Anda di halaman 1dari 13

Urgensi pembangunan pertanian untuk pembangunan nasional suatu

negara secara teoritis telah teruji dan tidak terbantahkan lagi.


Xenophon, filsuf dan sejarawan Yunani yang hidup 425-355 SM
mengatakan bahwa “Agriculture is the mother and nourishes of all
other arts”, Pertanian adalah ibu dari segala budaya. Jika pertanian
berjalan dengan baik, maka budaya-budaya lainnya akan tumbuh
dengan baik pula, tetapi manakala sektor pertanian diterlantarkan,
maka semua budaya lainnya akan rusak. Namun dalam tataran
implementasi kebijakan pertanian terutama di negara-negara
berkembang sering terjadi kebijakan yang salah sehingga sektor
pertanian terabaikan dan ditinggalkan. Kebijakan pembangunan
ekonomi di sebagian besar negara berkembang termasuk di Indonesia
seringkali terdapat ketidakkonsistenan antara apa yang secara formal
tertuang dalam dokumen perencanaan dengan implementasi dalam
pelaksanaan strategi pembangunan ekonomi [1]. Dari waktu ke waktu
terbukti sektor pertanian selalu menjadi andalan dalam pembangunan
perekonomian nasional, dulu, sekarang, dan diyakini untuk masa yang
akan datang. Terlepas dari itu, memang harus diakui bahwa sektor
pertanian menghadapi tantangan yang semakin besar, seperti
globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan. Sementara itu,
didalam negeri sendiri masih dirasakan kurang keberpihakan pengambil
kebijakan terhadap pembangunan sektor pertanian dalam perspektif
pembangunan nasional [2],[3]. Perkembangan pembangunan pertanian
di Indonesia tidak terlepas dari sejarah aktivitas pertanian yang terjadi
selama ini. Menurut Krisnamurthi [4], mengungkapkan pentingnya
sejarah dalam konteks revitalisasi pertanian, bahwa sejarah menjadi
penting bukan karena romantisme nostalgia atau mengagungkan
kebanggaan prestasi, tetapi justru karena dapat menjadi cermin untuk
mengenal jati diri dan untuk memperbaiki hari esok dalam lintasan
sejarah itu sendiri. Lebih lanjut dikatakan bahwa cermin itu bukan
untuk mencari kekurangan dan kesalahan, tetapi sebagai modal untuk
melangkah ke depan.

Praktek Pembangunan Pertanian di Indonesia Zaman Pra Kolonial dan


Kolonial Masuknya barat (Belanda) ke Indonesia telah banyak
mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat, terutama
berikaitan dengan kepentingan perekonomian Belanda. Sejak VOC
memegang kekuasaan, masyarakat tidak memiliki hak atas tanah [5].
VOC melakukan kebijakan pertanian bukan untuk memajukan pertanian
negeri ini, tetapi untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Dengan sistem tanam paksa (culture stelsel) yang dijalankan atas
prinsip penyerahan wajib atau paksa dan prinsip monopoli, masyarakat
tidak terjamin kehidupannya Kondisi ini menyebabkan bertambah
lemahnya hak milik perseorangan petani akibat pengaruh-pengaruh
feodal [6]. Pemerintah kolonial Belanda menjalankan sistem
pembangunan pertaniannya, membuat undangundang agraria
(Agrarisch Wet) pada tahun 1870. Dengan undang- undang ini maka hak
hidup perusahaan besar dijamin, sehinga berdiri perusahaan-
perusahaan besar dengan tanah-tanah perkebunan yang luas yang
berdampingan dengan para petani di sekitamya dengan hanya
mengolah tanah jumlahnya sangat sempit [7]. Berdasarkan prinsip
penyerahan wajib ini, maka pungutan dari rakyat ditetapkan bukan lagi
berupa uang, tetapi berupa hasil tanaman yang dapat di ekspor seperti
indigo (rutam), teh, tembakau, kopi dan tebu. Sementara prinsip
monopoli dimanifesitasikan dengan memberi hak monopoli kepada
Nederlandsche Handels Maatschappij (NHM), berupa wewenang dalam
produksi pengangkutandan perdagangan hasil ekspor. Tebu dan kopi,
boleh dikatakan merupakan primadonanya ekspor. Dalam hal
penggunaan lahan pertanian, kopi dan tebu memiliki perbedaan yang
besar. Kopi ditanam di lereng-lereng gunung, sedangkan tebu ditanam
di sawah-sawah di dataran rendah. Perbedaan ini menyebabkan
pengaruh yang ditimbulkan kedua jenis tanaman pun berbeda pula.
Tanaman kopi cenderung memperluas areal tanaman, sedangkan tebu
relatif tetap dalam lahan yang sebelumnya sudah diibudidayakan oleh
penduduk [6].

Era Kemerdekaan Indonesia Setelah Indonesia merdeka, kebijakan


pemerintah terhadap pertanian tidak banyak mengalami perubahan
dibanding zaman kolonial. Pemerintah tetap mencurahkan perhatian
khusus pada produksi padi dengan berbagai peraturan seperti wajib
jual padi kepada pemerintah. Namun masih banyak tanah yang dikuasai
oleh penguasa dan pemilik modal besar, sehingga petani penggarap
atau petani bagi hasil tidak dengan mudah menentukan tanaman yang
akan ditanam dan budidaya terhadap tanamannya pun tak
berkembang. Pada periode 1960 – 1965, Indonesia dibawah
pemerintahan dengan model ekonomi terpimpin dan pada periode
1965 – 1968 dibawah pemerintahan transisi ke pemerintahan orde
baru. Sejarah pembangunan pertanian berawal pada masa orde baru.
Pada awal masa orde baru pemerintahan menerima beban berat dari
buruknya perekonomian orde lama. Tahun 1966-1968 merupakan
tahun untuk rehabilitasi ekonomi. Pemerintah orde baru berusaha
keras untuk menurunkan inflasi dan menstabilkan harga. Pemerintah
orde baru menyusun dua tahapan strategi besar berupa Pola Umum
Pembangunan Jangka Panjang (PU-PJP) yaitu PU-PJP1 (1969 – 1994)
dan PU-PJP2 (1994-2019). Dimana PJP I diarahkan untuk menciptakan
landasan kuat memasuki proses tinggal landas (take-off), sementara
PJP2 merupakan masa tinggal landas, sesuai tahapan pembangunan
Rostow. Strategi pembangunan dilaksanakan melalui lima serangkaian
Repelita yang semuanya dititik beratkan pada sektor pertanian dan
sektor industry yang mengalami pergeseran secara bertahap [4].

Revolusi Hijau Selama tahap pertama Repelita, pembangunan pedesaan


khususnya sektor pertanian didomominasi oleh suatu gaya komando
yang keras. Program BIMAS Gotong Royong (1969 – 1970) menjadi
bukti empiris utama bagaimana pemerintah bekerjasama dengan
perusahaan agribisnis international untuk menjamin produksi serta
distribusi bibit, pupuk, pestisida, serta penyuluhan dan juga menjamin
pasokan beras ke kota. Program ini berakhir dengan kegagalan dan
diberhentikan secara tiba-tiba dengan keputusan presiden. Pengalaman
BIMAS Gotong Royong memberikan pembelajaran berharga bahwa
model komando memberikan peluang keberhasilan yang sangat kecil.
Untuk menghindari kebijakan inefisien itu, pemeritah menyadari bahwa
perlu mencoba arah yang lain. Cara yang ditempuh adalah dengan
memberikan subsidi. Subsidi berupa subsidi pupuk, bantuan kredit,
sistem harga dasar padi, proyek-proyek pertanian. Pada permulaan
tahun 1970-an pemerintah Indonesia meluncurkan suatu program
pembangunan pertanian yang dikenal secara luas dengan program
revolusi hijau yang dimasyarakat petani dikenal dengan program
BIMAS. Pada waktu itu, revolusi hijau dianggap sebagai "juru
selamat"bagi sektor pertanian, khususnya di negara berkembang. Oleh
karena itu, tanpa revolusi hijau sulit dibayangkan bagaimana produksi
pertanian akan mampu memberi makan bagi penduduk yang jumlahnya
semakin meningkat. Studi yang dilakukan the Food Research Institute,
Stanford University pada akhir tahun 1980-an, menjelaskan bahwa
terdapat tiga alternatif sasaran kebijakan perbesaran di Indonesia.
Pertama, berupaya menjadi pengekspor beras melalui tingkat
pertumbuhan produksi beras sebesar 4 persen per tahun. Kedua, tetap
melakukan impor dengan mengupayakan tingkat pertumbuhan
produksi sebesar 1 persen per tahun. Ketiga, pertumbuhan produksi 2,5
persen per tahun dengan sasaran mempertahankan swasembada on
trend (mengimpor beras ketika produksi jelek dan mengekspor ketika
produksi bagus). Terdapat lima instrumen kebijakan yang digunakan
untuk mengimplementasi sasaran kebijakan tersebut yaitu tingkat
harga, stabilisasi harga, investasi publik, kebijakan ekonomi makro dan
regulasi pedesaan [8]. Instrumen kebijakan harga mengubah tingkat
harga beras dalam negeri. Kebijakan harga beras saat itu merupakan
kebijakan yang bersifat netral. Pemerintah saat itu berkeinginan untuk
memiliki sistem perberasan yang efisien, yang senantiasa menjaga agar
harga beras dalam negeri tidak terlalu jauh dari trend harga beras
dunia, sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan itu tidak
memproteksi petani, tetapi juga tidak mendisproteksinya. Namun
untuk merangsang petani agar mampu mengadopsi penggunaan
teknologi baru, termasuk didalamnya penggunaan varietas unggul,
maka pemerintah memberikan subsidi harga pupuk kimia yang amat
besar untuk menurunkan biaya produksi. Pelaksanaan revolusi hijau
telah berhasil mengubah sikap petani, dari sikap anti teknologi ke sikap
yang mau memanfaatkan teknologi pertanian modern, misalnya pupuk
kimia, bibit padi unggul. Tetapi revolusi hijau juga menimbulkan
berbagai masalah bagi petani. Ketergantungan pada bibit unggul yang
seragam dan meninggalkan bibit lokal yang dimiliki, subsektor tanaman
pangan rentan terhadap berbagai hama, petani menjadi bodoh dengan
melupakan banyak pengetahuan lokal. Ongkos yang harus dibayar oleh
program revolusi hijau ini adalah hilangnya institusi lokal, musnahnya
keanekaragaman sumber daya hayati, menurunnya kualitas tanah,
serta menurunnya kualitas lingkungan secara keseluruhan [9]. Selintas
revolusi hijau memang memajukan pertanian. Namun, jika ditelisik
lebih jauh justru membuat petani semakin terdesak pada marginalitas,
sehingga diperbudak oleh berbagai rekayasa teknologi negaranegara
maju yang mahal harganya. Ekses negatif revolusi hijau dapat dirasakan
hingga saat ini. Karena hilangnya teknologi lokal, menyebabkan petani
sangat tergantung pada produk-produk pertanian buatan pabrik. Pasca
Revolusi Hijau Pada periode (1985 – 1997) ditandai dengan mulai
melambatnya pembangunan pertanian yang ditunjukkan melambatnya
pertumbuhan produktivitas padi. Hingga berakhirnya masa orde baru,
sistem usaha tani di Indonesia mengalami keterpurukan karena krisis
multi dimensi. Kredit pertanian dicabut, suku bunga kredit
membumbung tinggi sehingga tidak ada kredit yang tersedia ke
pertanian. Infrastruktur pertanian pedesaan kususnya irigasi banyak
yang rusak karena biaya pemeliharaan tidak ada. Pelaku agribisnis
mengalami kegamangan, sehingga program agribisnis tidak berlangsung
lama meskipun depresiasi rupiah cukup memberikan insentif untuk
ekspor sehingga tidak memberi waktu bagi para petani untuk
menyelesaikan sendiri [4]. Pada tahun 90-an terjadi pergeseran
komitmen pemerintah dari kebijakan orientasi produsen beras, menuju
orientasi konsumen beras. Pemerintah mulai menerapkan kebijakan
impor dan pengurangan atas asupan produksi beras. Gejalah ini
sesungguhnya menandai menguatnya proyek globalisasi. Konsekuensi
utama Gevisioner, Rudi Febriamansyah, Ifdal dan Suardi Tarumun 666
ISBN : 978-602-73463-1-4 http://pasca.unand.ac.id/id/prosiding-
seminar-nasional-perencanaan-pembangunan-inklusif-desa-kota dari
kebijakan ini adalah secara sengaja mengorbankan wilayah pedesaan
bagi pertumbuhan wilayah perkotaaan, mengorbankan sektor
pertanian demi pertumbuhan industi, dan akhirnya mengorbankan
petani untuk pekerja perkotaan. Hal ini menyebabkan stagnasi
pertumbuhan dalam produksi beras yang tidak berkelanjutan, yakni
revolusi hijau [9]. Keberhasilan pembangunan Orde Baru ternyata tidak
berkelanjutan (unsustainable). Pada pertengahan tahun 1997 hingga
pertengahan 1999 Indonesia mengalami krisis ekonomi yang kemudian
berkembang menjadi krisis multidimensi sosial-ekonomi-politik,
mengakibatkan meningkatnya pengangguran terbuka dan penduduk
miskin. Kondisi ini membalikkan kondisi Indonesia seperti pada awal
1980-an. Impor beras meningkat tajam dan menempatkan Indonesia
kembali menjadi negara importir terbesar dunia [1]. Pada periode
(2005–2014) atau Kabinet Bersatu, memasuki era globalisasi yang
dicirikan oleh persaingan perdagangan internasional yang sangat ketat
dan bebas, pembangunan pertanian semakin dideregulasi melalui
pengurangan subsidi, dukungan harga dan berbagai proteksi lainnya.
Pemerintahan menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy)
sebagai manifestasi dari strategi pembangunan yang lebih pro-growth,
pro employment dan pro-poor. Operasionalisasi konsep strategi tiga
jalur tersebut dirancang, salah satunya melalui revitalisasi pertanian
dan perdesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan.
Selama periode setelah krisis ekonomi hingga saat ini, strategi
perberasan tidak lagi tersusun dengan baik. Kebijakan perberasan
menghadapi trade-offs yang amat sulit. Instrumen kebijakan utama
yang dilakukan adalah bea masuk impor, yang telah meningkatkan
harga beras dalam negeri sebesar 25–30 persen, serta subsidi konsumsi
beras terbatas bagi kelompok miskin di pedesaan dan perkotaan.
Kompensasi yang diterima oleh kelompok miskin di pedesaan dan
perkotaan tidak sebesar peningkatan harga beras yang diakibatkan oleh
kebijakan tersebut [8]. Secara teoritis, pemerintah bisa membantu
petani padi dengan instrumen kebijakan yang lain, seperti subsidi
produksi langsung, dimana petani akan menerima subsidi yang nilainya
sesuai dengan jumlah produksi yang dipasarkan. Kebijakan ini tidak
akan menyebabkan naiknya harga beras dalam negeri dan dengan
sendirinya akan menghilangkan trade-offs antara produsen dan
konsumen. Pemerintahan Jokowi dan Yusuf Kalla (2014 – 2019)
Kebijakan pembangunan pertanian atau pangan pada pemerintahan
saat ini, terdapat pada Program Peningkatan Kedaulatan Pangan, yang
merupakan salah satu pada program ke enam dari Nawacita. Arah
kebijakan umum kedaulatan pangan dalam RPJMN 2015-2019 adalah:
pemantapan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan dengan
peningkatan produksi pangan pokok, stabilisasi harga bahan pangan,
terjaminnya bahan pangan yang aman dan berkualitas dengan nilai gizi
yang meningkat, serta meningkatnya kesejahteraan pelaku usaha
pangan [10]. Memperhatikan kebijakan dan strategi pembangunan
pertanian pada pemerintahan saat sekarang, secara umum merupakan
penggulangan dari program-program terdahulu, yang mengarah
kembali ke revolusi hijau tanpa memprioritaskan peningkatan
kesejahteraan petani [2], prioritas pembangunan terarah ke sektor
industri. Sesungguhnya, tidaklah salah mendorong pertumbuhan sektor
industri karena nilai tambah yang lebih besar akan dapat diperoleh dari
sektor tersebut. Akan tetapi, menjadi kurang tepat jika pengembangan
industri dilakukan dengan menelantarkan sektor pertanian. Harusnya,
industri yang pertama didorong negara agraris ialah agroindustri yang
berbasis komoditas pangan dan pertanian yang dihasilkan di dalam
negeri [11], [12]. Krisis pangan yang terjadi di Indonesiapada tahun
2007/2008, merupakan involusi atau kemerosotan pertanian yang telah
terjadi sejak 1950-an, tetapi tidak di tangani secara serius oleh
pemerintah. Fragmentasi lahan mulai terjadi hingga produktivitas lahan
merosot. Krisis pangan pada periode 2007/2008 juga ada kaitannya
dengan stategi atau orientasi pengembangan pertanian yang
diterapkan/dianjurkan oleh lembagalembaga dunia, yang lebih
memperioritaskan agroindustri berorientasi pasar dunia dan menjadi
penyuplai jaringan supermarket global. Dengan demikian merupakan
pertanda bahwa pembangunan pertanian mulai terpuruk karena
pondasi yang kurang kuat sehingga bangunan tersebut runtuh [8].
Menurut Krisnamurthi [4], mengungkapkan bahwa hal ini disebabkan
kekeliruan pembangunan yang dilaksanakan selama ini. Kekeliruan
pembangunan yang mendasar adalah tidak ditempatkannya
pembaruan agraria yang berupa penataan kembali penguasaan,
penggunaan, pemanfaatan, peruntukan dan pemeliharaan sumber-
sumber agraria sebagai prakondisi dari pembangunan nasional.
Penurunan perhatian terhadap sektor pertanian telah dirasakan
akibatnya pada saat ini dan cenderung akan semakin parah jika tidak
dilakukan upaya pemulihan secara cepat dan tepat. Pada tataran
global, harga komoditas pangan mulai naik dan krisis pangan mulai
membayangi. Untuk Indonesia, kekhawatiran terhadap kemungkinan
kekurangan pangan juga mulai dirasakan. Kebijakan land reform belum
memberikan hasil yang jelas. Peningkatan kemakmuran petani, yang
selalu menjadi tema sentral, masih sekedar mimpi dan harapan
Kegagalan Pembangunan Pertanian Meningkatkan Kesejahteraan
Petani di Indonesia ISBN : 978-602-73463-1-4 667
http://pasca.unand.ac.id/id/prosiding-seminar-nasional-perencanaan-
pembangunan-inklusif-desa-kota [13], [14]. Gambaran praktek
pembangunan pertanian selama ini mengikuti pola pembangunan
konvensional, yang hanya mengutamakan kemajuan ekonomi dengan
melupakan kesejahteraan pelaku utamanya yakni petani.
Perkembangan Kesejahteraan Petani Kesejahteraan petani merupakan
tujuan pembangunan pertanian dan pembangunan nasional.
Merupakan perjuangan setiap keluarga untuk mencapai kesejahteraan
anggota keluarganya. Secara sederhana keluarga petani dikatakan
sejahtera manakala dapat memenuhi kebutuhan dasar anggotanya.
Menjadi petani berhadapan dengan resiko usaha yang diakibatkan
berbagai faktor, diantaranya faktor alam yang sering kali tidak dapat
diprediksi. Beban pertanian menjadi semakin berat manakala petani
tidak pernah tahu bahkan tidak pernah bisa memprediksi berapa harga
satuan hasil panen yang akan diterima, karena terbatasnya akses dan
informasi pasar. Dengan banyaknya faktor yang tidak dapat dikontrol
dalam usaha pertanian, menyebabkan terlalu besar unsur
ketidakpastian dalam usaha tani, sehingga sulit untuk merasa aman
untuk berusahatani Kebijakan pembangunan pertanian pada periode
2005 -2014, baik dalam tataran konsep namun dalam tataran
implementasi kebijakan sertingkali terdapat ketidak konsistenan antara
rencana dan pelaksanaanya. Hal ini dapat digambarkan tidak
menigkatnya kesejahteraan petani. Meskipun telah terjadi penurunan
sumbangan sektor pertanian terhadap GDP di Indonesia [1],[15].
Transformasi struktural di Indonesia kurang berjalan, dimana peran
pertanian dalam perekonomian nasional akan semakin menurun,
namun tidak ada pergerakan angkatan kerja dari pertanian ke sector
industry dan jasa [15],[16]. Secara sederhana keluarga petani dikatakan
sejahtera manakala dapat memenuhi kebutuhan dasar anggotanya.
Salah satu indikator untuk mengetahui tingkat kesejahteraan petani
adalah Nilai tukar petani (NTP). Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan
salah satu penanda (indikator) ekonomi rumahtangga tani yang paling
tua dan dipublikasikan berkala secara konsisten oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) sehingga telah amat populer di Indonesia. NTP-BPS
tersebut digunakan sebagai penanda kesejahteraan ekonomi
rumahtangga tani. Kesejahteraan ekonomi lazim diukur sebagai daya
beli pendapatan atas barang konsumsi. Nilai tukar petani penting untuk
diukur dan diketahui untuk menunjukkan keadaan tingkat
kesejahteraan petani, yang memberikan gambaran berapa besar
tingkat kemiskinan dan keberhasilan kebijakan pemerintah. Nilai tukar
petani juga penting sebagai pengukur kemampuan daya tukar sektor
pertanian terhadap sektor non pertanian. Fluktuasi NTP menunjukkan
fluktuasi kemampuan riil petani dan mengindikasikan kesejahteraan
petani [17]. Perkembangan data Nilai Tukar Petani (NTP) dari tahun ke
tahun dan antar wilayah menunjukkan tidak ada perbaikan yang cukup
nyata. NTP di Indonesia periode 2004 – 2014 tidak kunjung meningkat
(Gambar 1), Penyebab utama tidak meningkatkanya kesejahteraan
petani adalah disparitas harga yang tajam antara harga di level petani
dengan harga di level konsumen pada komoditas pertanian. Petani
menerima harga dibawah harga keekonomiannya [15]. Peningkatan
nilai tukar petani dapat dilakukan dengan menghilangkan kendala
penerapan teknologi, pengendalian harga sarana produksi dan harga
jual komoditas pertanian, sehingga usahatani tersebut masih
memberikan keuntungan bagi petani. Kendala penerapan teknologi
seperti ketersediaan benih/bibit bermutu, pupuk, obat-obatan,
teknologi budidaya sampai pasca panen yang diarahkan untuk
meningkatkan produktivitas usahatani. Namun suatu hal yang tidak
boleh dilupakan adalah harga sarana produksi harus tetap terjangkau
oleh petani dan harga jual komoditas tersebut masih memberikan
keuntungan bagi petani. Peningkatan produktivitas kurang berarti bagi
petani apabila harga jual kurang menguntungkan, pendapatan
pertanian akan lebih rendah dari pengeluaran rumah tangga.
Pengembangan infrastruktur, pendidikan dan pembinaan keterampilan
petani sangat penting agar petani dapat bekerja secara mandiri dan
nilai tukar petani itu sendiri meningkat. Perbaikan infrastruktur perlu
dikomplemenkan dengan pembenahan struktur dan efisiensi
pemasaran sehingga daya beli petani dan daya tukar petani dapat
ditingkatkan [17].

Terkait pembangunan pertanian nasional lebih khusus lagi produksi


pertanian, selama ini perhatian lebih banyak diberikan pada proses
bagian hulu seperti akses sumber daya lahan, penyediaan berbagai
sarana produksi dan teknik produksi. Memang pembangunan sektor
hulu sangat penting dan tidak bisa diabaikan. Namun itu saja tidak akan
cukup untuk menjawab isu kedaulatan pangan dan kemakmuran petani
[13]. Pembangunan sektor pertanian dalam perspektif pembangunan
nasional harus diletakkan dalam kedudukan yang seimbang dengan
pembangunan sektor ekonomi lain dalam kerangka industrialisasi
secara bertahap, artikulatif, dan berimbang berbasis pertanian.
Pertanian untuk pembangunan dalam implementasinya apat dilakukan
dengan pengembangan agribisnis berdaya saing dan berkelanjutan.
Starateginya dapat dilaksanakan melalui : 1) reorientasi pembangunan
dari pembangunan ekonomi konvensional kearah pembangunan
ekonomi secara berkelanjutan; 2) memposisikan pertanian sebagai
sektor andalan dalam pembangunan nasional; 3) mewujudkan
kemandirian pangan secara berkelanjutan; 4) mengurangi jumlah
petani miskin dan membangun partisipasi petani; 5) pertanian untuk
pembangunan mampu memadukan pertumbuhan, pemerataan, dan
berkelanjutan pertanian untuk pembangunan mampu memadukan
pertumbuhan, pemerataan, dan berkelanjutan dan 6) membangun
sistem agribisnis berdaya saing dan berkelanjutan [1]

Anda mungkin juga menyukai