Kontroversi Ghazwul-fikr
Sesungguhnya kondisi kaum muslimin saat ini sedang berada dalam keterpurukan akibat
rendahnya taraf berpikir mereka, terutama sejak berlangsungnya perang pemikiran dan perang
kebudayaan (ghazwul-fikr dan ghazwuts-tsaqafi) yang gencar dilancarkan Barat dan kafir musta’mir
lain sebagai strategi pengganti perang fisik yang tidak menghasilkan kemenangan apapun buat mereka.
Dalam hal ini, pemikiran-pemikiran Islam yang sebelumnya menuntun mereka dan membuat mereka
mampu membangun sebuah peradaban yang gemilang dalam kurun yang sangat panjang, seolah telah
terkubur oleh pemikiran-pemikiran asing yang merasuk ke dalam benak mereka dan terkungkung oleh
sistem kehidupan mereka. Seolah-olah, pemikiran-pemikiran Islam hanyalah sebuah masa lalu yang
tidak lagi layak untuk membangun masa depan peradaban ummat manusia ditengah-tengah fakta
pluralitas (kemajemukan) dan universalitas (globalisasi) kehidupan manusia modern.
Berbagai gagasan dilontarkan, baik yang menohok Islam secara langsung, maupun yang bersifat
kompromistis untuk membentuk image bahwa Islam senantiasa relevan dengan jaman. Dan euphoria
demokratisasi yang saat ini sedang hangat-hangatnya dinikmati oleh kaum muslimin di sebagian besar
negeri Islam telah memberikan suasana yang kondusif bagi penyebaran gagasan-gagasan tersebut di
tengah-tengah mereka, sehingga benar-benar menjadi bahan polemik, yang sebenarnya merupakan
maifestasi dari fenomena ghazwul-fikr dan ghazwuts-tsaqafi seperti yang dikehendaki para
perancangnya.
Hanya saja, barangkali bagi sebagian pemikir Islam kontemporer, apa yang oleh sebagian
kalangan disebut dengan fenomena ghazwul-fikr bukan merupakan kenyataan yang harus disikapi
secara negatif, melainkan seharusnya menjadi sarana pendewasaan serta pengentalan ghirah dan
persepsi keagamaan ummat. Karena dalam kacamata mereka, selama ini semangat dan persepsi
keagamaan mayoritas ummat Islam lebih didasari oleh sentimen dan berbagai mitos sehingga terkesan
sangat kaku, letterlijk, simbolik dan bahkan khayali. Akibatnya Islam dan kaum Muslimin seolah
menjadi sebuah ajaran dan komunitas yang sangat ekslusif dan anti perubahan, sekaligus anti
pencerahan dan modernisasi sehingga dianggap layak menyandang berbagai sebutan, seperti kelompok
Islam konservatif, skriptualis dan bahkan fundamentalis jika sudah mengarah kepada upaya
mewujudkan Islam sebagai ajaran yang benar-benar sistemik.
Dengan kerangka pikir seperti itu, mereka lantas mempertanyakan tentang keabsahan konsep
universalisme Islam yang tersirat dalam konsep Islam sebagai rahmatan li ‘alamin. Karena dengan
fakta demikian mereka melihat seolah-olah ada ketidak sinkronan antara konsep disatu sisi dan fakta
di sisi lain, yakni jika Islam dipahami dan direalisasikan “apa adanya”, secara pasti Islam akan
kehilangan keuniversalannya dan kemudian termarjinalisasikan sebagaimana filsafat usang yang
ditinggalkan banyak orang. Dan hal ini menurut mereka, tentu sangat kontraproduktif bagi masa
depan Islam dan kaum Muslimin, sehingga adanya rekonstruksi paradigma berpikir dalam beragama
menjadi satu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar.
a. Relativisme Beragama
Secara umum, konsep relativisme menerangkan bahwa apa yang dianggap baik atau buruk,
benar atau salah, adalah relatif, tergantung kepada pendapat tiap individu, keadaan setempat,
institusi sosial dan agama. Oleh karena itu, konsep yang berawal pada abad kelima sebelum masehi
ini, tidak mengenal kebenaran absolut atau kebenaran abadi.
Cak Nur dalam bukunya Pintu-Pintu Menuju Tuhan (p. 242) menulis mengenai relativisme
beragama seperti ini : Pandangan seseorang tentang pemahamannya mengenai suatu agama tentu
diakui oleh yang bersangkutan sebagai yang paling tepat dan paling benar mengenai agama itu.
Tetapi, sebagai entitas mengenai entitas yang lain, maka adalah tak masuk akal (absurd) untuk
melihat kedua-duanya sebagai identik dan bisa saling tukar (interchangeable). Jadi, pemahaman
seseorang atau kelompok tentang suatu agama bukanlah dengan sendirinya senilai dengan agama itu
sendiri. Ini lebih-lebih lagi benar jika suatu agama diyakini hanya datang dari Tuhan (wahyu, agama
samawi) dan bukannya hasil akhir suatu proses historis dan sosiologis (dengan istilah “agama wahyu”
atau “agama samawi” maka wewenang menetapkan agama atau tasyri’ seharusnya hanya ada pada
Tuhan atau berasal “dari langit”, sementara yang datang dari manusia atau dari arah bumi juga
seharusnya dipandang sebagai relatif belaka).
Dengan tulisan tersebut nampaknya Cak Nur ingin mengatakan, bahwa tidak boleh bagi
seseorang atau suatu kelompok untuk mengklaim bahwa kebenaran adalah milik diri dan kelompoknya
saja, karena ternyata hakekat kebenaran dalam pandangan manusia sangatlah relatif, serelatif
persepsi manusia terhadap sesuatu yang dianggap benar tadi. Dengan kata lain, benar bagi seseorang,
belum tentu benar bagi yang lain, sehingga, apa yang dianggap benar tadi bukanlah kebenaran itu
sendiri, melainkan hanyalah persepsi seseorang tentang kebenaran yang sifatnya ternyata sangat
relatif. Dan hal ini, menurutnya, merupakan fakta yang tidak terbantah, tak terkecuali dalam konteks
kebenaran agama dalam pandangan manusia. Apalagi jika mengingat, bahwa agama-agama besar
seperti Yahudi, Nasrani dan Islam dianggap sama-sama merupakan agama wahyu yang berasal dari
Tuhan sebagai pemilik mutlak kebenaran.
Sejalan dengan itu, menurut Alwi Shihab (sekalipun dia kurang setuju dengan relativisme
mutlak), seorang relativis akan berasumsi, bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai”
ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Sebagai
konsekuensinya, doktrin agamapun harus dinyatakan benar dan sama, karena kebenaran agama-agama,
walaupun berbeda-beda dan bertentangan satu dengan lainnya, tetap harus diterima. Untuk itu
seorang relativis tidak akan mengenal, apalagi menerima suatu kebenaran yang berlaku untuk semua
dan sepanjang masa, karena inti dari paham ini adalah menolak absolutisme dan monopoli kebenaran
serta pemaksaan kebenaran tersebut kepada pihak lain.
Hal ini mengingat, pemutlakan kebenaran agama yang diistilahkan Arkoun sebagai tirani
kepercayaan dan tirani pikiran, dianggap hanya akan memunculkan ketidakpercayaan dan perselisihan
yang berkepanjangan. Hal ini pulalah yang diduga kuat oleh Alwi Shihab sebagai pemicu perselisihan
panjang hubungan Muslim Kristen di Indonesia dan di negeri manapun hingga sekarang. Bahkan beliai
menggambarkan, bahwa agama seolah telah menjadi elemen utama dalam mesin penghancuran
manusia, dimana tidak ada alat komunikasi lain bagi antar agama tadi kecuali senjata (Baca : Islam
Inklusif). Oleh karena itulah kemudian para pemikir Islam modern menganjurkan dilakukannya upaya-
upaya menginteraksikan berbagai pemikiran agama secara terus-menerus agar tercapai keterbukaan,
saling pengertian dan toleransi (inklusivisme) melalui berbagai format seperti Dialog Antar Agama.
“Sudah saatnya umat beragama meninggalkan era monolog untuk beranjak kepada era dialog”,
demikian tulis Alwi Shihab (ibid, p.40). Dan dalam bahasa yang lain Cak Nur menyatakan : “Yang
sekarang penting untuk dikembangkan adalah penghayatan keagamaan yang terbuka. Beragama mesti
dihayati sebagai proses pembebasan” (Zaman Baru Islam Indonesia, Pemikiran dan Aksi Politik, p.121).
Dengan demikian, jelas bahwa ide relativisme beragama secara otomatis akan menuntut keharusan
untuk menerima konsep pluralisme, sekalipun menurut Alwi Shihab keduanya tidak dapat disamakan
dan belum tentu berlaku sebaliknya.
b. Pluralisme
Sesungguhnya, inti dari pluralisme adalah penerimaan dan apresiasi terhadap kemajemukan
yang ada di dalam masyarakat. Bagi penganut ide ini, pluralitas (kepelbagaian/kemajemukan)
masyarakat adalah merupakan suatu fakta, dan bahwa pluralitas tidak mungkin dihilangkan juga
merupakan fakta, sehingga adanya kesadaran akan pluralitas tadi merupakan satu keharusan.
Tentang pluralisme agama sendiri, Alwi Shihab menyatakan, bahwa pada dasarnya lahir
dilatarbelakangi oleh serangkaian pertanyaan yang cukup mendasar. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
antara lain : apabila Tuhan itu Esa, tidakkah sebaiknya agama itu tunggal saja? Dan apabila pluralisme
agama tidak dapat dielakkan, maka yang mana di antara agama-agama ini yang benar, ataukah
semuanya sesat ? Lalu, mengapa kita memeluk satu agama dan tidak ikut agama yang lain? Dan
mungkinkah terdapat persamaan doktrin atau kesamaan tujuan di antara aneka macam agama yang
ada?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu memunculkan kontroversi, mengingat setiap agama
mengajarkan, bahwa doktrinnyalah yang paling benar, unik, ekslusif dan superior. Oleh karena itu,
menurutnya perlu ada upaya menjembatani kesenjangan yang ada diantara agama-agama tadi.
Setiap Pluralis (termasuk Alwi) meyakini, bahwa jawaban tuntas terhadap semua pertanyaan
diatas tidak lain adalah penerimaan terhadap ide pluralisme yang direalisasikan dalam bentuk
kesiapan untuk saling membuka diri, berdialog dan bekerja sama di antara pemeluk agama yang
berbeda. Dialog tersebut dimaksudkan untuk saling mengenal dan saling menimba pengetahuan baru
tentang agama mitra dialog sehingga dengan sendirinya akan memperkaya wawasan kedua pihak dalam
rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu
masyarakat.
Sejalan dengan itu, Alwi Shihab sendiri mengungkapkan, bahwa ada dua komitmen penting
yang harus dipegang oleh pelaku dialog antar agama tersebut. Pertama toleransi, dan kedua
pluralisme. Dalam hal ini, pluralisme sendiri bukan semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya
kemajemukan, tetapi lebih menunjuk pada keharusan adanya keterlibatan aktif terhadap kenyataan
kemajemukan tadi. Dengan kata lain, tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan
dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya
kerukunan dalam kebhinekaan (Islam Inklusif, p.41). Dan dalam tataran praktisnya, Alwi menekankan
peran penting Islam sebagai agama mayoritas dan kaya dengan sekte untuk mempelopori upaya-upaya
tersebut. Apalagi, menurutnya pula sebagai agama formal, Islam memang mengajarkan kebebasan
beragama, yang dalam pandangan Cak Nur, itu merupakan pintu pluralisme dan kemanusiaan.
Dengan memahami konsep di atas, maka jelas ada keterkaitan yang erat antara pluralisme
dengan relativisme, sekalipun sekali lagi, Alwi tidak sepakat jika keduanya dipersamakan. Keterkaitan
dimaksud adalah, bahwa dalam pluralisme pun terkandung unsur relativisme, yakni ketidakbolehan
mengklaim pemilikan tunggal atas satu kebenaran. Selain itu, pada dasarnya relativisme dan
pluralisme sama-sama mengarah pada penyatuan manusia dalam kepelbagaian kepercayaan dan
kepelbagaian identitas di masa modern, dimana tentang identitas ini, Gus Dur (dalam sebuah
kesempatan) dan Azyumardi Azra (dalam Konteks Berteologi di Indonesia, p. ?) pernah menyatakan,
bahwa modernisasi suatu masyarakat mensyaratkan penerimaan terhadap pluralisme, baik paham
ajaran agama, budaya, politik dan sebagainya.
Lepas dari pernyataan tersebut, inilah pluralisme murni. Sedangkan pluralisme yang
dikembangkan Alwi Shihab di Indonesia, (katanya) adalah pluralisme agama yang menolak sinkretisme
dan bersyarat, yaitu keharusan adanya komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing, yang
disandarkan pada Al-Qur’an Surat Saba’ (34) ayat 24-26. Menurutnya, seorang pluralis, dalam
berinteraksi dengan aneka ragam agama, tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar dan
menghormati mitra dialognya. Tapi yang terpenting ia harus commited terhadap agama yang
dianutnya agar relativisme agama yang tidak sejalan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika dapat
dihindari. Namun, kemudian muncul pertanyaan mengenai sejauhmana batasan “commited” yang
beliau maksud, mengingat faktanya Islam bukan sekedar agama ritual seperti halnya agama lain,
melainkan merupakan “ad-din” (sistem hidup) yang diantaranya mengatur tentang pola hubungan yang
jelas antara Islam-non Islam, Muslim dan non-Muslim di dalam masyarakat Islam.
c. Universalisme/kosmopolitanisme dan Humanisme
Mohammed Arkoun adalah seorang pemikir yang intens menyebarkan ide universalisme.
Menurutnya tidak ada yang dapat disebut pinggiran atau pusat, tidak ada kelompok yang terpinggirkan
atau yang dominan, tidak ada kepercayaan yang dapat dikatagorikan sebagai rendah maupun agung,
karena pikiranlah yang menciptakan kebenaran. Dalam hal ini, secara sinis dan retoris dia
mempertanyakan hal (yang menurut saya) berbahaya, sekalipun boleh jadi dalam kacamata “ilmiah”
adalah sah-sah saja, seperti pertanyaan: dapatkan identitas umat Islam yang beragam disatukan, baik
antara sesama umat Islam maupun dengan masyarakat non Islam? Apakah pemaksaan “identitas
kultural” selama ini berarti bahwa dunia ini perlu dibagi antara Syi’ah dan Sunni, mistik dan
tradisionalis, Islam, Kristen dan Yahudi, Arab dan Eropa? Dan sebagainya.
Sesungguhnya dalam tataran inilah universalisme menekankan idealismenya, yakni bagaimana
menghilangkan berbagai identitas kultural (termasuk perbedaan agama) yang dianggap sebagai tirani
bagi kemanusiaan. Karena menurut penganutnya, sejarah dunia ini pada dasarnya satu, dan sejarah
kepercayaan (agama)-pun pada dasarnya satu. Kalaupun kemudian terjadi partikularisasi
(pembagian/pengkotakkan) dalam bentuk berbagai identitas, itu hanyalah merupakan hasil sejarah
manusia yang dipengaruhi aspek politis (dalam bahasa Arkoun : kepentingan profan), tradisi dan
sebagainya. Sehingga, Arkoun misalnya, mengatakan, bahwa sesungguhnya sejarah masyarakat Islam
sangat berkaitan dengan sejarah Barat. Dan bahwa tidak ada dikotomi antara pemikiran Barat dan
pemikiran Islam, karena keduanya telah saling menyatu, sehingga keduanyapun harus dihargai
sekaligus dievaluasi, serta harus dipandang dalam konteks satu sejarah mengenai “kelompok ahli-ahli
kitab” (yaitu masyarakat dengan tradisi Yahudi, Nasrani dan Islam). Dan bahwa berbagai kekuatan yang
dominan masa kini harus dihindari, termasuk nasionalisme, separatisme dan islamisme.
Tentang hal ini misalnya, Arkoun mencoba berhujjah,bahwa Islam bisa berarti banyak hal bagi
banyak orang pada epos yang berbeda, seperti yang tersirat didalam salah satu bab bukunya bertajuk
“Islam dan Muslim” (Rethinking Islam, p. 17). Disitu dia menulis, bahwa ketika Al-Qur’an
mengatakan, bahwa Ibrahim adalah seorang Muslim, maka hal tersebut jelas tidak menunjuk kepada
Islam sebagaimana yang didefinisikan oleh para teolog dan juris (ahli hukum/fiqih) dalam penafsiran
mereka terhadap Al-Qur’an dan ajaran-ajaran Muhammad. Dalam konteks ini, menurutnya, “Muslim”
lebih menunjukkan sebuah “sikap religius” yang ideal seperti yang disimbolkan oleh perilaku Ibrahim
dan kemudian menjadi landasan bangunan ritual bagi ketiga agama monoteis.
Berbeda dengan Arkoun yang mengangkat secara kasar universalisme Islam ke arah sinkretisme
agama-agama, Gus Dur mencoba mengangkat visi ini dengan bahasan yang lebih halus. Beliau
mengatakan, bahwa universalisme Islam menampakkan diri dalam ajaran-ajarannya, yang memiliki
kepedulian sangat besar kepada unsur-unsur utama kemanusiaan (humanisme Islam), seperti halnya
prinsip keadilan sosial. Ini terutama nampak pada adanya jaminan dasar yang diberikan Islam kepada
setiap warga dan masyarakat secara keseluruhan, seperti jaminan dasar akan (1) keselamatan fisik
warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama
yang melahirkan prinsip kebebasan berakidah (3) keselamatan nasab dan keluarga, (4) keselamatan
harta benda, dan (5) keselamatan profesi. Hanya saja, lebih lanjut beliau menekankan kemustahilan
mengaktualisasikan universalitas ajaran Islam dalam tataran praktis jika tidak didukung oleh apa yang
beliau sebut dengan kosmopolitanisme peradaban Islam., yakni kearifan peradilan dunia Islam yang
muncul dari proses saling pengaruh-mempengaruhi dengan peradaban lain. Menurutnya,
kosmopolitanisme peradaban Islam ini telah muncul dalam sejumlah unsur dominan (yang wataknya
telah nampak sejak awal perkembangan), seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya
dan heterogenitas politik, serta jaminan akan kehidupan beragama yang eklektik (kesiapan Islam untuk
menyerap hal-hal yang baik dari luar) dan dialektik (dialogis dan bahkan penuh perdebatan sengit)
selama berabad-abad.
Dalam pandangannya, pada saat kaum Muslimin tidak lagi memiliki keseimbangan antara
kecenderungan normatif (keyakinan agama dan formalisasi ajaran agama, pen.) dan kebebasan berfikir
(termasuk mengakui kebebasan berpikir pada non-muslim) seperti sekarang, yakni kaum muslimin
mulai terjebak pada ekslusivisme, maka pada saat itu hilanglah sifat kosmopolitanisme Islam.
Sehingga menurutnya, yang seharusnya menjadi agenda untuk dikembangkan ke depan adalah
bagaimana meningkatkan kembali universalisme dan kosmopolitanisme peradaan Islam ini di masa
datang agar Islam bisa mengambil bagian dalam membangun peradaban manusia.
Tentang hal ini Arkoun mengatakan, bahwa Islam tidak boleh terpuruk dalam “kekhususan”,
partikularisme dan singularisme. Bahkan menurutnya, pemikiran sekular yang terbuka yang dipahami
sebagai pencarian akan bentuk ekspresi yang paling tidak ideologis dan paling netral serta lahir dari
rasa hormat terhadap kebebasan kehendak orang lain adalah merupakan kemajuan pemikiran yang
penting.
d. Sekularisme
Jika dicermati, sesungguhnya ide-ide sebelumnya akan berakhir pada muara yang sama, yaitu
sekularisme. Dalam hal ini, sekalipun Cak Nur misalnya menolak menyamakan ide sekularisasi -yang
secara istiqomah diperjuangkannya hingga sekarang- dengan sekularisme (yang menurutnya berujung
pada penghapusan kepercayaan kepada Tuhan), namun ternyata intinya tetap sama, yakni meniadakan
peran Al-Khalik dalam mengatur kehidupan dunia, yakni sekularisme itu sendiri. Sebab sekularisasi
yang beliau maksud tersebut didefinisikan sebagai suatu proses sejarah dimana masyarakat dan
kebudayaan dibebaskan dari kungkungan atau asuhan keagamaan dan pandangan dunia metafisis yang
tertutup. Artinya sekularisasipun pada akhirnya tidak meniscayakan peran agama dalam kehidupan,
sebagaimana sekularisme.
Terlepas dari masalah terminologi, Cak Nur memiliki keyakinan besar akan kemampuan rasio
untuk memecahkan persoalan-persoalan keduniawian, dengan dalih bahwa justru karena faktor
rasionalitas inilah Tuhan memilih manusia sebagai khalifah-Nya. Sehingga menurutnya, sekularisasi
adalah niscaya, dan sekularisasi dengan rasionalisasi jelas memiliki konsistensi (Islam Kemoderenan
dan Keindonesiaan, p. 229). Dalam hal ini beliau mengemukakan beberapa hujjah, antara lain konsep
Islam tentang (pemilahan) “hari dunia” dan “hari agama”, “ar-Rahman” dan “ar-Rahim”,”hablum
minallah” dan “hablum minannas” dan sebagainya, yang beliau anggap sebagai dasar penetapan
pembagian wilayah otoritatif Tuhan (agama) dengan otoritas manusia (dunia).
Selain pada pemikiran Cak Nur, sekularisme juga ditemukan pada pemikir yang lain. Gus Dur
misalnya dengan tegas menolak menyamakan agama (termasuk Islam) dengan Ideologi. Menurutnya,
agama merupakan sets of belief/spiritual belief, sedangkan ideologi merupakan wordly belief (Zaman
Baru Islam Indonesia, p.86). Artinya, bagi beliau mungkin agama dan dunia merupakan dua sisi mata
uang yang berbeda; satu, tapi tidak dapat disatukan pada sisi yang sama. Sementara itu, sekularisme
dalam pemikiran Arkoun, nampak ketika dia mengatakan, bahwa hakekatnya “muslim” yang lebih
menunjukkan sikap hidup, adalah berbeda dengan Islam (sebagai konsep) dan bahwa fakta Quran
(sebagai firman Tuhan) berbeda dengan fakta Islam (sebagai sejarah). Menurutnya Quran memiliki
perspektif religius. Lalu ketika bercampur dengan kepentingan profan, pemikiran Islam akhirnya
mengklaim bahwa jaringan religius, profan dan politik (din, dunya dan daulah) adalah merupakan
karakteristik Islam dan sekaligus menjadi fakta Islam, dan bukan Islam itu sendiri. Oleh karena itu
katanya, masyarakat muslim harus melakukan kajian kritis dan ilmiah terhadap dirinya, sehingga Islam
sebagai agama akan dibebaskan dari problem-problem dan tanggungjawab yang merupakan wilayah
khusus para pelaku sosial, bukan tuhan. (Rethinking Islam, p. 20).
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan
apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-
kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu. Untuk tiap-tiap ummat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan.
Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah
kamu perselisihkan itu”. (QS. 5 : 48)
“Kalau saja Allah menginginkan, niscaya Dia akan menciptakan manusia satu bangsa yang
monolitik. Tapi mereka senantiasa menunjukkan perbedaan” (QS. 11 : 118) ====> Tafsir “pluralisme”
versi Alwi Shihab (Islam Inklusif, p. 56)
Dengan kerangka demikian, maka melalui perenungan yang mendalam dan dilandasi kejujuran
serta sikap hanif, kita sendiri akan bisa menjawab, siapa yang sesungguhnya berpikir apologetik ?
Jawaban Islam
Sesungguhnya, sekalipun Islam mengharuskan keimanan seseorang disandarkan pada akal yang
dikaitkan dengan naluri beragama yang merupakan fitrah (thariqah aqliyah), namun hal ini berbeda
jauh dengan apa yang dimaksudkan oleh para pemikir tadi sebagai ‘asas rasionalitas’. Karena
rasionalitas yang mereka maksud ternyata adalah penggunaan logika (mantik/silogisme) dan pola pikir
ilmiah (sains) sebagai asas berpikirnya. Padahal ‘logika’ dan ‘sains’ tidak bisa dijadikan sebagai asas
berpikir, karena sesungguhnya dia hanya merupakan cabang dari pola berpikir aqli (thariqah aqliyah),
sehingga jika tidak dikembalikan pada pola pikir aqli sebagai dasarnya, memungkinkan untuk
terjadinya penyimpangan yang sangat jauh dari hakekat kebenaran. Sedangkan thariqah aqliyah
sendiri, sesungguhnya merupakan satu-satunya metoda yang alami dalam diri manusia untuk
memahami segala sesuatu, dimana jika berkaitan dengan persoalan mengenai ‘ada-tidaknya’ sesuatu
maka hasilnya pasti benar, sedangkan bila berkaitan dengan ‘hakekat’ sesuatu, maka benar tidaknya
akan tergantung pada informasi (memori dalam benak) yang dijadikannya sebagai salah satu perangkat
perpkir. Oleh karena itu, dalam tataran aqidah, yang salah satunya berkaitan dengan pembuktian
tentang eksistensi Al-Khaliq bersama sifat-Nya, maka thariqah ini akan menghasilkan kesimpulan yang
benar (yakni sampai pada kebenaran mutlak aqidah Islam), sedangkan bila berkaitan dengan tataran
syari’at, yakni yang berkaitan dengan hakekat aturan yang akan mampu memecahkan seluruh
permasalahan kehidupan, maka penggunaan thariqah ini mensyaratkan penggunaan informasi-informasi
yang sumbernya telah dibuktikan secara akal sebagai benar-benar wahyu Allah (sumber penetapan
hukum), yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ Sahabat dan Qiyas. Dengan kata lain, dalam hal ini Islam
telah membatasi peran akal pada fungsi untuk memahami saja, dan bukan sebagai pemutus suatu
hukum syara. Hal ini mengingat, akal manusia memiliki keterbatasan dalam memahami hakekat segala
sesuatu, termasuk dalam menyelesaikan seluruh permasalahan kehidupan yang muncul dari potensi
hidup yang ada dalam dirinya, sehingga mengharuskan bagi dia untuk menyerahkan penetapan aturan
kehidupannya pada Allah SWT yang telah menciptakan kehidupan ini seluruhnya.
Lebih dari itu, keberadaan Islam sebagai risalah terakhir, tentu mengharuskannya memiliki
kelebihan-kelebihan di bandingkan dengan agama-agama samawi yang turun sebelumnya, termasuk
dalam bentuk jaminan kesempurnaan dan keuniversalan ajaran-ajarannya. Sehingga upaya-upaya
sebagian pemikir Islam kontemporer untuk mensejajarkan agama-agama tadi, hanya dengan
mensandarkan pada sisi keberadaannya sebagai sama-sama agama wahyu, justru merupakan bentuk
penolakan terhadap kenyataan dan akal. Demikian pula ketika mereka berusaha memformulasikan
kesejajaran tersebut dalam bentuk gagasan seperti relativisme, pluralisme, universalisme dan
sekularisme, pada akhirnya justru makin menjauhkan Islam dari pemikiran-pemikiran aslinya yang
purna dan paripurna. Hal ini mengingat, gagasan-gagasan tersebut jelas-jelas tidak berasal dari Islam
dan tidak pula dibangun berdasarkan kerangka berpikir Islam, sekalipun penerapannya dipaksakan atas
Islam.
Tentang relativisme misalnya, Islam jelas menolak konsep ini secara tegas, karena baik dalam
tataran aqidah maupun syari’ah, kebenaran itu hanya satu, yakni pada Islam, sebagai dinullah semata.
Dan kebenaran ini akan diketemukan oleh siapapun, selama dia mensandarkan pencariannya kepada
akal (melalui cara berpikir cemerlang) yang sekaligus akan menuntun naluri beragama yang secara
fitrah dia miliki ke arah pemenuhan yang hakiki/sahih pula, yaitu Islam. Selain itu, sebagai din yang
terbukti secara akal berasal dari Allah SWT, maka secara pasti syari’at yang terkandung di dalamnya
merupakan syari’at yang adil dan sempurna, serta dipastikan akan mampu memecahkan seluruh
problema kehidupan manusia sejak diturunkannya hingga akhir jaman. Dengan bersandarkan pada
syari’at yang lahir dari aqidah aqliyah inilah, maka manusia akan memiliki standar yang sama dalam
menilai kebaikan dan keburukan, benar dan salah mengenai segala sesuatu. Sehingga corak kehidupan
yang terbentukpun akan khas selama standar tersebut digunakan dalam masyarakatnya, yakni dalam
bentuk sebuah masyarakat Islam.
Demikian pula dengan ide pluralisme, universalisme dan kosmopolitanisme. Islam jelas-jelas
menentang ide-ide tersebut, karena selain lahir dari pola berpikir yang salah (menjadikan fakta
sebagai sumber berpikir), juga karena sangat menyalahi prinsip-prinsip ajaran Islam berkenaan dengan
kesempurnaan syariat dan keuniversalannya dalam konteks bahwa Islam berlaku bagi setiap tempat
dan jaman. Selain itu, keberadaan ide-ide tersebut, termasuk juga konsep relativisme, seolah
memustahilkan penerapan sistem Islam dalam kehidupan, sehingga masyarakat Islam akan menjadi
masyarakat yang unik dan mulia. Padahal, disamping memang merupakan kewajiban, penerapan
Islam dalam kehidupan bukanlah hal yang asing, karena sejarah telah membuktikan kecemerlangan
peradaban masyarakat Islam ketika mereka hidup dalam naungan sistem Islam selama belasan abad.
Bahkan, kondisi ini tidak saja dinikmati oleh kaum muslimin saja, akan tetapi juga dinikmati oleh
orang-orang non muslim yang hidup di dalam naungan sistem Islam tadi sebagai ahludz-dzimmah.
Sehingga wajar jika penerapan Islam secara nyata ini justru mendorong mereka secara alami
berbondong-bondong masuk ke dalam Islam. Dan umat-umat lainpun secara sukarela menyerahkan
pengaturan urusan kehidupan mereka kepada pemerintahan Islam, sebagaimana yang terjadi pada
masa Umar bin Khathab ra dan masa-masa sesudahnya. (Maha Benar Allah dengan firman-Nya dalam
QS. An-Nashr). Dan justru umat ini berubah menjadi hina di tengah-tengah umat lain tatkala mereka
meninggalkan penerapan syari’at Islam dalam seluruh aspek kehidupannya. Afalaa tatafakkaruun …..?
Dengan demikian, ide sekularisasi yang kemudian menjadi muara dari gagasan-gagasan tadi
jelas sangat berbahaya, baik dilihat dari sisi aqidah yang menafikan otoritas Allah SWT sebagai
Pengatur kehidupan, maupun dilihat dari keberanian para penggagas ide ini untuk mengubah-ubah
hukum Allah, dan menjadikan akal mereka yang terbatas sebagai sumber penetapan aturan kehidupan.
Dalam hal ini mereka menganggap, bahwa mereka berhak untuk memiliki pendapat tersendiri
mengenai hukum Allah, dengan alasan bahwa Islam memberikan berbagai aturan dalam bentuk yang
sangat umum (global) sehingga dengan demikian Islam juga memberikan keleluasaan untuk melakukan
berbagai ijtihad (rekayasa fiqhiyyah) sebagai salah satu bentuk upaya pembaharuan (tajdid). Padahal,
sekalipun pendapat tersebut benar, namun mereka memahami secara keliru (dan bahkan terkesan
emosional) mengenai konsep tajdid, sehingga mereka memutlakan proses ijtihad tersebut tanpa
batasan yang jelas.
Sesungguhnya Islam telah memberikan rambu-rambu yang jelas mengenai hal ini; yakni bahwa
tajdid merupakan upaya untuk mengembalikan pemahaman ummat pada ajaran Islam yang
sesungguhnya, setelah ternyata, bahwa Islam dipahami secara menyimpang. Dengan demikian, tajdid
tidak boleh dipahami sebagai upaya menyesuaikan Islam dengan jaman dan tempat, karena aturan
Islam bersifat tetap dan baku. Adapun berkenaan dengan proses ijtihad yang memang dimungkinkan
dalam Islam, maka Islam \pun telah membatasi wilayah ijtihad ini hanya berkisar pada hal-hal yang
memang mengandung unsur ketidakpastian (dzanni). Adapun pada ajaran yang sudah pasti (qath’I),
maka mujtahid manapun tidak berhak untuk menjamahnya. Lebih dari itu, untuk bisa melakukan
proses ijtihad ini, maka seseorang diharuskan memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang cukup berat,
baik dari sisi aqliyah (penguasaan atas fakta, nash syara dan perangkat ilmu alat)-nya maupun nafsiyah
(keterikatan terhadap hukum syara dalam perilaku)-nya, mengingat seluruh hasil ijtihadnya akan
menjadi ketetapan hukum syara’ yang berlaku bagi dirinya maupun bagi orang lain. Sehingga
merupakan suatu keberanian terhadap Allah dan RasulNya manakala orang-orang selevel Cak Nur, Gus
Dur, Alwi Shihab dan lain-lain -yang loyalitasnya tehadap Islam dan kaum muslimin layak
dipertanyakan- mengaku-aku berhak untuk ‘menterjemahkan’ kehendak Allah sesuai dengan kehendak
mereka. Padahal Allah SWT menyeru seluruh kaum mu’minin dalam firman-Nya :
“Maka putuskanlah perkara menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang padamu”. (QS. Al-Maidah : 48)
“Maka hendaknya kamu memutuskan hukum di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap (tipu
daya) mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan Allah SWT
kepadamu ….. (QS. Al-Maidah : 49)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu (Rasul) sebagai pemutus terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
sepenuhnya” (QS. An-Nissaa’ :65)
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (QS. Al-Maidah :50).
Khotimah
Dengan memahami berbagai fakta berkenaan dengan gagasan-gagasan yang dilontarkan oleh
para pemikir Islam kontemporer beserta bahaya-bahaya yang akan ditimbulkannya, maka kaum
muslimin tidak akan mudah terkecoh untuk menerima ide-ide yang dilontarkan, sekalipun dikemas
dalam bentuk yang ‘seolah-olah’ Islami dan diungkapkan oleh orang-orang yang dianggap sebagai
‘pemikir Islam’. Karena lontaran-lontaran yang diungkapkan, justru lebih menunjukkan tentang posisi
dimana mereka berada. Dalam hal ini jelas, bahwa sesungguhnya mereka tidak lebih dari para umala
dan ulama fajir yang ‘dibayar’ oleh kafir penjajah untuk merusak Islam dan menghalangi bangkitnya
Islam kembali di muka bumi.. Dan kalaupun ada di antara mereka yang ikhlas mengemban ide-ide tadi
dengan anggapan untuk membela Islam dan demi memuliakan Islam, maka seharusnya mereka segera
berhenti dari kebodohannya tersebut. Karena apa yang mereka lakukan tidak lain hanya lebih
menjerumuskan Islam dan kaum muslimin pada tempat yang lebih gelap dan hina.
Adapun upaya-upaya praktis yang bisa dilakukan untuk membendung penyebaran ide-ide
seperti ini di tengah-tengah kaum muslimin, tidak lain adalah dengan meningkatkan taraf berpikir
ummat dengan membina aqliyah mereka dan mengisinya dengan ide-ide Islam saja serta membina
nafsiyah mereka melalui proses da’wah terstruktur yang mengikuti pola da’wah Rasulullah saw.
sehingga mereka memiliki pemahaman bahwa hanya pemikiran-pemikiran Islamlah yang benar dan
bahwa hanya dengan Islam mereka akan mampu menyelesaikan seluruh problema kehidupan yang
mereka hadapi. Sehingga dengan demikian, mereka akan memiliki kesadaran politik yang mumpuni,
yang mengarah pada satu tujuan dan pengharapan, yakni terwujudnya Islam dalam kehidupan mereka.
Kesadaran politik ini pulalah yang sekaligus akan menjadi barier bagi masuknya ide-ide sejenis ke
tengah-tengah kaum muslimin dimanapun mereka berada.
_____________________________________________________________________________________
Rujukan :