PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang
Perkembangan dunia ke arah globalisasi di segala bidang kehidupan, yang
meliputi bidang politik, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya telah membawa
banyak dampak, baik positif maupun negatif. Globalisasi dapat memacu kemajuan
yang sangat pesat terhadap perkembangan suatu negara. Sebaliknya, globalisasi
akan dirasa memberikan dampak buruk bagi negara yang tidak memiliki kesiapan
dalam proses globalisasi. Globalisasi membawa konsekuensi yang cukup rumit
bagi setiap negara, terutama negara-negara berkembang, globalisasi menyebabkan
dunia menjadi tanpa batas, dan penyebab utama globalisasi saat ini adalah
kemajuan teknologi informasi, dan komunikasi (Latief, 2000;32).
Globalisasi ekonomi adalah salah satu proses yang dapat dilihat secara
nyata dan membawa dampak terhadap bidang kehidupan yang lain. Di bidang
ekonomi globalisasi sangat membutuhkan kesiapan suatu negara untuk
menerimanya, terlebih dukungan sumber daya manusia sebagai pelaku ekonomi,
terutama kemampuan untuk menerapkan teknologi. Globalisasi ekonomi
dimaksudkan sebagai proses terintegrasinya perekonomian negara-negara ke arah
masyarakat ekonomi dunia yang saling terkait, saling tergantung, dan saling
pengaruh mempengaruhi (Latief, 2000;48). Bertitik tolak dari fenomena diatas,
globalisasi ekonomi dapat melahirkan pasar global. Di samping melahirkan pasar
syair yang menyanjung kekakayaan alam dan kesuburan bumi pertiwi yang
dimiliki bangsa Indonesia. Seperti terdapat pada syair orang bilang tanah kita
tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Dari syair tongkat kayu dan
batu jadi tanaman menandakan betapa suburnya tanah air Indonesia. Berbagai
hasil bumi dari bercocok tanam, baik pada lahan basah (sawah) maupun lahan
kering (perkebunan) telah menghidupi rakyatnya, bahkan telah menjadi komoditi
yang diperjualbelikan. Selain beras sebagai makanan pokok yang dihasilkan dari
bercocok tanam padi juga ada palawija seperti jagung, kacang tanah dan kedelai.
Komoditi lainnya yang dibudidayakan di tanah persada Indonesia, dalam hal ini
diperkebunan lahan kering, adalah kopi, vanili, coklat, dan cengkeh.
Hasil pertanian dan perkebunan yang disebutkan tidak lepas dari peran
para petani, baik yang menggarap lahan basah maupun lahan kering. Akan tetapi,
keberadaan petani di Indonesia masih terpinggirkan. Kenyataan empiris sering
tidak sejalan dengan tataran teoretis, yaitu petani sangat berperan sebagai aset
bangsa yang menghidupi hajat hidup orang banyak, terutama dengan produksi
hasil pertanian baik beras, palawija, kopi, cengkeh, dan hasil pertanian lainnya.
Jasa yang begitu besar disumbangkan oleh petani tidaklah seimbang dengan
imbalan yang diterima oleh petani tersebut. Banyak petani yang terjepit karena
harga pupuk yang melambung, harga hasil panen yang anjlok tidak sesuai dengan
biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk biaya produksi.
Dalam rangka melindungi petani, khususnya petani cengkeh, pemerintah
melalui Inpres No.50 Tahun 1976 menetapkan kebijakan Tata Niaga Cengkeh.
Disusul kemudian Keppres No.8 Tahun 1980 yang menetapkan kebijakan harga
Hal yang sama juga menimpa para petani cengkeh, khususnya di Bali pada
daerah-daerah sentra penghasil cengkeh, salah satunya adalah Desa Bengkel,
Kecamatan Busung Biu, Buleleng. Para petani sering mengalami kesulitan ketika
memasarkan hasil panen cengkehnya, karena harga sering berfluktuasi. Dulu
peran BPPC yang dimotori oleh pengusaha nasional Tomi Soeharto dengan
menunjuk Nurdin Halid sebagai Ketua Induk Koperasi Unit Desa (INKUD), yang
memonopoli harga cengkeh yang dipasarkan petani (Bali Post, Selasa 16 Juni
2005). Secara konsep badan ini bertujuan membantu petani, namun kenyataan
mencekik leher petani cengkeh, harga cengkeh kering turun sampai Rp. 3000/kg.
Tentu saja harga ini sangat rendah jika dibandingkan dengan biaya produksi
panen.
Keuntungan yang dirasakan petani cengkeh terusik kembali, oleh ulah para
tengkulak dan broker yang kerap kali menentukan harga beli cengkeh lebih
rendah dari harga pasar.
akhirnya pihak tengkulaklah yang memiliki posisi daya tawar yang lebih kuat
dibandingkan dengan para petani cengkeh. Pada prinsipnya tawar-menawar dalam
dunia perdagangan adalah hal yang biasa, namun untuk beberapa komoditi dan
pada wilayah tertentu, seringkali proses tawar-menawar terjadi tidak secara
seimbang. Maksudnya, para petani selalu menjadi pihak yang lebih dirugikan,
bahkan seringkali penetapan harga jual, terlalu jauh dari harga pasar. Tidak
menutup kemungkinan para petani lebih banyak menanggung rugi, sebab harga
jual lebih rendah daripada modal kerja yang dibutuhkan, sehingga tidak mampu
dalam meningkatkan kualitas hidup mereka melalui harga jual cengkeh yang
sesuai dengan harga pasar dunia.
Tidak jauh berbeda, pewarisan tanah pertanian kepada generasi yang lebih
muda, tidak mampu membuat kualitas kehidupan petani cengkeh berubah secara
perlahan. Kualitas pendidikan yang lebih baik, selayaknya memberikan peluang
yang lebih besar guna menaikkan derajat kehidupan petani cengkeh. Namun, pada
saat yang bersamaan, regenerasi saudagar cengkeh juga dilakukan pada kurun
waktu yang bersamaan, sehingga proses yang berkesinambungan dari waktu ke
waktu dalam suatu lingkungan yang sama, pada akhirnya membuat nasib para
petani, anak-anak mereka dan bahkan para cucu mereka tidak berubah secara
drastis.
Hegemoni saudagar cengkeh terhadap para petani cengkeh, secara nyata
tidak dapat diputuskan, sebagaimana diharapkan dari kalangan petani cengkeh.
Ketergantungan yang terjadi, antara petani cengkeh kepada para saudagar
cengkeh, tidak dapat dengan mudah dihilangkan. Bahkan, tidak menutup
kemungkinan bahwa ketergantungan dalam banyak dimensi, dianggap merupakan
suatu fenomena yang lumrah atau natural. Orang kaya/ memiliki modal yang lebih
menentukan segalanya, dibandingkan dengan orang yang tidak mampu/ tidak
memiliki modal. Pada akhirnya semua merasakan sudah berjalan sebagaimana
mestinya, tidak perlu mengkritisi kondisi yang sudah berjalan sebagaimana
mestinya. Apalagi sampai mempertanyakan harga jual yang lebih rendah
dibandingkan dengan harga pasaran.
1.2
Rumusan masalah
Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan masalah penelitian ini
sebagai berikut,
a. Bagaimanakah bentuk hegemoni tengkulak terhadap petani cengkeh di
Desa Bengkel, Kecamatan Busung Biu, Buleleng ?
b. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya hegemoni tengkulak
terhadap petani cengkeh di Desa Bengkel, Kecamatan Busung Biu,
Buleleng.?
c Apakah dampak dan makna hegemoni tengkulak terhadap kehidupan petani
cengkeh di Desa Bengkel, Kecamatan Busung Biu, Buleleng ?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perihal
hegemoni tengkulak terhadap petani cengkeh dan dampaknya terhadap
kehidupan petani tersebut.
1.3.2
Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut,
a. Untuk mengetahui bentuk hegemoni tengkulak terhadap petani cengkeh
di DesaBengkel, Kecamatan Busung Biu, Bulelelng.
1.3
Manfaat Penelitian
1.3.1
Manfaat Teoretis
a. Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah pengetahuan khususnya
kajian budaya tentang pemecahan masalah hegemoni tengkulak
terhadap para petani cengkeh.
b. Dapat menambah referensi yang dapat dijadikan titik tolak studi lebih
lanjut bagi mereka yang tertarik terhadap masalah pertanian,
khususnya petani cengkeh.
1.3.2
Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran terhadap pemerintah khususnya dalam penetapan dan
kebijakan di bidang
keberpihakan kepada para petani, dalam hal ini petani tidak selalu
tergantung kepada para tengkulak.
10
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN
MODEL PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka
Kajian pustaka yang dimaksudkan adalah kajian terhadap beberapa hasil
penelitian yang relevan dengan masalah yang dikaji. Ada beberapa pandangan
yang dapat digunakan sebagai bahan bandingan yang terkait dengan kerangka
teori dan metode penelian yang diteliti.
Penelitian yang dilakukan oleh Ni Wayan Widhiasthini (2007), yang
berjudul
Hegemoni
prestise
yang
melekat
pada
barang
tersebut.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori hegemoni dan wacana
kekuasaan pengetahuan. Penelitian Widhiasthini ini hampir sama dengan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti, karena dalam penelitian ini juga terjadi
hegemoni akan tetapi perbedaannya bentuk hegemoni disini dilakukan oleh suatu
produk yang menyebabkan konsumen menjadi tidak kuasa untuk tidak
11
12
13
dilakukan oleh Astina juga dijelaskan bagaimana hegemoni yang dilakukan oleh
pemerintah tetapi di sini lebih cenderung bagaimana petani itu melakukan
perlawanannya. Penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan dalam membahas
makna hegemoni tengkulak terhadap petani.
Di samping itu, ditemukan dalam jurnal dari Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian (2007) yang berjudul Prospek
dan Arah Pengembangan Agribisnis; Cengkeh. Dipaparkan di sini bagaimana
cengkeh adalah merupakan tanaman asli Indonesia yang pada awalnya merupakan
komoditas ekspor, berubah posisi menjadi komoditas yang harus diimpor karena
pesatnya perkembangnya industri rokok kretek. Pada dasarnya agribisnis cengkeh
sangat menguntugkan, apalagi dengan adanya peluang pengembangan industri
untuk keperluan makanan, farmasi dan pestisida termasuk ekspor. Dalam hal ini
14
dukungan
kebijakan pemerintah
yang
diperlukan
adalah pemberdayaan
2.2
Konsep
Menurut Tan (dalam Koentjaraningrat, 1994:21), konsep atau pengertian
merupakan unsur pokok suatu penelitian, sebagai definisi singkat dari sekelompok
fakta atau gejala. Konsep yang dimaksud dalam penelitian ini adalah beberapa
pengertian dasar yang secara langsung terkait dengan topik penelitian seperti yang
dijelaskan di bawah ini.
2.2.1
Hegemoni Tengkulak
Hegemoni adalah tentang kelas yang berkuasa mampu mensubordinasi
15
dalam suatu masalah, sebagai pihak yang menghegemoni dan pihak yang
terhegemoni tanpa memberi batasan dalam konteks apa hegemoni tersebut
berlangsung, sehingga hegemoni dapat terjadi dalam bidang apapun. Berkaitan
dengan penelitian ini juga terdapat pihak yang terhegemoni dan pihak yang
menghegemoni, pihak yang terhegemoni adalah petani dan pihak yang
menghegemoni adalah tengkulak. Kekuasaan yang tergolong hegemoni tersebut
tanpa disadari dan dirasakan oleh petani. Dengan demikian konsep hegemoni yang
dimaksud adalah kemampuan tengkulak untuk menguasai petani melalui
serangkaian negosiasi dan tindakan tanpa menggunakan kekerasan, hingga
akhirnyaterjadikesepakatan. Hegemoni tengkulak dalam penelitian ini adalah
kemampuan yang dimiliki oleh tengkulak untuk mempertahankan kekuasaan
ekonomi khususnya dalam transaksi cengkeh terhadap petani.
Menurut Marx, ekonomi sebagai faktor mekanisme terjadinya kekuasaan,
sedangkan Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses
penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif
mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan
kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang
dikuasai. Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat
dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan
kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring
kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka
yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya
usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa.
16
17
2.2.2
Petani Cengkeh
Petani adalah orang atau kelompok orang yang melakukan aktivitas
mengolah
tanah,
kemudian
menanaminya
dengan tanaman,
selanjutnya
18
2.2.3
Desa Bengkel
Desa Bengkel adalah desa yang letaknya di Desa/Kelurahan Bengkel,
Kecamatan Busung Biu, Kabupaten Bulelelng. Desa Bengkel yang dituju sebagai
lokasi penelitian, yaitu wilayah di mana terdapat tengkulak yang menguasai petani
dalam transaksi perdagangan cengkeh.
2.3
Landasan Teori
2.3.1
Teori Hegemoni
Menurut Gramsci dalam (Sardar dan Van Loon, 2002:49) hegemoni
adalah hal yang mengikat masyarakat tanpa menggunakan kekerasan. Lebih lanjut
Gamsci menyatakan negosiasi maupun kesepakatan adalah istilah esensial untuk
memahami hegemoni. Gagasan, nilai, dan kepercayaan tidak dipaksakan dari atas,
tidak juga berkembang dalam cara yang dan tak sengaja, tetapi dinegosiasikan
melalui serangkaian perjumpaan dan bentrokan antara kelas-kelas. Hegemoni
terjadi dalam satu kurun waktu tertentu yang terjadi melalui serangkaian
pertemuan dan proses, dalam hal ini seseorang atau kelompok orang terlibat di
dalam melakukan interaksi melalui penyampaian ide, gagasan atau pandangan
umum.
Mengacu pada hal tersebut di atas, dapat dinyatakan ciri khas hegemoni
menurut Ratna (2005:60) adalah bentuk kekuasaan kelas terhadap kelas yang lain,
yang didasarkan atas kepemimpinan sehingga kelas yang dikuasai menerimanya
secara suka rela, sebagai suatu yang benar dan alamiah. Hegemoni jauh lebih kuat
19
dan dahsyat dibandingkan dengan bentuk kekuatan yang lain, sebab tidak terbatas
oleh ruang dan waktu.
Sehubungan dengan hegemoni, Barker (2005:13) menyatakan bahwa
proses pembuatan, mempertahankan dan reproduksi makna dan praktik-praktik
kekuasaan disebut hegemoni. Hegemoni berkait dengan situasi dimana blok
historis suatu kelompok yang berkuasa mendapatkan kewenangan dan
kepemimpinan atas kelompok-kelompok subordinat dengan cara memenangi
kesadaran. Berkaitan dengan unsur-unsur lapisan masyarakat yang terlibat di
dalam hegemoni, Foucoult (dalam Piliang, 2003: 13) menyatakan bahwa
masyarakat tidak lagi dikuasai oleh kelas sosial tunggal tetapi oleh kelompok atau
fagmen-fragmen sosial budaya yang heterogen, plural, dan saling bersaing untuk
memperoleh hegemoni. Pendapat Foucoult di atas memberikan pandangan bahwa
terlibat dua kelas masyarakat dalam hegemoni, bila dikaitkan dengan penelitian
tesis ini maka unsur yang terlibat adalah tengkulak sebagai pihak penghegemoni
dan petani sebagai pihak yang terhegemoni.
Berkaitan dengan bidang ekonomi, Gramsci dalam (Srinati, 2004: 191)
memberikan pernyataan bahwasanya konsensi-konsensi yang melatarbelakangi
hegemoni itu pada dasarnya bersifat ekonomi; hegemoni muncul dari berbagai
aktivitas institusi-institusi maupun kelompok-kelompok tertentu di dalam
masyarakat kapitalis. Mengacu pada pendapat tersebut di atas, bahwa usaha
ekonomi yang tidak bisa dipisahkan dari aktivitas untuk mengejar keuntungan
sangat memungkinkan terjadinya praktik hegemoni. Seperti halnya aksi, maka
akan timbul reaksi yang merupakan timbal balik atas aksi, demikian pula
20
2.3.2
21
tercapainya
kesepakatan.
Dalam
tindakan
komunikatif,
partisipan
22
Jika definisi situasi bersama tersebut harus dinegosiasikan terlebih dahulu atau
jika upaya untuk sampai pada kesepakatan dalam kerangka kerja definisi situasi
bersama gagal, maka pencapaian konsensus dapat menjadi tujuan tersendiri.,
karena konsensus adalah syarat bagi tercapainya tujuan. Namun, keberhasilan
yang dicapai oleh tindakan teleologis dan konsensus yang lahir dari tercapainya
pemahaman merupakan kriteria bagi apakah situasi tersebut telah dijalani dan
ditanggulangi dengan baik atau belum. Oleh karen itu, syarat utama agar tindakan
komunikatif bisa terbentuk adalah partisipan menjalankan rencana mereka secara
kooperatif dalam situasi tindakan yang didefiniskan bersama. Sehingga mereka
bisa menghindarkan diri dari dua resiko, resiko tidak tercapainya pemahaman
(ketidaksepakatan atau ketidaksetujuan) dan resiko pelaksanaan rencana tindakan
secara salah (resiko kegagalan).
Pandangan baru ini hendak menjelaskan makna reproduksi simbolis duniakehidupan ketika tindakan komunikatif digantikan oleh interaksi yang
dikendalikan media, ketika bahasa (dalam fungsi koordinasinya) digantikan oleh
media-media seperti uang dan kekuasaan. Konversi ini menimbulkan proses
deformasi infrastruktur komunikatif dunia-kehidupan yang mengakibatkan
patologis dalam masyarakat. Salah satunya adalah dominasi para kapitalis.
Dunia-kehidupan bisa berjalan harmoni, ketika tidak ada pemaksaan
sesuka hati dari beberapa atau kelompok orang. Pemahaman awal pengetahuan
manusia mula-mula memang diterima sebagai dunianya sendiri. Tetapi ketika
berhadapan dengan dunia sosial, dimana manusia hidup, bertindak, dan berbicara
satu sama lain serta berhadapan satu dengan yang lain dengan pengetahuan
23
2.3.3
Teori Praktik
Teori praktik dikembangkan oleh Pierre Bourdieu (Fashri, 2007: 42)
seorang ilmuwan yang lahir di Denguin Barat daya Perancis. Bourdieu merupakan
ahli sosiologi yang menghubungkan ide teoritisnya dengan penelitian empiris dan
didasarkan pada kehidupan sehari-hari (sosiology cultural) (Harker dkk.,ed.,1990
dan Jenkins, 2004). Teori praktik merupakan gagasan pemikiran Bourdieu (Fashri,
2007 : 82-100) sebagai perpaduan konseptual tentang habitus, ranah (field), dan
modal (capital). Menurut Bourdieu harker dkk., ed., ., 1990: xv-vxi, Fashri,
2007:74-75) dalam pemikirannya mengritik pemikiran dari sejumlah Marxists
yang mengatakan bahwa masyarakat dapat dianalisis secara sederhana melalui
kelas-kelas dan ideologinya. Sebagai kritik dari pemikiran ini Bourdieu (Fashri,
2007:94-95) menggunakan konsep field, yakni arena sosial dimana orang
berstrategi dan berjuang untuk mendapatkan sumber daya atau modal yang
diinginkan. Lebih lanjut Fashri menyatakan bahwa field disebut juga sebagai
sistem dari kedudukan sosial yang terstruktur secara internal dalam hubungan
24
Dan,
keempat, segala bentuk prestise, status, otoritas dan legitimasi yang terakumulasi
sebagai bentuk modal simbolik.
25
Dari ketiga konsep tentang ranah, habitus, dan modal tersebut akan
melahirkan teori praktik dari Bourdieu. Praktik yang dimaksud disini adalah
prilaku atau tindakan sosial yang terstruktur dari tiga konseptual gagasan
Bourdieu tentang ranah, habitus dan modal. Secara ringkas Bourdieu menyatakan
rumus generatif yang menerangkan praktik sosial dengan persamaan: (Habitus x
Modal) + Ranah = Praktik (Bourdieu, 1984: 101 dalam Harker dkk., ed. (1990),
pertarungan sosial selalu terjadi. Mereka yang memiliki modal dan habitus yang
sama dengan kebanyakan individu akan lebih mampu melakukan tindakan
mempertahankan atau mengubah struktur dibandingkan dengan mereka yang tidak
memilki modal. Agar dapat dipandang sebagai seseorang atau kelas yang berstatus
dan mempunyai prestise, berarti ia harus diterima sebagai sesuatu yang legitimit
dan, terkadang, sebagai otoritas yang juga legitimit. Hal ini menciptakan sejenis
konsensus yang didasarkan pada relasi-relasi kekuasaan yang berada di antara dua
sistem persyratan yang berbeda (sistem seorang amatir dan seorang ahli) dan yang
dihasilkan dari struktur dan pemfungsian ranah itu.
26
2.4
Model Penelitian
Model Penelitian
Tengkulak (pemodal)
Kapitalis
- Budaya Modern
Bentuk Hegemoni
Petani
pemerintah
Hegemoni Tengkulak
terhadap Petani Cengkeh di
Desa Bengkel, Kec. Busung
Biu, Kab. Bulelelng
Faktor-faktor penyebab
terjadinya Hegemoni
Ekonomi
Kerakyatan
- Budaya
Tradisional
Keterangan
; menyatakan hubungan langsung satu arah
; menyatakan hubungan timbal balik
Bagan 2.1 Model Penelitian
27
28
29
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu metode yang
digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah di mana peneliti
sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi,
analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan
pada makna (Sugiyono, 2008:1). Penelitian ini akan mengumpulkan berbagai data
terkait dengan realitas hegemoni tengkulak pada petani cengkeh.
3.2
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Bengkel, Kecamatan Busung Biu, Kab.
tengkulak terhadap petani cengkeh sangat dominan dalam proses produksi dan
distribusi cengkah, 3) para petani kesulitan dalam pemasaran cengkeh,
3.3
ditunjang data
kuantitatif sebagai data sekunder, sedangkan sumber data terdiri dari sumber data
primer dan sumber data sekunder. Yang dimaksud dengan data kualitatif adalah
data yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diperoleh
29
30
dengan cara observasi dan wawancara dengan informan (Bogdan dan Taylor,
1992).
Data kuantitatif adalah data yang berwujud angka-angka seperti jumlah
penduduk, jumlah pendapatan penduduk yang dapat digunakan sebagai sebagian
indikator tentang tingkat kesejahteraan petani.
Sumber data adalah tempat dimana penulis memperoleh data. Sumber data
dalam penelitian ini dibedakan dua macam yaitu sumber data primer dan sumber
data sekunder. Sumber data primer adalah informan dan objek yang diobservasi,
sedangkan sumber data sekunder adalah pelbagai jenis dokumen, literatur, atau
catatan yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti.
3.4
31
3.5
Instrumen Penelitian
Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri (diri sendiri),
32
3.6
pengumpulan data
diperlukan teknik
yang
tepat
dalam
pengumpulannya agar hasil yang di dapat sesuai dengan yang diinginkan. Dalam
penelitian ini digunakan serangkaian teknik pengumpulan data antara lain;
observasi, wawancara, dokumentasi dan kepustakaan.
3.6.1
Teknik Observasi
Wibisono (2003: 98) mendefinisikan observasi adalah suatu proses
pencatatan yang sistematis terhadap pola perilaku orang, objek, dan kejadiankejadian tanpa bertanya atau berkomunikasi dengan orang, objek atau kejadian
tersebut. Pengamatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah secara
langsung oleh peneliti dengan mengamati perilaku objek penelitian petani dan
tengkulak, yang menyebabkan adanya hegemoni tengkulak terhadap petani
cengkeh. Dengan teknik observasi tersebut, peneliti secara langsung berhadapan
dengan objek yang diteliti untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai
fenomena-fenomena yang ada sangkut pautnya dengan objek tadi dan akan lebih
memungkinkan terjadinya integrasi sosial antara peneliti dengan masyarakat yang
diteliti.
3.6.2
Teknik Wawancara
Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data, pelaksanaannya dapat
33
3.6.3
Studi Dokumen
Studi dokumen menjadi salah satu cara dalam pengumpulan data pada
penelitian ini, dokumen tersebut ada yang berupa buku, majalah dan foto, yang
dapat memberikan tambahan informasi dan data yang dibutuhkan. Selain data
yang diperoleh dari observasi dan wawancara, dalam penelitian ini juga digunakan
studi dokumen yakni cara mengumpulkan data melalui bahan tertulis berupa
arsip-arsip dan kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan masalah penelitian.
Cara ini dilaksanakan dengan mencari, memahami, dan kemudian mencatat data
yang relevan.
34
3.7
b.
c.
35
3.8
36
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1
Buleleng dengan luas wilayah 640.000 hektar yang terdiri atas wilayah dataran
tinggi (perbukitan) sebagai daerah perkebunan. Desa Bengkel termasuk wilayah
beriklim tropis dengan suhu rata-rata 23 derajat Celsius sampai 28 derajat Celsius.
Angin berembus dari arah selatan yang merupakan daerah perbukitan dari
gugusan gunung Batu Karu dan Danau Tamblingan, dari arah utara yang
merupakan angin dari Laut Jawa. Hal ini menyebabkan tanah di wilayah ini sangat
subur dan cocok untuk tanaman hortikultura seperti kopi dan cengkeh.
Secara administrasi Desa Bengkel memiliki batas-batas wilayah, yaitu
sebagai berikut.
1. Sebelah utara Desa Pelapuan
2. Sebelah timur Desa Banyuatis
3. Sebelah selatan Desa Umejero
4. Sebelah barat Desa Kedis
Desa Bengkel memiliki luas sekitar 640.000 hektar, 114.500 hektar
merupakan tanah persawahan, 305.000 hektar tanah tegalan, dan 30.000 hektar
merupakan tanah pekarangan, tanah lapangan 835 are, tanah perkantoran
pemerintah 450 are dan tanah lainnnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel 4.1.
36
37
Tabel 4.1
Luas wilayah Desa Bengkel Menurut Penggunaannya
No
Jenis Penggunaan Tanah
1 Tanah Sawah
Luas/ha
114.500
%
17.89
305.000
47.66
30.000
4.69
Tanah lapangan
8,35
1.30
4,50
0.70
Tanah lainnya
177,65
27.76
Jumlah
640.000
Sumber: Data Dasar Profil Desa Bengkel, Tahun 2010
10000
38
Desa Bengkel
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang keadaan wilayah Desa
Bengkel dapat dilihat dalam Peta Desa Bengkel pada gambar 4.2.
39
40
Desa Bengkel dilandasi pola keseimbangan yang disesuaikan dengan konsep Tri
Hita Karana yakni tiga sumber yang menyebabkan manusia mencapai
kesejahteraan, kebahagiaan, dan kedamaian yaitu Kahyangan (parhyangan),
sebagai unsur jiwa atau atman, warga masyarakat desa (pawongan) sebagai unsur
tenaga atau prana, wilayah desa (palemahan) sebagai unsur badan (buwana). Tri
Hita Karana dalam pola rumah tinggal, yakni memiliki bangunan suci
(sanggah/merajan),
anggota
keluarga,
dan
pekarangan
rumah
beserta
bangunannya.
4.2
babad Buleleng, diceritakan perjalanan Ki Gusti Panji, setelah beliau pergi dari
kota Gelgel, mampir di Jarantik, , selanjutnya pergi menuju arah utara, ke barat,
memasuki daerah Samprangan. Dari barat memasuki Kawisunya, dicapailah
wilayah Bandana. Setelah empat hari perjalanan dari danau Pabaratan, Ki Gusti
Panji, menginap ketika matahari sudah condong ke barat. Memasuki bukit Watu
Saga, wilayah Den Bukit, Ki Gusti panji beristirahat seraya makan bekal berupa
ketupat, beliau tersedak-sedak waktu makan (kilen-kilen), Ki Dumpyung disuruh
melihat air di bawah, dan senjata Ki Pangkajatatwa, diterima oleh Si Luh Pasek
Panji, lalu pangkal tangkainya ditancapkan di tanah, maksudnya untuk
menaruhnya, Hyang Widi murah hati lalu memancar keluar air suci dari dalam
tanah, kira-kira sebesar bejana, akan tetapi tidak ada yang mengalir ke luar dari
lubang itu, hanya tetap berada seperti semula, sangat luar biasa kesucian air itu,
41
tak terkira senang hati mereka semua, terutama Ki Gusti Panji, lalu beliau minum
air itu, demikian cerita air dahulu, selanjutnya diberi nama Banyu Anaman, Toya
Katipat nama lainnya, hingga sampai sekarang.
Setelah istirahat selanjutnya kembali
melanjutkan perjalanan,
dalam
42
4.3
Demografi Desa
4.3.1
Kependudukan
Penduduk sebagai salah satu sumber daya merupakan modal dasar dalam
43
Tabel 4.2
Penduduk Desa Bengkel Menurut Umur dan Jenis Kelamin
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Umur
(tahun)
04
59
10 14
15 19
20 24
25 29
30 34
35 39
40 44
45 49
50 54
55 ke atas
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
21
42
144
149
123
115
143
142
152
136
147
154
143
141
110
120
125
127
162
129
120
114
351
208
Jumlah
1.652
1.575
Sumber Data: dari Kantor Kepala Desa Bengkel Tahun 2010
Jumlah
(jiwa)
63
293
238
285
288
321
284
230
252
291
234
559
3. 227
Berdasrkan tabel 4.2 penduduk usia remaja dan produktif (15 54 tahun)
berjumlah 2.284 orang, sedangkan kelompok yang ketergantungan sekitar 933
orang. Hal ini menunjukkan kelompok ketergantungan lebih kecil jumlahnya
daripada kelompok produktif. Suratiyah dan Hartadi (1990) menyatakan bahwa
umur sangat berpengaruh pada tingkat partisipasi kerja. Umur yang lebih tua,
lebih tinggi partisipasinya, dan tingkat partisipasi akan menurun secara bertahap
pada umur 55 tahun.
Desa Bengkel yang berprnduduk 3.227 orang, jika dilihat dari jenis
kelamin, penduduk lak-laki berjumlah sedikit lebih banyak jika dibandingkan
dengan perempuan. Perbedaan ini sangat penting artinya untuk mengetahui
perkembangan pola ekonomi di desa tersebut. Perkembangan aktivitas
44
4.3.2
Pendidikan
Untuk mengetahui kualitas penduduk Desa Bengkel dapat dilihat dari
Tingkat Pendidikan
Jumlah
373
11.56
1500
46.48
SD/Sederajat
SLTP
750
23.24
SLTA
325
10.07
D1/D2
100
3.10
Perguruan Tinggi
55
1.70
124
3.84
3.227
10000
Jumlah
45
4.3.3
Mata Pencaharian
Jumlah
571
%
17.69
Pelajar / Mahasiswa
153
4.74
306
9.48
Pedagang
34
1.05
Pegawai Swasta
183
5.67
Pensiunan
15
0.46
Guru/ Dosen
23
0.71
Wiraswasta
26
0.81
TNI
0.06
10
779
24.14
11
0.03
12
Pegawai Negeri
0.22
13
902
27.95
14
Lainnya
225
6.97
Jumlah
3.227
Sumber: Data Dasar Profil Desa Bengkel, Tahun 2010
100,00
46
Buruh tani ini sangat diperlukan pada saat musim panen cengkeh tiba di mana
mereka bekerja sebagai pemetik bunga cengkeh.
4.3.4
sosial masyarakat sesuai dengan keyakinan agama yang dianut. Horton (1991:
305) menyatakan bahwa agama berkaitan dengan sesuatu yang sifatnya lebih dari
perilaku moral. Berdasarkan daftar data dasar profil desa Bengkel Tahun 2010,
mayoritas masyarakat Desa Bengkel adalah beragama Hindu. Hal itu bisa dilihat
dari bangunan suci yang sebagian banyak adalah Pura. Selain pemeluk agama
Hidu di Desa Bengkel juga ada masyarakat yang menganut agama Islam dan
Kristen. Jumlah penduduk menurut aga dan kepercayaan di Desa Bengkel dapat
dilihat pada tabel 4.5 berikut.
Tabel 4.5
Penduduk Desa Bengkel Menurut Agama yang Dianut
No
Agama
Jumlah
Islam
0,19
Katolik
0.22
Hindu
3.214
99,60
Jumlah
3.227
100,00
Sumber: Diolah dari Data Dasar Profil Desa Bengkel, Tahun 2010
47
4.4
Sistem Pemerintahan
Pada umumnya desa di Bali memiliki dua kelembagaan pemerintahan,
yaitu sebagai kesatuan sosial kultural yang disebut dengan desa adat dan sebagai
kesatuan administrasi disebut desa dinas. Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis
oleh Geertz (1992) yang memaparkan bahwa orang Bali selalu terikat pada
pengelompokan sosial tertentu, di antaranya adalah kesatuan sosial yang
didasarkan pada tempat tinggal dan ikatan sosio religius yang melahirkan desa
adat dan kesatuan sosial atas dasar administrasi yang melahirkan konsep desa
dinas.
Berdasarkan Perda No. 6 Tahun 1986, desa adat dirumuskan sebagai satu
kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata
krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam
ikatan kahyangan tiga yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan
sendiri, serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Melalui desa adat-lah
masyarakat Bali mempertahankan identitas kebalian mereka yang dilandasi oleh
konsep Tri Hita Karana, yaitu (1) parhyangan (tempat pemujaan kepada Tuhan),
(2) pawongan (warga desa), dan (3) palemahan (wilayah tanah desa). Desa adat
lebih berfungsi dalam segi-segi kehidupan beragama, spiritual, kultural dan
rohani. Sedangkan desa dinas sebagai satu kesatuan wilayah di bawah kecamatan,
melakukan fungsinya pada segi-segi kehidupan formal.
Desa Adat Bengkel terdiri atas dua banjar dinas, yaitu Banjar Dinas
Bengkel dan Bukit Telu. Dalam dua banjar dinas tersebut terdapat sembilan banjar
adat yaitu, (1) Banjar Adat Teben, (2) Banjar Adat Asem, (3) Banjar Adat
48
Kalibondan, (4) Banjar Adat Pengadengan, (5) Banjar Adat Bukit Telu, (6) Banjar
Adat Umabasa, (7) Banjar Adat Betelan, (8) Banjar Adat Atuh, dan (9) Banjar
Adat Salia. Dalam melaksanakan tugasnya, Desa Adat Bengkel dipimpin oleh
seorang klian desa pakraman dan dibantu oleh wakil ketua, panyarikan
(skretaris), juru raksa (bendahara), dan lima orang klian banjar adat yang
membawahi sembilan banjar adat. Saba desa merupakan lembaga kerjasama yang
terdiri atas para tokoh dan sesepuh desa. Setiap warga desa adat wajib untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban yang patut dipelihara atau dilaksanakan.
Mekanisme kehidupan desa adat adalah setiap warga desa adat mempunyai hak
memilih kepala desa adat, ikut serta dalam sangkepan (rapat) desa adat, berhak
dipilih sebagai prajuru dan lain-lainnya. Perangkat desa adat disebut prajuru desa
adat. Berikut adalah bagan struktur Desa Adat Bengkel.
49
Bagan 4.1
Struktur Organisasi Desa Adat Bengkel
Klian Desa
Pakraman
Saba Desa
Bendahara
Skretaris
Teben dan
Asem
Kalibondan dan
Pengadengan
Bukit Telu
dan Umabasa
Betelan
Atuh dan
Salia
50
banjar adat, yaitu banjar adat Teben, Asem, Kalibondan, dan Pengadengan.
Sedangkan banjar dinas Bukit Telu meliputi lima banjar adat, yaitu banjar adat
Bukit Telu, Umabasa, Betelan, Atuh dan Salia. Di samping itu kepala desa dinas
didampingi oleh Badan Perwakilan Desa (BPD). Untuk lebih jelasnya struktur
pemerintahan Desa Bengkel dapat dilihat pada bagan 4.2
Bagan 4.2
Struktur Organisasi Desa Bengkel
Kepala Desa Bengkel
Badan Perwakilan
Desa (BPD)
Sekretaris Desa
Kaur
Pemerintahan
Kepala
Banjar Dinas
Bengkel
Kaur
Pembangunan
Kepala
Banjar Dinas
Bukit Telu
Kaur
Keuangan
Br. Adat
Teben dan
Asem
Kaur
Kesejahteraan
Rakyat
Br. Adat
Kalibondan dan
Pengadengan
Br. Adat
Bukit Telu
dan Umabasa
Kaur
Umum
Banjar
Adat
Betelan
Br. Adat
Atuh dan
Salia
51
4.5
wilayah desa ini terletak di balik perbukitan gunung Batukaru. Kondisi geografis
tersebut membuat Desa Bengkel sangat cocok untuk pengembangan tanaman
hortikultura, seperti kopi, cengkeh, coklat, dan vanili. Desa Bengkel yang terdiri
atas sembilan banjar adat sejak dahulu terkenal sebagai sentra penghasil kopi.
Sekitar tahun 1980-an terjadi penurunan harga kopi yang sangat drastis di pasaran.
Anjloknya harga kopi tersebut membuat para petani di desa tersebut memikirkan
untuk menanam tanaman komoditi lainnya yang lebih menjanjikan. Di satu sisi
kalau mereka menanam tanaman lain belum tahu juga apakah hasilnya akan lebih
baik, karena mereka tahu bahwa tanaman cengkeh adalah merupakan tanaman
yang paling subur tumbuh di daerahnya. Akan tetapi petani malas untuk memetik
bunga cengkehnya itu disebabkan karena kekawatiran setelah bersusah-susah
memanjat pohot dan membayar ongkos petik, setelah dijual harganya tak
sebanding dengan ongkos produksinya.
Tanaman cengkeh sebenarnya telah berkembang di Desa Asah Duren
Kabupaten Jembrana dan telah menjadi pilihan untuk dikembangkan di Desa
Bengkel. Hal ini disebabkan harga komoditi ini sangat menjanjikan. Banyak para
petani yang mencari bibit tanaman cengkeh ke Desa Asah Duren. Pada tahun 1981
sampai dengan 1985 terjadi perabasan pohon kopi secara besar-besaran dan
diganti dengan tanaman cengkeh. Sepuluh tahun kemudian, yaitu sekitar tahun
1991 petani cengkeh di Desa Bengkel menikmati jerih payahnya sekitar tujuh
sampai sepuluh tahun telah bercocok tanam cengkeh. Akan tetapi, kegembiraan
52
yang dialami oleh petani cengkeh di desa tersebut tidak berlangsung lama, oleh
karena terjadi penurunan harga jual yang sangat drastis seiring dengan kebijakan
Badan Penyangga Penjualan Cengkeh (BPPC) memonopoli pembelian cengkeh
petani. Harga jual cengkeh menjadi sangat murah, yaitu dari harga jual rata-rata
Rp 15.000,- sampai dengan Rp 25.000,- anjlok sampai Rp 3000,- per kilo
gramnya.
Anjloknya harga cengkeh tersebut membuat petani menjadi frustrasi.
Mereka membiarkan pohon cengkehnya tanpa perawatan, seperti pembersihan
ladang, pemupukan, dan penyiraman. Hal ini terjadi oleh karena harga cengkeh
yang sangat rendah dan tidak sepadan dengan biaya produksinya. Tanaman
cengkeh tumbuh dengan tanpa perawatan dari petani menyebabkan tanaman
cengkeh menjadi tidak subur. Setelah bergulirnya reformasi dan sampai pada
pembubaran BPPC harga jual cengkeh di pasaran berangsur-angsur menjadi baik
kembali. Petani cengkeh kembali bergairah untuk merawat tanaman cengkehnya
yang sebelumnya ditinggalkan begitu saja. Para petani tersebut rata-rata memiliki
lahan seluas 15 sampai dengan 30 are dengan jumlah tanaman cengkeh sebanyak
25 sampai dengan 50 buah pohon cengkeh. Dari jumlah ini para petani rata-rata
pertahunnya memanen cengkeh sebanyak 250 kg sampai dengan 500 kg cengkeh
kering. Sampai dengan bulan Agustus 2010 harga cengkeh kering per
kilogramnya adalah rata-rata Rp 50.000,-
53
Gambar 4.3
Seorang petani menjemur cengkeh
(Dokumen Mareni, 2010)
4.6
Profil Tengkulak
Kehidupan masyarakat Desa Bengkel yang heteregen, yaitu selain
sebagian besar yang bermatapencaharian sebagai petani juga ada yang sebagai
pegawai baik negeri maupun swasta, tukang, bekerja pada jasa angkutan, dan
pedagang atau saudagar. Masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang dapat
dikelompokkan ke dalam yang berskala kecil dan menegah berdasarkan modal
yang dimiliki. Profesi saudagar dituntut untuk memiliki jumlah modal yang besar,
oleh karena saudagar ini yang akan membeli hasil panen cengkeh dari para petani
di desa Bengkel. Saudagar ini mendapatkan modalnya dari luas lahan kebun
cengkeh yang di atas rata-rata dimiliki petani pada umumnya. Di samping
memiliki modal yang besar saudagar ini juga memiliki akses dengan para
pengepul yang ada di kota Singaraja.
54
Saudagar ini kemudian disebut tengkulak dalam penelitian ini, oleh karena
mereka tidak hanya membeli hasil panen cengkeh dari petani juga berperan
sebagai rentenir. Masa panen cengkeh yang cukup lama, yaitu sekali dalam
setahun menyebabkan para petani kekurangan modal untuk biaya pemeliharaan
cengkeh seperti membeli pupuk dan obat-obatan untuk hama pohon cengkeh,
biaya buruh pemetik dan mikpik (memisahkan bunga dari tangkai), serta untuk
kebutuhan keluarga baik konsumsi, pendidikan, maupun upacara adat. Di sinilah
tengkulak berperan untuk meminjamkan uang kepada petani dengan bunga yang
tinggi. Pada saat petani menjual hasil panen cengkehnya, maka harga akan
dipermainkan oleh tengkulak tersebut di samping terjadi pemotongan harga dari
akumulasi bunga pinjaman. Para saudagar juga tidak mau rugi, walaupun tahu
pada saat panen rugi petani cengkeh tidak harus membayar hutang, akan tetapi
tengkulak berpikirnya apabila tidak dibayarkan hutangnya akan kembali
bertambah. Pihak petani juga berpikir kalau tidak dibayar pada saat menghasilkan
panen, akan tidak bisa membayar kembali karena kesempatan untuk membayar
hutang adalah pada saat panen cengkeh. Petani cengkeh juga merasa sangat
kesulitan untuk menutupi hutang yang sudah berulang-ulang dilakukan, akan
tetapi mereka tidak punya penghasilan lain selain berkebun cengkeh. Mau tidak
mau petani cengkeh harus membayar hutangnya walaupun penghasilannya tidak
cukup untuk membayar hutang. Karena saudagar tidak mau memberikan
keringanan untuk menunda pembayaran hutangnya, di samping hutang akan
semakin banyak juga kemungkinan hutang tidak dibayar. Karena bagaimanapun
juga petani masih mengharapkan pinjaman lagi kalau biaya untuk produksi
55
cengkehnya kurang. Dan tempat untuk memperoleh pinjaman itu adalah pada
tengkulak. Keberadaan tengkulak sedikitnya dapat meringankan beban petani
yang membutuhkan modal cepat dan mudah karena tanpa membutuhkan waktu
yang lama, walaupun petani sadar dengan meminjam uang kepada tengkulak
sudah pasti bunganya juga tinggi.
Gambar 4.4
Profil saudagar cengkeh
(Dokumen Mareni, 2010)