli hasil panen dengan harga yang sangat rendah,
dan petani merasa lumrah mengatakan: Ya wajarlah dia yang punya duit.

2.2.2

Petani Cengkeh
Petani adalah orang atau kelompok orang yang melakukan aktivitas

mengolah

tanah,

kemudian

menanaminya

dengan tanaman,

selanjutnya

memeliharanya dan akhirnya memanen hasilnya (Sahidu ,1986 :2) Cengkeh


adalah tangkai bunga kering beraroma dari keluarga pohon Myrtaceae. Cengkeh
adalah tanaman asli Indonesia, banyak digunakan sebagai bumbu masakan pedas
di negara-negara Eropa, dan sebagai bahan utama rokok kretek khas Indonesia.
Pekerjaan sebagai petani merupakan warisan yang dilanjutkan dari para
orang tua pendahulu, sebagai pekerjaan, petani amat sangat jarang dijadikan salah
satu pilihan oleh generasi muda/penerus sebagai tujuan akhir dari hasil pendidikan
mereka. Rata-rata kualitas petani dan pertanian di Indonesia, kurang dapat
memberikan dampak yang sangat berarti dalam meningkatkan kualitas hidup
petani ditinjau dari dimensi sosial budaya dan sosial ekonomi, maka tidak jarang
petani menjadi objek yang selalu dalam keadaan kurang berdaya. Dalam kajian
ini, petani merupakan objek yang terhegemoni oleh para tengkulak.

18

2.2.3

Desa Bengkel
Desa Bengkel adalah desa yang letaknya di Desa/Kelurahan Bengkel,

Kecamatan Busung Biu, Kabupaten Bulelelng. Desa Bengkel yang dituju sebagai
lokasi penelitian, yaitu wilayah di mana terdapat tengkulak yang menguasai petani
dalam transaksi perdagangan cengkeh.

2.3

Landasan Teori

2.3.1

Teori Hegemoni
Menurut Gramsci dalam (Sardar dan Van Loon, 2002:49) hegemoni

adalah hal yang mengikat masyarakat tanpa menggunakan kekerasan. Lebih lanjut
Gamsci menyatakan negosiasi maupun kesepakatan adalah istilah esensial untuk
memahami hegemoni. Gagasan, nilai, dan kepercayaan tidak dipaksakan dari atas,
tidak juga berkembang dalam cara yang dan tak sengaja, tetapi dinegosiasikan
melalui serangkaian perjumpaan dan bentrokan antara kelas-kelas. Hegemoni
terjadi dalam satu kurun waktu tertentu yang terjadi melalui serangkaian
pertemuan dan proses, dalam hal ini seseorang atau kelompok orang terlibat di
dalam melakukan interaksi melalui penyampaian ide, gagasan atau pandangan
umum.
Mengacu pada hal tersebut di atas, dapat dinyatakan ciri khas hegemoni
menurut Ratna (2005:60) adalah bentuk kekuasaan kelas terhadap kelas yang lain,
yang didasarkan atas kepemimpinan sehingga kelas yang dikuasai menerimanya
secara suka rela, sebagai suatu yang benar dan alamiah. Hegemoni jauh lebih kuat

19

dan dahsyat dibandingkan dengan bentuk kekuatan yang lain, sebab tidak terbatas
oleh ruang dan waktu.
Sehubungan dengan hegemoni, Barker (2005:13) menyatakan bahwa
proses pembuatan, mempertahankan dan reproduksi makna dan praktik-praktik
kekuasaan disebut hegemoni. Hegemoni berkait dengan situasi dimana blok
historis suatu kelompok yang berkuasa mendapatkan kewenangan dan
kepemimpinan atas kelompok-kelompok subordinat dengan cara memenangi
kesadaran. Berkaitan dengan unsur-unsur lapisan masyarakat yang terlibat di
dalam hegemoni, Foucoult (dalam Piliang, 2003: 13) menyatakan bahwa
masyarakat tidak lagi dikuasai oleh kelas sosial tunggal tetapi oleh kelompok atau
fagmen-fragmen sosial budaya yang heterogen, plural, dan saling bersaing untuk
memperoleh hegemoni. Pendapat Foucoult di atas memberikan pandangan bahwa
terlibat dua kelas masyarakat dalam hegemoni, bila dikaitkan dengan penelitian
tesis ini maka unsur yang terlibat adalah tengkulak sebagai pihak penghegemoni
dan petani sebagai pihak yang terhegemoni.
Berkaitan dengan bidang ekonomi, Gramsci dalam (Srinati, 2004: 191)
memberikan pernyataan bahwasanya konsensi-konsensi yang melatarbelakangi
hegemoni itu pada dasarnya bersifat ekonomi; hegemoni muncul dari berbagai
aktivitas institusi-institusi maupun kelompok-kelompok tertentu di dalam
masyarakat kapitalis. Mengacu pada pendapat tersebut di atas, bahwa usaha
ekonomi yang tidak bisa dipisahkan dari aktivitas untuk mengejar keuntungan
sangat memungkinkan terjadinya praktik hegemoni. Seperti halnya aksi, maka
akan timbul reaksi yang merupakan timbal balik atas aksi, demikian pula

20

hegemoni akan menimbulkan kontar-hegemoni. Semakin kuat hegemoni


dirasakan maka semakin kuat pula kontra hegemoni yang dapat ditimbulkan.
Teori Hegemoni menyatakan bahwa; hal yang mengikat masyarakat tanpa
menggunakan kekerasan, dengan kesepakatan dan negosiasi sebagai esensialnya.
Teori hegemoni dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisa rumusan
masalah baik bentuk, faktor maupun dampak dan makna hegemoni yang terjadi
terhadap petani cengkeh yang terdapat di Desa Bengkel,

2.3.2

Teori Tindakan Komunikatif

Habermas bertolak dari Teori Kritis Masyarakat Max Horkheimer dan


Theodor W. Adorno. Ia hendak mengembangkan gagasan teori masyarakat yang
dicetuskan dengan maksud yang praksis. Habermas melihat apa yang disampaikan
oleh kedua punggawa mazhab Teori Kritis awal itu tidaklah mencukupi untuk
menganalisa keadaan masyarakat.
Bagi Habermas, ketika seseorang berhubungan dengan dunia kehidupan,
maka dia mengalami salah satu dari tiga relasi pragmatis. Pertama, dengan sesuatu
di dunia objektif (sebagai totalitas entitas yang memungkinkan adanya pernyataan
yang benar. Kedua, dengan sesuatu di dunia sosial (sebagai totalitas hubungan
antar pribadi yang diatur secara legitim/sah). Ketiga, dengan sesuatu di dunia
subjektif (sebagai totalitas pengalaman yang akses ke dalamnya hanya dimiliki si
pembicara dan yang dapat dia ungkapkan di hadapan orang banyak).
Ucapan komunikatif selalu melekat pada berbagai hubungan dengan dunia.
Tindakan komunikatif bersandar pada proses kooperatif interpretasi tempat

21

partisipan berhubungan bersamaan dengan sesuatu di dunia objektif, sosial, dan


subjektif. Pembicara dan pendengar menggunakan sistem acuan ketiga dunia
tersebut sebagai kerangka kerja interpretatif tempat mereka memahami definisi
situasi bersama. Mereka tidak secara langsung mengaitkan diri dengan sesuatu di
dunia namun merelatifkan ucapan mereka berdasarkan kesempatan aktor lain
untuk menguji validitas ucapan tersebut. Kesepahaman terjadi ketika ada
pengakuan intersubjektif atas klaim validitas yang dikemukakan pembicara.
Konsensus tidak akan tercipta manakala pendengar menerima kebenaran
pernyataan namun pada saat yang sama juga meragukan kejujuran pembicara atau
kesesuaian ucapannya dengan norma.
Proses yang terjadi dalam ucapan komunikasi adalah konfirmasi
(pembuktian), pengubahan, penundaan sebagian, atau dipertanyakan secara
keseluruhan. Proses definisi dan redefinisi ini yang terus berlangsung ini meliputi
korelasi isi dengan dunia (ditafsirkan secara konsensual dari dunia objektif,
sebagai elemen privat dunia subjektif yang hanya bisa diakses oleh orang yang
bersangkutan. Jadi komunikasi terbentuk dalam situasi intersubjektif, dimana
situasi tidak didefinisikan secara kaku, tapi diselami konteks-konteks
relevansinya,
Tindakan komunikatif memiliki dua aspek, aspek teleologis yang terdapat
pada perealisasian tujuan seseorang (atau dalam proses penerapan rencana
tindakannya) dan aspek komunikatif yang terdapat dalam interpretasi atas situasi
dan

tercapainya

kesepakatan.

Dalam

tindakan

komunikatif,

partisipan

menjalankan rencananya secara kooperatif berdasarkan definisi situasi bersama.

22

Jika definisi situasi bersama tersebut harus dinegosiasikan terlebih dahulu atau
jika upaya untuk sampai pada kesepakatan dalam kerangka kerja definisi situasi
bersama gagal, maka pencapaian konsensus dapat menjadi tujuan tersendiri.,
karena konsensus adalah syarat bagi tercapainya tujuan. Namun, keberhasilan
yang dicapai oleh tindakan teleologis dan konsensus yang lahir dari tercapainya
pemahaman merupakan kriteria bagi apakah situasi tersebut telah dijalani dan
ditanggulangi dengan baik atau belum. Oleh karen itu, syarat utama agar tindakan
komunikatif bisa terbentuk adalah partisipan menjalankan rencana mereka secara
kooperatif dalam situasi tindakan yang didefiniskan bersama. Sehingga mereka
bisa menghindarkan diri dari dua resiko, resiko tidak tercapainya pemahaman
(ketidaksepakatan atau ketidaksetujuan) dan resiko pelaksanaan rencana tindakan
secara salah (resiko kegagalan).
Pandangan baru ini hendak menjelaskan makna reproduksi simbolis duniakehidupan ketika tindakan komunikatif digantikan oleh interaksi yang
dikendalikan media, ketika bahasa (dalam fungsi koordinasinya) digantikan oleh
media-media seperti uang dan kekuasaan. Konversi ini menimbulkan proses
deformasi infrastruktur komunikatif dunia-kehidupan yang mengakibatkan
patologis dalam masyarakat. Salah satunya adalah dominasi para kapitalis.
Dunia-kehidupan bisa berjalan harmoni, ketika tidak ada pemaksaan
sesuka hati dari beberapa atau kelompok orang. Pemahaman awal pengetahuan
manusia mula-mula memang diterima sebagai dunianya sendiri. Tetapi ketika
berhadapan dengan dunia sosial, dimana manusia hidup, bertindak, dan berbicara
satu sama lain serta berhadapan satu dengan yang lain dengan pengetahuan

23

eksplisit sesuatu membawanya praktik komunikatif. Sering kali hanya sebagian


kecil dari pengetahuan valid. Ketika memasuki ruang sosial makan timbul
persoalan-persoalan. Oleh karena itu, dibutuhkan komunikasi intersubjektif yang
membawa setiap orang menjadi otonom dengan ikatan fungsional kebaikan
bersama. Teori tindakan komunikatif disini dipergunakan dalam kaitannya untuk
membahas rumusan masalah nomor tiga yaitu dampak dan makna hegemoni
tengkulak terhadap petani cengkeh di Desa Bengkel, Kecamatan Busung Biu,
Buleleng.

2.3.3

Teori Praktik
Teori praktik dikembangkan oleh Pierre Bourdieu (Fashri, 2007: 42)

seorang ilmuwan yang lahir di Denguin Barat daya Perancis. Bourdieu merupakan
ahli sosiologi yang menghubungkan ide teoritisnya dengan penelitian empiris dan
didasarkan pada kehidupan sehari-hari (sosiology cultural) (Harker dkk.,ed.,1990
dan Jenkins, 2004). Teori praktik merupakan gagasan pemikiran Bourdieu (Fashri,
2007 : 82-100) sebagai perpaduan konseptual tentang habitus, ranah (field), dan
modal (capital). Menurut Bourdieu harker dkk., ed., ., 1990: xv-vxi, Fashri,
2007:74-75) dalam pemikirannya mengritik pemikiran dari sejumlah Marxists
yang mengatakan bahwa masyarakat dapat dianalisis secara sederhana melalui
kelas-kelas dan ideologinya. Sebagai kritik dari pemikiran ini Bourdieu (Fashri,
2007:94-95) menggunakan konsep field, yakni arena sosial dimana orang
berstrategi dan berjuang untuk mendapatkan sumber daya atau modal yang
diinginkan. Lebih lanjut Fashri menyatakan bahwa field disebut juga sebagai
sistem dari kedudukan sosial yang terstruktur secara internal dalam hubungan

24

kekuasaan. Field mempunyai otonomi, dan semakin kompleks suatu masyarakat,


maka semakin banyak field yang terdapat didalamnya.
Kemudian Bourdieu (Fashri, 2007:83-94) memperkenalkan konsep habitus
yang berarti kebiasaan (habitual) yang merupakan skema kognitif pilihan individu
sebagai sesuatu yang terpola, yakni pola persepsi, pemikiran dan tindakan yang
bertahan dalam jangka panjang. Bourdieu melihat habitus sebagai kunci
reproduksi, karena ia membangkitkan praktik-praktik yang membentuk kehidupan
sosial. Konsep tentang modal dapat didefinisikan oleh Bourdieu (Wirawan, 2008:
4) sebagai hubungan sosial, artinya suatu energi sosial yang hanya ada dan
membuahkan hasil-hasil dalam arena perjuangan di mana ia memproduksi dan
mereproduksi. Bourdieu (dalam Fashri, 2007:98) mengelompokkan modal ke
dalam empat jenis: pertama, modal ekonomi mencakup alat-alat produksi (mesin,
tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-benda) dan uang yang dengan
mudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi
kegenerasi berikutnya. Kedua, modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi
intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan
keluarga. Termasuk, modal budaya antara lain kemampuan menampilkan diri di
depan publik, pemilikan benda-benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan
keahlian tertentu dari hasil pendidikan, juga sertifikat (gelar kesarjanaan). Ketiga,
modal sosial menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau
kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa.

Dan,

keempat, segala bentuk prestise, status, otoritas dan legitimasi yang terakumulasi
sebagai bentuk modal simbolik.

25

Dari ketiga konsep tentang ranah, habitus, dan modal tersebut akan
melahirkan teori praktik dari Bourdieu. Praktik yang dimaksud disini adalah
prilaku atau tindakan sosial yang terstruktur dari tiga konseptual gagasan
Bourdieu tentang ranah, habitus dan modal. Secara ringkas Bourdieu menyatakan
rumus generatif yang menerangkan praktik sosial dengan persamaan: (Habitus x
Modal) + Ranah = Praktik (Bourdieu, 1984: 101 dalam Harker dkk., ed. (1990),
pertarungan sosial selalu terjadi. Mereka yang memiliki modal dan habitus yang
sama dengan kebanyakan individu akan lebih mampu melakukan tindakan
mempertahankan atau mengubah struktur dibandingkan dengan mereka yang tidak
memilki modal. Agar dapat dipandang sebagai seseorang atau kelas yang berstatus
dan mempunyai prestise, berarti ia harus diterima sebagai sesuatu yang legitimit
dan, terkadang, sebagai otoritas yang juga legitimit. Hal ini menciptakan sejenis
konsensus yang didasarkan pada relasi-relasi kekuasaan yang berada di antara dua
sistem persyratan yang berbeda (sistem seorang amatir dan seorang ahli) dan yang
dihasilkan dari struktur dan pemfungsian ranah itu.

Teori ini akan digunakan

untuk membahas rumusan masalah nomor dua yaitu faktor-faktor penyebab


terjadinya hegemoni tengkulak terhadap petani cengkeh di Desa Bengkel,
Kecamatan Busung Biu, Buleleng.

26

2.4

Model Penelitian

Untuk menganalisa masalah hubungan antara tengkulak dan petani dalam


upaya mereka memperebutkan modal ekonomi, ideologi dapat di diuraikan dalam
model penelitian di bawah ini.

Model Penelitian
Tengkulak (pemodal)

Kapitalis
- Budaya Modern

Bentuk Hegemoni

Petani

pemerintah

Hegemoni Tengkulak
terhadap Petani Cengkeh di
Desa Bengkel, Kec. Busung
Biu, Kab. Bulelelng

Faktor-faktor penyebab
terjadinya Hegemoni

Ekonomi
Kerakyatan
- Budaya
Tradisional

Dampak dan Makna


Hegemoni

Keterangan
; menyatakan hubungan langsung satu arah
; menyatakan hubungan timbal balik
Bagan 2.1 Model Penelitian

27

Keterangan Model Penelitian;


Model penelitian diatas menunjukkan peran pemerintah sebagai penentu
kebijakan publik. Pemerintah wajib menjadi wasit yang adil bagi rakytanya,
sehingga keberpihakan pemerintah dalam berbagai bidang, harus mampu
menciptakan kehidupan yang dinamis dan bermanfaat bagi masyarakatnya. Dalam
kehidupan perekonomian, pemerintah wajib melindungi usaha rakyatnya, baik
yang skala kecil maupun besar, walaupun sangat tidak mudah memegang amanah
ini.
Pada waktu yang bersamaan, pemerintah juga memiliki tujuan-tujuan
jangka pendek, menengah sampai pada tujuan jangka panjang. Sehingga kadangkala, pada proses pencapaian tujuan-tujuan yang ditetapkan, seringkali pemerintah
tanpa menyadari telah menghegemoni rakyatnya demi tujuan-tujuan yang
ditetapkan, meskipun kadang kala tujuan dimaksud tidak terlalu bermanfaat bagi
rakyat yang dipimpinnya.
Pada sisi yang lain, para kapitalis, selalu berupaya memperoleh
kesempatan dan keuntungan yang lebih banyak dari waktu ke waktu. Budaya
kapitalisme modern, bukan semata dimiliki oleh para kapitalis dari negara-negara
maju, namun juga dari negera-negara yang belum berkembang. Keuntungan yang
berlipat, penguasaan sumberdaya-sumberdaya secara berkelanjutan merupakan hal
utama yang selalu diupayakan oleh kapitalisme. Kondisi ini merupakan dasar
utama mengapa penguasaan pihak yang memiliki modal terhadap pihak yang
tidak atau sedikit memiliki modal terus berlanjut.
Petani di Indonesia, yang secara turun-temurun merupakan pihak yang
selalu merugi dalam kehidupan sosial ekonomi dibandingkan dengan para pihak

28

lainnya. Seringkali petani hanya menjadi objek penderita bagi; kebijakan


pemerintah para pengusaha/konglomerat. Kondisi yang sama juga terjadi di desa
Bengkel, Kabupaten Buleleng, kekuasaan para tengkulak yang seringkali
memanfaatkan kebijakan dan peran pemerintah pemerintah, telah memberntuk
hegemoni tengkulak terhadap petani cengkeh. Hegemoni yang telah lama
berlangsung tentunya jika dibiarkan akan membawa dampak buruk bagi para
petani cengkeh, baik masa sekarang dan yang akan datang. Perlu diupayakan
untuk memberikan peluang yang lebih besar bagi petani dalam menentukan harga
jual cengkeh hasil panen. Dengan harga jual cengkeh yang lebih baik atau lebih
berkeadilan (sesuai harga pasar), diharapkan petani cengkeh dapat hidup lebih
sejahtera.
Kondisi yang paling mendasar agar kualitas kehidupan petani dapat
meningkat adalah tidak adanya hegemoni petani cengkeh oleh para tengkulak
cengkeh. Untuk itu perlu dikaji; bentuk-bentuk hegemoni tengkulak terhadap
petani cengkeh, faktor-faktor yang mendorong terjadinya hegemoni tengkulak
terhadap petani cengkeh dan dampak dan makna hegemoni tengkulak terhadap
petani cengkeh di desa Bengkel, Kecamatan Busung Biu, Bulelelng.

29

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1

Rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu metode yang

digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah di mana peneliti
sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi,
analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan
pada makna (Sugiyono, 2008:1). Penelitian ini akan mengumpulkan berbagai data
terkait dengan realitas hegemoni tengkulak pada petani cengkeh.

3.2

Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Bengkel, Kecamatan Busung Biu, Kab.

Buleleng. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan, di antaranya


1) penduduknya sebagian besar

bertani cengkeh, 2) peran dan kekuasaan

tengkulak terhadap petani cengkeh sangat dominan dalam proses produksi dan
distribusi cengkah, 3) para petani kesulitan dalam pemasaran cengkeh,

3.3

Jenis dan Sumber Data


Penelitian ini menggunakan jenis data kualitatif dan

ditunjang data

kuantitatif sebagai data sekunder, sedangkan sumber data terdiri dari sumber data
primer dan sumber data sekunder. Yang dimaksud dengan data kualitatif adalah
data yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diperoleh

29

30

dengan cara observasi dan wawancara dengan informan (Bogdan dan Taylor,
1992).
Data kuantitatif adalah data yang berwujud angka-angka seperti jumlah
penduduk, jumlah pendapatan penduduk yang dapat digunakan sebagai sebagian
indikator tentang tingkat kesejahteraan petani.
Sumber data adalah tempat dimana penulis memperoleh data. Sumber data
dalam penelitian ini dibedakan dua macam yaitu sumber data primer dan sumber
data sekunder. Sumber data primer adalah informan dan objek yang diobservasi,
sedangkan sumber data sekunder adalah pelbagai jenis dokumen, literatur, atau
catatan yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti.

3.4

Teknik Penentuan Informan


Dasar penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan

menerapkan teknik purposif, yang merupakan teknik penentuan informan


berdasarkan pertimbangan peneliti yang kriterianya disesuaikan dengan maksud
dan tujian penelitian. Pemilihan informan berdasarkan pertimbangan pokok bahwa
mereka memiliki kemampuan memberikan informasi tentang permasalahan yang
berkaitan dengan topik penelitian. Penentuan informan dengan teknik purposif
yaitu dengan menentukan dan mengambil orang-orang yang terpilih betul oleh
peneliti menurut ciri-ciri spesifik, hingga relevan dengan desain penelitian
(Nasution, 1992 : 98).
Selain menentukan informan secara purposif, penentuan informan dalam
penelitian ini juga dilakukan dengan menerapkan teknik snowball sampling.

31

Teknik ini dipergunakan memilih informan yang mengetahui tentang masalah


yang diteliti, dengan cara menghubungi pemerintah setempat dan dari petunjuk
pejabat pemerintah tersebut kemudian ditunjuk orang yang dianggap tahu tentang
masalah yang sedang dikaji untuk dijadikan informan. Begitu seterusnya, dan
pencarian diakhiri ketika informasi yang dibutuhkan sudah dianggap cukup
memadai sebagai bahan analisa.

3.5

Instrumen Penelitian
Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri (diri sendiri),

Arikunto (1993:121) memberikan definisi instrumen penelitian adalah alat pada


waktu peneliti melakukan wawancara. Oleh karena peneliti sebagai intrumen juga
harus divalidasi seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian
yang selanjutnya terjun ke lapangan. Validasi meliputi pemahaman metode
penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti, kesiapan
peneliti untuk memasuki objek penelitian. Yang melakukan validasi adalah
peneliti sendiri, melalui evaluasi diri seberapa jauh pemahaman terhadap metode
kualitatif, penguasaan teori serta wawasan terhadap bidang yang diteliti
(Sugiyono, 2008:59).
Disamping itu instrumen penelitian yang dipakai dalam penelitian ini
berbentuk pedoman wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang relevan
dengan topik penelitian. Sarana yang diperlukan dalam wawancara ini diperlukan
tape recorder, alat pencatat serta kamera untuk merekam segala bentuk kegiatan
yang ada di lapangan.

32

3.6

Teknik Pengumpulan Data


Dalam

pengumpulan data

diperlukan teknik

yang

tepat

dalam

pengumpulannya agar hasil yang di dapat sesuai dengan yang diinginkan. Dalam
penelitian ini digunakan serangkaian teknik pengumpulan data antara lain;
observasi, wawancara, dokumentasi dan kepustakaan.

3.6.1

Teknik Observasi
Wibisono (2003: 98) mendefinisikan observasi adalah suatu proses

pencatatan yang sistematis terhadap pola perilaku orang, objek, dan kejadiankejadian tanpa bertanya atau berkomunikasi dengan orang, objek atau kejadian
tersebut. Pengamatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah secara
langsung oleh peneliti dengan mengamati perilaku objek penelitian petani dan
tengkulak, yang menyebabkan adanya hegemoni tengkulak terhadap petani
cengkeh. Dengan teknik observasi tersebut, peneliti secara langsung berhadapan
dengan objek yang diteliti untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai
fenomena-fenomena yang ada sangkut pautnya dengan objek tadi dan akan lebih
memungkinkan terjadinya integrasi sosial antara peneliti dengan masyarakat yang
diteliti.

3.6.2

Teknik Wawancara
Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data, pelaksanaannya dapat

dilakukan secara langsung berhadapan dengan yang diwawancarai, dapat juga

33

secara tidak langsung (Umar, 2003:169). Sudikan (2001:90) menyatakan tujuan


wawancara adalah untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia
dalam suatu masyarakat serta pendiriannya. Wawancara dalam suatu penelitian
yang bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia yang
merupakan suatu bantuan utama dari teknik observasi (Koentjaraningrat, 1990).
Data primer diperoleh melalui wawancara yang diarahkan kepada informan yang
mengetahui tentang masalah yang diteliti.
Wawancara secara bebas dan mendalam dilakukan di sekitar daerah
penelitian dengan tujuan untuk memperoleh data atau gambaran secara detail dan
menyeluruh mengenai lokasi penelitian, baik menyangkut kondisi geografis,
demografis, sosial budaya, dan sebagainya yang diperlukan, agar dapat menjawab
masalah-masalah yang telah dirumuskan.

3.6.3

Studi Dokumen
Studi dokumen menjadi salah satu cara dalam pengumpulan data pada

penelitian ini, dokumen tersebut ada yang berupa buku, majalah dan foto, yang
dapat memberikan tambahan informasi dan data yang dibutuhkan. Selain data
yang diperoleh dari observasi dan wawancara, dalam penelitian ini juga digunakan
studi dokumen yakni cara mengumpulkan data melalui bahan tertulis berupa
arsip-arsip dan kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan masalah penelitian.
Cara ini dilaksanakan dengan mencari, memahami, dan kemudian mencatat data
yang relevan.

34

Studi dokumen ini digunakan untuk menggali data sekunder sebagai


penompang data primer. Selain itu, untuk menggali teori-teori dasar, dan konsepkonsep yang digunakan dalam penelitian serta sebagai dasar untuk tinjauan
pustaka sebagai usaha untuk menghindari duplikasi penelitian.

3.7

Teknik Analisis Data


Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dan interpretatif serta dilakukan

secara simultan dengan pengumpulan data. Miles dan Huberman (1992:15-19)


menyatakan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam analisis data penelitian
kualitatif adalah sebagai berikut,
a.

Reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada


penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang
muncul dari catatan di lapangan.

b.

Penyajian data, yaitu menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun


yang member kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan atau penyederhanaan informasi yang kompleks
ke dalam satuan bentuk yang sederhana dan mudah dipahami.

c.

Penarikan kesimpulan, yaitu kegiatan konfigurasi yang utuh atau


tinjauan ulang terhadap catatan-catatan dilapangan. Tujuannya adalah
untuk menguji kebenaran, kecocokan, dan validitas dari makna-makna
yang muncul di lokasi penelitian.

35

3.8

Teknik Penyajian Hasil Penelitian


Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara formal

maupun informal. Teknik informal dilakukan secara naratif. Pada bagian-bagian


tertentu hasil analisis data juga disajikan secara formal, yaitu berupa tabel, bagan,
foto dan peta. Keseluruhan sajian hasil penelitian dituangkan dalam delapan bab
yang disusun secara sistematis.

36

BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1

Letak Geografis Desa


Desa Bengkel termasuk wilayah Kecamatan Busung Biu Kabupaten

Buleleng dengan luas wilayah 640.000 hektar yang terdiri atas wilayah dataran
tinggi (perbukitan) sebagai daerah perkebunan. Desa Bengkel termasuk wilayah
beriklim tropis dengan suhu rata-rata 23 derajat Celsius sampai 28 derajat Celsius.
Angin berembus dari arah selatan yang merupakan daerah perbukitan dari
gugusan gunung Batu Karu dan Danau Tamblingan, dari arah utara yang
merupakan angin dari Laut Jawa. Hal ini menyebabkan tanah di wilayah ini sangat
subur dan cocok untuk tanaman hortikultura seperti kopi dan cengkeh.
Secara administrasi Desa Bengkel memiliki batas-batas wilayah, yaitu
sebagai berikut.
1. Sebelah utara Desa Pelapuan
2. Sebelah timur Desa Banyuatis
3. Sebelah selatan Desa Umejero
4. Sebelah barat Desa Kedis
Desa Bengkel memiliki luas sekitar 640.000 hektar, 114.500 hektar
merupakan tanah persawahan, 305.000 hektar tanah tegalan, dan 30.000 hektar
merupakan tanah pekarangan, tanah lapangan 835 are, tanah perkantoran
pemerintah 450 are dan tanah lainnnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel 4.1.

36

37

Tabel 4.1
Luas wilayah Desa Bengkel Menurut Penggunaannya
No
Jenis Penggunaan Tanah
1 Tanah Sawah

Luas/ha
114.500

%
17.89

Tanah tegalan dan perkebunan

305.000

47.66

Tanah pekarangan dan perumahan

30.000

4.69

Tanah lapangan

8,35

1.30

Tanah perkantoran pemerintah

4,50

0.70

Tanah lainnya

177,65

27.76

Jumlah
640.000
Sumber: Data Dasar Profil Desa Bengkel, Tahun 2010

10000

Berdasarkan Tabel 4.1 Desa Bengkel memiliki lahan pertanian khususnya


tegalan dan perkebunan yang cukup luas. Dari 305.000 hektar tanah tegalan dan
perkebunan, sekitar 230.000 hektar adalah perkebunan cengkeh. Tanah tegalan
dan perkebunan selain dimiliki secara perorangan, ada pula yang merupakan laba
pura serta milik desa.
Wilayah Desa Bengkel terletak di bagian Utara pulau Bali, sebelah Barat
kota Singaraja yaitu di Kecamatan Busung Biu. Seperti terlihat di peta Bali pada
gambar di bawah ini.

38

Desa Bengkel

Gambar 4.1 ( Peta Pulau Bali )

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang keadaan wilayah Desa
Bengkel dapat dilihat dalam Peta Desa Bengkel pada gambar 4.2.

39

Gambar 4.2 ( Peta Desa Bengkel)


Kompleks perumahan merupakan areal terkecil di Desa Bengkel yang
dipergunakan sebagai tempat warga masyarakat melakukan aktivitas sehari-hari,
berfungsi sebagai rumah tinggal. Pola dasar dan pola rumah tinggal penduduk di

40

Desa Bengkel dilandasi pola keseimbangan yang disesuaikan dengan konsep Tri
Hita Karana yakni tiga sumber yang menyebabkan manusia mencapai
kesejahteraan, kebahagiaan, dan kedamaian yaitu Kahyangan (parhyangan),
sebagai unsur jiwa atau atman, warga masyarakat desa (pawongan) sebagai unsur
tenaga atau prana, wilayah desa (palemahan) sebagai unsur badan (buwana). Tri
Hita Karana dalam pola rumah tinggal, yakni memiliki bangunan suci
(sanggah/merajan),

anggota

keluarga,

dan

pekarangan

rumah

beserta

bangunannya.

4.2

Sejarah Desa Bengkel


Sejarah Desa Bengkel tidak terlepas dari sejarah Buleleng. Berdasarkan

babad Buleleng, diceritakan perjalanan Ki Gusti Panji, setelah beliau pergi dari
kota Gelgel, mampir di Jarantik, , selanjutnya pergi menuju arah utara, ke barat,
memasuki daerah Samprangan. Dari barat memasuki Kawisunya, dicapailah
wilayah Bandana. Setelah empat hari perjalanan dari danau Pabaratan, Ki Gusti
Panji, menginap ketika matahari sudah condong ke barat. Memasuki bukit Watu
Saga, wilayah Den Bukit, Ki Gusti panji beristirahat seraya makan bekal berupa
ketupat, beliau tersedak-sedak waktu makan (kilen-kilen), Ki Dumpyung disuruh
melihat air di bawah, dan senjata Ki Pangkajatatwa, diterima oleh Si Luh Pasek
Panji, lalu pangkal tangkainya ditancapkan di tanah, maksudnya untuk
menaruhnya, Hyang Widi murah hati lalu memancar keluar air suci dari dalam
tanah, kira-kira sebesar bejana, akan tetapi tidak ada yang mengalir ke luar dari
lubang itu, hanya tetap berada seperti semula, sangat luar biasa kesucian air itu,

41

tak terkira senang hati mereka semua, terutama Ki Gusti Panji, lalu beliau minum
air itu, demikian cerita air dahulu, selanjutnya diberi nama Banyu Anaman, Toya
Katipat nama lainnya, hingga sampai sekarang.
Setelah istirahat selanjutnya kembali

melanjutkan perjalanan,

dalam

perjalanannya Ki Gusti Panji, di Danau Bubuyan, tiba-tiba datang kelihatan


berupa manusia bernama Ki Panji Landung, langsung dicegat Ki Gusti Panji.
Diusung ke atas, tak terkira tingginya Ki Panji Landung terasa sampai dilangit,
Ki Gusti Panji disuruh melihat ke timur, kelihatan oleh beliau Ki Gusti Panji
gunung Toya Anyar. Ki Panji Landung, memberi anugerah Ki Gusti Panji.
Perjalanan Ki Gusti Panji ini dari daerah Suweca Pura bersama beberapa
pasukan dan beberapa orang dari pasukan tersebut telah menjadi bagian dari
penduduk desa Bengkel. Di antara mereka adalah orang-orang yang bekerja keras
dalam merabas hutan untuk menjadikan lahan pertanian dan tempat tinggal.
Berdasarkan informasi para tetua dan tokoh desa Bengkel menyebutkan bahwa
sebelum tanggal 6 Juli 1962, Desa Bengkel masuk wilayah Desa Banyuatis yang
bernama banjar/kelurahan Bengkel.

Pada tanggal tersebut di atas dibawah

perjuangan kelian banjar dan masyarakatnya membentuk Desa Bengkel yang


dulunya bernama desa Djabon Pahit ( Pohon Bengkel).

42

4.3

Demografi Desa

4.3.1

Kependudukan
Penduduk sebagai salah satu sumber daya merupakan modal dasar dalam

pembangunan. Menurut Ndraha (1991: 22) demografi menyangkut penduduk


suatu desa yang terdaftar sebagai penduduk atau bertempat kedudukan di wilayah
desa bersangkutan, tidak soal di mana ia mencari nafkahnya. Demografi juga
berarti susunan atau perkembangan tentang penduduk (Badudu-Zain, 1996: 327).
Keadaan demografi Desa Bengkel berfokus pada jumlah, ditribusi, struktur, dan
perubahan penduduk menurut umur dan jenis kelamin. Jumlah mengarah pada
banyaknya penduduk, distribusi menunjukkan penempatan penduduk dalam suatu
ruang pada kurun waktu tertentu, struktur mencakup distribusi penduduk menurut
jenis kelamin dan kelompok umur, dan perubahan penduduk mencakup
pertambahan atau pengurangan jumlah penduduk (Asnawati, 2002: 3). Dalam
penelitian desa Bengkel hanya dibatasi pada struktur penduduk menurut umur,
jenis kelamin, tingkat pendidikan, mata pencaharian, serta menurut agama yang
dipeluknya.
Berdasarkan data dasar dari Desa Bengkel tahun 2009, jumlah penduduk
Desa Bengkel secara keseluruhan adalah 3.227 jiwa atau 704 Kepala Keluarga
(KK), yang terdiri atas 1.652 laki-laki dan 1.575 perempuan. Komposisi jumlah
penduduk Desa Bengkel menurut umur dan jenis kelamin seperti terlihat pada
tabel 4.2.

43

Tabel 4.2
Penduduk Desa Bengkel Menurut Umur dan Jenis Kelamin
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Umur
(tahun)
04
59
10 14
15 19
20 24
25 29
30 34
35 39
40 44
45 49
50 54
55 ke atas

Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
21
42
144
149
123
115
143
142
152
136
147
154
143
141
110
120
125
127
162
129
120
114
351
208

Jumlah
1.652
1.575
Sumber Data: dari Kantor Kepala Desa Bengkel Tahun 2010

Jumlah
(jiwa)
63
293
238
285
288
321
284
230
252
291
234
559
3. 227

Berdasrkan tabel 4.2 penduduk usia remaja dan produktif (15 54 tahun)
berjumlah 2.284 orang, sedangkan kelompok yang ketergantungan sekitar 933
orang. Hal ini menunjukkan kelompok ketergantungan lebih kecil jumlahnya
daripada kelompok produktif. Suratiyah dan Hartadi (1990) menyatakan bahwa
umur sangat berpengaruh pada tingkat partisipasi kerja. Umur yang lebih tua,
lebih tinggi partisipasinya, dan tingkat partisipasi akan menurun secara bertahap
pada umur 55 tahun.
Desa Bengkel yang berprnduduk 3.227 orang, jika dilihat dari jenis
kelamin, penduduk lak-laki berjumlah sedikit lebih banyak jika dibandingkan
dengan perempuan. Perbedaan ini sangat penting artinya untuk mengetahui
perkembangan pola ekonomi di desa tersebut. Perkembangan aktivitas

44

prekonomian suatu masyarakat terkait erat dengan kualitas penduduknya yang


ditentukan oleh tingkat pendidikan yang dimiliki. Pendidikan tidak hanya
menambah pengetahuan, tetapi dapat juga meningkatkan keterampilan tenaga
kerja yang nantinya dapat meningkatkan produktivitas (Effendi, 1993: 17).

4.3.2

Pendidikan
Untuk mengetahui kualitas penduduk Desa Bengkel dapat dilihat dari

tingkat pendidikan masyarakatnya, seperti terlihat pada tabel 4.3.


Tabel 4.3
Penduduk Desa Bengkel Menurut Tingkat Pendidikan
No

Tingkat Pendidikan

Jumlah

373

11.56

1500

46.48

Belum tamat SD / Sederajat

SD/Sederajat

SLTP

750

23.24

SLTA

325

10.07

D1/D2

100

3.10

Perguruan Tinggi

55

1.70

Tidak Sekolah/Belum Sekolah

124

3.84

3.227

10000

Jumlah

Sumber: Data Dasar Profil Desa Bengkel, Tahun 2010


Tabel 4.3 memberikan gambaran bahwa tingkat pendidikan masyarakat
Desa Bengkel masih tergolong relatif rendah jika dibandingkan jumlah penduduk
produktif secara keseluruhan. Kesadaran masyarakat terhadap nilai pendidikan
dan kemampuan ekonomi masyarakat tersebut sangat menentukan dalam

45

meningkatkan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan sering dipergunakan


sebagai indikator dalam mengukur pendapatan maupun status sosial seseorang.

4.3.3

Mata Pencaharian Penduduk


Selain itu tingkat pendidikan masyarakat akan berdampak pula pada mata

pencaharian penduduk yang cenderung heterogen. Mata pencaharian penduduk


Desa Bengkel dapat terlihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.4
Penduduk Desa Bengkel Menurut Mata Pencaharian
No
1 Petani

Mata Pencaharian

Jumlah
571

%
17.69

Pelajar / Mahasiswa

153

4.74

Ibu Rumah Tangga

306

9.48

Pedagang

34

1.05

Pegawai Swasta

183

5.67

Pensiunan

15

0.46

Guru/ Dosen

23

0.71

Wiraswasta

26

0.81

TNI

0.06

10

Buruh Tani/ Buruh Harian Lepas

779

24.14

11

Bidan / tenaga medis lain

0.03

12

Pegawai Negeri

0.22

13

Belum Kerja / Tidak Bekerja

902

27.95

14

Lainnya

225

6.97

Jumlah
3.227
Sumber: Data Dasar Profil Desa Bengkel, Tahun 2010

100,00

Tabel 4.4 menyiratkan bahwa masyarakat Desa Bengkel sebagian besar


menekuni pekerjaan di bidang pertanian dan buruh tani atau buruh harian lepas.

46

Buruh tani ini sangat diperlukan pada saat musim panen cengkeh tiba di mana
mereka bekerja sebagai pemetik bunga cengkeh.

4.3.4

Agama dan Kepercayaan


Kepercayaan atau agama memberikan warna tertentu bagi kehidupan

sosial masyarakat sesuai dengan keyakinan agama yang dianut. Horton (1991:
305) menyatakan bahwa agama berkaitan dengan sesuatu yang sifatnya lebih dari
perilaku moral. Berdasarkan daftar data dasar profil desa Bengkel Tahun 2010,
mayoritas masyarakat Desa Bengkel adalah beragama Hindu. Hal itu bisa dilihat
dari bangunan suci yang sebagian banyak adalah Pura. Selain pemeluk agama
Hidu di Desa Bengkel juga ada masyarakat yang menganut agama Islam dan
Kristen. Jumlah penduduk menurut aga dan kepercayaan di Desa Bengkel dapat
dilihat pada tabel 4.5 berikut.
Tabel 4.5
Penduduk Desa Bengkel Menurut Agama yang Dianut
No

Agama

Jumlah

Islam

0,19

Katolik

0.22

Hindu

3.214

99,60

Jumlah

3.227

100,00

Sumber: Diolah dari Data Dasar Profil Desa Bengkel, Tahun 2010

47

4.4

Sistem Pemerintahan
Pada umumnya desa di Bali memiliki dua kelembagaan pemerintahan,

yaitu sebagai kesatuan sosial kultural yang disebut dengan desa adat dan sebagai
kesatuan administrasi disebut desa dinas. Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis
oleh Geertz (1992) yang memaparkan bahwa orang Bali selalu terikat pada
pengelompokan sosial tertentu, di antaranya adalah kesatuan sosial yang
didasarkan pada tempat tinggal dan ikatan sosio religius yang melahirkan desa
adat dan kesatuan sosial atas dasar administrasi yang melahirkan konsep desa
dinas.
Berdasarkan Perda No. 6 Tahun 1986, desa adat dirumuskan sebagai satu
kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata
krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam
ikatan kahyangan tiga yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan
sendiri, serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Melalui desa adat-lah
masyarakat Bali mempertahankan identitas kebalian mereka yang dilandasi oleh
konsep Tri Hita Karana, yaitu (1) parhyangan (tempat pemujaan kepada Tuhan),
(2) pawongan (warga desa), dan (3) palemahan (wilayah tanah desa). Desa adat
lebih berfungsi dalam segi-segi kehidupan beragama, spiritual, kultural dan
rohani. Sedangkan desa dinas sebagai satu kesatuan wilayah di bawah kecamatan,
melakukan fungsinya pada segi-segi kehidupan formal.
Desa Adat Bengkel terdiri atas dua banjar dinas, yaitu Banjar Dinas
Bengkel dan Bukit Telu. Dalam dua banjar dinas tersebut terdapat sembilan banjar
adat yaitu, (1) Banjar Adat Teben, (2) Banjar Adat Asem, (3) Banjar Adat

48

Kalibondan, (4) Banjar Adat Pengadengan, (5) Banjar Adat Bukit Telu, (6) Banjar
Adat Umabasa, (7) Banjar Adat Betelan, (8) Banjar Adat Atuh, dan (9) Banjar
Adat Salia. Dalam melaksanakan tugasnya, Desa Adat Bengkel dipimpin oleh
seorang klian desa pakraman dan dibantu oleh wakil ketua, panyarikan
(skretaris), juru raksa (bendahara), dan lima orang klian banjar adat yang
membawahi sembilan banjar adat. Saba desa merupakan lembaga kerjasama yang
terdiri atas para tokoh dan sesepuh desa. Setiap warga desa adat wajib untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban yang patut dipelihara atau dilaksanakan.
Mekanisme kehidupan desa adat adalah setiap warga desa adat mempunyai hak
memilih kepala desa adat, ikut serta dalam sangkepan (rapat) desa adat, berhak
dipilih sebagai prajuru dan lain-lainnya. Perangkat desa adat disebut prajuru desa
adat. Berikut adalah bagan struktur Desa Adat Bengkel.

49

Bagan 4.1
Struktur Organisasi Desa Adat Bengkel
Klian Desa
Pakraman

Saba Desa

Wakil Ketua Klian


Desa Pakraman

Bendahara

Skretaris

Klian Banjar Adat

Teben dan
Asem

Kalibondan dan
Pengadengan

Bukit Telu
dan Umabasa

Betelan

Atuh dan
Salia

Sumber: Kantor Kepala Desa Bengkel, Tahun 2010.

Desa Bengkel memiliki pemerintahan desa dinas yang dikepalai oleh


seorang kepala desa atau perbekel. Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Desa
dibantu oleh seorang sekretaris desa, lima orang kepala urusan (kaur), yaitu (1)
kaur pemerintahan, (2) kaur pembangunan, (3) kaur bagian umum, (4) kaur
kesejahteraan, dan (5) kaur keuangan, serta dua orang kepala dusun (banjar dinas)
yakni kepala dusun (banjar dinas) Bengkel dan Bukit Telu. Kedua banjar dinas
tersebut terdiri atas sembilan banjar adat. Banjar dinas Bengkel meliputi empat

50

banjar adat, yaitu banjar adat Teben, Asem, Kalibondan, dan Pengadengan.
Sedangkan banjar dinas Bukit Telu meliputi lima banjar adat, yaitu banjar adat
Bukit Telu, Umabasa, Betelan, Atuh dan Salia. Di samping itu kepala desa dinas
didampingi oleh Badan Perwakilan Desa (BPD). Untuk lebih jelasnya struktur
pemerintahan Desa Bengkel dapat dilihat pada bagan 4.2
Bagan 4.2
Struktur Organisasi Desa Bengkel
Kepala Desa Bengkel

Badan Perwakilan
Desa (BPD)

Sekretaris Desa

Kaur
Pemerintahan

Kepala
Banjar Dinas
Bengkel

Kaur
Pembangunan

Kepala
Banjar Dinas
Bukit Telu
Kaur
Keuangan

Br. Adat
Teben dan
Asem

Kaur
Kesejahteraan
Rakyat

Br. Adat
Kalibondan dan
Pengadengan

Br. Adat
Bukit Telu
dan Umabasa

Kaur
Umum

Banjar
Adat
Betelan

Br. Adat
Atuh dan
Salia

Sumber: Kantor Kepala Desa Bengkel, Tahun 2010.

51

4.5

Profil Petani Cengkeh di Desa Bengkel


Desa Bengkel terletak di dataran tinggi dengan iklim yang sejuk, karena

wilayah desa ini terletak di balik perbukitan gunung Batukaru. Kondisi geografis
tersebut membuat Desa Bengkel sangat cocok untuk pengembangan tanaman
hortikultura, seperti kopi, cengkeh, coklat, dan vanili. Desa Bengkel yang terdiri
atas sembilan banjar adat sejak dahulu terkenal sebagai sentra penghasil kopi.
Sekitar tahun 1980-an terjadi penurunan harga kopi yang sangat drastis di pasaran.
Anjloknya harga kopi tersebut membuat para petani di desa tersebut memikirkan
untuk menanam tanaman komoditi lainnya yang lebih menjanjikan. Di satu sisi
kalau mereka menanam tanaman lain belum tahu juga apakah hasilnya akan lebih
baik, karena mereka tahu bahwa tanaman cengkeh adalah merupakan tanaman
yang paling subur tumbuh di daerahnya. Akan tetapi petani malas untuk memetik
bunga cengkehnya itu disebabkan karena kekawatiran setelah bersusah-susah
memanjat pohot dan membayar ongkos petik, setelah dijual harganya tak
sebanding dengan ongkos produksinya.
Tanaman cengkeh sebenarnya telah berkembang di Desa Asah Duren
Kabupaten Jembrana dan telah menjadi pilihan untuk dikembangkan di Desa
Bengkel. Hal ini disebabkan harga komoditi ini sangat menjanjikan. Banyak para
petani yang mencari bibit tanaman cengkeh ke Desa Asah Duren. Pada tahun 1981
sampai dengan 1985 terjadi perabasan pohon kopi secara besar-besaran dan
diganti dengan tanaman cengkeh. Sepuluh tahun kemudian, yaitu sekitar tahun
1991 petani cengkeh di Desa Bengkel menikmati jerih payahnya sekitar tujuh
sampai sepuluh tahun telah bercocok tanam cengkeh. Akan tetapi, kegembiraan

52

yang dialami oleh petani cengkeh di desa tersebut tidak berlangsung lama, oleh
karena terjadi penurunan harga jual yang sangat drastis seiring dengan kebijakan
Badan Penyangga Penjualan Cengkeh (BPPC) memonopoli pembelian cengkeh
petani. Harga jual cengkeh menjadi sangat murah, yaitu dari harga jual rata-rata
Rp 15.000,- sampai dengan Rp 25.000,- anjlok sampai Rp 3000,- per kilo
gramnya.
Anjloknya harga cengkeh tersebut membuat petani menjadi frustrasi.
Mereka membiarkan pohon cengkehnya tanpa perawatan, seperti pembersihan
ladang, pemupukan, dan penyiraman. Hal ini terjadi oleh karena harga cengkeh
yang sangat rendah dan tidak sepadan dengan biaya produksinya. Tanaman
cengkeh tumbuh dengan tanpa perawatan dari petani menyebabkan tanaman
cengkeh menjadi tidak subur. Setelah bergulirnya reformasi dan sampai pada
pembubaran BPPC harga jual cengkeh di pasaran berangsur-angsur menjadi baik
kembali. Petani cengkeh kembali bergairah untuk merawat tanaman cengkehnya
yang sebelumnya ditinggalkan begitu saja. Para petani tersebut rata-rata memiliki
lahan seluas 15 sampai dengan 30 are dengan jumlah tanaman cengkeh sebanyak
25 sampai dengan 50 buah pohon cengkeh. Dari jumlah ini para petani rata-rata
pertahunnya memanen cengkeh sebanyak 250 kg sampai dengan 500 kg cengkeh
kering. Sampai dengan bulan Agustus 2010 harga cengkeh kering per
kilogramnya adalah rata-rata Rp 50.000,-

53

Gambar 4.3
Seorang petani menjemur cengkeh
(Dokumen Mareni, 2010)
4.6

Profil Tengkulak
Kehidupan masyarakat Desa Bengkel yang heteregen, yaitu selain

sebagian besar yang bermatapencaharian sebagai petani juga ada yang sebagai
pegawai baik negeri maupun swasta, tukang, bekerja pada jasa angkutan, dan
pedagang atau saudagar. Masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang dapat
dikelompokkan ke dalam yang berskala kecil dan menegah berdasarkan modal
yang dimiliki. Profesi saudagar dituntut untuk memiliki jumlah modal yang besar,
oleh karena saudagar ini yang akan membeli hasil panen cengkeh dari para petani
di desa Bengkel. Saudagar ini mendapatkan modalnya dari luas lahan kebun
cengkeh yang di atas rata-rata dimiliki petani pada umumnya. Di samping
memiliki modal yang besar saudagar ini juga memiliki akses dengan para
pengepul yang ada di kota Singaraja.

54

Saudagar ini kemudian disebut tengkulak dalam penelitian ini, oleh karena
mereka tidak hanya membeli hasil panen cengkeh dari petani juga berperan
sebagai rentenir. Masa panen cengkeh yang cukup lama, yaitu sekali dalam
setahun menyebabkan para petani kekurangan modal untuk biaya pemeliharaan
cengkeh seperti membeli pupuk dan obat-obatan untuk hama pohon cengkeh,
biaya buruh pemetik dan mikpik (memisahkan bunga dari tangkai), serta untuk
kebutuhan keluarga baik konsumsi, pendidikan, maupun upacara adat. Di sinilah
tengkulak berperan untuk meminjamkan uang kepada petani dengan bunga yang
tinggi. Pada saat petani menjual hasil panen cengkehnya, maka harga akan
dipermainkan oleh tengkulak tersebut di samping terjadi pemotongan harga dari
akumulasi bunga pinjaman. Para saudagar juga tidak mau rugi, walaupun tahu
pada saat panen rugi petani cengkeh tidak harus membayar hutang, akan tetapi
tengkulak berpikirnya apabila tidak dibayarkan hutangnya akan kembali
bertambah. Pihak petani juga berpikir kalau tidak dibayar pada saat menghasilkan
panen, akan tidak bisa membayar kembali karena kesempatan untuk membayar
hutang adalah pada saat panen cengkeh. Petani cengkeh juga merasa sangat
kesulitan untuk menutupi hutang yang sudah berulang-ulang dilakukan, akan
tetapi mereka tidak punya penghasilan lain selain berkebun cengkeh. Mau tidak
mau petani cengkeh harus membayar hutangnya walaupun penghasilannya tidak
cukup untuk membayar hutang. Karena saudagar tidak mau memberikan
keringanan untuk menunda pembayaran hutangnya, di samping hutang akan
semakin banyak juga kemungkinan hutang tidak dibayar. Karena bagaimanapun
juga petani masih mengharapkan pinjaman lagi kalau biaya untuk produksi

55

cengkehnya kurang. Dan tempat untuk memperoleh pinjaman itu adalah pada
tengkulak. Keberadaan tengkulak sedikitnya dapat meringankan beban petani
yang membutuhkan modal cepat dan mudah karena tanpa membutuhkan waktu
yang lama, walaupun petani sadar dengan meminjam uang kepada tengkulak
sudah pasti bunganya juga tinggi.

Gambar 4.4
Profil saudagar cengkeh
(Dokumen Mareni, 2010)

Anda mungkin juga menyukai