Anda di halaman 1dari 7

TUGAS REVIEW BUKU TEORI SOSIAL MODERN

ISLAM, KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DAN SEKSUALITAS

DOSEN PENGAMPU
Dr. Neng Dara Affiah, M. Si

DISUSUN OLEH
Syakira Az Zahra (11211110000013)

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2022
Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas

Disertasi ini didasarkan pada analisis isi buku, yaitu Islam, Kepemimpinan Wanita dan
Seksualitas, serta mencakup topik dan sub-bab yang dibahas dalam buku tersebut. Pada dasarnya,
buku ini merupakan jawaban atas isu sosial yang sedang berkembang, khususnya terkait dengan
hak-hak perempuan, yang telah menjadi sorotan media dan debat publik selama beberapa tahun.
Mempresentasikan kisah sukses dan capaian gerakan perempuan Indonesia. Menariknya, buku ini
menyajikan perspektif yang berbeda baik dalam Islam itu sendiri maupun beberapa agama lainnya.
Struktur buku secara umum dibagi menjadi tiga tema utama. 1) Islam dan kepemimpinan
perempuan 2) Islam dan seksualitas perempuan 3) Perempuan, Islam, negara. Dengan pemikiran
ini, saya ingin fokus pada peran perempuan dalam kepemimpinan dalam Islam dan beberapa faktor
kunci yang mendasari isu seksualitas dalam Islam.

Penulis melakukan penggambaran yang baik untuk menjelaskan pro dan kontra dari wanita
yang memiliki status dan otoritas diri. Sampai saat ini, laki-laki dan perempuan dalam masyarakat
tidak hanya berbeda tetapi juga memiliki kedudukan yang tidak setara. Wanita memiliki lebih
sedikit sumber daya materi, status sosial, kekuatan, dan peluang untuk realisasi diri daripada pria.
Oleh karena itu, penulis memaparkan pandangannya tentang kesetaraan manusia dalam agama
Islam. Islam telah menekankan bahwa kualitas kesalehan, kebaikan dan perbuatan baik selama
hidup di dunia ini yang membedakan seseorang dari orang lain. Salah satu keutamaan ajaran Islam
adalah persamaan manusia tanpa diskriminasi berdasarkan kelas sosial, kasta, ras atau jenis
kelamin. Kesetaraan manusia dapat dilihat dalam sejarah Islam yang sangat dijunjung tinggi oleh
Nabi Muhammad SAW dan memberikan kebebasan sebesar-besarnya kepada laki-laki dan
perempuan. Ketiga wanita yang dicintainya, Khadijah, Aisyah dan Fatimah, masing-masing diberi
kesempatan yang sama, terutama dalam hal menimba ilmu.

Dalam masalah ini, penulis mencatat bahwa kepemimpinan perempuan dalam Islam masih
dipandang berprasangka buruk oleh partai politik tertentu yang menentang kepemimpinan
perempuan. partai politik memiliki perempuan yang mencalonkan diri Untuk penolakan, mereka
sering mengajukan pembenaran berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an. Ada klausa seperti: Bias
didasarkan pada kata qowwam yang diartikan sebagai: Bertanggung jawab, Memiliki kekuasaan
atau otoritas, pemimpin dan penguasa, memiliki keunggulan atas orang lain. Memang, kata-kata
mengubah maknanya sesuai dengan konteks spasial dan temporalnya. Argumen tentang dominasi
laki-laki didasarkan pada asumsi bahwa laki-laki memiliki aset yang memungkinkan mereka
menafkahi istri dan keluarganya, tergantung pada kualitas masing-masing individu, bukan pada
jenis kelaminnya. Baik perempuan maupun laki-laki, apabila ia menghendaki untuk mandiri secara
ekonomi maupun unggul atas yang lainnya,maka masing-masing dari mereka ialah setara tanpa
adanya perasaan menjatuhkan. Apabila kita menoleh kebelakang,bahwa banyak perempuan dalam
sejarah Islam yang menorehkan dirinya sebagai seorang pemimpin,beberapa diantaranya seperti;
Ratu Tajul Alam Shafiyatuddinn Syah, Ratu Inayatsyah Zakiyatuddin Syah, Ratu Kalinyamat,Ratu
Pakubuwono I, serta pemimpin-pemimpin perempuan lainnya yang tidak tertuliskan namanya
dalam sejarah.

Penulis menambahkan, bahwa yang jauh lebih penting untuk diperdebatkan sebenarnya
bukan ayat-ayat tertentu,tetapi kesadaran kolektif (collective consciousness)
masyarakat,khususnya laki-laki yang seringkali masih memiliki ego yang besar sehingga menutup
batasan-batasan perempuan untuk menjadi pemimpin. Terlebih,perempuan sama halnya dengan
laki-laki yaitu memiliki otonomi diri (self-autonomy), yang artinya memiliki kewenangan dan
kebebasan dalam bertindak berdasarkan nilai dan minatnya sendiri.

Sebelum melangkah lebih jauh, perlu untuk memahami feminisme yang sebenarnya menjadi
rujukan penulis dalam isi buku ini dengan tetap berlandaskan pada ajaran Islam. Feminisme
merupakan sebuah teori yang berusaha menganalisis berbagai kondisi yang membentuk kehidupan
kaum perempuan dan melihat berbagai jenis pemahaman kebudayaan mengenai arti menjadi
perempuan. Feminism itu sendiri dimulai sejak abad ke-18 hingga abad ke-20 untuk tujuan politis
gerakan perempuan,yakni kebutuhan memahami subordinasi perempuan dan pengecualian
perempuan di berbagai wilayah sosial dan kebudayaan. Sedangkan dalam Islam,feminism disebut
pertama kali muncul di Mesir dengan tujuan menjembatani kesenjangan antara konsepsi keadilan
yang mempengaruhi dan menopang penafsiran dominan terhadap syariah dan Hukum Asasi
Manusia (HAM). Feminisme Islam mendasarkan kerangka kerjanya pada Al-Qur’an, Hadis, dan
seperangkat hukum Islam.

Mengacu pada hal tersebut, setidaknya penulis memaparkan tiga persoalan mengapa isu
gender dalam kepemimpinan nasional muncul ke permukaan. Pertama, kekecewaan dan keraguan
terhadap kualitas diri. Kedua, penentangan didasarkan pada tumpuan teologi yang
mempergunakan ayat demi ayat untuk mendukung pandangan masing-masing. Ketiga,
penentangan terhadap presiden perempuan yang muncul karena stereotype perempuan sebagai
manusia lemah begitu kuat sehingga kekhawatiran negara tidak terbendung. Umumnya,
kepemimpinan nasional tidak mempersoalkan apakah pemimpin nasional itu putra atau putri,ibu
atau bapak . Yang jauh lebih penting ialah pemimpin tersebut merupakan pilihan rakyat tanpa
adanya manipulasi tertentu.

Dalam kaitannya dengan perempuan,selama ini potensi dan kreativitas perempuan, terutama
di berbagai daerah belum sepenuhnya diberdayakan. Pada awalnya, pemerintahan negara identik
dengan pola kepemimpinan sentralistik. Namun seiring dengan berbagai mudharat yang
dirasakan,muncul upaya untuk membentuk otonomi daerah dimana baik perempuan maupun laki-
laki dapat mengatur dirinya sendiri,dapat memilih pemimpin yang dipercaya,dan terlibat dalam
suatu proses pengambilan keputusan yang adil di daerahnya. Penulis melihat bahwa perempuan di
ruang musyawarah masih di dominasi oleh laki-laki,sedangkan ruang gerak perempuan seringkali
masih terbatas. Sedangkan dalam pentas politik, perempuan yang duduk sebagai wakil rakyat di
DPR dikatakan hanya segelintir saja,dan laki-laki masih mendominasi.

Lain halnya, penulis memaparkan salah satu sosok Kartini yang sangat dihargai olehnya,
yakni H. Siti Masyitoh yang kebetulan merupakan Nenek dari penulis. Beliau merupakan
seseorang yang sangat berdedikasi tinggi terhadap ilmu pengetahuan, khususnya pendidikan Islam.
Meski dahulu beliau tidak mengenal kata feminis, tetapi sepanjang karirnya mencerminkan nilai-
nilai feminis,seperti memiliki kemandirian dan kemerdekaan atas dirinya. Namun, kontribusi yang
beliau curahkan dalam dunia pendidikan tidak pernah tertulis dalam sejarah.

Masih dalam perspektif feminis, melalui buku ini juga penulis ingin melihat bagaimana
kontrol seksualitas perempuan seperti halnya Ziba Mir dan Vanja Hamzic dalam bukunya yang
berjudul Control and Sexuality: The Revival of Zina Laws in Muslim Context. Sebagaimana
dinyatakan Catherine MacKinon bahwa seksualitas bagi feminism sama seperti halnya kerja bagi
marxisme,yaitu sesuatu yang paling dimiliki seseorang,tetapi yang paling dirampas darinya.
Terdapat suatu pemahaman mengenai perempuan yang dianggap sebagai sumber fitnah,yang
dimaknai sebagai rayuan seksual,sumber bahaya,kerusakan sosial,dan kekacauan. Salah satu poin
yang sangat membuat saya tertarik dari penulis ialah anggapannya bahwa perempuan dipotret
sebagai manusia yang tidak utuh.
Meskipun dalam era reformasi ini perempuan telah mendapatkan ruang yang cukup
signifikan,seiringan dengan itu terjadi kemunduran yang bersifat paradox disertai penolakan yang
cukup tajam terhadap gagasan-gagasan yang diperjuangkan oleh kelompok gerakan perempuan
yaitu feminisme. Anggapan perempuan masih dilihat sebagai manusia yang tidak utuh dapat
terlihat dari maraknya kekerasan dan marginalisasi terhadap perempuan atas nama agama.
Marginalisasi merupakan usaha untuk membatasi atau pembatasan. Penulis memfokuskan
kekerasan dan marginalisasi yang ditujukan kepada kelompok perempuan Ahmadiyah di Jawa
Barat dan NTB. Setidaknya terdapat beberapa dampak yang dihasilkan dari fenomena tersebut.
Pertama, kekerasan seksual. Kedua, pengucilan dari komunitas. Ketiga, kutipan media. Keempat,
penurunan kesehatan dan gangguan jiwa. Keempat, hilangnya akses ekonomi. Kelima, kehilangan
hak untuk berkeluarga. Keenam, kehilangan status kependudukan. Dapat dilihat dari enam dampak
tersebut, maraknya kekerasan dan marginalisasi terhadap perempuan tidak dapat menutup mata
kita bahwa perempuan masih dianggap sebagai objek oleh masyarakat luas.

Akhir kata, demikian tulisan saya mengenai Islam,Kepemimpinan Perempuan,dan


Seksualitas karya dari seorang muslimah feminis Neng Dara Affiah. Buku ini sangat menarik
dengan pembahasan yang ringan dan mudah dipahami. Buku ini juga diharapkan dapat menjadi
rujukan dalam menggali lebih isu-isu mengenai perempuan,khususnya kiprah feminisme dalam
perspektif Islam dan beberapa agama lainnya.
Gambar 1.1

Judul : Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas

Penulis : Neng Dara Affiah


Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Cetakan : Jakarta, Desember 2017

Tebal : 200 Halaman

ISBN : 978-602-433-555-7

Anda mungkin juga menyukai