Pendahuluan
Membincangkan peran gerakan muslimah dalam kebangkitan umat seakan membuka kembali catatan
sejarah panjang perjuangan Islam. Sebagaimana diketahui, sejak Rasulullah saw diutus untuk menyebarluaskan
risalah Islam, para muslimah generasi awal telah terlibat secara aktif dalam pergerakan dakwah bersama kaum
muslimin lainnya untuk melakukan transformasi sosial, mengubah masyarakat jahiliyah yang paganistik menjadi
masyarakat Islam yang Rabbani. Mereka bahkan secara bersama merasakan pahit getirnya mengemban misi
dakwah; melakukan perang pemikiran dan perjuangan politik di tengah-tengah masyarakat, hingga atas pertolongan
Allah akhirnya berhasil membangun masyarakat Islam yang agung di Madinah, yakni masyarakat yang tegak di atas
landasan aqidah dan hukum-hukum Islam.
Sejarah mencatat nama-nama besar semisal Sayyidah Khadijah binti Khuwailid ra, Sitti Fathimah Az-Zahra
ra., Asma binti Abu Bakar ra., Sumayyah ra., Ummu Habibah binti Abu Sufyan ra., Lubabah binti al-Harits al-
Hilaliyah ra., Fathimah binti al-Khaththab ra., Ummu Jamil binti al-Khaththab ra., Ummu Syarik ra., dan lain-lain
yang semenjak bersentuhan dengan Islam keseharian mereka hanya dipersembahkan demi kemuliaan Islam. Tak
satupun di antara mereka yang mau –meski sejenak-- tertinggal dari satu peristiwapun, apalagi berlepas diri dari
tanggungjawab memperjuangkan dienul haq, seberapapun besarnya resiko yang harus mereka hadapi. Sebagian
dari mereka ada yang harus kehilangan harta, terpisah dari orang-orang yang dicinta, bahkan rela ketikapun harus
kehilangan nyawa. Karenanya tak berlebihan jika dikatakan bahwa merekalah pelopor dan peletak dasar pilar-pilar
pergerakan muslimah yang hakiki, yang layak menjadi teladan pergerakan muslimah dari jaman ke jaman.
Di atas pilar-pilar inilah muslimah generasi sesudah mereka membangun kekuatan. Hanya saja yang
menjadi target perjuangan mereka tentu bukan lagi menegakkan sistem kehidupan Islam, melainkan bagaimana
berupaya mempertahankan eksistensinya agar kemuliaan ummat tetap terjaga. Di masa Khulafaur-Rasyidin dan
para khalifah sesudahnya, peran pergerakan muslimah dalam kancah kehidupan, termasuk dalam percaturan politik
tercatat demikian besar, baik dalam aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, muhasabah (koreksi) terhadap penguasa,
bahkan dalam aktivitas jihad dan futuhat. Akan tetapi uniknya, pada saat yang sama, merekapun ternyata berhasil
mencetak generasi terbaik –generasi mujahid dan mujtahid- yang mampu membangun peradaban Islam yang
tinggi, yang mengalahkan peradaban-peradaban lainnya di dunia dalam rentang waktu yang sangat panjang. Tak
heran jika umat Islam pada rentang tersebut betul-betul bisa tampil sebagai “khoiru ummah” .
Inilah sekelumit frasa sejarah mengenai keberadaan gerakan muslimah generasi Islam awal. Sebuah
gerakan yang sarat nilai-nilai Ilahiyah dan menjadi bagian pergerakan kolektif (jama’ah) Islam. Kiprah nyata
mereka ini justru telah menafikan ‘keyakinan’ dan sekaligus ‘kecurigaan’ sebagian kalangan yang berpendapat
bahwa Islam sama sekali tak memberi ruang bagi kaum perempuan untuk berkiprah di tengah-tengah umat, turut
serta membangun masyarakatnya menuju kebangkitan yang hakiki.
1
Alvarez dalam bukunya Engendering Democracy in Brazil: Women's Movement in Transition Politics (1990) mendefinisikan gerakan perempuan sebagai
sebuah gerakan sosial dan politik yang terdiri dari sebagian besar perempuan yang memperjuangkan keadilan dan jender. Definisi ini sejalan dengan realita
bahwa, sekalipun muncul dengan berbagai corak dan bentuk, gerakan-gerakan perempuan yang ada di dunia memang memiliki kesamaan perspektif, arah dan
tujuan, yakni bertumpu pada usaha memperjuangkan nasib perempuan yang selama ini dianggap terbelenggu oleh dominasi budaya patriarki yang tidak
berkeadilan jender.
laki. Bukan pula sekedar berpikir bagaimana mendekonstruksi bangunan budaya (dalam hal ini yang dimaksud
adalah agama Islam) yang dianggap terlalu memihak laki-laki hingga membuat kaum perempuan tersubordinasi.
Karena ternyata persoalan ketertindasan (perempuan), diskriminasi (perempuan), kemiskinan (perempuan) dan
sebagainya bukan sekedar persoalan perempuan versus laki-laki. Persoalan-persoalan tadi ternyata hanyalah
merupakan bagian kecil saja dari sedemikian banyak problematika yang dihadapi umat, yang jika ditelusuri ternyata
berpangkal pada akar yang sama yakni rusaknya tatanan kehidupan yang diterapkan saat ini, bukan lantaran kultur
patriarkat yang mysoginik.
Tatanan hidup yang dimaksud tak lain adalah tatanan hidup sekuleristik yang tegak di atas aqidah sekuler
yang senyatanya kini sedang mengungkung kehidupan kaum muslimin dimanapun. Aqidah ini menafikan peran Sang
Khaliq dalam pengaturan kehidupan (fashlu ad-diin ‘an al-hayaah) dan pada saat yang sama justru memberikan hak
prerogratif pengaturan kehidupan tersebut kepada manusia, sehingga manusia bertindak sebagai rabbul ‘aalamiin.
Dari aqidah rusak ini, wajar jika kemudian lahir sistem hidup yang rusak pula; sistem ekonomi kapitalistik, tata sosial
individualistic dan rancu, sistem politik opportunistik, sistem pendidikan materialistik, tatanan budaya yang
hedonistik, serta aturan-aturan cabang lainnya yang tak kalah rusaknya dan kini terus memunculkan krisis
multidimensi berkepanjangan.
Secara fakta, kerusakan ini adalah hal yang niscaya. Bagaimana bisa, manusia yang serba lemah dan
terbatas mampu membuat aturan kehidupan yang sempurna tanpa cacat, yang mampu menjamin keadilan dan
kebahagiaan bagi semua orang, sementara tentang hakekat penciptaan dirinyapun mereka tidak tahu? Sedangkan
secara aqidah, Allah SWT telah mengingatkan kita, bahwa sepanjang manusia mengingkari hak Rubbubiyah Allah,
maka manusia akan terperosok pada kehidupan yang serba sempit lagi hina.
Firman Allah Ta’ala :
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan (syari’at)Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang
sempit. Dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta" . (TQS. Thaha[20]:124)
Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan sebagaimana
orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan. Sesungguhnya Kami telah menurunkan bukti-bukti
nyata. Dan bagi orang-orang yang kafir ada siksa yang menghinakan “. (TQS. Al-Mujadilah[58] : 5)
Inilah yang dimaksudkan dengan berpikir mendasar yang tidak dimiliki perspektif feministik; berpikir bahwa
persoalan kita yang sedemikian banyak, ternyata berakar pada satu soal saja, yakni persoalan ideologis; Ketiadaan
sistem Islam. Selama persoalan ini tidak terpecahkan, maka selama itu pula kita akan larut dalam krisis tak
berkesudahan.
Dalam kerangka perjuangan mengembalikan sistem kehidupan Islam inilah seharusnya gerakan muslimah
bangkit dan bergerak mengambil peran. Yakni dengan cara bersinergi dengan gerakan umat secara keseluruhan
untuk melakukan perubahan yang bersifat mendasar. Gerakan muslimah tidak boleh lagi terus berkutat pada
persoalan-persoalan cabang (‘persoalan perempuan’), karena selain hanya akan melalaikan umat dalam persoalan-
persoalan yang parsial, lebih dari itu justru akan kian mengukuhkan dominasi sistem kufur dalam kehidupan kaum
muslimin.
--------------------