Anda di halaman 1dari 38

Kebijakan Peningkatan Dayasaing Produk Pertanian Indonesia

Suswono
Kebijakan Peningkatan Dayasaing Produk Pertanian Indonesia
oleh
Ir. H. Suswono, MMA
Menteri Pertanian Republik Indonesia

Kampanye negatif atau boikot tentu saja merugikan. Apalagi jika dilakukan terus berulang
bahkan sampai ada pemboikotan segala. Saya kira ini tidak fair dan sudah berlebihan. Tentu
saja kita tidak bisa tinggal diam, kita perlu meluruskannya dengan kampanye yang positif dan
lebih rasional
Begitu salah satu petikan wawancara dengan Menteri Pertanian Republik Indonesia, Ir. H.
Suswono, MMA. Di sela-sela kesibukannya beliau bersedia meluangkan waktunya untuk
diwawancarai seputar dayasaing produk pertanian Indonesia saat ini. Berikut petikan
selengkapnya.
Menurut Bapak, bagaimana kondisi dayasaing produk pertanian Indonesia saat ini, baik di
pasar internasional maupun di dalam negeri?
Soal dayasaing relatif. Tergantung komoditasnya. Sejumlah komoditas sudah berkelas dunia.
Untuk perkebunan kita leading. Juga beberapa produk hortikultura seperti manggis, mangga
gincu, salak, rambutan, dan nenas.
Untuk lebih jelasnya mari kita lihat fakta berikut:

Produksi PADI Indonesia peringkat ke-3 setelah China dan India. Produksi padi tahun
2008 di China 188,5 juta ton & di India 142,5 juta ton. Indonesia kini mencapai 64,9 juta
ton.

Indonesia produsen JAGUNG terbesar di Asia dan sudah tercapai swasembada jagung.
Produsen utama jagung masih didominasi AS, China, Brazil, Argentina, dan Meksiko.

Produksi KEDELAI Indonesia menduduki peringkat keenam terbesar setelah AS, Brazil,
Argentina, China, dan India. Kebutuhan konsumsi kedelai Indonesia sangat besar 2,0 juta
ton pertahun. KEDELAI adalah tanaman sub-tropis yang didomestikasi di kawasan
tropis, lembab dan basah.

Produksi MINYAK SAWIT mentah (CPO) di Indonesia nomor satu sejak tahun 2006
mengalahkan Malaysia.

Indonesia nomor kedua produsen KARET terbesar setelah Thailand. Indonesia


menguasai 28 % produksi karet dunia, sebagian besar di ekspor berupa ban (69,8%) ke
Amerika Serikat, Jepang, China, Korea Selatan, Jerman dan Kanada.

Melalui peningkatan produktivitas, KOPI Indonesia mendekati Kolumbia (1.220


kg/ha/tahun) dan Vietnam (1.540 kg/ha/tahun), Indonesia akan menjadi produsen kopi
dan produk olahannya nomor satu di dunia tahun 2025. Kelebihan kopi Indonesia: ragam
speciality coffee yang lebih banyak

Indonesia negara produsen PALA setelah Grenada (Amerika Tengah). Produksi pala
dunia sebagian besar 80% dari Indonesia.

Indonesia negara produsen LADA putih di dunia dan LADA hitam urutan kedua dunia
setelah Vietnam.

Menurut buku World in Figure 2003, The economist USA, kekayaan Indonesia di
DUNIA adalah:
1. Penghasil BIJI-BIJIAN terbesar nomor enam dan TEH nomor enam,
2. Penghasil KOPI nomor empat dan coklat/KAKAO nomor tiga,
3. Penghasil CPO nomor satu,
4. Penghasil LADA PUTIH nomor satu dan LADA HITAM nomor dua,
5. Penghasil puli dari PALA nomor satu, dan KARET alam nomor dua.

Bagaimana tanggapan Bapak mengenai aksi boikot oleh pasar internasional terhadap
beberapa produk pertanian Indonesia? Dan upaya serta strategi apa yang dilakukan
kementerian pertanaian dalam menghadapi hal tersebut?
Kampanye negatif atau boikot tentu saja merugikan. Apalagi jika dilakukan terus berulang
bahkan sampai ada pemboikotan segala. Saya kira ini tidak fair dan sudah berlebihan. Tentu saja
kita tidak bisa tinggal diam, kita perlu meluruskannya dengan kampanye yang positif dan lebih
rasional. Khusus terkait masalah tuduhan kelapa sawit merusak lingkungan, kita sudah minta tim
independen untuk menilainya.
Bagi Indonesia, pengembangan tanaman Kelapa Sawit ditujukan untuk peningkatan
pendapatan petani, penerimaan negara dari devisa ekspor, penyediaan bahan baku industri,
pengembangan wilayah dan mendukung pelestarian fungsi lingkungan hidup. Saat ini
pengembangan Kelapa Sawit melibatkan 3,5 juta KK, pendapatan ekspor US$ 12,4 Milyar yang
tentunya sangat berarti bagi sumber pembiayaan di Indonesia. Disamping itu, pengembangan
Kelapa Sawit terbukti telah mampu meningkatkan pendapatan masyarakat sekaligus mengurangi

kemiskinan dan telah mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah di sentra-sentra pengembangan.


Aksi boikot saya kira terkait dengan kepentingan dan persaingan bisnis. Kita tahu minyak sawit
kini lebih kompetitif dibanding minyak nabati lain yang mereka punya, seperti kedelai dan bunga
matahari. Dengan tingkat produktivitas sekitar 4-6 ton CPO/ha, Kelapa Sawit mempunyai tingkat
produktivitas 3-4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati
lainnya. Jika motifnya murni lingkungan, kita bisa memahami dan dapat kita jelaskan bahwa kita
juga tidak sembarangan membuka kebun-kebun sawit.
Untuk itulah, kita melakukan kampanye positif. Pertengahan Juni ini, saya dan kementrian
Malaysia sama-sama melakukan kampanye itu di Eropa. Kita jelaskan bahwa sistem
perundangan di Indonesia sudah mengatur kawasan hutan yang dapat dimanfaatkan untuk
berbagai kepentingan, termasuk untuk usaha untuk di bidang perkebunan. Kawasan hutan yang
dapat dimanfaatkan untuk budidaya perkebunan hanyalah kawasan hutan produksi yang dapat di
konversi (HPK). Sedangkan, untuk hutan konservasi, hutan lindung maupun hutan produksi,
tidak dibolehkan untuk usaha di bidang perkebunan. Untuk mendapatkan lahan HPK untuk usaha
perkebunan harus mendapat persetujuan dari Departemen Kehutanan. Sebagai informasi saat ini
terdapat HPK seluas 22,8 juta Ha, dimana sudah dilepaskan oleh Departemen Kehutanan seluas
8,7 juta Ha.
Kalau sampai terjadi perusahaan perkebunan melakukan kegiatan pengembangan perkebunan
tanpa ijin di kawasan lindung maka perusahaan tersebut harus mendapatkan pidana sesuai
ketentuan perundangan yang berlaku. Terhadap kawasan hutan lindung, pemerintah melalui
Departemen Kehutanan, secara rutin melakukan pengawasan baik melalui petugas Kehutanan di
lapangan maupun melalui Citra Satelit.
Pengembangan Kelapa Sawit pada dasarnya bukan menyebabkan terbukanya suatu kawasan,
tetapi dari kawasan yang sudah terbuka (sebagian besar alang-alang) dikembangkan dengan
budidaya tanaman Kelapa Sawit. Dengan demikian pengembangan Kelapa Sawit yang berupa
pohon tentunya tidak menyebabkan terjadinya degradasi lahan bahkan mampu memfiksasi CO2
menjadi O2 yang dibutuhkan oleh setiap mahluk hidup, bahkan meningkatkan nilai ekonomi
lahan serta menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat dan pekerja perkebunan.
Bersama masyarakat kelapa sawit Indonesia-Malaysia, kita menjelaskan bahwa pemerintah
Indonesia sangat serius untuk menjaga pelestarian fungsi lingkungan hidup. Untuk itu, dalam
Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang perkebunan dinyatakan bahwa azas pembangunan
perkebunan adalah manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta
berkeadilan. Disamping itu, juga dinyatakan bahwa perkebunan mempunyai fungsi ekonomi,
ekologi dan sosial budaya. Pengembangan kelapa sawit juga harus mengacu kepada peraturan
perundangan yang berlaku di Indonesia, baik Undang-Undang tentang Perkebunan, Kehutanan
maupun Lingkungan Hidup.
Berbagai ketentuan yang wajib dipenuhi dalam kaitannya dengan pelestarian lingkungan hidup,
antara lain:

Wilayah yang dikembangkan secara agroklimat sesuai untuk mengembangkan kelapa


sawit.
Harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.

Areal yang berasal dari kawasan hutan hanya HPK dan harus mendapat pelepasan dari
Departemen Kehutanan.

Wajib memenuhi AMDAL, UKL dan UPL.

Tidak melakukan pembukaan lahan dengan pembakaran.

Menerapkan kaidah-kaidah Good Agricultural Practices (GAP).

Membangun kebun masyarakat minimal 20% dari ijin yang diberikan untuk
pengembangan perkebunan besar.

Bagaimana arah kebijakan peningkatan dayasaing pertanian saat ini dan kedepan?
Peningkatan dayasaing termasuk satu dari empat target sukses pembangunan pertanian yang saya
emban selaku Mentan KIB II. Untuk mendukung itu kita gulirkan berbagai program dan
kebijakan. Intinya bagaimana kita terus mendorong upaya pemingkatan nilai tambah, dayasaing
dan ekspor produk pertanian. Pada saat yang sama, kita ingin melakukan substitusi impor secara
bertahap. Berikut contohnya:
1. Revisi PP 17 tahun 1986 tentang kewenangan pembinaan agroindustri.
2. Pengembangan agroindustri khususnya susu, kakao, tepung (modified cassava
fermentation/MOCAF), mete, buah-buahan.
3. Pengembangan padi atau beras organik untuk ekspor.
4. Pengembangan grading & packaging house serta cool chain.
5. Penerapan SNI wajib, penerapan sistem jaminan mutu (GAP, GHP, GMP) dan berbagai
macam sertifikasi (Global GAP, GHP, Organic Farming, Keamanan Pangan/HACCP,
MRL, dsb.) produk komoditi strategis.
6. Menyusun usulan penyesuaian tarif/pajak/regulasi untuk mendorong pengembangan
agroindustri dalam negeri.
7. Intensifikasi promosi, market intelligent dan kerjasama pemasaran.
8. Penerapan Sanitary and Phytosanitary (SPS) untuk perkarantinaan pertanian.
9. Berbagai insentif investasi yang terkait dengan pembangunan pertanian: tax holiday,
pengurangan pajak, insentif pembangunan food estate dan lainnya.
Target kegiatan peningkatan kualitas dan dayasaing produk tahun 2010-2014:

100% produk pertanian strategis berorientasi ekspor (segar dan olahan) mendapatkan
sertifikasi.

Rasio produk segar: olahan meningkat dari 80:20 ke 50:50.

Substitusi impor: 10% tepung, 40% susu, 100%

Peningkatan net ekspor rata-rata 15% per tahun.

fermented cocoa bean pada 2014.

Bagaimana koordinasi yang dilakukan antara kementerian pertanian dengan stakeholder


lain dalam upaya meningkatkan dayasaing pertanian?
Terus terang harus diakui belum maksimal. Tapi kita terus meningkatkannya dengan menjalin
komunikasi yang lebih baik. Sejak hari pertama saya sudah menjalin komunikasi dengan para
stakeholder. Setiap mau ada kebijakan baru kita sounding duluan dengan mereka untuk mendapat
masukan dan respon yang konstruktif. Tidak hanya dengan lembaga di tingkat pusat, tapi juga
antara pusat dan daerah. Koordinasi pusat-daerah menjadi kian penting.
Apa prioritas pembangunan pertanian dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II? Dan
bagaimana optimisme Bapak dalam mencapai prioritas tersebut?
Visi kami dalam pembangunan pertanian ke depan adalah pertanian industrial unggul
berkelanjutan yang berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai
tambah, ekspor dan kesejahteraan petani.
Dalam lima tahun, pembangunan pertanian diarahkan untuk bisa mencapai empat target sukses.
Yaitu:
1. Swasembada berkelanjutan. Prioritas program pembangunan akan diarahkan untuk
mempertahankan swasembada (beras, jagung, gula konsumsi, telur dan daging unggas)
agar terus berkelanjutan serta memacu produksi kedelai, gula industri, dan daging sapi
agar tercapai swasembada pada akhir 2014.
2. Diversifikasi pangan. Keanekaragaman sumber karbohidrat akan dioptimalkan
penggunaannya sehingga sumber pangan karbohidrat tidak lagi melulu bergantung pada
beras. Pemanfaatan sumber karbohidrat lain akan didorong hingga tercapai diversifikasi
pangan yang cukup ideal dan proporsional sesuai potensi produksinya. Keragaman
budaya didorong untuk menghasilkan aneka pangan yang menarik dan bergizi seimbang.
3. Peningkatan nilai tambah, dayasaing dan ekspor. Berbagai usaha agribisnis di pedesaan
akan dibangun untuk menumbuhkan industri hilir pertanian yang berbasis sumberdaya
lokal. Dengan suntikan inovasi teknologi dan manajamen agribisnis, produk-produk yang
dihasilkan dikembangkan sehingga punya nilai tambah dan dayasaing untuk memenuhi
kebutuhan pasar lokal, nasional, regional dan internasional.
4. Meningkatkan kesejahteraan petani. Melalui revitalilasi penyuluhan dan revitalisasi
kelembagaan petani, petani akan dibina melalui kelompok tani dan gabungan kelompok
tani. Pembinaan petani diarahkan agar tercipta petani yang kreatif, inovatif, dan mandiri,
serta mampu memanfaatkan iptek dan sumberdaya lokal untuk menghasilkan produk

pertanian berdayasaing tinggi. Pada saat yang sama pemerintah akan mendorong
terwujudnya sistem kemitraan usaha dan perdagangan komoditas pertanian yang sehat,
jujur, dan berkeadilan.
Untuk mendukung empat target sukses telah ditetapkan tujuh gema revitalisasi. Yaitu, revitalisasi
lahan, revitalisasi perbenihan dan perbibitan, revitalisasi Infrastruktur dan sarana, revitalisasi
sumber daya manusia, revitalisasi pembiayaan petani, revitalisasi kelembagaan petani, dan
revitalisasi teknologi dan industri hilir.
Dengan dukungan, kerjasama dan kerja keras, insya Allah kita optimis bisa mencapai targettarget itu.
Berkaitan dengan pribadi Bapak, mengapa Bapak memilih menempuh pendidikan dari S1,
S2, sampai S3 di Institut Pertanian Bogor? Dan seberapa jauh pendidikan yang Bapak
tempuh di IPB tersebut dalam membantu dalam pekerjaan dan karir Bapak selama ini?
Saya lahir dan dibesarkan dari keluarga petani. Mungkin itu yang mendorong saya masuk IPB.
Setelah lulus peternakan IPB, saya angkatan 16, saya sempat menjadi dosen di IPB dan
Universitas Ibnu Kaldun. Saya tinggal di Bogor, begitu juga aktivitas dakwah saya banyak di
sekitar Jabotabek. Karea itu, saya ambil S-2 juga di IPB (MMA). Dan, insya Allah, sedang
menyelesaikan S-3 pada program manajemen bisnis. Mudah-mudahan bisa segera selesai bulan
Juni ini.
Background pendidikan tentu saja ikut membantu dalam menganasilis dan mengembangkan
konsep berpikir. Terlebih ketika menjadi anggota DPR dan Wakil Ketua Komisi IV yang
membidangi pertanian, perikanan dan kehutanan. Demikian juga saat menjalani tugas sebagai
Menteri Pertanian KIB II. Jaringan dan koneksi IPB tentu juga ikut membantu. Saya yakin
keluarga besar IPB juga tentu ingin alumninya bisa sukses dalam meniti karir, di mana pun. ===

Dalam rangka mewujudkan tujuan dan sasaran pembangunan pengolahan dan


pemasaran

hasil

pertanian,

maka

strategi

kebijakan

yang

ditempuh

harus

mencerminkan visinya, yaitu: tangguh, berdaya saing, dan berkelanjutan. Dalam


hubungan tersebut maka strategi pokok pembangunan pengolahan dan pemasaran
hasil pertanian adalah:
1.

Meningkatkan Kapasitas dan Memberdayakan SDM serta Kelembagaan


Usaha di Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian.
Salah satu permasalahan yang mendasar dalam memajukan usaha pertanian di

tanah air adalah masih lemahnya kemampuan sumber daya manusia dan kelembagaan
usaha dalam hal penanganan pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil. Hal
tersebut disebabkan oleh karena pembinaan SDM pertanian selama ini lebih difokuskan
kepada upaya peningkatan produksi (budidaya) pertanian, sedangkan produktivitas dan
daya saing usaha agribisnis sangat ditentukan oleh kemampuan pelaku usaha yang
bersangkutan dalam mengelola produk yang dihasilkan (pasca panen dan pengolahan
hasil) serta pemasarannya. Adapun beberapa kebijakan operasional terkait dengan
strategi tersebut adalah:
1. Meningkatkan penyuluhan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan di bidang
pasca panen, pengolahan serta pemasaran hasil pertanian;
2. Mengembangkan kelembagaan usaha pelayanan pascapanen, pengolahan dan
pemasaran hasil pertanian yang langsung dikelola oleh petani/kelompok tani.

2. Meningkatkan

Inovasi

Dan

Diseminasi

Teknologi

Pasca

Panen

Dan

Pengolahan.
Salah satu dampak yang signifikan dari kebijakan yang menitik beratkan kepada
usaha produksi (budidaya) selama ini adalah kurang memadainya upaya-upaya inovasi
teknologi

pasca

panen

dan

pengolahan

serta

diseminasinya.

Hal

tersebut

mengakibatkan lemahnya daya saing dan kecilnya nilai tambah yang dapat dinikmati
oleh petani, sehingga kesejahteraan tidak meningkat dari tahun ke tahun. Untuk

meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk pertanian maka perlu ditingkatkan
upaya-upaya inovasi teknologi pasca panen dan pengolahan hasil pertanian serta
diseminasinya. Dalam hubungan tersebut, beberapa kebijakan yang akan dilaksanakan
adalah:
1. Melakukan kerjasama dan koordinasi dengan sumber-sumber inovasi teknologi
seperti lembaga riset, Perguruan Tinggi dan bengkel-bengkel swasta dalam rangka
pengembangan dan diseminasi teknologi tepat guna.
2. Mengembangkan bengkel alsin pascapanen dan pengolahan hasil
3. Mengembangkan sistem sertifikasi dan apresiasi (penghargaan) terhadap inovasi
teknologi yang dilakukan oleh masyarakat.
4. Mengembangkan pilot proyek dan percontohan penerapan teknologi pasca panen
dan pengolahan hasil pertanian.
5. Memberikan penghargaan dengan kriteria mutu, rasa, skala usaha, tampilan
terhadap produk olahan yang dihasilkan oleh para pelaku usaha.

3. Meningkatkan Efisiensi Usaha Pasca Panen, Pengolahan Dan Pemasaran


Hasil
Kunci terpenting dalam rangka meningkatkan daya saing produk pertanian baik
produk segar maupun olahan hasil pertanian adalah mutu produk yang baik dan
efisiensi dalam proses produksi maupun pada tahap pemasarannya. Mutu produk dan
efisiensi akan berpengaruh langsung terhadap harga dari setiap produk bersangkutan.
Kebijakan dalam rangka meningkatkan mutu dan efisiensi produksi dan pemasaran
hasil pertanian di antaranya adalah:
1. Revitalisasi teknologi dan sarana/prasarana usaha pasca panen pengolahan dan
pemasaran hasil pertanian;
2. Mengembangkan produksi sesuai potensi pasar;
3. Menerapkan sistem jaminan mutu, termasuk penerapan GAP, GHP dan GMP;
4. Mengembangkan kelembagaan pemasaran yang dikelola oleh kelompok tani di
sentra produksi;

5. Mengupayakan sistem dan proses distribusi yang efisien.


6. Memfasilitasi pengembangan kewirausahaan dan kemitraan usaha pada bidang
pemasaran hasil pertanian.

4. Meningkatkan Pangsa Pasar Baik Di Pasar Domestik Maupun Internasional.


Pasar merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha agribisnis; oleh
karena itu maka pengembangan pemasaran harus selalu dilakukan sejalan dengan
pengembangan usaha produksi. Seperti usaha industri pada umumnya, sistem usaha
produksi pertanian atau agribisnis dimulai dengan salah satu kegiatan pemasaran yaitu
Riset Pasar. Dari kegiatan riset pasar dihasilkan informasi pasar yaitu antara lain
berupa potensi pasar dan harga. Sub sistem selanjutnya adalah perencanaan produksi,
termasuk penentuan desain produk, volume dan waktu. Dalam sistem budidaya
pertanian, perencanaan tersebut lazim disebut sebagai penentuan pola tanam atau
penentuan luas tanam untuk tanaman semusim. Hal tersebut perlu dilakukan dalam
rangka menjaga stabilitas harga produk yang bersangkutan tetap berada pada tingkat
harga yang wajar berdasarkan keseimbangan kebutuhan dan pasokan atas produk
yang bersangkutan. Sub sistem selanjutnya adalah kegiatan pemasaran yang meliputi:
promosi, penjualan dan diakhiri dengan distribusi (delivery). Dalam hubungan tersebut
maka beberapa kebijakan dalam pengembangan pasar ialah:
1. Mengembangkan kegiatan riset pasar
2. Meningkatkan pelayanan informasi pasar;
3. Meningkatkan promosi dan diplomasi pertanian;
4. Mengembangkan infrastruktur dan sistem pemasaran yang efektif dan adil.
5. Rasionalisasi impor produk pertanian.
6. Memfasilitasi
pemasaran.

pengembangan

investasi

dalam

pengembangan

infrastruktur

5. Pendekatan Pengembangan Industri Melalui Konsep Cluster Dalam Konteks


Membangun

Daya Saing Industri Yang Berkelanjutan

Pokok-pokok rencana aksi, dalam jangka menengah ditujukan untuk memperkuat


rantai nilai (value chain) melalui penguatan struktur, diversifikasi, peningkatan nilai
tambah, peningkatan mutu, serta perluasan penguasaan pasar. Sedangkan untuk
jangka panjang difokuskan pada upaya pembangunan industri pertanian yang mandiri
dan berdaya saing tinggi. Adapun prioritas cluster industri pertanian yang akan
dikembangkan

dalam

jangka

menengah

meliputi

1. Pengembangan Industri yang memiliki daya saing (Competitive Industry)


a. Industri Pengolahan kakao dan cokelat,
b. Industri Pengolahan Buah,
c. Industri Pengolahan Kelapa,
d. Industri Pengolahan Kopi,
e. Industri Pengolahan Tembakau,
f. Industri Kelapa Sawit, dan
g. Industri Karet dan Barang Karet
h. Industri Pasca Panen Produk Segar
2. Pengembangan Industri Strategis
a. Industri Perberasan
b. Industri Kedele
c. Industri Jagung
d. Industri Gula
e. Industri Daging dan Susu
3. Pengembangan Industri Rumah Tangga
- Industri pangan lokal, camilan dan pengolahan produk samping.

Jakarta/ awal tercetusnya ide peghargaan dengan nama Citra Produk Pertanian Berdaya
Saing dimulai pada Tahun 2012, mengacu pada Visi Kementerian Pertanian Terwujudnya
Pertanian Industrial Unggul Berkelanjutan Yang Berbasis Sumberdaya Lokal Untuk
Meningkatkan Kemandirian Pangan, Nilai Tambah, dan Daya Saing.
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian mengapresiasi visi
Kementerian Pertanian tersebut dengan nama Citra Produk Pertanian Berdaya Saing.
Sebagian lagi memberikan singkatan Citra Produk Pertanian Berdaya Saing dengan
Caping. Dan untuk memudahkan dalam pelafalan digunakan nama Caping Award.
Caping atau topi tudung adalah pelindung kepala yang terbuat dari anyaman bambu,
digunakan para petani ketika bekerja disawah dan merupakan trade Mark bagi petani.
Rencana awal penggunaan nama caping dimaksud, caping memiliki filosofi yaitu, kerja
keras, ketekunan, dan sebuah upaya tanpa lelah untuk menghasilkan yang terbaik bagi
masyarakat. Sehingga dirasa perlu mengapresiasi keberadaan dan peran petani dalam
memajukan perekonomian nasional melalui sebuah bentuk penghargaan dengan nama
Citra Produk Pertanian Berdaya saing (hn/)

EKONOMI/PERTANIAN

Hatta: Inovasi Dibutuhkan dalam Penyediaan Pangan


Jakarta, AMPDTAPUTNEWS
Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan inovasi dalam bidang teknologi sangat
dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing dan memenuhi penyediaan pangan nasional yang
diperkirakan makin terbatas di masa mendatang.
Kita harus melakukan inovasi dalam rangka tidak hanya meningkatkan ketersediaan, akan tetapi
juga bagaimana tingkat competiveness dari sebuah produk, daya saing dan daya tahan untuk
menghadapi persoalan pangan, ujarnya dalam memberikan sambutan Expo nasional inovasi
perkebunan di Jakarta, Jumat (14/10).
Hatta menjelaskan kebutuhan energi dan pangan dunia akan meningkat hingga 60 persen dalam
satu dekade mendatang, untuk itu pengembangan riset harus didorong untuk mengantisipasi
adanya defisit pangan akibat pertumbuhan umat manusia. Indonesia, lanjut Hatta, harus
mendorong riset dalam bidang pertanian dan perkebunan hingga menjadi pemasok pangan dunia,
karena dengan jumlah lebih dari 230 juta penduduk, Indonesia tidak boleh bergantung kepada
negara lain dalam pemenuhan kebutuhan pangan.
Bahan pangan merupakan komoditas strategis tidak boleh tergantung dari bangsa lain, harus
mandiri, artinya tidak sekadar kita bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Kemandirian adalah upaya terus menerus untuk meningkatkan daya tahan bangsa ini
menghadapi goncangan dan daya saing, ujar Hatta. Ia menambahkan riset yang merupakan
bagian dari ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut adalah bagian penting menuju inovasi,
sehingga dapat mendukung peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor perkebunan serta
pertanian.
Inovasi, Kata Kunci Tingkatkan Daya Saing
Inovasi menjadi kata kunci dalam meningkatkan daya saing dan kualitas kehidupan masyarakat
Indonesia, ucap Hatta.
Namun, dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan daya saing, perlindungan
kepada para petani harus tetap diwujudkan sehingga dapat melahirkan kolaborasi untuk
mendorong inovasi. Dalam upaya untuk meningkatkan daya saing, harus tetap hadir dan
memikirkan untuk selalu memberikan perlindungan bagi para petani kita, termasuk penyediaan
benih, akses permodalan, lahan dan stablisasi pasar, dalam upaya meningkatkan daya saing,
papar Hatta.
Ia mengatakan sektor pertanian dan perkebunan harus menjadi andalan dalam menyumbang
pertumbuhan ekonomi nasional, selain karena dapat memberikan kemandirian juga karena dapat
menciptakan lapangan pekerjaan. Manufaktur dan pertanian dapat memberikan kontribusi pada
PDB. Peningkatan nilai tambah produk pangan tidak hanya memberikan daya tahan dan

kemandirian, namun banyak masyarakat yang pekerjaannya tergantung ke sektor pertanian


hingga 40 persen, ujar Hatta.
Expo nasional ini bertujuan untuk memperkenalkan teknologi perkebunan kepada masyarakat,
sekaligus untuk menjalin umpan balik pengguna teknologi perkebunan dan meningkatkan daya
saing komoditas hasil perkebunan melalui penelitian perkebunan.
Pameran ini juga diharapkan mampu meningkatkan pemanfaatan inovasi hasil kegiatan litbang,
sehingga dapat berperan sebagai penggerak pembangunan sub sektor perkebunan menuju
peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor produk perkebunan.
Dalam pameran juga dapat dilihat beragam inovasi teknologi terkait dengan penyiapan bahan
tanaman, budi daya tanaman, hingga pascapanen dan pengembangan agribisnis berbasis
perkebunan serta kebijakan terkait bidang perkebunan. (h/Ant)

Kemenperin Mendorong Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Industri


Hasil Hutan dan Perkebunan

Siaran Pers

Kemenperin Mendorong Peningkatan Nilai Tambah dan


Daya Saing

Industri Hasil Hutan dan Perkebunan

Pada hari ini, Kamis 31 Januari 2013, Dirjen Industri Agro Benny Wahyudi
membuka secara resmi "Diskusi Panel Revitalisasi dan Penumbuhan Industri Hasil
Hutan dan Perkebunan" di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta. Dalam
sambutannya, Dirjen Industri Agro mengatakan, industri hasil hutan danperkebunan
memiliki peranan yang cukup penting bagiperekonomian nasional, antara lain
terkait dengan kontribusinya dalampembentukan PDB, perolehan devisa, dan
penyerapan tenagakerja.

Industri

hasil

hutan

dan

perkebunan

yang

berada

dibawah

binaan

Kementerian Perindustrian adalah industri hilir yang mengolah lebih lanjut hasil

produksi industri primer hasil hutan, yaitu meliputi industri wood working, furniture
kayu dan rotan, pulp/kertas, karet (crumb rubber), serta industri hilir kelapa sawit.
Sedangkan industri primer hasil hutan dan perkebunan yang mengolah bahan baku
merupakan binaan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian.

Kementerian Perindustrian terus melakukan pembinaan dan pengembangan


kepada industri berbasis hasil hutan dan perkebunan, bekerja sama dengan
Kementerian Kehutanan danKementerian Pertanian sebagai penanggung jawab
terhadapketersediaan bahan baku, tegas Dirjen Industri Agro.

Pengembangan

industri hasil hutan dan perkebunan merupakan bagian dan proses industrialisasi
berwawasan lingkungan yang memberikan konstribusi penting dalam pembangunan
ekonomi nasional.

Hingga saat ini, kinerja industri-industri yang termasuk industri hasil hutan
dan perkebunan menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan. Pertama,
industri pulp dan kertas Indonesia merupakan penyumbang terbesar di pasar
internasional, yaitu industri pulp yang menempati nomor 9 dan industri kertas
nomor 11 di dunia. Keunggulan Indonesia terletak pada bahan baku kayu berdaun
lebar, yang menghasilkan pulp serat pendek dengan produksi 6,52 juta ton dan
sudah memenuhi kebutuhan dalam negeri. Namun untuk kebutuhan pulp serat
panjang, Indonesia masih mengimpor.

Nilai ekspor pulp pada empat tahun terkahir terus meningkat. Tahun 2009
sebesar 733 juta USD, tahun 2010 sebesar 1,4 Milyar USD, tahun 2011 sebesar 1,5
Milyar USD, dan pada Oktober 2012 sebesar 1.3 Milyar USD. Sedangkan, nilai
ekspor kertas tahun 2009 sebesar 3,2 Milyar USD, tahun 2010 sebesar 3,7 Milyar
USD, tahun 2011 sebesar 4,1 Milyar USD, pada Oktober 2012 sebesar 3.3 Milyar
USD.

Kedua, industri furniture. Industri furniture merupakan salah satu industri


berbasis kayu/rotan yang memiliki nilai tambah tinggi, menyerap banyak tenaga
kerja, dan memberikan kontribusi yang cukup penting terhadap perekonomian, baik
dalam bentuk kontribusi pada PDB maupun dalam perolehan devisa (ekspor).
Negara tujuan ekspor utama furniture Indonesia adalah Amerika Serikat, Perancis,
Jepang, Inggris dan Belanda. Berdasarkan bahan baku, data ekspor furniture kayu
cukup berfluktuasi. Tahun 2009 sebesar 1,15 Milyar USD, tahun 2010 naik menjadi
1,4 Milyar USD, dan tahun 2011 turun menjadi 1,2 Milyar USD.

Sedangkan data ekspor rotan olahan cenderung menurun. Tahun 2009


sebesar 224 juta USD, tahun 2010 sebesar 212 juta USD, dan tahun 2011 sebesar
168 juta USD. Kondisi yang cukup fluktuatif ini terus mendapat perhatian dari
pemerintah dan pelaku industri furniture. Dengan adanya kebijakan larangan ekspor
bahan baku rotan, nilai ekspor barang jadi rotan mulai membaik, pada tahun 2012
nilai ekspor mencapai 181 Juta USD.

Ketiga, industri karet (crumb rubber). Indonesia merupakan produsen nomor


2 terbesar di dunia setelah Thailand. Total produksi tahun 2012 mencapai 2,8 juta
ton atau sekitar 27,91% dari total produksi karet dunia sebanyak 10,21 juta ton.
Sebagian besar karet aiam tersebut diekspor dalam bentuk crumb rubber untuk
memenuhi kebutuhan karet alam dunia. Dalam rangka meningkatkan nilai tambah
karet alam menjadi produk hilir perlu didorong peningkatan investasi di bidang
industri pengolahannya. Ekspor crumb rubber tahun 2009 sebesar 2,7 Milyar USD,
tahun 2010 sebesar 7,1 Milyar USD, tahun 2011 sebesar 11,4 Milyar USD, dan pada
September 2012 sebesar 6.9 Milyar USD.

Keempat, industri hilir kelapa sawit. Indonesia merupakan negara produsen


Minyak Mentah Sawit (CPO) terbesar di dunia, dengan produksi pada tahun 2012
mencapai 29.5 juta atau 54% dari total produksi CPO di dunia. Oleh karena itu,
pemenuhan kebutuhan kelapa sawit dunia sangat tergantung pada Indonesia.

Namun demikian, sebagian besar CPO masih diekspor dalam bentuk mentah,
sementara itu permintaan dunia terhadap produk turunan minyak kelapa sawit
semakin besar. Untuk memanfaatkan peluang pengembangan industri pengolahan
kelapa sawit, maka dipilihlah tiga lokasi potensial untuk dikembangkan klaster
industri hilir kelapa sawit, yaitu Sei Mangke (Sumatera Utara), Dumai (Riau), dan
Maloy (Kalimantan Timur).

Terkait revitalisasi dan penumbuhan industri hasil hutan dan perkebunan,


kebijakan pemerintah saat ini diarahkan kepada dua hal, yaitu peningkatan nilai
tambah produk (added value) dan peningkatan daya saing atau kualitas produk.
Tujuannya adalah supaya industri hasil hutan dan perkebunan dapat tumbuh dan
berkembang secara berkelanjutan (sustainable growth). Produk hasil hutan dan
perkebunan diusahakan tidak lagi diekspor dalam bentuk bahan baku, namun diolah
dulu menjadi produk jadi sehingga bisa meningkatkan nilai tambahnya, kata Dirjen
Industri Agro.

Sedangkan peningkatan daya saing atau kualitas produk dilakukan melalui


berbagai upaya,

antara lain penyusunan dan penerapan

SNI,

peningkatan

kompetensi SDM industri, penerapan sertifikasi legalitas untuk produk kayu (SVLK),
penggantian mesin-mesin yang telah berumur tua dengan mesin atau teknologi
baru supaya produksi lebih efisien, serta meningkatkan pasar dengan dilaksanakan
promosi atau pameran produk-produk hasil hutan dan perkebunan baik di dalam
maupun luar negeri. Kebijakan tersebut hanya bisa terwujud bila didukung oleh
semua komponen baik pemerintah, dunia usaha, asosiasi, organisasi profesi dan
masyarakat lainnya yang diharapkan dapat ikut memperkuat basis ekonomi bangsa.

Demikian Siaran Pers ini untuk disebarluaskan.

Jakarta, 31 Januari 2013

Kepala Pusat Komunikasi


Publi

Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk Pertanian


Peningkatan Nilai Tambah dan
Daya Saing Produk Pertanian
Materi Penyuluhan Oleh : Mustafa A. Tohan, SP., MP

Pengolahan dan pemasaran hasil pertanian diarahkan untuk mewujudkan


tumbuhnya usaha yang dapat meningkatkan nilai tambah dan harga yang wajar di
tingkat petani, sehingga petani dapat meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraannya. Untuk mendukung kebijakan tersebut, maka strategi yang perlu
ditempuh antara lain: (a) meningkatkan mutu produk dan mengolah produksi
menjadi bahan setengah jadi, (b) meningkatkan harga komoditi hasil pertanian dan
pembagian keuntungan (profit sharing) yang proporsional bagi petani, (c)
menumbuhkan unit-unit pengolahan dan pemasaran hasil pertanian yang dikelola
oleh kelompok tani/gabungan ketompok tani atau asosiasi tanaman pertanian, (d)
meningkatkan efisiensi biaya pengolahan dan pemasaran serta memperpendek
mata rantai pemasaran, (e) mengurangi impor hasil petanian dan meningkatkan
ekspor produk pertanian.
Upaya pengembangan pengolahan dan pemasaran produk pertanian yang akan
dilaksanakan antara lain: (1) pengembangan dan penanganan pascapanen dengan
penerapan manajemen mutu sehingga produk yang dihasilkan sesuai persyaratan
mutu pasar, dalam kaitan tersebut diperlukan pelatihan dan penyuluhan yang
intensif tentang manajemen mutu, (2) pembangunan unit-unit pengolahan di
tingkat petani/gapoktan/asosiasi, (3) pembangunan pusat pengeringan dan
penyimpanan di sentra produksi produk hasil pertanian, (4) penguatan peralatan
mesin yang terkait dengan kegiatan pengolahan dan penyimpanan komoditi
pertanian, antara lain alat pengering (dryer), corn sheller (pemipil), penepung,
pemotong/pencacah bonggol, mixer (pencampur pakan), dan gudang, (5)
penguatan modal, (6) pembentukan dan fasilitasi sistem informasi dan promosi,
serta asosiasi komoditi pertanian, dan (7) pengembangan industri berbasis hasil
pertanian produk dalam negeri.
Kegiatan pascapanen merupakan bagian integral dari pengembangan agribisnis,
yang dimulai dari aspek produksi bahan mentah sampai pemasaran produk akhir.
Peran kegiatan pascapanen menjadi sangat penting, karena merupakan salah satu
sub-sistem agribisnis yang mempunyai peluang besar dalam upaya meningkatkan
nilai tambah produk agribisnis. Dibanding dengan produk segar, produk olahan
mampu memberikan nilai tambah yang sangat besar. Daya saing komoditas
Indonesia masih lemah, karena selama ini hanya mengandalkan keunggulan
komparatif dengan kelimpahan sumberdaya alam dan tenaga kerja tak terdidik
(factordriven), sehingga produk yang dihasilkan didominasi oleh produk primer

atau bersifat natural recources-based dan unskilled-labor intensive.


Departemen Pertanian telah menetapkan 17 komoditas yang menjadi prioritas
pembangunan pertanian lima tahun mendatang (2005 2010) yaitu: padi, jagung,
kedelai, kelapa, cengkeh, tanaman obat, pisang, jeruk, bawang merah, angrek, sapi,
kambing dan domba, unggas, kelapa sawit, karet dan kakao. Dari empat belas
komoditas yang menjadi mandat prioritas Puslitbang/Balai Besar yang berada di
bawah Badan Litbang Pertanian, teridentifikasi 7 komoditas yang memiliki prospek
untuk dikembangkan agroindustrinya yaitu: padi, jagung, kelapa, cengkeh, pisang,
jeruk dan hasil ternak.

Padi, pengembangan pascapanen beras lima tahun mendatang masih di titik


beratkan pada perbaikan kualitas gabah dan beras serta pemanfaatan hasil
samping dan limbahnya, karena produksi padi nasional sudah terserap untuk
kebutuhan pokok. Dari volume produksi padi nasional sebesar 51,85 juta ton pada
tahun 2003, akan diperoleh hasil samping berupa beras patah dan menir sebesar
12,30 juta ton (25 %) yang dapat dimanfaatkan untuk produksi tepung beras, dan
limbah sekam sebesar 1,36 juta ton (20%). Penggunaan sekam umumnya untuk
bahan bakar bata, campuran pembuatan bata, genteng, grabah dan media tumbuh.
Bila produksi tepung beras diproyeksikan sebesar 1 persen dari total potensi beras
patah dan menir yang tersedia, maka akan dihasilkan tepung beras sebesar 0,13
juta ton/tahun. Harga tepung beras Rp. 4000/kg, berarti nilai ekonomi produk
tepung beras tersebut mencapai Rp. 520 milyar/tahun. Dari total potensi sekam
sebesar 10,36 juta ton, bila diproyeksikan sebesar 10 % dapat dimanfaatkan untuk
arang sekam, akan dihasilkan arang sekam sebanyak 0,62 juta ton/tahun
(rendemen 60%). Harga arang sekam Rp. 750/kg, berarti nilai ekonomi produk
arang sekam tersebut mencapai Rp. 465 milyar/tahun.
Untuk meningkatkan mutu beras dan gabah, dibutuhkan sarana dan prasarana
penanganan pascapanen mulai dari panen, perontokan, pengeringan, penggilingan
dan sarana penunjang. Dibutuhkan mesin perontok padi (Power thresher) sebanyak
336.852 unit (masa usia teknis 5 tahun) dengan biaya investasi Rp.2.56,- trilyun.
Perlu dilakukan peremajaan alat penggilingan padi, yang jumlahnya saat ini
mencapai 110.611 unit dengan usia alat 10 tahun, maka diperlukan biaya investasi
sebesar Rp. 100,3 trilyun. Diperlukan mesin pengering padi sebanyak 110.611 unit
dengan biaya investasi sebesar Rp. 3,37 trilyun. Kebutuhan lantai jemur seluruh
Indonesia sebanyak 110.611 unit (kapasitas 5 ton/300m2, usia teknis 5 tahun)
dengan biaya investasi sebesar Rp.2.21 trilyun. Total kebutuhan biaya investasi
untuk kegiatan pascapanen padi dalam sepuluh tahun sebesar Rp. 188 trilyun.
Jagung, pemanfaatan teknologi pengolahan jagung berpeluang meningkatkan nilai
komoditas jagung tidak hanya sebagai sumber pakan tetapi dapat diolah menjadi
berbagai produk pangan yang bernilai ekonomi seperti corn-flake, pop-corn, tepung

jagung, pati jagung dan minyak jagung. Pati jagung potensial mensubstitusi terigu
maupun tapioka dari 20-100%. Jika pati jagung menggantikan 10% saja, maka
diperlukan 0,3-1,0 juta ton pati jagung per tahun. Pascapanen jagung selama ini
masih dkerjakan secara tradisional. Dengan teknologi yang ada (existing
technology), maka diperlukan investasi teknologi baik untuk pengolahan jagung di
sektor hulu maupun hilir. Untuk pengembangan industri pati jagung, dibutuhkan
investasi mencapai Rp 80-160 miliar.
Jeruk, produksi jeruk nasional mencapai 1,6 juta ton (70-80 % jeruk siam) dengan
nilai perdagangan sebesar Rp. 3,3 triliun, tetapi Indonesia masih mengimpor jeruk
segar dan hasil olahannya seperti konsentrat dan instant jeruk dan flavor lemonen.
Teknologi penanganan jeruk segar untuk ekspor masih sederhana, perlu
ditingkatkan dengan membanjirnya jeruk impor dan meningkatnya tuntutan
konsumen terhadap mutu jeruk segar. Teknologi pengolahan juicing perlu
dikembangkan di Indonesiai untuk memanfaatkan kelebihan produksi jeruk, maupun
untuk mengurangi jeruk kualitas rendah di segmen pasar jeruk segar.
Industri produk antara (pure juice dan konsentrat) yang dikembangkan tidak hanya
menguntungkan industri hulu tetapi juga bisa memacu pertumbuhan industri hilir
(sirup, jam, jeli, sari buah, dsb). Total kebutuhan investasi untuk pengembangan
agroindustri jeruk hingga tahun 2010 mencapai 3,08 triliun rupiah.
Pisang, industri pengolahan pisang di Indonesia selain mampu memasok pasar
domestik dan juga sudah mulai mengekspor. Namun terbatasnya daya serap pasar
domestik dan persaingan pasar yang semakin ketat, sehingga kesinambungan
industri pengolahan masih kurang lancar. Sebagai makanan, buah pisang dapat
diolah mejadi beragam produk yang lezat antara lain, seperti : kripik, ledre, getuk
jus, puree, sale, jam, dan pisang goreng/bakar. Buah pisang juga dapat diolah
menjadi tepung, makanan bayi, cuka, cider (wine) dan sirup glukosa. Hampir
sebagian besar produk ini sudah diproduksi skala komersial (UKM).
Bahan baku pisang merupakan faktor utama yang harus terjamin baik kuantitas
maupun kontinuitas. Kebutuhan pisang untuk industri pengolahan skala rumah
tangga (10-50 kg/hari), skala UKM kripik (100-120 kg/hari), sale (1,5-2 ton/bln),
ledre (70-120 kg/hari), puree (300-500 kg/h) dan tepung (700-1000 kg/minggu).
Skala besar, membutuhkan kapasitas + 10-12 ton pisang segar/hari. Untuk
melayani pasar dalam negeri terutama pasar-pasar swalayan dan luar negeri,
kultivar pisang yang disenangi adalah kelompok cavendish. Untuk memenuhi
kebutuhan buah dan produk olahan pisang untuk ekspor pada tahun 2010
diperkirakan memerlukan areal pertanaman sekitar 5.000-6.000 ha atau dibutuhkan
sekitar 5-7 perusahaan skala besar. Industri pengolahan pisang skala besar lebih
diarahkan pada industri tepung (1,5-2 ton/minggu), puree (600 kg 1,5 ton/hari)
dan jam (1-2 ton/hari), karena untuk memproduksi produk-produk tersebut
diperlukan peralatan khusus yang cukup mahal. Kebutuhan bahan baku
diperkirakan mencapai 60.000 ton per tahun.
Kelapa, komoditas kelapa memiliki berbagai macam kegunaan baik untuk industri
pangan maupun non-pangan. Pengembangan produk utama, produk turunan, dan
produk samping dari kelapa ditujukan untuk mengejar perolehan nilai tambah

domestik (retained domestic value added) secara maksimal. Dari pohon industri
kelapa yang mempunyai prospek pasar meliputi nata de coco, minuman isotonik air
kelapa, desiccated coconut, santan kelapa, virgin coconut oil, pakan ternak, arang
tempurung, arang aktif, tepung tempurung kelapa, serat sabut kelapa, dan produk
turunan (oleokimia) dari virgin coconut oil (minyak kelapa murni). Harga minyak
kelapa murni sesuai standar CODEX Alimentarius di pasar internasional mencapai
US $ 9 per kg, jauh di atas harga minyak goreng.
Air kelapa merupakan cairan yang mempunyai kandungan gizi, terutama mineral,
yang sangat baik untuk tubuh manusia, sehingga air kelapa berpotensi dijadikan
minuman isotonic drink. Permintaan terhadap produk santan kelapa dan desiccated
coconut dimasa datang akan meningkat terutama untuk konsumsi dalam negeri,
seiring dengan terjadinya perbaikan ekonomi domestik dan perubahan gaya hidup
masyarakat perkotaan yang lebih mementingkan segi kepraktisan.
Sebagian agroindustri kelapa dapat dikembangkan dalam skala industri kecil dan
sebagian dalam industri besar. Beberapa jenis produk agroindustri kelapa dapat
dikembangkan dalam bentuk kluster antara industri kecil dengan industri menengah
seperti industri sabut kelapa (industri kecil) dengan industri finishing serat sabut
kelapa (industri menengah), industri arang tempurung (industri kecil) dengan
industri arang aktif (industri menengah). Agroindusti oleokimia dari kelapa
merupakan industri teknologi tingi, dan diproyeksikan akan dapat dilaksanakan lima
tahun mendatang. Total kebutuhan investasi untuk pengembangan agroindustri
kelapa selama 5 tahun diperkirakan mencapai Rp. 1,8 trilyun.
Cengkeh, produksi bunga cengkeh Indonesia sebagian besar (80-90%) diserap oleh
industri rokok kretek, sisanya untuk industri rempah-rempah lokal dan diekspor.
Potensi tanaman cengkeh yang belum dimanfaatkan secara optimal adalah daun
cengkeh (daun gugur) dan tangkai bunga. Produk olahan yang dapat dihasilkan dari
bunga, daun dan tangkai bunga/gagang adalah (1) minyak cengkeh, (2) eugenol
yang diisolasi dari minyak cengkeh dan (3) senyawa derivat dari eugenol. Produksi
minyak cengkeh terutama menggunakan bahan baku daun gugur, telah lama
dilakukan oleh pengusaha Indonesia. Skala usahanya umumnya skala Usaha Kecil
Menengah (UKM) yang lokasi produksinya di sentra tanaman cengkeh terutama di
Jawa dan Sulawesi Utara. Pasokan minyak cengkeh Indonesia ke pasar dunia
sebesar 1.317 ton atau sekitar 60% kebutuhan dunia. Eugenol yang terdapat dalam
minyak cengkeh merupakan bahan baku yang banyak dipakai dalam industri
kesehatan gigi (obat kumur, pasta dan formulasi bahan penambal gigi), sebagian
kebutuhan eugenol di dalam negeri masih diimpor. Untuk investasi agroindustri
minyak cengkeh pada periode 2005-2010, diperlukan 600 unit pengolahan minyak
cengkeh. Perkiraan biaya investasi setiap unit usaha penyulingan dengan kapasitas
ketel suling 5.000 liter tersebut sebesar Rp. 158.000.000,- , dengan total kebutuhan
investasi untuk 600 unit usaha adalah Rp. 94.800.000.000,-.
Hasil Ternak, produk olahan ternak yang cukup potensial dan prospektif
dikembangkan di Indonesia adalah kulit samak dari sapi, kambing dan domba serta
kulit bulu (fur) domba samak, dan bulu itik. Kebutuhan kulit dunia cukup tinggi, hal
ini merupakan peluang dan prospek yang cukup besar bagi pengembangan industri

penyamakan kulit (baik kulit sapi maupun domba dan kambing). Bulu unggas
khususnya itik memiliki peluang yang cukup besar untuk dikembangkan. Peluang
dan prospek itik untuk menghasilkan bulu (down feather/bulu halus, small feather,
bulu kasar) cukup besar. Bulu itik yang halus (down feather) setelah mengalami
prosesing mempunyai nilai jual ekspor yang tinggi yaitu sebesar 9-11 Euro per kg (1
Euro = Rp. 9.500

Peluang pasar yang cukup besar, baik pasar domestik maupun internasional menuntut
adanya upaya peningkatan produksi dan mutu melalui pengolahan hasil yang baik. Begitu
juga dengan komoditas hortikultura yang mencakup produk buah, sayuran, biofarmaka
dan tanaman hias/bunga. Dengan pengolahan, komoditi tersebut akan memiliki nilai
tambah tinggi.
Pelaksana Harian Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (PPHP) Kementerian
Pertanian Yazid Taufik mengatakan, potensi komoditi hortikultura Indonesia cukup besar.
Sayangnya banyak kendala dalam pengembangannya. Misalnya, produk hortikultura bersifat
musiman, harga yang sangat fluktuatif, serta penampilan produk olahan yang masih sangat
sederhana.
Selain itu masih lemahnya kemampuan sumber daya manusia, kelembagaan usaha, dan sumber
permodalan. Dengan demikian diperlukan pembinaan secara berkelanjutan agar nilai tambah
produk hortikultura meningkat. Penambahan nilai tambah menjadi sangat penting dan berperan
strategis dalam pengembangan pasar untuk komoditas hortikultura, katanya saat pertemuan
Bakohumas 2013 dengan tema Peningkatan Nilai Tambah Petani Melalui Pengolahan Produk
Hortikultura di Surabaya beberapa waktu lalu.
Yazid mengatakan, penambahan nilai pada produk hortikultura tidak lepas dari tujuan untuk
menekan susut hasil panen dan pada akhirnya meningkatkan daya saing produk. Untuk itu dapat
dilakukan dengan perbaikan mutu produk menggunakan teknologi atau penanganan pasca panen
yang baik.
Sedangkan peningkatan daya saing produk hortikultura dapat dilakukan dengan pengembangan
hortikultura dalam bentuk kebun (estate) hortikultura, penyeragaman jenis tanaman horti melalui
seleksi unggul yang sesauai dengan kemauan pasar, pengelolaan produk hortikultura sesuai
standar GAP (good agriculture practices), GHP (good handling practices) dan GMP (good
manufacturing practices).
Selama ini kendala yang dalam pengembangan diversifikasi produk olahan hortikultura antara
lain aplikasi teknologi yang sederhana, mutu olahan belum dapat menerapkan GMP dan skala
usaha Industri Rumah Tangga (IRT). Meskipun pasar domestik dan peluang pasar ekspor sangat
besar, tapi karena promosi yang minim bisa menyebabkan daya saing menjadi lemah, kata
Yazid.
Potensi Indonesia untuk maju di bidang hortikultura cukup besar. Indonesia adalah negara
dengan keragaman hayati terkaya setelah Brasil. Jenis tanaman hortikultura yang ada di
Indonesia lebih dari 300 jenis, sedangkan yang dibudidayakan petani sebanyak 91 jenis.
Potensi lainnya, di lihat dari angka konsumsi buah dan sayur masyarakat Indonesia baru sekitar
34,5 kg/kap/tahun. Padahal Organisasi Pangan se Dunia (FAO) merekomendasikan antara 6475
kg/kap/tahun. Artinya ada potensi peningkatan permintaan konsumsi produk hortikultura.
Apalagi dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat sekitar 6,4 % menyebabkan golongan

menengah atas Indonesia terus tumbuh, sehingga akan mendorong permintaan produk
hortikultura, katanya.
Reporter: Echa
Editor : Yulianto

JAKARTA, KOMPAS.com Menteri Pertanian Suswono menargetkan produk pertanian olahan


Indonesia yang diperdagangkan pada 2014 porsinya naik menjadi 50 persen, dari saat ini hanya
20 persen.
Hal itu diungkapkan Suswono, saat membuka Agrinex Expo 2012 yang ke-6 di Jakarta
Convention Center, Jakarta (30/3/2012).
Dia didampingi Rektor IPB Herry Suhardiyanto dan Ketua Panitia Rifda Ammarina. Suswono
menyatakan, saat ini 80 persen produk pertanian Indonesia diperdagangkan dalam bentuk bahan
mentah.
Ke depan, untuk peningkatan daya saing akan difokuskan pada produk berbasis sumber daya
lokal berikut. Yakni produk yang dapat meningkatkan pemenuhan permintaan untuk konsumsi
dalam negeri dan produk yang dapat mengurangi ketergantungan impor (substitusi impor).
Indikator keberhasilannya adalah besarnya pangsa pasar (market share) di pasar dalam negeri
dan penurunan net import. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi pangan
yang berlimpah.
Jenis komoditas pangan yang dihasilkan oleh sektor pertanian akan sangat tergantung dari pola
konsumsi masyarakat. Pelaksanaan diversifikasi konsumsi pangan secara bertahap akan
mengubah pola produksi pertanian di tingkat petani (diversifikasi produksi pertanian). Petani
akan memproduksi komoditas yang banyak dibutuhkan oleh konsumen dan yang memiliki harga
cukup tinggi, ujar Mentan.
Menurut Mentan, Kondisi ini akan membawa dampak pada peningkatan pendapatan petani.
Mereka tidak lagi tergantung pada komoditas padi sebagai sumber pendapatan usahataninya,
tetapi dapat mencoba tanaman lain yang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi.
Ini merupakan salah satu penerapan program pemerintah khususnya Kementerian Pertanian,
yaitu program diversifikasi, baik pangan maupun komoditi unggulan.
Sedangkan untuk target peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, upaya yang dilakukan
yaitu fokus pada dua hal. Yakni peningkatan kualitas dan jumlah olahan produk pertanian untuk
mendukung peningkatan daya saing dan ekspor. Juga peningkatan jumlah olahan diukur dari
rasio produk mentah dan olahan.

Sumber : kompas.com

Meningkatkan Daya Saing Produk Pertanian


Menghadapi ACFTA
Jul 4
Posted by Inspirasi
oleh : Achmad Iqbal
Univeritas Jenderal Soedirman, Purwokerto
Indonesia dengan penduduk sekitar 230 juta merupakan pasar yang menggiurkan bagi negaranegara maju. Apalagi regulasi yang melindungi konsumen di pasar nasional dari penetrasi
produk asing boleh dikatakan minim. Perdagangan bebas antara Indonesia dengan negara lain tak
bisa ditolak, termasuk ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement). ACFTA merupakan
perjanjian kerjasama ekonomi yang dibuat oleh ASEAN dengan Negara China yang mulai
dilaksanakan pada tahun 2010. Kerjasama ekonomi ini meliputi pembebasan bea masuk barang
dari China ke ASEAN dan sebaliknya. Pembebasan bea masuk barang dimaksudkan untuk
memperlancar distribusi barang yang berakibat pada kemajuan perekonomian kedua belah
pihak.

Banyak masyarakat yang mengkhawatirkan ACFTA akan merugikan produsen dalam negeri
yang akan berdampak banyaknya perusahaan yang akan gulung tikar. Hal ini mengingat harga
barang asal China jauh lebih murah dibandingkan dengan produksi Indonesia, sehingga produk
Indoneisia kalah bersaing. Beberapa pihak lain berpendapat bahwa ACFTA ini adalah
momentum untuk kebangkitan usaha di Indonesia, karena dengan adanya persaingan dengan
barang asal China, maka pengusaha akan semakin kreatif dan inovatif dalam meningkatkan
kualitas barang yang mereka perdagangkan agar dapat menyaingi produk dari luar.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menilai perjanjian kerja sama perdagangan bebas
ACFTA secara umum lebih menguntungkan Indonesia. Dia menegaskan bahwa China kini
menjadi salah satu pasar terbesar di wilayah Asia. Ekspor Indonesia ke China pun terus
mengalami peningkatan, bahkan pada tahun 2009, ekspor nonmigas Indonesia ke negara itu telah
mencapai 9,1%. Dari segi impor, bahwa impor produk China oleh Indonesia dari 2004 sampai
2009 terbesar berupa golongan barang modal dan bahan baku penolong, bukan barang
konsumsi. Barang dan bahan baku penolong ini selanjutnya dimanfaatkan oleh industri di dalam
negeri. Oleh karena itu, menurut Mari, dengan ACFTA justru membantu daya saing kita. Kita
dapat mengakses mesin atau barang modal lainnya maupun bahan baku penolong dengan harga
yang lebih murah karena adanya fasilitas bea masuk yang lebih rendah, sehingga harganya lebih
murah.

Bagaimana dengan produk pertanian Indonesia? Salah satu sektor yang pasarnya akan
mengalami serbuan lebih hebat lagi dengan kesepakatan ACFTA adalah sektor pertanian.
Masuknya produk pertanian dari berbagai negara ke Indonesia disebabkan oleh keunggulan
komparatif produk pertaniannya. Jika produk pertanian yang dihasilkan oleh produsen dalam
negeri tidak mempunyai keunggulan spesifik, maka akan kalah bersaing jika berhadapan dengan
produk pertanian dari mancanegara.

Sebagai contoh masyarakat akan memilih apel impor, meskipun harganya relatif lebih mahal,
dibandingkan apel Malang. Hal ini disebabkan oleh keunggulan apel impor dalam penampilan,
dan atribut yang lainnya. Komoditas seperti buah-buahan ataupun sayuran, jika tidak
memperhatikan kualitas dan nilai tambah maka akan kalah bersaing dengan produk impor yang
membanjiri pasar dalam negeri. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan pasar dalam negeri dan
memperkuat daya saing produk pertanian Indonesia perlu dilakukan langkah-langkah yang
sinergis antara pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat dengan orientasi membangun kualitas
dan nilai tambah serta peningkatan efisiensi.

Pertama, pemerintah harus lebih serius menunjukkan keberpihakan pada sektor pertanian.
Keberpihakan pemerintah terhadap sektor pertanian sangat dibutuhkan, karena akan memacu
peningkatan daya saing. Pemerintah dianggap kurang berpihak terhadap sektor pertanian.
Keputusan pemerintah pada tahun 1998 untuk meratifikasi penurunan tarif bea masuk 0%-10%
untuk 43 komoditas pertanian, sama artinya dengan membiarkan produk pertanian kita bersaing
di pasar dalam negeri dengan produk impor yang mendapat subsidi.

Di bidang produksi program One Vilage One Product semestinya dikembangkan secara
sungguh-sungguh bukan lagi sekedar wacana. Dengan program ini maka setiap daerah akan
fokus mengembangan komoditas pertanian yang cocok dengan potensi agroklimat setempat.
Program tersebut wajib didukung oleh adanya penyediaan sarana produksi pertanian yang mudah
dijangkau petani. Kelangkaan pupuk pada saat petani membutuhkannya, kesulitan petani
memperoleh benih unggul, dan permasalahan lainnya yang terkait dengan kebutuhan sarana
produksi tidak boleh lagi terjadi. Peranan pemerintah sangat diperlukan terutama dalam
melakukan pengawasan sampai lini terbawah.

Kedua, perlu diciptakan keunggulan kompetitif bagi produk pertanian kita. Indonesia
sebenarnya memiliki keunggulan komparatif yang sangat potensial untuk dijadikan pemicu
peningkatan daya saing. Namun keunggulan komparatif saja tidak cukup, melainkan harus
didukung dengan keunggulan kompetitif yang berupa keunikan (uniqueness) produk. Keunikan

(uniqueness) produk merupakan kekuatan yang tidak mudah untuk dikalahkan oleh para pelaku
usaha lain yang memproduksi produk yang sama. Perlu dilakukan upaya pengembangan yang
terfokus misalnya pada komoditas eksotik hortikultura tropika dan perkebunan. Dalam kaitan ini
dukungan riset dan pengembangan teknologi mutlak diperlukan untuk menjadikan produk
pertanian Indonesia bisa berperan di pasar internasional.

Ketiga, untuk dapat meningkatkan daya saing produk pertanian perlu dilakukan langkah
peningkatan efisiensi baik dalam bidang produksi maupun distribusi produk. Penggunaan
teknologi budidaya dan input yang lebih efisien perlu untuk terus dikembangkan. Faktor
kelembagaan petani yang menunjang efisiensi produksi kiranya perlu mendapat perhatian yang
lebih banyak lagi. Terkait dengan sumberdaya lahan, perlu untuk dipikirkan tentang adanya
kebijakan konsolidasi lahan pertanian, dengan tujuan untuk meningkatkan luas penguasaan
lahan pertanian per individu petani, sehingga efisiensi usaha pertanian akan meningkat. Selain itu
di dalam negeri perlu diikuti penghapusan ekonomi biaya tinggi dengan menghilangkan
inefisiensi dalam bidang pemasaran, menghilangkan pungutan liar, dan perbaikan sarana
infrastruktur.

Keempat, perilaku masyarakat pun perlu diperkuat dalam menghadapi perdagangan bebas
dengan mengobarkan semangat untuk mencintai produk dalam negeri. Untuk produk pertanian
seperti buah dan sayuran, pola konsumsi masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke
atas sangat dipengaruhi oleh gaya hidup (life style) mereka. Oleh karena itu perlu usaha-usaha
secara kultural untuk mempengaruhi perilaku konsumsi kelompok masyarakat ini, dengan
menjadikan nilai estetika produk pertanian dalam negeri menjadi bagian penting dari gaya
hidup (life style) mereka.

Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) harus dijadikan pembelajaran untuk


meningkatkan daya saing produk pertanian agar mampu memenangkan perdagangan global. Jika
ada kebijakan yang mendorong peningkatan daya saing untuk komoditas pertanian, yang
didukung dengan semangat cinta produk dalam negeri oleh masyarakat Indonesia, maka bukan
tidak mungkin Indonesia akan menjadi raksasa dalam bisnis produk pertanian di dunia,
menggeser Thailand yang selama ini telah berhasil membangun branding sebagai produsen buah
tropis berkelas dunia.

Saat ini 80% produk pertanian Indonesia diperdagangkan dalam bentuk bahan
mentah dan 20% dalam bentuk olahan. Pada akhir tahun 2014 ditargetkan bahwa
50% produk pertanian diperdagangkan dalam bentuk olahan. Untuk peningkatan
daya saing akan difokuskan pada produk berbasis sumber daya lokal berikut: (1)
produk yang dapat meningkatkan pemenuhan permintaan untuk konsumsi dalam
negeri dan (2) produk yang dapat mengurangi ketergantungan impor (substitusi
impor). Indikator keberhasilannya adalah besarnya pangsa pasar (market share) di
pasar dalam negeri dan penurunan net impor.
Begitu disampaikan Menteri Pertanian RI, Dr. Suswono, saat membuka kegiatan
Agrinex Expo 2012 yang ke-6 di Jakarta Convention Center, Jakarta (30/3)
didampingi pihak penyelenggara antara lain Rektor IPB, Prof. Dr.Ir. Herry
Suhardiyanto, M.Sc dan Ketua Panitia, Ir. Rifda Ammarina.
Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi pangan yang
berlimpah. Jenis komoditas pangan yang dihasilkan oleh sektor pertanian akan
sangat tergantung dari pola konsumsi masyarakat. Pelaksanaan diversifikasi
konsumsi pangan secara bertahap akan mengubah pola produksi pertanian di
tingkat petani (diversifikasi produksi pertanian). Petani akan memproduksi
komoditas yang banyak dibutuhkan oleh konsumen dan yang memiliki harga cukup
tinggi, ujar Suswono.
Lebih lanjut Mentan menyebutkan bahwa kondisi ini akan membawa dampak pada
peningkatan pendapatan petani. Mereka tidak lagi tergantung pada komoditas padi
sebagai sumber pendapatan usaha taninya, tetapi dapat mencoba tanaman lain
yang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi.
Hal ini merupakan salah satu penerapan program pemerintah khususnya
Kementerian Pertanian, yaitu program diversifikasi, baik pangan maupun komoditi
unggulan. Sedangkan untuk target peningkatan nilai tambah, daya saing dan
ekspor, upaya yang dilakukan yaitu fokus pada 2 (dua) hal yakni: peningkatan
kualitas dan jumlah olahan produk pertanian untuk mendukung peningkatan daya
saing dan ekspor. Peningkatan jumlah olahan diukur dari rasio produk mentah dan
olahan, tambah Mentan. (man)

Merdeka.com - Sektor pertanian memiliki pengaruh dalam perekonomian nasional. Kondisi


makro ekonomi nasional ke depan semakin penuh dengan tantangan. Karena itu, kebijakan
pembangunan sektor pertanian harus ditingkatkan untuk memenuhi daya saing kebutuhan ekspor
agar tetap unggul di pasar domestik dan ASEAN.
"Untuk mencapai hal tersebut, salah satu upaya dalam peningkatan nilai tambah produk adalah
melalui kegiatan hilirisasi industri di sektor pertanian nasional," kata Wakil Menteri Pertanian,
Rusman Heriawan, dalam acara kegiatan Konsolidasi Perencanaan dan Pelaksanaan Penanaman
Modal Nasional (KP3MN) propinsi dan Kabupaten/Kota 2014, dengan tema hilirisasi produk
pertanian, Selasa (22/4).
Rusman mengatakan, sebagian besar rumah tangga saat ini masih bergantung di sektor pertanian.
Dengan alasan itu, industrialisasi yang relavan dikembangkan adalah industrialisasi
pertanian.Industrialisasi pertanian yaitu kegiatan industrialisasi yang memanfaatkan hasil-hasil
dari sektor pertanian dalam arti luas.
"Melalui pengembangan subsektor agroindustri (industrialisasi pertanian), dapat dipandang
sebagai transisi yang paling tepat dalam menjembatani proses transformasi ekonomi di
Indonesia," jelasnya.
Seiring dengan dengan sektor pertanian primer, sektor agroindustri dapat dijadikan sebagai
sumber pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia dan mengurangi kemiskinan.
Ketangguhan industri yang berbasis pertanian telah terbukti pada masa krisis. Sektor agroindustri
tidak banyak terpengaruh oleh krisis dan dengan cepat mengalami pemulihan.
"Pentingnya peran sektor agroindustri bukan hanya dilihat dari ketangguhannya dalam
menghadapi krisis ekonomi, tetapi juga memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor lain,"
ungkapnya.
Keterkaitan tersebut tidak hanya keterkaitan produk, tetapi juga melalui keterkaitan lain, yaitu
keterkaitan konsumsi, investasi, dan tenaga kerja. Hal tersebut diharapkan berimplikasi melalui
pengembangan sektor agroindustri dan tercipta kesempatan kerja dan sumber pendapatan
masyarakat.
[cza]
FOLLOW

Distan Sumut Fokus Tingkatkan Nilai Tambah Produk


Pertanian
Mei 10, 2014 - Ekonomi

MEDAN (Berita): Dinas Pertanian Sumut fokus meningkatkan nilai tambah, daya saing dan
pemasaran domestik dan ekspor produk pertanian dengan mengolah bahan segar jadi produk
olahan.Kepala Dinas Pertanian Sumut Ir Roem S melalui Kabid Bina Usaha Tani Ir Lintong
Sitorus mengatakan hal itu kepada wartawan di kantornya Jumat (9/5) siang.
Lintong menambahkan nilai tambah produk pertanian itu diaplikasikan melalui programprogram kegiatan, pasca panen, pengolahan hasil yang diwujudkan dalam bentuk bantuan
sosial (bansos) berupa barang dan mesin kepada Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dan
Kelompok tani (Poktan).
Upaya peningkatan nilai tambah itu antara lain membantu mesin penggilingan padi kepada
Gapoktan. Tahun 2014 ini ada 11 kabupaten/kota yang mendapat mesin penggilingan untuk
revitalisasi karena banyak gilingan padi yang sudah rusak sehingga rendemennya rendah.
Selama ini banyak beras patah dengan rendemen 55 persen, sekarang ditingkatkan menjadi
58 persen dengan tingkat kerusakan 5,6-5,8 persen. Juga bantuan alat power trasher
(perontok padi) untuk meningkatkan kualitas hasil panen dan mengurangi losis (kehilangan).
Alat panen untuk menurunkan losis, menghemat waktu panen dan biaya panen tidak terlalu
mahal. Selama ini 1 hari (8 jam) dikerjakan 20 orang, dengan alat ini maka hanya 2 jam cuma
dikerjakan oleh 3 pekerja. Dengan mesin ini bisa hemat 50 persen, katanya.
Menurutnya, dua mesin panen yang besar di Deliserdang dan Sergai dengan kecepatan 0,45
hektar/jam. Sedangkan mesin yang kecil 0,2 hektar/jam di Sergai dan Paluta. Kita demons
alat ke lapangan di lahan mana yang duluan panen, katanya.
Selain mesin perontok padi, Dinas Pertanian (Distan) Sumut juga memberikan coldstorage (alat
pendingin) kepada petani hortikultura, utamanya sayur mayur di beberapa kabupaten sekaligus
dibuatkan rumah kemas. Rumah Kemas tahun lalu di Karo 1, Simalungun 1. Tahun ini di Karo
2, Humbahas 1, Tapsel 1 untuk manggis.
Coldstorage dan rumah kemas itu untuk proses pengemasan produk sayur mayur dan buahbuahan petani yang akan diekspor ke luar negeri. Ada beberapa komoditi sayuran yang
diekspor ke Malaysia, Singapura dan Jepang antara lain sawi putih, arcis dan kentang.
Sebelumnya para Gapoktan itu dibimbing Pemgolahan dan Pemasaran Pertanian.

Kementan memberikan bantuan untuk pasca panen produk pertanian tujuannya agar produksi
pertanian berdaya saing di luar negeri sekaligus mampu menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN atau MEA tahun 2015, tegas Lintong.
Peningkatan nilai tambah produk pertanian juga diberikan pemerintah melalui Kementan
kepada usaha keripik ubi dengan harapan selama ini jual ubi kayu hanya Rp2.000 hingga
Rp3.000
per
kg,
tapi
setelah
diolah
jadi
keripik
harganya
mencapai
Rp50.000 per kg seperti usaha keripik ubi Lufti di Tuntungan, Medan.
Keripik itu juga diekspor ke Korea dengan merek Lufti tiga tahun belakangan ini sebanyak dua
kontainer per bulan, jelasnya. Usaha Kecil Menengah (UKM) ini kerjasama dengan anggota
penggorengan ada 35 orang, dia juga bermitra dengan kelompok petani ubi. Alat pemotongan
ubi dibantu oleh Pertanian.
Ada juga pengolahan durian dan nangka diusahakan oleh UKM di Jalan Binjai km 12 beberapa
tahun lalu dibantu alat penggorengannya oleh Pertanian (Kementan). Tujuh tahun terakhir
Kementan mengembangkan pertanian hasil olahan termasuk ubi, durian, jagung, katanya.
Kalau jagung masih rata-rata penggilingan biji jagung, termasuk pengolahan cabe yang
dikeringkan dan jadi saos di Batubara. Produknya sudah sering ikut pameran semacam brownis
dari kayu dan tepung.
Ia menambahkan Kementan kini fokus meningkatkan olahan hasil pertanian karena selama ini
yang dikembangkan hanya upaya meningkatkan produksi tapi setelah panen, tak banyak yang
menampungnya. Sekarang yang digalakkan meningkatkan hasil olahan pertanian dan produksi
pertanian tetap dipertahankan, katanya. (Wie)

INILAHCOM, Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) menyebutkan


untuk mempertahankan produk pertanian dapat berkompetisi dengan
produk pertanian luar dengan cara meningkatkan daya saing.
Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (PPHP) Kementan,
Yusni Emilia Harahap mengatakan produk ekspor masih 70% dalam bentuk primer
inilah yang membuat daya saing perlu mendapatkan peningkatan.
"Perlu pengolahan 50% menjadi produk olahan, adanya industri hilir yang
terintegrasi dengan sumber bahan baku, perlu dukungan inovasi teknologi,
permodalan dan infrastruktur," ujar Yusni di Jakarta, Selasa (25/3/2014).
Yusni menyebutkan langkah yang perlu semua pihak tempuh untuk berdaya saing
dengan memanfaatkan teknologi penyimpanan dan pengemasan yang
memperpanjang masa simpanan.
Selain itu, Yusni menuturkan adanya akselerasi ekspor untuk mempercepat
peningkatan daya saing. Hal yang terpenting juga adanya promosi investasi
agroindustri dan permodalan.
"Untuk mendukung itu semua, perlu regulasi yang memberikan peluang pasar yang
lebih besar dan perlindungan terhadap produk pertanian nusantara. Serta insentif
untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing," jelasnya. [hid]

Mentan: Tingkatkan NIlai Tambah dan Daya Saing Produk Pertanian

Petani, pembaca dimana pun Anda berada. Kami terus melakukan upaya peningkatanmutu dan
keamanan pangan produk pertanian nasional bersama dengan petani dan parapelaku agribisnis
keseluruhan. Ini semua sejalan dengan peningkatan permintaanterhadap pangan yang
berkualitas, sehat,bernilai gizi,dan aman dikonsumsi.

Alhamdulillah, ditengah berbagai kendala yang ada, neraca perdagangan sektor pertanian
Indonesiamasih surplus dengan trend yang terus meningkat dalam beberapa tahunterakhir.
Dan, menjadicatatan penting bagi kita semua bahwa peningkatan pengetahuan dan
kesadaranmasyarakat akan pentingnya pangan berkualitas dan sehatmerupakan salah satu
tantangan dalam pembangunan pertanian.

Untuk memenuhi tantangan itu sejaklama Kementerian Pertanian telah melakukan berbagai
langkah untuk meningkatkan mutu produkpertanian seperti pembinaan petani dan pelaku usaha
agribisnis, pengembanganinfrastruktur, teknologi,serta sarana dan prasarana pertanian untuk
merespon tuntutan pasar produkpertanian bermutu, baik untuk pasar domestik maupun
internasional. Kami punberusaha untuk memenuhi tingkat pencapaian mutu produk pertanian
yang konsistendengan tidak hanya mengandalkan pengendalian penanganan produk akhirsaja,
tetapi harus dikendalikan mulai dari tahapan pra panen sampai siapdikonsumsi (from farm to
table).

Begitu

juga

tindakan-tindakan

perbaikan

yang

perlu

diambil

misalkan

dengan

pembinaanpenerapan jaminan mutu di setiap tahapan pasokan, mulai dari tahap budi dayadan
penanganan pasca panen di tingkat kelompok tani, penanganan di tingkatpedagang
pengumpul, dan penanganan di tingkat eksportir.

KementerianPertanian pun telah,sedang dan akan terus menyediakan pejabat fungsional


pengawas mutu hasilpertanian (PMHP), yang tentunya telah dibekali dengan kompetensi yang
memadaidalam aspek teknis maupun manajerialpengawasan mutu produk dan penerapan
jaminan mutunya, serta didukung dengantersedianya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
yang memadai, sehingga panganhasil pertanian dapat terjamin mutu yang di dalamnya
termasuk aspek keamananpangan, yang padaakhirnya dapat memberikan ketenteraman batin
masyarakat sebagai konsumen.

Sejalan dengan hal tersebut,Kementerian Pertanian sepanjang bulanNovember 2012 kemarin


telahmenyelenggarakan serangkaian Kegiatan Bulan Mutu Produk Pertanian, yangdapat
dijadikanajang komunikasi daninteraksi berbagai pihak atau pemangku kepentingan dalam
menghasilkan produkyang dapat menjadi tuan rumah di negerisendiri dan berdaya saing di
pasar global.

Saya mengharapkan Bulan Mutu Pertanian yang bertemakan Penerapan Standar Mutu
Komoditas Pertanian Nasional Meningkatkan NilaiTambah dan Daya Saing ini dapat
mewadahi seluruh subsektor di lingkup KementerianPertanian, untuk dapat menampilkan dan
mensosialisasikan program dankegiatannya ke masyarakat luas, terutama yang terkait dengan
upaya peningkatanmutu produk pertanian dan outputkegiatan mutu pelayanan lainnya di
masing-masing daerah unit kerjanya. Selain itu, juga adanya peningkatan sinergitasdengan
para pemangku kepentingan lainnya

dan berpartisipasi aktif pada berbagaikegiatan

standardisasi guna meningkatkan daya saing produk.

Pembaca, semua kerja ini kita lakukan secarabersama-sama dan bersinergi dengan berbagai
pihak dengan harapan negara kitamampu meningkatkan kualitas dan kuantitas produk

pertaniannya serta membangunperdagangan yang berkeadilan,agar terbangun citra pertanian


Indonesia yang berdaya saing. Semua langkahitu, tentu saja, akhirnya ditujukan dalam
kerangka upaya meningkatkan kesejahteraan petani Indonesia.

Metrotvnews.com, Jakarta: Penggunaan teknologi dalam mengolah hasil-hasil pertanian


diyakini dapat meningkatkan daya saing.

Kementerian Pertanian pun mendorong penggunaan teknologi untuk hilirisasai dalam


meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk pertanian.
Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan menuturkan, volume produksi pertanian Indonesia
nomor satu di Asean. Namun, Indonesia belum merajai kualitas produk pertanian.
"Secara produksi dalam bentuk tonase kita nomor satu di Asean. Apakah itu cukup hanya fokus
pada volume? Kita selama ini hanya fokus pada meningkatkan sebesar-besarnya produksi
pertanian tapi kita lupa bagaimana meningkatkan kualitas. Kita belum merajai kualitas," kata
Rusman, di Jkarta, Rabu (24/4).
Untuk itu, lanjut Rusman, diperlukan teknologi dalam hilirisasi produk hasil pertanian untuk
meningkatkan kualitas dan nilai tambah.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi dan Agroindustri Listyani
Wijayanti mengatakan, pihaknya telah mengenalkan teknologi kepada petani melalui unit-unit
pelaksana teknis.
Wakil Ketua Komite Tetap Industri Derivatif Pertanian Kamar Dagang dan Industri Indonesia
(Kadin) Suharyo Husein mendorong teknologi diterapkan di hilirisasi. Dia bercerita, pihaknya
telah menerapkan teknologi dalam hilirisasi di Sumedang, Jawa Barat, dengan mengubah
singkong menjadi tepung tapioka.
"Ke depan yang akan kami lakukan adalah hilirisasi sawit," tukasnya.
Penerapan teknologi dalam mengolah hasil pertanian memang membutuhkan biaya yang cukup
besar untuk membeli alatnya. Pemerintah pun melakukan dukungan dengan dikeluarkannya
kebijakan kredit perbankan.

Direktur Eksekutif Departemen Kredit BPR dan UMKM Bank Indonesia Zainal Abidin
mengatakan, pihaknya telah mengeluarkan kebijakan untuk mendukung pertanian.
"Kebijakannya adalah soal ketentuan kredit yang harus disalurkan ke UMKM pertanian.
Perbankan harus menyalurkan kreditnya sebanyak 20% kepada sektor pertanian. Kalau tidak
menyalurkan, ada sanksi terkena denda yang jumlahnya bisa miliaran hingga ratusan miliar,"
tandas Zaenal pada kesempatan yang sama. (Bunga Pertiwi Adek Putri)

Anda mungkin juga menyukai