Anda di halaman 1dari 4

Indonesia Dalam Ancaman Krisis Pangan, Retrospeksi Kebijakan Pemerintah Indonesia di Hari Pangan Se-Dunia (14 Oktober) Oleh

: Siti Nafidah Anshory Krisis pangan sebetulnya telah menjadi isu global sejak tahun 2007 lalu. Krisis ini diawali dengan terus meningkatnya harga pangan khususnya komoditi biji-bijian di pasar dunia yang dampaknya juga dirasakan di Indonesia. Sebagai contoh, harga beras yang tahun 2005 berkisar Rp.3.100-3.600/kg tibatiba melonjak naik hingga 14%, yakni Rp. 4.170-4.780/kg di tahun 2006. Sejak saat itu, harga beras terus meningkat dengan laju kenaikan antara 7,4%-12,36% per bulan, hingga pada bulan Pebruari 2010 harga beras bahkan mencapai Rp 7.409 per kilogram (kg). Selain beras atau biji-bijian, kenaikan ini juga terjadi pada komoditi-komoditi strategis lainnya, seperti minyak goreng, terigu, telur, gula, dan lain-lain. Turunnya tingkat produksi pangan dunia pasca konversi besar-besaran lahan pertanian pangan ke pertanian sumber energi hijau disebut-sebut sebagai salah satu penyebab terjadinya krisis. Saat itu melonjaknya harga minyak dan gas di pasar internasional yang berujung pada krisis energi global telah memicu persaingan antara produksi pertanian untuk pangan dengan produksi pertanian untuk energi hijau, disamping secara otomatis krisis energi tentu memicu kenaikan harga-harga komoditi pangan itu sendiri. Situasi ini kemudian diperburuk oleh tingginya laju pertambahan penduduk dunia terutama di negara-negara berkembang, serta munculnya isu global warming yang menyebabkan perubahan iklim secara ekstrim dan berbagai becana alam yang berpengaruh terhadap aktivitas pertanian. Indonesia, meski tak termasuk dalam daftar 22 negara yang dilaporkan FAO per Oktober 2010 sebagai negara yang mengalami krisis pangan, tetap tak bisa dikatakan bebas dari ancaman krisis. Apalagi dua tahun sebelumnya (2008), Indonesia sempat masuk dalam daftar 37 negara yang mengalami krisis pangan bersama beberapa negara di Afrika, Asia dan Amerika Selatan sebagaimana dilaporkan FAO. Sayangnya hingga saat ini Pemerintah masih belum mengambil langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Pemerintah malah terus berupaya meyakinkan masyarakat bahwa kondisi Indonesia hingga saat ini aman-aman saja. Padahal dampak krisis jelas-jelas sangat dirasakan terutama oleh masyarakat menengah ke bawah yang tingkat daya belinya semakin rendah, disamping membuat situasi sosial dan politik di dalam negeri semakin rentan. Krisis Pangan Cerminan Ketidaktahanan Pangan Sebagai negara agraris Indonesia tentu tak layak menghadapi ancaman krisis pangan apalagi mengalaminya sebagaimana terjadi dua tahun yang lalu. Potensi alam yang subur dan sangat luas, sumber daya manusia dan hayati yang melimpah, seharusnya menjadikan Indonesia memiliki ketahanan pangan yang tinggi yang dengannya kesejahteraan masyarakat bisa terjamin. Sayangnya yang terjadi justru sebaliknya. Di luar faktor alam yang memang kian tak menentu, kebijakan pangan yang diambil pemerintah dari waktu ke waktu justru kian memperlemah ketahanan pangan yang menjadikan Indonesia sebagai negara yang rentan ancaman krisis. Di era 80-an, Indonesia memang pernah mengalami masa keemasan dalam produksi pangan hingga berhasil mencapai swasembada, khususnya untuk komoditi beras dan kedelai. Indonesia saat itu, bukan hanya mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri dan menyimpan cadangan di gudang-gudang Bulog, bahkan mampu menjadi negara eksportir pangan. Kondisi ini bisa dipahami mengingat perhatian pemerintah saat itu terhadap masalah ketahanan pangan relative tinggi, dimana kelebihan pendapatan negara yang diperoleh dari perdagangan minyak bumi langsung ditransfer untuk memajukan bidang pertanian melalui berbagai program. Kondisi ini setidaknya bisa bertahan hingga tahun 1993. Menurunnya pendapatan negara dari sektor minyak bumi akibat asingisasi sumber-sumber alam membuat pemerintah tak punya dana lebih untuk mensubsidi sektor pertanian sehingga tingkat produksipun mengalami penurunan di tahun-tahun berikutnya. Malah dari hari ke hari, sektor pertanian diperlakukan bak anak tiri. Disamping itu, jebakan

berbagai perjanjian internasional membuat pemerintah Indonesia kian kehilangan kedaulatan pangan. Akibatnya, pengambilan keputusan apapun terkait kebijakan pangan, baik menyangkut aspek produksi, distribusi maupun konsumsi tak lagi menjadi hak mutlak rakyat yang direpresentasikan oleh pemerintah, melainkan harus terikat dengan butir-butir kesepakatan internasional yang dibuat oleh negara-negara anggota atas arahan negara-negara adidaya demi kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional milik mereka. Dalam konteks global, upaya negara adidaya merebut kedaulatan ekonomi (baca : neoimperialisme) negara dunia ketiga melalui sistem perdagangan bebas memang sudah dimulai sejak IMF dan World Bank menginisiasi pertemuan Bretton Woods pada tahun 1944. Tahun 1948 diciptakanlah General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang secara intensif terus dimatangkan melalui berbagai putaran pertemuan dengan fokus bahasan mengenai pengurangan hambatan tariff dan non tariff bea masuk untuk menjamin kelancaran realisasi sistem perdagangan bebas. Adapun yang menyangkut reformasi sistem perdagangan produk pertanian yang berorientasi pasar bebas mulai menjadi fokus pada saat Putaran Uruguay (1986-1994) dimana pada putaran ini The Agreement on Agriculture (AoA) disetujui dan World Trade Organization (WTO) terbentuk (1995). Setidaknya ada 125 negara yang ikut menandatangani. Salah satunya adalah Indonesia yang kemudian meratifikasi kesepakatan ini melalui UU NO. 7/1994. Program reformasi yang ada dalam AoA berisi komitmen-komitmen spesifik untuk mengurangi subsidi domestik, subsidi ekspor dan meningkatkan akses pasar untuk produk pertanian melalui penciptaan peraturan dan disiplin GATT yang kuat dan efektif. Dengan kata lain, kesepakatan ini menekankan tentang keharusan negara menurunkan dukungannya terhadap sektor pertanian, meningkatkan akses pasar untuk impor pertanian, dan pengurangan subsidi ekspor pertanian yang kesemuanya termasuk prinsip perdagangan pasar bebas. Persetujuan tersebut juga meliputi isu-isu di luar perdagangan seperti ketahanan pangan, perlindungan lingkungan, perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment S&D) bagi negara-negara berkembang, termasuk juga perbaikan kesempatan dan persyaratan akses untuk produk-produk pertanian bagi negara-negara tersebut. Sebagai dampak persetujuan ini, produk pertanian Indonesia masuk ke gelanggang pasar internasional menghadapi negara-negara lain yang berdaya saing jauh lebih kuat karena didukung tingkat efisiensi dan penguasaan teknologi tinggi. Dan hasilnya bisa di bayangkan, alih-alih mampu mengekspor produk pangan ke luar negeri, produk dalam negeripun kalah bersaing di negeri sendiri. Wajar jika para petani akhirnya kehilangan gairah berproduksi yang menyebabkan ketersediaan produk pangan terus berkurang, melengkapi persoalan kebijakan distribusi yang selama ini sudah sangat buruk. Sektor pertanianpun terpukul, dan mayoritas masyarakat hanya menjadi end-user, bukan produser. Sementara itu, perdagangan pangan akhirnya dikuasai perusahaan-perusahaan multinasional bermodal besar. Ironisnya, menghadapi realita berkurangnya stok pangan ini, pihak pemerintah dengan entengnya mengambil kebijakan membuka lebar keran impor hingga pasar dalam negeri dibanjiri produk-produk pangan luar negeri, termasuk beras sebagai komoditas pangan terpenting dan memiliki nilai politis. Krisis ekonomi yang mengguncang Indonesia tahun 1997/1998 juga turut memperparah kondisi ketahanan dan kedaulatan pangan di Indonesia. Penyerahan solusi krisis kepada IMF yang ditandai dengan penandatanganan LoI (Letter of Intent) oleh pemerintah Indonesia seolah menjadi aksi bunuh diri politik karena ternyata membuat kondisi Indonesia kian dicengkram kekuatan asing. Melalui LoI, Indonesia dipaksa menjalankan kebijakan-kebijakan anti rakyat, seperti liberalisasi, privatisasi BUMN termasuk BULOG, deregulasi yang mempermudah penguasaan perusahaan besar mengalahkan perusahaan milik rakyat semisal UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal serta pengurangan subsidi. Di bidang pertanian, LoI menyebut secara eksplisit mengenai keharusan pemerintah mengurangi dan meniadakan proteksi, yang membuat insetif

petani untuk menanam komoditas pertanian menjadi lenyap. Akibatnya Indonesia menjadi sangat tergantung pada produk impor, hingga nyaris kehilangan kedaulatan pangan dan selanjutnya nyaris kehilangan ketahanan pangannya hingga hari ini. Membangun Kembali Kedaulatan Pangan Krisis pangan global yang berlangsung hingga hari ini seharusnya cukup untuk menunjukkan bahwa sistem pasar bebas tidak akan pernah membawa kebaikan bagi umat manusia, termasuk dalam hal pangan. Sistem ini bahkan terbukti telah mencerabut kedaulatan pangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia sehingga negara-negara yang mayoritas muslim ini tak lagi memiliki kemampuan untuk menjaga dan mempertahankan ketahanan pangannya. Inilah yang senyatanya telah menjadikan negara tersebut kian lemah dan harus rela menjadi sapi perah bagi negara-negara kapitalis yang terus berupaya mempertahankan hegemoninya melalui sektor politik dan ekonomi, termasuk perdagangan produk pangan melalui mekanisme pasar bebas. Sebagai negara yang punya potensi kebangkitan yang sangat besar, Indonesia seharusnya segera mengambil langkah-langkah strategis untuk membalikkan keadaan. Artinya, kita tak boleh tersibukkan oleh langkah-langkah pragmatis untuk menghadapi ancaman krisis pangan semacam penyediaan dana kontingensi, upaya stabilisasi harga melalui operasi pasar yang hanya menguntungkan para spekulan, pasar murah dan penyaluran raskin yang sering salah sasaran, program pengendalian penduduk, rekayasa teknologi, membuka keran impor, dan lain-lain sementara aspek hulu nya tidak disentuh. Yakni bagaimana membangun kembali kedaulatan pangan yang tentunya sangat erat kaitannya dengan kedaulatan ekonomi dan politik. Meski tidak mudah, kedaulatan ekonomi dan politik yang menjadi dasar tegaknya kedaulatan pangan hanya mungkin dibangun jika pemerintah Indonesia berani melepaskan diri dari sistem kapitalisme yang mengungkung dunia internasional. Karena sistem inilah yang telah begitu lama mengukuhkan penjajahan negara-negara besar atas negara-negara kecil melalui lembaga-lembaga Internasional yang mereka ciptakan sebagai alatnya. Berbagai krisis yang terjadi pun membuktikan bahwa PBB, IMF, World Bank dan WTO, hakekatnya hanyalah mesin politik negara-negara adidaya untuk mempecundangi negara-negara kecil yang bukan kebetulan mayoritasnya merupakan negeri-negeri kaum muslimin melaui berbagai kesepakatan internasional yang rusak dan merusak itu. Sebagai satu-satunya alternative, sistem Islam bisa diandalkan untuk menghadapi kekuatan kapitalisme global yang kian hari kian menampakkan borok-boroknya. Sistem ini menjadikan negara/ pemerintahan sebagai alat/institusi politik yang berkewajiban menegakkan hukum-hukum Allah termasuk yang terkait dengan kebijakan ekonomi bidang pertanian, sekaligus menempatkan para penguasa hanyalah sebagai pelayan bagi umat. Dalam sistem Islam, penguasapun diibaratkan sebagai junnah (beteng pelindung) bagi umat yang wajib menjaga mereka dari berbagai bahaya, termasuk ancaman krisis pangan melalui penerapan kebijakan politik dan ekonomi yang kuat dan tegak di atas paradigma yang benar yakni akidah Islam. Dalam konteks ketahanan pangan, Islam telah menggariskan kebijakan politik ekonomi pertanian yang kuat dan saling bertumpu pada bidang-bidang lainnya termasuk perindustrian. Strategi politik pertanian dan industri yang ditawarkan Islam ini, selain sangat berpihak kepada masyarakat secara umum, juga menjadikan kita bisa terlepas dari cengkeraman dan penguasaan Barat. Hal ini dikarenakan Islam telah menggariskan prinsip-prinsip dasar ekonomi menyangkut masalah kepemilikan, pengelolaan dan distribusi yang bertumpu pada prinsip keadilan hakiki, yang berbeda dengan kapitalisme yang menuhankan prinsip kebebasan. Hal ini didukung oleh adanya prinsip kemandirian politik yang mencegah dan mengharamkan intervensi apalagi penguasaan asing atas umat Islam melalui jalan apapun. Dalam strategi politik pertanian, berbagai aturan ditetapkan sedemikian rupa yang memungkinkan negara secara berdaulat akan mampu menjamin ketersediaan dan meningkatkan

ketahanan pangan melalui proses produksi, baik melalui kebijakan pertanahan, kebijakan untuk peningkatan produktivitas, dan lain-lain. Begitupun diatur masalah distribusi yang memberi jaminan setiap warganegara tercukupi kebutuhannya akan kosumsi pangan secara merata tanpa menutup ruang bagi mereka memperoleh ketinggian kualitas hidup melalui persaingan usaha yang alami dan manusiawi. Secara rinci, aturan-aturan ini telah lengkap tersedia dalam sistem politik ekonomi Islam. Persoalannya hanya tinggal kemauan semua pihak, baik rakyat maupun penguasa, untuk benar-benar menerapkannya dalam kehidupan, bukan semata karena urgen, tapi karena ini adalah kewajiban. Wallhu a lam bi ash-shawb. [] ---------------

Anda mungkin juga menyukai