Latar Belakang
besar lahan pertanian intensif di Indonesia, terutama di Pulau Jawa telah menurun
produktivitasnya, dan mengalami degradasi lahan terutama akibat rendahnya
kandungan C-organik dalam tanah yaitu kecil dari 2 persen.
Masalah kedua yang dialami saat ini adalah terbatasnya aspek ketersediaan
infrastruktur penunjang pertanian yang juga penting namun minim ialah pembangunan
dan pengembangan waduk. Selanjutnya, masalah ketiga adalah adanya kelemahan
dalam sistem alih teknologi. Ciri utama pertanian modern adalah produktivitas,
esiensi, mutu dan kontinuitas pasokan yang terus menerus harus selalu meningkat
dan terpelihara. Produk-produk pertanian kita baik komoditi tanaman pangan
(hortikultura), perikanan, perkebunan dan peternakan harus menghadapi pasar dunia
yang telah dikemas dengan kualitas tinggi dan memiliki standar tertentu. Tentu saja
produk dengan mutu tinggi tersebut dihasilkan melalui suatu proses yang
menggunakan muatan teknologi standar.
Hal lainnya sebagai masalah keempat, muncul dari terbatasnya akses layanan usaha
terutama di permodalan. Yang terakhir menyangkut, masalah kelima adalah masih
panjangnya mata rantai tataniaga pertanian, sehingga menyebabkan petani tidak dapat
menikmati harga yang lebih baik, karena pedagang telah mengambil untung terlalu
besar dari hasil penjualan.
Pembangunan pertanian diartikan sebagai rangkaian berbagai upaya untuk
meningkatkan pendapatan petani, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan
kemiskinan, memantapkan ketahanan pangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi
wilayah. Pemerintah melaksanakan perannya sebagai stimulator dan fasilitator yang
mendorong tumbuhnya kegiatan ekonomi dan sosial para petani agar memberikan
manfaat bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraannya.
Untuk memulihkan pertanian di Indonesia perlu peningkatan perhatian terhadap bidang
pertanian yang dirumuskan dalam suatu kebijakan pembangunan negara berbasis
pertanian yang strategis dan berjangka panjang dalam rangka untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat Indonesia. Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang
telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu.
Adapun tujuan umum kebijakan pertanian kita adalah memajukan pertanian,
mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan esiensi produksi
naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan kesejahteraan petani meningkat. Untuk
mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah baik di pusat maupun di daerah mengeluarkan
1.2
Rumusan Masalah
Bagaimana kondisi pembangunan
Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana kondisi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Ini
Dalam sejarah perekonomian Indonesia sejak Pelita I hingga akhir pemerintahan Orde
Reformasi, pentingnya pembangunan pertanian seringkali didengung dengungkan,
namun dalam kenyataannya tetap saja pemberdayaan petani kurang diperhatikan.
Kondisi pertanian saat ini diuraikan sebagai berikut:
Pendapatan petani masih rendah baik secara nominal maupun secara relatif
dibandingkan dengan sektor lain.
Usaha pertanian yang ada didominasi oleh ciri-ciri : (a) skala kecil, (b) modal
terbatas, (c) teknologi sederhana, (d) sangat dipengaruhi musim, (e) wilayah
pasarnya lokal , (f) umumnya berusaha dengan tenaga kerja keluarga sehingga
menyebabkan terjadinya involusi pertanian (pengangguran tersembunyi), (g) akses
terhadap kredit, teknologi dan pasar sangat rendah, (h) Pasar komoditi pertanian
sifatnya mono/oligopsoni sehingga terjadi eksploitasi harga pada petani.
Pendekatan parsial yang yang bertumpu pada peningkatan produktitas usahatani
yang tidak terkait dengan agroindustri. Hal ini menunjukkan fondasi dasar agribisnis
belum terbentuk dengan kokoh sehingga system dan usaha agribisnis belum
berkembang seperti yang diharapkan, yang terjadi kegiatan agribisnis masih
bertumpu pada kegiatan usahatani.
Pembangunan pertanian yang ada kurang terkait dengan pembangunan pedesaan.
Kurang memperhatikan aspek keunggulan komparatif yang dimiliki wilayah.
Pembangunan agribisnis yang ada masih belum didasarkan kepada kawasan
unggulan.
Kurang mampu bersaing di pasaran, sehingga membanjirnya impor khususnya
komoditas hortikultura. Terdapat senjang produktivitas dan mutu yang cukup besar
sehingga daya saing produk pertanian Indonesia masih mempunyai peluang yang
sangat besar untuk ditingkatkan.
Pangsa pasar ekspor produk pertanian Indonesia masih kecil dan sementara
kapasitas dan potensi yang dimilikinya lebih besar.
Kegiatan agroindustri masih belum berkembang. Produk produk perkebunan
semenjak zaman Belanda masih berorentasi pada ekspor komoditas primer
(mentah)
Terjadinya degradasi kualitas sumberdaya pertanian akibat pemanfaatan yang tidak
mengikuti pola-pola pemanfaatan yang berkelanjutan . Masih lemahnya
kelembagaan usaha dan kelembagaan petani. Usaha agribisnis skala rumahtangga,
skala kecil dan agribisnis skala besar belum terikat dalam kerjasama yang saling
membutuhkan , saling memperkuat dan saling menguntungkan. Yang terjadi adalah
penguasaan pasar oleh kelompok usaha yang kuat sehingga terjadi distribusi
margin keuntungan yang timpang (skewed) yang merugikan petani.
Lemahnya peran lembaga penelitian, sehingga temuan atau inovasi benih/ bibit
unggul sangat terbatas
Lemahnya peran lembaga penyuluhan sebagai lembaga transfer teknologi kepada
petani, setelah era otonomi daerah.
Kurangnya pemerintah memberdayakan stakeholder seperti perguruan tinggi, LSM,
dalam pembangunan pertanian. Lemahnya dukungan kebijakan makro ekonomi
baik scal maupun moneter seperti kemudahan kredit bagi petani, pembangunan
irigasi maupun pasar, dll
2.2
Permasalahan Pembangunan
Pertanian
Lahan
Konversi lahan yang tidak terkendali
Keterbatasan dalam pencetakan lahan baru
Penurunan kualitas lahan
Ratarata kepemilikan lahan yang sempit
Ketidakpastian status kepemilikan lahan
Infrastruktur
Kerusakan jaringan irigasi yang tinggi
Pendangkalan waduk
Kurang memadainya sarana pelabuhan dan transportasi ternak
Benih
Sistem pengadaan benih yang tidak sesuai dengan musim tanam
SDM
Kemampuan petani, peternak dan pekebun dalam memanfaatkan teknologi maju
Menurunnya minat generasi muda untuk terjun di bidang pertanian
Keterbatasan tenaga penyuluh, pengamat OPT, Pengawas Benih Tanaman
serta tenaga Kesehatan Hewan
Permodalan
Sulitnya akses petani terhadap permodalan
Tunggakan kredit usaha tani yang belum terselesaikan
Persyaratan agunan kredit KKPE berupa sertikat, menghambat penyaluran
Selain dari pada permasalah pembangunan pertanian di atas terdapat pula
permasalahan lain yang terjadi di bidang pertanian, antara lain sebagai berikut :
Jarak Waktu yang Lebar Antara Pengeluaran dan Penerimaan Pendapatan dalam
Pertanian
Banyak persoalan yang dihadapi oleh petani baik yang berhubungan langsung dengan
produksi dan pemasaran hasil-hasil pertaniannya maupun yang dihadapi dalam
kehidupan sehari-hari. Selain merupakan usaha, bagi si petani pertanian juga
merupakan bagian dari hidupnya, bahkan suatu cara hidup (way of live), sehingga tidak
hanya aspek ekonomi saja tetapi aspek-aspek sosial dan kebudayaan, aspek
kepercayaan dan keagamaan serta aspek-aspek tradisi semuanya memegang peranan
penting dalam tindakan-tindakan petani. Namun demikian dari segi ekonomi pertanian,
berhasil tidaknya produksi petani dan tingkat harga yang diterima oleh petani untuk
hasil produksinya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perilaku dan
kehidupan petani.
Perbedaan yang jelas antara persoalan-persoalan ekonomi pertanian dan persoalan
ekonomi di luar bidang ekonomi pertanian adalah jarak waktu (gap) antara pengeluaran
yang harus dilakukan para pengusaha pertanian dengan penerimaan hasil penjualan.
Jarak waktu ini sering pula disebut gestation period, yang dalam bidang pertanian jauh
lebih besar daripada dalam bidang industri. Di dalam bidang industri, sekali produksi
telah berjalan maka penerimaan dari penjualan akan mengalir setiap hari sebagaimana
mengalirnya hasil produksi. Dalam bidang pertanian tidak demikian kecuali bagi para
nelayan penangkap ikan yang dapat menerima hasil setiap hari sehabis ia menjual
ikannya. Jadi ciri khas kehidupan petani adalah perbedaan pola penerimaan
pendapatan dan pengeluarannya. Pendapatan petani hanya diterima setiap musim
panen, sedangkan pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap minggu atau kadangkadang dalam waktu yang sangat mendesak sebelum panen tiba.
Tekanan Penduduk dan Pertanian
Persoalan lain yang sifatnya lebih jelas lagi dalam ekonomi pertanian adalah persoalan
yang menyangkut hubungan antara pembangunan pertanian dan jumlah penduduk.
Malthus dalam tahun 1888 menerbitkan buku yang terkenal mengenai persoalanpersoalan penduduk dan masalah pemenuhan kebutuhan manusia akan bahan
makanan. Penduduk bertambah lebih cepat daripada pertambahan produksi bahan
makanan. Penduduk bertambah menurut deret ukur, sedangkan produksi bahan
makanan hanya bertambah menurut deret hitung. Persoalan penduduk di Indonesia
tidak hanya dalam kepadatannya tetapi juga pembagian antardaerah tidak seimbang.
Komposisinya menunjukkan suatu penduduk yang muda dengan pemusatan penduduk
di kota-kota besar. Tingkat pertambahan penduduk tinggi, karena angka kelahiran
tinggi, sedangkan angka kematian menurun. Menurunnya angka kematian disebabkan
oleh kemajuan kesehatan dan sanitasi.
Ditinjau dari sudut ekonomi pertanian maka adanya persoalan penduduk dapat dilihat
2.3
Pertanian
Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam
masalah yang dihadapi, masalah pertama yaitu penurunan kualitas dan kuantitas
sumber daya lahan pertanian. Dari segi kualitas, faktanya lahan dan pertanian kita
sudah mengalami degradasi yang luar biasa, dari sisi kesuburannya akibat dari
pemakaian pupuk an-organik. Berdasarkan Data Katalog BPS, Juli 2012, Angka Tetap
(ATAP) tahun 2011, untuk produksi komoditi padi mengalami penurunan produksi
Gabah Kering Giling (GKG) hanya mencapai 65,76 juta ton dan lebih rendah 1,07
persen dibandingkan tahun 2010. Jagung sekitar 17,64 juta ton pipilan kering atau 5,99
persen lebih rendah tahun 2010, dan kedelai sebesar 851,29 ribu ton biji kering atau
4,08 persen lebih rendah dibandingkan 2010, sedangkan kebutuhan pangan selalu
meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk Indonesia.
Berbagai hasil riset mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif di
Indonesia, terutama di Pulau Jawa telah menurun produktivitasnya, dan mengalami
degradasi lahan terutama akibat rendahnya kandungan C-organik dalam tanah yaitu
kecil dari 2 persen. Padahal, untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan
kandungan C-organik lebih dari 2,5 persen atau kandungan bahan organik tanah > 4,3
persen. Berdasarkan kandungan C-organik tanah/lahan pertanian tersebut
menunjukkan lahan sawah intensif di Jawa dan di luar Jawa tidak sehat lagi tanpa
diimbangi pupuk organik dan pupuk hayati, bahkan pada lahan kering yang ditanami
palawija dan sayur-sayuran di daerah dataran tinggi di berbagai daerah. Sementara itu,
dari sisi kuantitasnya konfeksi lahan di daerah Jawa memiliki kultur dimana orang tua
akan memberikan pembagian lahan kepada anaknya turun temurun, sehingga terus
terjadi penciutan luas lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan bangunan dan
industri.
Masalah kedua yang dialami saat ini adalah terbatasnya aspek ketersediaan
infrastruktur penunjang pertanian yang juga penting namun minim ialah pembangunan
dan pengembangan waduk. Pasalnya, dari total areal sawah di Indonesia sebesar
7.230.183 ha, sumber airnya 11 persen (797.971 ha) berasal dari waduk, sementara 89
persen (6.432.212 ha) berasal dari non-waduk. Karena itu, revitalisasi waduk
sesungguhnya harus menjadi prioritas karena tidak hanya untuk mengatasi
kekeringan, tetapi juga untuk menambah layanan irigasi nasional. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, 42 waduk saat ini dalam kondisi
waspada akibat berkurangnya pasokan air selama kemarau. Sepuluh waduk telah
kering, sementara 19 waduk masih berstatus normal. Selain itu masih rendahnya
kesadaran dari para pemangku kepentingan di daerah-daerah untuk mempertahankan
lahan pertanian produksi, menjadi salah satu penyebab infrastruktur pertanian menjadi
buruk.
Selanjutnya, masalah ketiga adalah adanya kelemahan dalam sistem alih teknologi.
Ciri utama pertanian modern adalah produktivitas, esiensi, mutu dan kontinuitas
pasokan yang terus menerus harus selalu meningkat dan terpelihara. Produk-produk
pertanian kita baik komoditi tanaman pangan (hortikultura), perikanan, perkebunan dan
peternakan harus menghadapi pasar dunia yang telah dikemas dengan kualitas tinggi
dan memiliki standar tertentu. Tentu saja produk dengan mutu tinggi tersebut
dihasilkan melalui suatu proses yang menggunakan muatan teknologi standar.
Indonesia menghadapi persaingan yang keras dan tajam tidak hanya di dunia tetapi
bahkan di kawasan ASEAN. Namun tidak semua teknologi dapat diadopsi dan
diterapkan begitu saja karena pertanian di negara sumber teknologi mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan negara kita, bahkan kondisi lahan pertanian di tiap
daerah juga berbeda-beda. Teknologi tersebut harus dipelajari, dimodikasi,
dikembangkan, dan selanjutnya baru diterapkan ke dalam sistem pertanian kita. Dalam
hal ini peran kelembagaan sangatlah penting, baik dalam inovasi alat dan mesin
pertanian yang memenuhi kebutuhan petani maupun dalam pemberdayaan
masyarakat. Lembaga-lembaga ini juga dibutuhkan untuk menilai respon sosial,
ekonomi masyarakat terhadap inovasi teknologi, dan melakukan penyesuaian dalam
pengambilan kebijakan mekanisasi pertanian
Hal lainnya sebagai masalah keempat, muncul dari terbatasnya akses layanan usaha
terutama di permodalan. Kemampuan petani untuk membiayai usaha taninya sangat
terbatas sehingga produktivitas yang dicapai masih di bawah produktivitas potensial.
Mengingat keterbatasan petani dalam permodalan tersebut dan rendahnya
aksesibilitas terhadap sumber permodalan formal, maka dilakukan pengembangkan
dan mempertahankan beberapa penyerapan input produksi biaya rendah (low cost
production) yang sudah berjalan ditingkat petani. Selain itu, penanganan pasca panen
dan pemberian kredit lunak serta bantuan langsung kepada para petani sebagai
pembiayaan usaha tani cakupannya diperluas. Sebenarnya, pemerintah telah
menyediakan anggaran sampai 20 Triliun untuk bisa diserap melalui tim Kredit Usaha
Rakyat (KUR) dan Bank BRI khusus Kredit Bidang Pangan dan Energi.
Yang terakhir menyangkut, masalah kelima adalah masih panjangnya mata rantai
tataniaga pertanian, sehingga menyebabkan petani tidak dapat menikmati harga yang
lebih baik, karena pedagang telah mengambil untung terlalu besar dari hasil penjualan.
Pada dasarnya komoditas pertanian itu memiliki beberapa sifat khusus, baik untuk
hasil pertanian itu sendiri, untuk sifat dari konsumen dan juga untuk sifat dari kegiatan
usaha tani tersebut, sehingga dalam melakukan kegiatan usaha tani diharapkan dapat
dilakukan dengan seefektif dan seesien mungkin, dengan memanfaatkan lembaga
2.4
Perubahan Iklim
Gagal panen yang akan berakibat kelangkaan/krisis
Kondisi Perekonomian Global
Terjadi pelemahan nilai tukar rupiah, harga produk dan biaya produksi menjadi
lebih mahal.
Krisis ekonomi berdampak pada pelemahan ekspor
Gejolak Harga Pangan Global
Harga pangan yang berfluktuasi akibat perubahan iklim sehinga harga pangan menjadi
mahal
Bencana Alam
Kemampuan dan ketersediaan pangan sering terganggu
Peningkatan Jumlah Penduduk
Melebihi kapasitas lahan yang tersedia
Aspek Distribusi
Mengingat Indonesia sebagai Negara kepulauan. Diperlukan aksesibilitas dan sarana
transportasi yang lebih esien.
Laju Urbanisasi
Laju urbanisasi yang tinggi, sehingga generasi muda cenderung meninggalkan
perdesaan/pertanian.
2.5
Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan
dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum
kebijakan pertanian kita adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian
menjadi lebih produktif, produksi dan esiensi produksi naik dan akibatnya tingkat
penghidupan dan kesejahteraan petani meningkat.
Menurut Kamus Webster : Kebijakan sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih
untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Kebijakan Pembangunan Pertanian
adalah usaha terencana yang berkaitan dengan pemberian penjelasan (explanation) dan
preskripsi atau rekomendasi (prescription or recommendation) terhadap konsekuensikonsekuensi kebijakan pembangunan pertanian yang telah diterapkan (Sutejo,2006)
Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah baik di pusat maupun di daerah
mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada yang berbentuk Undang-undang,
Peraturan-peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen, keputusan Gubernur dan lain-lain.
Peraturan ini dapat dibagi menjadi dua kebijakan-kebijakan yang bersifat pengatur
(regulating policies) dan pembagian pendapatan yang lebih adil merata (distributive
policies). Kebijakan yang bersifat pengaturan misalnya peraturan rayoneering dalam
perdagangan/distribusi pupuk sedangkan contoh peraturan yang sifatnya mengatur
pembagian pendapatan adalah penentuan harga kopra minimum yang berlaku sejak
tahun 1969 di daerah-daerah kopra di Sulawesi.
Persoalan yang selalu tidak mudah diatasi adalah persoalan keadilan. Hampir setiap
kebijakan jarang akan disambut dengan baik oleh semua pihak. Selau ada saja pihak
yang memperoleh manfaat lebih besar dari pihak lainnya dan bahkan ada yang
dirugikan. Itulah sebabnya masalah kebijakan pertanian bukanlah terletak pada banyak
sedikitnya campur tangan pemerintah, tetapi pada berhasil tidaknya kebijakan itu
mencapai sasarannya dengan sekaligus mencari keadilan bagi pihak-pihak yang
bersangkutan. Oleh karena itu kebijakan pertanian yang lebih baik adalah yang dapat
mencapai tujuan nasional untuk menaikkan produksi secara optimal dengan perlakuan
yang adil pada pihak-pihak yang bersangkutan itu.
2.5.1
Kebijakan Harga
Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan yang terpenting di banyak negara dan
biasanya digabung dengan kebijakan pendapatan sehingga disebut kebijakan harga
dan pendapatan (price and economic policy). Segi harga dari kebijakan itu bertujuan
untuk mengadakan stabilitas harga, sedangkan segi pendapatannya bertujuan agar
pendapatan petani tidak terlalu berfluktuasi dari musim ke musim dan dari tahun ke
tahun. Kebijakan harga dapat mengandung pemberian penyangga (support) atas hargaharga hasil pertanian supaya tidak terlalu merugikan petani atau langsung
mengandung sejumlah subsidi tertentu bagi petani. Di banyak negara seperti; Amerika
Serikat, Jepang, dan Australia banyak sekali hasil pertanian seperti gandum, kapas,
padi, dan gula yang mendapat perlindungan pemerintah berupa harga penyangga dan
atau subsidi. Indonesia baru mulai mempraktekkan kebijakan harga untuk beberapa
hasil pertanian sejak tahun 1969. Secara teoritis kebijakan harga yang dapat dipakai
untuk mencapai tiga tujuan yaitu:
stabilitas harga hasil-hasil pertanian terutama pada tingkat petani
meningkatkan pendapatan petani melalui pebaikan dasar tukar (term of trade)
memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi.
Kebijakan harga di Indonesia terutama ditekankan pada tujuan pertama yaitu Stabilitas
harga hasil-hasil pertanian dalam keadaan harga-harga umum yang stabil berarti pula
terjadi kestabilan pendapatan. Tujuan yang kedua banyak sekali dilaksanakan pada
hasil-hasil pertanian di negara-negara yang sudah maju dengan alasan pokok
pendapatan rata-rata sektor pertanian terlau rendah dibandingkan dengan penghasilan
di luar sektor pertanian.
Tujuan yang kedua ini sulit untuk dilaksanakan di negara-negara yang jumlah
petaninya berjuta-juta dan terlalu kecil-kecil seperti di Indonesia karena persoalan
administrasinya sangat kompleks. Pada prinsipnya kebijakan harga yang demikian ini
merupakan usaha memindahkan pendapatan dari golongan bukan pertanian ke
golongan pertanian, sehingga hal ini bisa dilaksanakan dengan mudah di negaranegara yang sudah maju dan kaya, dimana golongan penduduk di luar pertanian
jumlahnya jauh lebih besar dengan pendapatan lebih tinggi dibanding golongan
penduduk pertanian. Di negara-negara ini penduduk sektor pertanian rata-rata di
bawah 10 persen dari seluruh penduduk, sedangkan di negara kita masih antara 60
persen-70 persen.
Tujuan kebijakan yang ketiga dalam praktek sering dilaksanakan oleh negara-negara
yang sudah maju bersamaan dengan tujuan kedua yaitu dalam bentuk pembatasan
jumlah produksi dengan pembayaran kompensasi. Berdasarkan ramalan harga,
pemerintah membuat perencanaan produksi dan petani mendapat pembayaran
kompensasi untuk setiap kegiatan produksi yang diistirahatkan. Di negara kita, dimana
hasil-hasil pertanian pada umumnya belum mencukupi kebutuhan, maka kebijakan
yang demikian tidak relevan. Selain kebijakan harga yang menyangkut hasil-hasil
pertanian, peningkatan pendapatan petani dapat dicapai dengan pemberian subsidi
pada harga sarana-sarana produksi seperti pupuk/insektisida. Subsidi ini mempunyai
pengaruh untuk menurunkan biaya produksi yang dalam teori ekonomi berarti
menggeser kurva penawaran ke atas.
2.5.2
Kebijakan Pemasaran
melayani kebutuhan petani seperti pupuk, insektisida, pestisida dan lain-lain sehingga
petani akan dapat membeli sarana-sarana produksi tersebut dengan harga yang relatif
tidak terlalu tinggi. Jadi disini jelas bahwa kebijakan pemasaran merupakan usaha
campur tangan pemerintah dalam bekerjanya kekuatan-kekuatan pasar. Di satu pihak
pemerintah dapat mengurangi pengaruh kekuatan-kekuatan pasar supaya tidak terlalu
merugikan pedagang dan petani, tetapi di pihak lain persaingan dapat didorong untuk
mencapai esiensi ekonomi yang tinggi. Dalam praktek kebijakan pemasaran
dilaksanakan secara bersamaan dengan kebijakan harga.
2.5.3
Kebijakan Struktural
2.5.4
Kebijakan Perdagangan
komoditas. Untuk impor, dengan pemberlakuan tarif impor dan kuota impor untuk
membatasi jumlah yang diimpor dan meningkatkan harga domestik di atas harga
dunia. Untuk ekspor, dengan pajak ekspor dan kuota ekspor untuk membatasi barang
yang di ekspor dan mengkonsdisikan harga domestik yang lebih rendah dari harga
dunia.
2.5.5
Kebijakan Subsidi
2.5.6
Kebijakan Pengaturan
2.5.7
Kebijakan Fasilitas
Produsen :
Merencanakan investasi & keputusan struktur usaha
Mengarahkan produksi & penjualan hasil
Merencanakan pembelian sarana produksi
Lembaga pemasaran
Menentukan tempat & waktu pembelian & penjualan
Kebijaksanaan pembiayaan & kredit pemasaran
Memperlancar proses pemasaran
Konsumen
Bisa memilih barang yang akan dibeli sesuai jenis, kualitas, tempat, harga &
waktu yang diinginkan
2.5.8
Kebijakan Intervensi
2.6
2.7
2.8
membangun sistem pertanian Indonesia dengan turut memajukan sektor lain yang
juga mendukung pembangunan sektor pertanian seperti sektor industri dan teknologi.
Revolusi Hijau
Revolisi Hijau merupakan upaya untuk meningkatkan produksi biji-bijian dari hasi
penemuan ilmiah berupa benih unggul baru dari beragam varietas gandum, padi dan
jagung yang membuat hasil panen komoditas meningkat di negara-negara
berkembang.
Revolusi Hijau dipicu dari pertambahan penduduk yang pesat, yakni bagaimana
mengupayakan peningkatan hasil produksi pertanian. Peningkatan jumlah penduduk
harus diimbangi dengan peningkata produksi pertanian. Perkembangan Revolusi Hijau
yang sangat pesat juga berpengaruh pada masyarakat Indonesia. Sebagian besar
kondisi sosial-ekonomi mayarakat Indonesia berciri agraris. Oleh karena itu
pembangunan pertanian menjadi sektor yang sangat penting dalam upaya
peningkatan pertumbuhan ekonmi Indonesia. Hal tersebut didasari oleh:
Kebutuhan penduduk yang meningkat dengan pesat
Tingkat produksi pertanian yang masih sangat rendah
Produksi pertanian belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan penduduk.
Pembangunan Irigasi dan Produksi Padi
Mengenai perkembangan luas lahan dan luas produksi padi yang dihasilkan, terlihat
bahwa sejak masa Orde Baru memegang pemerintahan (1966) sampai dengan tahun
1987 luas lahan irigasi melonjak hampir 2 kali lipat dengan laju sebesar 2,4% per tahun.
Luas kenaikan maksimum dicapai pada tahun 1987. tendensi ini diikuti dengan
melonjaknya jumlah produktitas padi. Pada tahun 1987 produksi padi meningkat
hingga 44 juta ton, naik 3 kali lipat sejak tahun 1966. Tingkat produksi yang dicapai ini
diperoleh dengan naiknya intensitas tanam hingga mencapai rata-rata 1,8. Mengenai
kenaikan produksi persatuan luas, tercatat naik dari 2,4 ton/ha menjadi 4,5 ton/ha. Nilai
ini bila diplotkan ke dalam sejarah evolusi padi di negara-negara berkembang dengan
Jepang sebagai perbandingan, telah berada di fase keempat bersama-sama dengan
Taiwan. Walaupun demikian masih lebih rendah Korea dan Jepang yang telah
mencapai 6-7 ton/ha, tetapi jauh lebih tinggi dari Philipina, Laos, Myanmar maupun
Vietnam.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa lahan irigasi memberikan peranan yang besar
dalam mencapai swasembada pangan. Kira-kira 60-70% padi diproduksi dari lahan
beririgasi. Walaupun demikian, bila melihat perkembangn penduduk, untuk terus
mempertahankan swasembada pangan masih perlu banyak inovasibaru. Perhitungan
secara sederhana mengenai luas lahan beririgasi terus meningkat seirama dengan
pertambahan penduduk. Padahal kalau melihat besarnya derajad irigasi seperti telah
diuraikan di atas, peluang mengembangkan lahan irigasi secara horizontal, terutama di
pulau-pulau yang termasuk dalam grup pertama, nampaknya semakin sempit. Yang
menjadi persoalannya adalah bagaimana menyeimbangkan antar penyediaan
sumberdaya air dari alam dengan kebutuhan air khususnya untuk memproduksi bahan
pangan yang semakin menigkat itu tetapi tanpa merusak kondisi hidrologinya sendiri.
BIMAS, INMAS, INSUS dan Panca Usaha Pertanian.
Dalam rangka meningkatkan produk pertanian, pemerintah Orde Baru melaksanakn
program intensikasi dan ekstensikasi pertanian yang dimulai sejak Pelita I dan
Pelita-Pelita berikutnya. Pada waktu itu dilaksanakan program Bimbingan Masal
(BIMAS) yang kemudian berubah menjadi Intensikasi Masal (INMAS), Intensikasi
Khusus (INSUS) dan Panca Usaha Pertanian. Dalam usaha meningkatkan produksi
pertanian padi, dilakukan penanaman bibit unggul, sepertu Varietas Unggul Baru (VUB)
atau High Yealding Varietas (HYV) sebagai hasil penelitian International Rice Research
Institute (IRRI).
Panca Usaha Tani :
Pengolahan tanah yang baik
Pengairan/irigasi yang teratur
Pemilihan bibit unggul
Pemupukan
Pemberantasan hama dan penyakit tanaman
2.8.2
air yang sedikit, sampai saat ini masih mengalami kendala teknis dan non teknis di
tingkat lapangan. Dengan melihat keistimewaan sistem ini, terutama dari segi
produktitas dan esiensi pengairan (yang identik dengan perluasan areal irigasi),
beberapa perbaikan sistem harus dilakukan agar pengembangannya dapat
dilaksanakan seluas-luasnya.
Berikut adalah beberapa keistimewaan sistem SRI bagi pengembangan budidaya padi
sawah:
SRI hanya membutuhkan benih yang jauh lebih sedikit, yaitu 5-10 kg per-hektar yang
berbanding 40-60 kg padi per-hektar pada sistem konvensional.
Produktitas dengan sistem SRI telah terbukti secara signikan meningkat dengan
B/C rato (perbandingan nilai hasil terhadap biaya) yang lebih baik dibanding sistem
konvesional. Hal ini jelas akan meningkatkan pendapatan petani.
Sistem pengairan yang intermitten / terputus sampai kondisi tanah kering meretak
akan memperbaiki lingkungan mikro bagi tanah sehingga secara pasti akan
memperbaiki kondisi tanah, baik sik, kimia maupun biologi. Hal ini dapat dipercepat
apabila pemupukannya menggunakan pupuk organik. Beberapa artikel penelitian
membuktikan bahwa kandungan mikro organisme pada tanah yang ditanami padi
SRI mengalami peningkatan kualitas. Tentu saja harus diperhatikan pula proses
pengembalian serasah padi pada tanah asalnya.
Penggunaan air yang jauh lebih sedikit dibanding dengan sistem konvensional akan
memperbaiki esiensi pengairan dan dengan demikian memiliki potensi bagi
perluasan areal irigasi. Dengan demikian SRI sangat menunjang program
ekstensikasi areal irigasi yang merupakan sumber utama ketahanan pangan
(terutama beras). Sampai saat ini, areal irigasi yang ada masih banyak yang belum
mampu mengairi padi 100% pada musim tanam kedua (kemarau).
Namun demikian, ternyata pengembangan SRI di banyak areal irigasi masih
menghadapi beberapa kendala yang cukup mengganggu, yaitu:
Metode penanaman dengan bibit muda dan hanya satu bibit pertitik tanam
dianggap masih merepotkan bagi petani. Hal ini terutama dialami pada daerahdaerah yang kekurangan buruh tani. Biasanya daerah seperti ini adalah daerah yang
berada tidak jauh dari perkotaan karena banyak buruh tani yang bekerja sambilan di
kota sebagai tukang atau buruh industri, atau juga di daerah yang terpencil dimana
jumlah penduduk masih kurang. Selain itu, banyak pula daerah yang buruh taninya
merupakan pendatang musiman yang belum familier dengan SRI sehingga hasil
tanamnya kurang baik. Hal ini tentunya membutuhkan pembinaan yang lebih
cermat.
Petani yang baru pertama kali melaksanakan SRI banyak yang mengeluhkan
pertumbuhan gulma yang jauh lebih banyak dibanding dengan sistem konvensional.
Hal ini dapat dimengerti karena pengeringan akan mendorong benih gulma tumbuh
dengan leluasa (pada jenis gulma yang berkembang melalui biji atau umbi). Oleh
karena itu pengembangan SRI perlu disertai dengan pembinaan pengendalian
gulma yang baik (pada pelaksanaan demplot SRI sangat disarankan utuk
menggunakan lalandak dalam mengendalikan gulma).
SRI masih menyebakan kebingunan dalam sistem pembagian air karena belum
adanya panduan yang pasti mengenai hal ini. Dalam hal perencanaan, operasional
irigasi dengan SRI belum mempunyai angka dasar hidrologi yang baku, sehingga
para ahli hidrologi masih belum dapat merencanakan sistem pembagian air yang
ideal. Penelitian akan hal ini sangat diperlukan guna mendapatkan angka koesien
yang baku. Pembagian air irigasi dalam SRI juga sangat menuntut sistem
pertanaman serempak, terutama pada satu petak tersier yang sama. Dilain pihak,
sistem pertanaman serempak ini sampai sekarang belum dapat dilaksanakan
secara optimal sekalipun pada sistem konvensional.
Selain SRI, sistem Jajar Legowo yang dikombinasikan dengan pupuk organik dan
juga padi Hibrida yang menggunakan sistem pengairan konvensional yang juga
memberikan hasil produksi yang relatif sama, menjadi pesaing utama bagi
pengembangan SRI.
Pada akhirnya, betatapapun banyaknya kelebihan yang dimiliki SRI, beberapa
penyesuaian budaya, kebijakan pembangunan, maupun teknis, sangat diperlukan. Yang
jelas, dengan kondisi lahan irigasi yang ada di Indonesia, SRI masih sangat diharapkan
dapat dikembangkan secara luas terutama pada daerah irigasi yang pemenuhan airnya
terbatas seperti di wilayah-wilayah Timur Indonesia.
Pembangunan Pertanian Lahan Beririgasi
Sesuai pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi, pengelolaan
sistem irigasi diselenggarakan melalui azas partisipatif, terpadu, berwawasan
lingkungan hidup, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Apa yang dimaksud dengan
poin-poin tersebut? Inilah kira-kira yang dimaksudkan dengan kaidah pengelolaan yang
diharapkan dari peraturan tersebut:
Partisipatif; sudah saatnya semua pihak, baik unsur pemerintah maupun pemanfaat
jaringan irigasi (petani / P3A) memiliki dan mewujudkan azas inisiatif guna
mengelola dan memelihara jaringan irigasi demi kemanfaatan yang sebesarbesarnya. Disini, pola desentralisasi sangat diharapkan terutama pada areal-areal
yang merupakan kewenangan daerah (Baca Pasal 16, 17, dan 18 PP 20/2006).
Petani melalui P3A dan GP3A, diharapkan memiliki inisisatif swadaya ataupun
swakelola dalam melestarikan kedayagunaan jaringan irigasi, sementara
pemerintah sesuai daerah kewenangannya bertanggungjawab untuk mendukung
inisiatif yang muncul dari petani.
Terpadu; keterpaduan yang dimaksud bukan hanya pada proses pemeliharaan
pelestarian jaringan, akan tetapi lebih diutamakan pada pemanfaatan yang sebesarbesarnya untuk meningkatkan kesejahteraan petani lahan beririgasi yang pada
akhirnya mewujudkan ketahanan pangan yang solid. Disini, dituntut koordinasi dan
konsolidasi program antara 4 pemangku kepentingan pembangunan lahan
beririgasi, yaitu Petani (P3A), PU Pengairan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, dan
Bappeda sebagai motor pembangunan daerah. Keterpaduan bukan hanya dari segi
pemanfaatan, akan tetapi juga dari segi pembiayaan operasional dan pemeliharaan.
Berwawasan lingkungan: dimaksudkan sebagai pemenuhan azas kelestarian
pemanfaatan dan kegunaan. Oleh karenanya, disini dituntut pelaksanaan program
pemeliharaan yang baik dan terstruktur serta dukungan program pelestarian
sumber daya air itu sendiri yang merupakan wewenang dan tanggung jawab Ditjen
SDA dan Kehutanan. Dari segi teknis pemanfaatan, Dinas Pertanian dituntut pula
melaksanakan sistem pertanian yang mendukung azas pelestarian lingkungan
hidup seperti menerapkan sistem pertanian terpadu, integrasi tanaman dan ternak,
metode budidaya padi organik (melalui metode SRI atau Jajar Legowo), PHT, dan
lain-lain.
Transparansi, akuntabel, dan berkeadilan; poin ini merupakan hal yang gampanggampang susah untuk dilaksanakan. Tidak ada kriteria yang jelas untuk memonitor
realisasinya. Paling tidak kita dapat mengharapkan partisipasi masyarakat petani
untuk dapat mengontrol ketiga poin tersebut. Dengan adanya peraturan ini, petani
melalui organisasi P3A / GP3A dapat melakukan aksi pengawasan langsung atas
proses dan pembiayaan operasi dan pemeliharaan di wilayah kewenangannya. Azas
ini mensyiratkan bahwa proses pembangunan adalah milik masyarakat petani dan
petani mempunyai hak untuk menentukan arah pembangunan daerahnya dan
menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan kebijakan yang dilaksanakan.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai
macam masalah yang dihadapi, masalah pertama yaitu penurunan kualitas dan
kuantitas sumber daya lahan pertanian. Masalah kedua yang dialami saat ini adalah
terbatasnya aspek ketersediaan infrastruktur penunjang pertanian yang juga penting
namun minim ialah pembangunan dan pengembangan waduk. Selanjutnya, masalah
ketiga adalah adanya kelemahan dalam sistem alih teknologi. Hal lainnya sebagai
masalah keempat, muncul dari terbatasnya akses layanan usaha terutama di
permodalan. Yang terakhir menyangkut, masalah kelima adalah masih panjangnya
mata rantai tataniaga pertanian. Dalam mengatasi permasalahan pembangunan
pertanian terdapat berbagai kebijakan dalam pertanian diantaranya yaitu kebijakan
harga, kebijakan pemasaran, kebijakan perdagangan, kebijakan subsidi, kebijakan
sturktural, kebijakan fasilitas, kebijakan pengaturan, dan kebijakan intervensi.
Terdapat beberapa strategi kebijakan pertanian, diantaranya : 1) Usaha pengembangan
ekonomi lebih difokuskan pada sektor yang menghidupi mayoritas penduduk yaitu
penduduk di pedesaan yang berprofesi sebagai petani, 2) Program industrialisasi
mestinya difokuskan pada aktivitas yang memiliki keterkaitan dengan kepentingan
mayoritas, 3) Pendidikan menjadi pra-syarat utama pembangunan dan ini harus dapat
dijangkau olehgolongan mayoritas, 4) Dalam pembangunan Pertanian, prioritas bukan
sekedar memproduksi komoditi, tapi penciptaan nilai tambah (value added), 5)
Industrialisasi harus terkait dengan kepentingan petani sebagian besar hasil pertanian
terutama perkebunan masih diolah di luar Indonesia,misalnya karet, crude plam oil/CPO,
kakao, dll. Hal ini sebenarnya sangat mendukung industrialiasi, oleh karena itu
sebaiknya produk bukan dijual sebagai barang mentah. 6) Terkait dengan esiensi,
program swastanisasi/privatisasi perlu persiapan, karena liberalisasi yang terburu-buru
akan sangat berbahaya, 7) Peran dan intervensi pemerintah untuk memberi prioritas
pada mayoritas tetap diperlukan, bukan sepenuhnya diserahkan pada market
mechanism (invisible hand),8) Perlu keseimbangan antara kepentingan pasar dan capur
tangan dan atau peran pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.pertanian.go.id/eplanning/tinymcpuk/gambar/le/Kebijakan_pe
mbanguna n_pertanian_2015-2019.pdf
http://www.slideshare.net/elsamutiara9/savedles?s_title=kebijakanpemerintah- dalam-pembangunanpertanian&user_login=CutEndangKurniasih
http://tisman.blogspot.com/2009/01/beberapa-contoh-kebijakanpertanian.html
http://muhamadnurdinyusuf.wordpress.com/2013/01/23/5-masalah-yangmembelit- pembangunan-pertanian-di-indonesia/
http://minangkabaucultureofstudylaw.blogspot.com/2013/04/masalahpembangunan- sektor-pertanian.html
http://pepagroakelompok1.blogspot.com/2011/06/kebijakanpemerintah-dalam- subsidi.html
http://mitanggraini.blogspot.com/2013/06/macam-macam-kebijakanpemerintah.html http://imamvie.blogspot.com/2013/06/revolusi-hijau-padamasa-orde-baru.html http://ilmubertani.blogspot.com/2012/11/sistempertanian.html