Anda di halaman 1dari 322

PUTHUT EA

Menanam Padi di Langit


Puthut EA
EA Books, 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Pemeriksa Aksara: Eko Susanto
Desain Sampul dan Tata Letak: Hamzah Ibnu Dedi
Cetakan Pertama, 2008 oleh Ark Gallery
Cetakan Kedua, 2015 oleh EA Books
309+ix hlm, 14x21 cm
ISBN: 978-979-17943-0-5
EA Books
Drono, Gang Elang 6E No 8 RT 4 RW 33, Sariharjo,
Ngaglik, Sleman, Yogyakarta 55581

Untuk:

Blora Frida, Bintang,


Bima dan Panji

S,

pernah kamu katakan kepadaku,


Bung, kita telah tiba di suatu musim,
di mana kalau kita tidak mengerjakan sesuatu,
orang akan nyinyir dan sinis kepada kita,
dan kalau kita mengerjakan sesuatu,
mereka berubah menjadi sangat cerewet.
Padahal tak ada pada mereka, kerja dan karya.

DAFTAR ISI
Pengantar: Cetakan Kedua viii
Prolog: Kekacauan di Bandara 1
Anak Gereja dan Virus Tante Rosa 15
Ibunya Lima 31
Gampang Tertawa, Gampang Menangis 41
Mozaik Eksterior 53
Mozaik Interior 63
Forum Adu Goblok 81
Cah Lor-Cah Kidul 93
Memintal Benang Merah 107
Steak Daging Kacang Ijo 119
Njeglek! 145
Mendongkel Kursi Tua 159
Taring Padi Unjuk Gigi 171
Hal Seperti Ini Sudah Cukup Buatku 185
Anaknya Tiga, Sulung Semua 203
Jari Kelingking dan Rasa Bersalah 221
NIN 241
Jejaring Yang Khas 261
Ketika Sampah Bisa Menjadi Emas 277
Epilog: Nandur Pari Neng Awang-awang 289
Bahan Bacaan dan Sumber Wawancara 306
Ucapan Terimakasih 308

PENGANTAR: CETAKAN KEDUA


Pembaca yang budiman...

I antara sekian banyak buku saya, buku ini adalah buku


yang paling menguras energi saya, sekaligus memberi
tantangan yang besar. Mungkin karena hal tersebut, saya
merasa buku ini sebagai salah satu buku yang saya sukai.
Namun, cetakan pertama buku ini menyimpan kekeliruan
yang sekalipun terlihat kecil, tapi besar artinya bagi saya. Ada
satu kutipan hasil wawancara yang keliru. Karena saat itu sudah
telanjur dicetak, saya tidak bisa memperbaikinya, dan tidak saya
tak punya cukup medium untuk menyampaikan kekeliruan
tersebut. Dengan terbitnya cetakan kedua ini, saya telah
memperbaiki kekeliruan tersebut, sekalipun harus menunggu
kurang-lebih sampai 7 tahun.

viii

Khusus untuk cetakan kedua ini, sekali lagi saya harus


menyampaikan ucapan terimakasih kepada Ark Gallery yang
membiayai pembuatan buku ini ketika terbit pertama kali.
Terimakasih juga untuk Ayos Purwoaji, Dewi Kharisma
Michellia, dan Nuran Wibisono. Ketiga orang tersebut telah
mengapresiasi buku ini jauh hari, sebelum ada tanda-tanda untuk
dicetak ulang. Mereka bertiga juga berkenan membaca lagi dan
memberikan endorsement untuk buku ini. Terimakasih untuk
Hamzah Ibnu Dedi yang membuat sampul dan menata halaman
demi halaman buku ini, termasuk Azka yang telah membantu
memberi masukan soal perwajahan buku. Kepada Wijaya Eka
Putra, saya juga berhutang budi karena berkenan menerbitkan
buku ini lagi.
Ketika buku ini ditulis, saya belum menikah dan memiliki
anak. Kini di samping saya sudah ada seorang istri yang baik
dan penyabar, dan seorang putra yang lucu dan menggemaskan.
Terimakasih untuk Diajeng Paramita dan Bisma Kalijaga, istri
dan anakku.
Selamat membaca...
Yogya, 31 Desember 2015
Puthut EA

ix

Prolog:

Kekacauan di Bandara

ORE itu, Jakarta gerah. Di bilangan Kemang, di salah satu


rumah yang pagarnya senantiasa tertutup rapat, sebuah
benih kekacauan mulai berkecambah. Tetapi tidak ada
seorang pun yang mengira, di malam harinya, benih kekacauan
itu dengan cepat mengeluarkan sulur dan siap melilit leher
beberapa orang yang berada di dalam rumah itu.
Sore itu, Heidi, si penyewa rumah itu, sedang menerima tamu
di pinggir kolam renang. Sementara, beberapa orang terdengar
berbicara keras dari ruang tamu. Hari itu adalah Jumat tanggal 7
Maret 2008, bertepatan dengan hari raya Nyepi. Karena hari itu
libur, Heidi sengaja sengaja bangun tidur di siang hari.
Di ruang tamunya yang luas dan nyaman, sembilan lukisan
dengan tinta yang masih basah tersender di beberapa bagian
tembok. Sekalipun di bagian tertentu lantai yang disulap dalam
waktu singkat untuk melukis sudah digelari karpet tipis, namun
tetap saja, bercak tinta berleleran di bagian lantai yang lain. Bahkan
beberapa bagian dinding yang bercat putih bersih pun tertempel
bercak-bercak tinta. Tidak ada seorang pun yang kebetulan di
sana saat itu, yang bisa menebak perasaan Heidi, atau mungkin
lebih tepatnya tidak peduli. Mereka yang berkumpul di ruang itu
adalah para kawan lama Heidi.
Heidi bangun tidur sekitar pukul dua siang. Begitu bangun
tidur dan membuka kamar, ia mendapati Bob Sick masih asyik
melukis. Heidi mengambil air minum dan sempat memperhatikan
sejenak aktivitas Bob. Mereka tidak sempat bertegur sapa. Bob
tidak menyapa Heidi, dan Heidi pun tidak menyapa Bob. Posisi
Bob memunggungi Heidi. Bisa jadi, Bob memang tidak sadar
kalau ada seseorang yang sedang memperhatikan kegiatannya
melabur kanvas dengan cat minyak.
Di ruang itu, ada meja kayu panjang diapit dua kursi kayu
yang juga panjang tanpa sandaran. Di meja itulah biasanya
Heidi sarapan dan membaca koran. Biasanya, di meja itu ada
dua jenis koran: Jakarta Post dan Kompas. Lalu ada setumpuk

majalah seperti Time dan Tempo edisi berbahasa Inggris. Lalu


ada beberapa katalog pameran. Namuan semenjak kedatangan
kawan-kawan lamanya, meja panjang itu bertambah beban:
beberapa bungkus rokok, asbak yang penuh, abu rokok bertebaran,
dan juga ceceran nasi serta gelas-gelas kotor bekas kopi dan
minuman anggur. Juga beberapa kaleng bir yang belum terbuka
dan setengah botol wiski.
Di dekat meja itu, tepat di depan kamar mandi, tergeletak
Teddy. Begitu melihat Teddy tertidur di lantai, Heidi langsung
maklum, pasti Teddy tertidur karena mabuk berat.
Di ruang itu pula, terdapat satu set sofa. Dan di salah satu kursi
sofa, Toni tertidur.
Tepat di saat itu, Bob membalikkan badan, ia ingin membuat
kopi. Begitu melihat Heidi sudah bangun dari tidur dan berada
di ruang itu, mereka saling tersenyum, bertegur sapa, semacam
mengucapkan selamat pagi, sekalipun hari telah siang.
Selesai membuat kopi, Bob duduk di kursi dan berbincang
dengan Heidi. Saat itu, dengan bahasa yang susah didengar oleh
telinga orang yang tidak biasa mendengar suaranya, Bob berkata
bahwa semalam ia tidak tidur. Bob merokok bebeapa batang, lalu
melukis kembali.
Heidi sempat berdiri dan mendekat ke arah Bob yang sedang
asyik bermain warna. Perempuan berwarga negara Australia itu
sempat bertanya mengapa Bob kadangkadang melukis dengan
kanvas tersandar di dinding, tapi kadang-kadang juga di lantai.
Bob saat itu menjawab, karena ia ingin ada lelehan cat di
kanvasnya. Efek lelehan itulah yang sedang dikerjakannya saat
itu. Heidi sempat mangut-manggut, tapi ia sempat juga bilang
kalau Pollock juga mempunyai efek lelehan di lukisannya, namun
melukis dengan kanvas terlentang. Setelah itu Heidi masuk
kamar untuk mandi. Sebentar lagi, tamunya akan datang. Hari
itu, jam tiga sore, ia ada janji untuk diwawancarai oleh seorang
penulis.

Tidak lama kemudian, seorang laki-laki muncul dari kamar


yang berbeda. Ia menenteng laptopnya, lalu meletakkan dan
membuka laptop itu di atas meja kayu. Coki Nasution, nama lakilaki itu, tidak menyapa Bob. Ia asyik sendiri dengan laptopnya.
Sudah sejak tiga bulan sebelumnya, Coki menumpang di rumah
Heidi karena kebetulan ia sedang ada proyek pembuatan sebuah
film dokumenter tentang flu burung.
Hanya berselang sepuluh menit kemudian, ibu penjaga rumah
Heidi masuk, memberi tahu kalau tamu yang sudah janjian dengn
Heidi telah datang. Si tamu kemudian menyusul masuk, duduk
di kursi berhadapan dengan Coki, dan sejenak mendekati Bob
untuk berbasa-basi. Setelah itu ia kembali duduk di kursi kayu
dan berbicang dengan Coki, sembari menunggu Heidi selesai
mandi.
Di bagian tertentu dinding rumah itu, terdapat sketsa Samuel
Indratma. Dan yang selalu menarik perhatian siapapun yang baru
datang ke rumah itu pastilah sebuah hiasan: sepasang sepatu
berwarna hijau digantung di dinding dan dipigura. Seandainya
toh tidak ada sembilan kanvas besar yang masih basah oleh cat,
siapapun yang datang pasti langsung bisa menebak kalau Heidi,
si empunya rumah, pastilah seorang pencinta seni.
Heidi keluar dari kamar dengan wajah segar dan rambut
yang masih basah. Mereka bertiga, Heidi, Coki dan si tamu,
berbincang hangat. Sesekali, jika tertarik dengan isi perincangan,
Bob menimpali sembari terus melukis.
Dari kamar yang berbeda lagi, seorang laki-laki tinggi berkepala
pelontos keluar. Ia langsung mendekati Bob, mengamati dari
dekat bagaimana Bob melukis. Namun tidak lama kemudian ia
pun ikut bergabung di meja panjang untuk berbincang bareng.
Lakilaki itu bernama Bowo, tetapi teman-teman dekatnya
memanggilnya dengan sebutan Jemek.
Setelah beberapa saat, Heidi memutuskan agar wawancara
dilakukan di halaman samping, di dekat kolam renang, agar kelak

jika Teddy dan Toni terbangun dari tidur, proses wawancara tidak
terganggu.
Di dekat kolam renang, terdapat juga beberapa kanvas. Kanvas
yang di luar, dalam ukuran yang juga sama besarnya dengan
kanvas-kanvas yang berada di dalam ruangan. Hanya saja, kanvaskanvas itu hanya dicoret dengan arang, lalu diberi tandatangan:
S. Teddy. D.
Wawancara dimulai. Suasana masih sepi. Hanya pelan
terdengar perbincangan antara Jemek dan Coki, tetapi itu tidak
mengganggu proses wawancara.
--eddy, Bob dan Toni datang ke Jakarta sehari sebelumnya,
hari Kamis. Mereka sedang terlibat proyek dengan
Jemek. Sebelum datang, mereka bertiga berpesan agar
disediakan kanvas dan perangkat melukis, dan tentu saja minuman
beralkohol. Mereka bertiga bilang, seusai pembahasan tentang
proyek itu, mereka ingin melukis dan menginap di tempat Heidi.

Jemek tentu saja dengan senang hati mempersiapkan apa saja


yang diminta oleh ketiga pelukis tersebut. Bahkan, ia membeli
karpet plastik untuk berjaga-jaga agar lantai rumah Heidi tidak
kotor, walaupun toh akhirnya usaha itu sia-sia belaka. Sebab
bukan hanya lantai yang kotor, melainkan juga tembok rumah.
Sepanjang malam, seusai membahas sebuah proyek di daerah
Kedoya, Teddy, Bob dan Toni melukis sembari menenggak
minuman keras. Hingga akhirnya Toni tertidur di sofa, Teddy
terkapar di lantai, dan hanya Bob yang terus melukis sampai sore
harinya tanpa tertidur.
Teddy, Bob dan Toni, berencana pulang ke Yogya Jumat malam.
Tiket pesawat telah tersedia. Jadwal penerbangan mereka pukul
tujuh malam. Tetapi karena hari itu adalah hari libur, mereka
tidak perlu bergegas karena di saat libur, jalanan di Jakarta tidak
macet.

Sampai pukul empat sore, suasana masih baik-baik saja. Satu


jam lagi, menurut rencana, mereka bertiga akan berangkat ke
bandara. Toni mulai bangun, juga Teddy. Mereka bahkan masih
sempat menerima kedatangan dua orang kawan lama mereka.
Di halaman samping, wawancara masih berjalan. Kegaduhan
di ruang tamu belum cukup mengganggu jalannya wawancara.
--i ruang tengah, begitu terbangun dari tidur, Teddy
langsung menengak lagi minuman keras yang masih
tersisa di meja. Mereka yang berada di ruangan itu juga
minum. Lambat namun pasti, benih-benih kekacauan mulai
tertebar.

Secara bergantian, Toni dan Teddy sesekali menuju haaman


samping, dan semenjak itulah proses wawancara mulai terganggu.
Kadang-kadang Toni datang, lalu ikut nimbrung wawancara.
Dan kadang-kadang Teddy datang, lalu meracau. Sore itu, Teddy
terlihat mabuk berat. Hanya sekali saja, Bob datang ke halaman
samping. Ia hanya duduk diam, mengisap rokok. Bob pun terlihat
mabuk berat.
Tiba-tiba Toni bilang kalau ia menggagalkan rencananya
untuk pulang hari itu. Ia bilang, ada hal yang harus dibicarakannya
dengan Heidi.
Waktu menggiring Bob dan Teddy untuk segera berkemas.
Tetapi semua mendadak serba kacau. Bob terus bergeming
walaupun sudah diingatkan agar segera berkemas, dan Teddy
malah sibuk berjalan mondar-mandir sambil mengeluarkan katakata yang serba tidak jelas.
Taksi panggilan datang. Bob akhirnya bangkit menuju pintu
keluar. Sementara Teddy masih sibuk mencari kaus kakinya.
Akhirnya ia menemukan kaus kaki, entah milik siapa, yang jelas
ia memakai kaus kaki sebelah kanan berwarna hitam dan sebelah
kiri berwarna abu-abu. Dan yang lebih gila lagi, ia mengambil
celana dalam, juga entah milik siapa, lalu celana dalam itu dipakai

untuk membungkus kepalanya.


Wawancara selesai sesaat setelah Bob dan Teddy pergi. Malam
itu, Heidi punya janji dengan Dolorosa Sinaga untuk sebuah
urusan. Begitu tahu Heidi akan bertemu Dolorosa, Toni bilang
ingin ikut. Heidi tidak keberatan. Heidi masuk kamar untuk
mempersiapkan kepergian. Ketika ia keluar kamar beberapa
menit kemudian, ia sudah mendapati Toni tertidur. Lebih
tepatnya, Toni mabuk berat, lalu tertidur.
Setiap kali Heidi membangunkan Toni, selalu saja Toni
menjawab, Oke, oke Tapi kemudian tertidur lagi. Begitu
terus, sampai berkali-kali. Sambil sesekali mengingatkan, lebih
tepatnya membangunkan Toni, Heidi berbincang dengan Coki
dan Jemek. Perbincangan itu sendiri sebetulnya sudah beda
frekwensi, Heidi segar bugar, sementara Coki dan Jemek sudah
agak tinggi karena pengaruh alkohol.
Di saat jam mendekati pukul tujuh malam itulah, Jemek
memencet tombol telepon genggam. Ia mencoba mengecek
Teddy dan Bob yang sudah seharusnya berada di bandara, dan
mungkin pesawat yang mereka tumpangi sedang bersiap untuk
tinggal landas.
Pertama, Jemek menghubungi telepon genggam Teddy. Tetapi
gagal. Dan Jemek saat itu berpikir, mungkin sudah masuk kabin
pesawat. Lalu secara iseng, ia menghubungi telepon genggam
Bob. Di saat itulah, ketika Bob menjawab panggilan teleponnya,
Jemekkontan berdiri dan mengeluarkan kata-kata, Di kantor
polisi?!
Begitu Jemek mengeluarkan kalimat seperti itu, kekhawatiran
merambat di ruangan jembar yang masih penuh dengan aroma
cat minyak, bau alkohol, dan asap rokok. Semua yang berada di
sana, tegang.
---

Ya, ya.. Tunggu di sana. Aku segera ke sana! Selesai


mengucapkan kalimat itu, Jemek menutup telepon. Baru saja
telepon dimatikan, telepon genggam Jemek berbunyi lagi, kali
ini datang dari Tere, istri Teddy. Lalu terdengar suara Jemek, Iya,
Tere. Iya, Tere. Iya, ini aku baru akan ke sana.
Jemek segera memakai sepatu. Kepada Coki dan Heidi, Jemek
hanya bisa bilang bahwa Bob dan Teddy mabuk berat di bandara,
lalu mereka berdua membuat ulah, sehingga ditahan di kepolisian
bandara.
Setelah kepergian Jemek, suasana di rumah itu lengang.
Heidi segera membangunkan Toni, selain mengabarkan tentang
apa yang terjadi, ia terlihat sudah tak sabar karena harus segera
memenuhi janji. Kali itu, usaha Heidi berhasil.
Ketika Heidi dan Coki menceritakan apa yang baru saja
terjadi, Toni hanya tersenyum. Heidi dan Toni kemudian pergi
ke rumah Dolorosa, sembari berpesan agar diberi tahu segala
perkembangan yang terjadi menyangkut Bob dan Teddy.

Kelak, Toni mengaku bahwa ia tahu sesuau akan terjadi


menimpa kedua temannya itu. karena itulah, ia membatalkan diri
untuk ikut terbang bersama kedua rekannya. Pengakuan Toni
dilakukan dengan cara yang khas: terus terang, pelan, dan selalu
tersenyum.
--i dalam taksi, perasaan Jemek berkecamuk. Ia merasa
bersalah. Pertama, karena dirinyalah yang mengundang
ketiga pelukis dari Yogya itu, dan seharusnya ia bisa
menjaga ketiga orang tersebut, bukan malah membuat mereka
bertiga mabuk berat di saat yang tidak tepat. Kedua, ia merasa
tidak enak dengan Tere, istri Teddy, yang saat itu sedang
mengandung memasuki bulan kedelapan, sekaligus merasa tidak
enak dengan Widi, pasangan Bob, yang juga sedang mengandung
memasuki bulan ketiga.

Selain itu, Jemek juga merasa khawatir, dan terus menduga,

sebetulnya apa yang terjadi sehingga Bob dan Teddy gagal


ikut penerbangan dan malah terparkir di kepolisian bandara.
Kemudian, Jemek juga merasa tidak enak dengan Heidi. Ia sudah
membuat kotor rumah Heidi, membuat kekacauan, dan janganjangan Heidi pun bisa terlibat peristiwa konyol itu jika persoalan
di kepolisian menjadi berlarut-larut.
Begitu taksi yang ditumpanginya berhenti, Jemek langsung
melompat keluar, setengah berlari menuju empat di mana
Bob dan Teddy diperiksa. Setelah sampai di ruangan tersebut,
ia melihat Teddy duduk di lantai sambil bersandar di dinding.
Mulut Teddy meracau. Sementara itu, Bob dikelilingi beberapa
petugas kepolisian.
Pertama yang dilakukan oleh Jemek adalah mendekati Teddy,
dan menepak kepala Teddy sambil berujar, Bocah asu!
Teddy sambil mengeriyipkan mata, memandang ke arah
Jemek, lalu berkata, Sori, Mek
Jemek segera mengambil alih tanggungjawab. Ia yang
menjawab semua pertanyaan dari petugas, dan entah energi
apa yang merasukinya saat itu, ia mampu menjawab semua
pertanyaan dengan baik, lalu mengambil alih semua masalah.
Hanya kurang dari tigapuluh menit, Jemek berhasil menggiring
kedua temannya itu masuk ke dalam tubuh taksi.
Bob berada di kursi depan, kepalanya terjuntai ke jendela, dan
tubuhnya diamankan dengan sabuk pengaman. Sementara Teddy
dan Jemek berada di belakang. Teddy tidak mau duduk di kursi,
dan memilih untuk tiduran di lantai mobil. Tubuhnya terjepit.
Tetapi ia sudah kembali tidak sadar. Sementara Jemek berada di
atas kursi.
Taksi berjalan menuju ke Kemang dengan kecepatan yang
terjaga. Si sopir tahu persis, kondisi dua dari ketiga penumpangnya
sedang dalam keadaan buruk.
Taksi memasuki halaman rumah Heidi tepat pukul sembilan

10

malam. Kedua orang itu segera dibopong oleh Jemek, Coki dan
penjaga rumah Heidi. Saat mereka membopong Teddy, hanya
sepotong kalimat yang keluar dari mulut Teddy, Aku bersalah
kepada Bob
--Sesungguhnya beginilah rentetan peristiwa yang dialami oleh
Bob dan Teddy
Begitu taksi membawa mereka berdua menuju ke arah bandara
sore itu, di tengah perjalanan, Teddy yang sudah mabuk berat
meminta Bob untuk membeli bir lagi. Bob yang juga sudah teler,
mengiyakan, dan akhirnya ia membeli empat enam kaleng bir.
Keenam bir itu lalu dibagi rata, dua untuk Bob, dua untuk Teddy,
dan dua untuk sopir taksi. Sekalipun sopir taksi menolak diberi
bir, Teddy memaksa si sopir agar mau menerima jatahnya.
Dua kaleng bir jatah Teddy lebih dulu tandas. Lalu ia meminta
kembali jatah bir yang telah diberikannya kepada sopir taksi. Satu
kaleng ditandaskan lagi. Kemudian ia meminta jatah Bob satu
kaleng. Dan dengan cepat, jatah Bob pun dihabiskannya.
Sesampai di bandara, begitu pintu taksi terbuka, Teddy
terjatuh. Ia mulai mengumpat dan meracau. Mereka berdua
segera menjadi pusat perhatian di bandara. Jangankan dalam
keadaan mabuk, jika tidak pun, mereka pasti akan menjadi pusat
perhatian. Kedua orang itu berambut gimbal dan bertato. Bahkan
wajah Bob pun penuh dengan tato.
Langkah kedua orang itu terhuyung. Setiap kali bersimpangan
dengan orang, Teddy selalu menantang orang itu. Atau kalaupun
tidak, mengumpati mereka.
Tahu kalau kedua orang yang baru turun dari taksi mulai
menebar kekacauan di bandara, para petugas keamanan bandara
mengerubunginya. Di saat itulah, justru Teddy menantang
mereka untuk berkelahi. Dan terus berkata dengan keras, Aku
ini seniman! Aku ini seniman!

11

Bob ingin mengingatkan Teddy agar ia tidak usah membuat


keributan. Tetapi kepala Bob pun sudah berat. Ia hanya tahu,
mereka berdua pasti akan berhadapan dengan masalah.
Maskapai penerbangan yang hendak ditumpangi oleh Bob
dan Teddy, menolak mereka berdua untuk ikut serta dalam
penerbangan karena mereka berdua mabuk berat. Bahkan si pilot
mengancam, jika mereka berdua diijinkan ikut penerbangan,
maka ia tidak mau menerbangkan pesawat. Saat mendengar hal
itu, tindakan Teddy semakin tidak terkontrol. Ia mengumpat dan
memaksa agar bisa ikut penerbangan. Tetapi bukannya ia bisa
ikut terbang, melainkan diseret petugas kepolisian bandara ke
ruang pemeriksaan.
Di ruang periksa, kalimat Teddy berubah. Jika sebelumnya,
kalimat yang paling banyak diucapkan adalah, Aku ini seniman!,
maka ketika di ruang pemeriksaan, kalimat yang paling banyak
diucapkan adalah, Aku harus pulang! Istriku sedang hamil!
Teddy tidak bisa diinterogasi. Hanya dompet dan tasnya saja
yang digeledah petugas, lalu ia dibiarkan terduduk di lantai
sambil tetap meracau. Para petugas lalu menginterogasi Bob. Hal
utama yang ditanyakan adalah mereka mabuk apa?
Ditanya seperti itu, Bob menjawab, Teddy mabuk alkohol!
Lalu petugas bertanya, Bob mabuk apa?
Bob menjawab, Saya mabuk obat!
Bob memang sedang berobat. Di dalam tasnya ada obat
penenang, sekaligus kopian resep dari dokter, sehingga ia tidak
takut mengaku kalau mabuk obat. Lalu Bob melanjutkan berkata,
Kesalahan saya adalah saya minum bir, tapi hanya sekaleng!
Di saat itulah, Jemek datang. Dan kita semua sudah tahu
apa yang kemudian terjadi di ruangan itu. Kepulangan mereka
tertunda. Jemek berhasil melakukan proses negosiasi dengan
pihak maskapai penerbangan agar tiket mereka berdua bisa
digunakan untuk keesokan harinya, pukul delapan pagi.

12

Bob terbangun dari tidurnya pukul tiga dini hari. Hal pertama
yang keluar dari mulutnya, Aku berada di mana?
Coki yang saat itu belum tidur menjawab, Di rumah Heidi
Bob bingung, lalu bertanya lagi, Lho kok bisa?
Coki hanya tersenyum.
Teddy bangun pukul lima pagi. Kalimat pertama yang
meluncur dari mulutnya, Aku berada di mana?
Jemek yang saat juga sudah bangun dan bersiap mengantar
mereka berdua pergi ke bandara hanya bilang, Bocah asu!
Teddy tersenyum. Lalu menyulut sebatang rokok.
--eddy, Bob dan Toni adalah teman sebaya. Di kampus
mereka dulu, di ISI Yogya, mereka bukan hanya dikenal
sebagai tiga sahabat, melainkan juga trio pembikin onar,
terutama Teddy dan Bob. Debut kegilaan mereka dimulai ketika
mereka bertiga, ditambah dengan Edo Pillu membentuk sebuah
grup musik dengan nama: Steak Daging Kacang Ijo.

Tetapi yang dikenal paling ngedan saat itu adalah Bob dan
Teddy. Pernah suatu saat, mereka berdua pergi ke Blora bersama
Coki dan seorang teman mereka lagi bernama Sigit. Mereka
berempat meminjam mobil salah seorang teman, dan pemegang
setir mobil dipercayakan kepada Teddy.
Agendanya adalah melakukan takziah karena pendeta yang
akrab dengan Teddy sejak kecil, meninggal dunia. Malamnya,
mereka mampir ke kedai arak, dan mereka berempat mabuk berat.
Dalam keadaan mabuk itulah, mereka berempat mengunjungi
lokalisasi. Teddy dengan bertelanjang dada, masuk lokalisasi,
mengetuk pintu-pintu kamar, sambil berteriak-teriak, Aku
seniman kaya! Aku dari dayak dan tatoku banyak! Aku punya
teman dari Batak!
Kontan lokalisasi itu heboh dengan segera. Tetapi preman-

13

preman di sana kenal baik siapa Teddy, sehingga mereka hanya


menjaga Teddy dari jauh, sembari menenangkan para pelacur
agar tidak usah takut. Puas berteriak-teriak, Teddy masuk mobil
lagi. Mereka memutuskan untuk mencari sate ayam di daerah
Cepu.
Tetapi yang mereka lakukan adalah berputar-putar di kota
Blora. Setiap kali ada rumah yang menarik perhatian mereka,
Teddy menghentikan mobil, lalu ia mengajak berdebat dengan
Bob. Inti perdebatan itu kira-kira: rumah itu keren atau tidak,
gaya artsitekturnya apa, dan kira-kira dibangun tahun berapa.
Mereka belum puas berdebat, tetapi kota Blora yang kecil
itu sudah mereka kelilingi. Akhirnya mereka masuk ke sebuah
kompleks pemakaman tua. Teddy dan Bob turun dari mobil lalu
melanjutkan perdebatan mereka. Perdebatan kacau itu merentang
dari mulai apa itu kuburan, indah atau tidak, sampai diskusi
tentang kematian. Sigit dan Coki hanya bisa menunggu di dalam
mobil sambil terus-menerus mengingatkan kalau mereka berdua
lapar dan harus segera ke Cepu untuk makan sate ayam.
Setelah lelah berdebat, Teddy dan Bob masuk ke mobil.
Mereka segera menuju kota Cepu. Tetapi kota yang seharusnya
hanya ditempuh kurang dari satu jam dari Blora itu tidak juga
mereka capai. Yang mereka tahu kemudian adalah mereka semua
terbangun di pinggir alun-alun kota Blora, saat matahari sudah
mulai terbit. Sepanjang malam, Teddy hanya mengitari alun-alun
itu. Setelah lelah, ia mematikan mesin mobil, kemudian tidur,
menyusul ketiga temannya yang lain, yang sudah terlebih dulu
terlelap.
Kisah-kisah di atas adalah sediki dari serentetan kisah gila
yang mereka alami. Mungkin kita akan segera diingatkan dengan
sebuah pameo tua: sebagian orang gila akan tetap gila, dan
sebagian lagi akan menjadi legenda. Kita tidak pernah tahu, atau
belum sepenuhnya tahu, apakah mereka akan menjadi legenda,
atau justru termasuk di dalam golongan yang lain: tetap gila.

14

Anak Gereja
dan Virus Tante Rosa

ANYAK orang mengira bahwa Teddy adalah orang


Padang. Sebab di berbagai katalog pamerannya, senantiasa
tertulis: S. Teddy. D, lahir di Padang, 25 Agustus 1970.
Namun sejatinya, ia orang Jawa. Ibunya, berasal dari Kudus, dan
bapaknya berasal dari Purwokerto.
Sunarmi, ibu Teddy, memang sejak kecil sudah hidup di
Sumatera Barat, karena mengikuti orangtuanya. Kebetulan sang
bapak berprofesi sebagai tentara, yang ditugaskan ke Sumatera
Barat untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta.
Siradz, bapak Teddy, juga seorang tentara, yang pada tahun
1964 ditugaskan ke Sumatera Barat. Di sanalah, ibu dan bapak
Teddy bertemu, kemudian melangsungkan pernikahan.
Teddy terlahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara
pasangan Siradz dan Sunarmi. Menurut Sunarmi, proses
kelahiran Teddy merupakan proses kelahiran termudah yang
dialaminya. Tetapi Teddy adalah anak Sunarmi yang paling lama
dikandungnya, umur kandungan Sunarmi saat mengandung
Teddy hingga kemudian melahirkan, berumur 10 bulan kurang
3 hari. Saat itu, di sebuah pagi, sebagaimana biasanya, Sunarmi
berjalan-jalan bersama suaminya. Di tengah jalan, tiba-tiba
perutnya terasa sakit, seperti hendak melahirkan. Lalu mereka
mampir ke sebuah rumah sakit. Dan bayi kecil yang dikandung
Sunarmi lahir dengan selamat. Mereka memberi nama si jabang
bayi itu dengan nama Teddy Darmawan. Nama belakang
Darmawan diberikan kepada si bayi dengan harapan agar kelak
anak itu menjadi sosok yang dermawan. Sedangkan huruf S di
depan nama Teddy adalah nama baptis: Stefanus.
Sejak kecil, Teddy sudah menunjukkan gejala sebagai anak
yang hiperaktif. Pernah suatu saat, ketika ia berumur tiga tahun,
oleh sang tante yang saat itu menjaganya, Teddy meminta untuk
dinaikkan pagar tembok setinggi lebih dari 1 meter. Awalnya,
Teddy hanya diam. Tetapi tidak lama kemudian, ia berdiri
dan mulai berjalan-jalan di atas pagar itu. Si tante panik, dan

17

segera hendak meraih kembali Teddy kecil. Tetap sayang, usaha


si tante terlambat. Sebelum Teddy berhasil diraihnya, anak itu
telah terlebih dahulu jatuh dengan posisi kepala yang pertama
menyentuh tanah.
Teddy segera dilarikan ke rumah sakit. Dokter mendiagnosa,
Teddy menderita gegar otak. Teddy lalu dirawat di rumah sakit.
Tetapi lagi-lagi, di rumah sakit, Teddy membikin ulah. Ia terjatuh
lagi dari dipan tempatnya dirawat.
Menjelang masuk sekolah dasar, Siradz ditugaskan di daerah
Kudus, Jawa Tengah. Teddy pun ikut dibawa serta.
Selain menunjukkan tingkah laku yang hiperaktif, Teddy
dikenal kreatif. Ia membuat sendiri mainan-mainannya. Keluarga
Siradz memelihara beberapa anjing kecil. Teddy lantas membuat
semacam kereta kecil, dan menjadikan anjing-anjing itu seperti
kuda-kuda yang menyeret kereta.
Tetapi yang paling diingat oleh Teddy adalah saat ia membuat
mobil-mobilan dari triplek. Mobil mainan itu berupa mobil jip
kecil, dengan cat berwarna biru. Mobil itu dikagumi oleh banyak
teman sepermainannya. Dan kelak ketika Teddy sudah menjadi
pelukis yang cukup ternama, ia mempunyai mobil jip yang persis
sama dengan jip buatannya sendiri saat ia masih kecil.
Ketika mulai duduk di kelas 5 SD, menjelang kenaikan kelas,
Teddy membuat ulah. Ia mengumpulkan semua teman lakilakinya sekelas, lalu mereka saling memotong rambut hingga
semua anak laki-laki sekelas itu berkepala pelontos. Keesokan
harinya, saat masuk ke dalam kelas, semua anak memakai topi.
Terang saja guru mereka heran. Berkali-kali sang guru meminta
anak-anak yang bertopi itu untuk melepas topi mereka. Tetapi
anak-anak itu malah menundukkan kepala, tidak ada yang
mencopot topi. Akhirnya, Teddy-lah yang mula-mula mencopot
topinya, lalu satu per satu temantemannya juga mencopot topi
mereka masing-masing. Begitu tahu apa yang sedang terjadi, si
guru yang awalnya merasa marah, berbalik tersenyum.

18

Saat naik kelas menuju kelas 6 SD, kembali Siradz


dipindahtugaskan ke kota Blora. Tetapi tepat di saat pindahan
rumah, Teddy sedang berlibur di rumah kakeknya yang berada di
Jakarta. Keluarga itu pindah rumah tanpa Teddy.
Ketika Teddy pulang ke Kudus, ia mendapati rumahnya telah
kosong. Dari Jakarta, Teddy didampingi oleh salah seorang
pembantu kakeknya, yang kebetulan juga punya keluarga di
Kudus. Tetapi orang yang dititipi Teddy, tidak mengantar Teddy
sampai ke rumah. Begitu mendapati rumahnya kosong, Teddy
bertanya kepada tetangga-tetangganya, ke mana keluarganya
pindah. Ketika tahu bahwa keluarganya pindah ke Blora, Teddy
segera menyusul seorang diri. Saat itu, Teddy baru saja naik ke
kelas enam. Jarak antara kota Kudus dan kota Blora, relatif jauh.
Dari Kudus menuju Blora, bisa ditempuh dengan 2 jalur. Pertama,
dari Kudus menuju Pati, lalu melanjutkan ke Purwodadi, baru
kemudian menuju Blora. Atau, dari Kudus menuju Rembang,
dengan terlebih dahulu melewati Pati dan Juwana, setelah sampai
Rembang perjalanan bisa dilanjutkan menuju ke Blora. Teddy
memilih jalur yang terakhir. Ia melewati kota Rembang.
Sesampai di Blora, Teddy segera menuju ke Kodim Blora. Di
sana, ia mengaku sebagai anak Pak Siradz. Dengan diantar oleh
seorang tentara yang sedang bertugas saat itu, Teddy dibawa
menuju kecamatan Banjarejo, sebuah kecamatan arah barat daya
dari kota Blora. Di sanalah Siradz bertugas sebagai komandan
rayon militer (Danramil).
Kedatangan Teddy seorang diri ke Blora, sempat membuat
geger keluarganya. Anak kecil itu mulai menunjukkan nyalinya.
Di dalam hari Sunarmi, terselip perasaan bangga, sekaligus rasa
waswas.
--ulus dari sekolah dasar, Teddy masuk SMP paling favorit
sekabupaten Blora, SMPN 1 Blora. Jarak dari Banjarejo
ke Blora, sejauh 12 kilometer, ditempuh Teddy pulangpergi dengan naik angkutan pedesaan (angkudes), mobil colt pick

19

up. Hobinya adalah bergelayut di bagian paling belakang, atau


kalau tidak, naik di atas atap mobil.
Di SMP itulah, Teddy mengenal Bowo, yang sampai sekarang
merupakan sahabat karibnya. Hanya saja, Bowo saat itu belum
dipanggil Jemek. Nama panggilan Jemek memahkotai Bowo
ketika ia kelak kuliah di Fakultas Filsafat UGM.
Persahabatan dua orang itu terjadi hanya karena soal sepele.
Angkudes yang ditumpangi Teddy, hanya turun di sebuah
perempatan kota. Untuk menuju ke SMPN 1 Blora, Teddy
harus berjalan kaki sejauh 2 kilometer lagi. Di antara jalan yang
harus ditempuhnya itulah, terdapat rumah Bowo. Begitu mereka
berkenalan, Teddy sering mampir ke rumah Bowo untuk samasama berangkat ke sekolah dengan naik sepeda angin Bowo.
Karena Bowo yang memiliki sepeda, maka Teddy yang berada di
depan, mengayuh sepeda, sementara Bowo berada di belakang,
membonceng.
Sudah jamak di tahun-tahun itu, begitu memasuki tahun
kedua, anak-anak terpandai dirangking. Bagi mereka yang masuk
rangking 40 besar, dijadikan satu kelas: 2A. Teddy masuk rangking
18, dan karenanya ia masuk kelas 2A. Di kelas itu, Teddy tidak
kerasan. Satu-satunya teman yang bisa diajaknya membandel
adalah Untung, seorang keturunan Tionghoa. Untung termasuk
siswa yang cerdas, tetapi juga cukup bandel. Berbeda dengan
kebanyakan teman sekelas Teddy yang lain, yang rata-rata begitu
suntuk dengan pelajaran, bahkan di jam-jam istirahat pun mereka
berada di dalam kelas untuk belajar.
Sedangkan Bowo, menerima takdirnya sendiri, sesuai dengan
kapasitas intelektualnya saat itu, ia berada di kelas 1E. Tetapi
persahabatan mereka tetap berjalan. Bertiga bersama Untung,
mereka sering ngeblong, sebuah istilah lokal di mana seorang
siswa tidak masuk kelas hanya untuk mata pelajaran tertentu.
Mereka bertiga sering ngeblong di sebuah kuburan yang dekat
dengan lokasi sekolah mereka. Di sana, di kompleks kuburan itu,

20

mereka merokok dan makan buah jamblang atau duwet.


Saat memasuki tahun ketiga SMP, Bowo kembali satu kelas
dengan Teddy. Kenakalan mereka semakin menjadi-jadi. Mereka
berubah dan mulai tumbuh sebagai duo-pembikin-onar. Salah
satu hobi mereka adalah mendekati anak laki-laki yang terlihat
alim, lalu menginterogasi mereka satu per satu. Biasanya
materi interogasi itu menyangkut apakah anak tersebut sudah
pernah melakukan onani atau belum. Jika mereka menjawab
sudah, duo-pembikin-onar itu akan membuat propaganda dan
menyebarluaskan. Tetapi jika ada anak yang menjawab belum,
mereka merayu dan membujuk mereka bahwa melakukan onani
itu nikmat sekali.
Dengan segera Teddy dan Bowo menempati urutan teratas
sebagai anak bandel sekaligus duo yang disegani di SMP yang
kebanyakan siswanya bukan hanya merupakan anak-anak
terpintar di kabupaten tersebut, melainkan juga tempat sekolah
anak-anak para pejabat di tingkat kabupaten.
Karena mulai menduduki posisi sosial tertentu dan mulai
menancapkan pengaruh mereka, maka apa yang dilakukan oleh
Teddy dan Bowo segera dianut oleh taman-teman mereka yang
lain. Termasuk salah satunya adalah menonton film di gedung
Bioskop, terutama film-film dengan tulisan: Untuk 17 tahun ke
atas. Tetapi baik penjual tiket maupun petugas bioskop tidak
pernah peduli. Bintang pujaan mereka saat itu adalah Eva Arnaz.
Duo itulah yang menyebarkan virus Tante Rosa, sebuah
akronim dari bahasa Jawa: Tangan tengen, nganggo sabun (Tangan
kanan, memakai sabun). Sebuah istilah yang mendeskripsikan
bagaimana seseorang melakukan onani.
Lalu mereka pun mulai ikut mempopulerkan sebuah guyonan
khas anak muda saat itu. tiba-tiba saja, entah Bowo atau Teddy
memanggil teman mereka. Mereka berdua pura-pura bersedih
dan menyesal. Mereka bilang, Wah aku sudah tidak perjaka
lagi

21

Kalau kemudian si lawan bicara mereka bertanya dengan


siapa mereka berdua melakukannya, maka dengan serempak baik
Bowo maupun Teddy menjawab, Dengan Dita
Hampir semua orang yang diajak bercakap model begituan,
pasti mulai berpikir keras. Ada begitu banyak nama Dita di
sekolah mereka saat itu. Kalau kemudian lawan berbincang
mereka mulai capek menebak Dita yang mana, barulah kedua
orang itu menjawab, Di tangan!
--eluarga Siradz memeluk agama Kristen Protestan.
Keluarga itu sangat religius. Konsekuensinya, anakanak mereka pun sering diajak terlibat dalam kegiatan
keagamaan, tak terkecuali Teddy.

Sejak kecil, Teddy sudah terbiasa menjadi anak gereja. Ketika


semakin besar, ia mulai terlibat dalam berbagai kegiatan yang
berhubungan dengan agama. Kalau ada hari raya tertentu yang
diperingati agamanya, maka ia terlibat, mulai dari ikut mendesain
panggung gereja, sampai ikut bermain drama.
Pernah suatu ketika, saat Teddy sedang muncul di panggung
untuk memerankan seorang tokoh, tiba-tiba adik terkecilnya,
Samuel, yang saat itu baru berumur tiga tahun, entah bagaimana
bisa muncul di atas panggung. Pasangan Sunarmi dan Siradz
tentu saja terkejut, dan merasa degdegan, menunggu apa yang
terjadi selanjutnya.
Di atas panggung, tak kalah terkejutnya. Apalagi saat Samuel
mulai berteriak, Mas Teddy, Mas Teddy
Di saat itulah, improvisasi Teddy muncul. Cerita yang semula
sangat serius, tibatiba ia belokkan menjadi bergaya srimulatan.
Dengan segera Teddy berkata, Iki anake sapa, melu-melu munggah
panggung
Semua pengunjung gereja tertawa terpingkal-pingkal.
Pertunjukan malam itu boleh dibilang sukses. Dan Teddy menjadi

22

bintangnya.
Bahkan ketika Teddy kelak menginjak bangku SMA, ia juga
mengajar di sekolah Minggu. Di luar semua itu, mungkin kedua
orangtua Teddy belum begitu tahu kebandelan anaknya di luar
rumah.
Sementara itu, keluarga Bowo adalah keluarga yang cukup
berada, setidaknya untuk setingkat kabupaten Blora. Ayahnya
bekerja di Perhutani. Di daerah seperti Blora, di mana dikenal
dengan kualitas kayu jati nomor 1, dan sekaligus mempunyai
wilayah hutan jati yang luas, pegawai Perhutani menempati urutan
perekonomian yang cukup tinggi. Seorang Administratur, yang
mengepalai sebuah Kawasan Pengelolaan Hutan (KPH), bisa
jadi lebih kaya dibanding seorang bupati. Dulu, sebelum hutan
jati dalam keadaan serba-rusak seperti saat ini, ada istilah jaspro,
akronim dari jasa produksi, di mana semua pegawai perhutani
akan menerima uang jaspro yang bisa sampai lima kali lipat gaji
bulanan mereka. Sekalipun bukan seorang administratur, ayah
Bowo adalah pegawai Perhutani dengan posisi yang cukup tinggi.
Di rumah Bowo itu, Teddy sudah dianggap sebagai keluarga
sendiri. Teddy sering makan di sana, bahkan sesekali menginap.
Karena hubungan antar-anak yang cukup dekat, akhirnya
keluarga Siradz pun akrab dengan orangtua Bowo.
Di rumah Bowo pula, Teddy mulai suka membaca buku.
Orangtua Bowo berlangganan Kompas, sementara di rumah
Teddy hanya ada koran Angkatan Bersenjata (AB). Di rumah
Bowo juga melimpah dengan berbagai buku bacaan, maklum
saja karena saudara-saudara Bowo yang lebih tua sangat gemar
membaca, dan kadang-kadang saudara-saudara keluarga Bowo
yang tinggal di kota-kota besar sering mengirimi berbagai buku.
Bacaan favorit Bowo dan Teddy adalah serial Musashi, yang
dimuat secara berkala di koran Kompas, serta berjilid buku
ensiklopedi untuk anak-anak.
Sampai sejauh itu, kedua keluarga ini hanya tahu kalau Teddy

23

dan Bowo tidak termasuk anak yang nakal. Kalau pun toh nakal,
itu kenakalan khas anak-anak yang biasa saja.
--ulus dari SMP favorit di kabupaten Blora, Teddy dan
Bowo masuk ke SMA yang juga favorit di kabupaten itu:
SMAN 1 Blora. Di sinilah, masa-masa remaja kedua anak
itu mulai lebih bergeliat lagi.

Bacaan-bacaan di rumah Bowo sudah tidak mencukupi lagi


keingintahuan mereka akan hal-hal lain. Mereka mulai membeli
dan membaca majalah remaja Hai, dan mulai rajin mengunjungi
perpustakaan daerah yang terletak di sebelah utara alun-alun
kabupaten Blora, jadi satu dengan kompleks kantor bupati.
Di usia itulah, mereka mulai membeli dan mendengarkan
musik-musik cadas yang sedang merebak saat itu, seperti
Skid Row, Iron Maiden dan Kiss. Mereka berdua pun mulai
membentung sebuah geng dengan nama: Ndeproxz.
Saat berada di SMA, ketrampilan Teddy dalam hal seni
mulai moncer. Ia membuat sendiri tas sekolah yang berbahan
dari poster-poster grup musik yang ia sukai. Poster-poster itu
dilaminating, lalu dibuat tas. Jika ada orang yang tertarik, maka
Teddy menjualnya. Uang hasil penjualan itu dipakainya untuk
membeli rokok, minuman keras, dan juga berjudi.
Selain membuat tas, Teddy juga membuat stiker dan kaus.
Di saat itu, sudah biasa setiap kelas menunjukkan identitasnya
dengan membuat stiker dan kaus. Hampir semua kelas di SMA
1 Blora saat itu, memesan stiker dan kaus dari Teddy. Desain
kaus dan stiker Teddy sudah mulai dikenal sangat menarik, dan
berkualitas bagus. Untuk memesan stiker, Teddy dan Bowo sering
pergi ke kota Kudus, sementara untuk memesan kaus, mereka
berdua pergi ke Klaten. Hasil bisnis kecil-kecilan itu, lagi-lagi
selalu habis untuk tiga hal: rokok, alkohol dan perjudian.
Ketika naik ke kelas 2, Teddy sempat stres berat. karena
berdasarkan rekomendasi dari pihak sekolah, ia harus masuk

24

ke kelas 2 Fisika. Sementara itu, Bowo masuk ke kelas Sosial.


Mungkin hal itulah yang membuat kenakalan Teddy semakin
menjadi-jadi. Ia kerap bolos hanya untuk berjudi, terutama di
saat ada pelajaran-pelajaran yang tidak ia sukai.
Di sekolah, Teddy dan Bowo pun mulai sering membuat ulah.
Bukan saja mereka semakin sering membolos dan ngeblong,
terutama jika sedang memesan stiker dan kaus, tetapi juga
melakukan hal-hal lain yang di saat itu sudah bisa membuat
orang menggelengkan kepala.
Suatu saat, Teddy pernah membuat ulah sehingga bapaknya
harus dipanggil kepala sekolah. Di SMAN 1 Blora saat itu, di
setiap ruang kelas, di atas papan tulis, selalu ada gambar burung
garuda Pancasila yang diapit oleh presiden dan wakil presiden.
Entah kegilaan apa yang merasuki pikiran Teddy saat itu, gambar
presiden disiletinya hingga hancur.
Kedua orangtua Teddy dan Bowo juga pernah sama-sama
dipanggil kepala sekolah lagi. Gara-garanya, saat itu usai liburan
panjang, di mana Teddy melewatkan waktu liburan dengan
berlibur ke Jakarta. Di kota besar itu, grafiti sudah mulai muncul
di mana-mana. Begitu pulang, seluruh kota Blora, di pikiran
Teddy adalah hamparan kanvas kosong. Dengan segera, berbekal
belasan botol piloks, seluruh tembok kota Blora penuh dengan
kata: Ndeproxz. Tentu saja pelakunya gampang ketahuan. Empat
pentolan geng itu dipanggil oleh kepala sekolah beserta orangtua
masing-masing, dua di antara empat orang itu, tentu saja Teddy
dan Bowo.
Ndeproxz sendiri, mulai melegenda di kota kecil Blora. Setiap
malam minggu, puluhan remaja dan anak-anak menunggu
kemunculan geng itu dengan sepeda motor mereka mengitari
alun-alun kota Blora. Penampilan mereka cukup eksentrik,
dari mulai aksesoris sepeda motor sampai pakaian yang mereka
kenakan. Dan semua itu tidak luput dari sentuhan seni tangan
Teddy.

25

Selain mulai mengoleksi jenis kenakalan seperti mengkonsumsi


alkohol, main judi dan juga melakukan kegiatan corat-coret
tembok, Teddy juga mulai suka berkelahi. Biasanya, setelah
beberapa geng saling memamerkan diri mereka mengitari alunalun kota Blora, mereka kemudian minum-minuman keras di
pojok-pojok tertentu. Saat mabuk seperti itulah, Teddy sangat
sensitif. Ada apa-apa sedikit, ia mudah tersinggung. Tetapi ia
tidak pernah mengajak teman-temannya untuk membela dirinya.
Ketika temantemannya sedang asyik minum-minuman keras, ia
berdiri dengan tenang, mendatangi kelompok lain yang berada
di pojok alun-alun yang lain, lalu bak-buk-bak-buk berkelahi.
Kemudian ia bergabung lagi dengan temannya untuk ikut minum
lagi, sembari mukanya telah lebam, dan bibirnya telah berdarah.
Jika teman-temannya tahu hal itu dan hendak membelanya,
Teddy selalu bilang, Sudah, sudah, semua sudah selesai.
Sementara di dalam lingkungan sekolah nama Teddy mulai
terkenal, di luar sekolah namanya pun merambah dunia yang
lain. Ia kenal dengan baik para tukang becak, sopir angkutan, dan
juga para preman. Setiap kali ia naik motor, tangannya tak pernah
berhenti melambai, karena kenalannya berada di mana-mana.
--enjelang kenaikan kelas dua ke kelas tiga, sehari
sebelum penerimaan rapor, di SMAN 1 Blora sudah
tersebar isu tentang siapa-siapa yang tidak akan naik
kelas. Sejumlah anak yang merasa diri mereka bandel, mulai
merasa waswas, termasuk Bowo dan Teddy. Salah seorang murid
mengaku telah menerima bocoran siapa saja yang tidak akan
naik kelas. Ada dua nama yang disebut, dan salah satunya adalah
Bowo. Nama Teddy lolos, artinya, Teddy naik kelas. Segera Bowo
stres berat. Teddy dengan gayanya yang sok bijaksana berusaha
menenangkan Bowo, Sudahlah, Wo, tidak apa-apa. Kita tetap
saja berteman sekalipun nanti aku jadi kakak kelasmu.

Kalimat yang bernada menghibur itu justru menyakiti hati


Bowo. Ia segera pulang. Sesampai di rumah, Bowo menunggu

26

bapaknya pulang dari kantor. Setelah bapaknya pulang, dengan


gugup Bowo mulai bercerita, kemungkinan besar ia tidak naik
kelas. Sambil bercerita seperti itu, muka Bowo menunjukkan
penyesalan yang mendalam. Mendengar hal seperti itu, sang
bapak hanya diam, lalu berkata, Lihat saja besok, deh Kalau
tidak naik ya terserah kamu. Kalau kamu malu sekolah di sana,
ya pindah saja.
Keesokan harinya, saat penerimaan rapor, Bowo dan Teddy
duduk menunggu berdampingan. Yang keluar pertama kali
adalah bapak Bowo. Segera Bowo bertanya, Bagaimana, Pak?
Si Bapak tersenyum dan bilang, Kamu naik kelas, kok.
Bowo bersorak gembira. Teddy dan Bowo saling bersalaman.
Lalu tiba giliran bapak teddy keluar dari ruang kelas. Teddy
belum sempat bertanya, bapaknya sudah berkata, Teddy, ayo
pulang!
Ternyata, Teddy-lah yang tidak naik kelas.
Mendapati dirinya yang kemudian berada di satu tingkat
dibandingkan teman-temannya yang lain, awalnya membuat
Teddy merasa stres berat. Ia semakin rajin berjudi dan rajin
menenggak minuman keras.
Ketika teman-temannya mulai lulus dan kuliah, ia baru
naik ke kelas tiga. Dan di fase itulah penderitaannya semakin
mengencang. Ketika liburan semesteran tiba, atau liburan
lebaran, teman-temannya berkumpul dan saling bercerita tentang
kegiatan mereka di kota-kota tempat mereka kuliah, ada yang
di Jakarta, Yogya, Solo, Semarang dan Surabaya. Saat itu, Bowo
kuliah di STIE Perbanas Jakarta.
Kalau mereka berkumpul, menjelang liburan berakhir, pasti di
antara mereka saling bertanya, kapan mereka balik ke kota tempat
mereka kuliah. Dan terakhir, mereka selalu bertanya, Kamu balik
kapan, Ted?

27

Jika ditanya seperti itu, Teddy hanya bisa mengumpat, Asu!


Begitu lulus dari SMA, di bayangan Teddy ia ingin menjadi
seorang desainer. Belum jelas saat itu, apa itu desainer. Yang jelas,
ia pernah mendengar profesi itu, dan ia merasa ia bisa serta cocok
dengan keinginannya. Saat itulah, ia meminta untuk mendaftar
di ISI Yogya. Namun kali itu ia gagal.
Ibunya lalu menyarankan agar Teddy mnecoba masuk ke
Politeknik Universitas Diponegoro, Semarang. Ibunya sendiri
yang saat itu mengantar Teddy ke Semarang. Teddy, karena
bingung, ia mengikuti saja saran ibunya. Namun ketika tes, saat
lembar jawaban dihadapinya, ia tidak mengerjakan soal-soal
ujian. Tentu saja ia tidak diterima.
Orangtua Teddy tentu saja bingung. Mereka akhirnya
menyerahkan apapun pilihan Teddy. Barulah di sana, Teddy bilang
kalau ia ingin jadi desainer. Akhirnya kedua orangtua Teddy
mencari-cari kabar, di mana sekolah yang dimaksudkan Teddy.
Salah seorang kenalan orangtua Teddy menyarankan agar Teddy
masuk saja ke STSI Solo. Teddy akhirnya mendaftar masuk, dan
ia masuk ke jurusan desain set panggung. Yang penting saat itu
bagi Teddy ada kata: desain.
Saat kuliah, Teddy sempat agak kecewa dengan pilihannya.
Tetapi saat itu pula ia sadar bahwa beberapa ketrampilan yang
kelak dibutuhkannya, walaupun ia belum tahu kelak itu akan
seperti apa, pastilah berguna. Di sana ia diajari dasar-dasar teknik
menyungging wayang. Sebuah teknik yang memutuhkan kejelian,
terutama dalam membuat gradasi warna.
Selain itu, Teddy juga belajar teknik yang menurutnya sangat
penting, yakni teknik membuat wondo. Teknik itu adalah
memberi karakter kepada tokoh-tokoh wayang.
Namun, kebandelan Teddy semakin menapaki taraf yang
lebih tinggi lagi saat berada di Solo. Ia berkarib dengan beberapa
preman, dan semakin kerap mabukmabukan.

28

Salah satu dosen Teddy bernama Bonyong Munni Ardhi,


salah satu tokoh yang pernah ikut mewarnai suasana ISI Yogya,
melihat Teddy tidak tepat berada di Solo. Ia perlu teman dan
lingkungan yang tepat untuk mengasah ketrampilannya. Dan
yang paling penting, dasar-dasar pelajaran penting di STSI sudah
ia kuasai, terutama dalam hal menyungging dan mengerjakan
wondo. ungkap Bonyong.
Kemudian ketika suatu saat bertemu denan Teddy, Bonyong
menyarankan agar Teddy mencoba masuk ISI jurusan seni lukis.
Teddy menggut-manggut. Saat itu, sebetulnya Teddy juga sudah
berpikir untuk mencoba lagi masuk ISI. Setelah pertemuan
itu, Teddy lama menghilang, dan tidak pernah lagi menemui
Bonyong.
Ternyata selama bebeapa bulan itu, Teddy mempersiapkan dan
mengasah ketrampilannya agar bisa diterima di ISI. Setelah dua
tahun kuliah di STSI Solo, pada tahun 1992, ia ikut tes masuk
ISI, dan diterima.
Teddy menemui Bonyong, dan mengabarkan kalau ia sudah
diterima masuk ISI. Bonyong tersenyum lega.

29

Ibunya
Lima

OGYA, 24 Mei 1971. Rumah Sakit Mangkuyudan, penuh


sesak dengan orang yang akan melahirkan. Salah satu di
antara mereka adalah Ninung. Umurnya saat itu baru
19 tahun. Dengan diantar oleh suaminya, Sunardiyono. Ninung
sedang hamil tua. Hari itu, ia telah mengalami bukaan pertama,
pertanda seharusnya sebentar lagi bayi yang dikandungnya akan
keluar.
Dokter Anwar, dokter yang sedang bertugas saat itu, yang
kebetulan kenal baik dengan Ninung, menyuruh Ninung agar
menginap saja di rumah sakit. Tetapi saat itu, Ninung merasa
belum saatnya melahirkan. Dok, kayaknya saya masih lama
melahirkannya. Saya tidak usah nginap saja. Besok saya ke
sini lagi. begitu katanya dengan nada pelan, seakan ingin
mengharapkan rasa maklum dari dokter yang memeriksanya itu.
Kamu itu bagaimana, sih? Sudah bukaan pertama kok tidak
mau menginap. sergah dokter Anwar.
Perdebatan kecil terjadi. Akhirnya sang dokter yang mengalah.
Ninung diijinkan pergi, dengan catatan pasangan itu harus selalu
berjaga-jaga jika terjadi apa-apa.
Sesungguhnya yang terjadi pada diri Ninung adalah perasaan
takut. Ia takut melahirkan. Apalagi di rumah sakit itu, suara erang
kesakitan perempuan-perempuan lain yang sedang melahirkan
bisa didengarnya dengan jelas.
Keesokan harinya, tidak ada perubahan di diri Ninung.
Kemungkinan besar, pengaruh psikologis tentang ketakutannya
untuk melahirkan, berpengaruh besar pada kandungannya. Tapi
ketika keesokan harinya lagi, tetap tidak ada perkembangan
lebih lanjut, perasaan khawatir Ninung pada anak yang sedang
dikandungnya lebih dominan. Ia memutuskan untuk pergi ke
rumah sakit Mangkuyudan lagi.
Segera Ninung ditangani oleh petugas jaga. Setelah beberapa
kali diperiksa, akhirnya dokter yang berjaga berkata kepada

33

petugas medis yang membantunya, KO dibuka!


Ninung kaget. Raut wajah si dokter, dan istilah KO
membuatnya khawatir. Dengan nada takut, ia bertanya kepada si
dokter, Dok, KO itu apa?
Kamar Operasi, Bu jawab si dokter pelan.
Begitu mendengar dua kata: kamar operasi, segera ketakutan
memuncak di diri Ninung. Tetapi justru di saat itulah, bayi yang
dikandungnya segera lahir dengan cepat. Bayi yang dikandungnya
lahir dari sebuah ketegangan yang dicipta dari dua tiang pancang:
ketakutan melahirkan sehingga prosesnya lama, dan ketakutan
dioperasi sehingga si bayi bisa lahir dengan cepat.
Bayi yang lahir pada tanggal 26 Mei, dengan umur kandungan
tepat 9 bulan dan 10 hari itu, diberi nama: Bob Yudhita Agung.
Nama Bob diberikan kepada jabang bayi karena ninung sangat
tergia-gila dengan suara Bob Tutupoli. Sedangkan nama tengah
Yudhita disematkan ke bayi itu karena Ninung berharap agar
kelak anaknya sebijaksana tokoh wayang bernama Yudhistira, si
sulung dari lima bersaudara Pandawa. Nama Agung diberikan
oleh suster yang membantu melahirkan si bayi dengan harapan
agar si bayi kelak penuh dengan keagungan.
Nama adalah doa dan pengharapan. Namun sebagaimana
setiap doa dan pengharapan, bisa saja menjadi kenyataan, tetapi
bisa juga tidak.
--asangan Ninung dan Sunardiyono adalah pasangan dengan
latar belakang yang berbeda. Ninung berasal dari keluarga
yang pas-pasan, sedangkan Sunardiyono berasal dari
keluarga kaya. Suteja, ayah Sunardiyono, bekerja di pengilangan
minyak swasta, dan saat itu Suteja sedang bertugas di Palembang.
Satu-satunya yang sama dari kedua pasangan itu adalah mereka
sama-sama masih muda.

Ninung saat itu sudah memutuskan untuk berhenti dari sekolah

34

menengah, sedangkan Sunardiyono masih mencoba bertahan


melanjutkan sekolahnya. Sunardiyono, menurut Ninung, adalah
laki-laki yang tampan. Seperti Sophan Sophian kenang
Ninung.
Karena ketampanannya itulah, kerap sekali Sunardiyono
diincar oleh para gadis. Dan hal seperti itulah yang mulai kerap
menghantui pasangan muda itu. Percekcokan pun kerap terjadi.
Saat Yudhi, begitu Ninung memanggil anaknya, berumur 11
bulan, pasangan itu sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Mereka
berpisah.
Yudhi, anak hasil pasangan Ninung dan Sunardiyono, akhirnya
diambilalih oleh orangtua Sunardiyono, pasangan Suteja dan
Sutinem. Yudhi dibawa ke Palembang. Menjelang Yudhi masuk
sekolah dasar, pasangan Suteja dan Sutinem pindah ke Yogya.
Mereka menempati rumah di kawasan yang cukup elit di Yogya,
di daerah Pandega Bakti.
Sementara itu, Ninung kemudian menikah lagi dengan
tetangganya, bernama Suharto, yang bekerja di Dinas Pekerjaan
Umum (DPU). Sedangkan Sunardiyono, dalam sejarah hidupnya
menikah sebanyak tiga kali. Kini, beliau telah meninggal dunia.
Walaupun telah berpisah, hubungan Ninung dengan keluarga
Suteja terjalin dengan baik. Bahkan dulu, saat baru saja bercerai
dengan bapak si Yudhi, saya masih sering dikirimi wesel oleh Pak
Suteja, begitu pengakuan Ninung.
Ninung pun masih sering menengok Yudhi. Apalagi Ninung
tinggal di daerah Seturan, yang hanya berjarak kurang-lebih 2
kilometer dari daerah Pandega Bakti. Pak Nardi dan Pak Harto
juga berhubungan dengan baik. Jika ada acara keluarga dari pihak
Suteja, mereka kerap satu mobil. lanjut Ninung, menggambarkan
bagaimana baiknya hubungan dua keluarga itu.
Ketika masuk sekolah dasar, Yudhi mulai dipanggil temantemannya dengan nama depannya: Bob. Si Bob kecil ini sangat

35

dimanja oleh keluarga besar Suteja. Saking dimanjanya, sejak


kecil Bob tidak pernah mau makan kalau tidak ada ayam goreng.
Karena tidak bersama dengan Ninung, ibu kandungnya, maka
Bob pun memanggil mamak kepada Sutinem, neneknya. Karena
begitu disayang oleh tantetantenya, maka Bob pun memanggil
tante-tantenya dengan panggilan ibu. Ada tiga tantenya yang
dipanggil dengan sebutan ibu yakni Murti, Tatik dan Tutik.
Sedangkan kepada Ninung, Bob memanggil dengan sebutan: Ibu
Ninung.
Dengan lima orang ibu itulah, Bob kecil bukan hanya
bergelimang kasihsayang, sekaligus ia bergelimang uang. Apapun
yang diminta oleh Bob, ibu-ibunya, terutama para tentenya yang
dipanggil ibu, dan juga neneknya, selalu siap memberi.
Soal hal seperti itu, Ninung menjelaskan, Kalau saya sih
tidak bisa memberi uang. Maklumlah, saya hanya ibu rumah
tangga biasa, dan suami saya seorang pegawai negeri. Kami harus
menyekolahkan anak-anak kami sendiri.
--ob kecil jarang keluar rumah. Ia lebih sering berada
di rumah, yang dipenuhi mainan, dan mulai sering
mencorat-coret di kertas gambar. Bakat corat-coretnya,
kemungkinan besar didapat dari Ninung.

Dulu, saat masih gadis remaja, oleh teman-temannya,


Ninung dikenal sebagai perempuan yang nyeni. Klenthing, alat
mengambil air yang terbuat dari tanah liat miliknya digambari,
dan hal itu membuat banyak orang suka dengan klenthing
Ninung. Ia juga dikenal pintar merangkai bunga. Bahkan, Ninung
membuat sebuah kolam kecil yang indah di rumahnya.
Bob kecil pun mulai sering diikutkan lomba menggambar.
Setiap kali ikut lomba, Bob selalu menyabet gelar juara. Hal itu
terus dilakukannya sampai SMA. Puluhan tropi dan piagam
penghargaan sebagai juara lomba menghiasi sebuah lemari di
rumah keluarga Suteja. Paling apes, dia menjadi juara harapan

36

dua. Selebihnya, kalau tidak juara satu pastilah juara dua.


Selain itu, Bob dikenal rajin mengaji dan salat lima waktu. Ia
sudah khatam Alquran sebelum kelas 6 SD.
Sampai SMA, Bob tetap menjadi anak manis sekaligus anak
rumahan. Satusatunya kenakalan yang pernah dilakukannya saat
SMA hanyalah mencoba merokok di atap rumah. Tetapi setelah
itu, ia mengalami rasa bersalah yang luar biasa.
Sebagaimana umumnya anak-anak remaja yang lain, Bob
juga tergabung dalam sebuah geng. Saat itu, di Yogya ada dua
geng besar Qzruh dan Joxin. Hampir semua remaja SMA saat
itu mejadi pendukung salah satu geng tersebut. Bob tergabung
dalam geng Qzruh. Tetapi ia tidak pernah berkelahi. Bob bilang
sambil tertawa, Kalau aku mau berkelahi, pasti teman-temanku
maju lebih dulu.
Dan sebagaimana remaja yang lain, Bob juga akrab dengan
lagu-lagu. Karena punya banyak uang, ia mengoleksi ratusan
kaset. Namun berbeda dengan temantemannya, Bob lebih suka
mengoleksi kaset band-band negeri sendiri, dan kalau pun
mengoleksi kaset dari negeri asing, itu pun berasal dari para
penyanyi atau grup musik dari negeri Jiran, yang saat itu banyak
mendominasi tangga-tangga lagu di Indonesia. Dari para musisi
negeri sendiri, Bob paling menyukai grup rock Power Metal.
Sedangkan lagu Isabela, yang dilantunkan oleh musisi dari negeri
Jiran, adalah lagu wajib-nyasampai sekarang.
Tapi sayang, Bob tidak suka Bob Tutupoli, musisi yang
dikagumi ibu kandungnya. Dan tentu saja, sekalipun suka
menyanyi, suara Bob tidak semerdu suara Bob Tutupoli.
--ob jarang sakit. Kalau pun toh sakit, paling hanya masuk
angin. Dan obatnya juga mudah, tinggal memberi tahu ibu
kandungnya, lalu Ninung akan datang ke Pandega Bakti
untuk ngerokin Bob.

37

Namun pernah suatu saat Bob harus diopname selama


beberapa bulan di rumah sakit karena sakit tipus. Untuk kali
itu, Ninung ingin sekali bertanggungjawab dengan membayar
biaya rumah sakit. Sayang, uang Ninung hanya pas-pasan.
Salah seorang teman Ninung yang kebetulan berprofesi sebagai
pencatat judi Loda, sejenis judi legal yang saat itu marak
(semacam SDSB), Ninung diberi nomor yang diperkirakan akan
keluar. Hati Ninung ragu-ragu. Saat itu ia berpikir, kalau uangnya
dipakai untuk berjudi dan kemudian menang, maka ia akan bisa
membayar lunas semua biaya Bob, bahkan akan ada sisa cukup
banyak. Tetapi jika ternyata nomor yang dibelinya tidak keluar,
maka ia tidak punya sedikit pun uang untuk membayar biaya
pengobatan Bob. Akhirnya Ninung tidak berani berspekulasi. Ia
tidak jadi membeli nomor yang disarankan oleh temannya. Dan
sialnya, nomor itulah yang memang keluar.
Untunglah, dokter di rumah sakit itu banyak yang kenal dengan
Ninung, sehingga ia bisa mendapatkan banyak keringanan biaya.
Ninung, sekalipun tidak tamat SMA, namun pergaulannya luas.
Dan ia pun dikenal kawan-kawannya sebagai orang yang cakap
berorganisasi. Bahkan sejak remaja, ia dikenal sebagai gadis yang
gaul. Ia ikut berbagai jenis organisasi, dari mulai klub sepeda
angin, sampai aktif di Darma Wanita tempat suaminya bertugas.
Selain suka berorganisasi, untuk mengganti pengetahuan
formalnya yang terhenti di tengah jalan, Ninung selalu ikut
kursus. Hampir semua jenis kursus ketrampilan pernah ia ikuti.
Mulai dari kursus menjahit, kursus memasak, kursus merangkai
bunga, sampai berbagai kursus kesehatan.
Karena kepintarannya itu, terutama kecapakannya di dalam
mengorganisasikan sesuatu, saat salah satu pimpinan suaminya
melakukan pindah rumah dari Lampung ke Yogya, Ninunglah
yang diminta untuk memimpin pindahan rumah. Belasan
angkutan, mulai dari truk sampai mobil pribadi, diatur oleh
Ninung dari mulai Lampung sampai Yogya.

38

Kepiawaiannya dalam hal mengatur sesuatu, juga tampak dari


caranya membagi waktu kepada anak-anaknya. Pernikahannya
dengan Suharto, Ninung mempunyai 4 orang anak. Artinya, ia
punya 5 anak, termasuk Bob. Ketika anak-anaknya masih kecil,
termasuk Bob, Ninunglah yang bertugas untuk mengantar dan
menjemput kelima anaknya itu. dengan sepeda motor bebek
berwarna merah, Ninung bergerak dari sekolah satu ke sekolah
yang lain, mengantar dan menjemput anak-anaknya.
Ninung jugalah yang sering mengantar Bob ikut lomba
menggambar. Bahkan saat masih di SMA pun saya masih suka
mengantarnya ikut lomba menggambar. tandas Ninung.
--asalah mulai muncul saat Bob lulus SMA. Di keluarga
besar Suteja, dari dirinya sampai anak dan menantunya,
hampir semuanya bekerja di bidang perminyakan.
Oleh karena itu, keluarga Suteja menyarankan agar Bob pun
kuliah di bidang perminyakan.

Sebagai anak manis yang tidak pernah memberontak, Bob


menurut. Toh aku tidak membayar. Mereka yang membiayai
semuanya. ungkap Bob.
Sementara itu, Ninung, sebagaimana kebanyakan orang tua
saat itu, juga berharap anaknya kalau tidak menjadi dokter ya
menjadi insinyur. Tetapi ia tidak berani menyarankan kepada
anaknya, sebab ia sadar kalau ia tidak mungkin membiayai kuliah
Bob.
Bob pun lantas masuk ke sebuah universitas swasta di Yogya,
mengambil jurusan perminyakan. Tetapi sesungguhnya saat itu,
hati kecilnya mulai berontak. Ia ingin masuk ISI. Ia ingin jadi
pelukis. Aku tidak ingin jadi orang kantoran, atau jadi orang
yang kerja di perminyakan, yang kerjanya pergi ke lau atau pergi
ke hutan. Aku ingin bebas! tegas Bob.
Tetapi saat itu, Bob belum berani melakukannya. Sebab ia
juga sedang menikmati kebebasannya yang lain, yakni bebas

39

dari masuk setiap hari, bebas dari memakai seragam sekolah, dan
bebas dari mengikuti upacara bendera.
Dan untuk merayakan kebebasannya itu, ia membuat tato
kecil yang disembunyikannya di tangan. Sekaligus merayakan
kebebasannya dengan cara tidak pernah masuk kuliah.
Namun, bagaimanapun juga, pikiran Bob masih terus dihantui
oleh betapa mengerikannya kalau kelak ia lulus. Ia akan tinggal
di hutan, atau tinggal di lepas pantai. ia akan terikat oleh jadwal
kerja. Ia merasa bahwa kebebasan yang sudah diraihnya saat itu,
di mana tidak perlu lagi masuk dari jam tujuh pagi dan tidak
memakai seragam sekolah, akan segera terenggut kembali begitu
ia selesai kuliah.
Akhirnya Bob memutuskan untuk mengatakan apa yang
diinginkannya kepada keluarga besar Suteja. Awalnya, keluarga
besar itu kecewa dengan pilihan Bob. Tetapi mereka juga terlalu
sayang kepada Bob. Mereka akhirnya menijinkan.
Bob kemudian mendaftar masuk ISI pada taun 1991. Ia
diterima. Dan untuk menandai hal itu, sekali lagi, ia menato
tubuhnya. Masih tetap di bagian yang bisa disembunyikan.

40

Gampang
Tertawa,

Gampang Menangis

EBANYAKAN orang yang membaca namanya, Yustoni


Volunteero, maka kebanyakan orang akan terbelah di
dalam dua kelompok. Kelompok pertama, mungkin akan
berpikir bahwa ia bukan berasal dari Indonesia. Sedangkan
kelompok yang lain mungkin berpikir bahwa nama itu, terutama
nama belakang Volunteero pastilah nama tempelan belaka.
Tetapi mereka salah. Nama itu adalah nama asli, dan Toni berasal
dari Indonesia. Setiap pemberian nama, bisa jadi mempunyai
rentetan kisah.
Yusman, bapak Toni, adalah lulusan UGM jurusan Administrasi
Negara, pada tahun 1968. Saat itu, situasi politik Indonesia masih
panas, dengan adanya peristiwa Gerakan 1 Oktober (Gestok).
Dan sebagai konsekuensi logis dari peristiwa itu, setiap orang
yang lulus kuliah, tidak dapat segera mendapatkan pekerjaan,
termasuk Yusman. Sebab kala itu pemerintah mengeluarkan
Keppres No 80 Tahun 1968 yang berlaku surut. Keppres itu
berisi semua institusi negara tidak boleh menerima pegawai baru.
Namun kemudian pemerintah membentuk sebuah badan yang
bernama Badan Urusan Tenaga Kerja Sukarela (BUTSI). Badan
ini dikelola oleh 11 departemen dan 1 lembaga non-departemen.
Saat itu, BUTSI membuka lowongan bagi pekerja sukarela
yang akan disebar ke berbagai wilayah di Indonesia, terutama
untuk mensukseskan beberapa program seperti: pembinaan
adminsitrasi pemerintahan desa, memberi penyuluhan tentang
gizi keluar, mensukseskan program keluarga berencana (KB),
dan masih banyak yang lain. Pada gelombang pertama, BUTSI
membuka lowongan untuk 30 orang. Saat itu yang mendaftar
113 orang sarjana. Yusman salah satu orang yang lolos seleksi
program tersebut dan ia ditempatkan di daerah Ungaran, Jawa
Tengah.
Di sana, ia bertugas untuk memberi penyuluhan soal KB.
Celakanya, ia belum berkeluarga, sehingga hal seperti itu
mempengaruhi psikologinya. Dan yang lebih celaka lagi, di
tempatnya bertugas saat itu, baik kepala desa maupun camat

43

di daerah itu, masing-masing punya anak sebanyak 13 orang.


Karena hal itulah, setiap kali Yusman berceramah, ia sering
memelesetkan istilah KB menjadi keluarga besar.
Setahun berada di sana, suatu hari ia sengaja jalan-jalan ke
pasar Johar. Saat hendak menyeberang jalan, ia berpapasan dengan
seorang perempuan yang telah lama dikenalnya. Perempuan itu
bernama Kartini. Mereka lalu saling berkabar. Kartini adalah
tetangganya di Yusman di Salatiga. Sejak kecil, Kartini sudah
yatim-piatu. Setahu Yusman, Kartini sudah menikah, karena
dulu ia tahu kalau Kartini pernah berpacaran dengan salah satu
kawannya.
Sebagai basa-basi, Yusman bertanya, Sudah punya anak
berapa?
Kartini saat itu langsung menjawab, belum punya. Kemudian
ia bercerita bahwa pacarannya dengan kawan Yusman telah lama
berakhir karena mantan pacarnya itu bertugas sebagai polisi di
wilayah Papua.
Dengan iseng, begitu mendengar hal tersebut, Yusman
menyeletuk, Sudah ikut aku saja ke Ungaran. Aku punya gaji
2000 rupiah, kok.
Basa-basi berakhir. Baik Yusman maupun Kartini pulang ke
tempat masingmasing.
Suatu siang, Yusman sedang takziah karena camat Ungaran
saat itu meninggal dunia. masih di lokasi kuburan, tidak dinyana,
seseorang memberikan sepucuk surat kepada Yusman. Surat itu
berasal dari Kartini. Di lokasi kuburan itu pula, yusman membuka
amplop surat, dan membaca isi surat. Isinya padat dan singkat:
Apakah Yusman serius dengan ajakannya kepada Kartini tempo
hari dulu?
Yusman kelabakan. Pertama, karena memang ia hanya berbasabasi. Kedua, karena ia merasa tidak jatuh cinta dengan Kartini.
Dan yang ketiga, kalaupun toh ia menikah, ia tidak yakin dengan

44

honorarium sebesar 2000 rupiah, ia bisa menghidupi sebuah


keluarga. Saking bingungnya, Yusman kemudian menemui
ibunya di kampung.
Begitu si ibu diberi tahu masalah Yusman, si ibu meradang.
Terutama karena si ibu merasa, sudah berkali-kali Yusman
pacaran, tetapi tidak ada yang serius. Dan kini, anaknya malah
membawa masalah baru. Dengan keras ibunya berujar, Yusman,
kamu tahu, Kartini ini sejak kecil sudah menderita. Ia yatimpiatu. Kini teganya kamu mempermainkannya!
Yusman mencoba berdalih, Tapi uangku pasti tidak akan
cukup untuk menghidupi keluarga, Bu
Sudah, jangan pikirkan itu. Nikahi saja Kartini. Kalau kamu
kekurangan uang, aku akan membantu.
Yusman memenuhi nasihat ibunya. Segera ia melamar dan
menikahi Kartini. Tidak lama kemudian, pada tanggal 14 juni
1970, lahirlah anak laki-laki pertama mereka. Awalnya, si anak
diberi nama Yustoni Indriyanto. Nama Yustoni diambil sebagai
akronim dari nama kedua orangtuanya: Yusman dan Kartini.
Tetapi di saat bersamaan, menteri tenaga kerja saat itu,
Laksamana Madya Daeng Koko, sedang berkunjung ke Ungaran.
Sudah jamak saat itu, bila ada atasan yang berkunjung, dan bila
di saat itu ada anak buahnya yang sedang mempunyai anak yang
baru lahir, si anak buah akan meminta kenang-kenangan nama.
Begitu juga dengan Yusman. Daeng Koko lalu berkata, Yus, kasih
saja nama anakmu Volunteero, karena kamu pekerja sukarela.
Semenjak itu, nama Indriaynto dihapus dari nama Toni,
sehingga namanya berubah menjadi: Yustoni Volunteero.
Nama Volunteero itu seperti karma atau kutukan bagiku,
ujar Toni, makanya dari dulu kerjaku jadi sukarelawan terus
lanjutnya sambil tertawa terbahak-bahak.
---

45

emenjak Toni mau masuk TK, keluarga Yusman pindah


ke Yogyakarta. Dan sejak kecil pula, kepala Toni selalu
dipenuhi oleh cerita-cerita heroik menyangkut keluarganya.
Yusman, konon adalah keturunan orang Aceh yang dikejar-kejar
Belanda. Hingga kemudian, salah satu kakeknya yang bernama
Singodimeja, menjadi pendukung utama Pangeran Diponegoro.
Singodimejo digambarkan sebagai tokoh hero yang mirip
tokoh Robinhood. Ia merampok orang-orang kaya, terutama
dari pihak Belanda dan antek-anteknya, untuk kemudian dibagibagikan kepada rakyat miskin.
Diceritakan pula, Singodimeja ini mempunyai dua ilmu
penting, yakni aji panglimunan dan aji ngrogoh suksma. Ilmu yang
pertama, bisa membuatnya tidak terlihat secara kasat mata alias
menghilang, dan ilmu kedua bisa membuat sukmanya keluar dari
raganya. Konon, ketika Singadimeja akhirnya tertangkap oleh
pihak Belanda, ia masih bisa memberi nafkah lahir dan batin
kepada kelima istrinya.
Kisah-kisah keluarga seperti itu, merasuki alam pikiran Toni
kecil. Diam-diam, ia terobsesi dengan hal-hal yang berbau
pemberontakan dan pembangkangan.
Tetapi Toni kecil, dikeluarganya, dikenal sebagai sosok yang
pendiam, gampang tertawa sekaligus gampang menangis. Jika
ada sesuatu yang lucu sedikit saja, ia akan terpingkal-pingkal.
Tetapi jika ada sesuatu yang membuatnya bersedih, misalnya
melihat seroang pengemis yang lewat di depan rumahnya, ia
dengan mudah akan menangis.
Toni kecil juga dikenal sebagai seorang anak yang tidak suka
berkelahi. Jika ada anak lain yang mengganggunya, apalagi
menanantangnya berkelahi, justru yang maju adalah adik
perempuan Toni bernama Yusti Damayanti.
Sejak SD, Toni sudah menonjol di dua bidang: menggambar
dan hasta-karya. Ia pernah menyabet gelar sebagai juara 1 lomba

46

melukis tingkat kabupaten. Toni merasa, saat itu yang paling


berperan di dalam mengembangkan bakat melukisnya adalah
guru SD-nya yang bernama Pak Bani.
Selain menggambar, bakat Toni yang paling menonjol adalah
berorganisasi. Sejak SD sampai SMA, ia aktif sebagai anggota
Pramuka. Sejak SMP sampai SMA, ia aktif pula sebagai pengurus
OSIS. Sementara di kampung, ia pernah menjadi ketua pemuda
kampung, dan pernah menjadi ketua remaja masjid.
Namun sejak kecil, Toni mengidap penyakit asma yang cukup
akut. Karena penyakitnya itu pula, ia rajin ikut segala kegiatan
olahraga, mulai dari masuk klub beladiri sampai klub bulutangkis.
Mulai dari ikut grup bola basket sampai ikut kelompok sepakbola.
Tetapi di kalangan teman-temannya, terutama di hal olahraga,
Toni dikenal sebagai anak yang kacau dan ngawur. Misalnya saja,
kalau ia ikut bermain sepakbola, hobinya adalah memasukkan
bola di gawang kesebelasannya sendiri.
--etika lulus dari SMA, Toni mendaftar ikut tes masuk
UGM dengan mengambil jurusan psikologi dan Sastra
Jepang. Hasilnya, jeblok. Ia tidak tembus untuk kedua
jurusan, yang di dalam strata UGM sendiri termasuk jurusan
dengan banyak pesaing.

Ia cukup terpukul dengan hal tersebut. Setelah cukup lama


berpikir, akhirnya ia memutuskan untuk masuk ISI. Pikirannya
sederhana saja saat itu, ia punya bakat menggambar, dan ia
pernah beberapa kali menjuarai lomba menggambar. Ia berpikir
punya modal ketrampilan yang memadai untuk masuk ISI.
Akhirnya ia bicara kepada bapaknya, soal pilihannya itu.
Mendengar niat Toni untuk masuk ISI, Yusman segera mencecar,
Kamu ngapain masuk ISI? Mau nambah pengangguran saja!
Mendengar kalimat bernada keras dari sang bapak, Toni hanya
diam. Lalu bapaknya kembali berkata, memberi contoh beberapa
temannya yang masuk ISI dan semua menjadi pengangguran.

47

Tapi akhirnya Yusman bertanya, lebih untuk ingin mengetahui


seberapa mantap hati Toni, dan seberapa kuat alasan Toni untuk
masuk ISI, Kamu mau apa masuk ISI?
Pertanyaan itu sebetulnya jenis pertanyaan yang sederhana.
Tetapi karena dari awal Toni sudah merasa terdesak, ia hanya
diam. Setelah mengetahui anaknya tidak bisa menjawab
pertanyaannya, Yusman mencoba memberi solusi, Sudah begini
saja, kamu kuliah saja di Akademi Akuntansi YKPN. Nanti
kalau sudah selesai, kamu bisa meneruskan ke Sekolah Tinggi
Ekonomi mana saja yang kamu pilih. Kalau sudah lulus, nanti
aku yang akan mencarikan kerja buat kamu.
Saat itu, posisi pekerjaan Yusman memang tergolong
tidak main-main. Ia saat itu menjabat sebagai kepala seksi di
Depnaker daerah Yogya, yang tugasnya adalah mengangkat dan
menempatkan para pekerja di departemen tersebut.
Saat itu, Toni hanya bisa manut. Ia mengikuti saran bapaknya.
Akhirnya Toni masuk AA YKPN. Di sana, ia mulai kembali
terlibat dalam berbagai kegiatan kampus, terutama di pers
mahasiswa, dan masuk organisasi HMIMPO. Agak ganjil
memang, sebab saat masih muda, Yusman adalah salah satu
aktivis Gerakan Pemuda Marhaen, di mana ketika huru-hara
Gestok terjadi, organisasi Yusman termasuk yang diincar oleh
RPKAD.
Saat mulai kuliah itulah, sifat nyeleneh Toni mulai kelihatan.
Misalnya saja ketika ia masuk HMI-MPO, organisasi tersebut
adalah salah satu pecahan HMI yang menolak berasas tunggal
Pancasila. Tetapi di dalam sebuah rapat, Toni bertanya dengan
nada tidak bersalah, Kok di rapat ini tidak ada lambang Garuda
Pancasila dan bendera Merah Putih?
Pertanyaan seperti itu seharusnya mengundang reaksi keras
dari para seniornya. Tetapi ternyata pertanyaan Toni malah
disambut dengan gelak tawa.

48

Bahkan ketika dibaiat sebagai anggota baru, di mana


terjadi prosesi pembacaan ayat-ayat suci, ketika teman-teman
seangkatannya menangis, Toni malah tersenyum-senyum. Ia
membatin, acara begitu saja kok menangis
Namun yang menarik perhatian Toni tetaplah kegiatan di
pers mahasiswa. Di sana ia sangat aktif dan mengepalai sebuah
rubrik. Setiap kali ada acara kursus jurnalistik untuk mahasiswa,
di manapun berada, Toni selalu berangkat. Termasuk salah satu
yang paling diingatnya, karena kursus jurnalistik itu menurutnya
sangat berkualitas, adalah yang diadakan di Universitas Satya
Wacana Salatiga.
Sekalipun mulai menikmati kegiatan di kampus, hati kecil Toni
tetap berontak. Ia ingin sekali masuk ISI. Ia merasa tidak cocok
jika kelak kemudian akan menjadi seorang akuntan. Suatu saat,
ketika bapaknya sedang bertugas ke Jakarta, Toni mengutarakan
niatnya untuk ikut seleksi masuk ISI kepada ibunya. Kartini, sang
ibu, hanya bisa diam. Ia memang sudah merasa Toni tidak betah
berada di kampusnya. Akhirnya Kartini memberi sejumlah uang
kepada Toni untuk ikut masuk ke ISI. Toni akhirnya mendaftar.
Suatu hari, Toni ikut ibunya menjenguk salah satu saudaranya
yang sakit di rumah sakit. Sepulang dari sana, iseng ia lewat di
kampus ISI, Gampingan. Ia heran, kenapa banyak sekali anakanak yang berada di luar pagar dan sedang menggambar? Seperti
sedang ada ujian. Hatinya merasa tidak enak. Setengah berlari,
ia langsung pulang dan mengobrak-abrik sisi kamarnya untuk
mencari formulir pendaftarannya. Setelah akhirnya mendapati
formulir yang dicarinya, seketika itu juga Toni lemas. Ternyata
hari itu adalah hari seleksi masuk ISI.
Namun ia tidak melaporkan tragedi itu kepada ibunya. Hanya
saat pengumuman, ia bilang kepada ibunya kalau ia tidak lolos. Si
ibu saat itu hanya menjawab dengan bijak, Ya, mungkin belum
saatnya
Semenjak itu, batin dan pikiran Toni goncang. Ia semakin tidak

49

suka kuliah di AA YKPN, dan ia mulai sering hidup di jalanan.


Suatu saat, ia bertemu dengan salah satu teman seangkatannya di
AA YKPN yang kebetulan punya pacar anak ISI angkatan 1986.
Anak ISI itu membuka kursus untuk para calon mahasiswa ISI
yang ingin lolos ujian seleksi masuk ISI. Diam-diam, Toni ikut
kursus itu, tanpa sepengetahuan bapak-ibunya.
Menjelang pembukaan pendaftaran masuk ISI, barulah Toni
berani bilan ke orangtuanya untuk mencoba ikut tes masuk ISI.
Yusman tentu saja kaget, sebab di YKPN, Toni sudah memasuki
tahun kedua. Tetapi saat itu Yusman tanggap, keinginan sang
anak sepertinya sudah bulat. Kemudian Yusman mencoba
memberi solusi, Sudah begini saja, rampungkan dulu kuliahmu
di AA YKPN, baru kemudian masuk ISI.
Toni menggelengkan kepala. Ia bilang saat itu, umurnya sudah
cukup tua kalau harus menunggu setahun atau dua tahun lagi.
Kemudian Yusman, mencoba memberi pilihan terakhir, yakni
kalau nanti Toni diterima masuk ISI, ia harus kuliah dobel, satu
di AA YKPN dan satu lagi di ISI. Lagilagi Toni bersikukuh tidak
mau. Alasannya, ia bukan tipe orang yang bercabang dan tidak
dokus pada satu hal.
Negosiasi mentok. Percakapan menemui jalan buntu. Yusman
tidak merestui anaknya mencoba ikut tes masuk ISI.
Mendengar hal itu, Toni langsung keluar rumah. Ia minggat.
Selama seminggu lebih, Toni tidak pulang ke rumah. Ia hidup dari
satu kawan ke kawan yang lain. hingga akhirnya ia mendengar
dari kawan dekatnya, kalau Kartini mencari-cari Toni sambil
menangis. Mendengar hal itu, Toni langsung pulang.
Sesampai di rumah, Toni menemui ibunya, dan ia pun ikut
menangis. Ia merasa bersalah kepada ibu yang sangat disayanginya.
Sementara Yusman hanya diam saja. Saat itu, ia hanya meminta
Toni mandi, lalu tidur. Besok kita bicarakan masalahmu. kata
Yusman.

50

Keesokan harinya, tanpa banyak perdebatan, Yusman bilang


kalau ia memperbolehkan Toni untuk mencoba ikut tes masuk
ISI di tahun 1991 itu. Selang beberapa hari kemudian, Toni
mendaftarkan diri.
Di saat pengumuman tiba, Toni diberitahu oleh kawannya
kalau namanya tercantum sebagai salah satu anak yang diterima
di ISI. Toni segera membeli koran, dan memang menemukan
namanya di sana. Ia berteriak kegirangan. Sepanjang jalan ia
berjingkrak-jingkrak. Sesampai di rumah, ia memberitahu kedua
orangtuanya tentang keberhasilannya saat itu.
Pada saat itulah, untuk kali pertama, Toni melihat sepasang
mata bapaknya berkaca-kaca

51

Mozaik
Eksterior

ERANG dingin antara Amerika Serikat versus Uni


Sovyet, menyebar di mana-mana. Sekalipun disebut
Perang Dingin namun sesungguhnya yang terjadi adalah
perang yang senyatanya. Hanya saja, peperangan kedua negara
adi daya itu memercik di negaranegara yang mereka perebutkan.
Salah satunya, Indonesia.
Kekuatan kiri di Indonesia, di bawah kendali seorang militan
yang keras kepala bernama D.N. Aidit, dan juga di bawah besutan
seorang intelektual muda kiri yang flamboyan dan berjiwa seni
bernama Nyoto, setelah mengambil alih pimpinan PKI dari
para orangtua, dengan segera mereka berhasil membangun
partai dengan sangat gemilang. Bayangkan saja, pada tahun
1927, sebagian besar para aktivis partai radikal ini dibuang ke
Digoel. Pada tahun 1948, ketika partai ini mulai berkembang lagi
di bawah pimpinan Muso, kembali disikat, nyaris sampai rata
dengan tanah. Namun saat partai dibawah kendali duo AiditNyoto, di tahun 1959, pada saat pemilu pertama kali berlangsung,
PKI berhasil menduduki peringkat empat, dan mengklaim
memiliki 10 juta kader partai.
Saat itu, kekuasaan politik di Indonesia hanya bisa dipetakan
menjadi tiga kekuatan besar: Soekarno, Tentara (dalam hal
ini terutama adalah Angkatan Darat alumni Peta), serta PKI.
Pertentangan ketiga golongan ini masih belum sampai pada
taraf permukaan, karena maing-masing pihak masih berhitung.
Soekarno, bagaimanapun juga, masih seseorang yang mempunyai
pengikut besar dengan slogan: Pejah-gesang, Ndherek Bung
Karno! (Hidup-mati ikut Soekarno). Selain itu, bagaimanapun
juga, dia masih sebagai ikon pimpinan PNI, sekalipun saat itu,
sepak-terjang PNI mulai meredup. Sementara itu, si pihak
tentara, terutama Angkatan Darat (AD), yang sejak awal
sudah mempunyai nilai tawar yang tinggi terhadap kekuatan
Soekarno juga berhasil mengkonsolidasikan kekuatan mereka,
dan terutama mulai masuk ke dalam sektor masyarakat sipil yang
lain, termasuk para teknokrat yang kelak dijuluki Mafia Barkeley,

55

juga di lini budaya yang kelak melahirkan para deklarator


Manifes Kebudayaan, dan yang lebih penting lagi, masuk ke
sektor mahasiswa, yang kelak membentuk organ Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Di medan kebudayaan, mulai terjadi polemik yang
berkepanjangan antara Lembaga kabudayaan Rakyat (Lekra)
versus para deklarator Manifes Kebudayaan (Lekra kemudian
membuat akronim musuh mereka itu dengan sebutan Manikebu).
Sampai sekarang, dalam dunia sejarah sosial Indonesia, masih
menjadi perdebatan, apakah sebetulnya Lekra itu merupakan
underbuow PKI, atau sebuah lembaga kebudayaan independen
yang kebetulan mempunyai kesamaan visi dengan PKI. Polemik
antara Lekra versus Manikebu itu sendiri sebetulnya merupakan
polemik yang cukup bermutu, ikut memperkaya polemik
sebelumya antara Sutan Takdir Alisyahbana versus Sanusi Pane.
Sementara itu, di dunia seni rupa itu sendiri, sebuah peta
perkembangan juga terus bergerak. Pada tahun 1937, salah satu
pelukis ternama Indonesia saat itu membentuk Persatuan Ahli
Gambar Indonesia (Persagi), di Jakarta. Pembentukan organisasi
iu sendiri lebih dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mendobrak
kejumudan dunia seni rupa Indonesia yang dikungkung
oleh dominasi Belanda. Mereka, para paktivis Persagi ingin
memperlihatkan kepada dunia bahwa para pelukis Indonesia itu
ada, dengan seluruh hal yang khas.
Pada tahun 1945, di bawah kekuasaan Jepang, seiring dengan
semakin kooperatifnya para pimpinan politik Indonesia terhadap
penguasa Jepang, terutama Soekarno yang kemudian terlibat
di dalam pendirian Poesat Tenaga Rakjat (POETRA), maka
dibentuklah Keimin Bunka Shidoso, semacam pusat kebudayaan.
Hal ini paralel dengan kebijakan Jepang sendiri dalam bidang
yang lain, misalnya menghapus dan melarang seluruh istilah yang
memakai bahasa Belanda.
Di masa itulah, para pelukis yang sudah termasuk senior

56

seperti Sudjojono, Agus Djaja dan Affandi, bertemu dan


bergumul dengan pelukis-pelukis yang masih muda seperti
Basuki Resobowo, Hendra, Trubus, dan masih banyak yang
lain. Pergumulan dan pergaulan itu bukan hanya semata
seperti transformasi ketrampilan melukis, namun juga terjadi
transformasi ideologi.
Ketika kemudian Jepang hengkang dari Indonesia, dan
Belanda bersama sekutunya mulai merangsek masuk lagi dalam
teritori Indonesia, terjadilah eksodus besar-besaran dari Jakarta
ke Yogyakarta. Ibukota negara yang semula berada di Jakarta,
dipindah ke Yogyakarta. Selain para politikus Indonesia yang
mengikuti hijrah massal ini, tak ketinggalan para pelukis pun
melakukan perjalanan yang sama, menuju Yogya. Dari peristiwa
inilah, Yogya mulai menjadi tempat baru bagi pertumbuhan
dunia seni rupa di Indonesia.
Pada tahun 1947, Sudjojono kembali menunjukkan sisi
lain kesenimanannya, yakni kemampuan untuk berorganisasi.
Ia membentu sebuah lembaga bernama Seniman Indonesia
Muda (SIM). Affandi dan teman-temannya, termasuk Basuki
Resobowo kembali bergabung dengan lembaga bikinan Sudjojono
tersebut. Tetapi fase itu hanya berlangsung sesaat. Karena terjadi
perbedaan pendapat, Hendra dan Affandi keluar dari SIM di
tahun yang sama, lalu ia membuat lembaga baru bernama Pelukis
Rakyat. Beberapa seniman muda ikut bergabung di lembaga baru
tersebut, misalnya Trubus. Pelukis Rakyat lambat laun mulai
terlihat kedekatan ideologis antara Pelukis Rakyat dengan PKI.
Karena hal itu, beberapa pelukis pergi dari lembaga tersebut, di
antaranya adalah Affandi.
Di antara sekian banyak lembaga seni rupa saat itu, hampir
semuanya lesu, kecuali Pelukis Rakyat. Maklumlah, di saat itu,
PKI pun mulai mencengkeramkan kekuatannya di ranah politik.
Tidak heran, Pelukis Rakyat kemudian mempunyai hubungan
yang cukup dekat dengan Lekra.

57

Gambaran di atas adalah gambaran sederhana tentang


perkembangan seni rupa di Indonesia, namun di luar lembaga
formal (baca: sekolah). Di lembaga pendidikan formal sendiri,
terjadi perkembangan yang patut dicatat. Di Bandung, misalnya,
pada tahun 1947, berdiri Universitaire Leergang tot Opleiding voor
Tekenleraren (Balai Perguruan Tinggi Guru Gambar). Lembaga
tersebut didirikan dan dikelola oleh orang-orang Belanda. Kelak,
lembaga pendidikan seni formal itu kemudian tergabung di
dalam Insitut Teknologi Bandung, dengan sebuah departemen
yang diberi nama Departemen Seni Rupa.
Sementara itu, lembaga pendidikan seni formal juga berdiri
di Yogya pada tahun 1950, dengan nama Akademi Seni Rupa
Indonesia (ASRI). Kelak, di tahun 1968, lembaga ini berubah
nama menjadi Sekolah Tinggi Seni Rupa ASRI.
--ada tahun 1965, meletuslah sebuah tragedi kemanusiaan.
Tragedi ini kelak mempunyai dua nama, yang disebut
dengan cara yang berbeda oleh dua kubu yang
bertentangan. Kubu pertama, adalah kubu di bawah kendali AD
dengan pimpinan Soeharto. Kubu ini memberi nama gerakan
tersebut dengan sebutan G-30-S/PKI, yang definisinya kurang
lebih adalah Gerakan 30 September yang didalangi oleh PKI.
Sementara kubu lain yang merasa menjadi korban, terutama
PKI, memberi nama peristiwa itu dengan nama Gerakan Satu
Oktober (Gestok).

Ada banyak versi tentang gerakan yang menyebabkan tewasnya


6 orang Jenderal dan seorang prajurit ajudan. Versi pertama, yang
kemudian memenangi laga wacana, PKI dituduh terlibat dalam
peristiwa tersebut. Alasannya jelas, PKI ingin segera mengambil
alih kekuasaan di Indonesia, sebab dukungan utama mereka saat
itu yakni Soekarno, sedang sakit keras dan diperkirakan akan
meninggal dunia. Sedangkan versi kedua menyebutkan bahwa
peristiwa itu sebetulnya hanyalah konflik internal di antara
kalangan AD, terutama antara para perwira muda dan para

58

jenderal. Para perwira muda merasa tidak puas dengan tingkah


laku para pimpinan mereka yang gemar berfoya-foya, serta
mulai tidak patuh terhadap Soekarno. Sementara itu, ada versi
ketiga yang berargumen bahwa dalam di balik kejadian tragis itu
dilakukan oleh Central Intelligence of Amerika (CIA), dengan
alasan bahwa Amerika terlalu mengkhawatirkan kedekatan
Indonesia, terutama Soekarno dan PKI yang semakin merapat
ke Moskow dan Beijing. Sebetulnya masih ada sekian versi
lagi tentang peristiwa ini, seiring dengan semakin banyaknya
penelitian menyangkut peristiwa yang sampai sekarang masih
dianggap sebagai peristiwa gelap.
Namun yang jelas, imbas dari pristiwa inilah yang
sesungguhnya penting, dan menjadi tonggak baru dalam
kehidupan sosial-politik-ekonomi di Indonesia. Kemenangan
versi pertama, dengan seluruh instrumen politik dan budaya yang
dikerahkan untuk mendukung versi tersebut, setidaknya telah
mengakibatkan jatuhnya banyak korban yang tidak berdosa. Ada
banyak sekali penelitian yang mencoba memperkirakan berapa
banyak jatuh korban, terutama yang dianggap sebagai orang
komunis, bahkan juga dianggap sebagai Soekarnois. Angka yang
paling rendah tentang jatuhnya korban adalah 150.000 orang,
dan angkat tertinggi yang pernah diteliti, korban tragedi ini
menjapai 1.000.000 orang.
Proses pembantaian, pembuian, dan pembuangan orang-orang
yang tertuduh berdosa itu pun berlangsung dalam kurun waktu
yang cukup lama, antara tahun 1966 sampai tahun 1969. Bahkan
ada yang pada tahun 1972 masih ditangkap oleh aparat, karena
dituduh terlibat peristiwa tersebut.
Seperti dijelaskan di atas, AD tidak sendirian bermain
memenangi laga politik itu. Di depan mereka, ada KAMI yang
sampai tahun 1970 masih terus berusaha menghabisi kekuatan
kiri yang tersisa, yang kemudian melebar ke menghabisi apa
yang kelak disebut sebagai kekuatan Orde lama. Di garda
depan itu pula, terutama yang kemudian ikut membersihkan

59

orang-orang yang dianggap berideologi kiri, tentara meminjam


tangan kelompok Islam dengan Bansernya. Sementara itu, di
belakang para tentara, sebuah kekuatan sedang digodok, yakni
para teknokrat yang kelak akan banyak mendesain keputusan
ekonomi Orde Baru (demikian kelompok ini menamakan diri
mereka untuk membedakan diri dengan kelompok lama yang
dicap Orde Lama), dan para budayawan serta seniman yang
tergabung dalam kelompok Manifes Kebudayaan, yang kelak
akan mendesain jalannya kebudayaan di Indonesia.
Tetapi rupanya, kelompok ini pun tidak monolitik. Dari pihak
kami, sudah mulai muncul protes, terutama disuarakan oleh
tokoh muda yang kelak juga meninggal dunia dalam usia yang
sangat muda: Soe Hok Gie. Tokoh muda ini mulai menyoroti
pembantaian manusia yang dilakukan oleh kekuatan Orde Baru,
terutama yang dilakukan di Bali.
Pada tahun 1970, tampaknya kubu KAMI mulai terbelah.
Sebagian besar, mulai terserap ke dalam parlemen, birokrasi,
dan sebagian lagi menjadi pengusaha yang kelak juga menopang
perekonomian Orde Baru. Tetapi sebagian kecil yang lain,
mencoba menghindar dari jebakan kemewahan itu, lalu balik
melakukan kritik tajam terhadap Orde Baru. Di antara para
mahasiswa yang mulai mengkritik Orde Baru adalah Arif
Budiman dan Syahrir. Kedua orang itu juga merupakan corong
bagi mahasiswa yang merasa masih punya kewajiban moral untuk
mengkritisi sebuah orde yang semula mereka dukung. Arief
Budiman pula yang kemudian menjadi pelopor gerakan Golput
ketika pemilu tahun 1971 sedang dipersiapkan, dan ia pula yang
menjadi pelopor memprotes kebijakan dibuatnya Taman Mini
Indonesia Indah (TMII), yang sejak semula sudah bisa dilihat
sebagai proyek buang-buang duit dan sarat akan korupsi.
Gerakan Mahasiswa (GM) kembali menguat untuk
menentang Orde Baru, ketika memasuki tahun 1973. Di saat
itu, mulai terlihat bagaimana fondasi ekonomi berdikari yang
selalu digembar-gemborkan Soekarno, digantikan dengan

60

diterimanya banjir modal dari luar negeri ke Indonesia, terutama


yang dilakukan oleh Jepang. Rentetan demonstrasi mahasiswa itu
semakin lama semakin membesar, sehingga pecahlah apa yang
kemudian dikenal sebagai Malapetaka 15 Januari (Malari).
Peristiwa itu menyebar ke seluruh Jakarta. Demonstrasi
mahasiswa yang semula ditujukan untuk memprotes kedatangan
Perdana Menteri Jepang Tanaka, berakhir dengan bara api di
mana-mana. Kantor-kantor perusahaan Jepang dibakar, ratusan
mobil Jepang juga dibakar. Akibat peristiwa tersebut, belasan
orang meninggal dunia, ratusan orang ditangkap. Dan kambing
hitam adanya kerusuhan itu diarahkan ke para mahasiswa. Karena
peristiwa tersebut, beberapa pentolan mahasiswa ditangkap dan
dipenjara, beberapa di antara mereka adalah Hariman Siregar,
Syahrir dan salah seorang aktivis dari Yogya, Aini Chalid.
Namun tampaknya peristiwa tersebut bukannya meredam
sikap politis dan kritis mahasiswa. Pada tahun 1977 sampai tahun
1978, mahasiswa kembali bangkit dengan isu yang semakin
tajam. Mereka mulai mengkritisi kekuasaan tentara yang semakin
dominan, kebijakan ekonomi yang tidak adil bagi rakyat jelata,
termasuk masih ikut menyeret isu sebelumnya: ketergantungan
perekonomian Indonesia terhadap pihak asing. Kebetulan pula,
momentum itu bertepatan dengan agenda pemilu, di mana segera
dapat diketahui bahwa pesta demokrasi itu hanyalah opera sabun
belaka yang kelak akan mengukuhkan kembali Soeharto sebagai
presiden.
Tampaknya pukulan balik yang dilakukan elemen pendukung
Orde Baru bukan hanya dilakukan oleh para aktivis mahasiswa.
Salah seorang penandatangan Menfes kebudayaan, WS Rendra,
juga mulai balik menyerang Orde Baru. Sastrawan yang kerap
dijuluki Si Burung Merak itu mulai meradang. Dan di saat itulah,
dengan kepiawaiannya memainkan kata-kata dan bergerak di
panggung pementasan, dengan cepat ia mendapatkan massa
pendukungnya. Penyair ini pun akhirnya ditangkap dan dipenjara
selama setahun.

61

Tetapi pukulan dari mahasiswa terhadap kekuasaan, dibalas


Orde Baru dengan serangan yang mematikan. Tentara beserta
panser masuk kampus. Semua Dewan Mahasiswa (Dema)
dibekukan, dan lagi-lagi yang diangap pentolan serta biang kerok
ditahan dan dimasukkan penjara. Tetapi senjata pamungkas yang
disabetkan oleh Orde baru di kampus adalah ketika Menteri
Pendidikan Daoed Joesoef mengeluarkan sebuah kebijakan
bernama Normalisas Kehidupan Kampus (NKK). Kebijakan itu
mencoba mentralkan wilayah kampus dari kehidupan politik
praktis. Dan pembenahan administratif untuk mendukung hal
tersebut benar-benar dilakukan dengan sistematis.
Kebijakan NKK ala Daoed Joesof tampaknya berhasil meredam
kegiatan mahasiswa di kampus. Sementara itu, di sisi lain, elemen
politik Orde Baru pun mulai terkonsolidasi di bawah kekuasaan
tunggal Jenderal Soeharto. Dan yang lebih menolong Orde Baru
lagi saat itu untuk kembali merebut kepercayaan rakyat adalah
dengan adanya booming minyak, yang menguntungkan Indonesia
secara ekonomis.

62

Mozaik
Interior

EMENTARA di awal tahun 1974, dunia politik digegerkan


dengan meletusnya Malari, menjelang tutup tahun itu, terjadi
sebuah persitiwa seni rupa yang menggegerkan: Desember
Hitam. Memang belum ada yang berani menyimpulkan dengan
pasti relasi antara kedua peristiwa yang cukup berdekatan dalam
konteks waktu tersebut, tetapi dalam sejarah gerakan apapun,
sebuah atmosfir politik senantiasa memberi asupan energi di
berbagai bidang kreatif.
Menurut Bonyong, setahun sebelum terjadinya peistiwa
Desember Hitam, ia dan beberapa temannya seperti FX Harsono,
Hardi dan Nanik Mirna, menggelar sebuah pameran yang ia sebut
sebagai pameran main-main. Konsepnya saat itu, mereka ingin
menentang paham universalisme yang dianut oleh salah satu
dosen mereka. Bentukbentuk seperti bulatan, segitiga maupun
garis, dianggap bukan seni. Mereka lalu mengeksplorasi halhal yang dianggap tidak seni itu. Ternyata saat pameran digelar,
datanglah Sanento Yuliman, yang saat itu sudah mulai dikenal
sebagai seorang kritikus senirupa yang ulung. Sanento mendekati
Bonyong, lalu ia bertanya, apakah Bonyong sadar bahwa apa yang
telah Bonyong lakukan bersama teman-temannya itu merupakan
hal yang luar biasa. itulah yang disebut sebagai anti-lirisme.
Bonyong saat itu mengaku terbengong-bengong dan bilang,
Enggak tahu aku, Mas
Hasil kunjungan Sanento di pameran itu kemudian ditulis
di media massa. Lalu dari sana mulai muncul polemik, ada
yang pro dan tentu saja ada yang kontra. Wacana tersebut terus
menggema, di Bandung disuarakan oleh Sanento, sementara di
Yogya disuarakan oleh Sudarmadji.
Setahun kemudian, tepatnya pada bulan Desember, Bonyong
dan keempat rekannya dari Yogya, diundang ke Jakarta. Mereka
diundang dalam rangka menghadiri sebuah lomba seni lukis.
Saat itu yang terpilih sebagai juara antara lain: Aming Prayitno,
AD Pirous, Irsam, dan yang menyabet karya terbaik adalah Abas
Alibasyah.

65

Menjelang pengumuman, sebetulnya sudah mulai ada


perdebatan tentang karya mana yang akan terpilih sebagai juara.
Tetapi perdebatan memanas setelah tahu karya siapa saja yang
terpilih sebagai juara. Inti dari perdebatan yang kemudian tidak
pernah tuntas itu, menurut versi Bonyong, ia dan kawan-kawannya
tidak sepakat kalau di dalam seni lukis terjadi penjurian. Malam
itu juga, Bonyong sempat meminta uang kepada para pemenang.
Saat ditanya untuk apa, ia menjawab, Sudahlah, pokoknya untuk
sesuatu
Saat acara pembagian hadiah tiba, mendadak forum dikejutkan
oleh datangnya beberapa orang yang mengusung keranda bersama
karangan bunga dengan tulisan: Turut berduka cita atas kematian
seni lukis Indonesia. Selain itu, ada pula manifesto yang dibuat
oleh para pemrotes, banyak nama yang ikut bertandatangan,
terutama dan Bandung, Jakarta, dan tentu saja kelima orang dari
Yogya.
Namun Bonyong tidak berpikir hal itu akan berbuntut panjang.
Pertama, ia kenal betul dunia senirupa. Hal-hal seperti itu,
bukanlah hal yang memalukan alias biasa. kedua, ia kenal cukup
dekat dengan orang-orang yang diprotesnya. Sekalipun sebagian
orang yang diprotesnya adalah para dosen yang mengajarnya,
tetapi hubungan mereka lebih sering sebagai kawan. Ketiga, toh
uang yang dipakai untuk melakukan aksi itu adalah uang dari
para pemenang. Dan yang poin keempatlah yang sebetulnya
meyakinkan Bonyong bahwa peristiwa itu pasti cepat berakhir:
ia dan kawan-kawannya yang protes sempat ditraktir makanmakan oleh beberapa juri dan para pemenang. Malam itu, Abas
Alibasyah bahkan sempat bertanya, Besok kamu mau ke mana,
Nyong?
Ke Yogya, Pak. Mau daftar ulang kuliah. jawabnya Bonyong
singkat.
Selang beberapa hari kemudian, setelah berada di Yogya, saat
Bonyong mau daftar ulang di kampusnya, ia ditolak oleh salah

66

satu dosennya. Mendengar hal itu, Bonyong dan Hardi, yang saat
itu berbarengan mendaftar ulang, bertanya, Ada masalah apa,
Pak?
Sang dosen mempermasalahkan mereka yang terlibat dalam
aksi Desember Hitam tersebut. Bonyong dan Hardi tidak terima,
Itu kan tidak ada hubungannya dengan kuliah, Pak?
Si dosen tetap bergeming. Bonyong dan Hardi gagal melakukan
proses daftar ulang hari itu juga. tidak lama kemudian muncul
keputusan dari pihak kampus bahwa kelima mahasiswa yang ikut
menandatangi Desember Hitam mendapat sanksi akademik.
Berita segera menyebar ke mana-mana. Protes dilakukan oleh
para mahasiswa. Beberapa dosen bahkan menyatakan diri keluar
dari STSRI-ASRI karena merasa pihak kampus telah melakukan
kesalahan yang telak. Di antara mereka yang keluar adalah
Sudarmadji, Darmanto Jatman. Sudarmadji akhirnya mengajar
di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), kemudian pergi ke Belanda.
Sementara Darmanto Jatman akhirnya mengajar di Universitas
Diponegoro (Undip) Semarang.
Ada hal yang agak ganjil, memang. Sebab di Bandung, para
penandatangan dan mereka yang terlibat aksi Desember Hitam,
justru mendapatkan pujian dari civitas akademika. Berkebalikan
dengan apa yang terjadi di Yogya.
Bagi Bonyong sendiri, peristiwa itu membuatnya kesal sekali,
apalagi sebetulnya dia tinggal menyelesaikan tugas akhir. Sebelum
berangkat ke Jakarta, ia sempat menemui beberapa dosen yang
akan mengujinya. Saat itu Bonyong sempat berkata dengan nada
optimistis, Selamat bertemu di arena ujian, Pak!
Alih-alih bertemu di arena ujian, dari sejak mendaftar ulang
saja, ia sudah kena cekal. Berkali-kali Bonyong menemui beberapa
dosennya, termasuk Fajar Sidik. Fajar kemudian meminta
agar Bonyong bersedia meminta maaf. Saat itu juga, Bonyong
meminta maaf dalam konteks anak muda yang bersalah kepada

67

orang yang lebih tua. Tetapi Fajar Sidik meminta syarat yang
lain, yaitu Bonyong harus pernyataan yang pernah dibuatnya di
depan publik. Untuk kali itu, Bonyong menolak keras. Kembali,
Bonyong menemui jalan buntu untuk bisa meneruskan kuliahnya
yang tinggal setapak lagi.
Tetapi kelak di kemudian hari, setelah hampir 10 tahun ia kena
sanksi akademik, ia dicari dan ditemui oleh Fajar Sidik, salah
satu dosen yang ikut memberi sanksi akademik. Fajar kemudian
meminta agar Bonyong melakukan ujian untuk tugas akhirnya.
Akhirnya Bonyong lulus pada tahun 1983.
--anksi akademik yang diterima oleh Bonyong dan temantemanya, tidak membuat Bonyong surut untuk terus
bergerak di dunia senirupa. Mereka sering mengadakan
pertemuan dengan perupa-perupa dari kota lain yang mempunyai
gagasan yang sama, terutama dengan kelompok Jim Supangkat
di Bandung.

Pertemuan dan komunikasi yang intens itu kemudian


mengerucut dan menggelindingkan sebuah gerakan senirupa
yang masuk dalam catatan sejarah: Gerakan Seni Rupa Baru
(GSRB). Mereka pun menggelar sebuah pameran bersama di
TIM.
Pameran tersebut pun menuai pro-konra, apalagi dengan
dilansirnya semacam manifesto yang diberi judul: Lima Jurus
Gebrakan Gerakan Seni Rupa Baru. Gagasan GSRB tentu
saja lebih mengkristal di banding dengan peristiwa Desember
Hitam. Jika diambil saripati gerakan tersebut kira-kira isinya
adalah menolah paham lama mengenai senirupa, menolak
spesialisasi di dalam senirupa, membuka seluas mungkin
kemungkinankemungkinan di dalam berkarya, mengembangkan
sendiri sejarah senirupa versi Indonesia yang dilakukan oleh para
pemikir Indonesia, serta mengharapkan senirupa lebih berguna
bagi masyarakat luas. GSRB masih sempat pula melakukan
pameran kedua sekaligus pameran yang terakhir pada tahun

68

1977.
Sementara di tingkat lokal Yogya, Bonyong dan temantemannya, membuat gebrakan tingkat lokal dengan label
Kepribadian Apa (Pipa). Namun yang menjadi motor penggerak
Pipa adalah perupa-perupa yang lebih yunior seperti Haris
Purnama, Gendut Riyanto (alm), Tulus Warsito, Mulyono dan
masih banyak lagi. Pipa sempat melakukan du akali pameran
bersama, yang pertama pada tahun 1977 dan yang terakhir pada
tahun 1979. Gerakan ini jelas terinspirasi dari GSRB, dan oleh
karena itu, intisari pemikiran mereka pun tidak jauh dari intisari
pemikiran GSRB.
Begitu dekade 70an berakhir, sebagaimana lanskap sosial
politik yang telah samasama kita ketahui, kampus kembali sunyi.
Tetapi setiap kesunyian, sesungguhnya menyimpan potensi
bunyi, kalau tidak dikatakan sebagai suatu jenis bunyi.
--ogyakarta adalah magnet bagi banyak orang yang terobsesi
dengan dunia kreatif dan intelektual. Sebutan Kota
Palajar bukanlah sembarang sebutan yang dititahlan dari
langit. Sebutan itu termanifestasi dalam kehidupan dan geliat
kota tersebut.

Semenjak tahun 1950an, kota itu sudah mengundang para


pemuda yang haus akan ilmu pengetahuan dan pergaulan
intelektual. Mereka menyerbu Yogya seperti laron-laron yang
melihat cahaya lampu. Tetapi puncak kehidupan yang dinamis
kota tersebut sebetulnya terjadi di era 1970an.
Di saat itulah, Malioboro menjadi pusat perhatian dengan
dikomandani oleh seorang Presiden Penyair Malioboro: Umbu
Landu Paranggi. Dari sentuhan tangannya, dan dari interaksinya
bersama anak-anak muda zaman itu, lahirnlah tokoh-tokoh
beken dalam dunia sastra dan budaya, seperti Linus Suryadi AG,
Emha Ainun Nadjib, Ashadie Siregar, Suminto A Sayuti, Faruk
HT, Simon Hate, Halim HD dan masih banyak lagi.

69

Tidak jauh dari tempat tongkrongan para kaum inteletual


yang ngangsu kaweruh bersama di pinggiran Malioboro itu,
terdapat sebuah gedung yang monumental bagi perkembangan
senirupa saat itu yakni Gedung Senisono. Di gedung itulah, para
perupa dari STSRI-ASRI sering mengadakan pameran. Selain
berpusat di gedung tersbut, para perupa juga aktif melakukan
kegiatan mereka di kampus, di daerah Gampingan, yang kurang
lebih hanya berjarak 2 kilometer dari gedung Senisono.
Hubungan antara kaum inteletual-sastrawan-perupa saat itu
sangat dinamis. Setiap proses kreativitas selalu butuh lawan dan
kawan. Mereka berproses serupa filosofi mencari ilmu orang
Jawa dalam prosesi menumbuk padi. Kulit padi yang mengelupas
bukan hanya karena ditekan oleh alu dan lumpang, melainkan
tergesek oleh sesama padi saat alu menumbuk lumpang.
Tetapi poros imajiner antara Malioboro-SenisonoGampingan, juga terkena hukum waktu. Ada saatnya bermula,
dan ada saat pula untuk berakhir. Hal itu terjadi karena masingmasing orang yang terlibat di sana mulai bergelut suntuk dengan
dinamika sosial dan fokus kerja masing-masing, dan yang tidak
kalah pentingnya, dipicu oleh hengkangnya Sang Presiden Umbu
Landu Paranggi yang kemudian memilih pergi ke Pulau Bali.
Mungkin hanya kebetulan, tapi mungkin juga tidak, redup
dan pudarnya pesona Malioboro itu terjadi juga di akhir tahun
1970an.
--arry Wahyu, yang oleh teman-temannya lebih sering
dipanggil dengan nama Ong, masuk STSRI-ASRI
tahun 1980. Ia masuk jurusan grafik. Jurusan yang
keliru dipilihnya, sebab sebetulnya yang ia maksud adalah masuk
jurusan desain komunikasi visual. Sudah terlanjur masuk, malas
kalau mau mengulang lagi, ucapnya, mengenang kekeliruannya
memilih jurusan.

Bersama Ong, di dalam satu angkatan itu, namun beda jurusan

70

yakni jurusan seni lukis, ada setidaknya tiga nama yang kemudian
tenar sebagai pelukis: Heri Dono, Eddie Hara dan Dadang
Christanto. Memang dari dulu, ketiga orang itu sudah terlihat
mencorong di antara sekian banyak teman-teman mereka, begitu
pengakuan Ong.
Di tahun 1980an itu, apa yang sebelumnya terjadi di dalam
batupal (milestone) dunia senirupa seperti GSRB dan Pipa sudah
pula pudar. Masih menurut Ong, kehidupan di kampus memang
penuh kreativitas, tetapi lebih kepada soal ngedan, sebuah istilah
untuk menunjuk pada eksplorasi gila menyangkut perilaku dan
eksplorasi karya.
Ong masih bisa mengingat dengan baik, bagaimana Eddie
Hara melakukan seni peristiwa (performance art), dengan
kekasihnya yang berasal dari luar negeri. Tugasku saat itu bagian
motret. kata Ong.
Ong juga masih bisa mengingat seni peristiwa yang lain, yang
terekam kuat di dalam ingatannya, yakni ketika Haris Purnama
menggelar seni peristiwa bertajuk: Karnaval Proyek Luka. Saat
itu, Haris keliling kota Yogya dengan naik sepeda angin yang
seluruh bagian sepeda itu dibalut perban.
Di tahun-tahun itu, pengertian soal lukisan masih konvensional,
yang disebut lukisan ya hanya yang berupa cat minyak di atas
kertas. Sketsa dan medium selain kanvas, tidak dianggap sebagai
lukisan. Pada saat itu pula, tempat pameran masih sangat terbatas,
setidaknya saat itu hanya ada tiga tempat: Senisono, Bentara
Budaya dan Karta Pustaka. Setiap perupa yang pameran di saat
itu, berarti ia siap rugi, sebab lukisan saat itu tidak laku, kecuali
beberapa seniman saja, misalnya Ivan Sagito.
Perupa yang ingin mencari uang sendiri, tidak mengandalkan
kiriman orangtua, biasanya terlibat ikut membuat iklan, dari
mulai membuat spanduk sampai poster. Ada juga yang mengisi
ilustrasi di berbagai koran. Dan yang dianggap proyek besar saat
itu adalah ketika ada perupa yang diminta oleh pihak Gramedia

71

untuk menggambar ulang sampul buku di atas triplek besar,


untuk acara tertentu, seperti peluncuran buku atau sekadar
promosi biasa.
Saat itu, di kampusnya, sama sekali tidak ada kegiatan yang
berbau politik. Dan paralel dengan hal itu, booming minyak
membuat Indonesia makmur secara ekonomi, sekalipun
sesungguhnya hanyalah gelembung ekonomi (bulb economic),
banyak orang kaya baru dan banyak bank yang didirikan.
Soal absennya kegiatan politik di kampus juga dibenarkan oleh
Dwi Maryanto, yang pada tahun 1984 sudah mulai mengajar di
kampus STSRI-ASRI yang saat itu telah berubah nama menjadi
Institus Seni Indonesia (ISI). Saat itu jika ada yang mencoba
ngomong politik, selalu dibilang kawannya yang lain, Sudahlah
soal politik dan ekonomi sudah ada anak-anak UGM yang lebih
jago.
Maka kemudian yang lebih banyak terjadi adalah eksplorasi
media dan pencarian bentuk lukisan. Misalnya saja Dwi
Maryanto mencontohkan, saat itu yang sedang populer adalah
karya seni lukis yang surealistik. Salah satu pelukis yang diingat
begitu dahsyat melakukan eksekusi gagrak (genre) itu adalah
Lucia Hartini. Lucia pernah melukis baskom yang terbalik di
tengah laut. Kemudian Lucia juga pernah melukis seekor burung
bangau yang tersangkut di alang-alang.
Baik Ong maupun Dwi Maryanto mengakui, saat itu, dan
kemungkinan besar juga sampai beberapa tahun selanjutnya, ada
semacam strata antara anak seni lukis dibanding jurusan-jurusan
yang lain. Ong mengaku, saat itu, Orang lukis itu nomor satu.
Sementara Dwi Maryanto mengatakan, justru karena hal
itulah, orang seperti dirinya lalu mencari berbagai peluang,
seperti kemudian menjadi penulis dan kurator. Makanya sampai
sekarang banyak anak grafik yang menjadi kurator atau penulis,
kata Dwi Maryanto menandaskan.

72

Zaman itu di kampus, isinya ngedan, mabuk-mabukan,


dagelan dan hura-hura. ungkap Ong, ketika ditanya apakah saat
itu kehidupan politik masuk di ISI. Pernah katanya, ia dan temanteman satu angkatannya, termasuk Eddie Hara, membuat wayang
dari karton. Tokoh-tokoh di dalam wayang itu adalah para teman
dan dosen mereka. Ceritanya seronok dan lucu, berkisah tentang
kehidupan keseharian kampus, dalangnya anak Diskomvis, dan
musik pengiringnya adalah grup musik keroncong.
Bagi Ong, kampusnya adalah sebuah tempat yang memberi
limpahan energi kreatif yang luar biasa. Ia menggambarkan
kampusnya seperti hal ini, Seperti sanggar tapi besar sekali.
Hanya bedanya, ada yang disebut guru dan ada yang memberi
nilai. Tetapi nilai pelajaran tidak penting-penting amat, yang
penting terus bisa berkreasi.
--i Kampus ISI Gampingan, semenjak lembaga tersebut
masih bernama STSRI-ASRI, tempat itu merupakan
tempat favorit anak-anak kampung sekitar. Selain
tempatnya teduh, dulu selain ada pohon beringin besar yang
sampai sekarang masih ada, juga terdapat banyak pohon kemiri.
Di tempat itu juga, dulu ada banyak sisa-sisa cat, yang boleh
digunakan oleh anak-anak untuk mengecat apa saja, mengecat
tembok sampai mengecat batu.

Salah satu anak yang selalu bermain di ISI adalah Gandung.


Tetapi Gandung adalah nama paraban, nama julukan. Naman
aslinya Wahyudiyono. Ia kelahiran 1969.
Gandung tidak lulus SD. Sejak kecil, orangtuanya cerai. Dan
sejak kecil pula, ia sudah terbiasa mencari uang sendiri. Ia bahkan
mulai mengayuh becak semenjak usia 11 tahun, dan karena belum
bisa mengayuh dari sadel, terpaksa ia lakukan dari spatbor roda
bagian belakang.
Karena sejak kecil selalu berada di kompleks ISI, ia mengenal
hampir semua orang yang pernah kuliah di sana, terutama para

73

mahasiswa yang aktif. Sebutlah siapa saja, pasti dia akan tahu.
Gandung mengaku kalau dirinya nakal. Tetapi ia mempunyai
alasan khusus untuk itu, Bagaimana tidak nakal, saya itu sejak
kecil kalau tidur, melihat simbok saya main judi. Suatu saat ketika
saya sudah besar dan sudah bisa mencari uang sendiri, kebetulan
saya juga suka judi, simbok saya mengingatkan agar saya tidak
berjudi. Tetapi saya balikkan kata-katanya, kalau dulu dia pun
suka berjudi bahkan di depan anak sendiri.
Selain suka berjudi, Gandung juga dikenal sebagai peminum
berat. Saya selalu nyanding vodka atau sejenisnya. Kalau bangun
tidur tidak minum alkohol, rasanya badan ini kurang bergairah.
Dulu, tempat mangkal Gandung dengan becaknya berada di
perempatan Wirobrajan, hanya spelemparan batu dari kampus
ISI. Selebihnya, ia nongkrong di ISI, ikut mabuk bareng dengan
para mahasiswa.
Dia tahu betul siapa saja dan dari angkatan berapa saja yang
sangat ngedan di ISI. Bahkan ada yang edan betulan, namanya
Marganus. Kalau tidak angkatan 78 ya angkatan 79. Saya masih
sering ketemu dia di jalanan. Karena saya diweling Pak Ong agar
memperhatikan orang itu, ya setiap ketemu masih sering saya
beri rokok.
Ia juga tahu betul siapa saja mahasiswa yang sudah berhasil dan
masih teringat sama dia, dan yang sudah melupakannya. Kalau
Mas Heri Dono dan Eddie Hara itu baik sekali. Kalau datang ke
kampus, pasti nyari saya, dan sering diberi uang. Tetapi andalan
saya jika kepepet dan tidak punya uang ya datang ke Pak Ong.
Gandung bertubuh tambun, tetapi tampak kuat. Beberapa
bagian giginya hancur. Beginilah pengakuannya, Saya ini brjiwa
seniman. Saya pernah enam tahun jadi anggota grup musik
dangdut, bagian saya memainkan kendang dan ketipung. Kalau
soal gigi, itu gara-gara waktu kecil saya sering ikut grup jathilan.
Kalau pas ndadi (trance), saya makan beling dan mbrakoti sabut

74

kelapa. Makanya gigi saya hancur semua.


Tetapi semenjak tahun 1991, ketika anak pertamanya lahir,
Gandung sudah tidak mau minum minuman keras, takut
mengalami seperti yang dilakukannya kepada simboknya. Saya
takut diwelehke anak saya. Kalaupun toh minum, paling sekarang
hanya minum bir, itu pun kalau ada yang membelikan.
Namun jika ada acara mabuk-mabukan di kampus, ia tetap
terlibat. Terutama untuk menjaga mahasiswa-mahasiswa yang
mabuk agar tidak bikin onar dan berantem. Dan tentu saja
mengumpulkan botol serta kaleng minuman bekas tempat
alkohol untuk dijual.
Selain itu, kini ia juga berprofesi sebagai tukang pijat. Dan
becaknya sekarang pun sudah terkenal dengan sebutan Gandung
Becak Art Trip. Sesuai dengan namanya, Gandung khusus
mengantarkan tamu-tamu yang ingin berwisata seni, terutama di
galerigaleri atau tempat-tempat pameran. Ia juga kerap diminta
beberapa pelukis untuk mengantar karya mereka ke tempattempat tertentu. Sebutan Gandung Becak Art Trip diberikan
oleh Samuel Indratma, dan Samuel pula yang mengiklankan ke
mana-mana, termasuk lewat dunia maya.
Maka, kalau ada seseorang yang ingin tahu masa lalu seorang
tokoh di ISI, bahkan semenjak bernama STSRI-ASRI, asal di
atas tahun 1977 sampai 1997, Gandung adalah salah satu orang
yang pantas ditanya.
Dan beginilah menurut penuturan Gandung, Anak ISI
sekarang sudah enggak asyik lagi, sudah enggak ngedan seperti
dulu lagi. Sekarang serba necis. Terutama anakanak angkatan
1998 ke sini
Mungkin saja benar omongan Pak Gandung. Sebab zaman
sudah berubah. Tetapi masalahnya, semenjak anak angkatan
1998 sampai tahun-tahun berikutnya, sudah tidak kuliah lagi di
Gampingan, melainkan sudah di Sewon, Bantul. Sebuah tempat

75

yang tentu saja jarang dikunjungi Pak Gandung.


--rahmaiani memang baru berdomisili di Yogya pada
tahun 2001. Tetapi Yogya, bukanlah kota asing baginya,
terutama karena ia menjalin hubungan yang erat dengan
banyak seniman dai Yogya, semenjak awal tahun 1980an.

Ia masuk kuliah di Departemen Seni Rupa ITB pada tahun


1979. Sesungguhnya, di saat itu, ia juga diterima masuk STSRIASRI. Tetapi karena pertimbangan bahwa orangtuanya tinggal
di Bandung, maka ia memutuskan untuk kuliah di ITB.
Saat ia masuk di ITB, gema GSRB sudah tidak terdengar
lagi di kampusnya. Tetapi ITB, sebagaimana dua kampus lain
yakni UI dan UGM, selalu tidak pernah putus melahirkan
generasi-generasi penentang Orde Baru. Di sanalah, Arahmaiani
mencemplungkan diri, di gerakan politik. Hal itu dilakukan
bukan tanpa latar belakang, saat ia masih duduk di bangku SMA
pun ia pernah ditahan karena sudah terlibat aktivitas politik,
terutama menentang agenda pemilu 1977.
Arahmaiani agak menyangsikan kalau STSRI-ASRI relatif
bersih dari kegiatan politik. Baginya, apa yang dulu dilakukan
oleh Eddie Hara dan kawan-kawannya, cukup politis. Hanya
saja kan waktu itu Orde Baru sedang kuat-kuatnya, sehingga
setiap kegiatan politik harus dibungkus dengan rapi.
ITB dan ISI, masing-masing tempat itu mempunyai stereotip
sendiri-sendiri. Menurut Arahmaiani, seni rupa ITB serig
disteretipkan sebagai laboratorium Barat. Sedangkan STSRIASRI sering distereotipkan dengan hal-hal yang berbau
kerakyatan.
Pendapat tersebut didukung oleh Ong, walaupun dengan
penekanan yang agak berbeda. Menurutnya, anak-anak senirupa
ITB unsur modernismenya kuat, termasuk dealam hal gagraknya
seperti kubisme dan abstrak. Sedangkan di STSRI-ISI dikenal
sebagai kampus yang bersetia dengan lukisan gagrak realis.

76

Arahmaiani sendiri mengaku sebetulnya merasa lebih cocok


dengan orang-orang Yogya. Praktik-praktik berkesenian di Yogya
menurutnya lebih bisa dimengertinya daripada praktik-praktik
kesenian di Bandung. Mungkin karena di Bandung, senimansenimannya lebih individualistis dan elitis jelasnya.
Lagi-lagi menurut Arahmaiani, tempat ngumpul seniman
Bandung sangat terbatas, Paling-paling di kampus, ujarnya,
kalau di Yogya kan bisa di angkringan atau di rumah siapa
gitu
Perihal pemahaman seni yang konvensional dalam lembaga
pendidikan formal, sperti yang pernah disitir oleh Ong, jika di
Yogya yang namanya lukisan ya cat minyak di atas kanvas, di
bandung pun menurut Arahmaiani sama saja, Aku pernah tidak
lulus ujian gara-gara aku melukis dengan arang.
Perupa yang sudah sejak lama menekuni bidang seni peristiwa
(performance art) ini juga sempat mengungkapkan bagaimana
susahnya ia mengembangkan bidang itu. Dulu, seni peristiwa itu
sering hanya disebut dengan istilah njeprut, yang kurang lebih
artinya gila-gilaan, tidak jelas, serta dianggap sarafnya sudah
putus.
Tetapi Arahmaiani juga tahu, di Yogya, seni peristiwa sudah
lama pula dilakukan. Terutama di saat angkatan Heri Dono dan
kawan-kawan.
--ella Jarsma datang ke Indonesia karena digiring oleh
bayangan (shadow). Semenjak ia kuliah seni di Belanda,
ia begitu terpukau dan terobsesi dengan bayangan.
Dan karena ketertarikannya itu, ia selalu mencoba memotret
bayangannya sendiri, saat ada matahari, maupun saat ada sumber
cahaya yang lain. Ia begitu terpukau dengan bayangan, sesuatu
antara gelap dan terang, batas antara yang hidup dan yang mati,
tegangan antara yang material dan imaterial.

Kebetulan saat kuliah itu pulalah, ia mengenal wayang kulit,

77

sebuah pertunjukan yang berhubungan erat dengan bayangan.


Ia pun lantas berkunjung ke Indonesia. Di negeri ini, perihal
bayangan semakin mengeras di pikiran dan batinnya. Karena itu,
begitu lulus kuliah, ia mencari beasiswa yang memungkinkannya
berkunjung dan sekolah di Indonesia. Tahun 1985, ia berhasil
mendapatkan beasiswa, dan tiba di Indonesia.
Awalnya ia kuliah di IKJ, mengambil seni patung dan instalasi.
Tetapi hanya bertahan enam bulan. Ia bosan di Jakarta. Akhirnya
Mella memilih hengkang ke Yogya, yang menurutnya, lebih
mempunyai konsep bayangan yang lebih kaya, misalnya saja di
warung-warung angkringan yang hanya diterangi lampu teplok
dan dikelilingi terpal plastik.
Selain soal bayangan, ada hal lain yang membuat Mella lebih
kerasan berada di Yogya dibandingkan dengan di Jakarta. Di
IKJ, karena jarak rumah atau kos-kosan para mahasiswa saling
berjauhan, maka mereka cenderung hanya berkumpul di kampus.
Sedangkan di Yogya tidak seperti itu. mahasiswa bisa berkarya
di mana saja, di masingmasing kos mahasiswa bisa jadi studio,
karya para mahasiswa bisa didiskusikan di kampus, tetapi juga
bisa didiskusikan di masing-masing kos-kosan.
Di Yogya, Mella bertemu dengan geng Dadang Christanto
dan kawan-kawannya yang lain, sperti Heri Dono, Eddie Hara,
dan Nindityo Adipurnomo. Nama laki-laki terakhir itu, kelak
menjadi suaminya.
Di Yogya, Mella terus mencoba mengeksplorasi bayangan.
Bahkan ia menyewa rumah yang tidak mempunyai aliran listrik,
semata-mata untuk mendalami kemungkinankemungkinan
perihal bayangan.
Tahun 1986, beasiswanya selesai. Dan kebetulan pula, Nindit
bisa mendapat beasiswa pergi ke Belanda. Sepasang kekasih itu
akhirnya sama-sama pulang pergi ke Belanda, dan kemudian
menikah di sana. Selama di Belanda itulah, mereka berdua sering
menghabiskan waktu untuk jalan-jalan di galeri seni. Di saat

78

itulah muncul pemikiran, kalau mereka perlu membuat semacam


galeri di Yogya.
Pada bulan Agustus 1987, mereka telah sampai lagi ke
Indonesia, dan hanya butuh waktu setengah tahun, sebuah galeri
bernama Galeri Seni Cemeti berhasil mereka dirikan, tepatnya
pada bulan Januari 1988.
Nama cemeti itu mereka ambil, karena mereka merasa di
Yogya butuh sebuah lecutan seni. Nama itu pula, sebetulnya
diambil saat mereka berdua berkunjung ke Semarang, dan ada
sebuah majalah dinding di sebuah sekolah yang memakai nama
Cemeti juga.
Alasan dibentuknya cemeti sebetulnya berawal dari niatan
yang sederhana. Pertama, karena ruang pameran di Yogyakarta
saat itu sangat sedikit. Kedua, ruang pameran itu hanya sebatas
sebagai ruang pameran, ketika seorang seniman selesai melakukan
pameran, hubungannya dengan pihak pengelola ruang pameran
juga selesai. Tidak ada sistem dokumentasi dan informasi yang
terus dimutakhirkan, serta tidak ada upaya dari pihak galeri
yang ada untuk terus mengikuti perkembangan seorang seniman
yang pernah berpameran di sana. Dan alasan ketiga, inilah yang
nampaknya paling penting, pengertian bahwa senirupa, hanyalah
semata-mata terfokus kepada seni lukis. Sketsa, instalasi, seni
patung, belum dianggap sebagai bagian dari seni yang penting.
Banyak seniman bahkan, yang sebelum membuat sebuah
lukisan, mereka membuat sketsa di atas kertas, tetapi begitu
lukisannya sudah jadi, sketsa itu dibuang begitu saja. hal sperti
itulah yang menjadi perhatian Mella dan Nindit. Mereka
benarbenar berharap dan berjuang, Galeri Seni Cemeti bisa
menjadi galeri alternatif di Yogya.
Saat Galeri Seni Cemeti dibuka, mereka hanya mempunyai
ruang pajang untuk pameran seluas 4x7 meter. Untuk pembukaan
galeri ini, digelarlah pameran bersama lima perupa: Mella Jarsma,
Nindityo Adipurnomo, Ong Harry Wahyu, Eddie Hara dan

79

Heri Dono. Lalu kelima perupa itu giliran melakukan pameran


tunggal di sana.
Mella dan Nindit benar-benar membangun Galeri Seni
Cemeti dari nol. Mereka menyablon sendiri poster dan undangan,
lalu mengantar sendiri undangan-undangan ke orang-orang
yang diundang. Cukup lama mereka menggunakan uang pribadi
mereka di saat awal-awal galeri tersebut berdiri.
Dengan manajemen yang baik, dan visi yang terus terjaga,
Galeri Seni Cemeti benar-benar menjadi galeri alternatif di
Yogya. Dan lambat laun, banyak orang yang mulai berdatangan,
terutama para turis yang membeli lukisan dan sketsa. Ketika
sketsa mulai laku dijual, baru banyak perupa yang terbuka pikiran
mereka, ternyata sketsa pun merupakan produk seni dan bisa
dijual.
Saat Bob dan Toni masuk ISI pada tahun 1991, dan saat
Teddy masuk ISI pada tahun 1992, Galeri Seni Cemeti sudah
menempati posisi yang cukup penting dalam dunia senirupa di
Yogya, bahkan di Indonesia. Bisa berpameran di Galeri Seni
Cemeti, sudah mulai menjadi impian banyak perupa.

80

Forum
Adu Goblok

YAMSUL Barry atau Icul, sebagaimana remaja lain yang


merasa mempunyai bakat menggambar, dan sekaligus
ingin menjadi seniman, begitu lulus dari SMA, mencoba
mencari sekolah tinggi yang dipikirnya mampu menggilapkan
ketrampilannya. Lalu ia mendengar kalau di Yogyakarta
ada sebuah sekolah tinggi bernama STSRI-ASRI. Ia segera
meninggalkan kota tempat asalnya, Jakarta, untuk menuju Yogya.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 1989.
Setiba di Yogya, ia dikagetkan oleh dua hal. Pertama, sekolah
tinggi yang ditujunya itu ternyata telah lama berubah nama
menjadi ISI. Kedua, ketika kemudian mengikuti ujian masuk ISI,
bakat menggambarnya tidak cukup buat menembus ujian masuk.
Ia gagal masuk ISI. Kelak, kekagetannya akan bertambah lagi.
Tetapi Icul tidak mau balik ke Jakarta. Ia menetap di Yogya,
dan sembari menunggu kesempatan di tahun berikutnya, Icul
kursus bartender di sebuah akademi pariwisata. Saat itu ia
berpikir, Kalau nanti tidak tembus lagi, aku akan buka warung
makan. Bisnis makan tidak pernah sepi pembeli.
Tetapi ternyata di tahun berikutnya, 1990, ia berhasil masuk
ISI dengan jurusan Kriya. Begitu masuk ISI, kekagetannya
semakin bertambah. Di kampus, menurut Icul, suasananya rock
n roll, gila habis. Di mana-mana banyak mahasiswa berlaku gila,
dan alkohol bisa diminum di setiap pojok kampus. Saat itu, ia
sempat berpikir, Wah, bagaimana bisa belajar kalau suasananya
seperti ini?
Tetapi pikiran Icul tidak sejalan dengan praktiknya. Dengan
segera, apalagi ia mempunyai ketrampilan mengoplos minuman
yang dipelajarinya dari tempat kursus, segera ia menjadi bartender
idola di kampus ISI. Icul pun mulai terlibat dalam aksi gilagilaan
ala ISI. Kalau ada pentas musik, botol minuman berterbangan di
panggung. Musisi dengan seenaknya diturunkan oleh penonton
yang kemudian mengambil alih panggung dengan kegiatan apa
saja, apakah hanya sekadar menjerit atau bahkan bertelanjang

83

memamerkan tato. Kalau ada acara kemah, aksi gila seperti itu
bisa sampai menyiram minyak tanah ke dalam kantung beras
yang sedianya untuk bahan makan.
Icul menyatakan, kalau angkatan 1989 dan 1990 disebutnya
sebagai masa transisi. Sebab, kelak kemudian, setelah tahun
1991, ada perbedaan yang cukup mencolok di kegiatan kampus
ISI. Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan oleh Icul,
sebab di dunia luar (baca: politik nasional), juga tengah terjadi
pergeseran atmosfir, terutama ketika kekuasaan Orde Baru yang
berhasil menetralisir kampus dari aksi politik mulai luntur, dan
kebijakan politik Orde Baru di tingkat rakyat mulai semakin
memperlihatkan kebrutalannya.
Salah satu orang yang juga satu angkatan dengan Icul adalah
Edo Pillu. Ia punya sejarah yang cukup unik mengapa bisa
kuliah di ISI. Edo berasal dari Bandung. Sejak SMA, ia sudah
mempunyai ketrampilan membuat patung dan bermain musik.
Saat lulus dari SMA, ia bekerja kepada seorang pematung di
Bandung. Suatu saat, Edo iseng-iseng menggambar di kertas,
dan hasil gambarnya itu dilihat oleh si pematung. Melihat bakat
tersembunyi Edo, si pematung segera memberi Edo uang untuk
mendaftar kuliah yang ada jurusan seninya. Saat itu, Edo pikiran
Edo bercabang, memilih antara masuk seni rupa ITB atau
ISI. Namun akhirnya Edo memilih masuk ISI. Alasannya pun
sederhana, ia ingin suasana kota yang baru.
Begitu masuk ISI, hampir sama dengan Icul, ia cukup terkejut.
Kehidupan ala bohemian dengan alkohol dan kegilaan yang
merebak di seantero kampus, membuatnya terbengong-bengong.
Tetapi sebagaimana akhirnya mahasiswa baru yang lain, apalagi
yang memang mempunyai bibit keliaran, Edo segera memasuki
pergaulan seperti itu dengan santai. Tiada hari tanpa mabuk.
--ada tahun 1991, di antara 30 mahasiswa baru jurusan
seni lukis, terdapat dua nama: Bob dan Toni. Menurut
pengakuan Toni, ia seperti sudah pernah mendengar nama

84

Bob sebelumnya. Kayaknya aku sudah pernah dengar nama


Bob, deh. Mungkin karena dia anak Qzruh, mungkin karena dia
pernah sering menjadi juara menggambar. Tapi kemungkinan
besar, aku rancu dengan Bob yang lain. Bisa jadi yang kudengar
adalah Bob Dylan atau Bob Marley, bukan Bob yang kawan satu
angkatanku ini. paparnya sambil tertawa.
Berbeda dengan Icul dan Edo, begitu masuk ISI, Toni
langsung merasa senang bukan kepalang. Inilah kampus yang
bisa membuatnya berbuat segila yang dia mau.
Apa yang dirasakan Toni, hampir sama juga dengan apa yang
dirasakan oleh Bob. Di pikiran Bob saat itu, apa yang sering
disebutnya dengan kebebasan semakin terang. Namun, ia punya
pengalaman yang agak buruk saat mulai masuk ISI, yakni ketika
terjadi perpeloncoan bagi mahasiswa baru.
Sudah menjadi rahasia umum di seantero Yogya, sistem
perpeloncoan di ISI merupakan salah satu sistem perpeloncoan
yang terkenal dengan kegilaan dan keganasannya. Oleh para
kakak-kakak seniornya, Bob dan beberapa temannya disuruh
telanjang, untuk diperiksa, apakah ia punya tato atau tidak.
Bagi yang punya tato, perpeloncoan bisa lebih kejam lagi. Sebab
oleh para senior, mereka yang bertato sudah punya pengalaman
dan mental yang nakal. Dan sebab lain, sebagaimana hukum
perpeloncoan, setiap yunior tidak boleh menyaingi para senior,
juga dalam hal bertato.
Malang bagi Bob, ia ketahuan mempunyai tato. Maka ia
dikelilingi belasan seniornya, dan mengalami perpeloncoan
yang lebih keras lagi. Mulai dimaki, sampai ditantang berkelahi.
Tetapi dasar Bob, keesokan harinya, ia malah menambah satu
tato lagi, dan saat itu, tatonya mulai diperlihatkan. Para seniornya
marah lagi, Bob kena hukuman lagi. Dan keesokan harinya lagi,
Bob menambah satu tato lagi. Begitu seterusnya sampai fase
perpeloncoan usai.
Di antara anak-anak seni lukis angkatan 1991, terdapat nama

85

perempuan yang cukup antik. Namanya, Bunga Jeruk. Ia masuk


ISI selain karena sejak kecil suka menggambar, juga karena
didorong oleh ayahnya, Darmanto Jatman. Sang ayah bilang
kepada Bunga, Kamu jadi seniman saja, masuk ISI sana.
Gayung bersambut. Bunga pun masuk ISI. Sekalipun
perempuan, Bunga justru tidak termasuk orang yang mengalami
gegar budaya. Sejak SMA, aku sudah bergaul dengan banyak
seniman di Solo, jadi aku enggak kaget. kata Bunga.
Dan masih menurut Bunga, dua orang teman seangkatannya
yakni Bob dan Toni memang sudah mencuri start. Bunga
mengungkapkan, Mereka sudah kenal dengan kakak-kakak
angkatan. Mungkin karena mereka dulu sebelum masuk ISI
pernah kursus menggambar agar lolos masuk ISI.
Bunga juga masih ingat, di awal-awal kuliah, kedua orang itu,
Bob dan Toni, sudah terlihat selalu ingin tampil dan menonjolkan
diri. Kata Bunga, mulai dari saat penataran, Bob dan Toni selalu
bertanya kepada para penatar, walaupun pertanyaan mereka tidak
begitu jelas, atau lebih tepatnya tidak begitu bermutu.
Tampaknya, nama Bunga, benar-benar menjadi bunga
di kampusnya saat itu. Dan salah satu cowok yang berusaha
mendekati Bunga adalah Toni. Aku sering diajak bermain,
pergi ke tempat-tempat pameran, dan bahkan pernah diajak ke
rumahnya.
Tetapi Bunga akhirnya menjauh dari kejaran Toni, karena
kebetulan ia mempunyai teman yang si teman tersebut ternyata
adalah salah satu teman satu SMA dengan Toni. Kata si teman,
sejak SMA, Toni sudah dikenal sebagai cowok play boy. Selain
itu, Toni juga dikenal sebagai cowok yang celelekan alias konyol.
Pernah di saat SMA, Toni disetrap gurunya gara-gara saat ia
kebagian mempimpin doa, ia memimpin dengan mengatakan
hal seperti ini, Mari teman-teman, kita berdoa menurut alat
kelamin masing-masing.

86

Bunga kemudian lebih dekat dengan Bob, yang saat itu


terpilih sebagai ketua angkatan anak-anak jurusan melukis tahun
1991, dengan julukan: Kepala Suku. Kedekatan itu bukan karena
Bunga naksir Bob, walapun Bob seperti halnya Toni juga naksir
Bunga, melainkan karena hal lain.
Bunga mempunyai kakak perempuan bernama Omi Intan
Naomi, yang kuliah di Fakultas Sosial-politik UGM, dengan
mengambil jurusan Ilmu Komunikasi. Saat itu, Omi kos di
daerah Pogung, di dekat UGM, yang kebetulan juga dekat
dengan rumah Bob yang di Pandega Bakti. Karena hal itulah,
Bunga sering bersama Bob, saat ia ingin mengunjungi Omi.
Saat itu kan musimnya grup musik Guns N Roses, wah
tampilan Bob dimiripmiripkan dengan Axl Rose, dengan
bandana yang ditalikan di kepalanya, dan dengan jaket penuh
gambar tengkorak. Sama sekali enggak mirip Axl Rose. kenang
Bunga.
--wal tahun 1990an, di Indonesia merebak wacana
posmodernisme. Sekalipun tidak paham apa itu
posmodernisme, namun anak-anak muda ISI saat itu,
sudah sering gembargembor tentang posmodernisme. Kalau ada
ulah sedikit saja, selalu ada yang nyeletuk, Wah itu posmo

Atau jika ada orang yang ingin mengajak ngedan temantemannya, ia bisa saja dengan ringan berkata, Mosmo, yuk
Demam posmodernisme pun menyerang kepala Icul. Tetapi
dengan teman-teman seangkatannya, Icul merasa tidak begitu
klop, kecuali dengan Edo. Icul malah merasa bisa nyaman
dengan anak-anak angkatan 1991, angatan Tono, Bon dan
kawan-kawannya. Bersama anak-anak angkatan 1991 itulah, Icul
mengusulkan dibentuk sebuah forum diskusi. Nama forum itu:
Forum Adu Goblok.
Apa saja bisa dibicarakan di forum itu, mulai dari masalah
tema politik, sosial, sampai masalah penyakit anjing. Dan sesuai

87

dengan namanya, Forum Adu Goblok, orang yang nimbrung di


forum tersebut pun bisa seenaknya ngomong, dan bisa seenaknya
membelokkan tema yang telah disepakati. Pernah suatu ketika,
tema diskusi itu membahas tentang sepak bola, tetapi kemudian
yang terjadi, yang lebih dominan dalam diskusi itu adalah
memperdebatkan mengapa burung Garuda Pancasila, kepalanya
menengok ke kanan.
Forum Adu Goblok bukan hanya nyeleneh secara tema, tetapi
juga ganjil di dalam berperilaku. Suatu saat, pernah digelar diskusi
di forum itu, di mana setiap anggota yang terlibat diskusi harus
bertelanjang bulat.
Forum itu semakin gila, ketika bertambah tahun. Ketika salah
satu anak jurusan seni lukis angkatan 1992 ikut bergabung.
Orang itu adalah Teddy. Menurut Toni tentang kehadiran Teddy,
Keliaran dan kegilaannya melebihi siapapun, termasuk melebihi
para seniornya.
Ada satu mata kuliah yang dulu menjadi favorit banyak
anak ISI, mata kuliah itu bernama Experimental Art. Di mata
kuliah itu, Teddy sempat membuat syok warga kampus dengan
menempel poster bergambar dirinya sendiri, dalam jumlah yang
sangat banyak, di berbagai dinding kampus. Di mata kuliah yang
sama, sebelumnya, Toni juga sempat membuat heboh, sebab ia
mempresentasikan karyanya di depan kelas dengan cara mengambil
atau lebih tepatnya mendongkel pintu kamar mandi yang berada di
kampus, untuk kemudian dibawanya masuk ke ruang kelas.
Sementara itu, alih-alih meniru kedua orang yang kemudian
menjadi sahabatnya, Toni dan Teddy, Bob berbuat lain. Ia saat itu
patah hati karena gagal mendapatkan seorang perempuan dari
jurusan Diskomvis. Karena ditolak cintanya, Bob naik ke menara
tempat penampungan air yang berada di kampus ISI. Di sana ia
bertelanjang bulat, sembari memamerkan tato-tato ditubuhnya,
lalu menceburkan diri di bak penampungan, serta kencing di
sana. Sampai beberapa minggu, tidak ada civitas akademika

88

di lingkungan kampus ISI yang berani menggunakan air di


lingkungan itu, karena ulah Bob.
Ulah gila-gilaan tersebut di atas, semakin menggila ketika
banyak anak ISI mulai mengonsumsi pil koplo. Bob, Toni, Teddy,
termasuk orang-orang yang sangat doyan pil koplo. Di Yogya,
para penggemar pil koplo dijuluki Serpiko: Sersan Pil Koplo.
Serpiko sendiri sebetulnya merujuk kepada seorang tokoh film
bernama Serpico, seorang tokoh polisi yang dimainkan oleh Al
Pacino.
Bahkan karena tergila-gila dengan pil koplo itulah, Toni
sampai sekarang kalau berbicara agak lambat dan kurang runtut.
Dulu dia tidak seperti itu, ujar Icul.
Ada peristiwa yang memantik sehingga Toni teler berat, dan
setelah itu, gaya bicaranya melambat. Suatu hari, Toni menelan
satu papan atau satu tik (istilah untuk menyebut satuan pil koplo
dalam jumlah antara 12 sampai 16 biji). Seluruh pil yang berjumlah
12 biji itu, entah kenapa langsung ditelan oleh Toni. Lalu ia
bermain di tempat kos Icul, kebetulan di sana, Icul pun sedang
nenggak pil bersama dengan Edo Pilu dan salah seorang teman
mereka bernama David. Tetapi cara menelan pil mereka berbeda
dengan cara menelan pil Toni. Mereka bertiga mempunyai cara
tersendiri yakni, Icul membuat kopi panas, lalu satu papan pil
koplo dimasukkan ke dalam gelas berisi kopi, kemudian sedikit
demi sedikit ketiga orang itu bergantian menyyeruput kopi.
Saat Toni datang, kopi sudah teraduk bersama pil, hanya
karena masih panas, ketiga orang itu menunggu hingga kopi agak
dingin. Sementara menunggu kopi dingin, Icul dan David keluar
rumah sebentar untuk membeli rokok. Sementara, Edo berada
di rumah bersama Toni yang baru saja datang. Edo kemudian
pergi ke kamar mandi. Begitu keluar dari kamar mandi, Edo
kaget sekali, sebab kopi yang telah diracik oleh Icul ternyata telah
tandas diminum Toni, yang memang tidak tahu saat minuman
itu diracik. Ketika kemudian Icul dan David datang, mereka

89

berdua pun kaget begitu tahu kalau segelas kopi itu dihabiskan
sendirian oleh Toni. Apalagi Icul tahu persis, kalau Toni sudah
mengkonsumsi pil koplo dalam jumlah yang besar. Mereka
bertiga bingung. Sementara Toni hanya tertawa-tawa, tetapi
itu hanya berlangsung selama beberapa menit. Setelah itu, ia
langsung tersungkur.
Ketiga orang kawan yang masih sadar itu semakin kacau. Mau
membawa Toni pergi ke rumah sakit, tetapi merasa hal itu sangat
berbahaya, apalagi jika ditanya dokter apa sebabnya. Kalau tidak
dibawa ke rumah sakit, nyawa Toni jels terancam, sebab dalam
waktu yang hampir bersamaan ia menenggak 24 pil koplo. Mereka
bertiga akhirnya menunggui Toni sampai keesokan harinya.
Begitu Toni bangun tidur, mereka sangat lega. Walaupun Toni
masih terus dalam keadaan on hingga beberapa hari kemudian.
Semenjak itulah, gaya bicara Toni yang semula tegas, berubah
menjadi lambat.
--ebetulnya, di tahun-tahun sebelum 1990an, ada semangat
pemberontakan yang dilakukan oleh anak-anak ISI, mereka
selalu serba anti. Jika ada Festival Kesenian Yogyakarta
(FKY), anak-anak ISI membuat FKY Tandingan. Jika digelar
peristiwa biennial, mereka membuat acara tandingan dengan
nama: binal.

Lembaga yang menyerupai Forum Adu Goblok juga pernah


didirikan oleh Toni yaitu Forum Seniman Peduli (Baca:
Forum Seniman Peduli Titik-titik). Titik-titik itu bisa diisi apa
saja, sesuai dengan kebutuhan yang ada. Misalnya saja ketika di
daerah tertentu terjadi banjir, maka lembaga tersebut berkegiatan
dengan memakai nama Forum Seniman Peduli Banjir. Jika ada
teman yang sakit, mereka pun bisa memakai lembaga tersebut
dengan nama Forum Seniman Peduli Teman yang Sakit.
Bagi anak-anak ISI angkatan Icul dan Toni, mereka juga
mempunyai pahlawanpahlawan lokal ala kampus. Bob misalnya,

90

ia mengaku tergila-gila kepada Eddie Hara. Bob bilang, Eddie


Hara itu ibarat imamku, dan aku dengan rela masuk ke dalam saf
(barisan)-nya.
Lebih lanjut Bob berkata, Jangankan bertemu dan bertegur
sapa, melihat lukisannya pun aku sudah merasa bahagia, melihat
Eddie Hara dari jauh pun aku sudah merasa gila, apalagi jika
diajak ngomong oleh dia
Sementara, Icul pun mengakui kalau saat itu, orang-orang
macam Eddie Hara, Heri Dono dan Dadang Christanto,
menjadi semacam inspirator. Tetapi ada juga tokoh lain yang
dinilai tidak kalah hebatnya, yaitu Mulyono. tegas Icul, sebab
Mulyono selain dulu membuat gebrakan dengan tugas akhirnya
berupa instalasi berjudul Koperasi Unit Desa, ia juga dikenal oleh
para mahasiswa sebagai orang yang konsisten dengan paham seni
yang dianutnya.
Sebetulnya pula, selain gila-gilaan dalam berperilaku, terutama
di dalam Forum Adu Goblok, Icul dan Toni pun mulai berpikir
dengan lebih dalam. Misalnya, mereka membenahi lembaga
pencinta alam di ISI, Mahasiswa Seni Pencinta Alam (Sasenitala).
Konsep Sasenitala yang semua hanya merupakan wahana para
mahasiswa untuk naik gunung, diubah konsepnya menjadi
sebuah lembaga yang peduli untuk melakukan konvservasi alam
dan lingkungan.
Lembaga ini pernah berkeliling ke beberapa wilayah di
Indonesia seperti ke Suku Dayak, Suku Naga dan Suku Badui. Di
sana mereka belajar tentang misalnya saja bagaimana teknologi
lokal itu membuat sambungan kayu dalam membuat rumah.
Dan di saat itu pula, sebuah perkembangan baru muncul, yakni
ketika anak-anak ISI mulai menemkan lagi sambungan imajiner
lama yang dulu sempat memudar, sambungan dengan orangorang di luar kampus mereka, terutama dari UGM. Mereka
mempunyai sebutan yang khas untuk orang-orang UGM, sebuah
sebutan yang ambigu: Cah Lor, yang artinya Orang Utara.

91

Cah LorCah Kidul

ENJELANG akhir tahun 1970an dan awal Tahun


1980an, kondisi politik Indonesia mulai marak dengan
munculnya banyak Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM). Kondisi itu dipicu oleh keberhasilan Orde baru di dalam
mengkonsolidasikan kekuatan politiknya, ditopang pula dengan
berhasilnya Daoed Joesof menetralkan kampus dari aktivitas
politik praktis, dan perekonomian Indonesia berkembang dengan
lebih menjanjikan karena menuai booming minyak.
Kebanyakan LSM yang muncul dan berdiri pun sebagian besar
terjebak dalam paham pembangunanisme rezim Orde Baru.
Perkembangan politik lain yang patut dicatat adalah, menjelang
tutup tahun 1970an, karena rasa percaya diri rezim Orde Baru
atas keberhasilan dominasi politiknya, serta karena tekanan
dunia Internasional, maka para korban Gestok, yang kebanyakan
dibuang di Pulau Buru, secara bergelombang dibebaskan. Kata
dibebaskan harus diberi penekakan, sebab kata itu tidak berarti
benar-benar bebas. Mereka selalu dimintai wajib lapor, diawasi,
tidak boleh melakukan aktivitas politik sekecil apapun, bahkan
kelak di Kartu tanda Penduduk (KTP) mereka diberi tanda
khusus dengan kode ET yang artinya Eks-Tapol.
Di antara ribuan gelombang manusia yang menjadi korban
politik itu, terdapat seorang sastrawan nasional bernama
Pramoedya Ananta Toer, yang sebelum ia dibuang ke Pulau Buru,
telah melemparkan belasan karya bermutu, baik fiksi maupun
non-fiksi di dalam khasanah sastra dan budaya di Indonesia.
Pramoedya keluar dari Pulau Buru pada tahun 1977, dan hanya
butuh waktu tiga tahun saja, ia mengeluarkan sebuah novel yang
kemudian akan menjadi inspirasi ribuan pemuda Indonesia
angkatan 1990an untuk melawan rezim Orde Baru. Karya awal
Pram berjudul Bumi Manusia, satu dari empat buku yang sering
disebut orang sebagai Kuartet Buru Pramodya Ananta Toer.
Novel ini merupakan novel sejarah, sebuah karya fiksi semisejarah, dengan tokoh utama bernama Minke. Tokoh ini,
sebetulnya adalah penjelmaan dari salah satu tokoh nasional

95

terkemuka di akhir abad 19 dan awal abad 20: Tirto Adhi Suryo.
Dengan tingkat kepiawaian yang tinggi, Pram mampu meracik
sebuah karya dengan latar belakang sejarah yang kuat, di dalam
sebuah karya novel, dengan seluruh elemen novel yang memukau,
mulai dari pembangunan karekter tokoh yang kuat, kelenturan
berbahasa, permainan plot yang ciamik, dan menyelipkan kisahkisah subtil mulai dari percintaan sampai keraguan hati. Karya
ini, jika dibaca oleh mereka yang berpikiran kritis, akan memicu
mereka untuk bertanya tentang sejarah kebangsaan Indonesia,
serta membuat hati mendidih melihat segala macam penindasan.
Orde Baru segera melarang karya ini, dan kemudian karyakarya selanjutnya Pramoedya, namun dengan alasan yang
dangkal. Dan sebagaimana setiap kedangkalan alasan, pertanyaan
yang tajam terasa percuma untuk dihunjamkan. Pelarangan itu,
lebih dikarenakan mereka takut runtuhnya wibawa Orde Baru
dengan munculnya kembali seorang tokoh kharismatik dan keras
kepala seperti Pram. Dengan begitu, rezim Orde Baru secara
memalukan menuduh karya ini mengembangkan tuduhan bahwa
di dalam karya ini terdapat ajaran marxisme-leninisme.
Buku ini memang dilarang beredar, tetapi tetap dikonsumsi
secara sembunyisembunyi oleh ribuan puluhan ribu orang,
terutama yang mulai berpikir kritis tentang Orde Baru. Para
aktivis baik LSM maupun aktivis mahasiswa yang saat itu asyikmasyuk dengan kembali di pola lama pergerakan yakni Kelompok
Diskusi, menyebarkan bukubuku Pram, mulai dari difotokopi
sampai diketik ulang.
Sementara, buku-buku Pram mulai beredar di mana-mana,
rezim topeng keberhasilan Orde Baru mulai mengelupas. Satu per
satu, mulai muncul di permukaan berbagai kasus di sektor buruh
dan petani. Bahkan pada tahun 1985, sebuah peristiwa besar
yang memicu perlawanan sengit dari para elemen pro-demokrasi
mencuat. Kasus itu adalah Kasus Kedung Ombo. Proyek itu
berencana membuat sebuah waduk raksasa di daerah Kedung
Ombo, Jawa Tengah. Dengan rencana itu, puluhan ribu orang

96

terancam kena penggusuran, yang dalam bahasa rezim Orde


Baru mendapatkan istilah penghalusan menjadi dimukimkan
kembali.
Berbagai elemen pro-demokrasi, seperti LSM yang mulai
sadar diri untuk keluar dari jebakan pembangunanisme Orde
Baru, bersama dengan elemen mahasiswa yang mulai suntuk
hanya melakukan diskusi terus-menerus, membalas kebijakan
rezim Orde Baru dalam kasus Kedung Ombo dengan menggelar
demonstrasi besar-besaran. Salah satu tokoh demokrasi Indonesia
yang terkemuka, yang memposisikan dirinya di barisan penentang
kebijakan itu adalah Romo Mangun Wijaya.
Sedangkan salah satu elemen LSM yang keras menentang
kebijakan itu adalah lembaga bernama Sekretariat Kerjasama
Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI). Istilah pelestarian
hutan Indonesia bagi SKEPHI sepertinya hanya berupa istilah
saja. Aktivitas lembaga tersebut merambah ke berbagai isu lain.
Para aktivis SKEPHI merupakan orang-orang yang kemudian
menjadi motor penggerak bagi tumbuh dan berkembangnya
lembaga-lembaga sejenis, yang mempunyai agenda utama
mengkritisi semua kebijakan Orde Baru yang tidak pro-rakyat.
Atmosfir politik nasional seperti itulah, yang memayungi
beberapa kota dan kampus di Indonesia. Sebuah atmosfir yang
kondusif untuk melahirkan ribuan para pembangkang baru,
menjelang tutup akhir dekade 1980an.
--alah satu okota yang cepat memanas oleh hawa panas politik
adalah Yogyakarta. Untuk kasus Kedung Ombo, sentral
pengorganisasian dan kampanye, dilakukan oleh tiga kota
di sekitarnya: Yogya, Salatiga dan Solo. Aksi-aksi massa banyak
digelar, bahkan aksi massa besar-besaran dilakukan juga di
Jakarta, dengan mengkonsolidasikan banyak sekali aktivis politik,
terutama dari kota-kota besar di Jawa, selain tiga kota tersebut:
Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya.

97

Semenjak zaman Perang Kemerdekaan, Yogya memang selalu


memasok orang-orang yang menyalakan perlawanan, terutama
darah-darah muda kaum intelektual dan seniman. Bahkan ketika
PKI sudah mulai dihabisi di Jakarta, organ legal mahasiswa
PKI, CGMI, masih aktif menggalang dukungan dan melakukan
serangkaian aksi massa, sebelum kemudian hampir seluruh
aktivisnya dipenjara dan dibuang ke Pulau Buru.
Ketika rezim Orde Baru sedang menancapkan kekuasaannya di
era 1980an, Yogya masih penuh dengan tumpukan kayu yang terus
menyalakan tungku perlawanan terhadap rezim Suharto tersebut,
dengan model yang saat itu menjamur: kelompokkelompok
studi. Salah satu kelompok studi yang mencuat menjelang akhir
tahun 1980an adalah Kelompok Studi Sosial Palagan Yogyakarta
(KSSPY), atau biasa disebut hanya dengan Kelompok Studi
Palagan. Pada tahun 1989, tiga anggota kelompok ini ditangkap
aparat dengan tuduhan melakukan tindakan subversif karena
menyebarkan buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer. Ketiga
aktivis itu adalah Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho
dan Bambang Subono.
Pada tanggal 16 Agustus 1989, saat keputusan sidang
dibacakan di Pengadilan Negeri Yogyakarta, sebuah aksi massa
digelar. Aksi itu kemudian dibubarkan aparat dengan kekerasan.
Peristiwa itu kemudian dikenal oleh para aktivis Yogya sebagai
peristiwa Kusumanegara Berdarah, sebab bentrok aparat dengan
para demonstran terjadi di daerah Kusumanegara.
Para mahasiswa di kota Yogya juga menorehkan sebuah batupal
sejarah gerakan mahasiswa, sebab di hanay di sanalah, sebuah
organ tunggal mahasiswa tingkat kota berhasil dikonsolidasikan
dalam satu lembaga bernama Forum Komunikasi Mahasiswa
Yogyakarta (FKMY). Kebanyakan aktivis yang terlibat di lembaga
ini berasal dari beberapa universitas besar di Yogya seperti UGM,
Universitas Islam Indonesia, Institut Seni Indonesia (ISI),
Universitas Janabadra (UJB) dan Institut Agama Islam Negeri
Sunan Kalijaga (IAIN Suka). FKMY, saat itu, benar-benar

98

menjadi organ gerakan mahasiswa yang mempunyai anggota


cukup besar, hampir mencapai seribu aktivis. Hal itu, dibuktikan
di saat lembaga tersebut melakukan berbagai aksi massa.
Tetapi pada tahun 1991, lembga ini pecah menjadi tiga:
Dewan Mahasiswa dan Pemuda Yogyakarta (DMPY), Serikat
Mahasiswa UII (SM-UII) dan Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta
(SMY). Perpecahan ini sesungguhnya juga merupakan imbas dari
adanya perpecahan SKEPHI di Jakarta. Saat itu, di SKEPHI
terjadi perdebatan yang berakhir pada perpecahan antara dua
kubu dengan masing-masing tokohnya: Indro Cahyono dan
Daniel Indra Kusuma. Memang perpecahan di SKEPHI sendiri
sebetulnya terjadi pada tahun 1992, tetapi manuver kedua kubu
tersebut di tingkat mahasiswa, terutama mahasiswa Yogya, sudah
lama terjadi, dan klimaksnya terjadi pada tahun 1991.
Kubu Daniel Indra Kusuma, kemudian merapat ke SMY, basis
utama aktivisnya berasal dari UGM. Sedangkan kubu Indro
Cahyono, mendekat ke DMPY yang kebanyakan aktivisnya
berasal dari IAIN, ISI dan UJB. Hanya saja, yangpenting dicatat
di sini adalah soal aktivis dari ISI. Saat itu, aktivis mahasiswa ISI
yang terlibat politik berasal dari jurusan Teater, dengan seorang
pimpinan mereka yang sangat terkenal saat itu yakni Brotoseno.
Pada saat itu pula, tempat kuliah anak ISI jurusan teater masih
berada di daerah utara, berdekatan dengan kampus IKIP
Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta). Penjelasan
ini perlu dikemukakan, sebab di kelak kemudian, penjelasan
perihal ini akan banyak membantu untuk memperlihatkan
benang merah pergerakan di Yogya, terutama menyangkut para
perupa yang berada di kampus selatan (Gampingan).
Lembaga SMY itulah yang kelak menjadi embrio bagi
terbentuknya sebuah lembaga bernama Persatuan Rakyat
Demokratik (PRD) pada tahun 1994, yang kemudian diambil
alih oleh generasi yang lebih muda seperti Budiman Sujatmiko
dan kawankawannya, dan sekaligus mengubah dari Persatuan
menjadi Partai. Dan beberapa aktivis SMY ini pula yang kelak

99

bergabung dengan lembaga mahasiswa lain di beberapa kota


seperti Ikatan Mahasiswa Solo (IMS), Solidaritas Mahasiswa
Salatiga (SMST), Solidaritas Mahasiswa Semarang (SMS), dan
Solidaritas Mahasiswa Jakarta (SMJ). Mereka kemudian melebur
dalam organ tunggal bernama Solidaritas Mahasiswa Indonesia
untuk Demokrasi (SMID) pada tahun 1994 dengan tandem
pimpinannya yang sangat legendaris yakni Andi Arif (Ketua) dan
Nezar Patria (Sekretaris Jendral).
Yogyakarta pada umumnya, sudah sama-sama kita ketahui
memberikan kontribusi penting dalam setiap tahap pergerakan.
Dan kita juga sama-sama tahu perihal keterlibatan para mahasiswa
dari UGM, sekalipun hanya secara sepintas saja. Dan di antara
fakultas-fakultas yang terus memasok sumberdaya-sumberdaya
baru bagi pergerakan, terutama yang menentang rezim Suharto,
terdapatlah sebuah fakultas kecil, dalam arti sesungguhnya, baik
dari jumlah mahasiswa maupun gedungnya: Fakultas Filsafat
UGM.
Memahami dengan baik peta pergerakan mahasiswa
Yogyakarta dan sekaligus menengok dengan lebih jeli Fakultas
Filsafat menjadi sangat penting. Sebab kedua faktor itu, kelak
akan ikut mendinamisasikan perkembangan trio dari selatan
yang semakin akrab: Toni, Teddy dan Bob.
--amzah, begitu masuk dan diterima sebagai mahasiswa
fakultas Filsafat UGM, segera mendapatkan julukan
baru: Hamcrut. Julukan itu mungkin disematkan
kepadanya karena kalau ia bicara, selalu ngethuprus atau ngecuprut
alias ngecuprus, tidak bisa berhenti. Ia berasal dari Semarang, dan
memilih Fakultas Filsafat karena di saat ia ikut UMPTN pada
tahun 1989, fakultas itu tidak dimiliki oleh perguruan tinggi lain.
Pokoknya yang paling aneh yang aku pilih. kata Hamcrut.

Saat masuk dan mengalami hari pertama perpeloncoan,


ia didekati salah seorang seniornya, dan kemudian disuruh
meneriakkan keras-keras, Gantung Suharto!

100

Tentu saja Hamcrut syok. Pelan, ia melirik ke arah seniornya


itu, dalam hati saat itu ia berkata, Kalau anaknya bertubuh kecil,
akan kuajak duel saja!
Tetapi sayang, senior yang mendekatinya bertubuh besar. Sang
senior itu dipanggil Kingkong, untuk menggambarkan saking
besar bentuk tubuhnya. Nama sebenarnya Kingkong adalah
Webi Warouw.
Sejak SMA, Hamcrut memang bandel, tetapi menurutnya,
Nakalku hanya standar remaja biasa. paling-paling berantem
dan mabuk-mabukan.
Hamcrut juga berasal dari sebuah keluarga, di mana bapaknya
merupakan anggota pegawai negeri sipil. Sebagai anak pegawai
negeri sipil, propaganda tentang kehebatan Suharto pun
merasuk di pikirannya, dengan seluruh embel-embelnya seperti:
Penyelamat Pancasila dan Bapak Pembangunan.
Melihat tidak ketidakmungkinan ia mengajak duel sang senior,
dan mempertimbangkan saat itu ia juga sudah dilingkari seniorsenior yang lain, dengan lirih Hamcrut mengucapkan kalimat,
Gantung Suharto!
Senior-seniornya marah. Mereka segera mencaci maki
Hamcrut, dan saling berteriak, Awas, kita kemasukan agen
Suharto!
Teriakan yang serba keras, diiringi bentakan untuk terus
meneriakkan Gantung Suharto!, akhirnya membuat Hamcrut
kalap. Dengan keras dan emosi, karena tertekan, bukan karena
ia memang benci Suharto, Hamcrut berteriak keras sekali,
Gantung Suharto!
Begitu mendengar lengkingan suara Hamcrut yang keras itu,
para seniornya bertepuk tangan gemuruh. Mereka puas sekali,
sementara di dalam hati Hamcrut mulai panik dan berkata,
Wah, kampus apa-apaan ini?
---

101

ati, nama lengkapnya Raharjo Waluyo Jati, masuk Fakultas


Filsafat pada tahun yang sama dengan Hamcrut, 1989.
Agak berbeda dengan Hamcrut, Jati setahun sebelumnya
sudah pernah kuliah di Fakultas Hukum Universitas Tujuh Belas
Agustus, Semarang. Ia mengaku, awalnya ingin masuk Fakultas
Psikologi. Tetapi ketika melihat besarnya jumlah saingan yang
harus dimasuki, ia memilih Fakultas Filsafat, Saat itu saingan
masuk Filsafat jauh lebih rendah dibandingkan saat masuk
Psikologi. Di Filsafat yang daftar seribu sekian, yang diterima
tujuh puluh anak
Juga agak berbeda dengan Hamcrut, ketika masih kuliah
di Semarang, Jati sudah sering datang ke Undip untuk
mengikuti berbagai diskusi politik. Sehingga ketika kemudian
di Fakultas Filsafat, ia ketemu dengan para seniornya yang
menjadi pembangkang Orde Baru, ia senang sekali. Saat mulai
perpeloncoan, ia sudah mulai dekat dengan para senior seperti
Sugeng Bahagiyo, Webi Warouw, Yayan Sopyan, Andi Munajat,
dan lain-lain.
Jati dan Hamcrut, karena mempunyai kesamaan dalam
beberapa hal, seperti suka dengan hal-hal berbau seni dan sastra,
mereka berdua pun cepat akrab. Dan hanya butuh beberapa
bulan saja, kedua orang itu sudah mulai terlibat dengan aktivitas
berbahaya para seniornya, seperti ikut demonstrasi dalam
rentetan aksi membela warga Kedung Ombo, dan mulai terlibat
juga dalam aksi Kusumanegara Berdarah, sekalipun hanya sebagai
massa cair sebuah istilah untuk menunjukkan massa yang hanya
ikut-ikutan aksi.
Setahun kemudian, mereka berdua sudah mulai iku memelonco
yunior mereka, anak-anak baru Fakultas Filsafat angkatan
1990. Angkatan 1990 inilah yang sering disebut senior-senior
mereka sebagai Angkatan Emas, sebab kelak dari angkatan ini,
muncullah sederet nama yang melejit sebagai motor penggerak
gerakan mahasiswa. Di antara mereka adalah Nezar Patria, Edi
Hariyadi, Yulianto Sigit, Alexander Edwin, dan Bowo Arif.

102

Nama terakhir, sebagaimana kita ketahui, adalah teman Teddy


saat masih remaja di kota Blora. Bowo, masuk Fakultas filsafat
UGM, setelah ia bosan kuliah di Universitas Perbanas Jakarta.
Salah satu ciri perpeloncoan di Fakultas Filsafat adalah
mencari alasan namanama paraban (julukan) para senior. Dari
sanalah, rahasia-rahasia kecil para senior dibongkar di depan
para mahasiswa. Bowo, misalnya, ia dijuluki teman-temannya
dengan nama Jemek yang artinya becek atau basah, sebab ia
selalu berkeringat. Tetapi keringat Bowo semakin deras mengalir,
kalau ia berdekatan dengan perempuan. Ada juga kelak seorang
anak yang dipanggil Antun Gondrong. Nama lengkapnya Antun
Jaka Susmana. Para yunior mengira, Antun dipanggil Gondrong
karena memang rambutnya sangat panjang. Tetapi kemudian
terbongkar rahasia lain: Antun disebut Gondrong karena
giginya agak maju ke depan, dan untuk mengkamuflasekan itu,
ia menggondrongkan rambutnya, biar dikira julukan Gondrong
berasal dari rambutnya.
Tetapi nama lain yang perlu disebut di sini adalah Tuhan.
Sudah tentu, nama itu hanyalah julukan berapa. Namanya
Hendro, dan ia angkatan 1991. Ia disebut Tuhan karena begitu
masuk Fakultas Filsafat, rambutnya lalu dibiarkan gondrong,
dan kebetulan, wajahnya menyerupai Yesus. Maka ia segera
dimahkotai dengan julukan Tuhan. Kelak, Tuhanlah yang
kemudian menjalin hubungan dengan Bob.
Sementara itu, karena merasa mempunyai jiwa seni, dan
perlahan kepala mereka diisi oleh semangat pembangkangan,
Jati dan Hamcrut mulai sering mengadakan aktivitas seni yang
berisi nada protes. Dalam aktivitas itulah, kelak mereka berdua
bertemu dengan orang-orang dari Gampingan, seperti Icul, Toni
dan Teddy.
--enarik untuk sejenak melacak mengapa ada istilah
Cah Lor, yang sering diucapkan oleh orang-orang dari
Gampingan. Sebutan itu, bisa dipakai untuk beragam

103

nada, bisa saja sinis dan bisa saja bernada ejekan. Sampai sekarang,
istilah itu masih sering diucapkan oleh para seniman yang berada
di wilayah selatan untuk menyebut anak-anak UGM. Dan istilah
tersebut memicu, munculnya juga istilah Cah Kidul atau Anak
Selatan.
Seringkali, ungkapan Cah Lor yang diucapkan oleh Cah
Kidul itu lebih bernada sinis, yang bisa diartikan kurang-lebih
sok intelektual, enggak nyeni, otoriter, dan hanya bisa ngomong
doang. Oleh karena itu, sebutan dari Cah Lor untuk Cah Kidul
juga berkebalikan dari arti itu yakni sok nyeni, enggak inteletual,
tak punya konsep, dan tidak bisa diajak berorganisasi dengan
baik.
Tetapi penting kiranya untuk melacak sebab-musabab istilah
tersebut, sehingga sampai sekarang terus direproduksi.
Menurut Hamcrut, istilah Cah Lor saat itu muncul karena
mengacu kepada perpecahan di FKMY. Kebetulan saja, kampus
UGM terletak di sebelah utara kampus ISI, UJB dan IAIN. Tidak
ada hubungannya dengan anak-anak dari Gampingan, sebab
saat itu kampus aktivis ISI bukan di Gampingan, melainkan di
Kuningan.
Sedangkan menurut Jati, istilah Cah Lor dan Cah Kidul
merupakan istilah yang saling dilemparkan oleh sesama orang ISI,
yakni antara para aktivis dari Jurusan Seni Pertunjukan yang saat
itu posisinya berada di utara, dengan anak-anak seni rupa yang
saat itu posisinya ada di Gampingan (selatan). Menurut Jati, sejak
dulu memang seperti ada rivalitas antara kedua kubu di dalam
tubuh internal anak-anak ISI. Menurut Jati, yang kemudian
akrab dengan anak-anak Gampingan, orang-orang Gampingan
sering merasa anak-anak aktivis ISI yang ada di utara sebagai,
Sok mbagusi, sok nyeleneh, sok radikal.
Sementara Icul sendiri, tidak punya pendapat soal mengapa
terdapat istilah Cah Lor-Cah Kidul, hanya saja ia membenarkan
kalau dari dulu ada rivalitas antara anakanak seni rupa dan anak-

104

anak seni pertunjukan. Dulu, guyonannya, kata Icul, kalau


anak-anak seni pertunjukan, lakunya kalau masih muda, makin
tua makin enggak laku. Sedangkan anak seni rupa, makin tua
makin laku.
Kalau Toni mempunyai versi yang agak berbeda lagi. Dulu,
saat baru masuk ISI, ia sudah mulai mendengar ketenaran para
aktivis anak-anak seni pertunjukan, termasuk Brotoseno. Tetapi
aku jadi menjauhi mereka, karena kerap kali mempropagandakan
halhal yang buruk tentang perpecahan di FKMY. Batinku saat
itu, lha wong sama-sama melawan, lawannya pun sama, kok uduruduran.
Tetapi apapun itu, pada praktiknya, orang-orang Gampingan
dan orang-orang UGM kemudian saling merapat. Tentu saja
dengan rentetan berbagai peristiwa yang melatarelakangi semua
itu. Sebuah rentetan yang kemudian mencapai klimaks dengan
terjungkalnya kekuasaan Suharto.

105

Memintal
Benang
Merah

ETELAH Teddy pindah kuliah ke Yogya, bukan berarti


hubungannya dengan kawankawan perupa dari Solo
putus, terutama dengn Bonyong. Sesekali Teddy datang
ke Solo, sekadar dolan, dan kalau ia datang ke Solo, biasanya ia
mengajak kawan-kawannya dari Yogya, seperti Toni dan Bob.
Dalam pertemuan-pertemuan informal itu, selain ngobrol hangat
perkawanan, kerap sekali diikuti dengan obrolan serius soal dunia
seni rupa dan bahkan politik.
Namun, intensitas Teddy, Toni dan Bob berhubungan dengan
minuman keras dan pil koplo, juga semakin meningkat. Beberapa
kali, dlam acara diskusi informal, perbincangan menjadi
memanas hanya karena Teddy, Toni dan Bob mabuk berat. Hal
itu cukup sering menjengkelkan sekaligus membuat Bonyong
mengkhawatirkan rekan-rekan mudanya dari Yogya itu. Orang
mabuk itu ya sebaiknya sewajarnya, bukan setiap hari dan setiap
saat. Mereka anak-anak muda yang potensial, sayang sekali kalau
terjerembab hanya karena minuman keras dan pil koplo.
Pernah suatu ketika, menurut Bonyong, Teddy dan Toni datang
ke rumahnya sudah dalam keadaan teler. Bonyong kesal dan tidak
ingin melayani omongan mereka, dan saking mangkelnya tidak
mau menyuguhi minuman kepada dua anak muda itu. namun
apa yang terjadi? Di depan rumah Bonyong terdapat genuk,
semacam wadah air besar yang terbuat dari tanah liat. Kebetulan
saat itu musim penghujan sehingga genuk itu penuh dengan air
yang berasal dari air hujan, dan tentu saja sampah yang berasal
dari dedaunan yang rontok. Lalu dengan nikmat sekali, Toni dan
Teddy menyeruput air kotor dari genuk itu secara bergantian,
Mereka terlihat nikmat, serupat-seruput, seperti minum es teh.
Bonyong tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tahu persis, percuma
saja melarang kedua orang itu untuk menghentikan kegiatan
minum air kotor dari genuk. Pernah juga satu kali, kata
Bonyong, Teddy dan Toni datang ke rumah. Lagi-lagi dalam
keadaan mabuk. Setelah malam tiba, mereka berdua pergi dari
sini. Keesokan harinya, saya melihat kok ada sepatu bagus di

109

depan pintu? Tetapi sepatu itu hanya satu, tidak sepasang. Saya
berpikir saat itu, pasti sepatu itu kalau tidak milik Teddy ya milik
Toni. Benar, siang harinya Teddy datang lagi sambil senyamsenyum, lalu bilang, Mau ngambil sepatu, Pak. Setelah itu, ia
langsung pergi lagi.
Namun peristiwa yang paling tidak dapat dilupakan oleh
Bonyong dengan trio edan itu adalah saat ia dan teman-temannya
dari Solo, beserta trio edan dan teman-teman mereka dari Yogya,
menggelar sebuah acara bertajuk Sapu Lidi, di Taman Budaya
Solo pada tahun 1993.
Saat itu, Bonyong sendiri menggelar seni instalasi dengan
memajang mobil tuanya, yang sering dipakai oleh istrinya untuk
bekerja. Di dalam mobil itu diisi penuh dengan jerami, dan
di belakang setir mobil, dibuat sebuah boneka, persis sedang
menyetir mobil.
Teddy, Toni dan Bob datang dengan belasan seniman muda
lain dari Yogya hanya dengan naik satu mobil kijang. Belasan
seniman itu berdesakan dalam satu mobil. Begitu para seniman
muda dari Yogya itu tahu karya instalasi Bonyong, Bob segera
mendekati Bonyong, Pak, boleh enggak nanti pas pembukaan,
karya Pak Bonyong saya respons?
Bonyong agak kaget dengan pertanyaan Bob, yang tampaknya
juga sudah teler itu. lantas Bonyong ingin memperjelas,
Direspons dengan cara bagaimana?
Nanti saya mau baca puisi, terus kaca mobil Pak Bonyong
saya pecah.
Bonyong semakin kaget. memecah kaca mobil? Bob, itu
mobil satu-satunya milikku, dan itu pun yang memakai bukan
aku tetapi istriku.
Wah, Pak Bonyong itu kurang total, deh balas Bob dengan
nada tidak bersalah, dan tentu saja dengan tetap teler.
Bonyong lantas berpikir. Agak tidak enak juga ia kalau tidak

110

mengijinkan seniman muda seperti Bob tidak menyalurkan


ekspresinya. Akhirnya ia menemukan cara, Oke Bob, gini saja.
Nanti kaca bagian depan, samping boneka akan kuganti dengan
kaca biasa. pecah saja enggak apa-apa. Tapi ingat ya, jangan kaca
yang lain.
Mendengar solusi dari Bonyong, Bob segera berteriak, Hidup
Pak Bonyong, seniman segala zaman!
Malamnya, saat acara pembukaan pameran dimulai, hati
bonyong tetap degdegan. Bagaimanapun ia tahu, Bob pemabuk,
dan jika dia sudah mabuk, susah dikontrol. Hampir sama dengan
Teddy.
Tepat di detik pembukaan mulai berdentang, suasana Taman
Budaya Solo hening. Tiba-tiba dari arah penonton, dengan tubuh
gontai, Bob membawa helm, yang entah didapatnya dari mana,
sambil memaki keras-keras ia melempar helm itu dari jarak yang
cukup jauh, ke arah mobil Bonyong.
Waduh, mati aku! batin Bonyong. Tepat di saat itu ia sudah
pasrah. Bob mabuk, dan melempar helm ke arah mobilnya dari
jarak yang cukup jauh. Pasti meleset, pikir Bonyong saat itu.
Prang! Kaca mobil pecah. Anehnya, lemparan Bob tepat di
kaca yang memang sudah dipersiapkan untuk dipecah.
Seketika itu juga, Bonyong merasa lega. Dan diam-diam
mengagumi lemparan Bob yang tetap tepat sasaran sekalipun
dalam keadaan mabuk dan dari jarak yang cukup jauh.
Dengan masih terus memaki, Bob mendekati mobil. Begitu
dekat dengan mobil, mulailah ia membaca puisi. Hampir semua
isi puisinya pun penuh dengan umpatan. Tetapi segera hati
Bonyong berubah menjadi ketar-ketir, ketika kemudian Bob
mulai naik ke atap mobil, hal yang di luar perkiraan Bonyong.
Makin kacau hati Bonyong, ketika Bob terlihat emosi dan
mulai menginjak atap mobil itu berkali-kali, melompat-lompat
di sana, sambil terus membaca puisi. Bonyong hanya bisa geleng-

111

geleng kepala. Mobil bagian atasnya, penyok di sana-sini akibat


ulah Bob.
Sekalipun mempunyai pengalaman yang buruk dengan
seniman-seniman muda dari Yogya, Bonyong tetap menjalin
hubungan dengan mereka, terutama dengan Teddy, Toni dan Bob.
Ketiga anak itu punya energi kreatif yang luar biasa, walaupun
kadangkadang berbahaya.
Setahun setelah kejadian itu, pada tahun 1994, digelar
pameran bersama antara seniman Yogya dan Solo lagi. Kali itu
bertajuk Nur Gora Rupa. Kali itu, trio edan tidak membikin ulah.
Mereka juga datang, dan bersama mereka hadir pula para aktivis
dari UGM termasuk Hamcrut. Tetapi acara hampir saja gagal
dilakukan karena saat itu suatu kejadian.
Mulyono di acara tersebut menggelar karya seni instalasi
berupa waduk air. Kalau tidak salah, menurut ingatan baik
Teddy maupun Bonyong, karena saat itu Mulyono sedang
mendampingi masyarakat di kalau tidak di daerah Tulungagung
mungkin Pacitan, yang terkena dampak pembuatan waduk.
Mulyono sendiri saat itu tidak hadir di acara tersebut, ia hanya
mengikutkan karya instalasinya.
Karya itu kemudian hendak direspons leh Wiji Thukul dengan
membacakan puisinya. Tetapi saat pihak Taman Budaya Solo
tahu Wiji Thukul akan hadir dan membacakan puisi, salah satu
pimpinan Taman Budaya Solo lalu menghubungi Bonyong dan
bilang, kalau Wiji Thukul tetap mau membacakan puisi, acara
bakal dibatalkan.
Para seniman kecewa berat. Tetapi akhirnya mereka dengan
sangat terpaksa meminta Thukul agar tidak membacakan puisi.
Semenjak kejadian itulah, Teddy mulai kenal dan akrab dengan
Thukul.
---

112

i UGM, pada tahun 1992, mulai rajin terjadi pertemuan


antar-para seniman atau setidaknya mereka yang
menaruh perhatian di bidang seni, di antara mereka yang
intens ngumpul adalah Jati, Hamcrut, Kiswondo, Nico Warouw,
Alexander Edwin, sera beberapa orang yang lain. mereka lalu
membuat sebuah kelompok dengan nama Lembaga Pemajuan
Budaya (LPB).
Semenjak lembaga itu dibentuk, banyak kegiatan dilakukan,
baik berupa pentas pembacaan puisi atau telaah sastra maupun
diskusi-diskusi soal kebudayaan yang lain. menjelang tutup tahun
1993, mulai terdengar kasak-kusuk bahwa gedung Seni Sono
akan ditutup. Maka mereka pun menyelenggarakan Parade Seni
Akhir Tahun. Mereka lalu mengontak para seniman yang ingin
mengisi acara tersebut, kebanyakan seniman yang terlibat di acara
tersebut justru para perupa dari Gampingan, seperti Icul, Teddy,
Toni dan kawan-kawan mereka. Para perupa itu kebanyakan
membuat karya seni peristiwa dan seni instalasi.
Tetapi yang paling menarik pengunjung pameran itu setidaknya
dua karya, pertama karya Icul yang berjudul Petasan 50. Dari
judulnya, jelas kalau karya itu memelesetkan Petisi 50, sebuah
kelompok politik yang digawangi mantan Gubernur Jakarta Ali
Sadikin, yang mencoba mengkritisi kebijakan Orde Baru. Karya
terbuat dari petasan mainan dengan bahan utama koran-koran
yang berisi berita-berita politik, lalu di masing-masing karya
ditempeli foto para anggota Petisi 50. Dan di sekitar karya itu,
dibri jerami serta cangkul.
Karya lain yang berhasil menyita publik penonton adalah
karya Hamcrut dengan judul Mendongkel Kursi Tua. Karya
itu sangat sederhana, hanya memajang sebuah kursi kayu yang
sangat tua dan sudah reot, lalu di salah satu kakinya disangga oleh
batu, dan di bawah batu itu, terdapat mata cangkul. Sekalipun
sederhana, karya itu boleh dibilang paling dominan di kelilingi
para pengunjung.

113

Di acara tersebut, duo Toni dan Teddy melakukan seni


peristiwa dengan memakai pakaian dari goni. Seni peristiwa itu
juga terbilang cukup menarik, terutama bagi para pelakunya,
sebab setelah itu tubuh mereka gatal-gatal sampai beberapa hari.
Melakukan kegiatan konyol dan kemudian menerima risiko
kecil-kecilan seperti tidak akrab dengan bahan, sudah biasa
dilakukan oleh Toni. Pada tanggal 10 Desember 1993 misalnya,
Teddy dan Toni keliling kota Yogya seharian penuh dengan
melabur tubuh mereka berdua dengan bahan dari kapur, bahan
yang biasa dipakai untuk melabur dinding rumah. Kegiatan itu
diberi judul Seni Rupa Jalan-jalan. Acara tersebut sukses berat,
banyak orang yang terlibat dan menyatakan salut, serta diapresiasi
dengan baik oleh warga Yogya. Bahkan ketika di sepanjang
Malioboro, ada banyak orang yang sengaja mendekatkan diri
mereka agar bisa berfoto dengan kedua seniman itu. tetapi begitu
acara selesai, sampai hampir dua minggu, baik Teddy dan Toni
harus bergelut dengan risiko yang lain, tubuh mereka terasa
panas, dan banyak bagian di kulit mereka yang mengelupas.
Pada tahun 1994, ketika terjadi kasus pembredelan tiga media
massa cetak nasional: Tempo, Detik dan Editor. Pembredelan
ketiga media massa tersebut memicu aksi massa besar-besaran,
dan digunakan oleh kaum aktivis pergerakan untuk mempercepat
konsolidasi dan memanaskan situasi politik. Itu momentum
yang paling strategis yang harus diambil siapa saja, dari kubu
mana saja, untuk mempercepat bola panas perlawanan. ujar
Raharjo Waluyo Jati.
Sebelumnya, pada tanggal 2 Mei 1994, sekitar 40 aktivis
dari berbagai latar belakang, berkumpul di kantor Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta,
untuk mendeklarasikan sebuah lembaga politik baru bernama
Persatuan Rakyat Demokratik (PRD), sebagai ketua, terpilihlah
Sugeng Bahagiyo. Beberapa bulan sebelum deklarasi itu, di
Yogya, dukungan atas pembentukan lembaga tersebut diteken
oleh banyak orang. Tiga di antara sekian banyak orang yang

114

bertandatangan adalah Teddy, Toni dan Icul. Dan ketika


beberapa bulan kemudian, ada pembredelan tiga media massa
oleh pemerintah, suhu politik di Indonesia benar-benar memanas
dengan cepat.
Gelombang massa tumpah di mana-mana, dari mulai Jakarta,
Bandung, Yogya, Solo, Semarang, Surabaya, bahkan sampai luar
Jawa. Momentum itu membuat banyak aktivis yang merasa yakin,
kekuasaan Suharto sudah semakin keropos.
Anak-anak Sasenitala, termasuk juga Icul dan Toni, tiba-tiba
mempunyai gagasan yang nyeleneh. Mereka ingin membungkus
kantor biro Tempo di Yogya, yang terletak di jalan Kaliurang
(sekarang dipakai menjadi kantor Jawa Pos Yogya) dengan koran.
Kalau ada yang mau menyediakan koran satu truk, kami akan
mengerjakannya. kata Icul kepada salah satu wartawan yang
dikenalnya. Tidak lama kemudian, Icul dihubungi wartawan
tersebut, dan mengatakan pihak Jawa Pos siap menyuplai aksi
mereka dengan mendatangkan koran satu truk di kantor biro
Tempo Yogya.
Segera, puluhan anak Sasenitala berbondong-bondong menuju
Jalan Kaliurang, dan dalam waktu semalam, mereka membungkus
bangunan itu dengan koran, dari luar sampai dalam. Bahkan
juga komputer-komputer pun dibungkus koran. Menjelang
pukul 3 dini hari, pekerjaan selesai, tetapi masih ada koran yang
tersisa sebanyak setengah truk. Mereka lalu bersepakat menjual
sisa koran itu ke pasar Bringharjo, dan uang hasil penjualan itu
mereka belikan bir. Sampai dapat ratusan botol bir. ujar Icul
mengingat peristiwa itu.
Mereka yang terlibat pekerjaaan dahsyat itu lalu minum bir
sebanyak-banyaknya, sampai teler. Saking telernya, Toni, bahkan
hanya memakai celana dalam sampai keesokan harinya.
---

115

aat peristiwa membungkus kantor Tempo Yogya dengan


koran dilakukan, Hamcrut dan Teddy sedang pergi ke salah
satu daerah di Jawa Timur untuk mendampingi para petani
yang juga sedang mendapatkan masalah politik. Mereka berdua
bersama Wiji Thukul.
Thukul, saat itu memang tengah menjadi idola di kalangan
mahasiswa di beberapa kota di Pulau Jawa. Ia lahir di kampung
Sorogenen Solo, pada tahun 1963. Ia memang lahir dari keluarga
miskin. Pendidikan formalnya berhenti di tengah jalan, di
Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, jurusan Seni Tari. Ia
lalu menjalani beragam profesi, mulai dari jualan koran, menjadi
calo karcis bioskop, sampai menjadi buruh pelitur di sebuah
perusahaan mebel.
Tetapi tampaknya Thukul mempunyai jiwa seni yang kuat.
Ia senang sekali menulis puisi, dan suka sekali menonton
pertunjukan teater. Ia juga sering mengajak teman-temannya
untuk mengamen, tetapi anehnya bukan mengamen lagu,
melainkan mengamen puisi.
Suatu ketika, Thukul mengajak beberapa temannya yang buruh
pelitur untuk menonton sebuah acara pembacaan puisi. Begitu
pulang dari menonton pertunjukan itu, Thukul bertanya kepada
teman-temannya, apa yang mereka rasakan. Semua temannya
menggelengkan kepala, tidak paham dengan apa yang dibaca
oleh para penyair. Semenjak itu, Thukul selalu berpikir, adakah
yang salah dengan itu semua? Mengapa puisi hanya dipahami
oleh orang-orang pintar saja? Semenjak itu, Thukul mengubah
gayanya di dalam berbahasa puisi, dengan harapan puisi-puisinya
bisa dipahami oleh orang-orang seperti dirinya dan temantemannya. Ternyata apa yang dilakukan Thukul mendapat
sambutan yang bagus di kalangan teman-temannya yang hidup
di lapis ekonomi bawah.
Segera kemudian, Thukul dikenal oleh banyak orang, termasuk
penggiat jaringan kebudayaan bernama Halim HD. Halim-

116

lah yang banyak memperkenalkan Thukul ke para aktivis, dan


dari sana kemudian sajak-sajak Thukul yang sederhana, mulai
memperlihatkan muatan-muatan politis. Kata-katanya tetap
sederhana, tetapi seperti lazimnya puisi, dalam kesederhanaan
ada ketajaman.
Thukul kemudian bukan hanya masuk dalam lingkungan
politik, namun ia pun bekerja total di sana. Puisi Thukul dibaca di
mana-mana. Di setiap panggung massa, syair-syairnya bergema.
Jati bertemu Thukul pertama kali saat ia terlibat aksi besarbesaran untuk kasus Kedung Ombo. Warga Kedung Ombo saat
itu dimobisasikan bersama para aktivis menuju gedung DPR/
MPR. Di sana, Thukul membacakan sajak-sajaknya. Dan di saat
itu pula, Jati tersihir oleh karya Thukul, yang disuarakan dengan
serak dan pelo (tidak bisa dengan jelas melafalkan huruf R).
Hubungan para aktivis dengan Thukul pun semakin intens.
Teddy dan Hamcrut pun berhubungan dan bekerja dengan
Thukul untuk agenda-agenda politik tertentu.
Begitu mendengar bahwa teman-temannya heboh
membungkus kantor Tempo Yogya dengan koran, Teddy merasa
kecolongan momentum. Lalu saat ada peringatan 100 hari
pembredelan Tempo, Detik dan Editor, bersama Thukul dan
Weye Haryanto, Teddy segera pergi ke Surabaya. Di salah satu
taman kota Surabaya, mereka gantian membungkus pohonpohon dengan koran. Aksi itu mendapatkan sambutan yang
meriah oleh warga Surabaya.
Sementara Toni, Teddy dan Icul serta beberapa anak seni rupa
ISI yang lain mulai terlibat aktivitas politik di luar, di kampus
Gampingan sendiri, suasana masih adem ayem. Geregetan
dengan keadaan itu, suatu hari, Toni mengajak Teddy untuk
melakukan aksi gila, tujuannya sederhana, agar memicu
terjadinya penyegaran pikiran. Mereka lalu menempel poster
dengan judul besar berbahasa Inggris: Change Your Mind!

117

Selama seminggu, mereka berdua datang ke kampus dengan


mewarnai seluuh tubuh mereka, dari mulai rambut sampai
kaki, dengan satu warna yang sama. Keesokan harinya, mereka
melakukan lagi, namun dengan cat yang berbeda warna. Begitu
seterusnya, kegiatan itu dilakukan selama seminggu penuh.
Kontan saja, apa yang dilakukan oleh Teddy dan Toni,
memukau banyak orang di kampus Gampingan. Aksi mereka lalu
dibicarakan di mana-mana. Akhirnya apa yang mereka inginkan
tercapai, berbagai forum mulai bergeliat, hingga kemudian
menuju ke satu titik yang hampir sama: atmosfir melawan.
Pada saat itulah, Teddy, Bob, Toni dan Edo Pillu bersepakat
membuat sebuah grup musik ngedan dengan nama yang juga
nyeleneh: Steak Daging Kacang Ijo.

118

Steak
Daging
Kacang Ijo

I kompleks kampus ISI Gampingan, ada sebuah gedung


bernama Aji Yasa, semacam pendopo yang tepat berada
di tengah kampus. Di samping gedung itu, berdiri
rimbun pohon beringin yang cukup tua. Sebelum gedung itu
dibangun, pohon beringin itu telah menjulag tinggi.
Selain di arena parkir kampus, tempat nongkrong sekaligus
ngedan anak-anak ISI Gampingan adalah di samping gedung
Aji Yasa itu, tepatnya di bawah pohon beringin. Bahkan ada satu
periode tertentu, saking seringnya dan ramainya orang-orang
berkumpul di sana, muncullah sebuah julukan: Cah Sor Ringin.
Artinya, anak-anak di bawah pohon beringin.
Anak-anak ISI dari segala jurusan dan dari berbagaia
angkatan, terutama yang suka berulah gila-gilaan, dengan
gampang bisa ditemui di sana. Teddy, Toni, Bob, termasuk orang
yang suka nongkrong di sana. Di angkatan yang lebih tua dari
mereka bertiga, misalnya saja terdapat sebuah nama yang kelak
mengukuhkan dirinya sebagai salah satu pelukis ternama: Ugo
Untoro. Ugo adalah anak ISI jurusan seni lukis angkatan 1988.
Saat ia nongkrong bersama Cah Sor Ringin, sudah banyak kawankawan satu angkatannya yang hengkang. Kalau pagi sampai sore,
ia nongrong di tempat itu, sedangkan kalau sore sampai malam,
ia nongkrong di Malioboro, mencari uang sebagai pelukis potret.
Dari angkatan yang lebih muda dari Teddy, ada pula nama Kokok
P Sancoko, ia anak desain interior angkatan 1993. Terlalu banyak
nama untuk disebut, tetapi ada baiknya kita tahu beberapa
nama tersebut, untuk melihat beragamnya orang yang sering
nongkrong di tempat legendaris itu, sebutlah misalnya Samuel
Indratma, Agung Leak Kurniawan, Iwan Tipu, Eddo Pillu,
Icul dan Dodo Hartoko. Nama terakhir ini, bukanlah anak ISI,
tetapi ia kerap ikut bergerombol di bahwa pohon beringin. Dan
tentu saja, di sana pastilah hadir Gandung, seorang tukang becak
yang dari kecil sudah akrab dengan tempat itu. Ia bahkan satusatunya orang yang tercatat berani memanjat pohon beringin tua
itu sampai pucuknya. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh

121

anakanak ISI, segila apapun mereka.


Cah Sor Ringin, sudah dikenal oleh banyak mahasiswa dan
bahkan dosen-dosen mereka sebagai sosok-sosok yang liar,
beberapa orang bahkan menyebut kumpulan orang suka mencuri
perhatian. Tetapi tempat itu merupakan situs yang kondusif bagi
sekelompok orang untuk melalui masa muda mereka yang penuh
gejolak. Mereka mabuk, teler, diskusi, berantem, menggagas
sesuatu, di tempat itu. Gandung, yang sejak kelahiran anak
pertamanya tahun 1991 sudah bersumpah untuk tidak mabukmabukan lagi selain minum bir sekadarnya, menjadi pengawas
sekaligus pengawal anak-anak tersebut jika sudah mabuk di luar
kontrol. Ia kerap melerai orang yang berantem tanpa sebab, hanya
karena pengaruh alkohol. Ia juga kerap mengantar anak-anak itu
pulang ke kos masingmasing, karena sudah teler berat. Dan ia,
tentu saja sibuk mengumpulkan botol dan kaleng sisa minuman
keras untuk dijualnya.
Semua jenis barang yang memabukkan dikonsumsi di sana,
mulai dari minuman beralkohol, pil koplo, ganja, sampai jamur
tahi sapi. Mereka, dan juga kebanyakan orang Yogya yang suka
mabuk-mabukan, menyebut jamur tahi sapi itu dengan sebutan
mushroom, yang dalam bahasa Inggris sebetulnya hanyalah berati
jamur, dan tidak secara spesifik menunjuk pada jamur tahu sapi
yang jika dikonsumsi bisa memberikan sensasi yang mengerikan.
Tetapi supaya lebih mendekati gaya bahasa mereka, di dalam
tulisan ini, kata mushroom akan tetap digunakan, atau sesekali
akan disebut dengan kata jamur, yang itu artinya menunjuk ke
satu hal: jamur tahi sapi.
Ada banyak kisah unik yang beredar dari mulut ke mulut,
berkaitan dengan mushroom itu. Tetapi sekalipun beredar dari
mulut ke mulut, bukan berarti itu kisah bohong, sebab sudah
banyak yang mengalam sensasi mabuk mushroom, dan mereka
melakukan aksi-aksi yang aneh, untuk tidak dikatakan sebagai aksi
yang membahayakan. Sebagai contoh, ada dua orang yang mabuk
mushroom, keduanya lalu sepekat untuk membeli rokok bersama.

122

Salah seorang dari mereka lalu menyalakan motor, dan yang lain
membonceng. Sampai di debuah pertigaan, yang menyetir motor
ingin belok ke kiri, yang dibonceng ingin belok ke kanan. Merkea
sempat berdebat beberapa saat. Lalu orang yang berada di depan
memutuskan belok kiri, dan orang yang di belakang memutuskan
belok kanan. Mereka berpencar. Tapi kemudian masing-masing
orang terjungkal. Bagaimana bisa dalam sebuah sepeda motor
ada satu orang belok kek kiri dan yang satu belok ke kanan?
Perlu Anda tahu, mereka tidak naik motor. Mereka seakan-akan
saja naik sepeda motor berdua. Praktiknya, mereka hanya berlari
berdua, yang satu di depan (seperti sedang menyetir) yang satu
lagi di belakang (seperti sedang membonceng).
Bagaimana hal aneh seperti itu bisa terjadi? Tanyakan saja pada
yang menciptakan mushroom, terutama mushroom yang tumbuh
dari kotoran sapi! Ada juga orang yang mabuk mushroom, sekian
menit ia tertawa keras-keras. Tetapi sekian menit berikutnya ia
menangis keras-keras. Lalu ada juga kisah orang yang mabuk
mushroom, terlihat sangat emosional, marah-marah, mengumpatngumpat. Tetapi tidak lama kemudian ia melakukan salat sampai
berpuluh-puluh rakaat sambil menangis, dan mengakui dosadosa
apa saja yang telah ia lakukan di dalam hidupnya. Pendeknya,
mabuk mushroom adalah salah satu jenis mabuk yang sangat
berisiko. Maka, sudah menjadi semacam aturan main tidak
tertulis, jika ada orang mabuk mushroom, harus ada orang yang
tidak ikut mabuk untuk berjaga-jaga dari ulah gila.
Tetapi tidak semua orang yang menjadi bagian dari Cah Sor
Ringin pemabuk. Salah satunya adalah Kokok. Aku kadangkadang saja minum, itu pun hanya sedikit. Aku sangat suka
berada di sana karena banyak diskusi tentang seni rupa dan hal
lain yang mengasyikkan.
Tetapi gila-gilaan di bawah pohon beringin itu tampaknya
tidak cukup buat trio Teddy, Toni dan Bob. Mereka ingin
melakukan sesuatu, tetapi sampai lama, sesuatu itu belum jelas
juga.

123

--ahun 1994, di saat Cah Sor Ringin sedang gila-gilanya,


dunia sedang melansir berita duka. Salah satu personel
grup musik Nirvana, meninggal dunia dalam usia yang
masih sangat muda, 27 tahun. Ia, Kurt, menyusul para legendaris
musik yang lain, yang meninggal persis di usia yang sama, 27
tahun, sperti Jimi Hendrix, Janis Joplin, dan tentu saja tokoh
paling dipuja dalam dunia musik rock: Jim Morrison.

Berita kematian Kurt menyebar seperti wabah mematikan ke


seantero dunia. Para anak muda yang suka memberontak, berada
dalam sebuah ketegangan, berita kematian yang menyesakkan
dada, tetapi sekaligus mendapatkan pahlawan baru yang patut
dipuja. Sebagaimana kebanyakan kaum muda Indonesia lain yang
juga memiliki pahlawanpahlawan lokal yang mati muda seperti
Chairil Anwar, Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib, kematian Kurt
menambah daftar pahlawan bagi mereka.
Semenjak dilansirnya album Nevermind pada tahun 1991,
wabah Nirvana menyebar ke Indonesia. Lagu dengan akor
sederhana, kata-kata yang ganjil, dan suara serak melengking
seperti auman serigala dari hutan yang keluar dari kerongkongan
Kurt, dinyanyikan di mana-mana, dari mereka hanya baru belajar
main gitar sampai pementasan grup-grup di tingkat kampus.
Lagu Smells Like Teen Spirit adalah lagu wajib bagi banyak grup
musik kampung dan kampus, jika mereka manggung.
Kurt juga dipuja karena sikap seenaknya sendiri, dan derajat
cuek yang sangat tinggi. Ia artis ternama, tetapi dengan pakaian
itu-itu saja: sepasang sepatu tenis merek Converse, celana jins
yang rombeng dan robek besar di bagian lutut, kaos belel yang
telah memudar warnanya, dan sesekali terlihat dengan memakai
kardigan yang sudah luntur pula warnanya. Ia biasa tidak
mengganti kaos sampai beberapa hari, dan terbiasa tidak mencuci
rambut sampai lebih dari seminggu.
Semenjak kematian Kurt, wajah Kurt nongkrong di mana-

124

mana, baik di poster kamar, stiker, sampai di kaos, yang biasanya


diimbuhi dengan cuplikan kalimat Kurt yang sangat terkenal: I
hate my self and wanna die. Kaos itu diburu banyak remaja dan
pemuda di Indonesia, dan kalimat itu diucapkan banyak orang,
dikutip, sebagaimana mereka sering mengutip salah satu kalimat
dari Chairil Anwar: Sekali beberarti, sudah itu mati. Mereka
tidak perlu tahu, dalam konteks apa Kurt mengucapkan kalimat
tersebut, dan mereka tidak perlu tahu juga di puisi yang mana
terdapat kalimat Chairil Anwar itu. yang jelas, setiap remaja dan
anak muda butuh pahlawan. Dan mereka telah mendapatkannya.
Wabah Kurtisme, semakin menggila ketika album Unplugged
dikeluarkan. Album itu direkam secara langsung oleh MTV
dalam sebuah acara MTV Unplugged in New York pada tahun
1994, sebelum Kurt bunuh diri.
Kematian Kurt Cobain, dirasakan oleh trio Teddy, Toni dan
Bob sebagai hal yang mengerikan sekaligus menggairahkan.
Kurt Cobain adalah pahlawan mereka. Mereka sering sekali
menyanyikan lagu-lagu Kurt Cobain di bawah pohon beringin,
dengan diiringi gitar bolong yang dipetik oleh Edo Pillu. Mereka
juga mengumpulkan semua barang yang berhubungan dengan
Kurt Cobain, dari kaset, poster, stiker sampai kaos. Semua berita
tentang Kurt Cobain yang mereka temukan di berbagai media
cetak, mereka keliping. Dan kalimat: I hate my self and wanna die,
diteriakkan oleh mulut mereka di mana-mana. Tetapi seandainya
saja mereka tahu proses kematian Kurt, mungkin mereka akan
berbuat hal yang lain, atau setidaknya menyitir kalimat Kurt
yang lain. Sebab kematian Kurt adalah satu di antar sekian kisah
kematian lewat cara membunuh diri, yang berlangsung dengan
liris dan dramatis.
Sesaat sebelum bunh diri, Kurt menulis dua surat terakhirnya,
yang pertama surat pendek untuk Coutrney, istrinya. Dan yang
satu lagi ditujukan untuk Boddah, sebuah nama imajiner, yang
dianggapnya teman lamanya sejak kecil. Jika ada masalah besar,
Kurt selalu berbicara dan menulis surat kepada Boddah, sosok

125

yang tidak ada di dunia riil Kurt.


Surat kepada Courtney dibuka dengan kalimat sederhana,
dan dilanjutkan pula dengan kalimat-kalimat sederhana yang
lain, tetapi sangat menggetarkan. Kamu tahu, aku mencintaimu.
Aku mencintai Frances. Aku minta maaf. Tolong jangan ikuti
aku. Maaf, maaf, maaf. Frances, adalah anak Kurt dengan
Courtney. Dan kata maaf yang ditulis oleh Kurt begitu panjang,
seakan ingin mendedahkan rasa bersalah yang teramat sangat
kepada mereka berdua, orang-orang yang dicintainya, Courtney
dan Frances. Selanjutnya Kurt menutup surat itu dengan, Aku
akan selalu ada. Aku akan melindungimu. Aku tak tahu ke mana
aku akan pergi. Tapi aku tak bisa tinggal lebih lama lagi.
Sebetulnya, surat itu sudah dianggap Kurt selesai. Kemudian ia
melanjutkan menulis surat panjang kepada Boddah, kali ini surat
itu bukan hanya panjang, melainkan penuh dengan persoalanpersoalan yang menghimpitnya. Hanya dengan Boddah, Kurt bisa
terbuka dan berterus terang. Hanya kepada sosok yang tidak ada,
Kurt bisa mengeluarkan seluruh uneg-unegnya dengan tingkat
emosi yang tinggi. Di dalam lariklarik panjang itu, kita bisa
mendapatkan sedikit gambaran penderitaan Kurt, misalnya saja
dalam kalimat ini, Kejahatan terbesar yang pernah kulakukan
adalah menipu kalian dengan memalsukan kenyataan bahwa aku
100 persen menikmati saat-saat di atas panggung. Dari sana
kita tahu, Kurt, sang rock star, di mana panggung musik adalah
manifestasi dari eksistensinya sebagai seorang pemusik, ternyata
justru tidak bahagia jika berada di atas panggung.
Lalu ada kalimat lain yang juga memberi sedikit gambaran
tentang Kurt, Tapi aku hanya seorang narsis yang hanya
menghargai sesuatu jika sesuatu itu sudah tidak ada lagi. Kurt,
sebagaimana kebanyakan seorang seniman besar, hidupnya
berkecambah dengan benih narsisme yang mengakar kuat.
Tetapi di surat itu pula, kita mendapatkan sebuah ungkapan
yang sendu, Aku adalah Jesus man, seorang pisces yang lemah,

126

tidak tahu berterimakasih dan bersedih. Dari kalimat-kalimat


itu, kita menjadi tahu, Kurt hanyalah manusia biasa yang rapuh,
dan penuh dengan rasa bersalah.
Dan tentang keluarganya, ia mendedahkan sederet kalimat
subtil, Aku punya istri yang bagaikan dewi yang berkeringat
ambisi dan empati, dan seorang putri yang mengingatkanku
akan diriku sendiri di masa lalu. (Putriku) Penuh cinta dan selalu
gembira, mencium siapa saja yang dia temui karena menurutnya
semua orang itu baik dan tidak akan menyakitinya. (Tingkah
anakku) Itu membuatku ketakutan, sampaisampai aku tidak
bisa melakukan apa-apa. Aku tidak bisa membayangkan frances
tumbuh menjadi rocker busuk yang suka menghancurkan diri
sendiri danmenyedihkan, seperti aku sekarang.
Lalu di bagian akhir surat panjang itu, kita bisa mengerti satu
elemen yang memilin kompleksitas pribadi Kurt sehingga ia
memutuskan untuk bunuh diri, Dari dasar perut mualku yang
terasa terbakar, aku ucapkan terimakasih atas perhatian kalian
selama ini. Aku hanyalah seorang anak main-mainan yang plinplan! Sudah tidak ada semangat yang tersisa dalam diriku. Jadi
ingatlah, lebih baik terbakar habis, daripada memudar.
Kurt melipat surat keduanya itu. dan balik membuka lipatan
surat pertamanya yang jauh lebih pendek, yang ditujukan untuk
istrinya, yang awalnya sudah dianggap selesai. Namun Kurt
kemudian membubuhkan lagi tiga kata di akhir surat pertamanya
itu, Damai, cinta, empati. Dan kemudian ia menulis namanya
sendiri: Kurt Cobain.
Sebelum menuju ke puncak prosesi kematian, seusai menulis
dua surat, Kurt masih sempat berdiam diri, merokok berbatangbatang Camel Light, rokok kegemarannya, dan meminum
beberapa teguk root beer. Dengan pelan, Kurt kemudian bangkit,
setelah mematikan batang Camel terakhir yang dihisapnya, lalu
ia meracik barang yang paling digemarinya: heroin black tar dari
Meksiko.

127

Kurt, tidak menunggu kematian, tetapi ia mendatanginya.


Kurt tidak menghadapi malaikat pencabut nyawa, melainkan ia
mengundangnya. Kurt tidak mendekati ajalnya dengan langkah
pelan, pasti dan puitis.
Heroin itu lalu disuntikkan di bagian siku, tidak jauh dari
tato berhuruf K. Kurt kemudian meraih senapan yang sudah
dibelinya beberapa hari sebelumnya, dan meletakkan ujung
senapan itu di mulutnya. Kita tidak tahu apa yang dirasakan oleh
Kurt, yang kita tahu hanyalah: Kurt mati dengan cara bunuh diri.
--eddy, Toni dan Bob, tentu tidak tahu drama kematian
Kurt akan sepuitis itu, sebab yang mereka konsumsi
dari Kurt Cobain adalah potongan berita yang ditulis
di koran-koran atau majalan-majalah. Sebab karya biografi
gemilang tentang Kurt Cobain, termasuk kisah di atas, baru
selesai ditulis oleh salah satu wartawan gaek mudik dari Amerika
bernama Charles R Cross, dan biografi yang kemudian diberi
judul Heavier Than Heaven: The Biography of Kurt Cobain, baru
diterbitkan pada tahun 2001.

Tetapi tidak bisa disangkal, kematian Kurt Cobain,


mencengkeram di otak banyak orang, termasuk Teddy, Toni dan
Bob. Ditambah dengan aksi gila-gilaan yang ingin melakukan
sesuatu, mereka terus mabuk dan bertukar gagasan. Hingga
kemudian Toni membawa robekan koran atau mungkin majalah,
ia tidak bisa mengingat itu dengan baik, lalu menemui Teddy
dan Bob dengan menawarkan proposal gagasan yang konyol:
Membuat grup musik.
Konyol dalam arti yang sesungguhnya. Bagaimana tidak? Toni
tidak bisa bermain satu alat musik pun, sama halnya dengan
Teddy. Sedangkan Bob, yang mengaku bisa bermain gitar,
sebetulnya hanyalah pemain gitar Ebiet G Ade. Istilah Ebiet
G Ade itu bukan merujuk kepada permainan musik dan lagulagu, atau bahkan ketrampilan bermain gitar seorang penyanyi
ternama bernama Ebiet G Ade. Tetapi istilah Ebiet G Ade itu

128

merujuk kepada kemampuan Bob yang hanya bisa memetik gitar


dengan akor G, A dan D.
Tetapi Toni berhasil meyakinkan kedua sahabatnya itu bahwa
mereka bisa membuat grup musik yang legendaris tanpa harus
bisa bermain musik. Sebab robekan koran atau majalah yang
dibawanya, terdapat sebuah tulisan bahwa untuk jenis musik
aliran tertentu, terutama punk rock, hanya dibutuhkan tiga akor.
Mendengar penjelasan Toni, dan juga hasrat yang terpendam
untuk melakukan sesuatu yang sudah lama ditahan, baik Teddy
dan Bob menyambut dengan antusias. Mereka lalu berpikir harus
ada satu orang lagi yang diajak untuk main musik, lalu mereka
sepakat memilih Edo Pillu. Sialnya, Edo bukan sembarangan
pemain musik. Ia produk khas orang Bandung, di mana di
setiap gang muncul grup-grup musik dengan ketrampilan yang
memadai. Edo bahkan bisa memainkan berbagai alat musik,
dan bukan sekadar memainkan sekadarnya, melainkan memang
sungguh-sungguh menguasai alat musik. Edo bahkan terampil
bermain musik klasik dan jaz.
Mereka bertiga lalu menawari Edo untuk bergabung
bersama mereka dalam sebuah grup musik. Di luar dugaan, Edo
menyambut tawaran gila dari trio edan itu. Kemudian dibagilah
keempat orang itu dengan masing-masing ketrampilan yang bisa
dimainkan oleh keempatnya. Bob jelas saja kebagian sebagai
pemegang gitar. Toni bertugas memainkan alat musik bas, dengan
pelajaran yang sederhana, satu petikan untuk satu nada, yang
gampang dihapalkannya, tanpa harus secara rumit mempelajari
sebuah akor. Jika ada akor G, Toni cukup memencet bagian senar
G. Sangat sederhana. Dan Teddy, kebagian sebagai vokal. Sedang
instrumen yang pasti tidak dapat dimainkan oleh ketiga orang
itu, tetapi sangat penting, yakni drum, terpaksa dibawah kendali
Edo.
Sekarang masalahnya tinggal memilih nama grup musik.
Berhari-hari mereka mencari nama grup untuk grup musik

129

mereka, tetapi selalu menemui jalan buntu. Hingga suatu hari,


Bob datang di saat Teddy, Toni dan Edo sedang berkumpul. Bob
yang saat itu sudah beristri dan mempunyai anak, secara cuek
berkata, Wah tadi aku dikasih sarapan sama istriku, steak daging
dan kacang ijo.
Teddy langsung mengahut dengan nada pelan, setengah
bertanya, Kenapa kita enggak pakai nama itu sebagai nama
untuk grup musik kita? Anak-anak yang lain terbengongbengong. Tetapi lalu mereka sepakat dan antusias dengan judul
nyeleneh grup musik mereka. Hari itu, sebuah grup musik berdiri,
para musisinya selain satu orang, tidak bisa bermain musik, dan
sebuah nama aneh dipilih sebagai nama grup tersebut: Steak
Daging Kacang Ijo.
Untuk merayakan pembentukan nama grup musik sekaligus
kelahiran grup musik mereka, kemudian mereka berempat
menuju ke kampus untuk mabuk-mabukan. Tidak lama setelah
mereka sampai di sana, hujan turun dengan deras. Setelah mereka
mabuk, mereka bersepakat tekanjang bulat dan berhujan-hujanan,
berlari mengelilingi gedung Adi Yasa sebagai prosesi lahirnya
grup musik mereka. Benar, mereka pun berhujanhujanan, dalam
keadaan telanjang bulat mengitari gedung Adi Yasa. Banyak
orang yang mengenang peristiwa dahsyat itu, termasuk para
dosen.
--emam membuat grup musik melanda Yogya, mulai tahun
1994 sampai tahun 1995. Pentas musik muncul di manamana, termasuk di berbagai kampus. Berbagai poster
pertunjukan dan pergelaran musik tertempel di banyak tempat.
Tetapi hampir semua orang di Gampingan dikejutkan dengan
poster-poster Steak Daging Kacang Ijo. Poster pertama yang
mereka tempel: Steak Daging Kacang Ijo menerima undangan
untuk menghibur di acara pernikahan, sunatan dan hajatan.

Mereka tidak kenal ada sebuah grup dengan nama Steak daging
Kacang Ijo. Dan poster seperti itu telah menyihir banyak orang

130

untuk tahu apakah grup musik itu? Tetapi setiap kali ada pentas
musik di Gampingan, grup itu tidak pernah ikut manggung.
Hanya poster-postre mereka yang cerdas dan menarik secara
visual, diikuti dengan kalimatkalimat yang bombastis, terus
menggempur dinding-dinding ISI Gampingan. Pernah suatu
saat, ada poster Steak Daging Kacang Ijo hanya dengan tulisan:
Wanted, Dead or Alive: Steak Daging Kacang Ijo.
Eksistensi awal Steak Daging Kacang Ijo bukan diawali
dengan pertunjukan mereka, tetapi lewat poster-poster, dan
sampai lama mereka tidak juga tampil di panggung. Sekali waktu
muncul sebuah poster dengan informasi bahwa Steak Daging
Kacang Ijo akan melakukan pentas tunggal di sebuah lapangan,
di sekitar daerah Wirobrajan, berikut diberi keterangan jam
pertunjukan. Berbondong-bondong anak ISI, di tanggal dan jam
yang telah ditentukan, menuju tempat tersebut. Tetapi di sana
tidak ada apa-apa.
Steak Daging Kacang Ijo, untuk sementara adalah hantu belau
yang terkenal, tetapi tidak pernah terlihat.
--ampir bersamaan dengan proses pendirian dan ulah aneh
Steak Daging Kacang Ijo, Bob ingin sekali berkanalan
dengan orang Filsafat UGM. Tidak jelas alasannya,
Pokoknya ingin kenal saja. kata Bob.

Kebetulan ia kenal seorang mahasiswa Fakultas Filsafat UGM


bernama Arif, tetapi Arif bukan sosok yang dicarinya. Kemudian
Arif memberi sebuah alamat di dekat rumah Bob di Pandega
Bakti, dengan nama keren: Tuhan.
Dalam keadan mabuk, di saat malam hari, Bob mencari alamat
Tuhan. Ia mengebel berkali-kali rumah itu. Akhirnya keluarlah
Tuhan menemui Bob. Awalnya Tuhan kaget, melihat sosok di
depannya, dalam keadan mabuk dan seluruh badan serta mukanya
penuh dengan tato.
Dengan setengah teler, Bob bertanya, Kamu, Tuhan?

131

Tuhan mengiyakan, dengan perasaan waswas. Ia merasa tidak


pernah punya masalah dengan orang, dan saat itu pikirannya
dipenuhi oleh dugaan, orang itu akan menantangnya berkelahi
karena sebuah urusan. Tetapi ternyata tidak.
Aku Bob. Bob Sick. Aku ingin berteman denganmu.
Tuhan kaget. Tetapi di saat itu, ia merasa kalau ia memang
bisa berteman dengan sosok aneh itu. Semenjak malam yang
mencengangkan itu, Bob bersahabat akrab dengan Tuhan, tanpa
alasan yang jelas.
Tetapi hubungan mereka memang klop. Saat itu, Bob ingin
mengeksplorasi karya seni, lebih tepatnya lukisan-lukisannya
untuk digunakan sebagai desain kaos. Bob yang membuat gambar,
lalu Tuhan yang membuatnya menjadi kaos. Itu kaos gila. Masak
dalam satu kaos, warnanya bisa sampai delapan. kenang Tuhan,
ketika awal-awal bekerja bersama Bob.
Kaos bikinan Bob dicetak dengan sangat terbatas, rata-rata
hanya dicetak 10 buah, dan paling banyak dicetak 20 buah. Bob
sendiri yang menjual kaos itu ke temantemannya. Untuk soal itu,
Bob mengungkapkan, Puas rasanya, ada orang yang memakai
kaos dengan lukisanku di bagian depan kaos itu.
Dua orang ini, Bob dan Tuhan, berbeda dalam segala hal. Bob
pemabuk berat, Tuhan tidak suka mabuk-mabukan. Bob tukang
bikin onar, sementara Tuhan sosok yang kalem dan santun. Linda,
istri Bob saat itu, sangat suka begitu tahu Bob bersahabat dengan
Tuhan yang bersih itu, dengan harapan kelak Bob akan bisa
sembuh dari mengkonsumsi barang-barang yang memabukkan,
terutama mengkonsumsi pil koplo.
Dan Tuhan, sekalipun berpuluh kali ia mengalami bagaimana
Bob membuat onar, selalu berusaha menjaga Bob. Aku tidak
mungkin membiarkannya sendirian. Kadang capek juga sih
menjaga orang mabuk pil koplo yang banyak tingkah, tetapi rasa
kasihan menjaga seorang sahabat membuatku tetap bertahan di

132

sampingnya, tutur Tuhan.


Ketika Tuhan tahu Bob mendirikan grup musik Steak
Daging Kacang Ijo, dan grup itu belum pernah punya wahana
untuk mengekpresikan musik mereka di atas panggung, maka
pada tahun 1995, ketika di Fakultas Filsafat ada pentas musik
kampus memperingati hari ulang tahun kelompok pencinta alam
Fakultas Filsafat yang bernama Mahasiswa Pencinta Jagat Raya
(Mapajaga) Pantharei, Tuhan mengontak panitianya, yang salah
satunya juga dikenal oleh Teddy dan Toni: Hamcrut. Dengan
senang hati, Hamcrut mempersilakan grup musik Steak Daging
Kacang Ijo pentas untuk kali pertama.
--egitu anak-anak ISI tahu Steak Daging Kacang Ijo akan
pentas, dan kali itu benar-benar akan terjadi, mereka
berduyun-duyun mendatangi Fakultas Filsafat, digiring
oleh rasa penasaran yang cukup tinggi. Seperti apakah aksi
panggung grup musik yang tenar tetapi tidak pernah pentas itu?

Malam itu, setelah beberapa grup musik pentas dan


mendapatkan respons yang hangat dari penonton, tibalah grup
saatnya Steak Daging Kacang Ijo naik pentas. Saat satu per
satu personelnya naik ke atas panggung, para penonton yang
kebanyakan anak UGM, terbengong-bengong. Di atas panggung,
orang-orang berambut gimbal, bertato, teler berat, dan sangat
cuek, mulai menduduki posisi masing-masing. Sebuah lagu
dinyanyikan, lagu pertama langsung membuat seluruh penonton
terheran-heran dan senyap. Steak Daging akcang Ijo memainkan
lagu karangan Maladi. Teddy dan Bob menyanyi bersama-sama:
Menguning, padi menguning
Gemulai ditiup angin
Berderai padi di sawah
Seperti Lautan
Gembira bapak tani melihat

133

Syukur pada Ilahi


Rezeki melimpah
Selesai lagu itu dilantunkan, tidak ada yang bertepuk tangan.
Para penonton tetap masih asing dengan lagu dan oang-orang
aneh di atas panggung. Tetapi tanpa peduli dengan respons
penonton, Teddy dan Bob kembali menyanyikan lagu kedua:
Hymne Guru.
Terpujilah wahai engkau
Ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup
Dalam sanubariku
.
Lagu kedua pun selasai, dan hanya satu dua penonton yang
bertepuk tangan. Musik dan suara mereka fals, tetapi penampilan
mereka terlihat sangat percaya diri dan enak dilihat. Dan sebagai
lagu ketiga, sekaligus lagu terakhir, Steak Daging Kacang Ijo
menyanyikan lagu Darah Juang, karena akor lagu ini sangat
rumit, lagu ini dinyanyikan tanpa iringan musik.
Tetapi lagu ini bukan lagu asing di Fakultas Filsafat UGM,
sebab syair lagu ini dibuat bersama-sama oleh anak-anak Filsafat
seperti Webi Warouw, Dadang Yuliatoro, Andy Munajat dan
John Tobing. Sedangkan lagunya sendiri, dibuat oleh musisi
cum aktivis Fakultas Filsafat: John Tobing. Kelak, lagu ini
mengumandang ke seantero negeri ini, terutama saat menjelang
Suharto jatuh. Dan di banyak buku serta selebaran di berbagai
kampus, lagu ini sering diberi keterangan, dikarang oleh: NN,
atau kalau tidak, dibuat oleh Wiji Thukul, bahkan ada juga yang
menyebut dikarang oleh Bimo Petrus. Tentu saja informasi itu
salah fatal.
Ketika Toni, Bob, Teddy, Edo Pillu maju bersama menuju bibir
panggung, sembari mengepalkan tangan kiri dan melantunkan

134

lagu Darah Juang, puluhan aktivis yang berada di sana segera


ikut berdiri, mengacungkan tangan kiri. Hal itu diikuti oleh
penonton-penonton lain yang belum kenal lagu itu. Segeralah
berkumandang syair lagu yang menggetarkan itu
Di sini negeri kami
Tempat padi terhampar
Samuderanya kaya raya
Tanah kami subur Tuhan
Di negeri permai ini
Berjuta rakyat dirampas haknya
Anak kurus tak sekolah
Pemuda desa tak kerja
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Tuk membaskan rakyat
Bunda relakan darah juang kami
Padamu kami berjanji
Suara massal itu bergetar, terbang ke langit gelap. Berpuluhpuluh orang menangis. Dan begitu lagu tersebut usai dinyanyikan,
salah seorang penonton berteriak dengan keras sekali: Hidup
rakyat! Teriakan itu disambut dengan keras oleh para penonton:
Hidup! Lalu yang lain melanjutkan lagi dengan teriakan,
Hidup mahasiswa! Dan segera teriakan itu disambut dengan
bergemuruh oleh penonton, Hidup!
Untung saja Steak Daging Kacang Ijo menyanyikan lagu
itu. Kalau tidak, mungkin mereka tetap hanya mendapatkan

135

beberapa tepuk tangan yang tidak bersemangat. Tetapi kuartet


Steak Daging Kacang Ijo tidak menyadari hal itu. Mereka
berpikir, mereka memang calon-calon pemusik dengan banyak
penggemar. Seperti yang telah mereka saksikan malam itu.
--enampilan aneh Stead Daging Kacang Ijo akhirnya
menyebar di mana-mana, dan anehnya, juga semakin
banyak undangan pementasan yang diterima oleh Steak
Daging Kacang Ijo. Semakin grup yang sableng luar-dalam itu
sering tampil, semakin aneh pula cara mereka manggung.

Bayangkan saja, keempat musisi (kecuali Edo) yang nyaris


tidak bisa bermain musik itu, bermain di atas panggung dengan
gaya mereka. Kadang-kadang Toni berorasi, kadang-kadang
Bob yang pegang gitar, karena di atas panggung ada alat musik
kibor, dengan iseng ia memencet tuts kibor yang sma sekali tidak
dipahami bunyi dan cara memencetnya itu. Kadang pula Toni yang
bosa pegang bas minta gantian sama Teddy, yang sama pula tidak
bisanya bermain musik. Tetapi justru keanehan itu mendapatkan
dukungan yang luar biasa dari publik ISI. Keanehan Steak Daging
Kacang Ijo, tampaknya merepresentasikan keanehan pendukung
mereka, yang lambat laun kian membeludak.
Steak Daging Kacang Ijo konsisten dengan cara tidak
menyanyikan lagu-lagu orang lain, selain lagu-lagu bawah tanah
seperti Himne Darah Juang, atau lagu-lagu yang tidak pernah
dipikirkan dibawakan oleh grup musik lain seperti Himne Guru.
Grup ini pun menciptakan lagu-lagu sendiri, yang berasal dari
puisi-puisi Bob. Tetapi puisipuisi itu bisa dilagukan dengan cara
yang berbeda-beda, sesuai dengan tingkat ketrampilan mereka
dlam bermusik: tidak mungkin bisa membuat lagu, dan tidak
mungkin mereka menghapalkan nada-nada lagu yang mereka
ciptakan.
Semakin lama, penampilan Staek Daging Kacang Ijo semakin
brutal saja. Toni pernah dengan sengaja, mengendorkan dan
mengencangkan tali senar bas yang dipegangnya. Dan tidak

136

perlu mencocokkan dengan nada senar di gitar Bob. Pernah


pula mereka bermain hanya satu lagu di panggung, tidak pernah
berhenti sampai dering beker berbunyi. Begitu mereka naik
panggung, mereka meletakkan jam beker dengan durasi 15
menit, dan selama itu pula mereka memainkan alat musik sesuka
mereka, dan bernyanyi sesuka mereka pula.
Tetapi gelombang pecandu grup musik Steak Daging Kacang
Ijo yang kian memanjang, tidak diikuti oleh keinginan para
penyelenggara musik di kampus. Mereka pikir-pikir jika harus
mengundang grup musik satu itu. Pasalnya sederhana. Di
tahuntahun itu, jarang sekali ada grup musik yang tampil dengan
membawa peralatan sendiri. Grup-grup yang akan tampil lebih
banyak mengandalkan alat-alat musik yang disediakan oleh
pihak penyelenggara. Tentu menjadi masalah tersendiri, kalau
Steak Daging Kacang Ijo dengan seenaknya mengubah senarsenar gitar dan bas. Bahkan sering pula mereka memutuskan tali
senar gitar dan bas. Akibatnya, hanya kampus-kampus tertentu
atau panitia-panitia penyelenggara jenis musik tertentu saja yang
mengundang mereka.
Kegilaan dalam bermusik itu, menurut Toni, memang
begitulah konsepnya, Steak Daging itu bukan grup musik biasa,
itu sebuah happening band, ungkapnya, mungkin merujuk gagrak
seni happening art.
Sedangkan menurut Edo Pillu, pementasan Steak Daging
Kacang Ijo merupakan sebuah, Demonstrasi di atas panggung.
Sebuah demonstrasi yang cantik, katanya.
Kalau Bob sendiri jika menerangkan Steak Daging Kacang Ijo,
dengan bersemangat ia berkata, Itu grup musik yang memecah
kebuntuan!
Teddy, sang vokalis, bilang, Kalau diteruskan, Steak Daging
akan jadi legenda beneran.
Aksi gila-gilaan Steak daging Kacang Ijo terus berlanjut.

137

Pernah mereka hanya membawa radio di atas panggung. Dan


mereka hanya menyetel radio itu, sambil berjoget dan bergantian
berteriak di depan corong pengeras suara. Sering pula, jika ada
salah satu personel yang capek, atau sedang malas manggung,
digantikan oleh salah seorang pendukung mereka.
Kadang, kalau di lingkungan ISI sendiri, grup ini tidak
dipanggil untuk ikut terlibat, mereka akan datang. Sebelum
pertunjukan dimulai dan para penonton datang, Steak Daging
Kacang Ijo beserta seluruh penggemar mereka datang lebih dulu,
lalu langsung tancap gas main di atas panggung. Mereka seperti
melakukan sebuah ritual, kuartet Teddy, Toni, Bob dan Edo
Pillu sebagai pimpinan sebuah mazab, lalu penggemar mereka
yang berjingkrak dengan aneh di bawah panggung seperti umat.
Tidak jarang pula, kalau mereka tidak diundang manggung,
Steak Daging Kacang Ijo akan datang menjelang acara berakhir.
Panggung tidak jadi ditutup sebab baik para musisi Steak
Daging Kacang Ijo dan penggemar mereka yang banyak itu akan
mendesak panitia agar tidak menutup acara terlebih dahulu jika
mereka belum manggung.
Pernah dan sering pula, kalau Steak Daging Kacang Ijo
diundang pentas, mereka berangkat bersama dari Gampingan
dengan seluruh pendukung grup itu, lalu pawai keliling kota
besar. Yang paling diingat oleh para personel Steak Daging
Kacang Ijo tentang hal seperti itu adalah saat mereka diundang
untuk mengisi pemenasan di fakultas Pertanian UGM. Dari
Gampingan, seluruh personel Steak Daging Kacang Ijo sudah
memakai kostum yang aneh, terutama Edo Pillu. Ia memakai
jas hujan dan hanya mengenakan celana dalam. Dengan diiringi
puluhan sepeda motor penggemar mereka, mulai jam 7 malam,
barisan bermotor ini mulai keliling kota Yogya. Sampai di debuah
kompleks perbelanjaan, Edo Pillu diikuti beberapa orang keliling
tempat itu, dan tentu saja dengan dikawal oleh para satpam.
Dalam konteks yang lebih luas, sebetulnya kehadiran Steak
Daging Kacang Ijo yang sangat penting adalah karena di saat

138

grup musik ini mencuat, kondisi politik nasional menuju sebuah


titik lain. Di tahun 1996, rezim Suharto sebagaimana di tahun
1965, membuka peperangan dengan lawan mereka melalui
sebuah pukulan pancingan dan ketika para kubu yang kontra
rezim ini membalas pukulan itu, rezim Suharto mengeluarkan
seluruh daya mereka untuk menghabisi lawan-lawannya.
Tepat di saat itulah, kita bisa mengingat sebuah judul buku
yang pernah ditulis sastrawan Indonesia yang cerdas, Seno
Gumira Ajidarma: Saat jurnalisme dibungkam, sastra bicara.
Tetapi untuk konteks Yogya saat itu, tepat sekali kalau ada aktivis
yang bilang: Saat aktivis dibungkam, musik bicara.
--ampir sama seperti tahun 1965, faksi terkuat di
Angkatan Darat, membuat melakukan sebuah pukulan
pancingan dengan dua hal: pertama, menyebarkan
isu bahwa ada sebuah gerakan bernama Dewan Jenderal, dan
kedua, menyebarkan isu bahwa Sukarno, sang presiden sakit
keras dan kemungkinan besar ia akan meninggal dunia. Pukulan
pancingan itu kemudian dibalas, dan masih menjadi polemik
sampai sekarang, dengan adanya penculikan para jenderal. Tetapi
konsekuensi dari peristiwa itu kita semua sudah tahu: PKI dan
anasir-anasir politiknya, termasuk kelompok pendukung Sukarno
disingkirkan dari kancah politik, dan Suharto naik tahta.

Pada tahun 1996, kita juga sama-sama tahu tensi politik


semakin meninggi. Mulai dari akhir tahun 1990an, maraknya
aksi menentang kebijakan Kecung Ombo, sampai kemudian pada
tahun 1994 dengan kasus pembredelan Tempo, Editor dan Detik,
beserta puluhan lagi masalah politik, membuat barisan penentang
Suharto semakin menguat. Pada saat itulah, sekali lagi, rezim ini
melakukan menuver politik dengan membuat pukulan pancingan
lagi, kali ini korbannya adalah Megawati Sukarno Putri.
Pada tahun 1987, Megawati memasuki gelanggang politik
legal. Ia menjadi anggota parlemen dari Partai Demokrasi
Perjuangan (PDI). Pada pemilu 1992, ternyata dukungan pemilih

139

kepada PDI mengalami pertambahan yang signifikan, dan


mungkin, ini karena ada anak-anak Sukarno di partai tersebut,
termasuk Megawati Sukarno Putri. Pukulan pancingan rezim
Orde Baru disarangkan, dengan cara mensahkan kongres PDI
versi pendukung pemerintah. Itu artinya, PDI versi Megawati
mulai disingkirkan dari kancah politik.
Momentum ini adalah momentum paling besar yang pernah
terjadi, sebuah momentum yang bisa berujung pada dua hal:
klimaks atau anti-klimaks politik. Segera demonstrasi merebak
di mana-mana, terutama di markas PDI yang berhasil dikuasai
oleh para pendukung Megawati, di Jalan Diponegoro.
Berhari-hari, terjadi demontrasi besar-besaran, di berbagai kota,
teruatam di Jakarta. Markas PDI di jalan Diponegoro dijadikan
tempat berkumpulnya para aktivis anti-Suharto, termasuk PRD.
Saat itu, PRD sebelumnya juga mengalami tarsformasi politik
yang baru, yakni direbutnya PRD yang sebelumnya bernama
Persatuan Rakyat Demokratik dengan ketua Sugeng Bahagiyo,
yang kemudian pimpinan partai itu diambil alih oleh Budiman
Sujatmiko dan kawan-kawannya, lalu mengubah nama dari
Persatuan menjadi Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Serangan gencar dari elemen-elemen anti-Suharto, dibalas
dengan cepat oleh rezim, dengan mengkambinghitamkan PRD,
seluruh pengurus organisasi tersebut beserta lembaga-lembaga
underbuow-nya seperti Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk
Demokrasi (SMID), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI),
Serikat Tani Nasioal (STN), dan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat
( Jaker), menjadi buron, dan lembaga-lembaga tersebut dilarang.
Dan hampir sama dengan peristiwa pada tahun 1965, yang saat
itu kambing hitamnya adalah PKI, tetapi kemudian korbannya
merembet ke mana-mana, di tahun 1996 sekalipun bidikan rezim
hanya kepada PRD, tetapi pada praktiknya, hampir semua elemen
penentang rezim Orde Baru disikat. Berbagai elemen mahasiswa
non-PRD, juga diburu. Para penggiat dan pendukung PDI versi

140

Megawati juga disikat.


Peristiwa ini kelak, menimbulkan perdebatan yang panjang
dalam konteks wacana gerakan mahasiswa di Indonesia dengan
sebuah pertanyaan kritis: Apakah tindakan PRD yang radikal
itu menguntungkan secara politik terhadap memanasnya situasi
nasional, atau justru mendinginkan situasi nasional. Semua
aktivis, termasuk aktivis kelas anak bawang di kampus, lari
ketakutan. Tentara bukan hanya mengobrak-abrik markas PRD
dan lembaga di bawah naungannya, tetapi juga masuk kampus,
mengobrak-abrik kantorkantor pers mahasiswa.
Bahkan, di beberapa kota di Pulau Jawa, para pemimpin
daerah, dari mulai Gubernur sampai Camat, sempat ikut
menyebarkan selebaran palsu, berisi siapa sebenarnya PRD itu,
yang dihubung-hubungkan dengan PKI. Hubungan itu bahkan
diikuti oleh analisa aktivis-aktivis PRD punya hubungan darah
(baca: kekerabatan) dengan para aktivis PKI. Tentu saja selebaran
itu bohong belaka.
Tetapi yanglebih mengerikan, banyak Camat di berbagai
daerah, terutama di daerah Jawa Tengah, yang mengumpulkan
para orangtua yang punya anak mahasiswa, terutama mereka
yang kuliah di Yogyakarta. Para Camat itu meminta agar orang
tua bukan hanya mewaspadai anak mereka sendiri, melainkan
kalau bisa meminta anak mereka pulangke kampung agar mudah
diawasi.
Situasi politik nasional mengawali babak baru, dari hingar
bingar demonstrasi, menjadi babak sunyi aktivitas politik. Tetapi
ternyata, hal itu hanya bisa terjadi beberapa bulan. Rezim Suharto
gagal membungkam rakyat, dan sekalipun mereka menang di
permukaan, di kedalaman tertentu, kontradiksi rakyat terhadap
Suharto justru menajam, sekalipun diam-diam
---

141

etika banyak aktivis diburu, kampus segera sepi. Termasuk


kampus fakultas Filsafat UGM, Fakultas Sospol
dan Fakultas Sastra, sarang-sarang para mahasiswa
pembangkang. Kampus-kampus lain juga sepi, seperti IAIN dan
UJB.
Hamcrut ditugasi untuk mengevakuasi para mahasiswa
aktivis ke Semarang. Setelah menyelesaikan tugasnya di sana,
ia mendapati tidak seorang pun temannya, bahkan yang dari
angkatan paling muda, angkatan 1995, yang berani nongol di
kampus. Mereka menyebar, ada yang masuk pondok pesantren,
ada pula yang diselamatkan oleh para rohaniawan Kristen
Protestan dan Kristen Katolik.
Sampai beberapa bulan, ia hanya sendirian, dan satu-satunya
mahasiswa aktivis muda yang berani muncul di kampus Filsafat
UGM adalah Manik Wijil Sadmoko, atau biasa disebut Admo.
Berbulan-bulan mereka berdua hanya diskusi dan ngopi.
Hingga kemudian mereka mendapatkan ide untuk kembali
menghidupkan geliat kampus dengan cara berkumpul bersama
anak band kampus. Lalu mereka menghubungi dua dedengkot
anak angkatan 1994 yang dikenal sebagai pimpinan anak-anak
band kampus: Gendel dan Gundul.
Mereka lalu sering bertemu, dan memfasilitasi sebuah tempat
bermusik di wilayah Kalasan, Yogyakarta. Setelah semakin ramai,
studio dadakan itu kemudian dipindah ke kampus, dengan acara
reguler, pentas musik di Minggu Pagi.
Di hari Minggu pagi, kampus UGM memang selalu ramai.
Sejak jam 6 pagi sampai jam 10, ratusan bahkan ribuan orang
melakukan aktivitas di sana, mulai berolah raga sampai sekadar
ngeceng. Tak pelak, di hari Minggu seperti itu, para penjual
musiman bermunculan. Situasi seperti itulah yang menjadi
pertimbangan para musisi di fakultas Filsafat untuk melakukan
pementasan setiap Minggu pagi.
Pementasan itu benar-benar reguler, dari jam tujuh pagi sampai

142

jam sepuluh, beberapa grup musik memainkan musik di halaman


depan kampus Filsafat UGM, yang memang cukup strategis.
Acara reguler itu kemudian diberi nama: Sunday Morning, sesuai
dengan waktu pementasannya. Tetapi kemudian, nama itu ditulis
menjadi Sande Monink.
Lambat laun, aktivits bermusik di pagi hari itu mulai
mengundang banyak musisi untuk berkumpul di sana. Dan
peristiwa itu pula yang membuat beberapa aktivis mulai berani
lagi masuk ke kampus dengan menyaru sebagai penonton musik.
Dalam pementasan di Sande Monink itu, salah satu grup musik
yang rajin tampil adalah Steak Daging Kacang Ijo.
Tetapi di tahun itu, Steak Daging Kacang Ijo mendapatkan
cobaan untuk kali pertama. Vokalis, Teddy, yang juga seorang
perupa yang mulai naik daun, mengalami depresi berat. Orang
Yogya menyebut orang yang depresi dengan kata: Njeglek! Seperti
listrik yang kelebihan beban, atau saat terjadi korsleting.

143

Njeglek!

ELAIN terlibat dalam politik praktis, dan kemudian juga


melakukan aksi ugal-ugalan di dalam Steak Daging Kacang
Ijo, baik Teddy, Toni maupun Bob tetap melakukan aktivitas
di bidang seni rupa. Teddy, terutama, di kalangan kawan-kawan
dekatnya, selain dianggap sinting, tetapi hampir sebagian besar
mereka mengakui bahwa totalitas Teddy di dalam dunia yang
digelutinya, dunia seni rupa, tidak dapat dipungkiri. Teddy
merambah dari hulu sampai hilir proses kreasi dalam kerja-kerja
seni rupa. Ia dikenal berani suntuk berpikir tentang soal-soal seni
rupa, sampai menggeluti berbagai materi dan media seni rupa,
dan berani mengeksekusinya menjadi sebuah karya.
Hal itu dibuktikan Teddy di dalam menggelar berbagai
pameran, dan setiap karyanya selalu memberikan warna baru.
Salah satu pameran Teddy bersama dua orang yang lain yaitu Rita
Oetters dan Suryo, yang dilakukan di Taman Budaya Solo pada
tanggal 20-26 Maret 1995, mulai memperlihatkan bahwa perupa
muda satu ini bukan hanya matang di konsep tetapi juga piawai
dalam mengeksekusi konsep tersebut menjadi sebuah karya.
Rita sendiri, merupakan seniman yang berasal dari Jerman.
Ia kemudian datang dan berkarya di Indonesia. Perempuan
kelahiran tahun 1949 itu, di kalangan para perupa di Indonesia,
dikenal sebagai seorang feminis radikal. Karya-karyanya juga
menunjukkan paradigmanya itu.
Rita kemudian berpacaran dengan Teddy. Mereka kerap
melakukan ekplorasi materi dan diskusi tentang wacana. Diakui
oleh Teddy, banyak pikiran Rita yang saat itu mempengaruhinya,
terutama dalam memandang wilayah politik. Awalnya, hubungan
dua orang yang umur mereka terpaut jauh itu, tidak begitu
mengganggu hubungan keduanya. Tetapi kelak, hal itu menjadi
salah satu pemicu yang menyebabkan Teddy mengalami njeglek,
selain tentu saja ada beberapa faktor lain.
Pasangan Rita dan Teddy juga kerap melakukan perjalanan
keliling Indonesia. Perjalanan di danau Toba Sumatra yang pernah

147

mereka lakukan, misalnya, akhirnya membuat pasangan kekasih


itu membawa pulang seekor anjing yang menjadi kesayangan
mereka berdua. Si anjing, diberi nama: Kapten.
Ketika mereka berdua sedang akan melakukan perjalanan ke
Madura dengan naik mobil jip, Teddy menyempatkan mampir ke
rumah Bonyong, di sana, sambil bergurau, Teddy bertanya, Pak
Bonyong mau dioleh-olehi apa?
Bonyong saat itu hanya menjawab sekilas saja, Itu lho Ted,
kelonengan sapi dari Madura. Kayaknya barang itu antik sekali.
Tetapi baru saja Teddy dan Rita menginjakkan kaki ke
Madura, mereka berdua diusir oleh pemilik penginapan. Garagaranya hanya sepele, mereka datang dengan membawa kapten!
Alih-alih mencarikan barang pesanan Bonyong, perjalanan itu
kandas dalam waktu yang sangat cepat, segera pulang ketika kaki
mereka baru saja menginjak Pulau Madura.
--ementara itu, Galeri Seni Cemeti, semakin mengukuhkan
diri sebagai salah satu galeri alternatif di Yogya, bahkan
di Indonesia. Berpameran di Cemeti, adalah imajinasi
bagi para perupa muda. Dan sebagai salah satu perupa muda di
Indonesia saat itu, dan sering disebut oleh banyak orang sebagai
salah satu perupa yang menjanjikan di masa depan, Teddy pun
menyimpan obsesi untuk bisa berpameran di Cemeti.

Tetapi apa yang diharapkan Teddy, rupanya datang lebih cepat


dari yang ia kira. Cemeti yang terus mengikuti perkembangan
banyak perupa muda, terutama yang berasal dari Yogya, menawari
Teddy untuk melakukan pameran tunggal di Cemeti.
Teddy nyaris syok, menerima tawaran itu. Dan mulai saat itu,
seluruh pikiran dan energi Teddy diperuntukkan buat pameran
tunggal di Cemeti, yang digelar pada tanggal 4-29 September
tahun 1996. Sambutan publik penonton dan media massa atas
pameran itu, bukannya membuat Teddy bangga, tetapi justru ia
resah.

148

Orang pertama yang menangkap keresahan Teddy adalah salah


satu sahabatnya, Toni. Kepada Toni, dalam keadaan mabuk, Teddy
selalu bilang, Ton, aku enggak mau seperti Kurt Cobain.
Toni tidak begitu paham dengan maksud omongan Teddy.
Bagi Toni saat itu, ketika Teddy melakukan pameran tunggal
di Cemeti, memang membuatnya salut. Teddy masih terhitung
muda, ia angkatan 1992 masuk ISI, dan pada tahun 1996, Teddy
sudah melakukan pameran tunggal di sebuah galeri yang menjadi
impian bagi banyak perupa muda. Tetapi di pikiran Toni saat itu,
Apa hubungannya dengan Kurt Cobain?
Tetapi tampaknya, ketakutan menjadi sepeti Kurt Cobain,
yang belum begitu jelas pada hal yang mana, berbarengan dengan
masalah asmara Teddy dengan Rita. Teddy sangat mencintai
Rita, walaupun usia mereka terpaut 20an tahun. Dan Teddy sadar
hal itu bukan perkara sepele. Pertama, karena Rita orang Jerman,
dan ia orang Indonesia. Hubungan antar-manusia dua negara,
dengan dua kultur yang berbeda, tentu bukan perkara mudah.
Kedua, Rita sendiri dikenal sebagai aktivis radikal, yang jelasjelas menentang konsep rumah tangga, sementara Teddy, seliar
apapun, masih mengharapkan kelak akan bisa membina sebuah
keluarga.
Dengan kelindan masalah yang menimpanya saat itu,
ditambah kehidupan liarnya, hanya ada satu jalan yang paling
mudah ditempuh oleh Teddy: mengkonsumsi pil koplo sebanyakbanyaknya. Ia mencoba lari dari dunia masalah yang dihadapinya,
ke dalam dunia tenang yang dijanjikan oleh obat-obatan.
Hampir setiap hari, Teddy mengkonsumsi pil koplo dalam
dosis yang berlebihan. Dan Semenjak itu, di tempat kosnya, ia
sering membikin ulah. Ia sering teriak-teriak sendiri, ia juga
sering mengekspresikan apa yang ia pendam kepada orang-orang
di sekitarnya.
Menyaksikan hal itu, induk semang Teddy merasa khawatir.
Berulang kali mereka meminta agar Teddy tidak memuat ulah

149

yang mengundang perhatian para tetangga. Tetapi Teddy cuek.


Di saat Teddy sudah tidak dapat lagi dinasihati, sang induk
semang mengeluarkan maklumat, Teddy harus segera hengkang
dari tempat kosnya.
Mendengar itu, Teddy yang dalam keadaan mabuk berat,
tersinggung. Lalu terjadilah sebuah tragedi yang hampir menyeret
Teddy masuk ke dalam bui. Ia mengejar ibu kosnya, dengan
membawa sebilah pisau. Kampung tempat Teddy segera geger.
Akhirnya satu kijang polisi menangkap Teddy, lalu membawanya
ke kantor polisi Gondoman. Di sana, Teddy mengalami tuduhan
serius, pertama, ia dituduh hendak membunuh orang, dan yang
kedua, ia dituduh mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Teddy
dikurung di penjara kantor polisi Gondomanan.
Berita itu cepat menyebar. Toni dan Edo Pillu, segera
menjenguk Teddy di kantor polisi. Di sana, kedua orang itu
sudah mendapati Teddy dalam keadaan yang sangat buruk. Di
tahanan kantor polisi, dalam ruangan yang sangat sempit itu,
Teddy sudah di luar kontrol. Ia berteriak, berlari-lari di tempat,
tidak mau makan, dan yang lebih mengerikan lagi, ia berak dan
kencing di celana.
Edo Pillu dan Toni-lah, yang dengan sabar mencoba merawat
Teddy. Toni kebagian mencari bentuk pertolongan yang lain,
termasuk memberi kabar ke kawankawan dekat Teddy yang lain,
sementara Edo Pillu kebagian mulai dari mencari makanan dan
mengganti pakaian dalam Teddy, yang setiap saat harus diganti
karena Teddy tetap kencing dan berak di celananya.
Ketika konsisi Teddy mulai agak membaik, eberapa kali, pihak
kepolisian yang memeriksa Teddy ingin segera anak pembuat
ulah itu segera menyelesaikan berkas berita acara pemerikasaan.
Salah satu hal yang harus mereka lakukan, adalah membuat
Teddy menandatangani pernyataan tentang barang bukti, bahwa
pisau yang disita polisi adlah pisaunya, pisau yang dipakai untuk
mengancam ibu kosnya.

150

Teddy tidak mengakui itu pisaunya. Di kesadaranya saat itu, ia


bilang bahwa sebetulnya ia memang mendatangi ibu kos, tetapi
bukan untuk membunuhnya, melainkan untuk meminta maaf.
Dan ia tidak membawa pisau.
Tetapi pihak polisi bersikeras, Teddy mengancam ibu kos dan
ada barang bukti berupa pisau yag dibawanya. Proses itu berjalan
dengan alot, sampai berhari-hari. Akhirnya Teddy berpikir, ya
sudahlah, daripada berlama-lama di sini, biarlah aku masuk
penjara. Tepat di saat itu, Teddy kembali dipanggil pemeriksa.
Teddy sudah mantap untuk menandatangani bekas acara
pemeriksaan berkaitan dengan pisau itu. Namun semua mendadak
berubah, saat polisi itu memperlihatkan pisau itu di depan Teddy.
Begitu melihat bentuk pisau yang dalam bahasa Teddy tidak
artistik, Teddy kembali menolak. Dia bilang saat itu, Pak, saya
ini seniman. Saya tidak mungkin punya pisau sejelek itu. Pisau
itu enggak artistik sama sekali. Saya tidak pernah punya barang
yang tidak artistik karena saya seorang seniman!
Lagi-lagi, pemeriksaan mengalami jalan buntu. Dan Teddy
kembali depresi. Ia tidak mau makan, dan ia tetap berlari-lari di
dalam ruang tahanannya yang sangat sempit itu.
Teddy mempunyai versi sendiri menyangkut mengapa ia
berlari-lari di dalam tahanan. Saat itu, aku merasa ada tiga
Teddy. Yang pertama adalah Teddy yang berada di dalam ruang
tahanan. Sedangkan Teddy kedua, adalah Teddy sang bandar
narkoba. Bandar itu berada di sebuah keranjang yang melingkar,
sehingga ujung kepala dan ujung kakinya bisa saling menyentuh
membentuk lingkaran. Sedangkan Teddy yang ketiga sedang
berada di Amerika, ia jago beladiri, dan meminta Teddy yang
berada di tahanan untuk sementaa waktu harus berlatih fisik
dengan cara berlari-lari di dalam ruang tahanan. Teddy yang di
Amerika ini bilang kepada Teddy yang di tahanan: Dua hari lagi
aku akan menolongmu. begitu kenang Teddy soal sensasi dan
halusinasi dalam depresinya.

151

Selain itu, dalam halusinasinya, di atap tempat ia disekap,


ada salah satu mantan pacarnya saat di solo, seorang gadis
SMA, yang berada di langit-langit ruang itu. Si gadis kemudian
berulang kali berkata kepada Teddy dengan lembut, kalau ia akan
menyelamatkan Teddy.
Sementara itu, Edo Pillu dan Toni akhirnya menyerah. Mereka
berdua berpikir sebaiknya mereka menelepon orangtua Teddy.
Siapa tahu, bapak Teddy yang seorang tentara, bisa memberi
solusi terbaik bagi Teddy. Tepat tengah malam, setelah seminggu
Teddy masuk kantor polisi, Edo menelepon keluarga Teddy.
--enurut pengakuan Sunarmi, ibu Teddy, telepon
diterimanya pukul 12 malam. Segera Siradz menelepon
kantor polisi di mana Teddy ditahan. Saat itu, Siradz
meminta agar diperbolehkan berbicara kepada Teddy. Tetapi
jawaban sang polisi, membuat Siradz naik pitam. Akhirnya
kedua abdi negara itu saling bertengkar keras lewat telepon.
Setelah saya meletakkan gagang telepon, sebetulnya saya merasa
menyesal, mengapa saya harus bertengkar dengan polisi itu
begitu pengakuan Siradz.

Saat peristiwa itu terjadi, Siradz sudah pindah dinas ke kota


Kudus, dan semua keluarganya dibawa serta, termasuk Sunarmi
dan adik-adik Teddy. Siradz kemudian memutuskan untuk
menghubungi komandannya. Sang komandan kemudian bilang,
supaya Siradz datang ke Yogya dengan pakaian dinas lengkap,
beserta sopir dari pihak kesatuannya, yang juga berpakaian
lengkap. Tepat pukul 2 dinihari, Siradz, Sunarmi dan sopir,
berangkat ke Yogya.
Siradz dan Sunarmi tidak ingat persis kapan tanggal kejadian
itu terjadi, yang mereka ingat hanyalah hari itu hari Jumat. Setelah
sampai di Yogya, mereka langsung ke kantor polisi tempat Teddy
ditahan. Tetapi bukannya mencoba menyelesaikan jalan keluar
untuk kasus Teddy, kembali Siradz dan para petugas polisi itu
bertengkar untuk soal yang lain. Saat itu, para polisi yang berada

152

di sana merasa tersinggung dengan ucapan Siradz semalam


saat menelepon. Mereka bahkan mengancam akan membawa
masalah ini sampai ke Mabes Polri. Siradz makin naik pitam. Ia
lalu meminta pinjam menggunakan telepon untuk menghubungi
atasannya yang berada di Kudus, tetapi pihak kepolisian tidak
mengijinkan.
Siradz dan Sunarmi kemudian keluar dari kantor polisi,
mencari wartel terdekat untuk menghubungi sang komandan.
Begitu mendengar laporan dari Siradz, sang komandan juga naik
pitam. Ia meminta Siradz bertahan di kantor polisi, sementara itu
sang komandan akan menghubungi kepala Kodim Yogya untuk
membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh Siradz.
Sebetulnya saat itu Siradz sudah merasa tidak enak. Hanya
gara-gara urusan pribadinya, dua korps antara tentara dan polisi
bisa berantem. Ia dan Sunarmi kemudian balik ke kantor polisi.
Suasana di kantor polisi masih tegang. Tetapi kemudian
komandan polisi yang berada di sana mempersilakan
Sunarmi menjenguk Teddy di ruang tahanan. Saat Siradz
akan ikut menjenguk anaknya, sang komandan itu tidak
memperbolehkannya. Kembali mereka berdua berdebat sengit.
Suasana dengan cepat kembali memanas.
Sementara Siradz masih beradu mulut dengan para polisi
di ruang depan, Sunarmi segera menjenguk Teddy di ruang
tahananya. Begitu melihat keadaaan Tedy, yang lemas, penuh
dengan kotoran di celana, tidak bisa melakukan kegiatan apa-apa
karena tidak pernah mau makan selama berhari-hari, Sunarmi
segera menjerit kencang sekali, Tuhan Yesus, selamatkan anak
kami!
Jeritan Sunarmi itu terdengar jelas di ruang depan, tempat
Siradz berdebat keras dengan para polisi. Mendengar jeritan
Sunarmi itu, Siradz langsung duduk di kursi, menundukkan
kepalanya, berdoa kepada Tuhan. Suasana menjadi hening
seketika, selain isak tangis Sunarmi dari ruang tahanan yang

153

terletak di belakang.
Sesaat setelah Siradz selesai berdoa, tiba-tiba komandan polisi
itu bertanya dengan nada pelan, Apakah Teddy seorang Kristen?
Siradz mengangguk. Ia juga bercerita bahwa dirinya dan
istrinya terlibat aktif di gereja. Mendengar hal itu, sang komandan
langsung berkata, Sudah, Pak. Gini saja, lupakan semua persoalan
tadi. Sekarang segera bawa Teddy ke rumah sakit.
Siradz langsung lega. Ia merasa doa istrinya dan doa dirinya
didengar langsung oleh Tuhan, dan segera Tuhan memberi
mereka pertolongan. Teddy segera diangkut ke rumah sakit
Bethesda.
--elama di rumah sakit Bethesda, kondisi Teddy bear-benar
dalam keadaan buruk. Ia selalu meronta, dan berteriak,
Kebakaran! Kebakaran! Tanpa jelas apa yang dimaksud
olehnya, apa atau siapa yang terbakar. Akhirnya oleh pihak medis
di rumah sakit tersebut, kedua tangan dan kaki Teddy terpaksa
diikat. Kemudian ia disuntik obat tidur.

Namun setiap kali pengaruh obat tidur itu lenyap dari tubuh
Teddy, dan ia kembali tersadar, berbagai sensasi dan halusinasi
menerpanya dengan kencang. Halusinasi pertama yang ia rasakan
adalah sebagian tubuhnya, di bagian kiri, dari kepala sampai kaki,
ia rasakan terbakar. Sehingga Teddy memposisikan tidurnya
dengan cara miring ke kanan. Halusinasi lain yang ia rasakan,
di ruang tempatnya dirawat, ada kipas angin besar. Ia merasa
ada seorang perempuan berambut panjang, yang kata Teddy
menyerupai almarhumah Tien Suharto, menempel selayaknya
spider-man. Ia butuh waktu berhari-hari untuk menyadari bahwa
yang dilihatnya hanyalah halusinasi.
Tetapi rentetan halusinasi lain, kembali menyerang Teddy jika
ia siuman dari pengaruh obat tidur. Ia pernah merasakan berada
di atas langit dengan bola-bola besar dengan berbagai warna
metalik. Ia melompat dari satu bola ke bola yang lain, dan jika

154

ia terpeleset dari bola besar yang menjadi tujuan lompatannya,


maka ia diterima oleh bola besar lain di bawahnya. Itu sensasi
yang paling menyenangkan saat itu, kata Teddy.
Tetapi ada satu halusinasi lagi yang diingat Teddy dengan
baik. Di belakang kepala Teddy terdapat sebuah jendela.
Menurut perasaannya, dari jauh, lewat jendela tersebut ada
seorang penembak jitu yang bersiap dengan senjata laras panjang
lengkap dengan teropongnya. Penembak jitu itu, menurut yang
dirasakan Teddy, selalu memperhatikan kode yang berasal dari
jempol tangan kanan dan kiri Teddy. Jika jempol tangan kanan
itu teracung, si penembak jitu akan menemak ibunya. Dan jika
jempol tangan kiri Teddy teracung, maka si penembak jitu itu
akan menembak bapaknya. Dengan perasan seperti itu, Teddy
menggenggam erat kedua jempol tangannya.
Keadaannya kacau sekali, papar Sunarmi mengenang saat
Teddy masuk rumah sakit Bethesda, berkali-kali saya mau
dicekiknya.
Melihat kondisi seperti itu, yang bisa dilakukan Sunarmi
adalah berdoa. Saya percaya dengan kuasa Yesus. Dan yang
paling penting, saya percaya Tuhan Yesus pasti akan menjaga
Teddy. Dia sebetulnya anak yang baik
Ketika keadaan Teddy sudah membaik, ia lalu diajak
keluarganya untuk pulang ke Kudus. Teddy dirawat di rumah
sakit Bethesda selama kurang-lebih satu bulan.
--elama di Kudus, Teddy menenangkan diri. Ia bahkan sudah
punya niat untuk tidak pernah kembali lagi ke Yogya. Tetapi
setelah beberapa bulan berad di Kudus, Teddy merasa
tidak kerasan, dan ingin balik ke Yogya lagi. Tepat di saat itu,
ada mahasiswamahasiswa dari sebuah persekutuan gereja, yang
kenal baik dengan Teddy, karena mendengar Teddy sakit keras, ia
mendatangi Teddy ke Kudus.

Dengan berbagai pertimbangan, termasuk kepentingan Teddy

155

untuk meneruskan kuliah, orangtua Teddy mengijinkan anaknya


kembali ke Yogya, dengan catatan Teddy harus membentengi
dirinya dari pengaruh buruk dengan cara aktif di gereja. Teddy
mengiyakan saran orangtuanya.
Tetapi ternyata, selama di Yogya, Teddy pun hanya betah
beberapa bulan bergaul bersama para mahasiswa sukarelawan
gereja. Teddy tahu persis, mereka anak-anak baik, Tetapi dunia
gereja bukan duniaku. Aku belum siap hidup dengan cara seperti
itu. Duniaku adalah dunia seni.
Kemudian Teddy bicara baik-baik dengan para pimpinan
mahasiswa sukarelawan gereja, tentang pilihan hidupnya. Mereka
pun tidak punya pilihan lain, selain merelakan Teddy pergi.
Hal pertama yang dilakukan Teddy adalah menyelesaikan
urusannya dengan Rita. Dan hal kedua yang dilakukan Teddy
adalah mencari Toni. Saat itu, Toni hidup di sebuah sanggar yang
dikomandoi oleh Hanung Bramantyo, yang sekarang menjadi
salah satu sutradara film ternama di Indonesia. Hanung saat itu
mendirikan sebuah sanggar yang diberi nama Sanggar Kanvas.
Di sana, ada banyak orang melakukan aktivitas kesenian, mulai
dari bermain teater, menari, sampai melukis. Di sanggar itu, Toni
melukis.
Teddy segera bergabung dengan Toni di Sanggar Kanvas, dan
seperti Toni, Teddy kemudian mulai lagi sibuk melukis. Tetapi
suasana ramai di sanggar itu, dengan cepat membuat kedua
sahabat itu tidak betah. Mereka berdua kemudian memutuskan
hengkang dari sanggar itu, lalu mengontrak rumah berdua.
Rumah itu terpencil, di dekat gerumbulan bambu. Sewanya
murah sekali, setahun hanya 250 ribu. kata Teddy.
Cukup lama mereka tinggal berdua di sana. Di rumah itu,
kedua sahabat Teddy-Toni, kembali menggeluti dunia kanvas.
Saat tinggal berdua itulah, Teddy berpacaran dengan Bunga, dan
di saat itu pulalah, ada seorang kolektor lukisan dari Belanda
yang menyukai karya-karya Teddy, lalu membelinya.

156

Teddy mulai mempunyai uang sendiri, dan ia mulai semakin


yakin dengan jalan hidup yang telah dipilihnya sebagai perupa.
Ketika tinggal di rumah itu pula, mereka berkenalan dengan
seorang tukang becak yag suka melukis, yang ternyata sahabat
Wiji Thukul. Nama tukang becak itu, Susilo. Akhirnya Teddy dan
Toni bersepakat, Susilo disuruh bantu-bantu di rumah itu, lalu
mereka berdua urunan untuk membelikan Susilo becak. Sebab
kalau Susilo menyewa becak, maka ia harus terus bekerja, padahal
Susilo mempunyai bakat melukis. Kata Teddy, Biar dia bisa juga
belajar melukis. Sebab di rumahku banyak sekali cat dan kanvas.
Adu kreativitas dua sahabat itu sempat meghasilkan karyakarya yang menarik. Bahkan mereka berdua pernah pameran
bersama beberapa perupa lain di Cemeti dalam tajuk Slot in
the Box. Menurut Mella Jarsma, salah satu karya yang luar biasa
di pameran itu adalah karya Toni, berjudul Open Your Freezer:
find Your Fresh President, sebuah karya instalasi yang mengkritisi
kondisi politik di Indonesia menjelang Pemilu 1998. Karya itu
berupa sebuah kulkas yang terbuka, di dalam kulkas tersebut ada
berbagai barang seperti buah-buahan, botol mineral, dan yang
paling menohok adalah terdapat beberapa pakaian.
--etelah tinggal berdua dalam waktu cukup lama, ada satu
tahap di mana Toni-lah yang giliran Njeglek. Toni sebetulnya
punya gairah berorganisasi atau setidaknye berkumpul
dengan banyak orang. Sementara itu, Tedddy, teman serumahnya,
seakan-akan hanya menyuntuki lukisan terus. Dan lukisan Teddy
sudah mulai laku. Tetapi menurut Toni, saat itu Teddy sering
sambat kalau dirinya capek, tiap saat melukis dan menjual
lukisannya. Tetapi anehnya, ia terus melakukan itu. Hal itulah
yang membuat Toni kesal sama Teddy, sampai ia bilang, Kamu
itu jualan banget!

Tetapi menurut versi Teddy, Toni yang merasa suntuk di


rumah itu. Berkali-kali ia mencoba melukis, tetapi berkali-kali
pula gagal. Hingga pernah suatu ketika, mungkin saking kesal

157

dan suntuknya Toni, karena apa yang ada di pikirannya tidak


tereksekusi dengan baik di atas kanvas, Toni melakukan onani di
atas kanvas. Dan spermanya berleleran di kanvas itu. Melihat hal
seperti itu, Teddy tertawa ngakak.
Namun Teddy sadar betul, saat itu kondisi Toni sedang labil.
Toni, menurut Teddy, saat itu ingin melakukan sesuatu, tetapi
belum tahu persis apa yang harus dilakukannya.
Lalu tibalah, suatu saat, Toni memilih pergi dari rumah itu.
Ketika Teddy sedang keluar bersama Bunga, Toni mengepak
barang-barangnya lalu menulis surat di atas selembar kartu pos.
Surat itu berisi beberapa kalimat singkat, Aku pergi dulu kawan,
menjemput impian. Sampai bertemu di gerbang kesuksesan. Aku
memilih jalan hidupku sebagai seorang ronin.
Saat surat itu dibaca oleh Teddy, di luar, kondisi politik
kembali memanas. Krisis moneter mendera Indonesia. Sesuatu
bak raksasa sedang menggeliat pelan, yang kelak memancang
batupal baru bagi kehidupan politik di Indonesia. Sebuah batupal
yang sering disebut: Era Reformasi.

158

Mendongkel
Kursi Tua

EMENTARA pasca-peristiwa 27 Juli 1996, hampir semua


aktivis mahasiswa tiarap, baik yang berafiliasi dengan PRD
maupun yang tidak, kehidupan di kampus lambat laun
menggeliat kembali, tetapi tidk dengan aktivitas politik melainkan
aktivitas seni, seperti salah satu contoh kecil adalah pementasan
reguler musik Sande Monink di halaman depan Fakultas Filsafat.
Dan di dunia seni rupa, tampaknya juga membuka ruang
otonom sendiri, hal ini terlihat misalnya dari misalnya yang
terjadi di galeri Cemeti Yogya. Mulai dari Juli 1996 hingga tutup
tahun 1997, tak kurang 14 pameran digelar oleh galeri altertantif
tersebut, dan hampir semua pameran bermuatan politis!
Menarik sekali melihat, ketika pembangkangan politik di
tingkat praktis oleh para aktivis LSM maupun mahasiswa
melenyap karena serbuan gencar rezim Orde Baru, justru di
wilayah seni musik dan seni rupa, bilik-bilik perlawanan tetap
menyala.
Tetapi gencarnya perburuan para aktivis dan pemenjaraan
para tokoh-tokoh politik yang dianggap membangkang oleh
Orde Baru, hanyalah sebuah kemenangan yang semu bagi rezim
yang sudah uzur itu. Orde Baru kembali harus menghadapi geliat
massarakyat ketika waktu mendekat ke arah momentum Pemilu
1997.
Disingkirkannya Megawati dari ranah politik dengan
diakuinya kepemimpinan Suryadi sebagai representasi Orde Baru
di PDI, tidak serta merta membuat para pendukung Megawati
diam. Kekecewaan rakyat jelata mendapatkan manifestasinya
ketika kampanye pemilu dimulai. Ribuan orang mendadak turun
ke jalan, menghadang kampanye Partai Golkar, satu-satunya
partai yang didukung secara resmi oleh pemerintah. Mereka
menghadang kampanye itu dengan serangan batu dan blokade
di jalan.
Di Solo, seorang tokoh PPP dengan berani mengibarkan
bendera Mega-Bintang. Tokoh tersebut bernama Mudrick

161

Sangidu. Dan di berbagai jalanan ibu kota, berkibar ratusan


bendera dengan tulisan Mega-Bintang-Rakyat, sebuah
penjelmaan protes dan kekecewaan rakyat yang mulai terlihat
mengkristal.
Pemerintah segera melarang dua versi lembaga dari bawah itu,
baik Mega-Bintang, maupun Mega-Bintang-Rakyat. Bahkan
petinggi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pun ketakutan
dengan gerakan di luar kebijakan politik mereka. Tetapi larangan
itu tidak berarti apa-apa bagi rakyat, bentrok antara rakyat
terhadap para pendukung Golkar bahkan mulai tertuju kepada
satu fase penting yakni bentrok antara rakyat versus aparat
keamanan yang bertindak sangat represif.
Di sepanjang Pantura, mulai dari Rembang sampai Banyuwangi,
setiap kali kampanye PPP digelar, bentrokan dengan tentara
tidak dapat dihindari. Demikian juga yang terjadi di kota-kota
besar lain seperti Solo, Yogya, dan terutama di Jakarta.
Ketika hasil Pemilu 1997 diumumkan, dengan hasil
kemenangan mutlak Partai Golkar yang mencapai perolehan di
atas 70% suara, tidak membuat rakyat menyudahi perlawanan
mereka. Kini, giliran kampus dan kaum intelektual yang bergeliat,
merespons hasil pemilu yang dilakukan dengan curang itu.
--ebuah contoh kecil yang memperlihatkan metamorfosa dari
sebuah kegiatan bersenangsenang yang kemudian nyaris
dalam sekejap mejadi tempat bagi segala aktivitas politik
direncanakan dan kemudian dilakukan, adalah acara Sande
Monink.

Sebagian aktivis PRD yang segera keluar dari trauma


politik karena dikejar-kejar rezin Orde Baru segera melakukan
konsolidasi, dan seluruh sumberdaya yang ada dikerahkan untuk
memanaskan situasi Jakarta. Tetapi sebagian lain yang masih
trauma, pelan-pelan mulai mendekat ke kampus, iku menonton
acara musik Sande Monink. Satudua aktivis mulai muncul, dan

162

mereka mulai membentuk lagi kelompok-kelompok diskusi.


Kelompok itu semakin menguat karena Indonesia mulai didera
krisi moneter. Lalu ketika situasi sudah hangat dan siap, sebuah
peristiwa bersejarah kembali dikibarkan: Mogok Makan di
Fakultas Filsafat.
Kegiatan yang semula diinisiasi oleh Hamcrut dan Admo
serta salah satu angkatan tua bernama Terri, dan mendapat
dukungan dari gembong-gembong musisi Filsafat seperti
Gendel dan Gundul, dengan cepat menyebar luas. Hanya sehari
begitu mogok makan itu dimulai, yang awalnya hanya diikuti
oleh 5 orang peserta aksi mogok makan dan hanya didukung
kurang dari 10 orang panitia mogok makan, dalam waktu tiga
hari kemudian, peserta mogok makan menjadi 16 dan panitianya
menjadi puluhan orang.
Para aktivis mahasiswa dari berbagai organisasi yang semula
saling bertikai karena menyalahkan gerakan PRD yang membuat
banyak aktivis lain tercerai-berai, mendadak menjadi cair oleh
memanasnya suhu politik 1998. Para perupa dari Gampingan pun
mulai berdatangan, di antara mereka yang paling sering nongol
di sana adalah Toni Volunteero, Atonk Tato, Bob Sik, Iwan Tipu,
dan masih banyak yang lain. Atonk bahkan menyumbangkan
sebuah megapon yang masih gres untuk para panitia.
Saban malam, untuk terus mengundang para aktivis
berdatangan, selalu digelar acara kesenian, mulai dari pembacaan
puisi, seni peristiwa (happening art), sampai acara musik. Lagulagu perjuangan mahsiswa seperti Hymne Darah Juang, berpadu
dengan lagu-lagu kritik sosial Iwan Fals, dan tentu saja yang selalu
menggema di sana adalah puisi-puisi perlawanan Wiji Thukul.
Jemek yang sebelumnya menghilang karena menjadi buron
peristiwa 27 Juli pun mulai muncul. Bahkan dalam kumpulan
massa yang semakin membeludak saban hari di Kampus Filsafat,
mulai banyak muncul para aktivis lain seperti para mahasiswa dari
Timor Lorosae (dulu masih Timor Timur), dan terutama dari

163

para mahasiswa Mapala dari berbagai kampus di UGM. Dengan


cepat pula, kegiatan di sana mengundang para mahasiswa dari
kampus lain seperti kampus UII, Atmajaya dan Sanata Darma.
Begitu massa sudah banyak dan semakin solid, demonstrasi
mulai dilakukan.
Untuk menarik massa mahasiswa yang lain, acara demonstrasi
dikemas dalam bentuk seni peristiwa, yang selalu didesain oleh
Hamcrut. Tetapi Hamcrut mengakui, Setiap kali mau ada
happening art untuk aksi, aku konsultasi dengan Teddy
Pernah satu kali, aksi massa yang sudah mulai diikuti ratusan
mahasiswa, didesain seperti ini. Di depan, Hamcrut dan beberapa
orang berpakaian seperti petani sedang menyeret sebuah gerobak.
Dan di dalam gerobak itu, ratusan senjatan kau pentungan ditutup
oleh kain hitam. Benar, saat aparat mulai mencegat demonstrasi
itu, pentungan segera dibagikan ke barisan depan demonstran,
bentrok pun pecah. Aparat mundur, kuwalahan. Dan untuk kali
pertama, mahasiswa berhasil merebut masuk ke bundaran UGM,
yang selama bertahun-tahun gagal mereka capai.
Semenjak itu, radikalisasi massa sudah tidak bsa dibendung
lagi. Setiap demoantrasi pasti terjadi bentrok. Dan mahasiswa
pun mulai mempersenjatai diri. Di salah satu bangunan Fakultas
Filsafat, yang dulu dipakai sebagai kantor pers mahasiswa Pijar,
penuh dengan senjata tajam, pentungan dan bom molotov. Di
UGM sendiri, telah dibangun dengan spontanitas, puluhan
kelompk berani mati dengan masing-masing namanya yang khas.
Di Fakultas Sastra misalnya, salah satu fakultas dengan banyak
mahasiswa, dalam waktu yang relatif sebentar telah terbentuk
lebih dari sepuluh barisan pelopor untuk demonstrasi. Dan
yang paling terkenal adalah Pasukan Ketapel Indonesia (PKI).
Puluhan mahasiswa sastra bergabung di kelompok itu dengan
senjata utama mereka ketapel berpeluru batu tajam.
Di Fakultas Filsafat sendiri, setiap malam dijaga puluhan
aktivis dari berbagai kelompok dan universitas untuk menjaga

164

para peserta mogok makan. Di bawah koordinasi Hamcrut, para


aktivis tertentu dilindungi oleh empat sampai lima penjaga.
Situasi semakin gawat dan memanas ketika pada awal Maret
tersebar isu penculikan para aktivis PRD dan beberapa aktivis
non-PRD di Jakarta. Emosi dan demonstrasi semakin tidak
terkendali. Sebuah mantra politik diselipkan di mana-mana,
Kawan kita sudah mati, dan hanya ada dua pilihan: tumbangkan
rezim ini atau kita menyusul mereka pergi ke surga.
Dan yang sebetulnya mewarnai demonstarsi di UGM
sehingga lebih hidup, karena ada banyak ISI Gampingan yang
terlibat. Di sana ada Ugo Untoro yang selalu setia memakai
pakaian seperti yang dikenakan Bung Karno. Lalu ada Atonk
dan kawankawannya yang selalu pamer tato. Kemudian para
orator yang lucu seperti Kuss Indarto dan Operasi Rahman,
serta Bob Sick yang selalu ingin juga tampil orasi dengan gaya
bahasanya yang seenaknya itu. Pernah suatu saat Bob maju dan
berurasi di depan panggung seni yang sengaja didirikan untuk
menghangatkan atmosfir perlawanan, di panggung itu ia bilang
seperti ini, Aparat itu pengecut, mau tahu kenapa? Karena
mereka tidak mungkin berani menato tubuhnya!
Orasi singkat itu disambut gelak tawa dan tepuk tangan
bergemuruh. Kedatangan Bob termasuk satu dari sekian orang
yang ditunggu orasinya di UGM karena selalu beda dan lucu.
--etapi sesungguhnya gerakan mahasiswa 1998 tidaklah
monolitik. Sebagai contoh yang terjadi di UGM.
Setidaknya saat itu, ada kelompok besar yakni yang
berada di lembaga mahasiswa formal, seperti senat mahasiswa
tingkat Universitas dan Fakultas, sementara kelompok lain adalah
kelompok yang jauh lebih radikal. Kita bisa melihat dari isunya.
Saat senat Universitas masih menggemakan tuntutan populis
dengan reformasi politik dan turunkan harga, kelompok radikal
sudah membawa slogan besar: Turunkan Suharto!

165

Ketika senat mahasiswa melakukan sebuah aksi massa besar


dengan isu reformasi politik (tanpa tegas memberikan solusi
defintif apa itu reformasi politik?) dan dengan himbauan untuk
membawa jaket almamater karena mereka takut disusupi oleh
oknum yang tidak bertanggungjawab, sebuah skenario sedang
disusun oleh orang-orang yang berada di Fakultas Filsafat.
Sebuah rencana yang bukan main-main di saat itu.
Dalam sebuah rapat kecil, mereka yang berkumpul di Fakultas
Filsafat merasa harus menajamkan kontradiksi yang ada dengan
dua cara: pertama, membuat gerakan simbolis bahwa Suharto
harus diturunkan. Dan yang kedua, membuat sebuah gerakan
yang secara tegas bisa memberi pernyataan ke masyarakat luas
bahwa gerakan yang sekadang ini memanas bukan hanya sah
dilakukan oleh mahasiswa, melainkan dilakukan oleh seluruh
elemen masyarakat.
Untuk misi yang pertama, ditunjuklah Hamcrut untuk
mengetuai sebuah kelompok kecil yang bisa mempraktikkan misi
tersebut, di antara mereka terdapat Jemek, Toni, Iwan Tipu dan
Ambar (salah satu mahasiswa ISI juga). Sedangkan untuk misi
kedua ditunjuk beberapa mahasiswa perwakilan dari berbagai
fakultas.
Kelompok pertama, membuat desain yakni dengan cara
membuat patung Suharto, yang kelak akan dibakar di tengah
ribuan massa. Sedangkan kelompok kedua, juga akan melakukan
aksi pembakaran jaket mahasiswa sebagai simbol bahwa saat itu
yang melawan Suharto bukan hanya mahasiswa.
Sekarang masalahnya adalah, dari mana dan bagaimana cara
membuat patung Suharto dengan ukuran yang besar? Jemek
lalu teringat, di tempat Teddy ada kerancangkeranjang bambu
berbetuk lonjong. Keranjang-keranjang tersebut, menurut
rencana Teddy, akan dipakai untuk bahan membuat sebuah
karya instalasi. Segera jemek dan beberapa temannya pergi ke
tempat Teddy. Setelah diberi tahu apa yang mereka butuhkan dan

166

untuk apa, Teddy dengan senang menyuruh mereka mengambil


barangbarang yang dimilikinya itu. Barang-barang itu kemudian
diangkut ke Fakultas Filsafat, dan oleh Iwan Tipu, Toni
serta Ambar, keranjang-keranjang lonjong itu lalu disatukan
memanjang, dan tepat di bagian atasnya, sebuah gambar Suharto
ditempel.
Paginya, ketika arak-arakan muncul dengan berbagai jaket
UGM, massa dari kelompk radikal tidak memakai jaket almamater
UGM. Berbagai elemen mahasiswa lain dari perguruan lain,
bahkan dari rakyat di sekitar UGM mereka ajak serta.
Awalnya ketika ribuan barisan radikal itu bergabung di
Gedung Pusat UGM, di sana mereka disambut belasan ribu
mahasiswa yang memakai jaket almamater. Begitu tahu ada satu
barisan panjang yang bergelora, para panitia juga menyambut
dengan hangat. Orasi demi orasi dilakukan, termasuk salah
satunya dilakukan oleh Amien Rais. Ketika suasana sudah
mulai memanas, patung panjang yang semula dibungkus plastik
hitam di bagian kepalanya itu, akhirnya dibuka. Serentak massa
kelompok radikal berteriak, Bakar! Bakar! Bakar Suharto! Bakar
Suharto!
Tahu hal tesebut, beberapa panitia dari pihak Senat Mahasiswa
Universitas panik. Mereka berlarian turun dari podium, mencegah
agar kelompok mahasiswa radikal tidak malaukan aksi gila itu.
Tetapi teriakan massa radikal ternyata disambut teriakan ribuan
massa mahasiswa yang lain. Api pun berkobar, membakar simbol
sosok yang paling menakutkan sepanjang 32 tahun ia berkuasa.
Setelah sukses membakar patung Suharto, mahasiswa radikal
mengumumkan bahwa mulai detik itu, setiap aksi mahasiswa
tidak boleh eksklusif, dan sebagai simbolnya, mereka membakar
jaket mahasiswa UGM. Begitu para mahasiswa tahu bahwa jaket
almamaternya dibakar, mereka pun mencopot jaket yang mereka
kenakan, sebagai simbol bahwa mereka menyetujui cara berpikir
dan berpolitik mahasiswa kelompok radikal.

167

Beberapa bulan setelah itu, ketika Suharto terjungkal dari kursi


kepresidenan, aksi pembakaran patung Suharto diklaim oleh
beberapa pengurus Senat Mahasiswa UGM sebagai aksi mereka.
Mereka yang ketakutan di saat situasi genting, selalu unjuk gigi
di saat situasi menang. Sebuah hukum alam.
--ada bulan Agustus 1997, di saat kondisi politik nasioanal
mulai memanas, Teddy mesih sempat berpameran
dengan kedua kawannya, Toni dan Hafiz. Pameran itu
diselenggarakan di Erasmus Huis, Jakarta, dengan tajuk: Sebuah
Percakapan. Pameran kemudian dilanjutkan pada awal tahun
1998, di Bentara Budaya Yogyakarta.

Di pameran bentara Yogyakarta itulah, Teddy membuat


lukisan-lukisan di atas kanvas kain loreng militer. Lalu ia
membuat sebuah karya yang sangat monumental, dan karya ini
sekarang sedang dicari dan dilacak oleh banyak orang karena
menghilang dari peredaran.
Karya tersebut berupa karya intslasi. Bentuknya adalah lukisan
Suharto yang cukup besar, dan di sekeliling gambar Suharto itu
dikelilingi oleh renda berwarna pink. Lalu karya itu dipajang
dengan cara dimasukkan ke kelambu yang juga berwarna pink.
Karya itu diberi judul: Seumur Hidupku. Menurut Teddy, alasan
dipilihnya judul itu sangat sederhana, karena di saat ia lahir pada
tahun 1970 sampai ia dewasa (saat itu berumur 27 tahun), hanya
Suhartolah presiden Indonesia dan tidak pernah diganti.
Tetapi sayang, karya tersebut dilarang untuk ditampilkan di
Bentara Budaya. Tahu kalau karya itu dilarang, Toni marah. Ia
hendak menarik diri dari keikutsertaan pameran itu. Namun
kemudian baik Hafiz, Toni dan Teddy akhirnya bisa bicara
dengan kepala dingin. Mereka bisa mengerti kekhawatiran pihak
Bentara Budaya, dan akhirnya Teddy merelakan karya yang
dianggapnya sebagai salah satu karyanya yang cemerlang tidak
dipajang.

168

Karya tersebut akhirnya diserahkan Teddy ke Hamcrut.


Terserah mau kamu apakan, Crut. Semoga berguna. kata Teddy
saat itu.
Di tangan Hamcrut, karya tersebutpernah dipajang di
Gelanggang UGM dalam sebuah pameran, di saat aksi-aksi
reformasi masih bergulir. Di dalam kelambu berwarna pink, di
depan gambar Suharto yang dikelilingi renda berwarna pink
juga, Hamcrut meletakkan barang-barang yang didapatnya
ketika berbagai bentrok antara mahasiswa dan aparat terjadi. Di
sana ada kaleng gas air mata, sandal demonstran, pecahan perisai
polisi, bekas bom molotov, dan masih banyak lagi yang lain.
Sebuah respons karya yang lauar biasa atas sebuah karya yang
juga luar biasa.
Tetapi sayang, sampai sekarang, Hamcrut pun tidak tahu di
mana karya Teddy itu berada. Itulah salah satu kelemahanku,
barangku saja aku kerap lupa kutaruh di mana, apalagi barang
orang. Aku merasa bersalah kepada Teddy ungkapnya, suatu
saat, ketika peristiwa itu sudah hampir sepuluh tahun berlalu.
Bahkan Hamcrut pun tidak ingat, kalau tidak dipaksa
mengingat, bahwa pada tahun 1993 ia pernah membuat karya
instalasi berjudul Mendongkel Kursi Tua, sebuah judul yang
akhirnya menjadi kenyataan, hanya berselang 5 tahun setelah ia
membuat karya itu. tahun 1998, kursi tua itu terdongkel sudah.
Dan tahun itu menjadi batupal penting di jelujur riwayat republik
ini.

169

Taring Padi
Unjuk Gigi

EIDI Arbuckle, seorang mahasiswa seorang mahasiswa


dari Australia, datang ke Indonesia, lebih tepatnya ke
Yogyakarta, di saat kondisi politik Indonesia sedang
memanas, tahun 1996. Saya datang ke Indonesia karena ingin
belajar jathilan. Ungkapnya, mengingta niatan pertamanya
datang ke Indonesia saat itu.
Ia mengenal kesenian jathilan karena saat ia masih belajar
di jurusannya saat kuliah di Australia, di jurusan Antropologi,
beberapa materi kuliahnya terutama di mata kuliah antropologi
seni, ada beberapa bahan bacaan yang berisi tentang kesenian
semacam reog atau jathilan. Hal itulah yang menarik perhatiannya.
Apalagi saat masih duduk bangku sekoah menengah, ia juga
belajar teater, di mana di saat itu ia diajari soal olah tubuh,
meditasi dan sebagainya. Begitu tahu ada kesenian seperti reog
dan jathilan, ia langsung berpikir, Wah, ini satu tingkat di atas
teater yang kupelajari, nih. Sebab ada yang sampai kerasukan
segala
Sejak muda, Heidi memang tertarik dengan hal-hal yang
berbau seni dan ilmu sosial. Sebelum kuliah di antropoligi,
ia pernah setahun kuliah di jurusan jurnalistik karena ia ingin
menjadi seorang wartawan. Kemudian ia pergi ke Vietnam dan
Kamboja, berharap saat itu bisa menulis sebuah buku mengenai
kehidupan di kedua wilayah yang di waktu itu, di mana penuh
dengan berbagai persoalan politik. Tetapi ketika ia berada di
Kamboja, situasi begitu kacau. Ada terdapat banyak kasus
kekerasan dan penculikan. Sebagai seorang anak muda yang
masih berumur 19 tahun saat itu, akhirnya ia memutuskan untuk
pulang ke Australia.
Ketika pulang itulah, ia merasa untuk menjadi seorang jurnalis
yang baik, tidak harus mengambil kuliah di ilmu jurnalistik,
melainkan harus masuk ke antropologi dan etnografi. Akhirnya
ia memutuskan untuk kuliah dengan mayornya mengambil studi
antropoligi, dan minornya mengambil ilmu politik.

173

Sebelum kuliah, sebetulnya Heidi sudah pernah mengambil


pelajaran Bahasa Indonesia di kegiatan intrakuler, dan di luar itu,
ia mengambil kursus Bahasa Vietnam. Alasannya saat itu sangat
sederhana, ia merasa Australia dekat secara geografis dengan
Indonesia dan Vietnam, dan kebetulan saat itu, dalam usia yang
masih sangat muda, masih duduk di bangku sekolah menengah,
ia sudah tertarik dengan isu-ise seputar pembangunanisme.
Saat ia datang ke Indonesia, ia hampir lulus kuliah, tetapi
kebijakan universitasnya memperbolehkan, beberapa mata kuliah
yang belum ia selesaikan, bisa digantikan dengan mengikuti kuliah
di UGM selama satu semester. Begitu selesai kuliah di UGM, ia
langsung kuliah di ISI, masuk Fakultas Seni Pertunjukan, dengan
harapan ia bisa mendapatkan pengetahun soal kesenian yang
menjadi fokus perhatiannya: jathilan.
Tetapi kenyataannya, di ISI ia justru mendapatkan mata
kuliah yang sudah ia pelajari menyangkut teater, seperti metode
teater Stanislavsky. Akhirnya ia memutuskan untuk melakukan
penelitian langsung ke lapangan, melalui Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Departemen Pendidikan
Nasional), untuk pergi dan melakukan penelitian di Ponorogo.
Tetapi keinginannya itu kandas karena Departemen P & K tidak
mengijinkan. Saat itu bagi orang pemerintahan, mungkin mereka
merasa aneh jika ada orang asing (baca: orang dari luar negeri)
yang ingin mempelajari kesenian Indonesia, tetapi justru yang
dipelajari adalah kesenian-kesenian yang dianggap pinggiran.
Bagi pihak pemerintah, kesenian tradisional Indonesia saat itu ya
gamelan atau tari-tarian keraton, jenis-jenis kesenian tradisional
yang dianggap adiluhung.
Saat Heidi kuliah di Seni Pertunjukan ISI, beberapa fakultas
sudah menempati gedung ISI yang baru di daerah Sewon, Bantul.
Sedangkan Fakultas Seni Rupa masih menempati gedung ISI
lama, di daerah Gampingan.
Tetapi ternyata Heidi lebih nyaman berada di Gampingan,

174

karena ia menganggap anak-anak di Gampingan lebih mempunyai


kepedulian politik. Heidi bahkan juga sering mengikuti kuliah
seni rupa di Gampingan. Kata Heidi, soal anak-anak Gampingan
saat itu, Sikap mereka sudah jelas. Jadi saat gerakan mahasiswa
sudah mulai tumbuh (lagi), anak-anak ini sudah jelas bagaimana
akan memposisikan diri di dalam gerakan itu. sementara anakanak seni pertunjukan menurutku, tidak sejelas anak-anak seni
rupa.
Memang, Heidi pun sudah mendengar beberapa aktivis lama
dari Seni Pertunjukan seperti Brotoseno, tetapi sejauh yang
diketahui Heidi, saat itu Brotoseno sudah tidak aktif di kampus
lagi, dan kondisi kampus di Seni Pertunjukan tidak seperti kondisi
di kampus anak-anak Seni Rupa yang sudah begitu politis. Ia juga
merasa tidak cocok ketika berbicang-bincang dengan anak-anak
seni pertunjukan. Kalau masih berbincang soal Bertold Brecht,
masih nyambung. Tetapi kalau sudah ngomong soal Augusto
Boal atau Paulo Freire, ia sering dicela orang teman-teman di
kampusnya. Bahkan saat ia mulai bicara perihal Teater Buruh,
salah seorang mahasiswa bilang, Itu bukan teater! Kamu mau
meracuni kami, ya!
Hal-hal seperti itulah yang membuat Heidi tidak kerasan di
kampusnya. Dan ia justru lebih nyaman berada di kampus anakanak seni rupa.
Menarik untuk melacak sedikit latar belakang Heidi, mengapa
ia begitu tertarik dengan hal-hal yang bersifat politik, terutama
yang berhubungan dengan perubahan sosial. Menurut pengakuan
Heidi, hal itu selain disebabkan oleh buku-buku yang dibacanya
saat berada di Australia, juga hasil refleksi dirinya atas keluarganya
sendiri. Keluargaku cukup unik. Bapakku punya latar belakang
aristiokrat Inggris, sedangkan ibuku berasal dari kelas pekerja,
keturunan keluarga imigran dari Yunani.
Heidi menjadi saksi bagaimana perjuangan ibunya untuk
bertahan dalam pola hubungan yang beda strata itu. Perjuangan

175

sang ibu itulah yang terinternalisasi ecara kuat di alam pikir


Heidi.
Ketika tahun 1997 menjelang berakhir, dan kondisi politik
Indonesia semakin naik tensi politiknya, Heidi merasa sedang
akan menjadi salah seorang penyaksi dari sebuah negara yang
akan memasuki babak politik baru. Dulu, ia memang sempat
banyak membaca buku-buku yang sudah memperkirakan
Indonesia cepat atau lambat akan mengalami babak perubahan
yang baru. Tetapi semua buku itu hanya bisa memperkirakan
saja. Sedangkan saat ia berada di Indonesia, ia sudah berada
dalam sebuah pusaran sejarah yang mirip dengan apa yang ditulis
oleh Takashi Shiraishi, sebuah zaman bergerak. Tentu dengan
konteks waktu yang berbeda. Ia berada di sebuah ketegangan
dan penasaran, apakah yang akan terjadi dalam waktu dekat itu?
Tetapi Heidi betul-betul bisa merasakan euforia kondisi politik
Inonesia saat itu.
Ketika suhu politik Indonesia hampir mencapai titik didihnya,
banyak mahasiswa luar negeri yang sedang belajar di Indonesia
diminta pulang oleh negara masing-masing, tak terkecuali Heidi.
Salah satu kakaknya, yang kebetulan bekerja di dpeartemen luar
negeri Australia, bahkan meminta secara khusus kedutaan besar
Australia yang ada di Indonesia untuk memaksa Heidi pulang.
Tetapi Heidi tidak mau. Saat itu, ia merasa sudah menjadi bagian
dari gerakan mahasiswa yang terjadi saat itu, dan ia tidak sudi
meninggalkan sebuah momentum yang mungkin tidak akan
dialaminya dua kali sepanjang hidupnya.
Paksaan lain datang dari pihak yang berbeda. Saat itu, Heidi
sudah mendaftar kuliah, meneruskan S2 di salah satu universitas,
dan sudah diterima. Pihak universitas bahkan mengancam, kalau
Heidi tidak pulang, pihak universitas tidak akan segan-segan
untuk mengeluarkan Heidi. Atas hal itu, Heidi menjawab dengan
ringkas, Ya sudah keluarkan saja
Ke mana-mana, Heidi membawa kamera. Ia tidak ingin

176

kehilangan momentum untuk mendokumentasikan segala


hal yang terjadi, terutama di saat-saat demonstrasi sedang
berlangsung. Dan diam-diam, ia mengagumi keberanian para
mahasiswa, terutama mereka yang sering berkumpul di kampus
Filsafat UGM, sebuah tempat bagi bertemunya para aktivis
radikal dari berbagai kelompok, yang bahkan sudah mengusung
slogan: Revolusi atau Mati!
Dan Heidi tampaknya memang beruntung. Di tahun 1998 itu,
pihak penentang Suhartolah yang menang. Sebab jika seandainya
yang terjadi adalah sebaliknya, mungkin Heidi juga bisa bernasib
buruk.
--enurut versi Icul, sebetulnya mulai semanjak akhir
tahun 1997, perbincangan di kalangan pekerja seni
untuk melakukan atau membentuk sebuah lembaga
yang bisa memberi kontribusi di ranah politik sudah mulai sering
dibicarakan. Pembicaraan itu terutama dilakukan saat banyak
aktivis mulai berkumpul di Fakultas Filsafat UGM. Di antara
nama-nama orang yang mulai getol membicarakan pembentukan
sebuah lembaga seni, kalau dari ISI Gampingan adlah Icul dan
Toni, sementara kalau dri UGM adalah Hamcrut, Kiswondo dan
Tuhan.

Hampir bersamaan dengan mundurnya Suharto dari tampuk


kepemimpinan Indonesia, di saat itu pula, aktivitas kegiatan
belajar-mengajar di Gampingan di pindah ke kampus ISI yang
baru, di daerah Sewon, Bantul. Secara otomatis, kampus ISI lama
mulai kosong, tidak berpenghuni. Hanya satu-dua orang, atau
sekelompok kecil orang saja yang masih sering berada di sana,
terutama untuk minum-minum dan ngobrol sekadarnya.
Tetapi lama kelamaan, kampus ISI Gampingan mulai ramai
kembali, dan perbincangan awal yang sempat diobrolkan di
kampus Filsafat, mulai dibawa Icul dan Toni ke orang-orang
yang sering datang di kampus ISI lama. Dari pembicaraan itu
muncullah gagasan yang semkin mengental untuk mendirikan

177

sebuah lembaga yang bergerak di aras seni dan kebudayaan.


Mereka pun mulai rajin mendudah buku-buku lama, terutama
tentang praktik-praktik lembaga semacam ini yang pernah ada
di Indonesia, serta referensi-referensi asing. Mereka yang intens,
melakukan diskusi itu adalah Toni, Icul, Devi, Manyul, Dodi,
Hestu, Wowok dan beberapa gelintir orang lain.
Hanya kurang lebih 6 bulan setelah Suharto lengser, di LBH
Yogyakarta, sekelompok seniman dengan anggota kurang-lebih
20an orang mendeklarasikan sebuah lembaga dengan nama
Lembaga Budaya Kerakyatan (LBK) Taring Padi. Nama Taring
Padi itu sendiri, di tingkat para pendirinya, punya versi yang
berbeda-beda. Menurut Toni, nama Taring Padi itu diusulkan oleh
Dodi. Dan forum menerima dengan bulat, karena sesuai dengan
keinginan para pendiri Taring Padi, mereka tidk ingin menjadi
sebuah lembaga yang besar, tetapi cukuplah menjadi lembaga
yang kecil namun mampu membuat gatal para penguasa, dan
mampu memberi inspirasi kepada kelompokkelompok seniman
lain. istilah Taring Padi itu sendiri, menurut Dodi adalah istilah
yang ada di kampung halamannya, di Bukit Tinggi, Sumatera
Barat. Di sana, nama taring padi merujuk pada ujung padi yang
sering membuat orang jika terkena benda tersebut akan merasa
gatal-gatal.
Sedangkan versi Icul, nama Taring Padi berasal dari dirinya.
Hal itu, menurutnya, berasal dari konsep, di mana sebetulnya
lembaga ini dibentuk bukan untuk menjadi lembaga permanen,
melainkan seperti komite saja. Kenapa tidak bernama Padi saja,
tetapi mengapa Taring Padi, ya karena niat awalnya seperti itu.
Sedangkan Muhammad Yusuf, atau dikenal sebagai Mat
Ucup, atau cukup dipanggil Ucup saja, sebagai orang yang yunior
saat itu, setahu dia Taring Padi diucapkan oleh Toni yang saat itu
berorasi di sebuah pergelaran musik di Gampingan. Tiba-tiba
Toni naik panggung, berorasi, lalu menyebut kata Taring Padi.
ujar Ucup.

178

Pengurus Taring padi pun terbentuk. Sebagai ketuanya,


terpilih Toni, tetapi lembaga itu tidak menggunakan istilah ketua,
melainkan: presiden. Di jajaran anggota dewan Taring Padi,
mungkin semacam lembaga Legislatifnya, ada sederet nama, di
antara mereka terdapat nama Icul dan Heidi.
Apapun perdebatan menyangkut siapa dan dari mana asal
nama Taring Padi, yang jelas dalam waktu singkat, lembaga ini
mulai dikenal publik luas. Kampung Gampingan yang nyaris
kosong melompong saat itu, mulai digunakan sebagai ajang
berkumpulnya puluhan orang dari berbagai latar belakang. Satu
per satu ruang-ruang di dalam gedung itu yang semula dikunci,
dijebol, lalu digunakan sebagai ruang kerja sekaligus tempat untuk
menginap. Tembok-tembok yang semual kusam, dalam waktu
yang relatif singkat, telah penuh dengan lukisan dan tulisan.
Taring Padi juga semakin dikenal terutama di kalangan aktivis
pro-demokrasi Indonesia. Lembaga ini sering menyumbangkan
poster atau baliho untuk berbagai acara kemanusiaan. Taring
Padi pun mulai mencuat setelah kemudian mereka populer
dengan karya-karya yang bersifat kolektif, setiap karya yang
dihasilkan oleh Taring padi, dikerjakan oleh banyak orang, dan
tidak disebut siapa saja nama pelukisnya. Tidak cukup hanya
dengan itu, mereka kemudian mencuat dengan slogan mereka
yang anti-galeri.
Untuk soal anti-galeri ini, Mella Jarsma punya pendapat. Ia
sebetulnya merasa salut dengan Taring Padi. Tetapi di Yogya,
yang kemudian berhembus, kata anti-galeri itu seakan-akan
menjadi anti-cemeti. Padahal kan Cemeti tidak seperti galeri
pada umumnya ungkap Mella. Dan suatu saat, Cemeti pernah
kepentok sebuah masalah dengan Taring Padi. Saat itu, ada
beberapa anggota Taring Padi yang ikut pameran bersama di
Cemeti. Pameran tersebut kemudian juga akan dilangsungkan
di Bali. Saat pameran yang di Bali hampir berlangsung, secarik
kertas dari Taring Padi, dengan ditandatangani Presiden Taring
Padi yakni Toni, menyatakan bahwa Taring Padi sebagai lembaga

179

keberatan jika beberapa karya anggota mereka dipamerkan di


Bali karena galeri di Bali itu dianggap terlalu komersial. Mella
tentu saja kecewa dengan surat itu, Tetapi kemudian saya dengan
cepat melupakannya.
Taring Padi juga dianggap mempunyai kedekatan dengan PRD,
sebab selain slogan-slogan serta jenis poster yang mereka buat
hampir sama dengan hal-hal yang diperjuangkan oleh PRD, asas
Taring Padi pun sama persis dengan asas PRD: Sosialdemokrasikerakyatan. Tetapi Taring padi sebetulnya tidak ada hubungan
secara kelembagaan dengan PRD, selain bahwa kedua lembaga
ini mempunyai kemiripan isu yang diperjuangkan.
Salah satu kegiatan yang dikenang oleh hampir semua anggota
Taring Padi sebagai kegiatan yang luar biasa, adalah saat mereka
bergabung dengan para petani di daerah Delanggu, Klaten, untuk
membuat acara bernama Festival Memedi Sawah. Acara tersebut
dikerjakan berbarengan antara Taring Padi, LSM Keliling dan
warga desa tersebut, terutama karang taruna di desa itu. Festival
itu menandakan adanya sinergi yang luar biasa antara kelompok
seniman, aktivis, dan warga masyarakat. Dan yang paling penting
adalah kontekstual dengan permasalahan yang ada. Karena saat
itu, sebagian warga Delanggu yang menanam padi dengan sistem
pertanian organik, lebih lambat panen dibanding yang menanam
padi dengan sistem pertanian non-organik. Akibatnya, padi-padi
mereka diserbu oleh sekawanan besar burung. Memedi-memedi
sawah yang artistik itulah yang berfungsi mengusir sekawanan
burung tersebut.
--engan sekejap pula, sarang Taring Padi di bekas kampus
ISI Gampingan menjadi magnet bagi puluhan bahkan
ratusan orang, terutama yang menaruh perhatian kepad
seni, apapun bentuk seni itu. Belasan grup punk dari berbagai
kota sering berkumpul di sana. Para pengamen jalanan juga
banyak yang hidup di tempat itu. Singkatnya, Gampingan, di
mana banyak ruang kosong, dengan air dan listrik gratis, menjadi

180

surga bagi para seniman jenis tertentu.


Tetapi berbagai masalah kemudian menerpa Taring Padi.
Masalah pertama, hubungan politik mereka dengan PRD
merenggang. Pasalnya, banyak anggota PRD yang disersi atau
dipecat dari lembaga tersebut, kemudian pindah ke Taring Padi.
Menurut Icul, sebetulnya antara Taring Padi dan PRD tidak ada
masalah, namun sering kali masalah itu dibuat atau diperuncing
oleh orang-orang di luar Taring Padi. Ada misalnya orang-orang
dari Jakarta yang datang dan kemudian membuat gosip yang ini
atau itu tentang PRD
Masalah lain muncul dari konteks politik lokal. Gampingan,
dianggap sebagai tempat seks bebas dan tempat peredaran barang
narkotika. Padahal dari dulu kalau yang namanya mabukmabukan, waktu masih sebagai kampus ISI pun sudah biasa
kata Toni.
Tetapi di saat itu, terutama di akhir tahun 1999, berbagai
kelompok yang menamakan dirinya identik dengan nama Islam
dan menggunakan simbol-simbol Islam, mulai mempertunjukkan
perilaku kekerasan. Kantor-kantor PRD dan sekretariatsekretariat
mahasiswa yang dianggap radikal, diserbu. Mendengar hal itu,
Taring Padi sebetulnya mempersiapkan diri untuk menghadapi
kelompok tersebut jika mereka menyerbu Gampingan. Toni
menjelaskan, Kita sudah koordinasi dengan banyak kawan dari
berbagai tempat di Yogya, dan mereka siap mendukung kita jika
Taring Padi diserbu.
Tetapi saat taring Padi benar-benar diserbu kelompok
tersebut, kebetulan saat itu kebanyakan anggota Taring Padi
sedang berada di luar kota, dan sebagian yang lain sedang berada
di pantai Parangtritis. Akibat penyerbuan itu, seorang anak muda
dari Bandung yang kebetulan menginap di taring Padi, dihajar
massa penyerbu, sampai harus kehilangan salah satu ginjalnya.
---

181

onflik internal pun mulai terjadi. Icul merasa, kalau Taring


Padi semakin hari sudah semakin menjauh dari apa yang
dicita-citakan semula. Taring Padi berubah menjadi
semacam industri orderan bagi banyak lembaga untuk pesan
poster dan baliho
Masih menurut Icul, banyak anggota Taring Padi yang
jika diajak mengorganisir malah mangkir. Pernah suatu saat,
kami bertiga, aku, Devi dan Dodi membantu Mulyono untuk
mengadvokasi ke daerah Ponorogo. Begitu kami pulang karena
butuh sumberdaya manusia yang lebih banyak lagi, tidak ada
yang mau berangkat.
Taring Padi, menurut Icul, sudah tidak lagi secara praktik, sesuai
dengan ideologi yang dianutnya. Icul menengarai, munculnya
anggota-anggota Taring Padi yang baru, yang saat Taring Padi
dibentuk, tidak bisa memahami ideologi yang dianut oleh
Taring Padi. Hal seperti itulah yang menurut pengakuan Icul,
membuatnya putus asa lalu memutuskan keluar dari Taring Padi.
Sedangkan menurut Heidi, fraksi itu mulai muncul karena
memang ada perbedaan cara pandang atas hal tertentu di
kalangan orang-orang Taring Padi sendiri. Heidi memberi
contoh, misalnya saja soal gender, yang bagi dia sangat prinsip.
Saat itu, anggota Taring Padi yang perempuan sangat sedikit,
dan Heidi mengusulkan agar Taring Padi mulai merekrut dan
melibatkan banayk perempuan, supaya lebih punya warna yang
lain, sekaligus bisa menunjukkan kesadaran mereka atas relasi
yang timpang antara laki-lai dan perempuan. Tetapi salah satu
anggota Taring Padi menyeletuk, mengeluarkan solusi, Ya
sudah, cowok-cock Taring Padi cari pacar sebanyak-banyaknya,
lalu duruh masuk saja ke Taring Padi.
Jawaban seperti itu tentu saja mengecewakan Heidi. Hal
lain yang menurut Heidi sangat mengganggu pikirannya saat
itu berkaitan dengan paradigma orang-orang Taring Padi,
menyangkut kelompok tertindas lain. Heidi kembali memberi

182

contoh, Suatu saat ada seorang kawan yang gay dari Kanada.
Karena di Taring Padi sudah biasa, orang tidur bersama banyak
orang, kawan itu pun tidur bersama mereka. Tetapi begitu salah
satu orang tahu kalau teman dari Kanada itu seorang gay, mereka
menjadi ribut minta ampun. Padahal tidak terjadi pelecehan
seksual di sana.
Juga Heidi memberi contoh perihal kasus lesbian. Suatu saat,
ada temannya, seorang lesbian datang dari Jerman. Heidi sudah
menjelaskan ke hampir semua orang Taring Padi kalau si cewek
seorang lesbian. Tetapi tetap saja banyak anak taring padi yang
mendekati cewek itu. Hal-hal seperti itulah yang membuatku
pusing, ujar Heidi.
Selebihnya, menurut Heidi, ia sangat menikmati hidup di
lingkungan Taring Padi. Termasuk gaya hidup kolektif di sana.
Mereka masak bareng, dan membicarakan banyak hal secara
bersama-sama. Dan sekalipun ada banyak orang di tempat itu,
karena ruangannya sanagt banyak, aku tetap masih punya waktu
untuk bisa menyendiri, sekadar membaca atau menulis.
Tetapi kemudian masalah yang mendera Taring Padi hampir
serempak berdatangan. Setelah diserbu oleh sebuah gerombolan
dengan cara kekerasan, malsah lain mulai muncul di Taring Padi.
Misalnya ada orang kampung sekitar yang datang membawa
golok karena tidak suka dengan salah satu orang yang sering
nongkrong di taring Padi. Lalu ada pula salah satu orang yang
datang, kemudian tinggal di taring Padi, tak lama kemudian
orang itu melarikan anak orang. Dan hal-hal seperti itu semakin
lengkap dengan perginya satu demi satu anggota Taring Padi yang
lain, entah pergi untuk sementara, atau pergi karena keluar dari
Taring Padi. Dan sebagai gong bagi rentetan masalah tersebut
adalah saat Taring Padi menerima surat dari pemerintah daerah
dan ISI, yang meminta mereka agar segera meninggalkan gedung
di Gampingan tersebut.
---

183

cup yang saat itu menjadi presiden Taring Padi pusing


bukan kepalang. Akhirnya Taring Padi dipindah ke daerah
Sewon. Karena saat itu lembaga tersebut sedang tidak
punya uang, mereka hanya mampu menyewa kantor yang hampir
ambruk. Selama enam bulan, anggota Taring Padi yang menyusut
menjadi kurang dari sepuluh orang, hanya berkonsentrasi untuk
mendirikan rumah kontrakan itu agar layak dijadikan sekretariat.
Tetapi lambat laun, anggota Taring Padi yang berpencaran
pun mulai terhubung kembali. Kegiatan Taring Padi mulai
menggeliat lagi. Bahkan keberuntungan kemudian mendatangi
Taring Padi karena ada salah satu lukisan mereka yang terjual
senilai 20 juta di Malaysia. Uang itu kami tabung, karena Taring
Padi bercita-cita ingin punya sanggar sendiri, ujar Ucup.
Sayang, tek berapa lama, gempa menggedor Yogya. Sekretariat
Taring Padi di daerah Sewon pun luluh-lantak. Tetapi peristiwa
itu juga menjadi semacam sengsara membawa nikmat, karena
tiba-tiba banyak bantuan datang ke Taring Padi. Bantuan itulah,
ditambah dengan tabungan Taring Padi, yang akhirnya bisa
membuat Taring Padi sanggup punya sanggar sendiri.
Kini, memang Taring Padi telah mempunyai sanggar sendiri.
Sanggar itu terletak di daerah Sembungan, Bangunjiwo, Bantul.
Tepat di sebelah sanggar Taring Padi, studio Teddy pun sedang
dibangun di sana. Dan hanya sepelemparan batu dari tempat itu,
Toni menyewa sebuah rumah, yang dijadikan studio sekaligus
tempat tinggalnya.

184

Hal
Seperti Ini

Sudah Cukup Buatku

ETIKA Heidi lebih sering berada di Gampingan,


dibandingkan berada di kampus ISI Sewon, karena
di Gampingan ia merasa lebih nyaman dan lebih
mendapatkan suasana politis, terutama pada semester akhir
1997, ia beberapa kali melihat Toni. Dan tentu saja, sedikitbanyak menyaksikan kiprah Toni di era yang sedang bergolak itu.
Tetapi saat itu aku belum menyimpan perasaan apa-apa sama
dia kata Heidi.
Kemudian, suatu malam, di awal tahun 1998, ia diundang
oleh beberapa anak ISI untuk mengikuti sebuah rencana
mengadakan demonstrasi. Saat Heidi datang di rapat itu, ia
merasakan rapat yang diikutinya tidak jelas, apa mau mereka,
dan bagaimana teknisnya. Tiba-tiba datanglah Toni dan Bob,
yang segera mengambil alih forum menjadi sangat dinamis, dan
semakin mengerucut. Maklumlah, saat itu baik Toni maupun
Bob sudah sering melakukan rapat aksi di UGM, sehingga cukup
terampil untuk mendesain sebuah aksi. Rapat itu menghasilkan
kesepakatan untuk mengadakan demonstrasi di DPRD Yogya.
Tetapi tiba-tiba Toni bertanya ke Heidi, Kamu datang ke sini
untuk apa?
Heidi menjawab, ya tentu saja ia ingin ikut terlibat dalam aksi
demonstrasi. Mendengar jawaban Heidi, Toni kemudian bilang,
Ya hati-hati ya, di sana banyak intel dan kemungkinan besar aksi
itu akan kacau.
Dalam hati Heidi akan sebal mendengar ucapan Toni. Heidi
merasa sudah terbiasa ikut demonstrasi. Tetapi Heidi mulai
merasa penasaran dengan Toni, dan ia menduga hal sebaliknya
juga terjadi. Kayaknya itu cara Toni mencuri perhatianku. kata
Heidi sambil tergelak, tertawa ngakak mengingat peristiwa itu.
Saat demonstrasi terjadi, Heidi mengaku, Saat itu aku
mencari-cari Toni. Hanya penasaran saja..
Toni tidak ada di aksi demonstrasi itu. Baru kemudian, ketika
ada aksi seni peristiwa, Heidi tahu kalau Toni sedang memakai

187

topeng dan terlibat di seni persitiwa yang ikut menyemarakkan


aksi tersebut. Tetapi apa yag dipesan oleh Toni beberapa malam
sebelumnya, saat rapat aksi digelar, benar-benar terjadi. Terjadi
aksi dorongmendorong antara para demonstran dan pihak aparat.
Di tengah suasana yang memanas itu, Heidi kemudian
dikelilingi beberapa aparat dan intel yang berpakaian biasa. Ia
dipaksa mengeluarkan kaset videonya. Heidi terpaksa menuruti
perintah itu.
Pulang dari aksi, ia semakin punya rasa penasaran sama Toni.
Tetapi kemudian ia segera tahu, saat itu, Toni sedang menjalin
hubungan dengan seorang perempuan dari Amerika Serikat,
yang kebetulan juga sedang berada di Indonesia untuk sebuah
penelitian.
--omentum yang paling diingat Heidi saat bersua dengan
Toni terjadi pada saat aksi pembakaran Patung Suharto
di Gedung Pusat UGM. Heidi datang ke UGM
bersama salah satu kawannya yang bertugas ikut membantunya
mendokumentasikan peristiwa yang sangat penting itu. ia sudah
mendengar kasak-kusuk yang beredar di Gampingan kalau hari
itu, kelompok radikal yang terkumpul di Fakultas Filsafat UGM
dengan wadah komite bernama Komite Perjuangan Rakyat untuk
Perubahan (KPRP) akan membakar patung Suharto. Sebuah
langkah yang membuatku sangat antusias, jelas Heidi.

Heidi sudah berada di Gedung Pusat UGM sebelum barisan


radikal KPRP datang. Ketika kemudian barisan itu datang,
ribuan mahasiswa UGM yang sudah berada di tempat tersebut
memberi sambutan yang meriah. Nama KPRP memang sudah
mulai dikenal sebagai sebuah komite yang pertama sekaligus
berani. Nyaris tidak ada harian lokal di Yogya saat itu, yang absen
dari pemberitaan menyangkut komite ini.
Di barisan depan KPRP, terdapat seni pertunjukan yang
dilakukan oleh salah satu elemen pendukung KPRP, dari

188

kelompok pengamen yang menamakan dirinya Serikat Pengamen


Indonesia. Dan tiba-tiba mata Heidi terbelalak, sebab di antara
orang-orang yang sedang melakukankegiatan seni peristiwa itu,
ada seseorang memakai pakaian petani serba hitam, lengkap
dengan caping, topi khas petani yang terbuat dari bambu. Orang
itu membawa poster yang teracung dengan tangkai bambu, di
poster tersebut ada gambar Suharto dan terdapat tulisan merah
menyala: Tolak Suharto! Heidi tahu, orang yang berpakaian
petani itu adalah Toni.
Hari itu, Heidi memang lumayan capek, karena ia harus
pontang-panting memanggul kamera untuk mendokumentasikan
peristiwa penting itu. Tetapi hatinya juga menjadi antusias
untuk hal yang lain, ia melihat Toni di hari itu, dalam sebuah
pertunjukan yang memukau.
Setelah peristiwa itu, Heidi bukan hanya semakin sering
berada di Gampingan, bahkan ia mulai sering pula menginap di
tempat itu. Suatu saat, ketika sedang berada di tempat kosnya,
tiba-tiba muncul Toni. Ia mengajak Heidi untuk mengikuti rapat
di Gampingan. Mereka berdua kemudian berangkat ke sana.
Rapat itu berusaha mendesain sebuah selebaran, tetapi dengan cara
yang agak berbeda. Alasan para peserta rapat di forum itu sederhana,
selebaran yang biasanya hanya berisi tulisan, tidak mudah untuk
dipahami oleh rakyat. Dan oleh karena itu, mereka ingin membuat
versi selebaran yang bergambar, sehingga mudah dipahami.
Heidi saat itu mulai mempertanyakan, siapa yang dimaksud
dengan rakyat itu? atau lebih tepatnya rakyat yang mana?
Barulah kemudian mereka menjelaskan, kalau yang menjadi
tujuan dari selebaran itu adalah para penjual di warung-warung
kecil, dan para tukang becak. Alasan mereka pun cukup masuk
akal, di warung-warung kecil seperti itulah terjadi semacam
pertemuan berbagai orang dari kalangan bawah, dan para tukang
becak adalah semacam kabar berjalan karena mobilitas mereka.
Ide itu menurut Heidi sangat cemerlang dan khas.

189

--ubungan Heidi dan Toni semakin akrab, apalagi saat


Taring Padi terbentuk, dan saat Toni ditunjuk sebagai
Presiden taring Padi, serta Heidi menjadi salah satu
anggota Dewan Taring Padi. Heidi semakin sering menginap di
Gampingan, dan kaget ketika ia pulang di rumah kontrakannya,
ternyata aliran listrik di rumah kontrakannya sudah disegel PLN
karena belum dibayar sampai beberapa bulan.

Akhirnya, suatu hari, Heidi diantar Toni untuk menyelesaikan


urusan di kantor PLN, dan listrik di rumahnya akan bisa menyala
dalam dua hari ke depan. Kemudian mereka berpisah, Toni punya
sebuah urusan, dan Heidi juga punya urusan yang lain.
Setelah menyelesaikan urusannya hari itu, pada malam harinya,
Heidi pulang ke rumah kontrakannya. Walaupun saat itu listrik
di rumahnya belum menyala, Heidi tidak merasa khawatir, karena
ia punya banyak penerangan dari lilin, yang ditaruh di beberapa
pojok rumahnya.
Tetapi betapa kagetnya Heidi, saat ia sudah membuka kunci
pintu depan, dan masuk ke rumahnya, ia mendapati lilin-lilin di
ruangannya sudah menyala. Heidi heran sekaligus merasa agak
takut, sebab dialah satu-satunye penghuni tempat itu, sekaligus
satu-satunya orang yang memegang kunci rumah itu.
Lebih kaget lagi ketika Heidi masuk di dalam kamarnya. Di
sana sudah tergeletak Toni dalam keadaan tidur, dan Toni tidur
di tempat tidurnya!
Perasaan Heidi saat itu campur-aduk, antara kaget, sebal dan
geli. Akhirnya malam itu, Heidi tidur satu tempat tidur dengan
Toni. Tidur dalam arti harfiah. Tidak terjadi kontak fisik di antara
mereka berdua.
Semenjak kejadian itu, hubungan Heidi dan Toni semakin
dekat. Tetapi saat itu belum begitu jelas perasaanku sama dia
kata Heidi.

190

--aat hubungan antara Heidi dan Toni semakin dekat, saat itu,
Heidi sedang punya pacar, demikian juga Toni. Heidi dulu
yang kemudian memutuskan hubungan dengan pacarnya,
walaupun saat itu hubungannya denga Toni pun belum jelas.
Mantan pacar Heidi sepertinya tidak bisa menerima keputusan
itu, hampir tiap hari, si mantan pacar selalu tidur di depan rumah
kontrakan Heidi, di sebuah ayunan. Tapi beginilah kenang Heidi
soal Toni di saat-saat seperti itu, Tapi gilanya Toni, ya. Dia itu
cuek saja dengan mantan pacarku itu. Dianggapnya orang itu
tidak ada.

Ketika kemudian perasaan Heidi kepada Toni semakin jelas,


Toni masih tetap juga menjalin hubungan dengan pacarnya yang
dari Amerika itu. Akhirnya Heidi meminta ketegasan Toni,
Bagaiman dengan pacarmu? Kalau kita jalan berdua, kamu harus
bikin keputusan. Barulah kemudian Toni memutuskan pacarnya.
Tetapi ada hal lain yang menghantui pikiran Heidi saat itu.
Ia merasa mempunyai ikatan dan komitmen yang jelas dengan
Taring Padi. Ia khawatir, jika suatu saat terjadi apa-apa antara dia
dan Toni, bisa menjadi masalah juga buat Taring Padi. Apalagi
Heidi merasa, Taring Padi-lah saat itu organisasi satu-satunya
yang telah mantap ia pilih, dan di sana pulalah ia merasa apa
yang dibaca dan diimpi-impikannya terwujud.
Kelak, kemudian, apa yang dikhawatirkan oleh Heidi benarbenar terjadi. Tetapi dalam sebuah situasi yang lebih subtil.
Suatu saat, Heidi bau pulang dari Australia untul liburan natal.
Begitu sampai di Indonesia, seperti biasa, banyak orang yang
berkumpul, untuk sekadar kangen-kangenan danmenyambut
kedatangannya. Di saat itu, tiba-tiba ada orang yang baru datang,
orang itu tidak tahu kalau di antara beberapa orang yang sedang
membentuk beberapa gerombolan terdapat Heidi. Si orang yang
baru datang itu dengan tanpa merasa berdosa, segera berteriak ke
Toni, Ton, tadi ada telepon dari

191

Sebelum orang itu menyelesaikan kalimatnya, ada orang lain


di sana yang segera memberi isyarat, bahwa ada Heidi di situ.
Tepat di saat itu, Heidi merasa ada sesuatu yang telah dilakukan
Toni selama ia berada di Australia, dan tepat di saat itu pula, ia
menauh rasa syak kepada lembaganya, untuk kali pertama.
Heidi kemudian mendesak Toni untuk menjelaskan apa yang
sebetulnya terjadi selama ia berada di Australia. Barulah kemudian Toni
mengaku, kalau ia menjalin hubungan dengan seorang perempuan.
Pengakuan Toni adalah luka pertama Heidi atas hubungan
mereka. Tetapi ada hal lain yang menurut Heidi aneh menyangkut
komunitas Taring Padi. Hubungan Heidi dan Toni jelas
diketahui oleh semua oarang yang berada di sana, dan hubungan
Toni dengan perempuan yang lain juga diketahui oleh meraka
semua. Tetapi kenapa mereka diam? Hal seperti itu merupakan
masalah bagi Heidi. Menurut Heidi, bukankah sebaiknya orangorang di Taring Padi meminta penjelasankepada Toni sejauh
mana hubungannya dengan perempuan itu. Atau, orang-orang
Taring Padi bisa bertanya ke si perempuan, sebetulnya hubungan
perempuan itu dengan Toni seperti apa? Kemudian orang-orang
Taring Padi bisa memberi tawaran solusi kepada Toni, paling
tidak supaya Toni mengaku kalau sudah punya pacar, atau kalau
Toni tidak bersedia, orang-orang Taring Padilah yang akan
memberitahu.
Heidi tentu saja marah kepada Toni, lalu ia menawarkan
agar hubungan mereka bersifat hubungan terbuka saja. Artinya
mereka tetap berpacaran, tetapi jika kemudian salah satu dari
mereka tertarik dengan orang lain, mereka bisa melakukannya,
dengan catatan harus saling berterus terang. Toni keberatan
dengan tawaran Heidi itu. Ia bahkan sempat menangis sambil
sujud di lantai, meminta maaf dan bersumpah tidak akan
mengulangi perbuatannya.
Heidi akhirnya memaafkan. Tetapi peristiwa itu telah menakik
di perasaannya, menjadi sebuah catatan di dalam album batinnya.

192

Pada tanggal 22 Agustus 2002, Heidi dan Toni menikah di


Australia. Pernikahan itu pun punya kisahnya tersendiri.
--aat itu, Toni ingin berkunjung ke orang tua Heidi, sekaligus
mempersiapkan sebuah acara Taring Padi di Australia.Tetapi
proses kedatangan Toni ke Australia ternyata berbelit-belit
karena tepat di waktu itu, pemerintahan John Howard sedang
menghadapi masalah pengungsian besar-besaran terutama dari
warga Afganistand dan Irak.

Semua prosedur yang seharusnya dilakukan oleh pihak Heidi


sebagai pihak yang mengundang Toni, majal berhadpan dengan
birokrasi Australia. Heidi otomatis mencakmencak. Ia mendatangi
kantor dinas imigrasi, dan bertanya sebetulnya persyaratan
apalagi yang kurang? Petugas imigrasi juga bingung, lalu mereka
menawarkan solusi, karena mereka tahu dari keterangan yang
diberikan oleh Heidi bahwa Heidi dan Toni bertunangan, mereka
menyarankan agar prosesi itu menjadi mudah, disuruh saja untuk
bilang kalau kedatangan Toni ke Australia adalah dalam rangka
melamar Heidi, untuk kemudian menikah.
Setelah beberapa saat berpikir, dan mendiskusikan hal
itu dengan ibunya dan juga kepada Toni, Heidi mengiyakan
permintaan dinas imigrasi. Sekalipun sudah mengikuti saran dari
pihak dinas imigrasi, visa Toni baru bisa kelar setelah 6 bulan.
Dan mereka, Heidi dan Toni, diharuskan sudah menikah dalam
waktu maksimal 9 bulan, dan menikahnya harus di Australia.
Akhirnya, ketika tenggat semakin mepet, Heidi dan Toni
memutuskan untuk menikah. Persiapan pernikahannya pun
hanya sehari, ujar Heidi.
Ketika keputusan menikah benar-benar hendak diambil, Toni
masih sempat bertanya kepada Heidi, Apakah kamu sudha yakin
jalan ini yang harus kita pilih?
Heidi saat itu menjawab, Ya memang jalan ini yang tersedia
dan yang harus kita pilih.

193

Mereka berdua sebetulnya tidak terlalu peduli dengan selembar


keterangan pernikahan, atau pernikahan yang legal. Bagi mereka,
yang paling penting dan yang mereka hormati adalah komitmen
masing-masing orang untuk menjalin hubungan.
Pesta pernikahan itu dilakukan di sebuah pantai. Malam
sebelum hari H pernikahan, Toni berbelanja makanan, dan
paginya ia memasak, membuat nasi tumpeng beserta seluruh
pernak-perniknya. Sementara itu, Heidi mempersiapkan hal-hal
yang lain, seperti pakaian. Undangan pun disebar ke beberapa
kolega mereka di Australia, termasuk beberapa kenalan mereka
orang Indonesia yang berada di sana. Sebagai saksi resmi
pernikahan mereka adalah Dadang Christanto dan Ucup, salah
satu anggota Taring Padi yang saat itu sedang berada di sana
untuk mempersiapkan pameran Taring Padi di Australia.
Rombongan kemudian segera menuju pantai, tempat pesta
digelar. Begitu sampai di pantai, pesta itu mirip sebuah seni
peristiwa. Toni memakai sarung dan pakaian hitamhitam yang
dipinjamkan oleh Dadang Christanto, lalu Toni memakai caping
petani. Sementara di belakang Toni, Ucup meniup seruling. Dan
selama perjalanan menuju ke tempat pesta itu, Heidi menebarkan
bunga. Namun, bunga yang ditebar oleh Heidi bukannya bunga
yang kebanyakan dipakai untuk prosesi pernikahan di Jawa,
melainkan bunga kamboja, yang di Jawa dianggap sebagai simbok
kematian. Ya yang ada di Audtralia saat itu bunga kamboja, mau
gimana lagi kenang Heidi.
Ternyata sesampai di tempat pesta, sudah banyak orang yang
berkumpul. Saat itu senja hari, dan konon sudah banyak orang
yang datang di tempat itu semenjak siang hari.
Sewaktu sumpah pernikahan dilakukan, ada hal yang membuat
Heidi terharu. Biasa kan ada semacam sumpah yang diucapkan
terus diikuti dengan kalimat to be your wife? Saat menjawab
pertanyaan itu, Toni mengatakan, Yes. Forefer and ever!
Jawaban singkat Toni itulah yang membuat Heidi menangis.

194

Jawaban yang sederhana, tetapi merasuk begitu dalam di hati


Heidi.
Selaiknya sebuah pasangan yang sudah diresmikan, biasanya
mempelai saling bertukar cincin. Tetapi Heidi tidak suka memakai
cincin. Akhirnya ia meminjamkan kalung wasiat dari neneknya
kepada Toni, yang kemudian dikalungkan ke leher Heidi, dan
Heidi memasukkan cincin sederhana ke jari Toni. Tepat di saat
itu terjadi, matahari mulai terbenam.
Pesta pernikahan itu berlangsung dengan meriah, sampai jauh
malam. Pesta berakhir ketika air laut mulai pasang
--ereka berdua sempat memperlama tinggal di Australia
sampai hampir setahun setelah pernikahan itu.
Pada Januari tahun 2004, mereka sudah sampai di
Indonesia. Temanteman mereka di Yogya pun menggelar acara
untuk memperingati pernikahan Heidi dan Toni. Acara digelar
di Kaliurang.

Tetapi ternyata, terlalu banyak badai yang harus dihadapi oleh


kedua pasangan itu. dan badai-badai itu biasanya berasal dari
Toni, ketika Heidi sedang tidak ada di sampingnya. Ia beberapa
kali selingkuh, dan kemudian yang laing tidak bisa dimengerti
oleh Heidi adalah, ia justru tahu bukan dari Toni,melainkan dari
orang lain. Barulah setelah Heidi mengkonfirmasi hal itu ke
Toni, barulah Toni mengaku.
Hingga kemudian terjadi sebuah krisis di diri Heidi, krisis
yang setidaknya dipicu dari dua hal. Pertama, ia mengalami
krisis hubungan dengan Toni. Kepercayaan, sebagai fondasi
sebuah hubungan, sudha tidak lagi dimilikinya terhadap Toni.
Kedua, di saat itu mulai muncul krisis eksistensial di diri Heidi
sendiri. Akhirnya Heidi memutuskan untuk melanjutkan studi
S3 di Australia. Kemudian ia bilang saat itu ke Toni, Ya sudah
hubungan kita terbuka saja.
Awalnya Toni tetap tidak mau dengan pola hubungan seperti

195

itu. Tetapi Heidi tetap menuntut. Aku mau hubungan yang


setara. Dan aku pikir itu solusi yang terbaik bagi hubungan kami.
Hubungan terbuka itu tetap dengan catatan, jika masingmasing orang tertarik dan menjalin hubungan dengan orang lain,
maka wajib berterus terang satu sama lain.
Tetapi kelak kemudian, hubungan itu tetap kandas juga.
Sekalipun mereka berdua sampai tulisan ini ditulis (April,
2008), secara legal masih berstatus suami-istri. Ketika Heidi
mengutarakan solusinya saat pertama kali masalah muncul di
antara kami dengan model open relationship, aku memang tidak
siap secara mental. begitulah pengakuan Toni.
Hubungan Toni dengan perempuan lain selain Heidi,
dilakukan Toni dengan seorang aktivis perempuan, sat Heidi
sedang berada di Australia. Saat Heidi tahu hal itu, Heidi marah,
dan Toni kemudian meminta maaf. Masalah pertama itu, bagi
Toni sudah selesai.
Tetapi Toni mengakui, saat itu ia mulai bertanya-tanya kepada
dirinya sendiri. Di satu sisi, ia terus mengasah ketrampilan
melukis dan berorganisasinya di Taring Padi, di sisi yang lain,
pertanyaan tentang moralitas menerpa diri Toni. Hingga
kemudian, ketika lagi-lagi Heidi sedang berada di Australia.
Saat itu, menurut pengakuan Toni, ia sedang mabuk berat dan
mendekati salah satu teman Heidi. Si teman kemudian bertanya,
Lho terus bagaimana dengan Heidi?
Toni kemudian dengan gampang menjawab, Heidi oke saja
kok, nanti biar aku yang ngomong..
Menurut Toni, ia segera sadar bahwa ia tidak mau melakukan
itu. ia takut akan risikonya, terutama kalau sampai Heidi tahu.
Aku enggak mau nerusin kata Toni, dan memang malam itu
tidak terjadi apa-apa antara aku dan temannya Heidi itu.
Tetapi ternyata Heidi mendengar apa yang terjadi malam
itu. Dari Australia, marah besar kepada Toni. Kemudian Toni

196

lagi-lagi meminta maaf, dan menjelaskan bahwa tidak terjadi


apa-apa antara dia dan temannya Heidi. Waktu Heidi pulang
ke Indonesia, saat itu aku gimbal. Aku segera potong rambut,
dan membuat tato dengan nama Heidi di dada kiriku, lalu aku
menjemput Heidi di Jakarta, kata Toni sambil menunjukkan
tato dengan nama Heidi di dada sebelah kirinya.
Tapi saat itu, Toni sudah merasa telah melukai Heidi
untuk kedua kalinya. Ia kemudian kerap menyendiri di rumah
kontrakannya yang baru, di daerah Langensastran Yogya. Di saat
sering sendirian itulah, saat sedang dirundung masalah, Toni
mengaku ia memasuki apa yang disebutnya sebagai babak lain
dalam proses kreatifnya sebagai seorang perupa. Aku melihat
kupu-kupu hinggap di atas bunga, dan aku mendengar kicauan
burung menjadi semakin jels di telingaku. Hal itu jelas remehtemeh, tetapi hal itu pula yang membuatku mulai berpikir dengan
cara yang berbeda saat melukis.
Tetapi kemudian Toni tertarik lagi dengan seorang perempuan.
Tono mengaku, Aku hanya tertarik secara seksual dengan
perempuan itu
Hubungan Toni dengan perempuan itu kemudian semakin
dekat. Tetapi Toni mengaku, mereka berdua tidak berhubungan
seksual. Namun, Heidi pun kemudian mendengar hal itu. Dan
sekali lagi, hal itu terjadi ketika Heidi sedang berada di Australia.
Peristiwa ketiga inilah yang kemudian memicu keputusan
Heidi bahwa relasi antara dirinya dengan Toni bersifat hubungan
terbuka. Tetapi sekalipun begitu, Toni merasa hubungan mereka
masih baik-baik saja. Setiap Heidi datang ke Jakarta, mereka
selalu berduaan. Tetapi kemudian tiba saat apa yang disebut
Heidi dengan krisis pada dirinya sendiri dan krisis kepercayaan
kepada Toni.
Toni sendiri, menandai hal itu hanya dengan beberapa
peristiwa. Peristiwa pertama terjadi saat Toni membonceng
Heidi. Saat itu, tangan Heidi tidak melingkar di pinggang Toni,

197

itu hal yang aneh bagi Toni. Lalu hak kedua, Toni merasa Heidi
semakin sering mengomentari dirinya, Aku dibilangnya suka
melukis sambil nyimeng, dan yang aneh lagi, aku dibilangnya
tidak suka membaca buku. Aku ituu suka membaca buku.
Hanya saja saat itu karena aku sedang tertarik dengan tumbuhtumbuhan, aku membaca buku-buku tentang tanaman, panjang
lebar Toni menjelaskan hal itu.
Tetapi yang paling membuat Toni tidak habis pikir adalah
ketika suatu saat mereka berdua datang ke sebuah acara tahun
baruan di tempat salah satu teman mereka. Biasa, di acara seperti
itu mereka lalu mabuk-mabukan. Ketika acara usai, beberapa
orang tidur dalam satu ruangan, termasuk di sana ada Toni dan
Heidi. Tetapi begitu Toni bangun, ia sudah tidak mendapati
Heidi di tempat tersebut. Lalu ia bertanya ke beberapa orang,
dan mereka menjwab kalau Heidi sudah pergi. Akhirnya Toni
mencari Heidi, dan mencecar dengan pertanyaan sebetulnya apa
yang sedang terjadi pada hubungan mereka berdua? Pada saat
itulah Heidi mengaku, ia sedang krisis kepercayaan pada dirinya
sendiri dan ada hubungannya dengan Toni. Saat itu, Heidi
meminta agar ia berproses sendirian di Jakarta. Heidi waktu
itu memang sedang melakukan penelitian untuk disertasinya di
Jakarta. Dan ketika Heidi bilang seperti itu, Toni akhirnya hanya
bisa berkata, Oke tidak apa-apa.
Sekalipun Toni mengatakan, Oke tidak apa-apa, tetapi
sesungguhnya yang terjadi adalah Toni stres berat. Aku ngedrop.
Benar-benar ngedrop. katanya. Aku tidak boleh menengok
Heidi ke Jakarta. Paling-paling aku hanya bisa menghubunginya
lewat telepon, itu pun jarang diangkat. Kalau aku mengirim
sms, hanya kadang-kadang saja dijawab, itu pun seperlunya. Sat
seperti itulah, aku sering menangis sendirian di rumah. Karena
aku aku itu merasa kalau cintaku, sayangku, itu buat dia.
Pernah suatu saat, Toni diundang untuk menghadiri
pembukaan pameran di Jakarta. Saat itu, dari Yogya, ia ingin
membuat kejutan untuk Heidi, karena Toni yakin, Heidi pun pasti

198

menghadiri pembukaan pameran itu. Tetapi sampai di Jakarta,


dan ketika semakin mendekati areal pameran, aku kembali
ngedrop. Aku bahkan tidak berani masuk ke ruang pameran itu
dan hanya duduk-duduk di luar. Aku melihat dari luar, Heidi
berada di dala. Dan aku hanya berni nelepon dia, berkata: Heidi,
kalau kamu mau ketemu aku, aku berada di luar. Aku enggak mau
ketemu orang-orang. Aku ngedrop
Selang kurang-lebih sejam kemudian, Heidi keluar menemui
Toni. Heidi saat itu bertanya, Kamu kenapa?
Toni hanya bisa menjawab, Enggak tahu ya, aku ngedrop
saja
Kemudian Heidi menyarankan agar Toni pulang saja ke
tempat kontrakannya. Saat itu, Heidi mengontrak rumah dengan
beberapa temannya. Lalu Toni bertanya, Terus kamu mau ke
mana?
Aku mau ada acara sebentar
Aku boleh ikut, enggak?
Enggak boleh. Sudah, tunggu saja aku di rumah.
Toni kemudian pergi ke rumah kontrakan Heidi. Selama berada
di rumah kontrakan Heidi, Toni merasa lama sekali menunggu
Heidi pulang. Sampai akhirnya, dengan setengah menangis, ia
menelepon Heidi, menanyakan apakah ia akan pulang atau tidak
malam itu? Heidi menjawab kalau malam itu ia pulang.
Benar, Heidi memang pulang malam itu. Dan mereka pun
tidur dalam satu tempat tidur. Saat itu, Toni merasa sangat
bahagia sekali.
Setelah tiga hari berada di Jakarta, Toni mulai merasa tidak
enak dengan Heidi. Dan memutuskan esok harinya akan pulang
ke Yogya. Malam menjelang paginya ia pulang, pada dini hari,
Toni terbangun. Ia tidak mendapati Heidi di sampingnya. Lalu ia
keluar kamar mencari Heidi. Ketika ia mendapati Heidi sedang

199

duduk-duduk di ruang tamu, Toni bertanya, Kamu kenapa sih,


Heidi?
Saat itu, seingat Toni, Heidi menjawab kalau ia merasa gerah.
Kemudian muncullah kalimat-kalimat yang menurut Toni sendiri
merupakan kalimat yang ndangdut banget. Mengingatkan dulu
saat mereka sama-sama tinggal di Yogya dengan kasur yang
lepek, dan lain sebagainya. Tetapi tampaknya Heidi tidak begitu
merespons omongan Toni. Akhirnya Toni bilang, Aku memang
besok mau pulang ke Yogya kok
Menjelang Heidi balik ke Australia untuk menyelesaikan
disertasinya, Tono dan Heidi sempat bertemu lagi. Mereka
kemudian memutuskan untuk menjalani hubunga terbuka, dan
sama-sama tahu risiko terbesar dari hubungan mereka adalah
bercerai.
--aat Toni berada di Yogya dan Heidi berada di Australia,
kembali Toni menjalin hubungan seorang perempuan lagi.
Pacar baru Toni, begitu tahu kalau Toni masih menjalin
hubungan dengan Heidi menuntut agar Toni ngomong ke Heidi
soal hubungan mereka berdua. Pacar baru Toni pun sebetulnya
juga sedang punya pacar, dan dia ngomong ke pacarnya kalau
sedang menjalin hubungan sama Toni. Di diri Toni sendiri, ia
sebetulnya mau ngomong ke Heidi, tetapi dia mencoba mencari
waktu yang tepat. Naas bagi Toni, sebelum waktu yang tepat itu
didapatkannya, Heidi sudah terlebih dulu tahu. Dan Heidi tentu
saja marah sama Toni, terutama soal ketidakberanian Toni untuk
berterus terang. Toni semakin linglung, dan merasa semakin
membuat deretan luka di batin Heidi bertambah banyak.

Sedangkan hubungan Toni dengan pacar barunya pun menarik


untuk disimak. Pacar baru Toni tahu betul kalau hubungan
mereka hanya bersifat sementara. Dan ia sadar juga, tidak
mungkin menggantikan posisi Heidi di hati Toni.
Bahkan, kalau aku kangen sam Heidi, aku itu menangis di

200

dada pacarku itu ungkap Toni.


Tapi Toni, tetaplah Toni. Selesai menjalin hubungan dengan
pacar barunya itu, ia mendapat pacar yang baru lagi. Baru di saat
itu, Toni memberi kabar kepada Heidi. Tetapi jawaban Heidi
saat itu justru membuat Toni kembali menangis, merasa bersalah
lagi. Menurut Toni, Heidi bilang saat itu, begitu tahu ia menjalin
hubungan dengan seorang perempuan yang lain lagi, Sebenarnya
kamu itu sama aku bagaimana sih?
Pertanyaan Heidi itu membuat Toni semakin merasa
bersalah. Sepertinya Heidi merasa sangat sakit hati dan gagal
menyembuhkan luka-lukanya yang disebabkan olehku, kata
Toni, Saat itu dia sepertinya benar-benar kehilangan kepercayaan
kepadaku. Aku juga heran, kok bisa ya aku seperti itu
Hal seperti itu, juga berhubungan dengan beberapa kegiatannya
yang lain, membuat Toni memutuskan untuk tinggal sementara
di Bali. Saat berada di Bali, Heidi memberi kabar kalau ia akan
bekerja di Indonesia, dan akan menyempatkan diri untuk mampir
ke Bali menemui Toni. Pada saat itulah, lagi-lagi menurut Toni,
Heidi mengucapkan sebuah kalimat yang bagi Toni, hal itu
membuat kehidupannya merasa segar kembali. Saat itu Heidi
bilang, Kita sebenarnya masih punya harapan, Ton
Sebulan menjelang kedatangan Heidi ke Bali, Toni
berhubungan dengan sorang perempuan yang lain lagi. Tetapi
kali ini awalnya sebatas teman saja kata Toni mencoba
menjelaskan. Hingga suatu malam, karena ada sebuah acara, Toni
terpaksa menginap di teman ceweknya yang baru itu. Toni sudah
mulai berpikir, bisa saja malam itu akan terjadi sesuatu antara
dia dan cewek kenalannya itu. oleh karena itu, buru-buru Toni
mengirim sms ke Heidi dan bilang, dengan nada halus, Heidi,
aku mau makan malam sama cewek dan kemungkinan besar aku
akan menginap di rumahnya. Kamu oke, enggak?
Lama, tidak ada jawaban dari Heidi. Dan hal itu dipikir Toni
sebagai isyarat bahwa apa yang akan dilakukannya, tidak masalah

201

buat Heidi. Toh mereka sudah berkomitmen untuk menjalani


hubungan terbuka, dan Toni saat itu sudah mengatakan apa
yang kemungkinan terjadi. Malam itu, Toni tidur dengan cewek
kenalannya itu. Kali ini, kata tidur dalam arti konotatif.
Paginya, barulah datang kabar dari Heidi yang berisi komplain
keras, terutama Toni yang suka banget tidur dengan perempuan
lain. Kali itu, Toni bukan hanya ngedrop lagi sebab ia sudah
terlanjur menggantungkan harapannya untuk bisa kembali lagi
dengan Heidi. Tetapi saat itu juga, ia juga bingung. Kata Toni,
Kadang-kadang perempuan itu aneh. Kalau kita terus terang, ia
menyerang. Kalau kita bohong, ia marah.
Heidi memang kemudian tetap menemui Toni di Bali. Di saat
itulah muncul kesepakatan bahwa mereka berdua berpisah. Soal
perceraian secara legal, menurut mereka akan dibicarakan nanti.
Itu perkara yang gampang.
Toni sampai sekarang masih mengaku cinta dan sering kangen
dengan Heidi. Sementara Heidi mengaku ia masih punya ikatan
emosi dengan Toni, walaupun dalam bentuk yang lain, misalnya
rasa peduli. Kalau dia datang dengan pacarnya ke rumahku pun
aku sedikit pun tidak merasa cemburu, kata Heidi. Dan memang
Toni beberapa kali, ketika Heidi sudah berada di Jakarta, sering
mengajak pacarnya main ke tempat Heidi.
Sementara kata Toni, dengan ia bisa akrab kembali bersama
Heidi, boleh datang sesukanya di rumah Heidi dan kembali bisa
berbincang dengan leluasa, itu sudah membuat hatinya gembira.
Toni menegaskan perasaannya, Ya, semacam pertautan hatilah,
rasa yang akrab antara aku dan Heidi. Dan hal seperti ini sudah
cukup buatku...

202

Anaknya
Tiga,

Sulung Semua

OB Sick identik dengan tato. Di sekujur tubuhnya, dari


ujung kaki hingga wajah, semua penuh dengan tato. Tidak
jarang, bagian-bagian tertentu, sebuah tato dilapisi dengan
tato lagi. Soal tato, aku selalu tidak pernah mau kalah dengan
orang lain. pengakuannya suatu kali.
Karena tato itu pulalah, Bob pernah dinobatkan sebagai
Presiden Tato, mengalahkan belasan orang yang lain. Tetapi
jauh hari sebelumnya, Bob pernah dipermalukan oleh seseorang
berhubungan dengan tato. Saat itu, ada pentas kontes tato di
kampus ISI Gampingan. Bob yang merasa dirinya saat itu sudah
mengkoleksi banyak tato, sangat percaya diri kalau ia bakal
memenangi kontes tersebut. Tetapi tiba-tiba muncul seseorang
yang sudah cukup tua, menunjukkan diri kalau ia punya tato di
pantat. Dewan juri segera memenangkan peserta yang sudah
sepuh itu, karena Bob saat itu belum punya tato di pantat.
Sepulang dari kontes itu, Bob segera menato penuh pantatnya,
beberapa huruf di yang ia tatokan di pantatnya membentuk
sebuah nama: Bob Marley.
Saat demonstrasi penggulingan Suharto sedang marak,
Bob dan kawan-kawannya sesama penggemar tato memberi
warna tersendiri di aksi-aksi itu. ia dan kawankawannya selalu
bertelanjang dada, memamerkan tato, dan selalu berada di
barisan paling depan. Mereka lalu mempopulerkan sebuah slogan
yang memelesetkan slogan gerakan mahasiswa saat itu, Rakyat
bersatu tak dapat dikalahkan!, dengan menggantinya menjadi,
Rakyat bertato tak bisa disalahkan!
Selain itu, di mana-mana, entah saat berorasi di depan para
demonstran, maupun saat berorasi di panggung ketika Steak
Daging Kacang Ijo pentas, tampak sekali kebenceian Bob kepada
aparatus keamanan negara. Dan memang, jelujur sejarah Bob
tidak pernah bisa jauh-jauh berurusan dengan aparat.
Urusan pertamanya dengan pihak kepolisian pertama kali
terjadi saat ia digerebek bersama beberapa temannya yang

205

menghisap ganja. Aku sempat masuk Patroli waktu itu, kata


Bob. Yang dimaksud dengan Patroli adalah acara kriminalitas
yang ditayangkan oleh sebuah stasiun swasta di Indonesia.
Tetapi Bob saat itu lolos. Sebab pertama, karena ia memang
tidak terbukti membawa ganja. Aku bawa sebotol minuman
keras. Tidak ada barang bukti di diriku. Dan sebab kedua karena
salah satu aparat yang menciduknya adalah adik kelasnya saat di
SMA. Jam 11 malam aku ditangkap, jam 11 siang aku keluar.
Aku saat itu memang yakin kalau aku akan keluar.
Urusan Bob yang kedua kalinya dengan polisi, berlangsung
lebih dramatis. Nenek Bob, yang dipanggilnya mamak,
kebetulan mempunyai bisnis kos-kosan. Suatu saat si mamak
bilang kepada Bob, ada salah satu anak kos yang bandel dan tidak
mau membayar uang sewa kos.
Lha mamakku salah. Masak dia bilangnya ke aku, saat itu aku
mabuk berat, kata Bob. Mendengar aduan itu, Bob segera naik
pitam. Ia menyengkelit badik, dan mendatangi tempat kos-kosan
neneknya. Saat berada di sana, si anak kos yang bandel itu tahu,
lalu ia melarikan diri. Bob kalap, kemudian ia mengobrak-abrik
kamar kos anak tersebut. Rupanya, si anak kos itu mempunyai
saudara yang bertugas sebagai polisi. Tahu kalau Bob melakukan
pengerusakan, satu mobil polisi mendatanginya. Di situ terjadi
pertengkaran yang menarik.
Saat polisi bertanya mengapa Bob melakukan pengerusakan,
Bob menjawab dengan santai, ia berhak merusak karena si anak
kos membandel tidak membayar uang kos. Lagian sah baginya
untuk merusak, karena rumah itu adalah rumah milik neneknya.
Tetapi karena polisi melihat Bob menyengkelit badik, Bob
dibawa ke kantor polisi. Bob mau, dengan syarat ia tidak mau
naik di bak terbuka, tetapi di depan. Para polisi yang berurusan
dengan Bob saat itu mengalah, Bob berad di depan, para polisi
yang berada di belakang.

206

Sesampai di kantor polisi, salah satu polisi yang tidak tahu


menahu urusan, tibatiba memukul Bob. Menurut Bob, sebetulnya
pukulan itu tidak keras, tetapi hal itu telah menyinggung harga
dirinya. Dengan segera Bob balas menggertak, Kok gitu cara
mainmu? Kamu bener berani sama aku? Ayo kalau berani, kita
duel satu lawan satu, jangan main keroyokan!
Semua polisi yang berada di kantor terdiam. Mereka
tampaknya mulai berpikir lain tentang seseorang yang sedang
mereka hadapi. Tapi kemudian ada satu peristiwa yang membuat
Bob segera dikeluarkan dari kantor polisi itu.
Karena membawa badik dan seperti orang yang sedang teler,
Bob diminta mencopot bajunya. Bob menurut, Sambil pamer
tato, katanya sambil terkekeh.
Lalu polisi meminta Bob mencopot celana panjangnya. Bob
pun menuruti perintah polisi, ia mencopot celana panjangnya.
Ternyata di dalam celana panjang itu masih ada celana panjang
lagi. Polisi lalu meminta Bob mencopot celana panjang kedua.
Bob pun nurut. Tetapi ketika celana panjang kedua sudah dicopot,
masih ada celana panjang lagi. Segitu seterusnya, sampai semua
polisi bengong karena Bob memakai celana panjang rangkap
lima! Akhirnya Bob dilepas malam itu juga.
Lalu tibalah Bob berurusan untuk kali ketiga dengan aparat.
Kali ini, urusan itu begitu panjang, menguras energi, dan
berakibat fatal pada diri Bob. Jejak urusan itu, akan dibawa Bob
sampai ia mati.
Suatu malam, ia menghadiri acara pementasan musik. Saat itu,
Bob menjadi manajer sebuah grup musik bernama Peluru Karet.
Begitu grup musiknya tampil, Bob pun naik ke pentas, Aku kan
orang pentas, kalau lihat panggung, apalagi suasana begitu liar,
aku ngaceng pengin tampil.
Seperti biasa, di panggung seperti itu, Bob sealu memakimaki aparat. Puas dengan aksinya ia turun panggung, dan setelah

207

seluruh pertunjukan bubar, Bob kemudian melenggang sendiri


ke sebuah pub.
Pub itu cukup sering dikunjungi oleh Bob karena ia kenal
dengan pemiliknya. Saat itu, di sana sudah penuh dengan polisi.
Biasa, mereka kan juga senang ngumpulngumpul dan minumminum. Karena merasa gerah, Bob mencopot bajunya. Setelah
cukup minum-minum di tempat itu, ia kemudian pergi dari sana.
Naas bagi Bob, ternyata aksi buka bajunya di pub itu,
menyinggung para polisi yang berad di sana. Tetapi menurut
Bob, Aku sebetulnya sudah lama diincar sejak ikut aksi-aksi 98.
Ketika tiba di tempat yang sepi, Bob dipepet oleh
serombongan orang, yang ternyata adalah para polisi. Ia dicaricari kesalahannya, kemudian dibawa ke sebuah kantor polisi.
Tiba di kantor polisi, salah satu polis bertanya, Kamu itu punya
pegangan apa? Maksud polisi, pegangan itu serupa jimat, yang
membuat seseorang menjadi pemberani dan sakti.
Dasar Bob, bukannya berbaik-baik dengan polisi, ia malah
menjawab seenaknya, Ini peganganku! katanya sambil melempar
KTP-nya. Merasa dilecehkan, polisi itu lalu menonjok muka
Bob. Begitu ditonjok, darah Bob naik. Ia balik menggertak, persis
seperti yang ia katakan tempo dulu saat ia dipukul polisi. Begitu
ya caramu? Oke kalau itu maumu, kita duel saja satu lawan satu.
Kali itu, tantangan Bob dilayani. Hanya satu bukan satu lawan
satu, tetapi satu lawan banyak. Ada setidaknya lima orang polisi
yang mengeroyok Bob saat itu. Bob dipukuli, diinjak-injak, dan
ditendangi. Ketika para polisi itu sudah puas menghajar Bob, dan
saat itu Bob sudah pingsan, ia dibawa ke semak-semak, dibuang
begitu saja. Sepeda motor yang ditumpangi Bob, ditabrakkan ke
sebuah pohon, sehingga jika ada orang yang menemukan Bob,
kesannya adalah kecelakaan.
Tidak berapa lama Bob berada di sana, dengan masih setengah
sadar, ia merasa dijemput oleh mobil patroli lain, kemudian

208

dibawa ke rumah sakit Bethesda. Di rumah sakit itu, Bob tidak


sadar sampai beberapa hari.
Heidi, salah satu orang yang sempat menengok Bob
berkomentar, Jelas itu bukan kecelakaan. Dan keadaan Bob
benar-benar mengerikan.
Saat itu, muka Bob mencong. Beberapa giginya patah. Tulang
rusuk serta tulang belakangnya mengalami cedera berat. Sampai
sekarang, karena peristiwa tersebut, Bob tidak bisa bicara dengan
terang karena gigi dan mulutnya remuk, dan jalannya terpincangpincang karena saraf tulang belakangnya mengalami kerusakan.
Benciku kepada aparat, setelah peristiwa itu semakin menjadijadi. Benci yang akan kubawa sampai mati! ucap Bob dengan
nada bergetar.
--inung, ibu kandung Bob begitu ditelepon pihak rumah
sakit kalau anaknya mengalami kecelakaan yang parah,
segera menuju rumah sakit bersama suaminya, Suharto.
Sampai di rumah sakit, begitu tahu kondisi Bob, Ninung langsung
lemas, Tidak seperti manusia lagi komentarnya mengingat
kejadian itu.

Di hadapan Bob yang tidak sadar dan dalam keadaan koma,


Ninung berdoa, Duh Gusti Allah, menawi lare menika saged
mboten nyusahaken piyambakipun utawi kula, nyuwun diparingi
gesang. Menawi lare menika badhe nyusahaken piyambakipun
kaliyan keluwarga, menawi badhe Panjenengan pundhut, kula
sampun ikhlas, ya Allah.. (Ya Tuhan, kalau anak itu (Bob) bisa
tidak akan menyusahkan dirinya dan diri saya, saya meminta agar
ia tetap hidup. Tetapi kalau ia akan menyusahkan dirinya sendiri
dan keluarga, kalau memang Kamu minta, saya sudah ikhlas, ya
Tuhan)
Tetapi setelah dirawat lebih dari sebulan di rumah sakit
Bethesda, dan kemudian di rawat juga lewat pengobatan
alternatif, Bob akhirnya sembuh, walau tidak mungkin pulih

209

seperti sediakala. Soal kesembuhannya itu, Bob hanya bisa


berkata, Kalau tidak karena doa ibuku, kayaknya aku mati
Tetapi ketika Bob sembuh, ia sekaligus juga menangis dalam
hati, karena merasa hutang-hutangnya kepada keluarga besarnya
semakin menumpuk. Saat itu kalau tidak salah, biaya pengobatan
rumah sakitku saja berjumlah 47 juta kata Bob.
Sementara soal apakah yang menimpa Bob itu kecelakaan
biasa atau karena disiksa oleh aparat, Ninung hanya pasrah.
Saya hanya berdoa kepada Tuhan, karena itulah satu-satunya
yang bisa saya lakukan. Saya meminta keadilan Tuhan. Dan
saya yakin, Tuhan pasti adil. Dan saya yakin, kalau memang Bob
tidak kecelakaan melainkan disiksa oleh pihak-pihak tertentu,
orang-orang itu pasti sudah menanggung perbuatan yang pernah
mereka lakukan.
Namun, ada hal lain yang sebetulnya membuat Ninung lega
begitu Bob sembuh. Itu artinya, ia pasti bisa berguna bagi dirinya
sendiri dan keluarga ungkap Ninung dengan mata berkacakaca.
--ub, kelab malam, atau diskotik dan berbagai tempat dalam
dunia malam, memang bukan sesuatu yang asing bagi
Bob. Semenjak ia lulus SMA, merasakan kebebasan yang
diam-diam ia idamkan, dunia malam adalah satu dari beberapa
hal seperti barang-barang memabukkan dan tato, yang segera ia
cicipi.

Salah satu tempat yang sering dikunjungi Bob, terutama


semenjak tahun 1992, adalah sebuah diskotik yang cukup ternama
di Yogya saat itu: Papillon. Di sana pula, untuk kali pertama, Bob
merasa jatuh cinta dengan seorang perempuan bernama Linda.
Bob mengaku, ketertarikannya kepada Linda berawal dari saat
Linda turun dan berjoget di lantai dansa. Tariannya indah
kenang Bob.

210

Bob tanpa ba-bi-bu, segera berkenalan dengan perempuan itu,


dan tidak menunggu waktu lama, ia segera main ke rumah Linda,
yang saat itu tinggal bersama neneknya. Kebetulan pula, salah
satu tetangga Linda adalah anak ISI, dan kebetulan pula salah
satu sepupu Linda juga kuliah di ISI.
Jalan yang ditapaki Bob cukup lempang, dan cara yang
digunakan Bob untuk mendekati Linda adalah cara khas Bob.
Misalnya ia datang ke rumah itu dengan pakaian ala Superman,
sesuatu yang kelak menjadi salah satu ciri Bob, yakni dengan
memakai celana dalam di luar. Jadi ia memakai celana jins
dulu, dan baru ia memakai celana dalam. Pakaian seperti itulah
yang membuat nenek si Linda tertawa terpingkal-pingkal, dan
anehnya justru mempersilakan cucu kesayangannya untuk diajak
berpergian ole Bob.
Mereka berpacaran mulai tahun 1993, dan setahun kemudian,
Linda hamil. Bob bingung. Ia lalu datang ke tempat Ninung, ibu
kandungnya. Begitu tahu masalah yang dihadapi Bob, Ninung
hanya berkata, Bob, kamu harus berlaku jantan. Kamu harus
bertanggungjawab.
Akhirnya, Bob pun menikah dengan Linda. Pernikahan
itu berlangsung pada awal tahun 1995. Di saat akan menikah,
sudah menjadi tradisi Jawa, kedua mempelai dipingit. Sementara
Linda dipingit oleh keluarganya, Bob memilih memingit dirinya
sendiri di Gampingan. Saat itu hampir tiap hari aku mabuk. Ya
wajar saja, aku selalu didera pertanyaan, betul enggak aku sudah
siap untuk menikah?
Tepat di hari pernikahan, Bob malah lupa. Ia masih dalam
keadaan teler akibat sisa mabuk yang malam sebalumnya ia
lakukan. Ninung segera mencari Bob di kampusnya dan bertanya
dengan nada keras, Bob kowe ki sida nikah apa ora? (Bob, kamu
jadi menikah atau enggak?)
Bob segera tersadar. Ia langsung sadar dari sisa telernya dan
menjawab, Sida, Bu ( Jadi, Bu..)

211

Linda kemudian melahirkan bayi hasil kolaborasinya dengan


Bob. Bayi itu diberi nama: Bimo Chairul Setiawan.
Ketika Bimo mulai lahir, Bob kemudian merasa bahwa ia
ingin sembuh dari ketergantungannya dengan pil koplo dan
alkohol. Apalagi, salah satu sepupunya, nyaris menguras harta
keluarga karena kecanduan putaw. Kemudian Bob, meminta
bertemu dengan keluarga besarnya, dan di hadapan mereka Bob
bilang kalau ingin sembuh dan siap dibawa berobat ke mana
saja. Akhirnya, oleh pihak keluarga, Bob dimasukkan ke sebuah
pesantren di daerah Cianjur, Jawa Barat.
Di pesantren itu, Bob mengaku belajar tentang kesederhanaan
dan kebersamaan. Di pesantren itu, kata Bob, semua makanan
di ambil dari alam sekitarnya, dari sawah, ikannya juga diambil
dari sawah dan sungai, petai dan sayuran juga diambil dari hasil
pertanian pesantren. Dan di sana, kita makan beramai-ramai,
pakai daun pisang, lalu keroyokan. Kadang-kadang lauknya
sangat sederhana, hanya garam, nasi dan biji lamtorogung
Selama beberapa bulan di pesantren, Bob benar-benar tidak
mengkonsumsi alkohol dan pil koplo. Tetapi, diam-diam, jauh
di dalam hatinya, ia merasa bahwa kebebasan yang didambanya
juga lenyap. Aku seperti balik di saat menjadi murid SD sampai
SMA, hanya bedanya kalau di sekolah itu, kita dipatok oleh jam
pelajaran dan seragam, kalau di pesantren oleh jadwal mengaji
dan salat. Sebentar-sebentar, terdengar azan, yang artinya aku
harus salat berjamaah
Pada saat yang sama pula, nalur kesenimanan Bob bangkit
lagi. Aku tidak bisa seperti ini. Aku mungkin akan memasuki
dunia seperti ini kalau aku sudah tua. Bahkan mungkin aku akan
membuat pesantren sendiri. Tapi saat ini, aku harus berkarya,
ini saatsaat mudaku untuk melakukan pencarian dan pergulatan
dalam berkarya.
Bob kemudian pamitan dengan para pengurus pesantren,
bilang kalau ia sudah sembuh dan ingin balik lagi ke Yogya.

212

Sesampai di Yogya, Bob bingung. Kebetulan saat itu, tahun 1999,


nama Taring Padi mulai dikenal publik. Bob ingat kalau ia punya
beberapa sahabat dekat yang ikut mendirikan dan aktif di Taring
Padi. Ia lalu menemui Toni, dan tinggal di Gampingan, markas
Taring Padi.
Setelah berada di Taring Padi, awalnya ia bisa menjauh dari
alkohol dan pil koplo. Bahkan beberapa orang masih ingat, Bob
selalu jika bertemu dengan orang, ia mengajak bersalaman dan
mengucapkan, Assalamualaikum
Tetapi ternyata, hal seperti itu tidak lama dilakukan oleh Bob.
Ia, sebagaimana slogan para pecandu alkohol yang saat itu banyak
mengedarkan stiker: Jauhi alkohol, tetapi jangan jauh-jauh. Bob
pun akhirnya tidak bisa jauh-jauh dari alkohol dan pil koplo.
Ia kembali masuk dalam dunia mabuk-mabukan. Dan hal
seperti itu adalah satu dari sekian masalah yang kemudian
membuat pernikahan Bob dengan Linda kandas. Mengenang
perceraiannya dengan Linda, Bob berkata, Ternyata cerai
itu memang ada, ya Dulu aku tidak membayangkan kalau
perceraian itu ada. Tapi saat aku menghadapinya, baru aku tahu
dan sadar, perceraian itu ada
--ada tahun 2002, seorang penari dari Jakarta, hendak
menuju ke Surabaya, lebih tepatnya ke Mojokerto untuk
mengeksplorasi situs-situs peninggalan Majapahit dalam
rangka sebuah proyek tarian yang sedang digelutinya. Nama
penari itu Okty Budiati, tapi nama panggilannya cukup: Oik.

Tetapi saat itu, uangnya habis di tengah jalan. Ia tinggal punya


uang beberapa ribu rupiah saat sampai di Yogya. Karena ia punya
banyak kenalan di Yogya, akhirnya Oik memutuskan untuk
berhenti saja di Yogya.
Di Yogya, Oik mengunjungi beberapa kenalannya, dan ketika
ia berada di salah satu rumah kontrakan temannya, ia melihat
sebuah lukisan. Saat itu pula, Oik bilang ke temannya, Lukisan

213

itu aku banget!


Si teman memberi tahu bahwa nama pelukisnya, Bob Sick.
Dan Oik segera berkata, Aku pengen dong kenalan sama
pelukisnya
Kesempatan Oik untuk berkenalan dengan Bob akhirnya
terjadi, ketika kedua orang itu sama-sama menghadiri sebuah
pembukaan pameran patung. Dan hanya selang beberapa jam,
setelah berkenalan dan kemudian asyik ngobrol berdua, mereka
kencan. Lalu hanya dalam beberapa hari kemudian, mereka sudah
tinggal bersama dalam satu rumah.
Hubungan antara Oik dan Bob berlangsung dengan naikturun. Kadang mereka mesra, bisa berdiskusi mulai dari soal tarian,
lukisan dan puisi, tetapi dengan cepat mereka bisa bertengkar.
Mereka bisa membicarakan tentang masa depan mereka berdua,
bahwa mereka ingin membuat rumah dari batu, di bagian bawah
studio Oik dan bagian atas studio Bob, tetapi sebentar kemudian
mereka sudah bertengkar lagi.
Bob cemburuan, dan ia selalu melarangku keluar rumah,
terutama di malam hari kata Oik.
Sementara Bob mengaku, Ya aku memang cemburuan. Tapi
bagaimana enggak cemburuan, saat bertemu dengan banyak
orang, ia bersikap mesra dengan orang lain dan aku dicuekin.
Jadinya aku malah kayak obat nyamuk bagi dia dan orang itu.
Kalau keluar malam, aku tidak pernah melarangnya. Aku
mendukung aktivitas berkeseniannya. Aku itu seniman, tidak
mungkin melarang seniman lain mengeksplorasi sesuatu
Dan hanya kurang-lebih sebulan tinggal bersama, Oik hamil.
Menurut Oik, saat Bob dikasih tahu kalau dirinya hamil, Bob
malah pergi. Saat aku hamil, yang banyak merawatku adlah
anak-anak Rumah Panggung, dan pasangan Mbak Yayuk-Ugo
Untoro.
Aku tidak meninggalkannya. Aku berobat. sergah Bob saat

214

dikonfirmasi perihal itu. Bob memang sering merasa ingin


sembuh dari kecanduannya, dan ia memang sering pergi berobat,
terutama lewat pengobatan-pengobatan alternatif.
Kemudian Oik pulang kembali ke Jakarta. Tetapi tidak berapa
lama, Bob menyusul Oik ke Jakarta. Di depan bapakku, ujar
Oik, Bob siap menikahiku. Tetapi aku bilang sama bapakku, aku
tidak ingin menikah!
Bapak Oik tidak memberi solusi apa-apa. Ia hanya bilang,
ia tidak bisa menerima kehadiran Oik dan Bob di rumahnya.
Karena itu, Bob dan Oik pun akhirnya pulang kembali ke Yogya,
dan mereka tinggal serumah lagi.
Di saat bersama Oik itulah, Bob jarang mengkonsumsi obatobatan. Di fase itu, Bob mulai sering terlibat dalam kegiatan
mural dan menjadi manajer grup musik Peluru Karet. Tetapi aku
selalu mengingatkannya agar ia jangan sampai lupa melukis. Aku
sangat tahu, melukis adalah hidup Bob. papar Oik.
Saking besarnya keinginan Oik agar Bob kembali melukis di
atas kanvas, ia sering datang ke tempat Ugo Untoro dan Putu
Sutawijaya untuk meminta kanvas. Begitu Bob tahu kalau
aku suka meminta-minta, ia marah sekali. Tetapi aku enggak
peduli. Aku hanya ingin Bob melukis. Dan akhirnya, ia memang
mempergunakan kanvas-kanvas itu untuk melukis.
Sementara masih dalam keadaan hamil, Oik melakukan
pementasan tari di Kedai Kebun dengan judul Belahan Jiwa. Di
dalam tarian itu, Oik menari dengan setengah telanjang. Begitu
Bob melihat tarian itu, ia marah dan merasa malu, mungkin. Ia
lalu pergi dan tidak pernah nongol sampai beberapa saat.
Sedangkan Bob punya versi yang lain, Enggak, enggak
mungkin aku seperti itu. Aku bahkan bilang: kenapa enggak
telanjang bulat sekalian? Kan tanggung, masak masih memakai
celana dalam?
Pertengkaran-pertengkaran antara Oik dan Bob, masuk dalam

215

taraf yang mengerikan. Kalau sudah bertengkar, kata Oik, sumpah


serapah Bob meluncur, Mulai dari kata pelacur sampai seluruh
isi kebun binatang diabsenin semua
Bahkan mereka juga sering terlibat adu fisik. Awalnya Oik
yang memukul Bob, lalu Bob membalas. Mereka kemudian
saling memukul. Tetapi seperti yang sudah-sudah, dalam
jangka beberapa menit setelah itu, mereka bisa berpelukan dan
berciuman.
Bob menolak keras kalau ia dibilang sering berkalahi secara
fisik dengan Oik. Sekali saja, aku belum pernah memukul atau
menamparnya papar Bob.
Bahkan percekcokan itu sampai pada taraf yang mengerikan.
Kemudian sering sekali, jika mereka bertengkar, Oik memecah
gelas atau botol, dan menyileti tubuhnya, terutama di bagian
tangan dan kaki. Bob hanya diam dan menunduk, lalu
membersihkan bercak darahku di lantai. Kemudian ia pergi.
Menurut Oik, jika sudah seperti itu, Bob hanya bilang kalau
dirinya tidak tahan hidup dengan Oik. Menurut Oik, Bob
menganggap Oik lebih gila dari Bob karena saat Oik gila itu
dilakukan dalam keadaan sadar, bukan dalam keadaan mabuk.
Di saat hubungan antara Bob dan Oik yang semakin memburuk
itulah, Bob mengalami kecelakaan yang membuatnya tidak sadar
berhari-hari, dan harus menjalani pengobatan berbulan-bulan ke
berbagai tempat.
Pada saat Oik sedang mengunjungi Bob di rumah sakit, ia
bertemu dengan Ninung, ibu kandung Bob. Ninung kemudian
bertanya, siapa anak yang sedang dikandung oleh Oik? Saat itu,
kata Ninung, Oik menjawab kalau itu bukan anak Bob. Jadi ya
wajar, kalau kemudian saya tidak pernah menganggap kalau anak
itu cucu saya. ujar Ninung.
Tetapi Bob mengakui kalau itu anaknya. Ibuku boleh bilang
kalau itu bukan cucunya. Itu hak ibuku. Tapi aku menganggap

216

bayi yang dikandung Oik adalah calon anakku.


Bayi itu kemudian diberi nama: Jembar Aji Kalangkuan.
Nama itu pun bukan pemberian Bob, satu-satunya kontribusi
nama atas bayi itu diberikan Bob berupa nama panggilan saja,
sebab anakku kemudian dipanggil Bob dengan sebutan: Panji.
Dan selama Oik melahirkan sampai Panji lahir hingga berumur
beberapa bulan, Bob tidak pernah menengoknya.
Bagaimana aku bisa menengoknya? Aku saja hampir mati.
Berbulan-bulan aku hanya bisa mengurusi diriku supaya aku bisa
sembuh. Justru keinginanku untuk sembuh, salah satunya agar
aku bisa melihat Panji! bantah Bob soal peristiwa itu.
Pertengkaran Bob dan Oik semakin sering terjadi, apalagi saat
Bob sudah mulai sembuh, namun ia hanya bisa berad di dalam
rumah karena belum bisa berjalan. Bob semakin melarangku
untuk berpergian, padahal aku yang merawatnya. Bob itu masih
seperti orang Jawa pada umumnya, istri harus di rumah untuk
melayani suami. Aku sendiri pusing, di satu sisi harus merawat
Panji, di sisi yang lain harus merawat Bob.
Sedangkan menurut Bob, Oik sudah mulai suka berkencan
dengan laki-laki lain, dan Oik sering memanas-manasi Bob.
Pernah suatu ketika, Oik bilang kalau ia selingkuh dengan Teddy.
Mendengar hal itu, tanpa pikir panjang Bob mencari Teddy yang
kebetulan berada di rumah Ugo Untoro. Segera Bob mendamprat
Teddy. Saat itu Teddy hanya diam. Tapi setelah peristiwa itu,
Bob berpikir, ia kenal betul Teddy, terutama kalau Teddy mabuk,
memang ia sering merayu dan genit terhadap perempuan. Dan
jika Oik tidak meresponsnya, pasti tidak terjadi apa-apa. Baru
kelak kemudian Oik mengaku, memang ia tidak melakukan apaapa dengan Teddy, sebatas berpelukan dan berciuman saja. Dan
hal seperti itu sudah biasa dia lakukan kepada kuartet seniman
yang dikenalnya: Bob, Teddy, Ugo dan Toni.
Aku agak menyesal telah marah sama Teddy. Dia hanya
dimanfaatkan oleh Oik saja. Untung saat itu Teddy hanya diam,

217

kalau dia membantah, urusannya bisa tambah panjang kata


Bob.
Oik merasa, hubungannya dengan Bob sangat menyakitkan
hatinya. Dan untuk mengenang itu, ia membuat tato di payudara
sebelah kirinya. Yang mau menato tidak berani, karena saat
itu aku sedang hamil tua, dan aku menato di payudaraku. Tapi
aku mendesaknya. Akhirnya si penato meminta agar Bob ikut
menyaksikan saat aku ditato. Bob pun setelah kupaksa akhirnya
mau. Aku menato ular melingkari puting payudaraku, tubuh ular
itu ular biasa, tetapi kepala ular itu berbentuk kepala naga.
Bagi Oik, Bob menyimpan hal-hal yang kontradiktif. Bob
ingin menjadi seniman yang liar dan bebas, sementara hal itu
tidak berlaku buat pasangannya. Enak di dia, enggak enak di
aku, dong
Lebih lanjut, menurut Oik, Bob masih setengah-setengah
dalam hal keliaran. Liarnya hanya kalau ia mabuk. Lagi pula,
aku sering bertanya, bagaimana sikapnya atas lukisannya dan
kanvasnya jika ia tidak sedang mabuk?
Selama bersama Bob, Oik merasa jauh dari dunia panggung.
Tetapi setelah mereka berjauhan, dan Oik kembali intens
menggeluti dunia panggung, pengalamannya selama berhubungan
dengan Bob itulah yang membuat Oik menghasilkan karya tari
dengan judul: Fragile. Karya itu dipentaskan di Solo, Yogya, Riau
dan Jakarta. Untuk kali itu, Oik benar-benar menari dengan
telanjang bulat.
Bagi Oik, kisahnya dengan Bob cukup sudah. Tetapi ia
mengakui, seluruh jejak yang ia alami bersama Bob tidak
mungkin hilang dari dirinya, untuk selama-lamanya. Ya, seperti
ada jejak Bob yang terus ada di diriku. Di didriku ada: Bob dan
hal-hal yang tidak selesai kata Oik, dan kalimat terakhirnya
itu pelesetan dari sebuah judul buku karya Gunawan Mohamad:
Tuhan dan Hal-hal yang Tidak Selesai.
---

218

ada tahun 2007, Bob menggelar sebuah pameran tunggal


di Gampingan, bekas kampus ISI lama yang kemudian
berubah menjadi Yogya National Museum. Pameran itu
diberi tajuk Happy Birthday NIN. Kata NIN adlah singkatan
dari Naomi Intan Naomi, yang di dunia tulis-menulis lebih
dikenal dengan nama Omi Intan Naomi, kakak kandung Bunga
Jeruk. NIN memang sosok yang sangat dikagumi oleh Bob.
Saat mempersiapkan pamerannya itu, selama hampir dua
bulan, Bob tinggal di Gampingan, selain untuk menyerap energi
kreatif yang konon sangat besar di tempat itu, juga menurut
Bob untuk menguasai medan tempur. Selama di tempat itulah,
Bob ditemani seorang perempuan bernama Widi. Selama
proses melukis di Gampingan itu, Widi adalah rekan Bob yang
menemani dalam hal segalanya.
Hubungan Widi kemudian berlanjut ke jenjang pacaran, dan
kemudian Widi hamil. Mereka lalu berencana untuk menikah
di pertengahan tahun 2008. Dan jika kelak anak Widi hamil,
berarti Bob punya tiga anak, dan ketiganya merupakan anakanak sulung.
Widi ingin anakku bernama Bintang. Hanya Bintang
saja, kata Bob, tapi kalau aku kelak ingin agak nakal, bisa saja
kutambahi nama anak itu menjadi: Bir Bintang.

219

Jari
Kelingking

dan Rasa Bersalah

UNARMI, ibu Teddy, merasa punya perasaan yang kuat


kepada anak-anaknya, terutama kepada Teddy. Setiap kali
terjadi sesuatu kepada Teddy, perasaannya selalu tidak
enak. Karena jarak yang jauh, baik ketika ia masih tinggal di Blora
kemudian pindah ke Kudus dan kemudian saat Siradz sudah
pensiun kemudian keluarga itu menetap di Semarang, Sunarmi
hanya bisa berdoa kepada Tuhan. Tetapi kalau perasaan tidak
enak itu sudah sangat kuat, ia biasanya kemudian memutuskan
untuk pergi menengok Teddy di Yogya.
Pernah suatu saat, bersama Samuel, ia menengok Teddy
ke Yogya. Lagi-lagi, karena ada arus mendesir di hatinya,
mengatakan sesuatu sedang menimpa Teddy. Benar, ketika
sampai di Yogya, dan saat ia masuk ke rumah kontrakan Teddy,
rumah itu tampak sepi, singup, dan berantakan. Di antara remang
cahaya yang menerobos dari sebuah jendela, Sunarmi melihat
Teddy sudah tergeletak, hampir tidak sadarkan diri. Teddy hanya
bisa mengigau pelan.
Ternyata saat itu, lagi-lagi Teddy depresi, tidak makan berharihari dan hanya mengkonsumsi alkohol. Tubuhnya nyaris tak
dapat berhadapan dengan dunia pikirannya sendiri. Dengan
digotong oleh Samuel, Teddy dibawa ke rumah sakit lagi, dan
saat konsisinya sudah pulih, Teddy diperiksakan ke Puri Nirmala,
sebuah klinik yang cukup ternama di Yogya khusus bagi mereka
yang punya penderitaan psikis. Puri Nirmala adalah klinik yang
menjadi langganan baik Teddy maupun Bob, masing-masing
mereka, setidaknya pernah tiga kali keluar-masuk klinik tersebut.
Kelak, dalam suasana yang lebih nyaman, mereka sering mengejek
sebagai sesama alumni Puri Nirmala.
Mengalami berkali-kal kejadian seperti itu menimpa Teddy,
Sunarmi dan Siradz hanya bisa pasrah dan berdoa. Tetapi saya
yakin, kata Sunarmi, Teddy pasti akan sembuh. Pasti. Pasti akan
tiba saat Tuan mengulurkan tangan-Nya, entah lewat apa
Sebagai orang tua, hati siapa sih yang tidak prihatin dengan

223

kondisi anaknya yang seperti itu? tutur Siradz, tetapi kami ini
jaraknya terlalu jauh dengan Teddy, dia di Yogya. Tapi kalaupun
dekat pun, belum tentu bisa berbuat apa-apa. Anak itu punya
jalan masing-masing, yang tidak bis dikontrol oleh orang tua.
Tetapi dari dulu kami percaya, Teddy itu hadir ke dunia karena
kehendak Tuhan Yesus, Tuhan pulalah yang akan mengatur
hidupnya.
Saya berharap satu saja, Teddy tidak jauh-jauh dari gereja,
lanjut Sunarmi, kalau bisa ia jangan sampai jauh dari rumah
Tuhan. Begitu saya tahu kalau Teddy sudah semakin jauh dari
rumah Tuhan semenjak ia berada di Solo, setiap saat, setiap hari
saya selalu berdoa khusus buatnya.
Siradz menambahkan, Dan pada akhirnya kami mendapat
kesimpulan, bahwa kelak tangan Tuhan yang terulur untuk
Teddy, hanya bisa lewat seorang perempuan yang kelak menjadi
istrinya. Kami berdua sangat meyakini hal itu.
--ampaknya, yang mengkhawatirkan Teddy bukan hanya
kedua orangtuanya, tetapi juga Bonyong Munni Ardhi.
Semenjak Teddy pindah dari Solo ke Yogya, ia selalu
memantau perkembangan Teddy, dan setiap ada kesempatan, ia
selalu mendatangi Teddy ke Yogya. Teddy itu punya pemikiran
yang brilian. Sebagai seorang perupa, dia itu luar biasa. Tapi aku
tahu, pergolakan pikiran dan batinnya pastilah keras. Dan hal itu
bisa membahayakan jiwanya. Apalagi Teddy suka mengkonsumsi
barang-barang yang memabukkan.

Pernah suatu saat, ketika Bonyong datang ke Yogya, ke rumah


kontrakan Teddy, darahnya segera terkesiap begitu melihat
lukisan-lukisan Teddy. Dan Bonyong langsung mengudar katakata, meminta Teddy segera mengakhiri cara melukisnya yang
seperti dilihat Bonyong saat itu. Pada waktu itu, Bonyong melihat
Teddy melukis di atas kanvas, tetapi yang dilukis hanya di pojokpojok tertentu, dengan objek-objek yang sangat kecil.

224

Aku punya pengalaman persis seperti itu dengan beberapa


temanku sesama pelukis. Persis apa yang dilakukan oleh Teddy.
Dan aku bisa menandai dengan baik, semua temanku yang
melakukan hal itu, kena depresi akut. Aku meminta Teddy
menghentikan cara melukis seperti itu. aku bilang saat itu:
Teddy, kamu tidak bisa seperti ini! Kamu itu masih muda, kamu
penuh bakat, jangan rusak dirimu untuk hal-hal seperti itu! kata
Bonyong.
Kekhawatiran Bonyong sampai lama terjadi, terlebih ketika
Teddy mulai dikenal sebagai salah satu pelukis yang menjanjikan,
dan karya-karya Teddy mulai laku. Ia semakin sering mabuk.
Dan aku juga mendengar, beberapa kolektor yang nakal sengaja
memberikan barang-barang memabukkan untuk Teddy. Itu
kelakuan yang kurang ajar. Aku juga bilang saat itu ke Teddy:
Ted, kamu diperalat oleh kolektor-kolektor yang jahat. Pintarpintarlah memilih kolektor. Sebab kolektor yang jahat itu
sebetulnya tidak pernah perhatian sama kamu. Yang mereka
pikirkan adalah membeli karyamu sebanyakbanyaknya lalu dapat
untung yang besar. Bahkan mungkin jika kamu mati, mereka
akan senang. Sebab karyamu jadi mahal!
Bonyong bahkan ingat persis, saat ia menceramahi Teddy
soal itu, di rumah kontrakan Teddy tergeletak salah satu pelukis.
Orang itu tidur dalam waktu yang sangat lama. Aku itu bertemu
dengan Teddy jam 9 pagi, dan baru selesai ketika hari mulai
malam. Anak yang tergeletak itu, bergerak pun tidak. Dari sana
aku tahu, Teddy pun sebetulnya tidak jauh-jauh dari hal seperti
itu.
Menurut Bonyong, Mabuk itu boleh, tetapi sekali-kali
saja. Tidak terus-menerus. Kalau pas ada pembukaan pameran
atau pas ada pesta, silakan saja. Tetapi kalau tiap hari mabuk,
bagaimana bisa berkarya?
---

225

ementara itu, Teddy mengaku, ia gampang depresi. Setiap


kali ia putus cinta, ia selalu depresi. Setiap kali mau pameran,
ia juga depresi. Dan setiap kali ada sesuatu yang ia pikirkan
secara mendalam, ia pun depresi.
Kalau pameran tunggal, apalagi jika tidak ada kuratornya, aku
stres berat, begitu pengakuan Teddy, apalagi di awal-awal aku
mulai pameran tunggal. Saat itu, aku msaih sangat idealis, pameran
tunggal itu bukan hanya sekadar memajang karya. Tetapi harus
menampilkan hal-hal termutakhir yang ada di diriku. Harus ada
pernyataan dan pemikiran baru di seni rupa, atau paling tidak
mengisi perkembangan seni rupa pada umumnya. Kalau tidak,
ngapain aku harus pameran tunggal? Hal-hal seperti itulah yang
sering membuatku stres.
Sebagai contoh, adalah saat Teddy awal-awal menggelar karya
instalasi. Beginilah pengakuannya, Waktu itu aku sering meras
enggak pede (percaya diri), sebab karya instalasi belum begitu
populer di sini. Dan aku juga sadar, pemahamanku terhadap
apa itu karya instalasi juga belum penuh. Waktu itu yang ada
di pikiranku hanyalah, aku ingin menggarap karya itu. Lalu aku
juga berusaha untuk mencari tahu apa itu seni instalasi. Aku
banyak cari bahan bacaan dan bertanya ke banyak orang. Tetapi
saat itu tidak memuaskanku. Dan hal itu membuatku semakin
enggak pede. Terus ada ketakutan aku akan diserang dan dikritik.
Padahal kenyataannya ya enggak sejauh itu
Lalu, Teddy mencoba merefleksikan, setelah beberapa
tahun, mengapa ia selalu stres jika akan melakukan pameran.
Dan beginilah kesimpulannya, Aku itu keliru. Kalau aku
akan pameran, terutama pameran tunggal, aku berhenti tidak
menyentuh alkohol. Itu keliru besar. Sebab apa, karena kalau aku
tidak minum, pikiranku akan terus bergerak dan tertuju ke karyakaryaku. Aku tidak bisa beristirahat, dan akhirnya tidak bisa
tidur sampai berhari-hari. Itu salah. Harusnya aku tetap minum.
Sehingga aku bisa tidur. Dan setelah bangun tidur aku bisa fresh
lagi.

226

Kalau sudah stres berat, biasanya Teddy hanya diam, tidak


bisa bertemu dan berkomunikasi dengan orang. Dan biasanya ia
tidak mau makan sampai berhari-hari. Hal seperti itulah yang
kemudian sering membuatnya masuk Puri Nirmala. Menurut
Teddy, Kalau aku sudah seperti itu, hanya ada dua orang yang
bisa kudengarkan, Pak Bonyong dan Dadang Christanto.
Selain panik karena pameran, hal lain yang sering membuat
Teddy stres adalah saat ia mengalami pemikiran yang disebutnya
sebagai pemikiran yang terlalu mendalam, atau kadang-kadang
ia bilang sebagai rasa bersalah. Hal itu pulalah yang membuat
Teddy berani mengambil keputusan agak gila, ia memotong jari
kelingking tangan kirinya dengan kampak sampai putus!
Saat itu, kenang Teddy, teman-teman sibuk berdemonstrasi.
Sementara aku hanya tinggal di rumah terus. Karya-karyaku
semakin laku. Aku mulai berpikir, alangkah kurang ajarnya aku.
Sementara di luar teman-temanku terus bergerak menghadapi
ancaman aparat, aku di rumah enak-enak melukis dan mulai
menikmati uang hasil lukisanku.
Kemudian Teddy melanjutkan kisahnya, Akhirnya suatu
hari, aku kan punya beberapa anjing. Setiap pagi, aku selalu
mencacah-cacah daging dengan kampak untuk makan anjinganjingku, dan ya sudah karena aku stres, kukampak sekalian
saja kelingkingku.
Berita soal Teddy yang stres dan memotong jari kelingkingnya
dengan segera menyebar ke banyak tempat. Hamcrut dan
Jemek berkomentar hampir sama, Teddy terlalu sensitif, padahal
sebetulnya ia mempunyai kontribusi yang besar bagi dunia
pergerakan saat itu. Mulai dari memberi bahan-bahan untuk
seni peristiwa, memberikan lukisannya, dan Teddy paling sering
menyumbang uang untuk berbagai acara kebutuhan demonstrasi
saat itu.
Barulah ketika Teddy mulai kembali main ke Gampingan, di
sana ia bertemu dengan Kiswondo dan Coki Nasution, dua orang

227

anggota komunitas Taring Padi. Mereka berdua lalu memberi


semangat ke Teddy, intinya, Teddy tidak perlu merasa bersalah,
dan ia masih ditunggu karya-karya terbaiknya muncul di depan
publik.
Mendengar hal itu, Teddy mulai merasa tenang. Tinggal satu
lagi yang tersisa, yang penting untuk diketahui, satu hal lagi
yang membuat Teddy sering stres adalah saat ia putus hubungan
dengan pacar-pacarnya.
--epresi berat yang nyaris merenggut nyawa Teddy terjadi
saat ia mengalami kegoncangan hubungan dengan Rita
Oetters. Goncangan kedua, yang berhubungan dengan
putus cinta, dialami Teddy saat ia diputus oleh pacarnya yang
lain, Bunga Jeruk.

Bunga mulai dekat dan kemudian menjalin hubungan kasih


dengan Teddy pada tahun 1997, saat itu, Bunga sudah lulus dari
kuliah. Menurut Bunga, saat itu Teddy sudah sering mengirim
salam buat dirinya lewat teman-teman Teddy. Kemudian, Teddy
mulai sering main ke tempat Bunga. Tetapi menurut Bunga,
Saat awal-awal Teddy main ke rumahku, ia tidak pernah berani
sendirian. Pasti ada yang mengantarnya. Tetapi yang paling sering
mengantar Teddy itu Toni, bahkan mereka sering ke tempatku
dengan membawa becak. Mungkin becak yang dimaksud oleh
Bunga adalah becak yang dibeli secara saweran oleh Teddy dan
Toni untuk Susilo, tukang becak kawan dekat Wiji Thukul yang
kemudian disuruh tinggal di tempat Teddy dan Toni, sekalian
biar bisa belajar melukis.
Selain Teddy mulai dekat dengan Bunga, Teddy juga dekat
dengan kakak kandung Bunga, Omi Intan Naomi, yang saat
itu satu rumah dengan Bunga. Dan dengan Omi pula, Bunga
berkonsultasi soal Teddy yang mendekatinya. Saat itu, menurut
Bunga, Omi berkata, Ya sudah sama Teddy saja. dia kayakanya
anak yang baik.

228

Bunga kemudian sering jalan sama Teddy, dan mereka pun


berpacaran, walaupun tidak ada kata lisan yang menegaskan hal
itu. Tetapi pernah suatu saat, Teddy meminjam sepeda angin
milik pacar Omi. Tapi saat mengembalikan sepeda itu, Teddy
tidak segera memasukkan sepeda ke dalam rumah, melainkan
hanya diparkir di halaman rumah, dalam kondisi tidak terkunci.
Sepeda itu kemudian hilang. Dan Teddy terpaksa menggantinya.
Pada saat itu, harga sepeda angin bukan hanya masih mahal,
tetapi persoalannya adalah kondisi ekonomi Teddy pun belum
begitu jelas, kadang punya uang, dan kadang tidak.
Jemek masih mengingat persitiwa itu dengan baik. Sebab paginya,
Teddy langsung datang ke tempat kos jemek, kemudian rebahan di
tempat tidur, sambil sesekali menempelak keningnya sendiri, lalu
Teddy bercerita, Apes, aku ngilangin sepeda pacar Omi
Awal-awal jalan bareng, menurut Bunga, Teddy belum sering
mabuk. Mungkin karena itu awal pacaran, ya. Kayaknya dia
perlu jaga imej. tutur Bunga.
Tetapi lama-kelamaan, Teddy semakin sering mabuk. Bahkan
sempat membuat ulah di sekitar rumah kontrakan Bunga dengan
menantang berkelahi anak-anak mahasiswa dari Palembang yang
saat itu mengontrak bareng satu rumah, tidak jauh dari rumah
kontrakan Bunga. Untung aku bisa menjelaskan, dan untung
mereka mengerti kata Bunga, bahkan salah satu dari mereka
merawat Teddy yang sedang mabuk berat saat itu.
Tetapi menurut pengakuan Bunga, saat ia sudah mulai agak
lama berpacran dengan Teddy, ia yakin kalau dirinya tidak akan
menikah dengan Teddy. Saat ditanya alasannya, Bunga berkata,
Ya bagaimana, kalau dia cinta sama aku, harusnya dia tidak
mabuk dong. Dia tahu aku tidak suka kalau dia itu mabuk. Lalu,
Teddy menurutku punya kecenderungan sakit jiwa. Dia gampang
banget tiba-tiba benci sama orang tanpa alasan yang jelas. Dan
tiba-tiba pula suka dengan orang yang sama, juga tanpa alasan
yang jelas.

229

Selain hal di atas, Bunga sering mendapati Teddy punya


kelakuan yang aneh. Bunga mencontohkan, saat itu Teddy
punya anjing, dan menurut Teddy banyak orang yang tidak suka
dengan anjingnya. Lalu hampir tiap saat, menurut Bunga, Teddy
seperti mendengar suara-suara asing seperti suara-suara orang
yang hendak membunuh anjingnya.
Selama hampir empat tahun Bunga dan Teddy berpacaran,
Bunga berkali-kali mendapati Teddy masuk ke Puri Nirmala.
Bahkan saat berpacaran dengan Bunga pulalah, Teddy memotong
jari kelingkingnya. Kalau ditanya soal perasaan Bunga saat itu
dengan mengalami Teddy yang keluar masuk Puri Nirmala,
Bunga hanya berkomentar singkat, Ya aku cuek saja. Bahkan aku
sempat mengajak ibuku untuk menengok Teddy di Puri Nirmala,
biar ibuku tahu seperti apa pacarku, sehingga kemungkinan besar
walaupun ia demokratis terhadap anak-anaknya, ia pasti tidak
setuju kalau aku menikah dengan Teddy.
Saat itu, aku hanya bilang dalam hati, ungkap Bunga, Ya wis
karepmu Ted, kalau mau edan ya edanlah sendiri.
Dan ada satu lagi yang membuat Bunga merasa tidak nyaman
dengan Teddy. Kata Bunga, Teddy itu kalau mabuk genit. Sering
godain perempuan lain. Dia itu sebetulnya play boy.
Hingga suatu saat, Teddy pergi ke luar negeri selama dua
bulan, tepatnya di Jerman. Di saat itulah, Bunga merasa, Lho
kok hidupku nyaman banget saat tidak ada Teddy? Peristiwa itu
terjadi pada tahun 2001.
Lalu Bunga berkonsultasi dengan Omi, ia ingin memutuskan
Teddy saat itu pula, saat Teddy tidak ada di Indonesia, karena
di saat itu, hampir tiap malam Teddy selalu telepon Bunga.
Maksudku, biar tak putusin sat dia berada di Jerman. Biar
langsung selesai utusannya.
Tetapi Omi keberatan. Menurut Bunga, Omi saat itu bilang,
Kalau mau mutusin ya jangan lewat telepon. Langsung saja. Ya

230

sudah, tunggu saja sampai Teddy pulang. Bunga pun menuruti


nasihat kakak kandungnya.
Begitu pulang ke Indonesia, dari bandara, Teddy bukannya
pulang ke rumah kontrakannya, melainkan datang ke rumah
kontakan Bunga. Saat itu, Bunga sudah tinggal sendirian, karena
Omi sudah menikah dengan seorang laki-laki keturunan Polandia
tetapi tinggal di Jerman. Sekalipun suami Omi cukup jarang
tinggal di Indonesia, tetapi Omi kemudian memutuskan untuk
mengontrak rumah sendiri, tepat di depan rumah kontrakan
Bunga, hanya dipisah oleh sebuah jalan yang tidak begitu ramai.
Saat Teddy datang, ia benyak membawa oleh-oleh, dan
tentu saja banyak bercerita soal pengalamannya selama di
Jeman. Saat itu, Bunga berpikir, mungkin ia akan memutus
hubungannya dengan Teddy beberapa hari lagi, karena kalau saat
itu juga, kesannya serba mendadak. Namun kemudian Bunga
mengurungkan niatnya, dan di saat itu juga, Bunga ngomong ke
Teddy, hubungan mereka putus saja.
Teddy langsung kaget, bingung, linglung, dan hanya selalu bisa
bertanya, Salahku apa?
Bunga memaklumi respons Teddy, sebab selama 4 tahun
berpacaran, sekalipun sering ribut, mereka belum pernah terlibat
dalam satu peristiwa yang membuat salah seorang di antara
mereka bilang putus. Itu adalah kali pertama Bunga bilang putus.
Malam itu, Teddy tidak mau pulang. Ia berada di rumah Bunga,
tidak tidur. Dan berjalan mondar-mandir, sambil sering bertanya
ke Bunga yang saat itu sudah mengunci dirinya di dalam kamar,
Bunga, salahku apa?
Tetapi paginya, ibu Bunga dartang dari Solo. Akhirnya, karena
ibu Bunga datang, Teddy segera pergi, mengangkat kopernya.
Teddy tetap belum bisa menerima keputusan Bunga untuk
menghentikan huubngan mereka. Teddy sering datang, sering
telepon, bahkan ia pernah dini hari datang ke rumah Bunga,

231

menggedor-gedor pagar, sambil memanggil-manggi Bunga.


Saat itu, Bunga menelepon tetangganya yang bernama Pak
Iwan. Kebetulan Bunga kenal akrab dengan Pak Iwan yang sering
numpang baca koran di rumah Bunga. Bunga segera bilang, Pak
Iwan, itu lho Teddy datang. Suruh pulang saja.
Bunga yang saat itu belum tidur, segera mendengar percakapan
antara Pak Iwan dan Teddy di luar. Pak Iwan bertanya, Ted,
kamu ngapaian malam-malam ke tempat Bunga?
Teddy bilang, Anu Pak, mau ngajak Bunga datang ke
pameran.
Lalu Pak Iwan segera bilang, Pameran apa jam tiga pagi
begini. Sudah kamu pulang saja.
Akhirnya Teddy pun pergi dari rumah Bunga.
Karena Teddy terus mendesak Bunga, dan belum bisa
menerima keputusan bahwa mereka berdua tidak berpacaran
lagi, akhirnya Bunga meminta Omi memfasilitasi kedua orang
itu untuk mencoba berdialog. Tapi dialog itu buntu, ujar Bunga,
engak nyambung. Misalnya, karena waktu dialog itu berlangsung
acara teve menyala, aku mengomentari salah seorang artis yang
ternyata enggak bisa berbahasa Inggris dengan baik, eh Teddy
tersinggung. Dipikirnya, aku sedang menyindir dia.
Dialog menemui jalan buntu. Teddy masih terus berusaha
untuk mendekati Bunga sampai beberapa saat yang cukup
panjang. Tetapi bunga tetap bergeming.
--heresia Agustina Sitompul, sesuai dengan namanya, ia
keturunan Batak. Tetapi sejak kecil, ia hidup di daerah
Jawa Timur, karena bapaknya bertugas sebagai kepala
kehutanan di daerah Gunung Arjono. There, nama panggilan
perempuan itu, sejak kecil suka menggambar dan suka ikut
perlombaan, Tetapi aku tidak pernah menang.

Ketika lulus kuliah, ia memutuskan untuk masuk ISI. Selain

232

karena suka menggambar dan hal-hal lain yang berbau seni, ada
pemicu lain. Salah satu kakak perempuan Tere, pacaran dengan
anak ISI. Karena itu, kakak perempuan There ssesekali bermain
ke Yogya. Suatu saat, si kakak pulang dan membawa oleh-oleh
katalog pameran Erika. There suka sekali dengan katalog itu, dan
ia semakin mantap untuk masuk ISI. Tetapi bapaknya bilang,
Ngapain kamu masuk sekolah seni?
Tetapi There mengangap pertanyaan bapaknya itu hanya angin
lalu saja. There segera mendaftar ISI dengan mengambil jurusan
seni grafis, dan ia diterima. There masuk ISI pada tahun 1999.
Saat awal berad di Yogya, There cukup sering bermain di
Gampingan, di sana pula, ia mulai tahu ada seorang seniman
bernama Teddy, dan sempat beberapa kali melihat pementasan
Steak Daging Kacang Ijo. Mengerikan kalau pentas. Teddy,
vokalisnya, pernah buka celana di atas panggung. Ia juga pernah
terjatuh dari panggung saking pencilakan-nya, sampai mulutnya
nyonyor. Bahkan aku beberapa kali sempat melihat Teddy tidur di
pasar dan di pinggir jalan karena saking mabuknya.
Saat itu, menurut There, ia tidak punya ketertarikan dengan
Teddy. Hanya saja sempat berpikir, Kalau aku punya suami
kayak gitu kelak, gimana ya?
There seorang perempuan yang mandiri. Ia jarang dikirimi
duit oleh bapaknya, tetapi ia tidak pernah mengeluh, Pekerjaaan
apa saja kulakukan supaya aku bisa dapat uang. Mulai dari
jadi jaga pameran, ikut event organizer, tetapi yang paling
menyelamatkanku adalah aku selalu dapat beasiswa. Pokoknya
kalau ada beasiswa apapun itu, selalu kuburu.
Teddy saat itu, sudah menjadi buah bibir di angkatan There,
Teddy dengan polah tingkahnya yang ugal-ugalan dan liar, tetapi
dahsyat di dalam berkarya, membuat temanteman There selalu
menyebut nama Teddy. Tapi There sendiri baru mengagumi karya
Teddy saat melihat karya instalasi Teddy yang berbentuk kepala
manusia yang ada rodanya. Bocah ini jenius, batin There saaat

233

itu.
Hingga kemudian, suatu hari, karena kenal dengan Ucup
Taring Padi, yang saat itu baru menyelesaikan tugas akhirnya,
sengaja saat akan kuliah di ISI Sewon, There mampir ke tempat
Ucup untuk mengucapkan selamat. Di saat itu, ada Teddy yang
sedang nongkrong di tempat Ucup. Begitu melihat ada There,
Teddy dengan gayanya yang sok cuek berteriak, Hei There,
pacaran yuk!
There hanya sempat menoleh sekilas ke arah Teddy, lalu bilang
dengan tidak kalah cueknya, dengan logat Jawa Timurnya yang
kental, Gah aku lek pacaran, lek rabi wae piye? (Tidak mau aku
kalau hanay berpacaran, bagaimana kalau menikah saja?). setelah
berkata begitu, There melenggang pergi, seperti tidak terjadi apaapa.
There kemudian bertemu dengan Teddy lagi saat mereka
berdua sama-sama datangke sebuah acara pameran. Saat itulah,
Teddy meminta nomor telepon genggam There, dengan alasan
yang menurut There tidak jelas. Alasan ndakik-ndakik khas
laki-laki, kata There. Tapi There akhirnya memberi juga nomor
teleponnya, dan ternyata Teddy sudah punya. Arek gendheng!
komentar There saat itu, sudah punya nomor teleponnya kok
masih minta.
Semenjak itu, Teddy sering menelepon There, mulai dari
mengajak melihat truk yang baru saja dibelinya, sampai mengajak
makan malam. Tapi There tahu persis, kalau Teddy menelepon,
berarti Teddy sedang mabuk. Kalau enggak mabuk, enggak
mungkin dia berani nelepon aku, ujar There. Tapi There saat
itu lebih sering menolak ajakan Teddy, sebab di saat seperti itu,
biasanya ia sedang punya banyak kesibukan.
Kemudian Teddy mulai sering datang ke tempat There, tetapi
seperti halnya saat ia mulai datang ke tempat Bunga, Teddy tidak
pernah sendirian. Ia selalu membawa teman.

234

Kadang-kadang, Teddy juga benar-benar bertemu dengan


There di saat acara-acara tertentu. Menurut pengakuan There,
Kalau pas saat seperti itu, Teddy enggak mabuk, dia engak berani
menyapaku. Pas aku pulang, baru dia kirim sms: There, kamu
tadi keren banget! Kalau sudah ngomong gitu terus kujawab:
Gombal!
Akhirnya hubungan mereka berdua semakin dekat, terutama
saat Teddy terlibat dalam sebuah pameran dengan tajuk
Broken Mirror di Galeri Langgeng Magelang. There datang
juga di pameran itu. Saat berada di sana, Teddy semakin sering
berkomunikasi dengan There. Bahkan suatu saat, There diajak
Teddy ke Semarang, menengok orangtua Teddy yang saat itu
sudah pindah ke Semarang. Di dalam bis, Teddy bilang, Aku
ngajak kamu ini gak ada maksud apa-apa, lho. Bukan untuk
ngenalin calon menantu ke mertua.
Mendengar kalimat Teddy, There membalas dengan tak kalah
cueknya, Sayangnya, aku gak pernah mikir seperti itu
Tetapi menarik untuk mengetahui bagaimana perasaan
Sunarmi saat pertama kali melihat There. Saya pernah beberapa
kali bertemu dengan pacar-pacar Teddy. Tetapi begitu bertemu
dengan There, perasaan saya mengatakan: Inilah tangan Tuhan
yang terulur lewat There untuk menolong Teddy.
--here mengenal dengan baik pasangan Yayuk dan Ugo
Untoro. Apalagi Teddy, yang sudah menganggap Ugo
seorang sahabat. There sempat bertanya ke Mbak Yayuk
soal Teddy, dan jawaban Yayuk, Teddy itu kayaknya kalau nanti
sudah menikah dan punya anak bisa berubah. Sementara itu,
Teddy pun sering curhat ke Yayuk soal bagaimana sebaiknya
hubungannya dengan There, dan Yayuk menjawab, Ted, kamu
itu butuh perempuan yang tegas dan galak kayak There.

Kemampuan There menyelesaikan masalah yang berkaitan


dengan Teddy telah banyak teruji. Salah satunya, ketika suatu

235

saat, di tengah malam, There ditelepon dari pihak kepolisian,


memberitahu bahwa Teddy tabrakan. There segera meminta
kedua temannya untuk ikut bersama dirinya menyelesaikan
masalah Teddy. Mulai dari menyelesaikan masalah dengan polisi
dan pihak yang ditabrak Teddy, sampai merawat Teddy yang saat
itu teler berat dan hanya bisa berteriak, Tanganku bagaimana?
Aku takut tidak bisa melukis lagi Saat itu, tangan Teddy
memang cedera. Dan kemudian There membawanya ke rumah
sakit.
Sejak dulu, saat mulai sudah akrab, ungkap There, kami
sudah sering berbagi uang. Teddy itu memang sudah banyak
uang, tetapi tidak pernah jadi apa-apa. Jadi dia juga sering tidak
punya uang. Kalau pas dia tidak punya uang, kebetulan aku pas
punya. Kalau kebetulan aku sedang tidak punya uang, Teddy pas
punya.
Soal Teddy yang memang tidak bisa mengelola uang dengan
baik, juga dikatakan oleh Gandung, orang yang cukup sering pula
mengantar Teddy pulang ke rumah kontrakannya kalau Teddy
sudah mabuk berat. Gandung memberi kesaksian,Pernah, lukisan
Teddy laku 15 juta saat itu. Uang itu habis hanya dalam waktu
seminggu. Dipakai mabuk-mabukan dengan teman-temannya.
Kala seniman lain, masih ada pikiran untuk menabung. Tetapi
kalau Teddy, blas tidak ada pikiran seperti itu. Dapat sekarang,
habis sekarang. Itu prinsip dia saat itu. Yang penting bisa mabuk
dan bersenang-senang dengan kawan-kawannya.
Hubungan There dan Teddy semakin lengket, membuat Teddy
sering menginap di rumah kontrakan There. Pernah suatu saat,
Teddy bilang ke There, Yuk kitanikah saja..
Awalnya There tentu saja kaget dengan kalimat yang meluncur
dari mulut Teddy. Segera There bertanya, Serius kamu?
Teddy menjawab, Serius. Aku sudah capek begini-begini
terus

236

There saat itu juga bilang, Sebetulnya aku juga sudah capek
Hingga kemudian suatu pagi, There secara iseng mengecek
urinnya, dan di sana tertera tanda positif. Teddy yang saat itu
juga sudah bangun tidur, dan sedang dudukduduk di luar, segera
diberitahu There, Gimana, Ted?
Teddy malah tertawa ngakak. Teddy bilang saat itu, Ternyata
aku berhasil ya setelah beberapa hari diet alkohol.
Dengan perasaan tak menentu, mereka memberi kabar ke
orangtua Teddy. Jawaban orangtua Teddy saat itu, Ya sudah,
kapan kalian menikahnya?
Saat There memberitahu bapaknya, si bapak juga berkata,
Ya sudah enggak apa-apa. Kalau enggak begitu, kalian enggak
menikah.
Sebetulnya, There sudah 5 tahun tidak pernah pulang dan
berjumpa dengan bapaknya. Dan pernah suatu kali, There bilang
ke bapaknya kalau ia sudah punya pacar, Tapi orangnya tatonya
banyak, Pak
Jawaban bapak There singkat, Kayak orang pernah dibui di
Nusa Kambangan saja, banyak tatonya
Akhirnya keluarga Teddy melamar There. Kejadiannya pun
unik. There ikut rombongan Teddy dari Semarang, ia bersama
kedua orangtua Teddy, Teddy, dan kakak Teddy bernama Heri.
Jadi yang dilamar datang bersama rombongan orang yang hendak
melamar. Di perjalanan, There bilang, Ted, bapakku galak lho,
kamu tahu, dia orang Batak.
Sesampai di Mojokerto, hari masih sangat pagi. Mereka
kemudian mencari hotel untuk menginap, sambil menunggu
siang hari. Heri dan kedua orangtua Teddy satu kamar, sementara
There dan Teddy satu kamar. There dan Teddy begitu masuk
kamar langsung tertidur, sementara ketiga orang di kamar yang
lain tidak bisa tidur karena omongan There di mobil, juga rasa
bersalah karena Teddy menghamili There duluan.

237

Begitu Teddy dan There sudah bangun, mereka pergi ke kamar


yang lain, dan heran, melihat ketiga orang tsrebut tidak tidur.
Sunarmi bilang ke There, Iya, There. Mami, papi dan Heri tidak
tidur, membicarakan bagaimana enaknya nanti
Sementara itu, Heri langsung bilang ke Teddy, Ted, kalau
nanti kamu dipukul bapaknya There, biar aku yang maju.
There sebetulnya pengen tertawa. Ia memang belum sanggup
membayangkan apa yang akan terjadi di siang nanti ketika
rombongan itu datang ke rumahnya, apalagi There sendiri sudah
5 tahun tidak pulang, pulang-pulang dalam keadaan hamil
sekaligus dilamar, dan yang dilamar datang bersama rombongan
yang melamar. Hanya saja There tidak sempat berpikir kejadiannya
akan semenakutkan yang dipikir oleh orangtua Teddy dan Heri.
Kata There, Bapakku kan sudah lama di Jawa, ibu kandungku itu
sudah meninggal dunia dan bapakku kawin lagi dengan orang
Jawa. Jadi kemungkinan besar, bapakku sudah tidak segalak dan
sekeras dulu.
Ternyata apa yang dipikirkan oleh keluarga There, tidak terjadi.
Mereka diterima pihak keluarga There dengan baik, terutama
justru oleh bapak There. Pertemuan dua keluarga itu berlangsung
dengan singkat. Siang itu juga, rombongan keluarga Teddy
pulang. Dan There juga ikut rombongan Teddy lagi.
--here tahu persis kelakuan Teddy terutama kalau Teddy
terkena minuman keras. Hampir semua orang yang kenal
Teddy, mempunyai definisi yang sama tentang Teddy,
Teddy itu bukan peminum, tetapi pemabuk. Maksudnya, walau
Teddy hanya minum sedikit saja, ia sudah mabuk dan kerap
membuat onar.

There juga tahu persis, kalau Teddy mabuk, Teddy sering


berbuat genit kepada perempuan. Tidak peduli siapa perempuan
itu, pasti akan digodanya dan ingin dimesrainya. Makanya,
semenjak kami menikah, aku tidak mau Teddy mabuk di luar

238

sepengetahuanku. Karena aku bisa galak sama Teddy, kalau perlu


kutonjok pun akan kutonjok.
Tetapi There pun sadar, ia tidak mungkin mengubah Teddy,
apalagi dalam hitungan bulan.Teddy tidak mungkin bisa berubah,
yang paling mungkin hanya mengurangi dan menjaganya, ucap
There.
Dan semenjak menikah, There pelan-pelan mengikuti
perubahan pada diri teddy walaupun sangat lambat. Dia pernah
bilang ke aku: Untung ya Re, aku enggak kecanduan pil atau
cimeng
Mendengar itu, There semakin ingin menegaskan, Kalau bisa
Ted, kamu itu minumnya bir saja. Jangan minuman yang terlalu
keras. Kamu kalau mabuk kewer-kewer itu punya kelakuan yang
buruk.
Karena itu pula, There sangat benci kalau ada kolektor yang
datang dan membawa pil koplo atau kinuman keras. Mereka
itu mau memanfaatkan Teddy saja. Dan There tidak suka kalau
ada teman Teddy yang mengajak Teddy mabuk tanpa ada There,
Mereka kalau ada apa-apa dengan Teddy kan enggak bisa
segalak kalau ada aku.
Tetapi There sadar, Teddy tidak bisa hidup tanpa alkohol. Maka
di rumah There dan Teddy selalu tersedia bir, dan There tahu,
Teddy kalau mabuknya tanggung, karyanya bagus. Karena itu,
There selalu bilang ke Teddy, Ted, kamu kalau minum, minum
bir saja. Kalau mabukmu tanggung, karyamu bagus. Kalau kamu
mabuk berat, bukan hanya kewer-kewer, tetapi juga tidak berkarya
tetapi hanya ngomyang enggak jelas lalu tertidur.
There semakin protektif kepada Teddy saat usia kandungannya
menginjak 8 bulan, Lha kalau tidak kujaga si Teddy, kalau aku
pas mau melahirkan terus dia dalam keadaan teler bagaimana?
Kandungan There memang sudah saatnya menginjak hari-hari
di mana ia tinggal menunggu saatnya untuk melahirkan. Dan

239

bayi yang dikandung There sudah punya nama: Blora Frida.


There mengakui, walaupun Teddy itu pemabuk, sebetulnya
Teddy itu orang yang baik. Dia selalu memikirkan kawankawannya. Kalau ada kolektor datang, dia selalu mempromosikan
teman-temannya yang belum laku. Persis Ugo Untoro. Ugo juga
selalu melakukan hal itu. Teddy juga sering merekomendasikan
kepada galeri agar temantemannya yang jarang ikut pameran bisa
diikutkan kalau ada pameran bareng. Bahkan tidak tanggungtanggung, Teddy dering membelikan teman-temannya kanvas
dan cat yang harganya tidak murah.
Sementara Sunarmi pun menyatakan hal yang sama. Ternyata
nama Darmawan yang kami berikan kepadanya dengan niat agar
kelak kalau ia sudah besar jadi seseorang yang dermawan betulbetul terjadi. Teddy banyak membantu keluarga jauhnya, apalagi
keluarganya sendiri. Rumah saya pun dibangun ulang dengan
biaya yang diberikan oleh Teddy. Tetapi yang paling membuat
saya bahagia, saat Teddy menyumbangkan sebuah lukisannya
untuk gereja. Saat itu, lukisan Teddy laku 7,5 juta, dan semua
uang hasil penjualan karya itu disumbangkan ke gereja
Sunarmi kemudian semakin yakin, Benar keyakinan saya,
There adalah penjelmaaan tangan Tuhan. Doa kami berdua
dikabulkan oleh Tuhan. Dan kami semakin yakin, bersama There,
Teddy kelak akan semakin berubah ke arah yang semakin baik
lagi.

240

NIN

ARI itu, Sabtu tanggal 4 November 2006, Bunga


bangun tidur dengan perasaan biasa saja. Bersama
Andang, suaminya, Bunga segera bermain dengan
Akira, anak laki-laki pertamanya yang saat itu baru berumur 1
tahun, seorang bocah yang mulai gemar memegang dan menelan
sesuatu. Akira mulai tumbuh menjelang fase lucu-lucunya, dan
sepasang suami-istri itu seakan tidak ingin melewatkan setiap
detik pun, kehilangan momentum perkembangan Akira.
Sari, seorang perempuan yang biasa membantu membersihkan
rumah Bunga, dan sekaligus momong Akira jika Bunga mulai
memegang kuas untuk melukis, datang tak seperti biasanya. Ia
datang lebih awal.
Biasanya, tidak seperti itu, sebab Sari, selain membantu
membersihkan rumah Bunga, terlebih dahulu membersihkan
rumah Omi, kakak kandung Bunga yang tinggal di sebuah
rumah, tak begitu jauh dari rumah Bunga. Di rumah itu, Omi
tinggal sendirian.
Mbak, kok rumah Mbak Omi terkunci, ya. Lampunya juga
masih menyala, Mbak Sari, seperti merasa khawatir. Itu jelas
bukan pagi yang biasanya bagi dia, sebab ia tahu persis keseharian
Omi yang baru berangkat tidur menjelang pagi, lalu biasanya
Omi akan mematikan lampu, membuka kunci pintu rumahnya,
agar saat Omi tidur tak perlu lagi membukakan pintu buat Sari
yang akan membersihkan rumah.
Saat diberi tahu seperti itu, Bunga hanya bilang ya sudah, lebih
baik Sari membersihkan rumahnya dulu, baru kemudian ia pergi
ke rumah Bunga. Hari itu, jadwalnya dibalik, karena kalau hari
biasa, rumah Omi dulu yang harus dibersihkan baru rumah Bunga.
Tetapi Bunga berpesan agar Sari begitu selesai membersihkan
rumahnya, segera pergi ke rumah Bunga. Bukan apa-apa, pernah
terjadi suatu peristiwa yang sepertinya sepele, tetapi membuat
Omi terlihat sangat marah. Saat itu, Akira sedang sakit. Bunga
kemudian meminta agar Sari pergi ke rumahnya dulu untuk

243

membantu membereskan pakaian Akira, karena ia dan suaminya


akan memeriksakan Akira ke rumah sakit. Maksud Bunga saat
itu, begitu Bunga dan suaminya berangkat ke rumah sakit, Sari
langsung saja ke rumah Omi. Tetapi di tengah perjalanan, sebuah
pesan pendek dari Omi masuk, ia bertanya mengapa Sari belum
datang juga? Lalu Bunga menjelaskan apa yang terjadi hari itu.
Awalnya, Omi hanya berkomentar kepada Bunga kalau Bunga
terlalu mmemanjakan Akira, sakit sedikit dibawa ke dokter.
Hal seperti itu, kata Omi lewat pesan pendek, akan membuat
Akira tumbuh menjadi anak yang manja. Tetapi lama-kelamaan,
pesan pendek Omi menjadi lebih jelas, ia bertanya dengan
nada agak keras, apakah Sari harus menunggu Bunga pulang
dari memeriksakan Akira? Bunga baru ngeh dengan apa yang
terjadi, segera ia menghubungi Sari meminta agar Sari segera ke
tempat Bunga, tanpa perlu menunggunya pulang.
Maka, begitu di hari itu Bunga merasa pekerjaan Sari sudah
beres, ia meminta Sari agar lekas pergi ke rumah Omi, Nanti
orangnya ngamuk lho, Mbak kata Bunga kepada Sari.
Sari segera berangkat, tetapi tidak lama kemudian, ia datang
lagi dan bilang, Pintunya masih terkunci dan lampunya juga
masih menyala, Mbak
Bunga tetap tidak punya perasaan apa-apa. Ia berpikir, hari itu,
Omi lupa membuka kunci pintu rumahnya dan lupa mematikan
lampu, lalu ketiduran. Bunga hanya bilang, meminta Sari tinggal
di rumah itu sesaat lagi, lalu nanti menyuruh Sari datang lagi
ke tempat Omi dengan membawa serta Akira. Karena, kalau
ternyata pintu rumah Omi masih terkunci juga, Sari tidak akan
berani mengetuk pintu rumah Omi, sebab hal itu akan membuat
Omi marah. Kalau bersama Akira, dan Akira tinggal bilang,
Bude, bude mungkin Omi tidak akan marah.
Hari berangkat siang, melewati batas waktu di mana Omi
biasanya paling telat bangun tidur. Mbak Omi biasanya bangun
tidur antara jam 10 pagi sampai paling telat jam 12 siang. kata

244

Bunga, menuturkan kebiasaan dan jadwal tidur kakaknya.


Bunga segera meminta Sari bernagkat dengan membawa
Akira. Tetapi tidak lama kemudian, Sari balik lagi dengan Akira,
kali itu, nada suara Sari semakin memperlihatkan kekhawatiran.
Mbak, sudah saya gedor berkali-kali tetapi tidak dibukakan
juga
Barulah di saat itu, Bunga merasa khawatir. Ia teringat persis
kira-kira setahun sebelumnya, di bulan November 2005, ada
kejadian yang hampir membuat Omi nyaris direnggut maut. Saat
itu, Sari yang lebih dulu membersihkan rumah Omi, memberitahu
kalau Bunga kalau Omi sakit. Bunga dan Andang segera ke
rumah Omi, yang saat itu masih berseberangan rumah dengan
pasangan Bunga dan Andang yang baru saja menikah. Begitu
masuk ke kamar Omi, Bunga kaget. Ia sudah mendapati Omi
kejang-kejang. Bunga segera meminta Andang untuk memanggil
dokter beserta ambulans. Tetapi Omi sempat melarang. Mbak
Omi memang takut sama dokter. ucap Bunga.
Tetapi melihat keadaan Omi yang sudah seperti itu, Bunga
tidak peduli lagi dengan larangan Omi. Tidak lama kemudian,
dokter datang beserta ambulans yang dipesan. Begitu sudah
mengecek keadaan Omi, si dokter merekomendasikan agar Omi
dibawa ke rumah sakit. Tetapi Omi berontak, ia tidak mau. Hal
itu membuat si dokter bingung. Akhirnya, dokter itu mencoba
memberi pertolongan kepada Omi, sambil menunggui sampai
cukup lama. Untunglah kemudian, keadaan Omi mulai membaik
dengan relatif cepat.
Teringat hal itu, Bunga segera menelepon Andang, yang saat
itu sedang keluar rumah untuk sebuah urusan. Begitu Andang
pulang, Bunga segera meminta Andang untuk mengecek kondisi
Omi. Kalau perlu, dobrak saja pintunya, pinta Bunga. Andang
segera berangkat ke rumah Omi.
---

245

mi lahir pada tanggal 26 Oktober 1970, selisih dua


tahun lebih tua dibanding Bunga. Nama lengkapnya,
sebetulnya Naomi Intan Naomi, tetapi semenjak Omi
menjadi penulis dan penerjemah, ia menggunakan nama Omi
Intan Naomi. Hanya beberapa tahun belakangan saja, ia cukup
menggunakan inisial nama aslinya kalau sedang memberi
keterangan nama penulis atau penerjemah: NIN.
Ibu kandung Bunga dan Omi, seorang guru Bahasa Inggris,
yang sempat mengajar di berbagai sekolah di Solo. Sejak kecil,
mereka berdua memang tinggal di Solo, di sebuah kampung yang
bernama Kandang Sapi. Mereka berdua tinggal serumah dengan
ibu kandung mereka, dan eyang putri mereka. Satu keluarga,
dengan empat perempuan yang bernauh di rumah itu. Bapak
kandung Omi dan Bunga, adalah salah satu sastrawan, kritikus
sastra, dan dosen yang cukup ternama, Darmanto Jatman. Tetapi
sejak mereka berdua lahir, Darmanto Jatman lebih sering bersama
keluarganya yang lain, tinggal di Semarang. Darmanto memang
punya keluarga lain di Semarang, dan ia saat itu mengajar di
Universitas Diponegoro (Undip), Semarang.
Sejak kecil, Omi dikenal sebagai anak yang pemberani dan
suka menyanyi. Kalau kebetulan keluarga itu berkunjung ke salah
satu saudara, begitu pamitan pulang, Omi diminta menyanyi
dulu. Dan Omi dengan penuh percaya diri selalu mau menyanyi.
Baik Bunga maupun Omi, tidak pernah masuk TK. Omi
masuk SD Kristen Margoyudan, Solo. Tetapi dari kelas 1 sampai
kelas 6, Omi selalu mendapat rangking satu. Padahal, menurut
pengakuan Bunga, Omi tidak pernah belajar. Kegiatan Omi
sejak SD sudah banyak sekali, ia ikut paduan suara, ia juga ikut
kursus menari. Di kampung, Omi membuka pelajaran Bahasa
Inggris untuk anak-anak sebayanya yang masih duduk di bangku
SD. Sejak kecil, Omi memang pintar berbahasa Inggris, tetapi
menurut pengakuan Bunga, pengetahuan Bahsa Inggris Omi
didapat Omi dengan cara otodidak, sebab sekalipun sang ibu
guru Bahasa Inggris, beliau tidak pernah mengajari Bahasa

246

Inggris anak-anaknya sendiri. Ibu terlalu sibuk. Ia mengajar di


tiga sekolah. Ia berangkat pagi-pagi, dan pulang di senja hari.
Selain mengajar bahasa Inggris, Omi juga sempat membuka
perpustakaan. Omi memang gemar membaca. Pada hari-hari
libur, Omi, Bunga dan ibu mereka memang sering diminta
bertemu di Yogya oleh Darmanto Jatman yang membawa serta
istri seta tiga anaknya dari keluarganya yang di Semarang. Anakanak dari kedua keluarga itu lalu diajak ke Gramedia, dan masingmasing anak dijatah uang 5.000 rupiah untuk membeli buku.
Bunga mengaku, ia juga selalu membeli buku, tetapi jatahnya
selalu lebih, sehingga ia bisa mendapatkan uang dari sisa jatah
itu. Sementara kalau Omi, jatahnya selalu kurang. Harga bukubuku yang dibelinya, melebihi jatahnya. Tetapi Darmanto tetap
memberikan kekurangan nominal harga yang harus dibayar Omi.
Perpustakaan Omi awalnya berjalan, setiap peminjam diminta
mengganti uang, seingat Bunga, 25 rupiah per buku. Tetapi lamakelamaan, banyak buku yang tidak balik. Akhirnya perpustakaan
itu ditutup.
Masih saat sekolah di SD, Omi sudah membuat majalah
sendiri. Majalah itu semua isinya dibat oleh Omi dan dibagibagikan secara gratis ke teman-temannya. Omi membuat cerpen,
puisi dan gambar-gambar di majalah buatan tangan anak kecil
itu. majalah itu diberi judul Mama Angsa.
Ketika masuk SMP, Omi masuk salah satu SMP favorit di
Solo, SMPN IV. Di SMP, Omi juga jarang belajar. Tetapi ia
tetap mendapat rangking 2. Dan jadwal kegiatannya mulai lebih
banyak lagi. Ia mulai ikut paduan suara, dan mulai memimpin
sebuah geng khusus anak-anak perempuan. Di SMP, Omi sudah
membuat grup tari modern. Saat ada pentas sekolah, grup tari
pimpinan Omi pernah membikin geger karena ada acara bukabukaan baju. Di sebuah upacara bendera, Omi dan kawankawannya disindir keras oleh kepala sekolah mereka. Sejak kelas
1 SMP, Omi sudah berpacaran. Hal itulah yang sempat membuat
eyang putrinya marah sama Omi, sanga eyang berpikir, anak

247

masih bau kencur kok sudah pacaran


Ketika masuk SMA, Omi pun masuk ke SMA yang termasuk
favorit di Solo, SMAN IV Solo. Dan kegiatan Omi semakin
seabreg. Ia mulai ikut teater sekolah dan main musik. Sementara
itu, di luar, ia bergabung dengan kelompok teater yang cukup
ternama di Solo, Teater Gidak-gidik. Saat di SMA, Omi
berpacaran dengan seorang gitaris dari kelompok grup musik
yang cukup ternama di Solo, Solo Rock Band. Di grup musik itu,
kadang Omi juga tampil sebagai penyanyi latar.
Omi nyaris tidak pernah berada di rumah. Ia bukan anak
rumahan. Suatu hal yang kemudian berubah drastis ketika ia
sudah menjelang lulus kuliah, sebab kemudian ia, meminjam
salah satu judul cerpen Seno Gumira Ajidarma, berubah menjadi
Manusia Kamar.
Omi dan Bunga, adalah dua hal yang nyaris berada dlam kutub
yang berbeda. Omi anak gaul, sementara Bunga anak rumahan,
hanya sesekali saja Bunga keluar rumah. Saya takut berada di
jalan raya, begitu pengakuan Bunga. Jika Omi sejak SD sudah
meminta sepeda, dan saat SMP sudah meminta sepeda motor,
Bunga ke mana-mana cukup dengan naik becak atau jalan kaki.
Bunga relatif pendiam, Omi cukup cerewet dan galak. Sebagai
dua bersaudara yang umur mereka tidak begitu terlalu terpaut
jauh, hanya dua tahun, Bunga dan Omi sering berantem, lalu
mereka jothakan, tidak saling menyapa. Dan untuk hal yang
seperti itu, Bunga paling tahan. Kalau Omi tidak mengajak
ngomong duluan, Bunga tidak akan menyapa Omi. Tetapi
sebagai seroang kakak, Omi cukup perhatian dengan Bunga,
bahkan cenderung berlebihan, terutama dalam hal memproteksi
Bunga dari pergaulan yang dianggap Omi bisa membahayakan
Bunga. Di sanalah kontradiktifnya sifat Omi. Di satu sisi, ia
kerap keluyuran, bahkan cukup sering keluarmasuk diskotik, di
sisi yang lain, ia ingin tampil sebagai kakak yang bisa menjaga
adiknya.

248

Pernah suatu ketika, Bunga diajak seorang pemuda untuk


keluar. Pemuda itu, dikenal Omi sebagai seorang play boy, dan
ada gosip yang menyebar bahwa pemuda itu pernah memperkosa
seorang perempuan. Begitu tahu Bunga keluar dengan pemuda
tersebut, Omi menunggu Bunga. Saat Bunga pulang, Omi
mendamprat habis Bunga. Dan kemudian Omi berkata dengan
keras, Nek nganti bocah kuwi macem-macem karo kowe, tak pateni
tenan. Ben, paling mung mlebu penjara 5 tahun! (Kalau sampai
orang itu macam-macam sama kamu, aku akan membunuhnya.
Tidak apa-apa, paling-paling aku hanya akan dihukum 5 tahun).
Lulus dari SMA, Omi mendaftar masuk ke UGM mengambil
jurusan Komunikasi. Anehnya, saat itu, kalau Omi ternyata tidak
tembus masuk ujian masuk, ia berniat untuk sekolah teologi.
--ndang mencoba menggedor pintu tumah Omi, tetapi
tetap saja tidak dibuka. Akhirnya, dengan dibatu oleh
para tetangga, Andang memanjat jendela Omi, mencoba
melihat Omi dari jendela. Di sanalah Andang kaget bukan
kepalang. Ia melihat kepala Omi berada di lantai, dan sebagian
tubuhnya berada di kasur. Mulut Omi mengeluarkan buih.
Andang dan para tetangga Omi segera menelepon ambulans, lalu
mereka mendobrak pintu rumah Omi. Segera, Omi dibawa ke
rumah sakit Ludira Husada. Saat diberitahu apa yang menimpa
kakak kandungnya, Bunga tidak berani melihat Omi diangkut
ambulans. Tetapi ia segera menyusul Omi ke rumah sakit Ludira
Husada.

Saat berada di sana, dokter yang bertugas memberikan du


ainformasi penting yang disampaikan kepada Andang dan
Bunga. Pertama, keadaan Omi sudah cukup parah. kemungkinan,
Omi terkena serangan stroke. Kedua, dokter yang ahli penyakit
yang sedang diderita Omi, tidak sedang bertugas dan baru akan
bertugas pada hari Senin.
Cukup lama Andang dan Bunga berdiskusi apa yang sebaiknya
mereka lakukan. Kemudian Bunga menelepon Deddy Irianto,

249

pemilik Galeri Langgeng Magelang, kolega sekaligus orang yang


sering menggunakan jasa Omi terutama untuk menerjemahkan
katalog-katalog pameran. Deddy langsung meminta agar Bunga
memindahkan Omi ke rumah sakit Bethesda, salah satu rumah
sakit terbaik di Yogya, terutama yang cukup dikenal mampu
menangani penderita stroke dengan baik.
Bunga dan Andang segera memproses perpindahan Omi dari
rumah sakit Ludira Husada ke rumha sakit Bathesda. Setelah itu,
ia menelepon ibunya. Tapi sayang, si ibu saat itu ada acara yang
sangat penting yang tidak bisa ditinggalkan. Kemudian Bunga
ngomong, Ya sudah, jangan terburu-buru, daripada terjadi
apa-apa di jalan. Kemudian Bunga juga menelepon Darmanto
Jatman, bapaknya sekaligus bapak Omi, dan Dramanto bilang,
baru keesokan harinya.
Omi masuk ke rumah sakit Bethesda pukul 8 malam, setengah
jam kemudian, sang ibu sudah berada di rumah sakit, menunggui
sang putri yang belum tersadarkan diri.
Omi tembus masuk Fakultas Sospol UGM jurusan Ilmu
Komunikasi. Semenjak kuliah itulah, Omi mulai aktif di majalah
pers mahasiswa UGM, Balairung. Namanya dalam waktu sekejap
mencuat. Ia sering diminta menjadi pembicara di berbagai acara
diskusi. Selain itu, Omi juga menulis puisi dan cerpen. Di dunia
sastra itu, nama Omi pun cepat menanjak.
Tetapi selain menjalani dunia yang berbau seni dan sastra,
juga merambah dunia intelektual, Omi tetap tidak meninggalkan
dunia lamanya, dunia main-main dan dugem. Ia juga tetap sering
bergonta-ganti pacar, sebagaimana yang ia lakukan sejak SMP
sampai SMA.
Selama kuliah, beberapa kami Omi pindah tempat kos, tetapi
masih selalu di sekitar UGM, yang masuk dlam wilayah Yogya
utara. Bunga sesekali mengunjungi Omi, dan karena Bunga kenal
akrab dengan Bob Sick yang saat itu tinggal di daerah Pandega,
daerah yang juga dekat dengan UGM, Bunga dan Bob pun kerap

250

bersama singgah di tempat kos Omi. Dari sanalah, Bob mulai


akrab dengan Omi.
Kemudian datanglah sebuah peristiwa yang membuat Omi
memutuskan untuk pindah dari daerah Utara ke daerah Selatan.
Suatu saat, Omi baru saja pindah kos lagi. Ia sudah membayar
uang kos untuk enam bulan ke depan, sebagaimana biasanya
tata-cara orang kos di Yogya. Kos baru Omi itu campuran, dihuni
oleh anak kos perempuan dan laki-laki. Baru seminggu berada di
kos barunya, saat mandi, Omi merasa ia diintip oleh salah satu
penghuni kos. Saat itu juga, Omi langsung menelepon Bunga,
mengangkuti barangnya dan tinggal di rumah kontrakan Bunga,
di jalan Wates, daerah yang sudah termasuk daerah Selatan yogya,
lebih tepatnya barat daya Yogya.
Di rumah kontrakan Bunga, ia hanya tinggal berdua dengan
salah satu temannya. Rumah kontrakan Bunga saat itu terdiri
dari tujuh kamar, dan hanya dua kamar yang ditempati. Omi
memilih kamar paling belakang, di dekat sumur.
Setelah tinggal beberapa saat di sana, Omi yang saat itu juga
sedang menyusun skripsi, mulai akrab dengan teman-teman
Bunga yang lain, selain Bob. Termasuk Toni, dan tentu saja
Teddy, yang kelak pernah menjalin hubungan pacaran dengan
Bunga. Mereka bertiga, Teddy, Bob dan Toni pun semakin akrab
dengan Omi.
Suatu hari, pagi pukul 6, Bob sudah mengetuk pintu rumah
kontrakan yang hanya dihuni tiga orang. Omi sebetulnya benci
dengan orang yang datang pagi-pagi, karena di saat itu, ia
mulai sering menyendiri, tidak pernah keluar rumah, dan mulai
menjalani siklus tidur di pagi hari. Tetapi begitu tahu Bob yang
datang, Omi hanya maklum saja. Khusus untuk Bob, Omi yang
terkenal sangat keras itu cukup permisif. Suatu saat, Omi pernah
berkata kepada Bunga soal Bob, Bob ki kaya cah cilik. Jadi mau
enggak mau harus dilayani, tidak bisa diusir. Hanya Bob-lah
yang berani mengambil obat sakit kepala Omi dan meminum

251

kopi bikinan Omi. Hanya Bob-lah, yang jika Omi benar-benar


sedang tidak ingin ketemu orang, dengan cuek tetap saja masuk
ke kamar Omi.
Dan pagi itu, Bob yang biasanya tampil konyol, penuh tawa,
ngeyel dan agak ngawur, saat itu datang dengan mimik serius. Di
tangannya, ada dua ekor kucing. Lalu Bob berkata kepada Omi
dan Bunga, Ini ada kucing. Kasian, mau ditembak kakekku. Biar
di sini saja, ya
Omi yang pada dasarnya suka kucing, dengan senang hati
menerima dua kucing titipan Bob. Kucing itu kemudian beranak
pinak, dan jadilah Omi ibu bagi banyak kucing.
Sementara, jika dengan Teddy, Omi sering mau menjadi lawan
diskusi Teddy. Biasanya, Teddy selalu bertanya, Mbak, enaknya
aku berkarya apa lagi ya? Lalu mereka terlibat diskusi-diskusi
ringan. Terutama, Omi berusaha menstrukturkan pikiranpikiran
Teddy yang saat itu kerap melompat-lompat.
Kalau dengan Toni, menurut keterangan beberapa orang,
termasuk Teddy, Omi sempat naksir Toni. Tapi menurut Bunga,
enggak sampai naksir. Hanya saja Omi pernah berkata kalau Toni
mempunyai sex appeal. Toni sendiri akhirnya mengaku pernah
menggoda Omi, bertanya, mau enggak dijadikan pacar Toni. Saat
itu Omi hanya menjawab, Lha pacarmu yang bule itu gimana?
Tidak jelas, apakah di saat itu yang dimaksud bule adalah Heidi,
atau pacar Toni yang lain.
Saat kontrakan rumah yang dihuni tiga orang itu habis, Omi
mengontrak rumah berdua dengan Bunga. Omi semakin suka
menyendiri. Apalagi ketika ia telah lulus kuliah dan memutuskan
untuk bekerja menjadi penerjemah dan penulis bebas. Dan
semakin suka menyendiri lagi ketika ia sudah mulai merambah
dunia internet. Omi setiap hari menulis di dunia maya, alamat
situ web gratisannya www. geocities.com/rainforestwind, penuh
dengan berbagai ragam tulisan. Semua tulisannya di situs web
itu berbahasa Inggris. Omi juga membuatkan situs web untuk

252

Teddy dan Bob. Di dunia maya itu pula, kelak Omi menemukan
jodohnya, Yani Kozinski, laki-laki keturuan Polandia yang tinggal
di Jerman.
Pernikahan antara Kozinski dan Omi pun terkesan mendadak.
Saat itu, Kozinski sedang berada di Indonesia, dan saat itu pula
mereka menikah. Resepsi pernikahan diadakan di Solo. Setelah itu,
barulah Bunga mengontrak rumah sendiri, tepat berseberangan
dengan rumah kontrakan Omi. Tetapi Kozinski tetap tinggal di
Jerman, dan hanya sesekali saja ia datang menjenguk Omi. Jadilah,
dua kakak beradik, tinggal di rumah yang saling berseberangan,
hanya dibatasi jalan yang sepi, dan masing-masing kakak beradik
itu tinggal sendiri-sendiri.
Kesukaan Omi menyendiri, tampaknya sangat akut. Kalau
menerima tamu, ia menyuruh tamunya datang saja ke rumah
Bunga, baru ia menemui tamunya di rumah Bunga. Bahkan, saat
ibu kandung mereka datang, omi pun enggan ibunya menginap di
rumah kontrakannya, sehingga selalu si ibu menginap di rumah
kontrakan Bunga. Kalau suami Omi datang, Omi meminta
suaminya jalan-jalan, disuruhnya sang suami ke Bali, atau jika
hanya di Yogya, disuruhnya sang suami ke Malioboro selayaknya
turis. Sementara, Omi lebih memilih tinggal sendiri di rumah.
Kadang-kadang saja, Omi keluar untuk berbelanja keperluannya
sehari-hari, terutama untuk makanan kucing-kucingnya. Dan
biasanya, yangkerap mengantar Omi adalah Bob, tentu dengan
kostum yang identik dengan Bob, kostum superman-nya,
memakai celana dalam di luar.
--egitu sampai di rumah sakit Bethesda, Omi segera
dipindai, dan hasil pemindaian menyatakan bahwa tidak
ada pembuluh darah Omi yang tersumbat atau pecah.
Sementara itu, Dodo Hartoko, salah satu orang yang cukup kenal
baik dengan Omi sekaligus Bunga, sudah datang ke rumah sakit
begitu ia diberi tahu oleh Bunga bahwa Omi masuk rumah sakit
dan dalam keadaan koma.

253

Setelah Bunga dan Andang menunggu cukup lama di Bethesda,


sang ibu menyuruh Bunga pulang karena harus mengurus Akira.
Akhirnya malam itu, Bunga, Andang dan Dodo meninggalkan
rumah sakit.
Esoknya, hari Minggu pagi, Bunga sudah berada di rumah
sakit lagi. Dan siangnya, Darmanto Jatman datang. Karena
kesibukannya, setelah mencoba berbincang dengan salah satu
dokter kenalannya yang saat itu bekerja di rumah sakit dan
kebetulan juga sedang menangani Omi, siang itu juga Darmanto
pun langsung balik lagi ke Semarang. Sementara itu, sang ibu,
sebetulnya juga berencana pulang Minggu malamnya, karena
paginya, hari Senin, ia juga ada urusan yang sangat penting di
Solo. Namun kepulangan sang ibu ditunda, ia berencana pulang
Senin pagi.
Hari Minggu sore, Bunga pulang sebentar untuk mandi dan
mengurus Akira. Ketika ia hendak berangkat lagi ke rumah
sakit, ia ditelepon dari pihak rumah sakit, diminta segera datang
menemani sang ibu, karena kondisi Omi semakin memburuk.
Saat itu, bahkan sang ibu berpesan agar Bunga sekalian membawa
alkohol dan kapas. Mendengar kata itu, Bunga langsung
terkesiap. Andang yang juga mendengar hal itu, tidak sepakat
dan berkata, Belum apa-apa kok sudah disuruh bawa gituan.
Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk tidak membawa
alkohol dan kapas, selain untuk menghindari rasa yang ganjil,
juga beranggapan kalau pun toh nanti terjadi apa-apa, pasti kedua
barang itu juga ada di rumah sakit.
Sesampai di rumah sakit, Bunga sudah mendapati Omi sedang
dicoba diberi alat kejut jantung untuk yang kedua kalinya. Tetapi
kali kedua itu tetap gagal. Lalu pihak para medis bilang ke pihak
keluarga Omi, ia akan mencoba untuk yang ketiga kalinya, dan
berkata, Kalau misalnya tidak berhasil, ya mohon diikhlaskan
saja
Suasana tegang dan sangat hening. Semua orang yang berad di

254

sana, menahan napas

--ekalipun hubungan Bunga dengan Teddy sudah putus,


tetapi Teddy masih berhubungan baik dengan Omi. Teddy
menganggap, Omi adalah salah satu orang yang bisa
diajaknya untuk bertukar gagasan. Bahkan pada pameran tunggal
Teddy yang digelar di Galeri Cemeti pada tahun 1998, untuk
pertama kalinya, Omi mau menulis di katalog pameran. Saat itu,
nama Omi memang sering tercantum di katalog pameran, tetapi
hanya mau menjadi penerjemah. Beberapa orang sering meminta
Omi untuk menulis di katalog pameran, tetapi Omi selalu tidak
pernah mau.

Omi pernah bilang ke Bunga, bahwa ia sudah menjelajah,


masuk dan bergaul dalam berbagai bidang kreatif, mulai dari
sastra, jurnalistik, teater, seni rupa dan dunia menari. Kata Omi,
dunia seni rupa, sejauh yang selama ini ia kenal, dihuni oleh
kebanyakan orang yang bodoh. Tetapi lebih bodoh lagi, tentu
saja sejauh yang diketahui Omi, adalah orang-orang di dunia tari.
Omi memang sering sinis terhadap dunia seni rupa. Biasanya
ia selalu berkomentar pendek, kalau ada orang yang mengajak
berdiskusi seni rupa dengannya, Kenapa sih yang dianggap seni
selalu jelek?
Bahkan karena Omi sering menerjemahkan buku untuk
katalog, dan ia kenal dengan banyak perupa, para kenalan Omi
itu sering membawakan Omi buku-buku seni rupa. Tetapi oleh
Omi, buku-buku itu justru dikasih-kasihkan ke orang, atau kalau
ia kepepet dijual. Tetap saja, bagi Omi, buku itu ya sastra, sosial,
politik, dan komik. Buku seni rupa tidak dianggap buku oleh
Omi.
Tetapi tampaknya, dengan empat perupa dari Yogya, seperti
Teddy, Bob, Ugo dan Toni, ternyata Omi mau bergaul dan akrab
dengan mereka. Bahkan pada saat mereka berempat menggelar
pameran bareng di Galeri Langgeng, Omi mau menulis lagi,

255

tapi untuk kali itu, sekalipun pamerannya berempat, Omi secara


khusus menulis tentang Bob. Tulisan Omi tentang Bob, dianggap
salah satu harta karun Bob yang paling besar. Omi juga sempat
membuat tulisan panjang tentang Ugo Untoro, tetapi sampai
sekarang, tulisan itu belum terbit juga.
Sekalipun Omi sering sinis dengan para perupa, tetapi orangorang yang mengenal Omi tidak ada yang berani berbantah
argumen dengannya. Reputasi Omi sebagai seorang inteletual
muda sekaligus sastrawan, cukup membuat gentar orang yang
hendak mendebatnya. Bagaimana tidak? Hanya dua hal yang
selalu ia kerjakan setiap hari, kalau tidak menulis ya membaca.
Ibarat pendekar, kalau mau diajak bertarung, senjata yang
dimiliki Omi terlalu banyak, dan dia sudah terlanjur dicap
sebagai pendekar sakti. Tetapi cap itu bukan gosip belaka, ia telah
menerbitkan beberapa buku berbobot dalam usia yang relatif
muda, sebutlah misalnya Anjing Penjaga (1996) buku yang terbit
ketika ia masih berusia 26 tahun itu mengejutkan banyak orang.
Selain itu, ia masih menerbitkan sejumlah buku lain yang tak
kalah berbobotnya, dan puisi-puisinya masuk dalam buku-buku
antologi puisi yang dianggap punya kualitas. Selain menulis,
Omi juga menerjemahkan sejumlah karya asing ke dalam bahasa
Indonesia, sebutlah misalnya karya Ivan Illich dan Benedict
Anderson. Buku Anderson yang diterjemahkan Omi, adalah
Imagined Communities, termasuk karya yang menjadi referensi
banyak orang untuk melihat problem tentang negara-bangsa,
terutama soal negara-bangsa Indonesia. Terjemahan Omi itu
sempat menimbulkan kontroversi.
Tetapi tampaknya, Omi mulai mengundurkan diri dari
gelanggang intelektual dan sastra. Ia memilih menggeluti profesi
sebagai penerjemah, dan lebih memilih berkarya di dunia maya,
sebuah dunia yang saat itu masih dianggap asing oleh kaum
intelektual Indonesia, bahkan karya-karya yang berada di dunia
itu dianggap bukan karya layak diapresiasi.
Ratusan tulisan telah dibuat oleh Omi, dan tak terhitung karya

256

yang telah diterjemahkannya, jika katalog pameran dianggap


sebagai sebuah karya terjemahan. Sehari-harinya, ia hanya berada
di kamar, sesekali keluar, memberi makan kucingkucingnya.
Berselancar di dunia maya, membuat Omi sering kali harus
kebobolan uang. Di zaman awal-awal berkutat dengan internet,
sebulan khusus untuk bayar internet saja bisa sampai 2 juta
rupiah. tutur Bunga. Padahal Omi tidak punya pendapatan yang
tetap, dan jika ia mendapat uang, Omi bukanlah tipe orang yang
pintar mengatur uang. Dapat sekarang, bisa habis sekarang juga,
lanjut Bunga memberikan kesaksian tentang kakaknya.
Saat masih tinggal serumah dengan Bunga, kalau sudah
kebobolan seperti itu, Bunga selalu yang membayar. Tetapi
yang membuat Bunga kesal, karena saat itu Omi menggunakan
saluran telepon untuk mengakses dunia maya, dan teknologi
belum secanggih saat ini, Bunga tidak bisa menelepon, dan jika
ada telepon yang masuk tidak diketahui. Saking tergila-gilanya
Omi dengan dunia internet, ketika ia sudah tidak satu rumah
lagi dengan Bunga, dan beban teleponnya melonjak tinggi
sekali sampai berjutajuta, akhirnya Omi harus rela sambungan
teleponnya dicabut.
Tetapi ketika dibuka pendaftaran sambungan telepon lagi,
Omi dengan antusias mendaftar lagi. Namun ia tidak mau
mencantumkan namanya. Ia minta Bunga yang mencantumkan
nama sebagai pelanggan telepon yang baru. Sementara rumah
Bunga yang juga ingin memasang saluran telepon menggunakan
atas nama suaminya.
Dalam hal seperti itu, Bunga mengungkapkan, Ya begitulah
Mbak Omi, orangnya enggak kenal kompromi, dan sejak kecil
memang dominan, bukan hanya kepadaku tetapi juga kepada
teman-temannya
---

257

ernyata percobaan ketiga dengan cara memberi alat kejut


jantung, tetap tidak berhasil. Air mata orang-orang yang
ikut menyaksikan peristiwa itu turun pelan. Selang-selang
dicabuti dari tubuh Omi, dan jasad Omi dipindah ke sebuah
ruang yang lain. Di ruang itu, sang ibu yang nampak tabah,
membuka tas pakaiannya, ternyata ia sudah mempersiapkan
pakaian pengantin Omi yang dtinggal di Solo. Dari sana, Bunga
kemudian bisa mengerti, ibunya sudah punya firasat bahwa Omi
akan meninggal dunia.
Bunga kemudian mengirim pesan pendek ke tiga orang,
Hendro Wiyanto, salah satu kurator yang dihormati Omi
karena kapasitas intelektualnya yang mumpuni di bidang seni
rupa, Deddy Irianto, pemilik Galeri Langgeng yang sering
menggunakan jasa Omi untuk menerjemahkan katalog pameran,
dan Sari, pembantu Omi sekaligus pembantu Bunga. Berita
kemudian menyebar dengan cepat. Malam itu juga, Yayuk, istri
Ugo Untoro langsung datang dan memberitahu kalau Ugo tidak
sanggup melihat mayat Omi. Kemudian Teddy dan There juga
datang, tetapi kemudian segera pergi karena malam itu mereka
ada acara pergi keluar kota. Beberapa orang yang lain juga mulai
berdatangan, termasuk teman-teman Omi saat masih kuliah.
Paginya, sebuah misa kecil diadakan di rumah sakit Bethesda
untuk mendoakan arwah Omi. Kemudian jenazah Omi diantar
memakai ambulans ke Solo. Di dalam mobil ambulans itu ada
Bob, Andang, Tono dan Dodo.
Setelah Omi meninggal, Bunga baru bisa mengingat jejakjejak isyarat yang pernah didengar atau disaksikannya, serentetan
hal yang mungkin mengisyaratkan bahwa Omi mati dalam usia
muda.
Dulu, saat awal kuliah, Omi pernah diajak oleh temannya
pergi ke peramal. Omi hanya mengantar, teman Omi-lah yang
minta diramal. Tetapi si peramal, sat melihat Omi, walaupun
tidak secara langsung bilang dengan cara vulgar, memberi isyarat

258

bahwa Omi tidak akan sampai berumur tua.


Lalu ketika Akira sudah mulai lahir, dan rambutnya tidak
segera tumbuh, Omi sempat berkomentar, Le, rambutmu kok
ora thukul-thukul to, mosok rambutmu thukul wae aku wis ora
menangi (Nak, rambutmu kok tidak cepat tumbuh? Masak
ketika rambutmu tumbuh, aku sudah tidak menyaksikannya
lagi)
Atau, cukup sering Omi minta difoto bersam Akira sambil
berkata, Sini kamu foto sama bude, biar besok kamu tahu kalau
kamu itu punya bude
Kelak, Akira pasti tahu bahwa ia punya bude bernama Naomi
Intan Naomi. Bukan hanya lewat foto, tetapi juga setumpuk
karya Omi. Pada akhirnya, karyalah yang akan membuat nama
seseorang menjadi kekal.
Setahun setekah Omi meninggal dunia, Bob Sick menggelar
pameran tunggalnya di Yogya National Museum, dengan tajuk
Happy Bitrhday NIN. Di tulisan Bob pada katalog pameran itu,
ia memberi judul tulisannya dengan: Remember 26. Lalu ada
subjudul yang sangat panjang: Nine Nin Nina Wilhelmina Naomi
Intan Naomi: Happy Birthday Nin. Tidak jelas apa maksudnya,
dan memang tidak untuk diperjelas. Kita hanya bisa menduga,
kalimat tak jelas itu serupa mantra, serupa doa

259

Jejaring
Yang Khas

DA satu tahap di mana, dalam kehidupan Toni, ia seperti


berada di Tubir masalah. Ia merasa tidak tahu harus
melakukan apa. Di dalam dirinya ada ketegangan, dan
diamdiam sebentuk rasa cemas merayap di dirinya. Di Taring
Padi, Toni dikenal bukan hanya salah satu penggagas lembaga
tersebut, tetapi juga merupakan salah satu penggerak, dan
sekalipun dirinya tidak pernah berniat menjadi figur sentral di
sana, tetapi hal itu tidak bisa dihindarinya.
Tetapi kemudian, perlahan, ia bisa mengalihkan tugas
organisasional ke orang lain, sekalipun nyaris semua orang
yang pernah bersinggungan dengan Taring Padi tahu, bahwa
perjalanan Taring Padi kemudian memang tersendat-sendat.
Tetapi begitulah dialektika setiap lembaga, ada saat naik dan
turun. Juga seperti yang sama-sama kita ketahui, menjelang
tahun 2007, Taring Padi kembali menggeliat lagi, merangkak
sedikit demi sedikit memenuhi tugas-tugas sejarahnya.
Bagi Toni sendiri, setelah cukup lama mengambil jarak
dengan Taring Padi, ia mulai berkutat dengan masalah-masalah
pribadinya sendiri, selain masalah hubungannya dengan
Heidi yang cukup menyita energinya, juga masalah-maalah
eksistensinya berkaitan dengan dirinya sebagai seroang perupa.
Aku pikir, Taring Padi bagaimanapun juga sudah mencatatkan
diri dalam lembar sejarah seni rupa di Indonesia, kata Toni, lalu
aku mulai berpikir bisakah aku sebagai seniman juga bisa hidup
dari lukisanlukisanku dan menempuh jalan sebagaimana para
pelukis lain
Tetapi apa yang disebut Toni sebagai sebagai menempuh jalan
sebagaimana pelukis lain, yang itu artinya jalan konvensional
sebagaimana yang ditempuh oleh para perupa yakni berkarya
dan kemudian lukisan mereka terjual, lalu bisa hidup dan
mencatatkan nama di barisan itu, bukanlah soal yang mudah.
Memang ada banyak pelukis yang berhasil, dalam arti, masuk
dalam barisan tersebut. Tetapi yang gagal, jumlahnya jauh lebih
banyak. Tetapi sayang, hal seperti ini jarang dilihat oleh banyak

263

orang yang mencoba terjun dan menekuni dunia seni rupa, hanya
melihat enaknya saja, atau kelihatan enaknya saja, apalagi saat
booming lukisan dan harga lukisan melejit, membikin ngiler hati
siapa saja yang mengetahuinya. Tetapi yang gagal sebagai pelukis,
dalam arti betul-betul gagal, tidak pernah masuk dalam barisan
perupa yang mampu mejual karya sama sekali, atau gagal dalam
arti hanya sesekali karyanya terjual, jarang dilihat.
Tetapi dunia seni rupa yang seperti itu, jelas bukan dunia yang
baru buat Toni. Karirnya sebagai perupa, selain karir dirinya di
Taring Padi, tidak bisa dilihat sebagai biasa-biasa saja. Jauh hari
sebelum menggeluti dan mendirikan Taring Padi, ia sudah masuk
dalam gelanggang seni rupa. Bahkan, dalam posisi seperti itu pun,
jalan yang diinginkan Toni tetap saja tidak mudah.
Akhirnya, ia menemui orang bernama Yayuk, istri Ugo
Untoro, yang dikenal selain sukses memanajeri suaminya, juga
dianggap sukses menyentuh banyak seniman yang lain. Yayuk
seperti seorang Midas, menyentuh para perupa, dan tiba-tiba
bisa berubah menjadi emas. Sebagai contoh, salah satu orang
yang disentuh oleh Yayuk adalah Bob Sick. Suatu saat, mungkin
karena sudah suntuk dengan jalan kreatif yang ia lalui, Bob
menemui Yayuk dan bilang, Mbak, aku dimanajeri dong
Lalu dicapai kesepakatan, Bob menggelar pameran tunggalnya
yang bertajuk Happy Birthday NIN. Menurut pengakuan Yayuk,
ia tahu kalau Bob punya potensi untuk menjadi pelukis yang
laris. Dan dari segi kualitas karya, memang Bob bisa diandalkan.
Saat itu, Yayuk mengalokasikan uang dari salah satu lembaga
yang dikelolanya, dengan direktur lembaga tersebut suaminya
sendiri, Ugo Untoro. Sedangkan lembaga yang dimaksud adalah
Museum dan Tanah Liat. Saat itu aku sama sekali tidak berpikir
bahwa uang itu harus kembali, ujar Yayuk, kuanggap duit ilangilangan Dan saat itu pula, uang MdTL pun hanya terbatas, aku
terpaksa nyari duit tambahan ke san ke mari, Bob juga. Dan saat
itu semua sepertinya lancar banget

264

Ternyata kelancaran proses pameran tunggal Bob, diikuti


kelancaran penjualan karya Bob. Di pameran Bob itu, terjual
lukisan dengan jumlah yang cukup fantastis, sebanyak 150
lukisan terjual ludes.
Peran Mbak Yayuk sangat besar di pameranku itu. begitu
pengakuan Bob. Tetapi selain itu, Bob yang sangat suka dengan
ramalan percaya bahwa di tahun 2007, ia akan mendulang sukses.
Kepercayaan itu bahkan sudah didengar oleh banyak orang di
dekat Bob. Kepada beberapa orang, bertahun-tahun sebelumnya,
Bob selalu bilang, Tahun 2007 adalah tahun suksesku. Begitulah
yang kubaca dari ramalan shio, dan aku mempercayainya.
Tetapi dengan nada merendah, Yayuk selalu bilang bahwa ia
orang di balik suksesnya beberapa seniman yang ditanganinya.
Untuk soal seperti itu, beginilah yang dikatakan Yayuk, Itu kayak
jodoh saja, kok. Juga kebetulan, orang yang berpameran sudah
saatnya untuk meraih sukses. Bob kan juga punya reputasi seni
yang cukup baik. Hal-hal kayak gitu itu kan kayak orang mau
babaran saja. tinggal menunggu hari untuk melahirkan bayi.
Kepada sosok Yayuk-lah, Toni kemudian datang. Tetapi saat
itu, Toni hanya bilang ke Yayuk begini, Mbak, aku bantu-bantu
di sini ya (MdTL), apa sajalah, pekerjaan apapun aku mau.
Yayuk tentu saja menerima Toni bekerja di MdTL. Dan
melakukan berbabagai kegiatan rutin yang sering dilakukan oleh
MdTL. Tetapi tidak lama kemudian, Yayuk ilang ke Toni, Ton,
kamu itu sebetulnya mau apa? Kamu itu dari dulu kan pelukis,
kenapa enggak melukis saja lagi? Itu ada kanvas dan cat, pakailah.
Semenjak Yayuk bilang seperti itu, Toni kemudian mulai
melukis lagi. Kali itu, setelah bertahun-tahun bertaruh bersama
Taring Padi, ia memasuki kembali gelanggang seni rupa yang
pernah ditinggalkannya. Ia berlaga dengan atas namanya sendiri.
---

265

dTL, didirikan oleh Ugo pada tahun 1998. Sebetulnya,


saat itu yang ada bukanlah sebuah museum, melainkan
studio melukis Ugo. Di sana banyak orang yang
berkumpul, dan setiap hari jadi tempat bagi banyak seniman
muda untuk mabuk-mabukan. Lama-lama, Yayuk berpikir, dari
pada dipakai untuk mabuk-mabukan, ruang itu dipakai utuk hal
yang lebih baik lagi, misalnya saja untuk menggelar pameran
bagi pelukis yang ingin menambah daftar panjang pameran
yang pernah mereka ikuti. Bagaimanapun seorang seniman,
butuh curriculum vitae. Tidak bisa seorang seniman kok tibatiba muncul dan kemudian jadi besar. tutur Yayuk menjelaskan
keinginannya saat itu.
Nama MdTL sendiri, di sana ada kata museum-nya,
sebetulnya merupakan impian Ugo untuk mempunyai sebuah
museum. Tetapi bukan museum yang angker dan formal. Ya
benar-benar museum, di mana ada banyak karya pelukis yang
dipajang di sana. Dan aku pengennya museum itu khusus untuk
para perupa yang masih muda, ungkap Ugo. Sedangkan Tanah
Liat, adalah nama anak pertama Ugo dan Yayuk.
MdTL sendiri, seperti rumah ketiga bagi Yayuk. Rumah
pertama adalah rumah tanggaku dengan Ugo, rumah kedua
adlah kandang kuda, dan MdTL rumah ketiga.
Awalnya, Yayuk menjelaskan, tidak gampang mengelola tiga
rumah itu. semua butuh biaya. Sedangkan saat itu, Ugo belumlah
semoncer dan selaris sekarang ini. Kadang kalau ada kegiatan di
MdTL, aku pinjam duit ke teman-teman, terutama pinjam ke
Teddy. Pernah juga, saat ada pameran yang diselenggarakan oleh
MdTL, aku menjual hp-ku, dari yang harganya di atas 5 juta, aku
ganti hp yang harganya 300 ribu.
Tetapi sekarang ini, menurut Yayuk, MdTL sudah mulai
bisa jalan sendiri. Dia pengennya, MdTL perlahan-lahan
dikembalikan fungsinya sebagai sebuah museum. Sedangkan
kalau ada pameran bisa diselenggarakan di tempat yang lain,

266

seperti pameran Bob yang digelar di Yogya National Museum,


walaupun yang menyelenggarakan acara tersebut adalah MdTL
bekerjasama dengan Yogya National Museum. Kalau bisa sih
diselenggarakan di tempat-tempat seperti Cemeti atau Bentara
Budaya, sehingga MdTL benar-benar bisa dikembalikan
fungsinya sebagai sebuah museum, tutur Yayuk, membentangkan
gagasannya soal MdTL ke depan.
--epintas, kalau kita jeli, kita bisa mulai melihat semacam
jejaring yang cukup unik di Yogya, dengan melihat cara
bergeraknya MdTL. Hal ini pun diakui oleh Yayuk. Para
perupa satu dengan yang lain, terlihat sangat saling peduli. Ketika
ada satu perupa yang mulai mendulang sukses, ia akan menggeret
perupa lain, walaupun tentu proses menggeret itu juga tidak
dilakukan dengan sembarangan.

Ugo pun mengiyakan apa yang dikatakan oleh Yayuk. Dulu,


saat ia didatangi oleh kulektor lukisan, ia selalu mempromosikan
karya teman-temannya yang dianggapnya juga mempunyai
kualitas yang bagus, misalnya Teddy. Kolektor itu kemudian
diajaknya untuk pergi ke tempat Teddy.
Bahkan, menurut pengakuan Yayuk, Ugo sering sekali
meminta syarat jika ada kolektor yang ingin membeli lukisannya,
Bapak boleh beli lukisan saya, tapi harus beli lukisan pelukis ini
dan itu
Kalau si kolektor agak ngeyel, Ugo terus bilang, Ngapain
sih Pak beli lukisan saya banyak-banyak? Satu atau dua saja kan
cukup
Dan hal seperti itu pun dilakukan oleh Teddy. Setiap ada
kolektor yang datang kepadanya, ia selalu membawa kolektor
tersebut datang ke perupa-perupa yang lain. Teddy ikut
mempromosikan kawan-kawannya.
Sampai ada banyak kolektor yang berkomentar lho, ujar
Yayuk, mereka bilang: Yogya ini aneh, tidak seperti kota-kota

267

lain, di sini para perupanya saling merekomendasikan antara


perupa satu dengan perupa yang lain.
Hal seperti inilah yang sebetulnya agak khas dari pergaulan
perupa di Yogya. Mella Jaarsma membenarkan hal itu, juga
Arahmaiani dan juga Ong Harry Wahyu. Dan itulah keunikan
Yogya, memang tetap saja ada semacam kompetisi antar-perupa,
tetapi mereka juga saling mendukung. Sampai pada taraf yang
agak ekstrem seperti yang dilakukan oleh Ugo: boleh beli
lukisannya dengan syarat membeli lukisan perupa lain yang
direkomendasikannya. Di kota dan daerah lain, di mana banyak
perupa juga bertebaran di wilayah-wilayah tersebut, hal seperti
ini, jejaring yang khas seperti hal tersebut, tampaknya tidak
terjadi.
Selain itu, ada cara lain yang sering digunakan oleh para perupa
Yogya untuk saling mendukung perupa atau seniman lain.
--atif masuk ISI tahun 1999, ia satu jurusan dan satu
angkatan dengan There. bersama teman-temannya, dari
berbagai jurusan yang lain, mereka mendirikan sebuah
sanggar bernama Sanggar Caping. Berbagai kegiatan mereka
lakukan bareng, seperti kegiatan membuat sketsa bersama.

Sanggar Caping kemudian secara kelembagaan dekat dengan


Taring Padi. Sanggar itu memang telah membubarkan diri, dan
kemudian Taring Padi memasuki fasefase yang cukup sulit. Ia
kemudian lontang-lantung tidak karuan. Pengalamannya selama
di Taring Padi dan Sanggar Caping, sebuah komunitas yang
hidup dengan cara-cara kolektif membuat pikirannya terbuka,
sebab sebelumnya, ia sempat masuk dalam wadah salah satu
partai politik yang selalu mengedepankan sikap kekerasan, baik
ketika kampanye maupun saat melihat ada perbedaan ideologi
kelompok lain. Ketika Latif mulai masuk ISI dan kemudian
bergabung dengan Sanggar Caping dan Taring Padi, lambat
laun pemikirannya mulai mengalami pergeseran. Walaupun
tentu saja tidak mudah. Benturan tentang apa yang kualami saat

268

sebelum berada di lingkungan Taring Padi dan saat sudah berada


di sana. ujarnya.
Ketika kemudian mulai luntang-lantung itulah, ia bertemu
dengan Teddy, dan ditawari Teddy untuk ikut bantu-bantu
pekerjaan Teddy. Latif langsung mengiyakan. Awalnya, ia hanya
membantu hal-hal yang sederhana, misalnya ikut membereskan
alatalat melukis Teddy yang berantakan, atau membelikan
kebutuhan-kebutuhan untuk melukis Teddy, dari mulai cat,
kuas sampai kanvas. Tetapi lama kelamaan, mulai naik jenjang
keterlibatannya, seperti memasang kanvas, membersihkan jamur,
dan mengepak lukisan-lukisan yang hendak dikirim.
Dari proses seperti itulah, Teddy sering mengajak ngobrol
Latif soal seni rupa, dari mulai konsep, eksekusi karya sampai
soal sifat-sifat media yang sering digunakannya. Latif mengaku,
Dari sana aku belajar banyak, terutama dalam hal konsep sebuah
lukisan.
Bagi Latif, bekerja membantu Teddy, membuatnya bukan
saja mendapatkan uang, tetapi juga banyak pengalaman. Dan
sekalipun aku itu bisa dibilang orang yang membantu Teddy,
tetapi ia selalu memposisikan aku sebagai teman. Ia tidak pernah
menyuruh dan memerintah aku. Kalau ada apa-apa, baik Teddy
dan There, selalu bertanya: Kamu ada waktu luang enggak hari
ini?
Latif juga merasakan betul, bahwa sebetulnya dengan sedikit
demi sedikit, Teddy mengajak dirinya untuk terus mengasah
ketrampilannya. Selain itu, Teddy mendorong Latif agar ia terus
berkarya. Teddy sering menyempatkan datang ke tempatku,
melihat lukisan-lukisanku, lalu memberikan masukan, kurang ini
atau kurang itu. Tetapi kalau aku memberikan argumenku, Teddy
juga mendengarkan dengan baik.
Kadang-kadang aku bahkan merasa tidak enak, tutur Latif,
karena Teddy sering sekali menawariku untuk mengambil
kanvas yang sudah terpasang, dan menggunakan cat-catnya. Tapi

269

menurutku itu sudah berlebihan. Dia terlalu baik.


Tetapi proses menuju ke sana, ke sebuah hubungan kerja
membantu Teddy sebetulnya tidak mulus. Misalnya saja ketika
sebuah karya sudah dibungkus dan siap dikirim, tiba-tiba Teddy
ingin melihat karyanya kembali. Dengan begitu, terpaksa Latif
harus membongkar lagi barang yang sudah dikemasnya. Tetap
lambat laun, aku jadi mengerti irama Teddy, dan Teddy juga
mulai mengerti iramaku.
Bahkan menurut Latif, Teddy selalu menghargai privasi
dirinya. Kalau kebetulan suasana hatinya sedang tidak enak,
Teddy tidak pernah menghubunginya, seakan Teddy tahu
kalau Latif sedang tidak ingin diganggu. Atau Teddy sangat
memperbolehkan Latif untuk terlibat dalam bentuk-bentuk
pergaulan sebagai mahluk sosial, Pernah suatu ketika harus ada
barang yang segera dipak dan dikirim, tetapi begitu Teddy tahu
kalau aku sedang membantu teman yang sedang pindah rumah,
Teddy tidak memintaku untuk segera datang. Tapi menunggu
hingga semua urusanku bantu-bantu teman selesai.
Tapi Latif juga mengakui, kalau Teddy mabuk, sering bikin
onar. Dan kalau kebetulan ia sedang bersama Teddy, ia berusaha
menjaga Teddy, Kalau dia mabuk berat kan suka nantangnantang orang di jalan. Akhirnya aku yang harus ikut ngomong
ke orang yang ditantang itu: Maaf Mas, dia sedang mabuk
Latif mempunyai prinsip, di dalam hidup ini dia harus selalu
belajar dari siapa saja dan dari mana saja. Dan di tahap ini, ia
merasa dia memang sedang belajar dari Teddy. Dan Teddy selalu
bilang agar Latif tidak lupa berkarya. Dan bentuk dukungan
lain yang penting adalah, Teddy berusaha membuka akses untuk
Latif, agar ia bisa ikut pameran.
Selain Latif, orang yang biasa membantu Teddy bernama
Budi atau kadangkadang oleh orang lain ia dipanggil Satrio,
sebab nama lengkapnya: Satrio Budi Gunawan. Budi banyak
membantu kerja-kerja Teddy terutama yang berurusan dengan

270

karya tiga dimensi, sebab Budi anak ISI jurusan patung, dan ia
cukup paham dengan sifat-sifat bahan untuk tiga dimensi. Selain
itu, ia punya banyak kenalan yang mempermudah pengeksekusian
gagasan Teddy di dalam karya tiga dimensi.
Seperti halnya Latif, sekalipun sebetulnya Budi itu membantu
kerja-kerja Teddy, tetapi Teddy selalu memposisikan Budi setara
dengannya. Ia selalu mendiskusikan gagasannya, dan meminta
pertimbanganku, terutama kalau menyangkut bahan-bahan yang
akan digunakan dan di mana sebaiknya bisa dikerjakan. ujar
Budi. Lalu tugas Budi adalah dia mencoba memberi masukan
ke Teddy, soal pilihan bahan yang hendak dipilih, dan kemudian
mencari tahu, di mana tempat yang tepat untuk mengerjakan hal
itu.
Dan hampir mirip dengan apa yang dilakukan Teddy
kepada Latif, Budi berkata, Dia (Teddy) tidak pernah berhenti
mendorong saya untuk berkarya, bukan hanya berhenti sebagai
orang yang membantunya atau membantu seniman-seniman
lain.
Budi juga tahu, kelemahan terbesar Teddy adalah kalau
dia sedang mabuk. Benar-benar tak terkontrol. Dan sering
merepotkan teman-temannya. Tapi ya begitulah Teddy, setiap
manusia punya kelebihan dan kekurangan. ujar Budi sambil
tersenyum.
--rang yang pernah juga membantu Teddy bernama
Gentong. Sedari kecil, Gentong kerap berpindah-pindah
tempat tinggal dan sekolah, hingga kemudian saat SMA
ia berdomisili di Semarang, tetapi kemudian keluar dari SMA. Ia
kemudian asyik berkumpul bersama komunitas para punker di
Semarang. Di saat itulah, karena di komunitas punk sering ada
diskusi politik, kesadaran politiknya mulai muncul.

Kemudian tiba saatnya ketika di Yogya ada pergelaran musik,


saat itu tahun 2001, pergelaran diadakan di Gampingan dan salah

271

satu grup musik yang pentas adlah Black Boot, sebuah grup punk
yang digawangi oleh sebagian besar para aktivis Taring Padi.
Begitu tahu ada sebuah tempat yang nyaman di Gampingan,
Gentong kemudian memutuskan untuk hidup di Gampingan.
Bayanganku dulu, aku akan di Gampingan sampai akhir dunia.
Eh, ternyata tidak
Saat Gentong di Gampingan itulah, ia mendengar sebuah
grup musik yang legendaris bernama Steak Daging Kacang Ijo.
Toni, tentu Gentong kenal. Edo Pillu, ia tahu. Sedangkan Teddy,
ia juga kenal karena kalau punya uang selalu ke Gampingan dan
ngajak semua orang untuk mabuk. Sedangkan Bob, ia tidak tahu.
Bob seperti hantu, namanya banyak disebut, tetapi saat itu aku
tidak tahu gimana bentuk orangnya.
Gentong baru tahu sosok Bob, ketika suatu siang, ada seseorang
penuh tato menggeber sepeda motornya keras sekali masuk ke
Gampingan. Gentong terheran-heran, Wah, mahluk apa itu?
Tapi tubuh penuh tato itu ternyata menebar senyum ramah di
mana-mana, lalu sosok itu langsung menemui Toni dan Heidi.
Mereka kemudian saling bercengkerama.
Lalu Gentong berkenalan dengan Bob. Dari situ Gentong
tahu dan membatin, O ini yang namanya Bob
Semenjak perkenalan itu, Gentong lengket dengan Bob.
Demikian juga sebaliknya. Bahkan pernah suatu kali, ia diajak
Bob ke Jakarta untuk ngasong lukisan, maksudnya, menawarkan
lukisan dari satu galeri ke galeri yang lain. Saat itu, mereka
berangkat berdua, naik kereta api bisnis dengan membayar
di atas, sehingga bisa lebih murah. Mereka pergi dengan
membawa 6 lukisan, tetapi tidak ada yang laku. Dan Bob hanya
berkomentar pendek saat itu, Ngentot nih para kolektor, gak
ada yang mau lukisanku! Lalu mereka berdua pulang dengan
tangan penuh, penuh lukisan, tapi kantong kosong, tanpa uang.
Kelak, pengalaman mengasong lukisan juga dialami oleh Bob
bersama temannya yang sat itu sudah mecoba peruntungan nasib

272

di Jakarta, Edi Mulyo. Mereka berdua pun sering ngasong dan


sering pulang dengan tangan hampa. Pernah, sampai uang di
kantong tinggal 250 rupiah, untuk naik bis pun gak bisa. Ya
terpaksa jalan kaki, tutur Edi, yang sekarang ini sering berada
di tempat Bob.
Tetapi ada saat di mana kemudian Gentong bosan di Taring
Padi, maklumlah, umurnya sat itu belum genap 20 tahun.
Gentong kemudian hengkang dari sana, dan memutuskan untuk
tinggal dengan Teddy. Aku dulu pengen nyantrik sama Teddy.
Bantu-bantu dia mulai dari bersih-bersih rumah sampai masang
kanvas
Dari sanalah, Gentong menjadi semakin paham mengapa
Teddy benar-benar berpotensi menjadi seniman ulung, Saat itu
ia sering mengekplorasi bahan. Apapun itu. Dan total, enggak
setengah-setengah. Pernah suatu malam karena dulu rumah
kontrakan Teddy dekat sawah, ada banyak orang yang nyari
katak dengan obor karbit. Teddy minta langes-nya dan dicoba
untuk tinta lukisan. Pernah juga ia ngumpulin besi bekas, yang
katanya saat itu akan dibuat menjadi karya pedang. Dan ternyata
dilakukan betul.
Tetapi berkali-kali Gentong pun mengalami hal lucu bersama
Teddy, Saat itu Teddy enggak punya uang. Untuk merokok pun
enggak ada. Saat itu hujan deras. Terus kita bingung, ngapain ya?
Akhirnya Teddy menatoku. Tapi sebelum selesai, tinta tatonya
sudah keburu habis
Tetapi Gentong pun lama kelamaan bosan tinggal dengan
Teddy, akhirnya ia pindah ke komunitas yang lain. Tetapi
hubungannya dengan Toni, Teddy dan Bob tidak pernah putus.
Mereka selalu mendukung apapun yang ingin kulakukan,
termasuk memberiku uang. lanjut Gentong sambil tertawa
ngakak.
Kini, Gentong sedang mempersiapkan sebuah lembaga yang
diinisiasi oleh Toni, Teddy dan Bob, lembaga tersebut bernama

273

Steak Daging Kacang Ijo Foundation. Rencananya, kerja awal


lembaga tersebut adalah membantu para musisi indie untuk
rekaman. Ini sudah mau jalan. Tinggal tunggu Toni pameran
tunggal, Bob menikah, dan anak Teddy lahir.
Gentong mengakui, yang paling antusias untuk secepatnya
merealisasikan gagasan itu adalah Bob. Sepertinya, Bob tidak
ingin melewatkan masa jayanya di Steak Daging Kacang Ijo.
Steak Daging Kacang Ijo memang pernah digosipkan mau
didirikan lagi. Tetapi di antara mereka bertiga masih belum
bertemu dalam satu suara, temasuk ketika diomongkan ke Edo
Pillu. Ada yang berpendapat dengan sangat yakin, cukuplah
bahwa Steak daging Kacang Ijo cukup menjadi legenda saja. Dan
sudah saatnya mereka cukup mendukung banyak musisi agar bisa
membuat album rekaman. Tetapi ada yang tetap berkeinginan
agar Steik Daging Kacang Ijo tetap pentas, tapi sesekali saja,
cukup untuk menghibur diri para pemainnya sendiri, bukan
untuk menghibur penonton.
Ketidakjelasan mendirikan ulang Steik Daging Kacang Ijo
sebagai sebuah grup musik, sama tidak jelasnya saat grup itu
bubar dengan tidak aktifnya Edo Pillu. Menurut Bob dan Teddy,
Edo Pillu dipecat Toni dengan alasan Edo Pillu satu-satunya
personel yang bisa main musik. Tetapi kata Toni, Edo keluar
sendiri karena sudah mulai malas bermain musik. Sedangkan
saat hal ini dikonformasi ke Edo Pillu, ia mengatakan dua alasan.
Pertama, karena Suharto sudah jatuh, seharusnya memang Steak
Daging Kacang Ijo bubar, karena dulu Steak Daging Kacang Ijo
dimunculkan untuk memecahkan kebekuan di saat rezin Suharto
masih berkuasa. Alasan kedua, karena saat itu Edo Pillu ingin
sembuh dari ketergantungannya dari obat-obatan dan alkohol.
Kalau aku kumpul sama mereka lagi (Toni, Teddy, Bob), aku
bisa kambuh lagi. tutur Edo.
Terlepas soal perdebatan apakah grup musik Steak Daging
Kacang Ijo mau bangkit lagi atau tidak, tetapi yang jelas Steak

274

Daging Kacang Ijo Foundation tampaknya dalam waktu singkat


akan segera berdiri. Gentong memastikan hal itu sambil berkata,
Semangat untuk membantu kawan itu yang aku salut dari niatan
lembaga ini didirikan.
Khusus dengan Bob, Gentong mengaku sampai saat ini masih
melihat bahwa Bob adalah sebuah keajaiban. Gentong ikut
menjenguk saat Bob kecelakaan dan dirawat di rumah sakit.
Saat itu bahkan aku bawa kamera, dan aku mendokumentasikan
kondisi Bob saat itu. Tapi aku berjanji tidak pernah akan
mempublikasikan hasil dokumentasi itu.
Di saat menjenguk itulah, Gentong dan beberapa kawannya
yang lain, sudah mulai mencoba menerima bahwa, Bob pasti
lewat maksudnya, Bob pasti meninggal dunia. Saat itu, tutur
Gentong, tidak ada seorang pun kawan yang yakin kalau Bob
bisa hidup lagi.
Maka ketika kemudian Bob ternyata mampu bertahan dan
kemudian melewati saat-saat kritis, Gentong hanya bisa bilang,
Dia itu seperti Lazarus! Rasanya tidak berlebihan jika kemudian
Gentong berseru seperti itu, mengutip sebuah nama dari Alkitab,
sosok bernama Lazarus yang telah meninggal dunia selama 4
hari, kemudian dihidupkan lagi oleh Yesus Kristus.

275

Ketika
Sampah

Bisa Menjadi Emas

ADA paruh tahun 2007, jagat seni rupa Indonesia, kembali


mengalami booming untuk yang ke sekian kali. Kali ini, ada
beberapa ciri yang menyerupai dengan fase-fase booming
sebelumnya, harga lukisan melejit tinggi, pasar seperti tidak
terkendali dan liar. Tetapi ada juga yang sedikit membedakan
dengan fase-fase booming sebelumnya, untuk kali ini, lompatan
harga begitu tinggi, dan ada variabel lain yang penting, untuk kali
ini ada hubungannya dengan pasar regional dan internasional.
Arahmaiani melihat, Pada dasarnya (booming kali ini)
merupakan dampak dari pasar seni rupa di China. Karena
booming di sana seperti enggak ada akhirnya, dan harga-harga
melambung sangat tinggi, sehingga orang-orang di sana (China)
hanya beberapa saja yang bisa bermain, ya akhirnya mereka
mencari permainan ke wilayah Asia Tenggara. Dan kalau bicara
soal Asia Tenggara, salah satu yang menjadi daya tariknya adalah
Indonesia.
Lebih lanjut Arahmaiani menjelaskan, mengapa Indonesia
menjadi daya tarik, sebab di Indonesia mempunyai lebih banyak
seniman di banding misalnya Thailand atau Filipina. Sehingga
Indonesia lebih bervariasi, dan juga karena Indonesia mempunyai
cukup sejarah seni rupa.
Teddy, mengingatkan, bahwa apa yang disebut sebagai booming
seni rupa itu keliru. Yang terjadi adalah booming lukisan. katanya,
ini tidak bisa digebyah uyah, disamaratakan, karena bidangbidang seni rupa yang lain tidak mengalami booming. Performance
art tetap tidak dihargai, juga karya instalasi.
Hendro Wiyanto juga mengoreksi hal yang sama. Dan ia
menegaskan, Booming itu tidak menghasilkan apa-apa, dalam arti,
ketika terjadi booming kok terus lalu muncul seniman-seniman hebat.
Kembali dalam kaitannya dengan booming lukisan, banyak
orang melihat, ini seperti dua mata pedang, bisa membawa
pengaruh yang baik, dan sekaligus bisa juga membawa dampak
yang buruk. Arahmaiani mengatakan, Seperti sinar matahari

279

dan mendung yang datang bersamaan.


Arahmaiani melihat, ada sisi positif dari setiap booming, yaitu
seniman bisa mempunyai banyak uang dan bisa berkarya terus,
demikian juga banyak galeri yang diuntungkan secara finansial.
Tetapi ia juga melihat sisi negatifnya, sebab menurut Arahmaiani,
pasar seni rupa Indonesia belum mendapatkan pendidikan dan
informasi yang benar tentang dunia senirupa. Para kolektor
yang memahami betul seni rupa dan mengapresiasi seni dengan
sungguh-sungguh, hanya beberapa gelintir orang saja. Umumnya
yang banyak beredar di pasar adalah para spekulan yang enggak
ngerti dan pada dasarnya juga tidak peduli dengan seni. tegasnya.
Di sinilah, Arahmaiani melihat ada potensi pemiskinan
kreativitas seniman di Indonesia. Tiba-tiba banyak pelukis di
Indonesia yang meniru gaya pelukis China. Dalam situasi yang
dilanda Tsunami China seperti itu kan muncul keresahan dari
banyak pihak yang punya perhatian terhdap perkembangan seni
di Indonesia. Tiba-tiba kita seperti kehilangan identitas. Kita
harus berani bertanya, mana identitas orang Indonesia? Dan
kenapa kita harus meniru oang China?
Persoalan booming kali ini juga mengusik pikiran Mella Jaarsma.
Ia melihat, memang ada sisi baiknya, Seniman bisa punya
akses yang lebih banyak dan punya uang sehingga mereka bisa
membuat karya yang lebih besar dan teknik yang lebih istimewa,
dengan bahan-bahan lukisan yang lebih awet dan bermutu.
Tetapi di sisi lain, Mella melihat juga sisi buruknya, Tetapi hal
ini juga bisa merukak banyak hal, terutama kreativitas seniman.
Sebab kan yang laku hanya lukisan. Maka banyak pelukis muda yang
mungkin masih perlu mengeksplorasi berbagai media dan bidang
seni yang lain, kemudian fokus hanya mengurusi lukisan saja.
Dalam situasi yang seperti itu, mungkin menarik untuk
menyimak beberapa pendapat, potensi apakah yang bisa
dimaksimalkan untuk mendorong dunia seni rupa Indonesia saat
ini, dengan memanfaatkan booming yang sedang terjadi. Menurut

280

Hendro Wiyanto, Ini saatnya untuk terus memperbaiki infrastruktur seni rupa di Indonesia, terutama infra-struktur yang
independen, dalam arti bisa mengatakan tidak terhadap pasar
yang terlalu jauh melenceng, termasuk mengatakan tidak
terhadap lelang-lelang yang berisi (karya-karya) sampah.
Tetapi Hendro juga mengakui, di saat seperti inilah, para kurator
mendapatkan momentum agar bisa menulis catatan kuratorial
yang panjang dan berbobot. Dan kemudian juga berharap akan
semakin banyak buku tentang seni rupa yang bisa diterbitkan.
Dan yang lebih penting lagi, kata Hendro, Harus segera dibuka
ruang untuk mengakomodasi jenis seni non-lukisan.
Sedangkan Arahmaiani berpendapat, sebetulnya keresahan
baik dari kalangan seniman, kolektor, atau bahkan pemilik
galeri yang menginginkan pertumbuhan seni rupa di Indonesia
lebih sehat lagi, sudah mulai muncul sejak booming luksian pada
akhir tahun 1990an dan awal tahun 2000an. Ketika itu dipicu
oleh wacana goreng-menggoreng yang ditelorkan oleh seorang
kurator bernama Adi Wicaksono. Terlepas dari berbagai tudingan
yang diarahkan ke Adi Wicaksono, soal validitas data, tetapi
hasil penelitian Adi sebetulnya termasuk mencoba menyelam di
dalam kedalaman dunia seni rupa, yang sering tidak dilihat atau
sengaja memang tidak dilihat oleh para pelaku di dunia tersebut.
Dan tulisan tersebut merupakan salah satu tulisan seni rupa yang
menyeruak ke khalayak, memberi denah sirkuit kepentingan antar
berbagai pihak di dunia seni rupa. Memang kemudian situasinya
mendadak memanas. Bahkan, konon, Adi Wicaksono sempat
didatangi beberapa pelukis dengan membawa senjata tajam,
yang membuatnya harus hengkang dari Yogya. Sebuah noda
tertoreh. Apapun alasannya, ketika pemikiran intelektual telah
dihadang dengan tajamnya parang, satu ruang telah terampas
kemerdekaannya, dan jika tabiat seperti itu diteruskan, sebuah
bangunan yang lebih besar bisa roboh karenanya.
Tetapi ada banyak pihak yang mulai melihat dengan jernih
duduk permasalahannya. Menurut Arahmaiani, Oei Hong Djin,

281

salah satu kolektor lukisan yang cukup disegani di Indonesia


dengan reputasinya yang baik, mulai menginisiasi agar terjadi
pertemuan antaa para klektor lukisan, terutama dari para kolektor
yang berdomisili di Magelang dengan para seniman. Di forum
itu, mereka bisa ngobrol dan saling bedialog. Bahkan kadangkadang diundang para kurator untuk ikut memperkaya wacana
seni rupa bagi para seniman dan para kolektor.
Dari pertemuan-pertemuan seperti itu, kemudian banyak
berkembang gagasan segar, terutama untuk memikirkan
kemungkinan yang lebih baik ke depan bagi dunia seni rupa
di Indonesia. Tetapi sayang, ide itu bergulir dengan lamban,
karena para penggeraknya yang kemudian sibuk dengan kegiatan
masing-masing. Apalagi ketika salah satu pemilik galeri yang
punya keinginan kuat untuk memberikan kontribusi dalam
perkembangan dunia seni rupa, Deddy Irianto, harus berkutat
melawan penyakit kanker yang dideritanya.
Ketika booming terjadi lagi, dengan potensi risiko yang lebih
besar terjadi lagi, mulailah forum adu gagasan yang semula
mandek, mulai dikembangkan lagi, terlebih ketika Deddy Irianto
sudah lepas dari ancaman penyakit yang dideritanya. Apalagi di
saat yang sama, muncul momentum 10 tahun reformasi. Lewat
momentum inilah, Arahmaiani, Deddy Irianto, dan beberapa
kurator serta seniman yang peduli dengan perkembangan seni
rupa di Indonesia, mulai mematangkan dan memproses gagasan
yang dulu sempat mengemuka. Kita mulai dari refleksi 10
tahun reformasi, kata Arahmianai, kita ingin mempertanyakan
kembali identitas kita sebagai orang Indonesia, dan melihat posisi
kita berada di mana.

Lagi-lagi menurut Arahmaiani, Tsunami China yang menerpa


dunia seni rupa Indonesia, sebetulnya bisa mencerminkan
bagaimana dunia global itu dioperasikan. Pada dasarnya, dalam
situasi seperti itu, kita tetap saja sebagai kelompok yang dihisap.
Dan masalahnya, apakah kita akan mau menyerah begitu saja
dijadikan sapi perah, atau sebetulnya kita punya nilai tawar yang
kuat.

282

Para seniman di Indonesia, kata Arahmaiani, punya potensi dan


kekuatan untuk bertarung di kancah regional maupun internasional,
tanpa harus meniru para pelukis China. Para seniman kita bisa
muncul dengan kekuatan sendiri, dengan warna sendiri, dan dengan
identitas sendiri. Kita harus yakin dengan hal itu. Lalu kita bisa
muncul sebagai orang-orang yang datang dari sebuah lingkungan
sendiri, dan tidak perlu berpura-pura jadi orang China.
Kalau banyak seniman, kurator, pemilik galeri yang menyadari
hal ini, maka isu ini bisa diangkat ke permukaan, dan Arahmaiani
yakin, dunia akan menoleh ke Indonesia. Kita bisa memberi
suara yang beda tapi berisi dan bermakna. Kita bisa menyuarakan
diri sebagai orang-orang yang memang datang dari keadaan
negara yang sedang terpuruk secara ekonomi, dan tidak perlu
merasa minder, apalagi harus ganti pakaian meniru China supaya
terlihat sejajar. Kita harus tampil percaya diri, memahami duduk
perkaranya dengan baik, mengerti betul berada di mana posisi
kita dalam konstelasi yang ada, dan berani bersuara dengan suara
kita sendiri.
Menarik menyimak para pemikir seni rupa Indonesia dalam
melihat permasalahan seni rupa, dan berusaha mencari celah
untuk terus melakukan terobosan wacana dan paktik, terutama di
saat memanfaatkan momentum booming kali ini. Tetapi mungkin
perlu juga menyimak bagaimana sebetulnya persoalan booming
di mata seorang kolektor seni lukis di Indonesia yang sangat
ternama: Oei Hong Djien.
--ejak kecil, Oei Hong Djien sudah terbiasa hidup dengan
memandang lukisan. Di rumahnya, banyak terpajang
lukisan koleksi ayahnya, terutama lukisan-lukisan Belanda.
Ayah Hong Djien yang berbisnis tembakau, sebetulnya bercitacita ingin menjadi dokter, tetapi tidak kesampaian, sehingga
keinginan itu diwariskan kepada Hong Djien. Dan Hong Djien
pun kemudian kuliah kedokteran di Universitas Indonesia, lalu
meneruskan kuliah di Belanda.

283

Selama berada di Belanda, ketertarikan Hong Djien terhadap


lukisan semakin meningkat, akhirnya sebagai jalan tengah karena
tidak sanggup membeli lukisan, ia banyak mengoleksi kartu pos
yang bergambar karya para pelukis ternama.
Tetapi jalannya nasib tidak bisa diduga. Ayah Hong Djien
tiba-tiba meninggal dunia, dan mau tidak mau kemudian Hong
Djien harus berpindah profesi, dari seseorang yang mendalami
patologi, ke bisnis tembakau. Tembakau itu seperti anggur, tidak
ada yang sama, dan itu butuh sentuhan seni, katanya, ketika
ditanya soal adakah hubungan antara tembakau dan seni. Dan
hubungan yang lebih penting lagi adalah, tanpa tembakau, Hong
Djien tidak mungkin bisa menjadi kolektor.
Suatu saat, ia ingin sekali mempunyai lukisan Affandi, lalu
Hong Djien pun datang ke tempat Affandi. Pak, aku pengen
tiga lukisan, tetapi uangnya enggak ada, ujar Hong Djien suatu
saat kepada Affandi.
Affandi kemudian bilang, Hong Djien boleh mencicil untuk
membeli lukisannya. Berapa lama, Pak? tanya Hong Djien lagi.
Affandi kemudian menjawab terserah. Lalu ketiga lukisan itu
dicicil selama setahun. Malah, Affandi memberi potongan harga
karena dibayar dengan cara dicicil, sebab kata Affandi, cara itu
bisa membuat dapurnya terus mengepul.
Dari Affandi-lah kemudian Hong Djien belajar banyak soal
lukisan. Oleh Affandi, Hong Djien sering diajak bermain ke
tempat pelukis-pelukis yang lain. di proses sperti itulah, Hong
Djien sering bertanya, tentang lukisan yang bagus.
Suatu saat, di sebuah acara pameran ia disuruh ceramah soal
lukisan. Padahal yang datang saat itu banyak dari para intelektual
dan pelukis kenamaan. Hong Djien sempat gemetar. Saat ia
mulai cermah, tiba-tiba ada yang neyletuk bertanya, Bagaimana
cara Anda menilai lukisan?
Di saat itu, ia teringat bahwa pertanyaan itu pun pernah

284

ditanyakan Hong Djien kepada Affandi, dan saat itu Affandi


menjawab, Kalau kelirnya bagus, warnanya bagus, dan dirasakan
bagus, berarti ya bagus.
Tetapi saat ditanya di forum itu, Hong Djien sudah punya
jawaban sendiri tentang bagaimana menilai sebuah lukisan. Ia
kemudian bilang, Menilai lukisan itu kan dari visual, dan karena
itu mata kita harus sensitif. Caranya adalah dengan melatih mata
kita dengan pengalaman melihat lukisan sebanyak-banyaknya dan
sesering-seringnya, terutama karya-karya yangsudah dinyatakan
bagus oleh para ahlinya.
Hong Djien tidak pernah berpikir dirinya menjadi seorang
kolektor lukisan. Pada saat itu, yang dia lakukan adlah jika ada
lukisan yang bagus, ia membeli lukisan itu. Begitu terus, hingga
lukisan-lukisan koleksinya bertambah banyak. Ia tidak ingat
betul, berapa jumlah lukisan yang dikoleksinya, dan hanya bisa
memberi perkiraan, sampai sekarang ia mempunyai koleksi
lukisan antara 1.300 sampai 1.500 lukisan. Beli lukisan itu sudah
nyandu buat saya. Tapi kalau kondisinya seperti ini, harga lukisan
mahal, para senimannya senang, saya yang pecah kepala saya!
katanya sambil tertawa keras.
Hong Djien termasuk kolektor yang disegani oleh para pelukis,
bahkan menjadi semacam parameter terutama bagi pelukis muda,
ada semacam pameo yang digaungkan, seorang seniman belum
dianggap pelukis kalau lukisan si seniman belum dikoleksi oleh
Hong Djien. Dan oleh para koleganya, Hong Djien memang
dikenal jarang menjual lukisan, karena ia memang pencandu
lukisan. Sedangkan Hong Djien sendiri mengaku, selera dirinya
juga berubah, sehingga kadang-kadang ia memang menjual
lukisan yang sudah tidak disukainya. Atau, kalau ia menjual
lukisan, karena ia memiliki lebih dari satu lukisan dari satu
seniman dan kebetulan karya tersebut hampir sama coraknya.
Seorang kolektor itu bukan berarti tidak boleh menjual lukisan,
tetapi ia pasti tidak mungkin menjual lukisan yang disukainya
atau dianggapnya bermutu.

285

Hal sepert itulah, menurut Hong Djien, yang membedakan


antara seorang kolektor dengan seorang kolekdol, sebuah istilah
untuk orang yang suka membeli dan menjual lukisan. Kalau
kolekdol, tutur Hong Djien, motivasi mengoleksinya it bukan
karena suka kepada sebuah karya melainkan karena ia ingin
melakukan investasi. Kalau kolektor, bahkan saat ia kehabisan
duit pun lebih baik hutang bank atau jual barang dari pada harus
jual lukisan. Menurut Hong Djien, ada tiga kategori kolektor.
Pertama, cinta barang seninya. Kedua, cinta duit dari seni. Ketiga,
cinta keduanya, cinta seni dan juga cina duit dari seni. Hong
Djien memposisikan dirinya di bagian yang pertama.
Di kalangan pelukis muda, Hong Djien dikenal suka menolong
dengan cara sering berkeliling, dan membeli lukisan. Soal seperti
itu, Hong Djien bilang, Ya, dulu saya memang sering keliling
dan membeli lukisan dari para pelukis muda. Tetapi yang jelek
tidak saya beli. Soalnya nanti pelukisnyamikir, karena sudah saya
beli ia menganggap lukisannya sudah bagus. Itu kan membuat
pelukis itu tidak maju.
Nama dan posisi Hong Djien yang kukuh seperti itu, menurut
pengakuan Hong Djien, sering dimanfaatkan oleh para pedagang
lukisan. Mereka sering mengklaim sebuah lukisan sebagai bekas
dikoleksi Hong Djien, padahal tidak. Atau, misalnya si pedagang
bilang Hong Djien sudah nawar lukisan itu, padahal melihat pun
Hong djien belum pernah. Juga sering dimanfaatkan oleh galeri sat
menggelar pameran, disebarkan gosip sebelum pameran terjadi, kalau
Hong Djien sudah pesan lukisan. Padahal juga tidak seperti itu.
Khusus soal booming kali ini, Hong Djien berkomentar,
Menurut saya ini sudah kebablasan. Dominasi pasar terhadap
wacana seni rupa di Indonesia belum pernah seperti separah
ini, terutama balai lelang. Hal seperti itulah membuat banyak
pelukis akhirnya hanya menuruti apa yang sedang dibutuhkan
oleh balai lelang. Dan banyak pelukis muda yang seharusnya
masih perlu berproses panjang, terpatok kepada pragmatisme
supaya lukisannya laku.

286

Hong Djien juga mengakui, sering sekali yang dianggap


merusak wacana seni rupa itu dari apa yang kemudian disebut
sebagai kartel Magelang, terutama untuk menyebut para
kolekdol yang berasal dari Magelang, yang bisnis inti mereka
kebanyakan bisnis tembakau. Menanggapi hal itu, Hong Djien
bilang, Saya sebetulnya agak enggak nyaman ada sebutan seperti
itu, tentang para kolekdol dari Magelang. Tapi begini, kita tidak
bisa menyalahkan kalau memang ada orang yang pertama-tama
suka kepada lukisan dari sisi ekonominya, karena keuntungan
finansial. Kita tidak bisa mengharapkan, orang yang tidak punya
latar belakang seni tiba-tiba bisa langsung suka kepada seni, lalu
dengan nada agak bijak Hong Djien, pria berusia 69 tahun itu
berkata, okelah, kalau awalnya daya tariknya hanya soal untung.
Sebab kan enggak mungkin orang mau rugi. Tetapi kita bisa
berharap, lama kelamaan, mereka akan suka dan memperdalam
pengetahuan mereka soal seni. Kalau tiap hari mereka melihat
dan dikelilingi lukisan, lambat laun pasti suka. Apalagi jika
kemudian ada orang yang mengajak mereka berdialog soal seni.
Tetapi Hong Djien juga menyadari, bahwa gejala pasar yang
hanya memprioritaskan lukisan yang laku yang dicari, itu sangat
berbahaya. Hal itu membuat kolekdol menggenjot lukisan-lukisan
yang laku saja, yang tidak laku kemudian dibuang. Kolekdol
yang seperti itu, menurut Hong Djien, tidak bertanggungjawab
terhadap seniman, Kalau sedang laku dibeli terus, kalau sudah
tidak laku ditinggal.
Dan senimannya tahu kondisi seperti itu banyak juga yang
senang, pelukis sebanyak-banyaknya lalu dilempar ke pasar
sehingga para seniman bisa bergelimang kekayaan. Apalagi
bagi seniman-seniman yang dulu memang tidak laku dan
menggunakan aji mumpung. Sehingga kata Hong Djien, Lha
sekarang kesempatan, buang sampah jadi emas!
Salah satu koleksi lukisan Hong Djien yang paling disukainya
adalah karya Teddy berjudul Benang Merah. Karya itu dilihat
Hong Djien di tempat Deddy Irianto, dan begitu melihat lukisan

287

itu, Hong Djien langsung bilang, Ini buat saya!


Saking cintanya Hong Djien dengan lukisan, setidaknya ada
dua peristiwa besar yang terjadi dalam kehidupan Hong Djien,
yang kemudian disentuh dengan cita rasa seni. Peristiwa pertama
adalah saat Wilowati, istrinya Hong Djien, meninggal dunia
akibat serangan kanker, dan meninggal dunia di Jerman, pada
tahun 1992. Istri saya itu juga senang seni. Kalau istri saya tidak
senang dengan seni, tidak mungkin saya mengoleksi lukisan
sebanyak itu. saya beli lukisan apa saja, dia enggak pernah marah.
Saat jenasah sang istri dikirim ke Indonesia, hanya boleh
dimasukkan ke dalam boks, tidak boleh memakai peti jenasah.
Kotak yang berisi jenasah Wilowati itu kemudian sesampai di
Indonesia, dilukis oleh Widayat. Dilukis keempat sisinya, itu
jadi peti mati termahal karena dilukis oleh Widayat. kata Hong
Djien, mengenal peristiwa itu sambil terkekeh.
Peristiwa kedua terjadi pada tahun 2006, saat Hong Djien
menikahkan salah satu anaknya. Pesta pernikahan itu diberi tajuk
Tobacco and Art. Semua perlengkapan dan acara pernikahan
disentuh oleh para seniman. Termasuk Hong Djien mengundang
Teddy, Bob dan Ugo yang khusus didatangkan untuk melukis
para tamu yang ingin dilukis potret.
Kata Hong Djien, saat itu ada seniman yang nyeletuk, Wah
masak tajuknya tobacco dulu baru art
Hong Djien saat itu menjawab dengan rileks, Ya kan kalau
saya, saya punya uang dari tembakau dulu, baru beli lukisan. Itu
bedanya dengan pelukis, kalau pelukis, jual lukisan dulu baru beli
tembakau atau rokok
Para tamu undangan yang mendengar celetukan itu tertawa
terbahak-bahak.

288

Epilog:

Nandur Pari Neng Awang-awang

AMIS, 20 Maret 2007. Senja itu, Yogya basah oleh gerimis


yang mulai turun sejak sore hari. Di sebuah kafe kecil, di
wilayah Yogya bagian utara, Teddy, There dan Jemek turun
dari mobil Teddy, tepat ketika azan magrib terdengar hampir
berbarengan dari beberapa masjid. Senja berubah menjadi malam
dengan cepat. Tapi tidak di perasaan Jemek.
Sejak hari Rabu, ia sudah berulang kali memastikan ke Toni
dan Bob, bahwa pukul 6 sore di hari Kamis, mereka harus
berkumpul kembali, untuk membicarakan lagi Teddy, Toni dan
Bob di dalam sebuah proyek. Toni menyanggupi, demikian juga
Bob. Tapi Jemek tahu persis dengan siapa ia sedang membuat
janji. Teddy sudah dikawalnya sejak sore untuk memastikan
pertemuan itu berlangsung. Tapi Jemek bukan Teddy yang pernah
punya halusinasi berubah menjadi tiga orang. Sehingga Jemek
hanya bisa memastikan Bob dan Toni lewat telepon genggam,
secara terus-menerus.
Pukul 7 malam, mungkin sudah lebih dari 10 kali, Jemek
menelepon Toni dan Bob. Ada kalanya, telepon dari Jemek
diangkat, tetapi ada kalanya tidak. Perasaan Jemek menjadi
waswas, setiap kali menit berganti, rasa waswas itu semakin
meninggi. Tetapi perasaan Jemek kemudian menjadi segar
seketika, karena tepat pukul 7.30 malam, Toni datang dengan
mengendarai sepeda motor, dan Bob datang dengan diantar sopir
serta istrinya. Di meja kafe itu, dua gelas kopi dan sebotol bir
telah ditandaskan Jemek, jejak barang yang bisa mengisyaratkan
kecemasan hatinya.
Kafe itu menjadi semacam pengasingan buat Teddy, dan
semua yang hadir di sana nyaris tidak ada yang tahu soal itu.
Begitu kedua orang yang telah ditunggu datang, Teddy masuk ke
bagian belakang kafe, berbincang sebentar dengan yang punya,
lalu mengajak semua orang untuk naik ke lantai dua.
Sampai di lantai atas, Teddy menyalakan lampu, dan seketika
wajah-wajah terpengarah. Di bangunan lantai dua yang nyaris

291

semua bagiannya terbuat dari kayu itu, beberapa lukisan Teddy


terpasang. Di sana, ada pula sebuah lukisan yang belum jadi.
Perkakas melukis, tertata rapi.
Jemek sejenak lupa atas misinya. Ia dengan cermat melihat
satu per satu lukisan Teddy yang disembunyikan di tempat itu.
Ketika beberapa botol bir dan beberapa gelas berisi kopi serta teh,
Teddy, Jemek, Toni dan Bob mengitari sebuah meja kecil. Mereka
berbincang soal tempat itu, dan Teddy sejenak menerangkan ke
teman-temannya, beberapa konsep lukisannya yang terpajang di
tempat itu. Sementara itu, There langsung tiduran di atas kasur,
karena ia kelelahan dan juga karena kehamilannya yang semakin
tua. Demikian juga Widi, calon istri Bob yang usia kandungannya
mulai masuk ke bulan keempat.
Malam itu, prosesnya, Teddy, Toni dan Bob mencoba
mengingat-ingat, apa saja yang pernah mereka lakukan bertiga,
dan apa saja komentar di antara mereka, baik secara personal
maupun soal karya.
Bob, itu maestro. kata Teddy, membuka percakapan. Bob
yang saat itu terlihat segar, karena ia dijaga ketat isrinya supaya
tidak mengkonsumsi pil koplo, hanya nyengir begitu mendengar
komentar Teddy.
Kalau Toni, dia itu seniman sekaligus orator, ujar Teddy,
lukisan-lukisan Toni, sebetulnya mirip seperti ketika Toni
berorasi. Toni hanya diam. Ia mencari tas lusuhnya, membuka,
meraba-raba isinya, lalu mengeluarkan alat hisap untuk
meredakan asma yang sedang mengamuk di dadanya.
Lalu suasana menjadi penuh gelak, ketika mulai membicarakan
kesintingan Bob saat masih kuliah.
Dulu, ke mana-mana, ia selalu membawa kampak dan di
rambutnya selalu ada sehelai burung, karena ia begitu tergilagila dengan film The Last of the Mohicans, kenang Toni sambil
terkekeh-kekeh.

292

Kapakku itu disita polisi di jalan, karena aku membawanya


ke mana-mana. ujar Bob. Lagi-lagi, ia menambah daftar
masalahnya dengan polisi.
Kemudian Teddy berkisah, dulu saat mereka kuliah, ada saat di
mana para mahasiswa terutama yang suka berkumpul di bawah
pohon beringin, membawa binatangbinatang peliharaan. Ada
yang membawa anjing, kucing, iguana, ayam dan tikus. Bob
selalu datang dengan anjing dan kucing yang terbuat dari kayu.
Semua orang di ruangan itu tertawa terpingkal-pingkal. Juga
Bob, dan kemudian ia berkomentar, Kan enggak susah, enggak
usah harus memberi makan
Tetapi karena saat itu sering diejek teman-temannya, akhirnya
Bob datang ke kampus dengan membawa ular. Ular pertama
yang dibawa Bob, mati hari itu juga, karena ketika Bob mabuk,
ular itu diputar-putar sampai ratusan kali. Begitu selesai diputar,
Bob hampir menangis karena ularnya mati.
Kembali terdengar suara ngakak. Perut Jemek sampai
terguncang dan mengencang. Ular kedua, hampir berbarengan
Toni dan Teddy bersuara, tetapi kemudian Toni yang mengalah,
membiarkan Teddy yang melanjutkan kisah, mati juga saat
Steak Daging Kacang Ijo manggung. Karena Bob mabuk, jatuh,
ular yang melilit lehernya, jatuh terlebih dahulu dan tergencet
gitarnya.
Semua orang menunggu ad kisah ular ketiga. Ternyata
memang ada. Ular ketiga, ini ular yang terakhir, jenisnya kobra.
Kurang ajarnya Bob, ular itu hilang di sekitar pohon beringin.
Sampai berminggu-minggu, hampir tidak ada orang yang berani
berkumpul di bawah pohon beringin.
Teddy mulai menenggak bir, dan There mulai mengingatkan
Teddy supaya tidak banyak-banyak minum. There sadar betul,
kalau sampai Teddy mabuk pasti akan lepas kontrol. Bob tidak
menyentuh bir. Ia selalu melirik dengan takut-takut ke arah Widi.

293

Ayo Bob minum Teddy menawari.


Bob langsung merespons denga cepat. Ia berkata sambil sekali
lagi melirik ke arah Widi, Aku enggak mau mabuk lagi. Aku itu
setia dan mencintai pasanganku. Kalau dia (Widi) bilang jangan
mabuk, ya aku enggak mabuk
O kalau gitu ya jangan ucap Teddy dengan nada sok bijak.
Masalahnya, aku pengen! begitu selesai mengucapkan kata
itu, Bob langsung menandaskan satu botol bir lagi. Semua orang
kembali tertawa, kecuali There dan Widi. Jemek memanggil
pramusaji, meminta tambahan beberapa botol bir lagi.
Kalau soal lukisan Bob? pancing Jemek kepada Toni dan
Teddy. Pancingan Jemek tidak ada yang merespons. Toni malah
kemudian bercerita, Dulu, puisi-puisi Bob selalu jadi andalan
pementasan Steak Daging Kacang Ijo
Apa Bob, puisimu yang bagus itu, yang bercerita soal
petani? tanya Toni kemudian. Begitu ditanya, Bob langsung
bersenandung. Sambil mengingat-ingat. Sampai lama tidak
ketemu. Akhirnya Bob memukul-mukul keningnya dan berkata,
Pokoknya aku ingin bercerita kalau lahan sudah penuh dengan
bangunan, di mana petani bisa menanam padi?
Kalimat Bob itu langsung membuat Teddy dan Toni juga
berpikir keras, berusaha mengingat-ingat. Tapi akhirnya Bob
yang ingat, Nandur pari neng awang-awang! Menanam padi di
langit!
Teddy yang merasa jadi vokalis grup musik aneh itu langsung
sok ingat. Betul! Aku dulu sering menyanyikan lagu itu!
Syairnya bagaimana? tanya Jemek penasaran.
Ya itu saja syairnya, dari awal sampai akhir hanya nyanyi:
Nandur pari neng awang-awan celetuk Toni sambil terkekeh.
Kita dulu hebat ya, coy? tanya Teddy. Ia mulai terlihat mabuk.

294

Bukan hebat, tapi brengsek. jawab Bob.


Kalau brengsek ya sampai sekarang, enggak hanya dari dulu.
ucap Toni. brengsek kok enggak sembuh-sembuh.
Kalau aku brengsek kan wajar, aku jauh dari orang tua. Lha
kalian, dekat orang tua kok brengsek Teddy mulai menyerang
kedua rekannya.
Iya, tapi kan aku enggak tinggal di rumah lagi. Aku minggat
dari rumah. Toni mencoba bertahan.
Tapi kalau lapar dan enggak punya duit pulang ke rumah,
ngambil barangbarang untuk dijual. Teddy menyambut
jawaban Toni, dengan serangan kedua, dan ia langsung tertawa
terpingkal-pingkal. Toni juga terkekeh-kekeh.
Toni itu asu! ucap Teddy, pernah suatu saat, ada temannya
yang memelihara piranha. Lalu orang itu pulang kampung dan
menitipkan piranha itu ke Toni. Kan bapaknya Toni punya kolam
lele di belakang rumah, karena Toni kesal dengan bapaknya,
piranha itu dimasukkan ke kolam lele. Beberapa bulan kemudian,
saat bapaknya Toni pergi, Toni ngajak aku mencuri lele dari
kolam bapaknya. Kolam itu kita kuras. Hanya ada satu ekor ikan
piranha.
Semua tertawa terpingkal-pingkal. Hanya Jemek yang mulai
berubah pendiam. Tampaknya, ia mulai berpikir, forum yang ia
gagas sedang melenceng jauh dari apa yang ia inginkan
Tetapi mereka bertiga tidak menyadari kegundahan Jemek.
Mereka terus asyik membentang ingatan, soal apa yang pernah
mereka lakukan di waktu dulu.
Pas aku awal kuliah, giliran Toni bercerita, aku kan sudah
suka performance art. Ada pentas wayang orang di UGM. Aku
sama Bob nyewa pakaian Hanoman dan Sugriwa dari persewaan
kostum wayang di daerah Timoho.
Dia yang Sugriwo aku yang Hanoman! Bob dengan semangat

295

ikut bercerita. Teddy hampir mau mengeluarkan suara, tapi Toni


memangkasnya, Kamu enggak tahu, Ted! Kamu belum kuliah.
Kan kami berdua ini kakak tingkatmu!
Teddy hanya bisa bilang, Asu!
Kami berdua naik sepeda onthel ke UGM, lanjut Toni, saat
pentas dimulai, kami ikut naik panggung!
Semua orang kembali tertawa ngakak. Bob langsung berkata,
Kan kita ini orang panggung! Kalau lihat ada panggung hanya
ngeceng, ngaceng dan ngaceng, pengen tampil!
Tapi pulang-pulang, harus ngganti kain jarik, karena kain
yang dipakai Bob masuk ke jeruji roda dan robek. Lanjut Toni.
Aku lupa, apakah kemudian jarik itu kuganti dengan mencuri
punya ibuku atau Bob yang mencuri punya neneknya
Dulu, Teddy tidak mau kalah, Bob pernah datang ke kampus
membawa cewek cantik banget. Dia bilang cewek itu pacarnya.
Siapa namanya?
Reni! ketiga orang menyahut berbarengan.
Tapi kemudian Toni yang melanjutkan kisah itu, Nah, pernah
suatu hari, Rani datang ke sor ringin, bilang ke Bob kalau ia
digoda cowok di kampusnya, di Instiper (Insitut Pertanian).
Hanya cowok goblok yang enggak nggoda Reni. Teddy,
nyeletuk.
Nah Bob langsung berangkat ke Instiper, terus aku tanya:
perlu dikawal enggak, Bob? Bob menjawab: enggak perlu. Lalu
terjadi perkelahian di sana tutur Toni.
Salah! Bob menyergah. Bukan perkelahian. Pemukulan.
Aku datang ke sana, kucari orangnya, ketemu, terus kupukul: jrot!
Terus aku pergi. Itu namanya bukan perkelahian karena tidak ada
perlawanan. Itu pemukulan!
Semua orang kembali terkekeh-kekeh mendengar penjelasan

296

Bob. Lalu terdengar suara Teddy, Baru kemudian ketahuan kalau


Reni itu ternyata sepupunya Bob!
Begitu tahu kalau keponakan Bob, kamu langsung naksir,
kan? ejek Toni ke Teddy.
Ora sudi! Mana mau aku punya sepupu seperti Bob. Sahut
Teddy, lagi-lagi disambut gelak tawa.
Kamu kok dulu pemberani gitu, Bob? tanya Jemek.
Enggak berani gimana, wong aku ngoplo! jawab Bob dengan
jujur. Ya yang berani itu nipamku itu, bukan aku!
Kembali semua terkekeh. Bob memang dikenal pelahap pil
koplo. Pernah suatu saat, ia mendapatkan anugerah bergengsi di
ISI, Affandi Prize. Waktu iu tahun 1994. Ia mendapat hadiah
800 ribu rupiah, dan karya itu dibeli orang dengan harga 2 juta.
Uang
2.800.000 rupiah saat itu besar banget. Aku kan nabrakin
mobil kampus, kubengkelkan dari uang itu, dan sisanya masih
banyak. Aku langsung ke Jakarta, beli pil koplo dari tangan
pertama. Akhirnya aku pulang dengan membawa satu lodong
penuh pil koplo. ujar Bob.
Dulu aku pengoplo berat kenang Bob sok bijak mengenang
masa lalunya.
Mendengar hal itu, Teddy langsung menyergap dengan
pertanyaan, Memangnya sekarang sudah enggak?
Enggak dong. Sekarang kan minum obat dari resep dokter
Tapi sama saja. Yang kamu minum itu juga sejenis pil koplo.
Obat penenang, bukan pil koplo.
Sama saja!
Tapi tiba-tiba Bob terlihat bingung, matanya beredar ke manamana, Lho, sayangku mana? tanyanya, ketika tidak melihat

297

Widi di ruangan itu.


Ke kamar mandi! teriak There.
Bob terlihat lega.
Percakapan kemudian berpindah ke tema soal apa yang mereka
impikan ke depan. Teddy yang menjawab pertama kali, Aku
ingin membuat Steak Daging Kacang Ijo Painting Institute.
Yang mengajar di sana, aku, Bob dan Toni. Status yang belajar
di sana adalah mahasiswa, sekalipun yang masuk ke sana tidak
lulus SMA.
Aku daftar jadi mahasiswanya. segera Jemek ambil suara.
Sudahlah, kelasmu itu jualan lukisan saja! jawab Teddy
dengan dingin.
Jemek hanya bisa bilang, Asu!
Toni kemudian mengeluarkan impiannya, Aku pengen
membantu banyak seniman supaya bisa kaya, terutama kawankawan dekat. Secara pemikiran dan ekonomi, kita harus maju
bersama-sama
Sementara Bob bilang, Kalau aku impianku sederhana.
Sayangku pengen punya panti asuhan di kampungnya. Aku akan
berusaha mewujudkan hal itu.
Jawaban Bob disambut dengan tepuk tangan. Setelah tepuk
tangan mereda, mendadak percakapan menjadi lebih serius
lagi. Dan hal itulah yang ditunggu-tunggu Jemek. Mereka
mendedahkan konsep-konsep lukisan, dan uneg-uneg mereka
di dalam dunia seni rupa saat ini. Jemek segera meminta ke
pramusaji beberapa botol bir lagi. Dan tidak lama lagi, ia menjadi
sadar, memesan bir berkali-kali di forum yang seperti ini adalah
sebuah kesalahan fatal.
---

298

i antara ketiga orang itu, Teddy memang dikenal orang


yang paling tegang dan berpikir soal seni rupa. Ia total
di sana. Hal itu bisa dilihat dari beberapa batupal
kreativitasnya. Pernah ia mengeksplorasi habis-habisan soal
kepala. Bagiku, kepala itu sangat penting dan mengerikan.
Ketegangan manusia berada di sana. Persoalan manusia tersimpan
di sana. ucap Teddy. Dan dari sana ia membuat banyak karya
tentang kepala, termasuk yang sangat terkenal dan dikenal orang
dengan baik, terutama mereka yang punya perhatian terhadap
seni rupa adalah saat ia membuat kepala dan ada rodanya. Karya
itu terbuat dari logam.
Soal konsep karya itu, Teddy bilang, Fisik kita bisa berjalan
di mana-mana, tetapi kepala kita bisa saja hanya terpaut pada
sesuatu di satu tempat, di rumah misalnya. Atau bisa juga, tubuh
kita berdiam di satu tempat, tetapi isi kepala kita mengelana ke
mana-mana.
Dan satu lagi karya luar biasa yang dihasilkan Teddy dalam
garapan serialnya tentang kepala, dan masih berbahan logam
adalah kepala di atas perahu. Ia memberi judul karya itu Old
Head on the Sea, judul itu mengingatkan kita kepada karya novelet
Ernest Hemingway, The Old Man and The Sea, yang menceritakan
kisah seorang nelayan tua, menghadapi dirinya sendiri dengan
kesabaran dan keyakinan bahwa ia akan mendapatkan seekor
ikan yang besar. Tetapi ironisnya ketika seekor ikan marlin besar
berhasil nyangkut di pancingnya, dan selama berjam-jam ia
melakukan tarik-ulur dengan ika itu, seekor hiu menyantap ikan
tersebut. Karya pendek Hemingway itulah yang membuatnya
menyabet hadiah nobel.
Batupal karya Teddy yang juga mengengat publik seni rupa
Indonesia adalah saat ia membuat banyak televisi dari batu.
Proses karya itu berawal dari suatu saat lukisannya terjual, dan
ia membeli sebuah televisi besar. Hampir tiap saat ia menonton
televisi. Tetapi hal itu kemudian membuatnya muak. Dan
kemudian membuat Teddy tidak bisa melihat televisi lagi. Lalu

299

ia membuat karya itu dengan judul Tak Kutuk Dadi Watu


(Kukutuk Menjadi Batu). Karya itu juga sempat membuat heboh
karena di saat ada acara di Pantai Parangtritis, televisi-televisi
dari batu itu dipajang di pantai, dan di malam hari, benda-benda
itu dipakai sebagai tempat duduk oleh para pelacur yang berada
di sana untuk melakukan transaksi seks.
Baik Toni maupun Bob mengakui, soal konsep dan totalitas,
Teddy adalah jagonya. Teddy pula yang akhirnya mengeluarkan
kredo soal lukisan, dan kredo ini kemudian sering dipakai oleh
orang, Lukisan adalah gambar yang dipermudah atau diperumit.
Toni dan Bob juga tahu, kalau Teddy dikenal sebagai perupa
yang piawai membuat idiom, yang kemudian menjadi terkenal,
seperti Gambarsari di mana bagi Teddy, gambar adalah intisari
yang tidak lagi bisa dipecah dalam seni rupa. Seperti atom dalam
kimia, kata Teddy.
Ketegangannya dalam berproses dan berkarya, tidak selalu
diawali dengan pencarian yang rumit. Kadang ditemukan
Teddy dalam kehidupan sehari-hari. Pernah suatu saat, teddy
merasa terganggu kalau ada temannya yang makan kacang di
dekatnya. Setelah dipikir-pikir, ia menjadi mendapatkan benang
merah tentang kacang yang kebanyakan berisi dua biji. Hal itu
mengingatkannya tentang teori bipolar, tentang dualisme tubuh
dan jiwa dalam teori Filsafat Manusia, termasuk persoalan
makrokosmos dan mikrokosmos, bahkan dwi fungsi ABRI. Serial
kacang inilah yang dalam waktu dekat akan dipamerkan Teddy di
Beijing China, dengan kurator Hendro Wiyanto.
Dan salah satu temuan Teddy yang kemudian langsung
mencengkeram kuat di benak kawan-kawan dekatnya adalah
saat Teddy mengeluarkan istilah Art-Merdeka. Sebuah konsep
berkesenian yang butuh militansi dan total berada di sana.
Untuk soal seperti itu, Hendro Wiyanto mengakui, Kadangkadang, di dalam dunia seni rupa, ada kecenderungan perupa
untuk membuat hal-hal yang dengan konteks yang berlebihan.

300

Dan kemudian dibesar-besarkan oleh para kurator. Padahal


sebetulnya itu hanyalah filosofi yang semu. Mereka punya pretensi
untuk menjadi semacam filsuf-filsuf kecil. Nah, Teddy itu tidak
dalam posisi seperti itu.
Tetapi di saat kedua temannya, Bob dan Toni memuji dirinya,
Teddy merendah dengan berkata, Kalau aku enggak pernah
bersama-sama kalian, mungkin aku juga tidak akan menemukan
konsep-konsep seperti itu..
Soal lukisan Teddy, Bob punya komentar, Tulisan Teddy
itu kuanggap bagus, kalau begitu aku melihat lukisannya aku
langsung tertawa. Tapi kalau aku harus mikir dulu, berarti karya
Teddy kuanggap belum berhasil.
Sementara Toni berpendapat, Kebanyakan karya Teddy itu
bagus. Tapi ada juga yang jelek!
Mendengar komentar itu, Teddy langsung agak keras bersuara,
Kalau lukisanku bagus pun kalian tidak membelinya!
Semua orang lagi-lagi tertawa, mendengar sanggahan Teddy
yang mulai terlihat mabuk, dan berjalan ke san ke mari, seperti
tidak jenak, entah mencari apa.
Soal ciri mabuk Teddy itu, Deddy Irianto pernah bilang,
Mungkin dia itu reinkarnasi dari monyet kali. Suka genit dan
jalan ke sana ke mari. Kalau mabuk susah sekali dikontrol!
Tapi Deddy juga mengakui, kalau antara dia dan Teddy terikat
semacam cairan kimiawi, di mana ia bisa berdialog soal seni rupa
dengan nyaman bersama Teddy. Aku bisa belajar banyak tentang
seni yang konseptual itu malah dari Teddy, begitu pengakuan
Deddy.
--ementara itu, Bob yang mengaku bahwa sakit adalah
filsosofi hidupnya, dan karena itu ia menempelkan kata sick
sebagai namanya, mengatakan bahwa melukis itu sudah
seperti memuntahkan apa yang dia rasakan. Melukis kok pakai
mikir! ucapnya.

301

Ugo Untoro mengakui, kalau dalam menghadapi kanvas


besar, Bob nyaris tidak ada bandingannya, dalam hal keberanian
melakukan eksekusi di atas kanvas. Bob bisa lngsung sratsret menyabetkan kanvas. Bob mengakui panjang lebar
sambil mengeluarkan uneg-unegnya, Hidupku sudah penuh
dengan masalah. Dan kanvas adalah tempat yang tepat untuk
melampiaskan itu semua. Jadi jangan salahkan aku yang bisa
melukis dengan cepat, sebab di kepalaku tertimbun begitu banyak
masalah. Itulah sialnya. Karena ternyata hal itu dalam dunia seni
rupa jadi masalah, karena kemudian itu bicara soal pasar di mana
mereka ketakutan karyaku terlalu banyak berada di pasar dan
kemudian anjlok.
Bob berhenti sebentar, lalu berkata lagi, Tapi ya enggak apaapa. Masak karena itu aku harus tidak melukis? Melukis bagiku
itu sudah seperti seorang kiai melakukan zikir. Itu kebutuhan
spritualku. Kalau kemudian lukisanku karena tetek-bengek pasar
menjadi tidak laku ya tidak apa-apa. Malah itulah saatnya aku
bisa melukis untuk diriku sendiri. Tapi aku yakin, jika kemudian
harga lukisanku anjlok, aku akan bangkit lagi. Karena aku itu
enggak mau kalah dalam hal berkompetisi. Mau lihat buktinya?
Lihat saja tato-tatoku!
Sedangkan Toni berkata dengan pelan, semenjak ia
punya masalah dengan Heidi dan masasah lain, Aku jadi
memperhatikan hal-hal kecil dalam hidup ini. Ia mengulang
kisah di mana ia sendirian di sebuah rumah, hatinya resah, tetapi
di saat itu pula, ia melihat kupu-kupu yang hinggap di antar
bunga-bunga. Semenjak itu, aku lebih meminimalisir aksesori di
dalam lukisanku. Tapi bagi yang jeli, mereka pasti tahu, lukisanlukisanku tidak pernah jauh-jauh dari permasalahan sosial dan
politik.
Selesai mengudar gagasan dan uneg-uneg soal lukisan, mereka
kembali berbincang soal hal lain, seperti tato, mabuk, dan
spiritualitas mereka.
---

302

Tato bagiku adalah hidup itu sendiri. Dan untuk urusan


ini, aku tidak mau dikalahkan. ujar Bob. Ia bahkan berani
membuat tato di bagian-bagian yang sangat berisiko, seperti
di sekitar mata dan kelopak mata. Akibatnya, kalau salah dikit
saja, bisa buta.
Sementara bagi Toni, tato adalah alat untuk menunjukkan
keyakinankeyakinannya dan filosofi hidupnya. Ia menunjukkan
tato dengan tulisan yang dipetil dari salah satu pidato tokoh
revolusioner Argentina yang ikut berjuang bersama Fidel Castro
menggulingkan pemerintah otoriter di Kuba, lalu pergi lagi dan
kemudian mati tertembak di Bolivia: Ernesto Che Guevara. Di
tangan Toni tertulis kalimat terkenal Che Guevara itu: Kalau
kamu menangis dan marah melihat ketidakadilan, kau adalah
kawanku.
Lalu Toni juga menunjukkan tato berupa gunungan wayang
di lengannya. Kemudian Toni menjelaskan, Di dalam wayang,
gunungan itu membuka dan menutup cerita. Dan itu adalah
simbol pohon kehidupan. Pohon yang harus dimulai, dibangun,
didiami, dan kemudian diakhiri. Pohon yang harus ditapaki
dengan rasa cinta.
Sedangkan Teddy menjelaskan bahwa tato baginya adalah
mantra. Aku suka dengan agama-agama pagan, karena itu, tatotatoku banyak bergambar simbol-simbol paganisme. Aku kecewa
kenapa harus dilahirkan dengan agama besar. Dan aku kecewa
hidup di sebuah negara yang mengatur soal agama. Spiritualitas
itu jika tumbuh terus, maka semua sama. Semua sama ketika
mencapai tataran makrifat
Untuk soal mabuk, Toni berkata, Mabuk itu bagiku untuk
mensyukuri hidup ini. Dan stimulan untuk berkarya. Mabuk
bagiku itu semacam jalan pedang bagi seorang samurai.
Mabuk itu kemerdekaan! Bob mengucapkan kalimat singkat.
Dan Teddy menanggapi soal mabuk seperti ini, Aku mabuk

303

karena aku haus. Aku juga enggak tahu, sebetulnya aku yang
sebenarnya itu yang dalam keadaan mabuk atau tidak mabuk.
Dan jangan salah, mabuk itu bukan kok tidak sadar. Karena
lawan sadar adalah tidak sadar. Kalau lawan mabuk adalah tidak
mabuk!
Jawaban itu kontan menyulut gemuruh tawa. Tapi tiba-tiba,
Bob mengedarkan pandangan dan bertanya-tanya, Sayangku di
mana? Lho, kekasihku di mana? Ia mencari-cari Widi.
There menjawab, Keluar. Mungkin belanja.
Bob semakin bingung, Belanja apa malam-malam begini?
Wah pasti dia ngambek gara-gara aku mabuk. Padahal aku
enggak mabuk. Bob lalu mencari-cari telepon genggamnya, dan
setelah ketemu ia menelepon istrinya, tapi tidak diangkat. Lalu ia
bilang ke teman-temannya, Itu kan, padahal aku itu sebetulnya
tadi enggak pengen mabuk.
Lha ya jangan mabuk jawab Teddy dengan cepat.
Masalahnya, aku ternyata pengen! selesai mengatakan itu,
Bob mencari sepatunya, dan memakainya.
Forum terancam bubar. Tapi Jemek sudah lega. Beberapa hal
yang ingin ia dengarkan, sudah ia dapatkan.
Satu per satu, orang-orang turun. Bob memanggil taksi, lalu
pergi mencari istrinya setelah ia menelepon sopirnya. Toni segera
menghidupkan sepeda motor dan melenggang, menembus
gerimis yang masih saja turun. Karena dalam kondisi yang agak
teler, There tidak mau disetiri baik oleh Jemek maupun oleh Teddy.
Mobil Teddy akhirnya dibawa Jemek, dan There memanggil taksi.
There dan Teddy masuk ke dalam taksi. Sepanjang perjalanan
dari kafe itu ke rumah Teddy, Teddy berceramah kepada sopir
taksi tentang dunia melukis. There hanya berkomentar pelan si
sopir, Maaf ya Pak, suami saya sedang mabuk
Si sopir taksi mengangguk sambil tersenyum. Hanya mungkin
dia heran, kok ada suami mabuk dan yang mengawal istrinya,

304

padahal si istri perutnya membesar, pertanda hamil tua.


Gerimis di malam itu, baru berhenti menjelang subuh.
Mungkin di malam itu, baik Teddy, Toni maupun Bob bermimpi
sama, mereka menanam padi di langit sambil menyanyi satu
lagu yang ternyata judul lagu itu adalah satu-satunya syair lagu
tersebut: Nandur pari neng awang-awang

305

Bahan Bacaan
Dan SUMBER WAWANCARA

ebagian besar buku ini disusun dari sumber wawancara.


Tetapi, beberapa ihwal di dalam buku ini, didapatkan
dari berbagai buku dan dokumen tertulis lain, hanya saja
disarikan dan dibahasakan ulang, dan secara sengaja, supaya tidak
mengganggu proses pembacaan, sumber tersebut tidak diletakkan
sebagai catatan kaki, melainkan dengan cara lain.
Sejak mula, buku ini sudah berhutang inspirasi dari In Cold
Bloodnya Truman Capote, dan The Invicible Palacenya Jose
Manuel Tesara, dan Heavier than Heaven-nya Charles R. Cross.
Sedangkan dari sisi teoritik dan metodologi, buku ini berhutang
kerja pada karya Ken Plummer, Documents of Life: An Introduction
to the Problems and Literature of Humanistic Method (1983). Lalu
karya Ardra L. Cole dan J. Gary Knowles, Lives in Context: The
Art of History Research (2001). Dan juga karya Valerie Raleigh
Yow, Recording Oral History: A Practical Guide for Social Scientists
(1994).
Dari segi data dan analisa politik Indonesia pasca-1965,
saya mengandalkan karya intelektual anak bangsa yang
membanggakan, lahir dari tangan Daniel Dhakidae, Cendekiawan
dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003). Juga karya Max
Lane, Bangsa yang Belum Selesai: Indonesia, Sebelum dan Sesudah
Soeharto (2007).
Perihal bentangan sejarah seni rupa, saya harus menyebut sumber
acuan yang saya gunakan yakni rampai tulisan Sanento Yuliman
yang disunting oleh Asikin Hasan, Dua Seni Rupa: Sepilihan Tulisan
Sanento Yuliman (2001). Kemudian buku yang disunting oleh Jim
Supangkat, Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (1979).

306

Khusus untuk membantu menyegarkan ingatan saya atas


peristiwa 1998, dari sisi seni rupa, saya membaca tesis karya Heidi
Arbuckle, Taring Padi and the Politics of Radical Cultural Practice
in Contemporary Indonesia (2000). Dan khusus untuk membantu
saya mengingat kembali tahun penting tersebut dalam konteks
gerakan mahasiswa dan sekelumit sejarah gerakan mahasiswa
Indonesia, saya membaca skripsi hasil kerja F. Asisi Sukoeksi
Widianto, Selebaran Gerakan Mahasiswa Pro-Demokrasi Yogya:
Simbolisasi Penyadaran dan Perlawanan Kelas (2000).
Di dalam buku ini, saya juga membaca setumpuk katalog
pameran, di mana di dalam katalog-katalog tersebut terdaat
sederet tulisan yang saya anggap penting, namun ijinkanlah saya
hanya menyebut beberapa di antara katalog-katalog tersebut:
katalog pameran Haris Purnomo, Alien: Nation (2007); katalog
pameran FX Harsono, Titik Nyeri (2007); katalog pameran Bob
Sick Yudhita, Happy Birthday NIN (2007). Saya juga membaca
sebuah buku yang berisi tulisan-tulisan penting: 15 Years Cemeti
Art House: Exploring Vacuum (2003).
Dan sebagaimana saya sebut di awal, sebagian besar isi buku ini
berdasarkan wawancara, dan berikut ini adalah daftar nama yang
saya wawancarai, saya sebut secara alfabetikal: Arahmaiai, Bob
Sick Yudhita, Bonyong Munni Ardhi, Bowo Arif, Budi Satrio,
Bunga Jeruk, Coki Nasution, Deddy Irianto, Dwi Maryanto, Edo
Pillu, Gandung, Hamzah Hamcrut, Heidi Arbuckle, Hendro
Tuhan, Hendro Wiyanto, Latif, Mella Jaarsma, Ninung, Octy
Oik Budiati, Oei Hong Djien, Ong Harry Wahyu, Raharjo
Waluya Jati, S. Teddy D., Siradz, Sunarmi, Syamsul Barry,
Theresia Sitompul, Toni Volunteero, Ugo Untoro, Widiasih,
Yasto dan Yayuk.

307

UCAPAN TERIMAKASIH

etiap kali saya menyelesaikan sebuah buku, selalu saya


tiba pada fase terdiam yang cukup lama, terutama untuk
mengisi lembar halaman terimakasih. Saya tahu persis,
tidak mungkin seluruh nama yang berjasa di dalam penyelesaian
sebuah buku saya sebut, tapi saya juga sangat tahu persis, setiap
buku tersebut terbit, saya menyesal mengapa ada sejumlah nama
yang tidak saya sebut di sana. Tapi saya sadar, orang-orang yang
berhubungan dengan saya, bukan hanya tahu soal masalah seperti
itu, tetapi juga sangat tahu, ucapan terimakasih dari saya untuk
mereka, tidak terlalu penting.
Saya punya cukup waktu luang untuk menyelesaikan buku
ini, satu bulan untuk melakukan riset dan wawancara, dan tiga
minggu untuk menuliskannya. Tetapi buku ini akhirnya bisa
selesai saya tulis dalam waktu 15 hari. Hal tersebut mustahil saya
lakukan, tanpa bantuan dari Bowo Jemek Arif, manajer proyek
ini, yang dengan penuh tanggung jawab mengawal proses dari
awal hingga akhir. Terimakasih juga untuk Ope Wardhani, dialah
yang mengatur semua hal yang saya perlukan, dari mulai mencari
data, mengorganisasikan para transkriptor, membuat jadwal kerja,
sampai menemukan sebuah tempat yang nyaman dan tersembunyi
untuk saya menyepi mulai dari awal menulis. Ope bukan orang
yang tidak sibuk, tetapi dia selalu menyediakan waktu selama
24 jam untuk membantu saya dengan tingkat ketangkasan yang
mencengangkan. Saya ingin juga mengucapkan terimakasih
kepada Kang Eko Susanto, yang berusaha mengimbangi kerja
saya dengan memeriksa kata demi kata, dengan tempo tinggi
dan jadwal yang ketat. Ia juga memberikan suntikan semangat,
sebagai sahabat lama untuk menuntaskan kerja kali ini.

308

Saya juga mengucapkan terimakasih kepada Heidi Arbuckle,


yang meluangkan waktunya untuk membaca naskah ini, dan
memberikan masukan, serta mempersilakan saya membaca
tesisnya, sebuah karya yang penting tetapi belum diterbitkan.
Kepada Bung Asisi, saya juga mengucapkan terimakasih,
karena memberi saya pinjaman skripsi bahkan membawakan
saya setumpuk dokumen lain yang juga penting, yang bahkan
belum saya pikirkan saat itu. Saya harus juga berterimakasih
kepada Nurhady Sirimorok, yang telah mengirimkan bukubuku yang saya anggap penting dari tempat yang sangat jauh.
Saya juga berterimakasih kepada beberapa lembaga di mana
saya bisa mengakses informasi yang sangat saya butuhkan yakni
Indonesian Visual Art Archive (IVAA), Galeri Seni Cemeti dan
Pusat Data Kompas.

309

ISBN 979179430-8

9 789791 794305

Anda mungkin juga menyukai