Anda di halaman 1dari 5

Nama : Muhammad Fikri Fathansyah

Diskusi 8 Perekonomian Indonesia

MODUL 2

PERTANIAN INDONESIA

A. PERKEMBANGAN PERTANIAN INDONESIA

Dinamika perkembangan pertanian Indonesia menunjukkan kecenderungan yang cukup


memprihatinkan. Dalam kurun waktu tahun 2001-2003 sebanyak 610.596 ha sawah (termasuk yang
produktif) berganti menjadi kawasan pemukiman dan kegiatan lain. Meski lahan pertanian
menyempit, jumlah petani justru meningkat dari 20,8 juta (tahun 1993) menjadi 25,4 juta (Sensus
Pertanian 2003). Rata-rata kepemilikan lahan petani mengalami penurunan drastis, yaitu tinggal
kurang dari 0,25 ha per jiwa (Bambang Ismawan, 2005). Hasil Sensus Pertanian 10 tahun kemudian,
tercatat bahwa jumlah petani kembali meningkat mencapai 31,70 juta orang (Sensus Pertanian
2013). Sementara jumlah lahan sawah pertanian menyusut hingga mencapai angka 8,1 juta ha.
Penyusutan bertambah cepat dengan semakit cepatnya pertumbuhan kota yang membutuhkan
lahan pertanian baik untuk permukiman maupun untuk industri.

Kondisi makin mengkhawatirkan karena tingkat pendapatan petani yang tidak berubah secara
signifikan. Pendapatan semusim (padi) hanyalah antara Rp325.000,00- Rp543.000,00 atau hanya
Rp81.250,00 – Rp135.000,00 per bulan. Dalam suatu studi ditemukan bahwa 80 persen pendapatan
rumah tangga petani kecil berasal dari kegiatan di luar sektor pertanian (non-farm), misalnya kuli
bangunan, ojek, tukang becak, membuka warung, sektor informal, dan lain-lainnya. Dalam kategori
ini, sebenarnya dapat dikatakan tidak ada lagi “masyarakat petani”, yakni mereka yang bekerja di
sektor pertanian dan kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu.

Situasi diperburuk dengan terancamnya ekologis (lingkungan) yang menjadi basis produksi
pertanian. Rusaknya sistem ekologis itu ditandai dengan merosotnya tingkat kesuburan tanah antara
lain karena massifnya penggunaan bahan an-organik dalam pupuk dan obat pembasmi hama.
Departemen Kimpraswil menyatakan bahwa 1,5 juta ha lahan irigasi yang menjadi tumpuan
penyediaan air bagi tanaman pertanian telah rusak. Hal ini mengakibatkan kekeringan yang meluas
di beberapa wilayah pertanian. Pada saat yang sama, hewan-hewan alami seperti burung, ikan, dan
berbagai jenis binatang lain, jumlahnya makin menurun dan banyak yang mendekati kepunahan. Hal
ini sebagian disebabkan kegiatan eksplorasi dan industrialisasi yang merambah di wilayah-wilayah
perhutanan. Sementara, jumlah dan jenis tanaman, baik tanaman pangan, hias, maupun pelindung
pun makin merosot.
Fenomena di atas tidak terlepas dari konteks historis sejarah transformasi ekonomi-politik
pertanian di Indonesia sejak era kolonial hingga era liberalisasi dewasa ini. Secara garis besar fase-
fase penting perkembangan kondisi, sistem, dan struktur pertanian Indonesia adalah sebagai
berikut.

1. Struktur pertanian Indonesia tidak lepas dari bentukan proses kolonialisme bangsa asing yang
berlangsung sangat lama. Struktur pertanian yang menempatkan mayoritas petani kecil tetap
miskin di lapis paling bawah disubordinasi oleh pelaku ekonomi besar pun merupakan warisan
sistem dan struktur ekonomi kolonial. Pasca kemerdekaan belum terjadi reformasi sosial yang
mampu mengubah pola hubungan ekonomi yang timpang tersebut. Petani dan pertanian rakyat
kita begitu terpuruk pasca monopoli kongsi dagang VOC yang kemudian makin dihisap lagi setelah
pemerintah kolonial menerapkan sistem tanam paksa (culture stelsel). Petani dipaksa menanam
komoditi yang dibutuhkan pasaran Eropa.

2. Sistem kapitalis-liberal yang berlaku sesudahnya pun hanya menjadikan Indonesia sebagai
ondernaming besar sekaligus sumber buruh murah bagi perusahaan-perusahaan swasta Belanda.
Perkebunan-perkebunan besar mereka kuasai dan lagi-lagi produksinya ditujukan untuk memenuhi
pasar luar negeri. Pertanian rakyat tetap saja diperas dan makin kehilangan dayanya untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan memakmurkan petani.

3. Reformasi agraria melalui UU Pokok Agraria 1960 yang mengatur redistribusi tanah dan UU
Perjanjian bagi Hasil (1964) yang mengubah pola bagi hasil untuk mengoreksi struktur pertanian
kolonial justru makin kehilangan vitalitasnya, terlebih di era Orde Baru yang berorientasi mengejar
pertumbuhan ekonomi tinggi (dan menganut developmentalisme).

4. Revolusi Hijau yang mengimbas ke Indonesia ditandai dengan pengunaan bibit-bibit baru dan
teknologi (biologis dan kimiawi) pemberantasan hama dari luar negeri Indonesia memang mampu
melakukan swasembada beras pada tahun 1984. Namun, revolusi hijau ternyata lebih
menguntungkan petani bertanah luas. Produksi naik, tetapi pendapatan turun akibat mahalnya input
pertanian, misalnya pupuk. Term of Trade petani pun turun dan distribusi pendapatan makin
timpang.

5. Liberalisasi pertanian yang disyaratkan IMF dan WTO kini ditandai oleh bebas masuknya produk-
produk pertanian (pangan) seperti beras, gula, daging, ayam, jagung, dan buah-buahan yang
memukul petani dalam negeri. Liberalisasi ini menguntungkan korporat besar yang menguasai input
pertanian (benih, pupuk, dan obat-obatan) dan perdagangan (pasar) internasional. Kesejahteraan
petani dalam negeri tidak meningkat secara signifikan.
B. MASALAH STRUKTURAL PERTANIAN INDONESIA

Pembangunan pertanian yang belum mampu mengangkat kesejahteraan petani, bahkan


terjadi bencana kelaparan dan gizi buruk di berbagai daerah, merupakan indikasi belum
dipecahkannya masalah-masalah struktural yang membelit pertanian Indonesia. Masalah ini berat
karena menyangkut keseluruhan aspek struktur, sistem (aturan main), dan kebijakan pertanian,
bukan sekadar masalah yang terkait dengan usaha pertanian. Setiawan (2003) merumuskan bahwa
masalah struktural itu adalah bagaimana mentransformasikan puluhan juta kaum tani miskin
marjinal ke dalam dunia pertanian yang lebih modern dan yang memungkinkan mereka hidup layak.
Prof Mubyarto pada tahun 1989 sudah menguraikan berbagai persoalan mendasar ekonomi
pertanian di Indonesia, di antaranya adalah:

1. Jarak Waktu yang Lebar antara Pengeluaran dan Penerimaan Pendapatan dalam Pertanian

Pendapatan petani hanya diterima setiap musim panen, sedangkan pengeluaran harus diadakan
setiap hari, setiap minggu, atau bahkan kadangkadang dalam waktu yang sangat mendesak sebelum
panen. Pada musim panen (dalam keadaan pasar yang normal) terdapat harga yang rendah dan
pada musim paceklik harganya tinggi. Karena itu petani dua kali terpukul, pertama harga
produksinya rendah dan kedua petani harus menjual lebih banyak untuk mencapai keperluannya.
Yang sering merugikan petani adalah pengeluaran-pengeluaran yang kadang-kadang tidak dapat
diatur dan tidak dapat ditunggu sampai panen tiba. Dalam hal demikian petani sering menjual
tanamannya pada saat masih hijau di sawah baik dengan harga penuh atau berupa pinjaman
sebagian (dikenal dengan sistem ijon).

2. Pembiayaan Pertanian

Dengan titik tolak adanya kemelaratan yang luas di kalangan petani, keterlibatan mereka pada
utang, baik utang biasa maupun dengan sistem ijon, maka sering dapat disimpulkan bahwa
persoalan yang paling sulit dalam ekonomi pertanian Indonesia adalah persoalan pembiayaan
pertanian. Jatuhnya petani dalam sistem ijon karena tidak adanya kredit alternatif kredit yang lebih
baik bagi petani, padahal mereka memerlukan kredit murah agar mampu meningkatkan produksi
dan pendapatannya.
3. Tekanan Penduduk

Persoalan penduduk di Indonesian begitu kompleks yaitu tidak hanya penduduk sangat padat dan
pertambahan tiap tahun yang tinggi, tetapi juga persebarannya yang tidak merata antardaerah.
Adanya persoalan penduduk dalam konteks ekonomi pertanian dapat dilihat dari tanda-tanda
bahwa:

a. persediaan tanah pertanian yang makin kecil,


b. produksi bahan makanan per jiwa yang terus menurun,
c. bertambahnya pengangguran,
d. memburuknya hubungan-hubungan pemilik tanah dan bertambahnya utang-utang pertanian.

Dengan demikian, masalah penduduk tidak lagi semata-mata merupakan perbandingan jumlah
kelahiran dan produksi makanan, persebaran (geografi sosial), demografi (KB) atau masalah
kesehatan dan gizi, melainkan gabungan keseluruhan persoalan kehidupan petani sehari-hari.

4. Pertanian Subsistem

Pertanian subsistem diartikan sebagai suatu sistem bertani di mana tujuan utama dari si petani
adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta keluarganya. Produksi subsistem murni
ditandai tidak adanya aspekaspek komersial dan penggunaan uang. hubungan antara usaha tani dan
rumah tangga petani sangatlah erat, kegiatan produksi menyatu dengan kegiatan konsumsi. Karena
teori ekonomi menganalisis dua kegiatan itu secara terpisah sehingga teori ini tidak dapat dipakai.
Kebijakan pemerintah yang tidak berpijak pada kondisi ini sering kali berakibat yang sebaliknya, tidak
sesuai sasaran dan tujuan yang diinginkan. Persoalan menjadi makin berat seiring bertambahnya
jumlah buruh tani dan petani subsistem yang hidupnya serba miskin, yang merupakan warisan
struktur dan sistem ekonomi kolonial.
Mengacu pada kerangka pemikiran John Madeley (2005), masalah struktural pertanian adalah
berupa kerawanan pangan, yang terkait dengan kedaulatan dan ketahanan pangan. Dalam konteks
pertanian Indonesia, berbagai aspek internal-eksternal yang menjadi faktor penyebab (langsung dan
tidak langsung) kerawanan pangan di Indonesia di antaranya adalah:
a. Tanah tandus dan bencana alam yang menurunkan produktivitas dan menghancurkan tanaman
pangan.
b. Terbatasnya sumber-sumber pendanaan yang dapat diakses petani secara mudah, murah, dan
terarah kepada petani kecil (miskin).
c. Banyaknya utang negeri yang membebani anggaran negara dan penuh persyaratan (misalnya
harus melakukan liberalisasi impor), sehingga membatasi kemampuan negara dalam
mengembangkan komoditas pangan.
d. Pengabaian peran perempuan sebagai pelaku sektor pertanian yang produktif.
e. Konflik kepentingan dalam penguasaan dan penggunaan lahan yang sering berakhir dengan
penggusuran lahan pertanian pangan berganti bisnis lain.
f. Perubahan iklim akibat pemanasan global yang disebabkan industrialisasi yang tidak berwawasan
(bahkan merusak) konservasi sumber daya alam.
g. Pertambahan jumlah penduduk yang makin pesat, yang diikuti dengan makin mengecilnya luas
pemilikan lahan karena konversi (misal perumahan).
h. Merosotnya ketersediaan air untuk usaha pertanian dengan makin tumbuhnya bisnis-bisnis baru,
termasuk usaha air minum, yang berdekatan dengan areal tanaman pangan.
i. Tidak dikembangkannya diversifikasi pangan secara serius padahal potensi biodiversifikasi
Indonesia sangatlah luar biasa.
j. Pemangkasan dana kesehatan yang meningkatkan pengeluaran petani kecil sehingga berpotensi
memperburuk kondisi gizi pangan mereka.

Anda mungkin juga menyukai