Anda di halaman 1dari 12

AGRARI DALAM ANCAMAN GLOBALISASI EKONOMI

Moh. Zain Firdaus

Prodi Agrotekhnologi, Universitas Trunojoyo Madura

Surel : muhzainfirdaus@gmail.com

Abstrak

Sejak dulu Indonesia menghadapi masalah pangan, bahkan di masa


depan akan lebih banyak lagi masalah serius jika sektor pertanian sebagai
produsen makanan tidak bekerja dengan serius. Menurunkan penekanan
terhadap sektor pertanian, banjir impor beras masuk ke dalam negeri pasar
sehingga untuk mengurangi keinginan petani menanam padi, bergantung pada
sumber makanan pada beras , dan diversifikasi pangan masih membatasi slogan
atau retorika sepenuhnya, telah menyebabkan nasional sistem keamanan
pangan semakin menjadi lemah. Hingga dalam hal itu merupakan dampak
globalisasi ekonomi terhadap agrari.

PENDAHULUAN

Agrari merupakan suatu keadaan dimana profesi penduduk yang ada dalam
Negara tersebut sebagian adalah petani. Pertanian yang menjadi sector utama dalam
negara agrari karena penduduknya bekerja sebagai petani. Dan juga bagi Negara agrari,
penduduk yang bekerja sebagai petani dalam sector pertanian merupakan contributor
dalam memberikan peran yang sangat penting bagi masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.

Di Indonesia sendiri, sebagian besar penduduknya lebih banyak bekerja di sector


pertanian daripada yang lain. Hingga menjadi sebuah problem yang sangat besar ketika
pemerintah ingin membangaun infrastruktur seperti jalan tol, revitalisasi jalur kereta
api, pembangunan Bandara dan lain sebagainya yang dapat mempersempit lahan.
Berdasarkan data konsorsum pembaruan Agraria (KPA). Terjadi 659 konflik Agraria
sepanjang 2017, dengan luasan mencapai 520.491,87 hektar (Ha) yang membuat
semakin berkurangnya lahan dalam sector pertanian akibat adanya pengaruh besar
globalisasi.
Pertanian local bonnie setiawan dalam globalisasi pertanian menyampaikan
bahwa “ pertanian sesungguhnya adalah pondasi dan hidup matinya sebuah negara”,
maju tidaknya sebuah Negara akan terlihat pada system pertaniannya. Jika
pertaniannya saja buruk maka bagaimana Negara itu bisa hidup. Bukankah pertanian
itu adalah sebuah pondasi dalam suatu Negara. Jika pondasinya saja tidak bisa berdiri
dengan kokoh, maka bangunannya pun bisa saja roboh kapan saja.

Hingga saat ini kita bisa melihat kehidupan petani dan sector pertaniannya
sedang menghadapi tantangan yang bukan hanya di tingkat local namun di tingkat
nasional bahkan global. Adanya berbagai persaingan di bursa tenaga kerja akan
semakin meningkat menjelang pemberlakuan pasar bebas ASEAN. Bahkan sebelum
hadirnya masyarakat ekonomi asean (MEA) pun produk-produk local sudah mulai
terabaikan. Pemerintah lebih senang mengimpor produk, terutama dalam faktor
pertanian.

Melalui adanya kasus Monsanto di Sulawesi Selatan, membuktikan tiga hipotesis


berikut: pertama, Globalisasi Ekonomi sendiri mengancam ketahanan ekonomi lokal
melalui proses integrasi paksa dan pengambil alihan kontrol ekonomi lokal ke dalam
sistem ekonomi global melalui regulasi-regulasi institusi perdagangan global. Temuan
penelitian ini menunjukkan bahwa parka penerapan AOA, pemerintah menghapus
subsidi pertanian yang menyebabkan hilangnya sumber modal sebagai salah satu faktor
produksi pertanian. Kedua, ancaman ditimbulkan oleh MNC sebagai pengambil alih
kontrol atas perekonomian lokal dari masyarakat setempat. Hilangnya faktor produksi
modal menyebabkan petani beralih pada MNC. MNC memperkenalkan metode
pertanian dengan penggunaan teknologi modern yang betpaten, yang dijanjikan dapat
meningkatkan keuntungan, dengan cara mengikat petani pada perjanjian yang bersifat
eksklusif dan memicu monopoli MNC atas proses produksi pertanian. Ketiga,
Perbenturan antara ekonomi global dengan ekonomi lokal menghasilkan bentuk-bentuk
dualisme ekonomi yang mengancam ketahanan ekonomi lokal. Masuknya MNC ke
sektor pertanian kapas di Sulawesi Selatan telah merubah karakter pertanian lokal
menjadi pertanian industrial. Perubahan tersebut juga merubah pertanian multikultur
menjadi monokultur, merubah petani menjadi konsumen serta menciptakan
ketergantungan ekonomi lokal terhadap ekonomi kapital yang direpresentasikan oleh
MNC.
Oleh karena itu kita harus siap menghadapi arus globalisasi pertanian yang akan
datang dengan membentuk persatuan atau kelompok tani sekaligus mencari solusi
alternative lainnya. Sektor pertanian seharusnya menjadi sektor andalan dalam
menyerap tenaga kerja sekaligus sebagai dasar menuju industrialisasi nasional yang
tangguh di mata dunia yang bersinergi dengan golongan masyarakat lainnya. Salah satu
langkah yaitu dengan menata ulang struktur dan penguasaan tanah yang semakin
berkurang akibat pembangunan dan menyediakan sarana pendukungnya.

PEMBAHASAN

Sejarah Berkembangnya Agrari

Kata agrarian berasal dari bahasa latin “ager” yang berarti tanah atau sebidang
tanah. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agraria berarti urusan
pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah. Bahkan sebutan agrarian
laws Dictionary seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan
peraturan hukum yang bertujuan melakukan pembagian tanah-tanah yang luas dalam
rangka lebih meratakan pembagian pemiliknya. Pada pasal 1 ayat (2) UUPA bahwa yang
menjadi ruang lingkup agrarian adalah bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan di
dalamnya. Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa agrarian memiliki cakupan yang lebih
luas dari sekedar tanah atau tanah pertanian seperti pengertian dari bahasa latin dan
KBBI yang merupakan suatu kegiatan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Sejarah berkembangnya agrari sendiri bermula dengan adanya revolusi hijau


yang konon merupakan sebuah jargon politik yang diusulkan pada tahun 1968 oleh
William S.Gaud, seorang administrator USAID, untuk menandai usaha memotong derap
Revolusi Merah dari Komunisme. Secara ekonomi, Revolusi Hijau adalah modernisasi
pertanian, khususnya tanaman pangan, yang mengandalkan asupan kimiawi dan
biologi, selain prasyarat kelancaran irigasi, ke dalam kultur bercocok tanam tanaman
pokok, khususnya padi di Indonesia dan gandum di india utara. Modernisasi itu juga
dikenal karena bibit padi hasil silang dan pemuliaan yang menjadi ciri khasnya yakni
HYV (High Yielding Varieties), bibit unggul yang generasi lanjutnya di kenal dengan
nama VUTW (Varietas Unggul Tahan Wereng). Bersamaan dengan bibit unggul juga
diperkenalkan teknologi mekanik seperti traktor tangan dan penggilingan padi, maupun
teknologi local yang irit waktu seperti penggunaan sabit pengganti ani ani penggunaan
penyerit pengganti iles kaki. Itu semua dibarengi oleh perubahan kelembagaan seperti
system panen terbuka yang digusur system tebasan, system tanam gotong royong
(sambatan) yang diganti system borong. Di samping itu, pemerintah ikut campur tangan
dalam bentuk pengaturan harga minimum gabah melalui pembelian beras, stok, dan
operasi pasar. Yang terakhir, pemerintah juga memberikan subsidi harga pada asupan
pertanian dan menyelenggarakan kredit usaha tani berbunga rendah dan beranggunan
mudah. Semuanya itu merupakan revolusi hijau dan perangkatnya yang bagaimanapun
membawa pengaruh perubahan pada para petani yang lain, alam, teknologi,
pemerintah, bahkan perusahaan-perusahaan besar baik dalam maupun luar negeri.

Dalam sejarah pertanian pangan di Indonesia, pertumbuhan produksi tidak


terlepas dari usaha swasembada pangan. Arti dari swasembada pangan sendiri adalah
mampu memenuhi kebutuhan akan pangan dari produksi sendiri, tanpa impor atau
tingkat impornya nol. Usaha demikian sudah dirintis sejaka akhir zaman penjajahan
belanda dalam rangka politik etisnya, setelah diketahui melalui penelitian bahwa telah
terjadi kemerosotan standar hidup orang jawa. Pada tahun 1950-an usaha swasembada
beras bergulat dengan keengganan orang jawa untuk meningkatkan produksi di atas
kebutuhan subsistennya. Keengganan meningkatkan produksi di atas kebutuhan
subsisten tersebut oleh boeko (1953) diberi penjelasan sebagai akibat dari social
dualism (dualism sosial), oleh Geertz (1973) dihipotesiskan sebagai agricultural
involution (pemungkretan pertanian) berdasarkan tingkah shared poverty (kemiskinan
yang di bagi) dan oleh penny (1976) disebut sebagai peasants` subsistence mindedness
(sifat khas petani yang terpana kebutuhan subsisten). Maksud dari “social dualism”
adalah bahwa dalam tingkah laku ekonominya, masyarakat timur lain daripada di barat
digerakkan oleh dorongan mendapatkan status social daripada oleh mencari
keuntungan. “Agricultural Involution” adalah perubahan pertanian yang
memungkretkan dirinya, sebab orang cenderung menambah usaha produksinya bila
masih belum kecukupan tingkat subsistennya, begitu cukup ia akan cenderung
mengurangi gairah produksinya. “peasnt` Subsintence Mindedness”, adalah tabiat petani
yang sulit menambah produksinya untuk kepentingan di jual , lebih memilih hidup pada
tingkat pemenuhan kebutuhan subsisten.

Berbagai usaha sepanjang decade 1950-an, 1960-an sampai 1970-an difokuskan


untuk mengatasi pola tingkah laku ekonomi enggan maju dalam produksi. Baru setelah
diadakan kepungan kebijakan dari berbagai arah dengan anak panah Revolusi hijau,
terjadilah perubahan pola tingkah laku ekonomi, dari enggan maju berproduksi menjadi
suka maju berproduksi. Namun sampai di sini perlu dicermati, kemajuan dalam hal
usaha penyejahteraan. Sebabnya adalah kemajuan berproduksi bukan didorong oleh
semangat menyejahterakan diri tetapi oleh keterpaksaan ekonomi dan oleh atmosfir
ketakutan. Revolusi hijau berhasil antar lain juga karena desakan dari pemerintah yang
berupa sanksi-sanksi social manakala orang menolak untuk menanam bibit unggul.
Tingkah laku para petani di tingkat desa diawasi, kecuali oleh perangkat desa dan
pemerintah tingkat kecamatan yang bernama tripika/muspika (tentara, polisi, dan
birokrasi pemerintah), dan juga oleh babinsa (bintara Pembina masyarakat). Bahwa
determinan kemajuan dalam berproduksi adalah keterpaksaan ekonomi dapat
dijelaskan sebagai berikut. Dengan revolusi hijau para petani harus membayar hampir
semua asupan kecuali tenaga sendiri. Petani tidak lagi dapat memobilisasi asupan
produksi sendiri. Asupan produksi yang berupa bibit unggul, pupuk buatan, insektisida,
pestisida harus mereka beli dari toko-toko yang merupakan outlut dari perusahaan
besar. Kredit usaha tani sebagai modal untuk pembelian asupan harus disewa oleh
petani. Bahkan tanah harus disewa oleh petani, entah dengan sewa tahunan atau bagi
hasil dari para pemilik tanah. Di beberapa tempat pembuangan air irigasi harus mereka
bayar berupa dana tirta (untuk perbaikan selokan dan upah bago tenaga pengatur
irigasi).

Kapitalisme dalam Pertanian

Telah banyak studi dan kajian yang menunjukkan bahwa kapitalisme dan
komersialisasi pangan-pangan telah merambah ke ranah konsumsi. Sebagai contoh,
Ritzer (1996), Muhtaman, Aliadi, dan kartika (1999), setiawan (2003), Baudriliard
(2004), sliem, suhartini, purwoto, dan hardono, (2004), Schlosser (2004), dan jatmiko
(peny) (2005) memaparkan bahwa telah terjadi proses kapitalisme dan komesialisasi
komoditi pangan yang dimotori oleh berbagai perusahaan mutinasional (MNC).

Seiring dengan makin berkembangnya kapitalisme pertanian menjadi industri


setara manufaktur, terjadi pula perkembangan industri pangan (Food industry). Salah
satunya dengan tumbuhnya industri pemrosesan pangan (food-processing industry)
serta gerai pangan skala besar (large-scale food retailer) (setiawan 2003:45). Salah satu
contoh paling nyata adalah menjamurnya berbagai restoran siap saji di seluruh penjuru
dunia. Saat ini hampir tidak ada kota besar di berbagai negara yang tidak disinggahi
oleh Mc Donald`s, Kentucky fried Chicken, dan sebagainya. Contoh lainnya adalah
semakin membanjirnya produk pangan instan (mi, kopi, sup, nasi goring, dan
sebagainya) di berbagai pelosok, mulai dari toko swalayan hingga pasar tradisional.

Meskipun tak banyak gerai makanan siap saji di perdesaan, namun bukan berarti
praktik kapitalisme pangan tidak menembus kawasan tersebut . maraknya pemberitaan
mengenai penggunaan formalin sebagai bahan pengawet pangan seperti pada tahu, ikan
asin, dan mi basah, merupakan salah satunya buktinya. Beberapa pengusaha kecil dan
mikro hampir tidak sempat memikirkan mutu pangan dari sisi kesehatan karena yang
penting adalah uang. Penggunaan formalin merupakan salah satu siasat mereka
menekan biaya produksi seminimal mungkin sekaligus memperbesar rentang (margin)
keuntungan yang akan diraih. Perilaku tersebut dapat dilihat sebagai salah satu praktik
“kapitalisme kecil” yang dilakukan oleh para pengusaha pangan skala kecil dan mikro.
Namun demikian hal tersebut juga dapat dimaknai sebagai suatu strategi bertahan
hidup (sub-sistensi) bila ternyata keuntungan yang diraih hanya sebatas memenuhi
kebutuhan pokok mereka semata dan tidak dapat diakumulasikan. Dengan demikian,
terdapat “daerah abu-abu” antara perilaku “kapitalisme kecil” dan strategi subsistensi
pada pengusaha kecil dan mikro.

Salah satu kunci sukses kapitalisme dan komersialisasi pangan adalah


homogenitas atau keseragaman. Bagi restoran siap saji, homogenitas dalam konteks ini
berarti mereka memberikan produk dan layanan yang sama persis pada lokasi-lokasi
yang beraneka macam (schlosser 2004;6-7). Dengan demikian, seseorang akan
mendapatkan pangan yang sama, kualitas pangan (gizi) yang sama, pelayanan yang
sama, hingga suasana yang sama di gerai mana pun ia makan, entah itu di bandung, ,
mesir, india, bahkan hingga ke kutub utara sekalipun. Homogenitas ini, menurut RItzer,
menyebabkan orang susah sekali mendapatkan pangan asli yang benar-benar berbeda
yang masih memiliki karakter aslinya (Ritzer 1996;136-137). Bagi produk pangan
instan, homogenitas juga menjadi senjata utama kaum kapitalis. Produk pangan instan
biasanya dilengkapi dengan berbagai bumbu yang telah ditakar ukurannya serta
petunjuk cara memasaknya. Hal ini meminimalkan terjadinya perbedaan pemasakan
dan penyajian yang biasa terjadi pada pangan tradisional.

Proses homogenitas tersebut juga di dukung oleh kuatnya pencitraan komoditi


yang ditawarkan melalui berbagai iklan di media massa. Salah satu citra yang
ditawarkan adalah citra modern dan gaya hidup baru di berbagai pelosok negeri, ada
penciptaan “norma baru” di masyarakat seolah-olah menjadi begitu udik dan
ketinggalan zaman bila belum pernah menyantap pizza, hamburger, serta berbagai
produk pangan instan lainnya. Pangan siap saji dan produk instan lainnya dianggap
pangan elite oleh sebagian masyarakat kita (Khudori 2005;85). Kapitalis industri
makanan memang sangat lihai. Mereka tidak hanya berhasil menciptakan berbagai
jenis pangan siap saji, tetapi juga ‘’meciptakan kebudayaan.” Makan bukan hanya
urusan perut melainkan juga gaya hidup (Redana 1997 ). Dengan menyantap pangan
siap saji atau produk instan, konsumen tidak hanya akan terasa kenyang, tetapi juga
akan terdongkrak kelas sosialnya (karena mampu menyantap “pangan elite”).

Homogenisasi pangan tersebut pada akhirnya menciptakan homogenisasi pola


makan. Hal ini terjadi pada era Orde Baru dengan program pemberasan nasional yang
dimulai sejalan dengan dibentuknya Bulog (Badan Urusan Logistik; sebelumnya
Komando Logistik Nasional) pada tahun 1966. Keanekaragaman pola makan yang khas
dari berbagai suku dan daerah di Indonesia secara perlahan menghilang dan bergeser
ke satu jenis pangan, yaitu beras. Seorang pakar seperti Profesor Mubyarto bahkan
memandang, jika rakyat suatu daerah tidak makan nasi, daerah itu disebut miskin
(Khudori 2005:48). Beras, yang kemudian diolah menjadi nasi, pada perkembangannya
menjadi “kultus” . Pepatah mencari sesuap nasi menunjukkan bahwa nasi memiliki
nilai yang sangat tinggi di masyarakat dan dianalogikan dengan rezeki.

Homogenisasi pola makan tersebut, terlebih pada produk pangan instan, jelas
merupakan suatu berita buruk bagi prakarsa membangun kedaulatan pangan.
Kedaulatan pangan adalah suatu kondisi ketika rakyat miskin (termasuk petani)
memiliki akses dan kontrol terhadap sumber daya yang penting bagi mereka. Produksi
dan distribusi pangan instan jelas merupakan sesuatu yang relatif berada di luar akses
dan kontrol petani. Hal ini tidak hanya membuat petani menjadi sangat tergantung pada
sistem pasar yang tidak berpihak pada petani, tetapi juga akan mematikan produksi
pangan dan industri pangan di tingkat lokal. Yang paling mengerikan, cengkeraman
kuku kapitalisme pangan kini tidak datang melalui tindakan yang represif dan todongan
senjata, tetapi melalui bujuk rayu yang manis (namun beracun) melalui pencitraan
besar-besaran di media massa.

Munculnya Gerakan Pertanian Berkelanjutan


Perjalan petani di Indonesia dalam sejarahnya lebih banyak diwarnai oleh
konflik-konflik social keagrarian daripada oleh praktek kehidupan yang berlandaskan
demokrasi. Petani selalu saja dalam posisi yang kalah, dalam kondisi yang selalu
terpinggirkan dan perannya sekedar menjadi pelengkap dari sebuah komunitas
masyarakat. Dalam sejarah dunia maupun Indonesia gerakan petani dalam menuntut
hak-haknya selalu saja mengalami kekalahan. ciri yang menonjol dalam setiap gerakan
petani adalah mudahnya gerakan itu dipatahkan oleh penguasa yang kerap kali
memihak kepentingan pemodal. Kekalahan yang biasanya diawali dari ditangkapnya
para pemimpin mereka dan kebetulan pemimpin itu tidak banyak menularkan
kesadaran kelas maupun kesadaran kepentingan kepada pengikut-pengikutnya.
Kebiasaan untuk mengandalkan gerakan semata-mata dari kharisma pemimpin
ternyata berakibat fatal bagi kelestarian gerakan. Efek yang muncul kemudian, gerakan
itu cenderung sporadic, semassa, tidak mengakar dan mudah sekali untuk masuk
perangkap kekuasaan. Tampaknya sebuah gerakan petani jika ingin meraup sukses
harus dibangun di atas kesadaran akan realitas ekonomi termasuk hubungan dan
pertentangan sosialnya, dan tidak dibangun diatas dasar mimpi-mimpi.

Agrari dan Globalisasi Ekonomi

Peran yang dilakukan oleh jaring international yang dilakukan oleh WTO (World
Trade Organisation) sebagai jelamaan dari GATT (general Agreement of Tarif and Trade)
tak kurang memberikan efek yang mengerikan buat kehidupan petani. Globalisasi
ekonomi yang membuat wewenang WTO kian besar hanyalah, seperti yang diungkap
Andalos. ”usaha-usaha untuk menjadikan seluruh dunia sebagai kesatuan system pasar
yang dicirikan oleh bebasnya gerakan modal dan barang-barang serta jasa-jasa. Namun
pada kenyataannya ini tidak lain adalah praktek dominasi dari korporasi lintas Negara
yang didukung oleh dana moneter International, Bank Dunia dan organisasi dunia
untuk perdagangan. Hubungannya adalah hubungan antara penguasa dan bawahan,
antara Negara kaya dan miskin. Sebuah bentuk kolonialisme ekonomi (Amaladoss,
1999:vii) kolonialisme akibat pasar bebas itulah yang telah membawa akibat dahsyat
buat kehidupan petani.

Ancaman globalisasi itulah yang membawa gerakan petani untuk lebih


mempertimbangkan pengembangan strategi yang mempertimbangkan pengembangan
strategi yang mempertimbangkan kemampuan serta tujuan yang akan menjamin
terpenuhnya rasa keadilan. Dalam pemikiran joel migdal (1974 : 229-252), tujuan
gerakan tidak lagi berada di awang-awang, melainkan harus konkrit, yaitu gerakan
untuk membangun kelembagaan politik, social ekonomi yang lebih menjamin keadilan
dan kesejahteraan semua. Juga tujuan gerakan petani karnanya bukan meniadakan
Negara atau menunggu Negara di bubarkan, tetapi memmbangun kelembagaan,
“melalui kelembagaan kelembagaan kekuasaan yang ditransparansikan, dan kekuasaan
yang ada pada individu dan kelompok di ubah agar menjadi kekuatan yang berguna
untuk semua”. Jadi yang dikerjakan adalah program membangun tatanan social
ekonomi politik yang berguna untuk semua. Maka semangat subsidiaritas (yang dapat
dikerjakan oleh bawahan atasan yang dapat dikerjakan oleh bawahan atasan jangan
merebutnya) dan pengembangan budaya pengawasan. Dan gerakan petani itu sangat
didukung oleh tiga pra syarat yang memacunya, yaitu pertama pasarisasi petani yang
memaksa mereka tidak dapat mempertahankan lagi keswadayaan masyarakat local,
kedua adanya kesadaran akibat benturan pasar yang dirusak oleh korupsi, monopoli
dan tatanan jomplang, pemimpin yang dipercaya dan diikuti karna cita citanya dan
usahanya untuk membangun kelembagaan alternative yang tidak adil. Dengan
pengembangan strategi gerakan itulah maka, pengembangan gerakan demokrasi petani
akan menjadi sebuah gerakan pemberdayaan yang akan menjamin adanya keadilan dan
kesejahteraan. Konkretnya untuk bidang pertanahan, misalnya dengan pelaksaan UUPA
1960 dengan amandemen sekitar batas kepemilikan minimum, reinterpretasi hak
ulayat dari basis kepemilikan personal kebasis komonal terlebih untuk kawasan luar
jawa, penghapusan bengkok dan pengambil alihan lahan guntai atau absente sehingga
dapat di distribusikan pada petani penggarap. Dan tentu itu semua pada tingkat local
dapat dilakukan dengan melalui perundingan-perundingan pada tingkat local bersama
pemerintah local.

Dampak Globalisasi Ekonomi Terhadap Pertanian

Pada aspek produksi, petani dipaksa untuk lebih melayani kebutuhan pihak luar
(baca: masyarakat kota) daripada kebutuhan komunitinya. Dengan demikian, apa yang
diproduksi dan bagaimana cara memproduksinya akan sangat ditentukan oleh
kebutuhan konsumen (masyarakat kota). Dalam hal ini petani sudah mulai kehilangan
kedaulatannya karena tidak dapat menentukan sendiri apa saja yang ditanamnya dan
bagaimana cara menanamnya. Salah satunya adalah dengan besarnya ketergantungan
pada berbagai asupan mulai dari pupuk, pestisida, hingga benih pabrikan.

Pada aspek distribusi, petani juga akan dihadapkan pada mekanisme distribusi
yang berorientasi pada mekanisme pasar . Salah satunya adalah adanya kecenderungan
untuk mengekstraksi semua komoditi pangan yang laku di pasaran keluar dari kawasan
perdesaan tersebut. Hal ini tentu saja kan merugikan petani karena pada kenyataannya
selama ini mekanisme pasar tidak pernah berpihak pada petani. Pada tahapan ini pula
rentang harga di tingkat produksi dan konsumsi terjadi. Pihak yang mendapatkan
keuntungan terbesar adalah agen yang bermain pada tahapan distribusi ini. Petani
sebagai produsen dan konsumen pada umumnya tidak memiliki akses dan kontrol pada
proses distribusi tersebut.

Pada aspek konsumsi, ketika petani sudah memproduksi apa yang bukan
menjadi kebutuhannya dan dipengaruhi oleh besarnya intervensi pasar , mereka akan
banyak tergantung pada berbagai produk luar untuk memenuhi kebutuhan
(pangan)nya yang tentunya didapat melalui sistem pasar. Konsumen juga terpaksa
mengakses pasar dengan harga yang sangat tinggi bila dibandingkan harga produksi.
Selain itu masyarakat perdesaan juga relatif sudah mulai terkena homogenisasi
panganan. Salah satu indikasinya adalah makin banyaknya panganan pabrikan yang
masuk ke perdesaan dan makin langkanya makanan tradisional yang diproduksi di
kawasan tersebut.

Untuk menunjang usaha memenuhi kebutuhan masyarakat kota tersebut


dibuatlah berbagai mekanisme kebijakan (baik dalam aspek produksi, distribusi, dan
konsumsi), program,dan institusi untuk meningkatkan surplus produksi dan
mengekstraknya keluar dari lingkaran masyarakat produsen di tingkat lokal perdesaan.
Karena pihak yang berkepentingan dengan surplus itu bukanlah masyarakat produsen
itu sendiri, maka semua mekanisme tersebut dibuat oleh dan untuk kepentingan pelaku
pasar (distributor dan konsumen), bukan oleh dan untuk kepentingan petani selaku
produsen pangan. Dari sisi konsumsi, berbagai kebijakan yang mendorong masuknya
berbagai industri panganan pabrikan yang mengatas namakan pertumbuhan ekonomi
desa juga kian gencar dijalankan.

Kesimpulan
Sejarah berkembangnya agrari sendiri bermula dengan adanya revolusi hijau
yang konon merupakan sebuah jargon politik yang diusulkan pada tahun 1968 oleh
William S.Gaud, seorang administrator USAID, untuk menandai usaha memotong derap
Revolusi Merah dari Komunisme. Secara ekonomi, Revolusi Hijau adalah modernisasi
pertanian, khususnya tanaman pangan, yang mengandalkan asupan kimiawi dan
biologi, selaian prasyarat kelancaran irigasi, ke dalam kultur bercocok tanam tanaman
pokok, khususnya padi di Indonesia dan gandum di india utara.

Salah satu kunci sukses kapitalisme dan komersialisasi pangan dalam agrari
adalah homogenitas atau keseragaman. Bagi restoran siap saji, homogenitas dalam
konteks ini berarti mereka memberikan produk dan layanan yang sama persis pada
lokasi-lokasi yang beraneka macam (schlosser 2004;6-7). Dengan demikian, seseorang
akan mendapatkan pangan yang sama, kualitas pang (gizi) yang sama, pelayanan yang
sama, hingga suasana yang sama di gerai man pun ia makan, entah itu di bandung, ,
mesir, india, bahkan hingga ke kutub utara sekalipun. Homogenitas ini, menurut RItzer,
menyebabkan orang susah sekali mendapatkan pangan asli yang benar-benar berbeda
yang masih memiliki karakter aslinya (Ritzer 1996;136-137).

Dalam sejarah dunia maupun Indonesia gerakan petani dalam menuntut hak-
haknya selalu saja mengalami kekalahan. ciri yang menonjol dalam setiap gerakan
petani adalah mudahnya gerakan itu dipatahkan oleh penguasa yang kerap kali
memihak kepentingan pemodal. Kekalahan yang biasanya diawali dari ditangkapnya
para pemimpin mereka dan kebetulan pemimpin itu tidak banyak menularkan
kesadaran kelas maupun kesadaran kepentingan kepada pengikut-pengikutnya.

Globalisasi ekonomi yang membuat wewenang WTO kian besar hanyalah, seperti
yang diungkap Andalos.”usaha-usaha untuk menjadikan seluruh dunia sebagai kesatuan
system pasar yang dicirikan oleh bebasnya gerakan modal dan barang-barang serta
jasa-jasa. Namun pada kenyataannya ini tidak lain adalah praktek dominasi dari
korporasi lintas Negara yang didukung oleh dana moneter International, Bank Dunia
dan organisasi dunia untuk perdagangan. Hubungannya adalah hubungan antara
penguasa dan bawahan, antara Negara kaya dan miskin. Sebuah bentuk kolonialisme
ekonomi (Amaladoss, 1999:vii) kolonialisme aibat pasar bebas itulah yang telah
membawa akibat dahsyat buat kehidupan petani.
Untuk menunjang usaha memenuhi kebutuhan masyarakat kota tersebut
dibuatlah berbagai mekanisme kebijakan (baik dalam aspek produksi, distribusi, dan
konsumsi), program,dan institusi untuk meningkatkan surplus produksi dan
mengekstraknya keluar dari lingkaran masyarakat produsen di tingkat lokal perdesaan.
Karena pihak yang berkepentingan dengan surplus itu bukanlah masyarakat produsen
itu sendiri, maka semua mekanisme tersebut dibuat oleh dan untuk kepentingan pelaku
pasar (distributor dan konsumen), bukan oleh dan untuk kepentingan petani selaku
produsen pangan.

DAFTAR PUSTAKA

Sasongko, Tri Hadiyanto (2006). Jeratan Pangan Global, Jurnal analisis social,11,57-80.

Wahono, Francis (1999). Petani dalam Jeratan Globalisasi, jurnal ilmu social
transformative, 1, 2-8.

Zaroni, Achmad Nur (2015). Globalisasi Ekonomi dan Implikasinya Bagi Negara-Negara
Berkembang : Telaah Pendekatan ekonomi islam, jurnal ekonomi dan bisnis, 1,2-21.

Anda mungkin juga menyukai