Anda di halaman 1dari 6

REVIEW BUKU

“ ISLAM, KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DAN SEKSUALITAS”


KARYA NENG DARA AFFIAH
Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Teori Sosial Modern

Dosen Pengampu:
Dr. Neng Dara Affiah, M.SI

Oleh: Siti Rohmah


11181110000050

Data Buku:
Penulis : Neng Dara Affiah
Judul : Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas
ISBN : 9786024335557
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Cetakan : Jakarta, Desember 2017
Tebal : 200 halaman
Buku Islam, Kepemimpinan Perempuan dan seksualitas ini ditulis oleh Ibu Neng Dara
Affiah yang merupakan salah satu penggiat feminisme sekaligus menjadi aktivis gender di
lingkungan Islam terkhusus di organisasi Nahdatul Ulama. Buku ini begitu menginspirasi
saya, dan menambah wawasan mengenai feminisme dipandang dari nilai-nila atau sumber
utama ajaran agama Islam, yaitu Al-Qur'an dan Hadist. Terdiri dari tiga bab dengan masing
setiap bab terdapat sub-bab membuat siapapun yang membacanya akan terasa ringan dan
mudah. Bab pertama berisikan mengenai Islam dan kepemimpinan perempuan; kedua, Islam
dan Seksualitas Perempuan; ketiga, Perempuan, Islam dan Negara. Dari ketiga bab tersebut
akan saya jabarkan salah satu diantaranya yaitu bab tiga tentang Prempuan, Islam, dan
Negara. Serta akan memaparkan bagaimana ulasan mengenai hal-hal yang dibahas dalam bab
tersebut.

Pada bab yang terakhir atau ketiga yaitu tentang Perempuan, Islam, dan Negara
secara menyeluruh menjelaskan dan menggambaran mengenai gerakan-gerakan perempuan
Islam di Indonesia. Penulis menjelaskan bahwa sejak dawarsa 1990-an organisasi islam dan
organisasi gerakan perempuan islam muncul dengan gerakan yang progresif. Hal itu
bertujuan untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan
menaikkan derajat perempuan di Indonesia. Perkembangan dan pertumbuhan gerakan
feminisme pada masa orde baru dan era reformasi di dalangi oleh dua faktor.

Pertama, karena situasi politik represif pada masa kepemimpinan Soeharto yang
menempatkan perempuan semata-mata hanya bisa melakukan peran tradisional, seperti
berdiam diri hanya menjadi istri dan ibu. Para perempuan tidak dapat menjadi seorang
pemimpin dalam masyaralat ataupun negara. Kedua, dihapuskan nya segala bentuk
diskriminasi dan di buatnya UU No. 7/1984 yang mengakui hak asasi perempuan sebagai hak
asasi manusia serta menjamin pendidikan dan partisipasi politik setara dengan laki-laki.
Selain itu, terdapat faktor lain yang turut berkontribusi terhadap terhadap berkembangnya
gerakan feminisme dan Islam adalah adanya pertukaran informasi dan interaksi antara
sarjana dan aktivis muslim Indonesia dengan dunia luar.

Setidaknya ada dua model organisasi yang mengintegrasikan paradigma feminisme


dalam kerangka kerja untuk menegankkan hak-hak perempuan dalam konteks organisasi
islam progresis di Indonesia. Pertama, paradigma yang diintegrasikan kedalam kerja
organisasi. Kedua, kerja-kerja organisasi dengan fokus feminisme dan islam lalu
menerjemahkannya dalam bahasa sederhana, lalu disosialisasikan melalui media-media
perempuan.

Berikutnya penulis menggambarkan gerakan perempuan dalam pembaharuan


pemikiran islam Indonesia seperti dalam kongres perempuan 1928, organisasi walfadjri
melontarkan pemikiran yang sangat maju pada masanya, yakni tentang adanya pembaharuan
hukum perkawinan dalam islam, misalnya tentang hak cerai bagi perempuan, usia nikah
perempuan, perlindungan laki-laki terhadap keluarga, dan lainnya. Masih dalam kurun waktu
yang sama, Agus Salim dalam kongres Jong Islamieten Bond (JIB) pada 1925 di Yogyakarta
menyampaikan cermah yang berjudul "Tentang Pemakaian Kerudung dan Pemisahan
Perempuan". Pada inti ceramahnya ia menyatakan masyarakat islam mempunyai
kecenderungan memisahkan perempuan di wilayah public dan menempatkannya dipojok
ruangan, misalnya di masjid-masjid atau dalam rapat-rapat dengan kain putih yang disebut
hijab. Tindakan itu dipercaya sebagai ajaran islam, akan tetapi pada faktanya menurut salim
itu merupakan tradisi Arab dimana praktik yang sama dilakukan oleh umat nasani dan yahudi.
Oleh karenanya umat islam hendaknya mempelajari islam secara benar agar memahami
makna yang tekandung didalamnya.

Dalam perkembangan selanjutya penulis menuliskan mengenai pendekatan


transformasi social yang dikembangkan oleh Masdar F. Masudi P3M (Perkumpulan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) lahirlah tokoh-tokoh pesantren yang menjadi
pionir di tengah-tengah masyarakat dalam memperjuangkan keadilan bagi perempuan. Hal ini
berarti pemikiran pembaharuan pemikiran islam bukan hanya sekedar wacana tetapi dapat
diimplementasikan dalam bentuk gerakan social. Selain itu membawa perkembangan yang
cukup mengembirakan, karena ada pergeseran orientasi keagamaan dari pandangan
konservatisme ke pandangan progresif. Perubahan orientasi ini dipengaruhi K.H
Abdurrahman Wahid, Ketua Umum Tahfidziah NU yang membuka angin perubahan
pemikiran secara signifikan dalam penyegaran pemikiran Islam.

Pada masa pemerintahan Presiden Wahid pula dipersiapkan draf perundang-undangan


Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (RAN-PKTP) yang
pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri (2004) disahkan menjadi Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Undang-undang ini bertujuan
mencegah segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, melindungi
korban dan menindak pelakunya.
Namun, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi gerakan-gerakan tersebut pada era
demokrasi, pada masa ini pula terjadi penolakan yang cukup tajam terhadap gagasan yang
diperjuangkan oleh kelompok gerakan perempuan. Misalnya, muncul dari organisasi wanita
HTI yang melakukan aksi unjuk rasa pada hari ibu 22 Desember 2006 penolakan terhadap
konsep-konsep kesetaraan gender. Penolakan ini disasarkan pada argumentasi bahwa
kesetaraan gender merupakan misi liberalisasi yang hendak disebarkan kepada muslim
perempuan dis seluruh dunia. Selain itu berkembang dan diterapkannya sejumlah perda-perda
yang bernuansa Islam puritan dan cenderung kembali pada kemunduran perempuan.
Misalnya saja di Aceh yang mewajibkan semua perempuan keluar dengan menggunakan
jilbab.

Meskipun sejumlah kemajuan sudah dicapai gerakan perempuan di era reformasi ini,
misalnya dengan berdirinya Komnas Perempuan dan lain sebagainya, terdapat fakta bahwa
marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan juga masih marak terjadi terutama pada
kelompok minoritas. Wujud dari marginalisasi dan kekerasan tersebut adalah: 1) pembatasan
hak kemerdekaan berekpresi dalam berbusana dengan mewajibkan perenpuan menggunakan
pakaian standard agama mayoritas. Misalnya saja siswa-siswa perempuan di sekolah-sekolah
menengah negeri dibeberapa wilayah di Indonesia. 2) pembatasan akses pada pekerjaan dan
ekonomi dengan pembijakan pembatasan keluar malam bagi perempuan hingga pukul 22.00
sebagaimana yang terjadi di wilayah Sumatera Barat. 3) pengesahan undang-undang
pornografi yang mengutamakan standard nilai moral agama mayoritas dan cenderung
mengabaikan pelbagai keragamaan nilai yang menjadi karakter bangsa Indonesia kedalam
hokum nasional. 4) penyerangan terhadap komunitas Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di
beberapa tempat yang berdampak pada kekerasan perempuan kelompok minoritas ini.

Kemudia argument-argumentnya menjelaskan mengenai adanya unsur nilai patriarki


dan sectarian dalam wajah dakwah dikalangan komunitas Islam. Penulis memaparkan bahwa
model pengajaran dan materi keagamaan yang dinuklil oleh para Kiai dari kitab-kitab
berbahasa Arab, jauh dari muatan nilai-nilai agama yang bersifat membebaskan, dan
memiliki nilai-nilai kesetaraan gender. Sebaliknya, ia sarat dengan muatan nilai yang
mengutamakan laki-laki (patriarki), penuh kebencian terhadap agama berbeda dan mereduki
agama dari tatanan ritual, bukan spiritual. Selain itu komunitas ini menjadi ajang pengukuhan
nilai-nilai patriarki. Missal, seorang istri dimaksudkan untuk menjadi ‘ladang’ bagi suami.
Sebagai lading ia harus bersedia dicangkul kapanpun. Menurutnya pengajaran agama macam
ini cenderung membetuk fanatisme buta kelompok.

Selain itu, penulis memperkenalkan istilah ‘Preman Berjubah’ yang menurutnya para
preman berjubah ini meminjam istilah Buya Syafi’I Maarif, tampak sering membantu aparat
hukum dalam merespon pelbagai kekacauan yang sering terjadi pada saat itu. Perkembangan
lebih lanjutnya mereka seperti percaya diri bertindak seolah-olah aparat penegak hukum.
Mungkin kelompok ormas ini berniat memerangi kemaksiatan sesuai dengan ajaran Islam.
Namun, hal yang mesti mereka tahu adalah meskipun Indonesia ini mayoritas beragama
Islam, tapi yang taat mengikuti ajrannya juga minoritas. Hal yang sangat disyangkan oleh
penulis adalah sikap pemerintah terhadap kelompok ormas ini yang cenderung tidak dapat
melawan. Pemerintah tidak berani menghalau pelbagai tindakan yang merugikan banyak
pihak yang disebabkan oleh ormas tersebut.

Dalam topik lain dijelaskan pula peran pria dalam memperjuangkan perempuan,
seperti Agus Salim. Sealin itu, pada 1990-an muncul nama-nama pria seperti Mansour Faqih,
yang mengenalkan konsep kesetaran dan keadilan gender melalui beberapa buku dan bentuk
pendidikan yang diadopsi oleh sejumlah organisasi gerakan perempuan.

Pada bagian keperawanan (virginitas) dalam perspektif Islam penulis juga


memunculkan argument-argument keperawanan seperti: 1) status perawan sering
diperhadapkan dengan perempuan yang sudah kawin atau janda. Misalnya saja, perempuan
yang masih perawan dalam perspektif Islam mempunyai nilai jual yang lebih tinggi
dibandingkan janda. 2) perspektif kedua berkaitan dengan ajaran Islam yang memrintahkan
penganutnya untuk menghindari hubungan seksual di luar nikah (zina). 3) keperawanan
sebagai kontruksi ‘harga’ dan lambing kesucian bagi seorang perempuan. Dalam masalah
keperawanan pihak perempuan selalu dalam posisi yang dipersalahkan, padahal laki-laki
yang biasanya memulai dengan tipuan dan rayuan. Tetapi mengapa hanya perempuan yang
menjadi korban dari tindakan tersebut?

Dalam banyak komunitas muslilm di Indonesia dan di berbgai belahan dunia, ada
berbagai aturan tertulis maupun tidak tertulis agar perempuan terpelihara keperawananny.
Penulis memberikan contoh, misalnya mereka dipinggit dalam rumah, tidak boleh keluar
malam, tidak boleh bergaul dengan laki-laki dan harus memakai pakaian yang dipandang
tidak memikat laki-laki. Bahkan banyak diantara mereka yang keluar rumahpun harus
ditemani muhrim. Akibatnya, ruang gerak perempuan terbatas yang kemudian membentuk
mentaltas perempuan bergantung pada laki-laki.

Dan terakhir penulis membicakan mengenai Inses (hubungan darah) dalam perspektif
agama Islam. Inses adalah praktik seksual yang dilakukan oleh seseorang terhadap anggota
kelurga dekatnya. Misalnya, ibu dan anak, ayah dan anaknya, kakak dengan adiknya, dan
lainnya. Dalam Islam, umpamanya Al-Qur’a secara eksplisit melarang hubungan inses ini
(terdapat dalam surat An-Nisa:23). Namun, perilaku inses ini dalam perspektif agama belum
dilihat sebagai bentuk kekerasan secara spesifik terhadap perempuan, melainkan hanya hanya
dilihat sebagai bentuk kejahatan umum.

Anda mungkin juga menyukai