Urgensi pembangunan pertanian untuk pembangunan nasional suatu
negara secara teoritis telah teruji dan tidak terbantahkan lagi.
Xenophon, filsuf dan sejarawan Yunani yang hidup 425-355 SM mengatakan bahwa “Agriculture is the mother and nourishes of all other arts”, Pertanian adalah ibu dari segala budaya. Jika pertanian berjalan dengan baik, maka budaya-budaya lainnya akan tumbuh dengan baik pula, tetapi manakala sektor pertanian diterlantarkan, maka semua budaya lainnya akan rusak. Namun dalam tataran implementasi kebijakan pertanian terutama di negara-negara berkembang sering terjadi kebijakan yang salah sehingga sektor pertanian terabaikan dan ditinggalkan. Kebijakan pembangunan ekonomi di sebagian besar negara berkembang termasuk di Indonesia seringkali terdapat ketidakkonsistenan antara apa yang secara formal tertuang dalam dokumen perencanaan dengan implementasi dalam pelaksanaan strategi pembangunan ekonomi [1]. Dari waktu ke waktu terbukti sektor pertanian selalu menjadi andalan dalam pembangunan perekonomian nasional, dulu, sekarang, dan diyakini untuk masa yang akan datang. Terlepas dari itu, memang harus diakui bahwa sektor pertanian menghadapi tantangan yang semakin besar, seperti globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan. Sementara itu, didalam negeri sendiri masih dirasakan kurang keberpihakan pengambil kebijakan terhadap pembangunan sektor pertanian dalam perspektif pembangunan nasional [2],[3]. Perkembangan pembangunan pertanian di Indonesia tidak terlepas dari sejarah aktivitas pertanian yang terjadi selama ini. Menurut Krisnamurthi [4], mengungkapkan pentingnya sejarah dalam konteks revitalisasi pertanian, bahwa sejarah menjadi penting bukan karena romantisme nostalgia atau mengagungkan kebanggaan prestasi, tetapi justru karena dapat menjadi cermin untuk mengenal jati diri dan untuk memperbaiki hari esok dalam lintasan sejarah itu sendiri. Lebih lanjut dikatakan bahwa cermin itu bukan untuk mencari kekurangan dan kesalahan, tetapi sebagai modal untuk melangkah ke depan.
Praktek Pembangunan Pertanian di Indonesia Zaman Pra Kolonial dan
Kolonial Masuknya barat (Belanda) ke Indonesia telah banyak mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat, terutama berikaitan dengan kepentingan perekonomian Belanda. Sejak VOC memegang kekuasaan, masyarakat tidak memiliki hak atas tanah [5]. VOC melakukan kebijakan pertanian bukan untuk memajukan pertanian negeri ini, tetapi untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Dengan sistem tanam paksa (culture stelsel) yang dijalankan atas prinsip penyerahan wajib atau paksa dan prinsip monopoli, masyarakat tidak terjamin kehidupannya Kondisi ini menyebabkan bertambah lemahnya hak milik perseorangan petani akibat pengaruh-pengaruh feodal [6]. Pemerintah kolonial Belanda menjalankan sistem pembangunan pertaniannya, membuat undangundang agraria (Agrarisch Wet) pada tahun 1870. Dengan undang- undang ini maka hak hidup perusahaan besar dijamin, sehinga berdiri perusahaan- perusahaan besar dengan tanah-tanah perkebunan yang luas yang berdampingan dengan para petani di sekitamya dengan hanya mengolah tanah jumlahnya sangat sempit [7]. Berdasarkan prinsip penyerahan wajib ini, maka pungutan dari rakyat ditetapkan bukan lagi berupa uang, tetapi berupa hasil tanaman yang dapat di ekspor seperti indigo (rutam), teh, tembakau, kopi dan tebu. Sementara prinsip monopoli dimanifesitasikan dengan memberi hak monopoli kepada Nederlandsche Handels Maatschappij (NHM), berupa wewenang dalam produksi pengangkutandan perdagangan hasil ekspor. Tebu dan kopi, boleh dikatakan merupakan primadonanya ekspor. Dalam hal penggunaan lahan pertanian, kopi dan tebu memiliki perbedaan yang besar. Kopi ditanam di lereng-lereng gunung, sedangkan tebu ditanam di sawah-sawah di dataran rendah. Perbedaan ini menyebabkan pengaruh yang ditimbulkan kedua jenis tanaman pun berbeda pula. Tanaman kopi cenderung memperluas areal tanaman, sedangkan tebu relatif tetap dalam lahan yang sebelumnya sudah diibudidayakan oleh penduduk [6].
Era Kemerdekaan Indonesia Setelah Indonesia merdeka, kebijakan
pemerintah terhadap pertanian tidak banyak mengalami perubahan dibanding zaman kolonial. Pemerintah tetap mencurahkan perhatian khusus pada produksi padi dengan berbagai peraturan seperti wajib jual padi kepada pemerintah. Namun masih banyak tanah yang dikuasai oleh penguasa dan pemilik modal besar, sehingga petani penggarap atau petani bagi hasil tidak dengan mudah menentukan tanaman yang akan ditanam dan budidaya terhadap tanamannya pun tak berkembang. Pada periode 1960 – 1965, Indonesia dibawah pemerintahan dengan model ekonomi terpimpin dan pada periode 1965 – 1968 dibawah pemerintahan transisi ke pemerintahan orde baru. Sejarah pembangunan pertanian berawal pada masa orde baru. Pada awal masa orde baru pemerintahan menerima beban berat dari buruknya perekonomian orde lama. Tahun 1966-1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi ekonomi. Pemerintah orde baru berusaha keras untuk menurunkan inflasi dan menstabilkan harga. Pemerintah orde baru menyusun dua tahapan strategi besar berupa Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (PU-PJP) yaitu PU-PJP1 (1969 – 1994) dan PU-PJP2 (1994-2019). Dimana PJP I diarahkan untuk menciptakan landasan kuat memasuki proses tinggal landas (take-off), sementara PJP2 merupakan masa tinggal landas, sesuai tahapan pembangunan Rostow. Strategi pembangunan dilaksanakan melalui lima serangkaian Repelita yang semuanya dititik beratkan pada sektor pertanian dan sektor industry yang mengalami pergeseran secara bertahap [4].
Revolusi Hijau Selama tahap pertama Repelita, pembangunan pedesaan
khususnya sektor pertanian didomominasi oleh suatu gaya komando yang keras. Program BIMAS Gotong Royong (1969 – 1970) menjadi bukti empiris utama bagaimana pemerintah bekerjasama dengan perusahaan agribisnis international untuk menjamin produksi serta distribusi bibit, pupuk, pestisida, serta penyuluhan dan juga menjamin pasokan beras ke kota. Program ini berakhir dengan kegagalan dan diberhentikan secara tiba-tiba dengan keputusan presiden. Pengalaman BIMAS Gotong Royong memberikan pembelajaran berharga bahwa model komando memberikan peluang keberhasilan yang sangat kecil. Untuk menghindari kebijakan inefisien itu, pemeritah menyadari bahwa perlu mencoba arah yang lain. Cara yang ditempuh adalah dengan memberikan subsidi. Subsidi berupa subsidi pupuk, bantuan kredit, sistem harga dasar padi, proyek-proyek pertanian. Pada permulaan tahun 1970-an pemerintah Indonesia meluncurkan suatu program pembangunan pertanian yang dikenal secara luas dengan program revolusi hijau yang dimasyarakat petani dikenal dengan program BIMAS. Pada waktu itu, revolusi hijau dianggap sebagai "juru selamat"bagi sektor pertanian, khususnya di negara berkembang. Oleh karena itu, tanpa revolusi hijau sulit dibayangkan bagaimana produksi pertanian akan mampu memberi makan bagi penduduk yang jumlahnya semakin meningkat. Studi yang dilakukan the Food Research Institute, Stanford University pada akhir tahun 1980-an, menjelaskan bahwa terdapat tiga alternatif sasaran kebijakan perbesaran di Indonesia. Pertama, berupaya menjadi pengekspor beras melalui tingkat pertumbuhan produksi beras sebesar 4 persen per tahun. Kedua, tetap melakukan impor dengan mengupayakan tingkat pertumbuhan produksi sebesar 1 persen per tahun. Ketiga, pertumbuhan produksi 2,5 persen per tahun dengan sasaran mempertahankan swasembada on trend (mengimpor beras ketika produksi jelek dan mengekspor ketika produksi bagus). Terdapat lima instrumen kebijakan yang digunakan untuk mengimplementasi sasaran kebijakan tersebut yaitu tingkat harga, stabilisasi harga, investasi publik, kebijakan ekonomi makro dan regulasi pedesaan [8]. Instrumen kebijakan harga mengubah tingkat harga beras dalam negeri. Kebijakan harga beras saat itu merupakan kebijakan yang bersifat netral. Pemerintah saat itu berkeinginan untuk memiliki sistem perberasan yang efisien, yang senantiasa menjaga agar harga beras dalam negeri tidak terlalu jauh dari trend harga beras dunia, sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan itu tidak memproteksi petani, tetapi juga tidak mendisproteksinya. Namun untuk merangsang petani agar mampu mengadopsi penggunaan teknologi baru, termasuk didalamnya penggunaan varietas unggul, maka pemerintah memberikan subsidi harga pupuk kimia yang amat besar untuk menurunkan biaya produksi. Pelaksanaan revolusi hijau telah berhasil mengubah sikap petani, dari sikap anti teknologi ke sikap yang mau memanfaatkan teknologi pertanian modern, misalnya pupuk kimia, bibit padi unggul. Tetapi revolusi hijau juga menimbulkan berbagai masalah bagi petani. Ketergantungan pada bibit unggul yang seragam dan meninggalkan bibit lokal yang dimiliki, subsektor tanaman pangan rentan terhadap berbagai hama, petani menjadi bodoh dengan melupakan banyak pengetahuan lokal. Ongkos yang harus dibayar oleh program revolusi hijau ini adalah hilangnya institusi lokal, musnahnya keanekaragaman sumber daya hayati, menurunnya kualitas tanah, serta menurunnya kualitas lingkungan secara keseluruhan [9]. Selintas revolusi hijau memang memajukan pertanian. Namun, jika ditelisik lebih jauh justru membuat petani semakin terdesak pada marginalitas, sehingga diperbudak oleh berbagai rekayasa teknologi negaranegara maju yang mahal harganya. Ekses negatif revolusi hijau dapat dirasakan hingga saat ini. Karena hilangnya teknologi lokal, menyebabkan petani sangat tergantung pada produk-produk pertanian buatan pabrik. Pasca Revolusi Hijau Pada periode (1985 – 1997) ditandai dengan mulai melambatnya pembangunan pertanian yang ditunjukkan melambatnya pertumbuhan produktivitas padi. Hingga berakhirnya masa orde baru, sistem usaha tani di Indonesia mengalami keterpurukan karena krisis multi dimensi. Kredit pertanian dicabut, suku bunga kredit membumbung tinggi sehingga tidak ada kredit yang tersedia ke pertanian. Infrastruktur pertanian pedesaan kususnya irigasi banyak yang rusak karena biaya pemeliharaan tidak ada. Pelaku agribisnis mengalami kegamangan, sehingga program agribisnis tidak berlangsung lama meskipun depresiasi rupiah cukup memberikan insentif untuk ekspor sehingga tidak memberi waktu bagi para petani untuk menyelesaikan sendiri [4]. Pada tahun 90-an terjadi pergeseran komitmen pemerintah dari kebijakan orientasi produsen beras, menuju orientasi konsumen beras. Pemerintah mulai menerapkan kebijakan impor dan pengurangan atas asupan produksi beras. Gejalah ini sesungguhnya menandai menguatnya proyek globalisasi. Konsekuensi utama Gevisioner, Rudi Febriamansyah, Ifdal dan Suardi Tarumun 666 ISBN : 978-602-73463-1-4 http://pasca.unand.ac.id/id/prosiding- seminar-nasional-perencanaan-pembangunan-inklusif-desa-kota dari kebijakan ini adalah secara sengaja mengorbankan wilayah pedesaan bagi pertumbuhan wilayah perkotaaan, mengorbankan sektor pertanian demi pertumbuhan industi, dan akhirnya mengorbankan petani untuk pekerja perkotaan. Hal ini menyebabkan stagnasi pertumbuhan dalam produksi beras yang tidak berkelanjutan, yakni revolusi hijau [9]. Keberhasilan pembangunan Orde Baru ternyata tidak berkelanjutan (unsustainable). Pada pertengahan tahun 1997 hingga pertengahan 1999 Indonesia mengalami krisis ekonomi yang kemudian berkembang menjadi krisis multidimensi sosial-ekonomi-politik, mengakibatkan meningkatnya pengangguran terbuka dan penduduk miskin. Kondisi ini membalikkan kondisi Indonesia seperti pada awal 1980-an. Impor beras meningkat tajam dan menempatkan Indonesia kembali menjadi negara importir terbesar dunia [1]. Pada periode (2005–2014) atau Kabinet Bersatu, memasuki era globalisasi yang dicirikan oleh persaingan perdagangan internasional yang sangat ketat dan bebas, pembangunan pertanian semakin dideregulasi melalui pengurangan subsidi, dukungan harga dan berbagai proteksi lainnya. Pemerintahan menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy) sebagai manifestasi dari strategi pembangunan yang lebih pro-growth, pro employment dan pro-poor. Operasionalisasi konsep strategi tiga jalur tersebut dirancang, salah satunya melalui revitalisasi pertanian dan perdesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. Selama periode setelah krisis ekonomi hingga saat ini, strategi perberasan tidak lagi tersusun dengan baik. Kebijakan perberasan menghadapi trade-offs yang amat sulit. Instrumen kebijakan utama yang dilakukan adalah bea masuk impor, yang telah meningkatkan harga beras dalam negeri sebesar 25–30 persen, serta subsidi konsumsi beras terbatas bagi kelompok miskin di pedesaan dan perkotaan. Kompensasi yang diterima oleh kelompok miskin di pedesaan dan perkotaan tidak sebesar peningkatan harga beras yang diakibatkan oleh kebijakan tersebut [8]. Secara teoritis, pemerintah bisa membantu petani padi dengan instrumen kebijakan yang lain, seperti subsidi produksi langsung, dimana petani akan menerima subsidi yang nilainya sesuai dengan jumlah produksi yang dipasarkan. Kebijakan ini tidak akan menyebabkan naiknya harga beras dalam negeri dan dengan sendirinya akan menghilangkan trade-offs antara produsen dan konsumen. Pemerintahan Jokowi dan Yusuf Kalla (2014 – 2019) Kebijakan pembangunan pertanian atau pangan pada pemerintahan saat ini, terdapat pada Program Peningkatan Kedaulatan Pangan, yang merupakan salah satu pada program ke enam dari Nawacita. Arah kebijakan umum kedaulatan pangan dalam RPJMN 2015-2019 adalah: pemantapan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan dengan peningkatan produksi pangan pokok, stabilisasi harga bahan pangan, terjaminnya bahan pangan yang aman dan berkualitas dengan nilai gizi yang meningkat, serta meningkatnya kesejahteraan pelaku usaha pangan [10]. Memperhatikan kebijakan dan strategi pembangunan pertanian pada pemerintahan saat sekarang, secara umum merupakan penggulangan dari program-program terdahulu, yang mengarah kembali ke revolusi hijau tanpa memprioritaskan peningkatan kesejahteraan petani [2], prioritas pembangunan terarah ke sektor industri. Sesungguhnya, tidaklah salah mendorong pertumbuhan sektor industri karena nilai tambah yang lebih besar akan dapat diperoleh dari sektor tersebut. Akan tetapi, menjadi kurang tepat jika pengembangan industri dilakukan dengan menelantarkan sektor pertanian. Harusnya, industri yang pertama didorong negara agraris ialah agroindustri yang berbasis komoditas pangan dan pertanian yang dihasilkan di dalam negeri [11], [12]. Krisis pangan yang terjadi di Indonesiapada tahun 2007/2008, merupakan involusi atau kemerosotan pertanian yang telah terjadi sejak 1950-an, tetapi tidak di tangani secara serius oleh pemerintah. Fragmentasi lahan mulai terjadi hingga produktivitas lahan merosot. Krisis pangan pada periode 2007/2008 juga ada kaitannya dengan stategi atau orientasi pengembangan pertanian yang diterapkan/dianjurkan oleh lembagalembaga dunia, yang lebih memperioritaskan agroindustri berorientasi pasar dunia dan menjadi penyuplai jaringan supermarket global. Dengan demikian merupakan pertanda bahwa pembangunan pertanian mulai terpuruk karena pondasi yang kurang kuat sehingga bangunan tersebut runtuh [8]. Menurut Krisnamurthi [4], mengungkapkan bahwa hal ini disebabkan kekeliruan pembangunan yang dilaksanakan selama ini. Kekeliruan pembangunan yang mendasar adalah tidak ditempatkannya pembaruan agraria yang berupa penataan kembali penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, peruntukan dan pemeliharaan sumber- sumber agraria sebagai prakondisi dari pembangunan nasional. Penurunan perhatian terhadap sektor pertanian telah dirasakan akibatnya pada saat ini dan cenderung akan semakin parah jika tidak dilakukan upaya pemulihan secara cepat dan tepat. Pada tataran global, harga komoditas pangan mulai naik dan krisis pangan mulai membayangi. Untuk Indonesia, kekhawatiran terhadap kemungkinan kekurangan pangan juga mulai dirasakan. Kebijakan land reform belum memberikan hasil yang jelas. Peningkatan kemakmuran petani, yang selalu menjadi tema sentral, masih sekedar mimpi dan harapan Kegagalan Pembangunan Pertanian Meningkatkan Kesejahteraan Petani di Indonesia ISBN : 978-602-73463-1-4 667 http://pasca.unand.ac.id/id/prosiding-seminar-nasional-perencanaan- pembangunan-inklusif-desa-kota [13], [14]. Gambaran praktek pembangunan pertanian selama ini mengikuti pola pembangunan konvensional, yang hanya mengutamakan kemajuan ekonomi dengan melupakan kesejahteraan pelaku utamanya yakni petani. Perkembangan Kesejahteraan Petani Kesejahteraan petani merupakan tujuan pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Merupakan perjuangan setiap keluarga untuk mencapai kesejahteraan anggota keluarganya. Secara sederhana keluarga petani dikatakan sejahtera manakala dapat memenuhi kebutuhan dasar anggotanya. Menjadi petani berhadapan dengan resiko usaha yang diakibatkan berbagai faktor, diantaranya faktor alam yang sering kali tidak dapat diprediksi. Beban pertanian menjadi semakin berat manakala petani tidak pernah tahu bahkan tidak pernah bisa memprediksi berapa harga satuan hasil panen yang akan diterima, karena terbatasnya akses dan informasi pasar. Dengan banyaknya faktor yang tidak dapat dikontrol dalam usaha pertanian, menyebabkan terlalu besar unsur ketidakpastian dalam usaha tani, sehingga sulit untuk merasa aman untuk berusahatani Kebijakan pembangunan pertanian pada periode 2005 -2014, baik dalam tataran konsep namun dalam tataran implementasi kebijakan sertingkali terdapat ketidak konsistenan antara rencana dan pelaksanaanya. Hal ini dapat digambarkan tidak menigkatnya kesejahteraan petani. Meskipun telah terjadi penurunan sumbangan sektor pertanian terhadap GDP di Indonesia [1],[15]. Transformasi struktural di Indonesia kurang berjalan, dimana peran pertanian dalam perekonomian nasional akan semakin menurun, namun tidak ada pergerakan angkatan kerja dari pertanian ke sector industry dan jasa [15],[16]. Secara sederhana keluarga petani dikatakan sejahtera manakala dapat memenuhi kebutuhan dasar anggotanya. Salah satu indikator untuk mengetahui tingkat kesejahteraan petani adalah Nilai tukar petani (NTP). Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan salah satu penanda (indikator) ekonomi rumahtangga tani yang paling tua dan dipublikasikan berkala secara konsisten oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sehingga telah amat populer di Indonesia. NTP-BPS tersebut digunakan sebagai penanda kesejahteraan ekonomi rumahtangga tani. Kesejahteraan ekonomi lazim diukur sebagai daya beli pendapatan atas barang konsumsi. Nilai tukar petani penting untuk diukur dan diketahui untuk menunjukkan keadaan tingkat kesejahteraan petani, yang memberikan gambaran berapa besar tingkat kemiskinan dan keberhasilan kebijakan pemerintah. Nilai tukar petani juga penting sebagai pengukur kemampuan daya tukar sektor pertanian terhadap sektor non pertanian. Fluktuasi NTP menunjukkan fluktuasi kemampuan riil petani dan mengindikasikan kesejahteraan petani [17]. Perkembangan data Nilai Tukar Petani (NTP) dari tahun ke tahun dan antar wilayah menunjukkan tidak ada perbaikan yang cukup nyata. NTP di Indonesia periode 2004 – 2014 tidak kunjung meningkat (Gambar 1), Penyebab utama tidak meningkatkanya kesejahteraan petani adalah disparitas harga yang tajam antara harga di level petani dengan harga di level konsumen pada komoditas pertanian. Petani menerima harga dibawah harga keekonomiannya [15]. Peningkatan nilai tukar petani dapat dilakukan dengan menghilangkan kendala penerapan teknologi, pengendalian harga sarana produksi dan harga jual komoditas pertanian, sehingga usahatani tersebut masih memberikan keuntungan bagi petani. Kendala penerapan teknologi seperti ketersediaan benih/bibit bermutu, pupuk, obat-obatan, teknologi budidaya sampai pasca panen yang diarahkan untuk meningkatkan produktivitas usahatani. Namun suatu hal yang tidak boleh dilupakan adalah harga sarana produksi harus tetap terjangkau oleh petani dan harga jual komoditas tersebut masih memberikan keuntungan bagi petani. Peningkatan produktivitas kurang berarti bagi petani apabila harga jual kurang menguntungkan, pendapatan pertanian akan lebih rendah dari pengeluaran rumah tangga. Pengembangan infrastruktur, pendidikan dan pembinaan keterampilan petani sangat penting agar petani dapat bekerja secara mandiri dan nilai tukar petani itu sendiri meningkat. Perbaikan infrastruktur perlu dikomplemenkan dengan pembenahan struktur dan efisiensi pemasaran sehingga daya beli petani dan daya tukar petani dapat ditingkatkan [17].
Terkait pembangunan pertanian nasional lebih khusus lagi produksi
pertanian, selama ini perhatian lebih banyak diberikan pada proses bagian hulu seperti akses sumber daya lahan, penyediaan berbagai sarana produksi dan teknik produksi. Memang pembangunan sektor hulu sangat penting dan tidak bisa diabaikan. Namun itu saja tidak akan cukup untuk menjawab isu kedaulatan pangan dan kemakmuran petani [13]. Pembangunan sektor pertanian dalam perspektif pembangunan nasional harus diletakkan dalam kedudukan yang seimbang dengan pembangunan sektor ekonomi lain dalam kerangka industrialisasi secara bertahap, artikulatif, dan berimbang berbasis pertanian. Pertanian untuk pembangunan dalam implementasinya apat dilakukan dengan pengembangan agribisnis berdaya saing dan berkelanjutan. Starateginya dapat dilaksanakan melalui : 1) reorientasi pembangunan dari pembangunan ekonomi konvensional kearah pembangunan ekonomi secara berkelanjutan; 2) memposisikan pertanian sebagai sektor andalan dalam pembangunan nasional; 3) mewujudkan kemandirian pangan secara berkelanjutan; 4) mengurangi jumlah petani miskin dan membangun partisipasi petani; 5) pertanian untuk pembangunan mampu memadukan pertumbuhan, pemerataan, dan berkelanjutan pertanian untuk pembangunan mampu memadukan pertumbuhan, pemerataan, dan berkelanjutan dan 6) membangun sistem agribisnis berdaya saing dan berkelanjutan [1]
Pendekatan sederhana terhadap krisis ekonomi di Yunani: Sebuah perjalanan untuk menemukan krisis ekonomi Yunani yang dimulai pada tahun 2008 dan menggemparkan dunia. Penyebab dan implikasinya