Anda di halaman 1dari 3

Masalah dari Pertanian Tradisional

Pertanian dalam arti luas terdiri dari lima sub sektor, yaitu tanaman pangan,
perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehuta:nan. Sebagian besar hasil pertanian adalah
bahan makanan terutama beras yang dikonsumsi sendiri dan seluruh hasil perkebunan adalah
ekspor. Wilayah pedesaan yang bercirikan pertanian sebagai basis ekonomi sedangkan
wilayah perkotaaan yang tidak lepas dari aktivitas ekonomi baik yang sifatnya industri,
perdagangan maupun jasa mengalami pertentangan luar biasa di dalam rata-rata
pertumbuinan pembangunan. Dengan kemajuan yang dicapai sektor pertanian tanaman
pangan, maka pembangunan sektor industri yang didukung sektor pertanian juga semakin
maju.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional dari produksi dalam negeri nampaknya
masih sangat sulit untuk direalisasikan karena kompleiksnya kendala dan masalah yang
dihadapi dalam usaha tani untuk mencapai peningkatan produksi.
Permasalahan-permasalahan dalam pengembangan pertanian akhir-akhir ini disadari
sebagi faktor yang menentukan keberhasilan adopsi teknologi di tingkat petani. Diantara
berbagai permasalahan yang ada, kelembagaan merupakan salah satu faktor yang perlu
dicermati untuk mengetahui kelembagaan yang perlu mendapatkan prioritas berkaitan dengan
upaya meningkatkan usaha tani. Permasalahan umum yang dihadapi petani di lahan pertanian
cukup kompleks yang mengakibatkan rendahnya skala produksi dan mutu hasil diperoleh
petani.
Usaha tani merupakan satu-satunya ujung tombak pembangunan nasional yang
mempunyai peran penting. Upaya mewujudkan pembangunan nasional bidang pertanian
(agribisnis) masa mendatang merupakan sejauh mungkin mengatasi masalah dan kendala
yang sampai sejauh ini belum mampu diselesaikan secara tuntas sehingga memerlukan
perhatian yang lebih serius. Satu hal yang sangat kritis adalah bahwa meningkatnya produksi
pertanian (agribisnis) atau ourput selama ini belum disertai dengan meningkatnya pendapatan
dan kesejahteraan petani secara signifikan dalam usahataninya. Petani sebagai unit agribisnis
terkecil belum mampu meraih nilai mbah yang rasional sesuai skala usahatani terpadu
(integrated farming system). Oleh karena itu persoalan membangun kelembagaan (institution)
di bidang pertanian dalam pengertian yang luas menjadi semakin penting, agar petani mampu
melaksanakan kegiatan yang tidak hanya menyangkut on farm bussiness saja, akan tetapi
juga terkait erat dengan aspek-aspek off farm agribussinessnya (Tjiptoherijanto, 1996). Jika
ditelaah, walaupun telah melampaui masa-masa kritis krisis ekonomi nasional, saat ini
sedikitnya kita masih melihat beberapa kondisi yang dihadapi dalam usahatani petani kita di
dalam mengembangkan kegiatan usaha produktifnya, yaitu :
a. Kecilnya skala Usaha Tani
Di Indonesia, masih sangat kecil sekali Usaha tani, sehingga menyebabkan kurangnya
efisien produksi. Hal-hal yang harus ditempuh untuk mengatasi hal tersebut yaitu melalui
pendekatan kerja sama kelompok (Adiwilaga, 1982).
b. Langkanya permodalan untuk pembiayaan usahatani.
Kemampuan petani untuk membiayai usahataninya sangat terbatas sehingga
produktivitas yang dicapai masih di bawah produktivitas potensial. Mengingat keterbatasan
petani dalam permodalan tersebut dan rendahnya aksesibilitas terhadap sumber permodalan
formal, maka dilakukan pengembangkan dan mempertahankan beberapa penyerapan input
produksi biaya rendah (Low cost product Selain itu, penanganan pasca panen dan pemberian
kredit lunak serta bantuan langsung dari masyarakat kepada petani sebagai pembiaayan usaha
tani memang sudah sepantasnya terlaksana (Fadholi, 1981). yang sudah berjalan ditingkat
petani.
c. Kurangnya Rangsangan.
Perasaan ketidakmerataan dan ketidakadilan akses pelayanan usahatani kepada
penggerak usaha tani (access to services) sebagai akibat kurang diperhatikannya rangsangan
bagi penggerak usaha tani tersebut dalam tumbuhnya lembaga-lembaga sosial (social capital).
Kurangnya rangsangan menyebabkan tidak adanya rasa percaya diri (self reliances) pada
petani pelaku usahatani akibat kondisi yang dihadapi. Sebaiknya, untuk menghasilkan output
seperti yang diharap, penggerak usaha tani seperti petani berhak mendapat pengetahuan atau
rangsangan yang lebih terhadap tumbuhnya lembaga-lembaga yang merupakan salah satu
jalan usahatani dapat berkembang dan berjalan aengan baik (Fadholi, 1981).
d. Masalah Transformasi dan Informasi.
Pelayanan publik bagi adaptasi transformasi dan informasi terutama untuk petani pada
kenyataannya sering menunjukkan suasana yang mencemaskan. Di satu pihak memang
terdapat kenaikan produksi, tetapi di lain pihak tidak dapat dihindarkan akan terjadinya
pencemaran lingkungan, yaitu terlenıparnya tenaga kerja ke luar sektor pertanian yang tidak
tertampung dan tanpa keahlian dan ketranıpilan lain. Dapat juga terjadi ledakan hama
tanaman karena terganggunya keseimbangan lingkungan dan sebagainya akibat dari
kurangnya informasi mengenai hal tersebut. Sedangkan untuk mengatasi masalah
transformasi dan informasi harga karena belum adanya kemitraan, maka diusahakan
pemecahannya melalui temu usaha atau kemitraan antara petani dengan pengusaha yang
bergerak di bidang pertanian serta penənganan pemasaran melalui Sub Terminal Agribisnis
(STA). Khusus untuk pembelian gabah petani sesuai harga dasar setiap tahun dicairkan dana
talangan kepada Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) (Fadholi, 1981).
e. Luasan Usaha yang Tidak Menguntungkan.
Secara klasik sering diungkapkan bahwa penyebab utama ketimpangan pendapatan
dalam pertanian adalah ketinpangan pemilikan tanah. Hal ini adalah benar, karena tanah tidak
hanya dihubungkan dengan produksi tetapi juga mempunyai hubungan yang erat dengan
kelembagaan, seperti bentuk dan birokrasi dan sumber-sumber bartuan teknis, juga pemilikan
tanah mempunyai hubungan dengan kekuasaan baik di tingkat lokal maupun di tingkat yang
lebih tinggi. Luas lahan savwah cendrung berkurang setiap tahunnya akibat adanya alih
fungsi lahan yang besarnya rata-rata 166 Ha per tahun. Pemilikan lahan sawah yang sempit
dan setiap tahunnya yang cendrung mengalami pengurangan maka peningkatan produksi
pertanian dilaksanakan melalui usaha inten sifikasi dan diversifikasi pertanian (Fadholi,
1981).
f. Belum Mantapnya Sistem dan Pelayanan Penyuluhan.
Peran penyuluh pertanian dalam pembangunan masyarakat pertanian sangatlah
diperlukan. Dalam arti bahwa peran penyuluh pertanian tersebut bersifat ‘back to basic’, yaitu
penyuluh pertanian yang mempunyai peran sebagai konsultan pemandu, fasilitator dan
mediator bagi petani. Dalam perspektif jangka panjang para penyuluh pertanian tidak lagi
merupakan aparatur pemerintah, akan tetapi menjadi milik petani dan lembaganya. Untuk itu
maka secara gradual dibutuhkan pengembangan peran dan posisi penyuluh pertanian yang
antara lain mencakup diantaranya penyedia jasa pendidikan (konsultan) termasuk di
dalamnya konsultan agribisnis, mediator pedesaan, pemberdaya dan pembela petani, petugas
profesional dan mempunyai keahlian spesifik (Fadholi, 1981).
g. Lemahnya Tingkat Teknologi.
Produktifitas tenaga kerja yang relatif rendah (productive and remmunerative
employment) merupakan akibat keterbatasan teknologi, keterampilan untuk pengelolaan
sumber daya yang effisien. Sebaiknya dalam pengembangan komoditas usahatani diperlukan
perbaikan dibidang teknologi. Seperti contoh teknologi budi daya, teknologi penyiapan
sarana produksi terutama pupuk dan obat-obatan serta pemacuan kegiatan diversifikasi usaha
yang tentunya didukung dengan ketersediaan modal (Fadholi, 1981). h. Aspek sosial dan
ekonomi, yang berkaitan dengan kebijakan bagi petani Permasalahan sosial yang juga
menjadi masalah usahatani di Indonesia yaitu masalah-masalah pembangunan pertanian di
negara-negara yang sedang berkembang bukan semata-mata karena ketidak siapan petani
menerima inovasi, tetapi disebabkan oleh ketidak mampuan perencana program
pembangunan pertanian menyesuaikan program-program itu dengan kondisi dari petani-
petani yang menjadi "klien" dari program-program tersebut. Kemiskinan adalah suatu konsep
yang sangat relatif, schingga kemiskinan sangat kontekstual. Agar bantuan menjadi lebih
efektif untuk memperkuat perekonomian petani-petani miskin, pertama-tama haruslah
menemukan di mana akar permasalahan itu terletak, disamping akar permasalahan itu sendiri
(Kasryno, 1984).

Anda mungkin juga menyukai