S L AV O J Z I Z E K
1
pseudo-konkret menuju proses-proses abstrak (digital, pasar…)
yang secara efektif membentuk struktur pengalaman hidup kita.
Buku ini melakukan pendekatan sistematis, dari sudut pan-
dang Lacanian, atas praanggapan-praanggapan tentang “sampar
fantasi” ini. Bab pertama (“Tujuh Tabir Fantasi”) mengelaborasi
kontur gagasan psikoanalitis tentang fantasi, dengan penekanan
khusus tentang bagaimana ideologi harus menyandarkan dirinya
pada latar fantasmik tertentu.
[…]
2
1. TUJUH TABIR FANTASI
3
tan mendorong untuk kembali pada korporatisme organis zaman
pramodern, sekaligus mendorong mobilisasi seluruh kekuatan
sosial yang belum ada presedennya demi tujuan modernisasi kilat?
Contoh yang lebih baik lagi tampak dalam proyek raksasa
pembangunan gedung-gedung publik di Uni Soviet tahun 1930-
an. Di atas gedung datar bertingkat itu biasanya diberdirikan se-
buah (atau kadang sepasang) patung raksasa yang menggambar-
kan idealisasi Manusia Baru. Dalam rentang beberapa tahun,
kecenderungan untuk kian mendatarkan atau menggepengkan
bangunan kantor itu (tempat kerja aktual bagi manusia-manusia
sungguhan) kian lama kian jelas terlihat, sampai-sampai gedung-
gedung itu jadi tampak tak lebih dari sekadar pijakan bagi
patung-patung raksasa itu. Tidakkah ciri material eksternal dari
desain arsitektural ini mengungkap “kebenaran” ideologi Stalinis
di mana manusia-manusia sungguhan direduksi menjadi instru-
men belaka, yang dikorbankan sebagai pijakan bagi momok Sang
Manusia Baru di masa depan, sesosok monster ideologis yang
melumat manusia-manusia sungguhan di bawah kakinya? Para-
doksnya adalah: barang siapa yang berani berkata terang-terang-
an di Uni Soviet tahun 1930-an bahwa visi Manusia Baru Sosialis
adalah sesosok monster ideologis yang melumat manusia-manusia
sungguhan, jelas mereka akan langsung diringkus. Namun demi-
kian, mengungkapkan hal ini justru diperbolehkan —digiatkan,
malah—lewat desain arsitektural… sekali lagi, “kebenaran ada di
luar sana”. Dengan demikian argumentasi kita bukan hanya
bahwa ideologi itu menjalari strata ekstra-ideologis dari hidup
keseharian, melainkan bahwa pengejawantahan ideologi dalam
materialitas eksternal ini mengungkap benturan-benturan inhe-
ren yang tidak mungkin diakui oleh rumusan eksplisit ideologi
itu sendiri: seolah-olah sebuah bangunan ideologis, bila ingin
4
berfungsi “normal”, harus mematuhi sejenis “godaan kelainan”
tertentu (imp of perversity), dan mengartikulasikan antagonisme
inherennya dalam wujud luar keberadaan materiilnya.
Eksternalitas ini, yang secara langsung mematerialisir ideo-
logi, juga dipampatkan sebagai “fungsi” (utility). Artinya: dalam
hidup sehari-hari, ideologi bekerja terutama dalam rujukan yang
tampak semata-mata sebagai fungsi-jangan lupa bahwa pada
jagat simbolik, “fungsi” bertindak sebagai gagasan refleksif; yang
artinya ia selalu melibatkan penegasan fungsi itu sebagai makna
(umpamanya, seseorang yang tinggal di kota besar dan punya
mobil Land Rover tidak semata menjalani hidup yang “membu-
mi” dan tanpa kompromi; melainkan, ia memiliki mobil itu un-
tuk memberi pertanda bahwa ia menjalani hidup di bawah panji-
panji sikap “membumi” dan tanpa kompromi).
Empu tak tertandingi dalam analisa macam ini tentu saja
adalah Claude Lévi-Strauss, yang segitiga semiotikanya dalam
tata boga (mentah, dipanggang, digodok) menunjukkan bahwa
makanan juga bertindak sebagai “makanan otak”. Barangkali kita
semua ingat adegan dalam film Luis Buñuel The Phantom of
Liberty, di mana hubungan antara makan dan berak dijungkir-
balik: orang-orang duduk di atas kakus mengitari meja dan meng-
obrol santai, sementara bila mereka ingin makan, mereka diam-
diam bertanya pada pelayan “Di mana tempat… tahu kan?” dan
menyelinap ke kamar kecil di bagian belakang. Jadi untuk
melengkapi Lévi-Strauss, kita pun tergoda untuk mengusulkan
bahwa tahi juga bisa dipakai sebagai matière-à-penser: tidakkah
tiga tipe dasar kakus bisa membentuk sejenis perbandingan kore-
latif ketinjaan atas segitiga masak-memasak Lévi-Strauss?
Dalam kakus Jerman umumnya, lubang tempat tahi meng-
hilang setelah kita guyur air terletak di bagian depan, sehingga
5
tahi itu pertama-tama akan terpampang bagi kita untuk diendus
dan diamati apakah ada jejak-jejak penyakit. Sebaliknya, dalam
kakus Perancis umumnya, lubangnya terletak di belakang—
artinya, tahi itu harus menghilang secepat mungkin. Terakhir,
kakus Anglo-Saxon (Inggris atau Amerika) menghadirkan sejenis
sintesis, mediasi antara dua kutub yang bertentangan tadi.
Cekungan kakus itu penuh terendam air, sehingga tahinya meng-
ambang: bisa terlihat, tapi bukan untuk diamati. Tak heran bila
Erica Jong, dalam pembahasan terkenal atas berbagai jenis kakus
Eropa pada pembukaan karyanya Fear of Flying yang kini sudah
agak terlupakan, mengklaim dengan mengolok: “Toilet-toilet
Jerman benar-benar merupakan kunci untuk menyelami horor
Third Reich. Orang yang bisa membuat toilet macam ini sung-
guh sanggup berbuat apa saja.” Jelas bahwa tak satupun versi ini
bisa diperhitungkan dalam kaidah yang murni utilitarian: adanya
persepsi ideologis tertentu tentang bagaimana subjek harus ber-
hubungan dengan buangan tak sedap yang keluar dari dalam diri
kita kentara jelas di sini—lagi-lagi, untuk ketiga kalinya, “kebe-
naran ada di luar sana”.
Hegel termasuk orang pertama yang menafsirkan bahwa
segitiga geografis Jerman-Perancis-Inggris ini mengekspresikan
tiga sikap eksistensial yang berbeda: Jerman ketelitian perme-
nungan, Perancis ketergesaan revolusioner, sementara Inggris
pragmatisme utilitarian moderat. Dalam pengertian sikap poli-
tik, segitiga ini bisa dibaca sebagai konservatisme Jerman, radi-
kalisme revolusioner Perancis, dan liberalisme moderat Inggris.
Sedangkan dalam pengertian dominasi bidang kehidupan sosial,
tersebutlah metafisika dan puisi Jerman lawan politik Perancis
dan ekonomi Inggris. Rujukan pada kakus ini memungkinkan
kita bukan hanya mengamati segitiga yang sama dalam wilayah
6
paling intim fungsi pembuangan, namun juga melihat meka-
nisme dasar dari segitiga ini dalam tiga sikap berbeda mengenai
tahi: keterpukauan kontemplatif yang ambigu; ketergesaan un-
tuk menyingkirkan buangan tak sedap itu selekas mungkin; pen-
dekatan pragmatis untuk memperlakukan buangan itu sebagai
benda biasa yang harus dibuang dengan cara yang pantas.
Jadi, mudah kiranya seorang akademisi mengklaim dalam
sebuah seminar bahwa kita tengah hidup dalam dunia pasca-ideo-
logi. Tapi begitu ia masuk kamar kecil sesudah debat berapi-api,
kembali lagi ia berkubang selutut dalam ideologi. Asupan ideolo-
gis dalam rujukan pada fungsi tersebut terbukti kebenarannya
dari watak dialogis-nya: kakus Anglo-Saxon memperoleh makna-
nya hanya melalui hubungan diferensialnya pada kakus Perancis
dan Jerman. Kita punya begitu banyak tipe kakus karena adanya
proses pembuangan traumatis yang coba untuk diakomodasi oleh
masing-masing tipe tersebut—menurut Lacan, salah satu ciri
yang membedakan manusia dari binatang adalah justru karena
pada manusia, pembuangan tahi itu jadi masalah.
Hal yang sama juga berlaku pada banyaknya cara orang men-
cuci piring: di Denmark misalnya, sederet rincian ciri-ciri mereka
mencuci piring mempertentangkan cara itu dengan cara orang
Swedia mencucinya. Analisa mendalam langsung bisa menguak
bagaimana pertentangan itu dipakai untuk mengindeks persepsi
dasar akan identitas nasional Denmark, yang dirumuskan secara
berlawanan dengan identitas nasional Swedia.1 Dan —memasuki
ranah yang lebih intim lagi—tidakkah kita menemui segitiga
semiotika yang sama dalam tiga model potongan rambut organ
7
kewanitaan? Jembut yang lebat tak dipangkas mencerminkan sikap
hippies atas spontanitas alamiah. Kaum yuppies (eksekutif muda)
menyukai prosedur penataan taman-taman Perancis (jembut di
sisi-sisi dekat pangkal paha dicukur, sehingga yang tersisa tinggal
seurai di tengah-tengah dengan garis potong yang jelas). Dalam
sikap punk, vagina dicukur polos dan dihiasi anting (biasanya
ditindikkan ke kelentit). Tidakkah ini versi lain lagi dari segitiga
semiotika Lévi-Straussian tentang jembut liar yang “mentah”, jem-
but yang “dipanggang” matang, dan jembut yang “digodok” habis?
Orang bisa melihat bagaimana sikap yang paling intim
sekalipun terhadap tubuh seseorang dipakai untuk membuat
pernyataan ideologis.2 Jadi bagaimana eksistensi material dari
ideologi ini terkait dengan keyakinan-keyakinan sadar kita?
Mengenai Tartuffe karya Molière, Henri Bergson telah mene-
kankan bagaimana Tartuffe itu lucu bukan karena kemunafikan-
nya, melainkan karena ia terperangkap dalam topeng kemuna-
fikannya sendiri:
2. Kasus yang paling jelas —dan karena kejelasannya itulah tidak saya bahas di sini—tentu saja
adalah konotasi ideologis yang ada dalam pelbagai posisi hubungan badan; artinya, pernya-
taan ideologis tersirat yang kita lontarkan dengan “melakukannya” dalam posisi tertentu.
3. Henri Bergson, An Essay on Laughter, London: Smith, 1937, hlm. 83.
8
Ideologis—tentang ritual eksternal yang mematerialisir ideologi:
subjek yang menjaga jarak dari ritual ini tak sadar akan fakta
bahwa ritual tersebut telah menguasai dirinya dari dalam. Seba-
gaimana kata Pascal, kalau kau tidak percaya, berlututlah, ber-
sikaplah seolah-olah kau percaya, dan kepercayaan ini akan da-
tang dengan sendirinya. Begitu juga halnya dengan “fetisisme
komoditas” Marxian: dalam kesadaran dirinya yang eksplisit,
seorang kapitalis adalah seorang nominalis yang berakal sehat,
namun “ketulusan yang murni materiil” dari perilakunya me-
nampakkan “kejanggalan teologis” dari jagat komoditas.4 “Ketu-
lusan yang murni materiil” dari ritual ideologis eksternal inilah,
bukan dalamnya keyakinan dan hasrat-hasrat diri sang subjek,
yang merupakan lokus sesungguhnya dari fantasi yang menjaga
sebuah bangunan ideologis.
Gagasan standar tentang cara kerja fantasi dalam ideologi
adalah berupa gambaran tentang sebuah skenario-fantasi yang
mengaburkan kengerian sesungguhnya dari sebuah peristiwa:
alih-alih memahami sepenuhnya antagonisme yang ada dalam
masyarakat, kita menceburkan diri ke dalam ide tentang masya-
rakat sebagai Keutuhan organis, yang dipersatukan oleh kekuat-
an solidaritas dan gotong-royong… Bagaimana pun, di sini juga
jauh lebih produktif untuk mencari gambaran tentang fantasi ini
di tempat-tempat yang paling tidak diduga akan didapati: di
yang-marjinal, dan sekali lagi, dalam situasi-situasi yang tampak
sepenuhnya fungsional. Cobalah kita ingat petunjuk keselamatan
yang diperagakan sebelum pesawat tinggal landas-tidakkah ini
dirawat oleh skenario fantasmik tentang seperti apa kemungkin-
9
an kecelakaan pesawat itu? Sesudah pendaratan mulus di air (yang
ajaib, selalu dianggap terjadi di atas permukaan air!), masing-
masing penumpang mengenakan pelampung penyelamat, dan
sebagaimana di seluncuran pantai, merosot ke dalam air lalu be-
renang, ibaratnya liburan ramai-ramai di laguna di bawah peng-
awasan instruktur renang berpengalaman. Tidakkah “gentri-
fikasi” atas malapetaka ini (pendaratan yang mulus, pramugari-
pramugari dengan gaya elok menunjuk ke tanda ‘Exit’…) juga
merupakan ideologi dalam bentuknya yang paling murni? Meski
demikian, gagasan psikoanalisa tentang fantasi tidak bisa direduk-
si menjadi gambaran tentang sebuah skenario-fantasi yang me-
ngaburkan kengerian sesungguhnya sebuah peristiwa. Hal perta-
ma dan cukup jelas yang harus ditambahkan adalah bahwa hu-
bungan antara fantasi dan kengerian dalam the Real yang ditutup-
tutupinya jauh lebih ambigu ketimbang yang kelihatan: fantasi
menyembunyikan kengerian ini, namun pada saat yang sama
menciptakan apa yang semestinya ia sembunyikan, titik rujuknya
yang “direpresi” (tidakkah gambaran-gambaran tentang Makhluk
maha seram, mulai dari cumi-cumi raksasa hingga amuk taufan
badai, merupakan kreasi-kreasi fantasmik par excellence?)
10