Nim : 200801012
Bacaan 1
Karya dan profilnya : Kathryn Robinson, Kathryn Robinson adalah seorang antropolog
yang banyak bekerja di Sulawesi Selatan, Indonesia. Penelitiannya berkaitan dengan
partisipasi sosial perempuan kontemporer di Indonesia, termasuk aktivisme politik
perempuan, Islam, dan migrasi tenaga kerja perempuan internasional. Proyek penelitian saat
ini mencakup studi tentang perkawinan internasional yang dimediasi jaringan antar dan
strategi untuk pembangunan tingkat lokal berdasarkan 'ekonomi yang beragam'. Dia telah
menerbitkan secara luas pada nikel Soroako
tahun keluarnya jurnal : Social Analysis, Volume 50, Issue 1, Spring 2006, 171–177 ©
Berghahn Journals
rangkuman isi jurnal : Kumpulan tulisan feminis Islam ini menentang interpretasi teks-teks
Islam yang bias gender. Ia mengusulkan rekonstruksi nilai-nilai Islam, menyiangi Pengaruh
Islam pada Feminisme Indonesia Mengeluarkan tradisi patriarki yang telah mengakar dalam
pemikiran dan praktik Islam, yang bertentangan dengan semangat egaliter sejati nilai-nilai
Islam (Viviani 2001). Perempuan menggunakan Islam dan strategi interpretatif untuk
menantang hak prerogatif laki-laki. Penulis seperti Mernissi dan Hassan berpendapat bahwa
tidak ada ayat dalam Al Qur'an yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan
berbeda. Mernissi menggunakan semantik dan menimbang konteks sejarah (asbab al-nuzul)
dalam analisis ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits (laporan dan kata-kata dan tindakan Nabi).
Praktik diskriminatif muncul dari interpretasi yang bias gender terhadap Al-Qur'an dan
Hadits. Pendukung kesetaraan gender lebih memilih pendekatan interpretasi yang kontekstual
daripada tekstual (literalis), karena hampir semua ayat yang mengacu pada gender dalam Al-
Qur'an dan Hadits dapat dipahami dalam konteks historis pada saat turunnya wahyu. (asbab
al-nuzul). Perbedaan lokal melekat dalam transmisi Islam, dan kekhasan lokal ini dapat
menjadi dasar doktrin. Sebagai contoh, kisah dalam Hadits Bukhari tentang penciptaan Hawa
dari tulang rusuk Adam menunjukkan pengaruh ide-ide Yahudi-Kristen. Penting untuk
memahami dimensi metaforis makna dan menguji kebenaran dan kredibilitas hadis (sanad
shahih, aturan yang digunakan para ulama untuk menilai kebenaran rantai transmisi).
Pertimbangan lain dalam penafsiran adalah mata rantai transmisi (jalur periwayat), substansi
berita (matan), dan sejarahnya (asab al wurud). Tradisi penafsiran ini digunakan oleh para
pendukung kesetaraan gender untuk menantang apa yang dianggap sebagai interpretasi
misoginis, dan untuk memperdebatkan Al-Qur'an sebagai dasar kesetaraan gender.
Pendukung pandangan ini berpendapat bahwa salah satu tujuan Al-Qur'an adalah untuk
mengubah realitas sosial secara bertahap dan bertahap (bi al-tadri), termasuk bidang
hubungan gender. Mereka menegaskan bahwa gagasan perubahan sosial bertahap adalah
fundamental bagi Al-Qur'an. Pertarungan tekstual tentang peran sosial yang pantas bagi
perempuan muncul dalam debat publik atas pertanyaan, bisakah seorang perempuan menjadi
presiden negara mayoritas Muslim? Pada 1999, opini negatif muncul sebagai serangan yang
cukup transparan terhadap pencalonan Megawati Sukarnoputri. Cendekiawan Islam pria dan
wanita membela haknya untuk mencalonkan diri, memperdebatkan kasus mereka berdasarkan
interpretasi tekstual (Robinson 2004). Membanjirnya literatur feminis Islam baru
menggambarkan karakter kosmopolitan pemikiran sosial dan politik Islam sebagai tandingan
dan pelengkap pemikiran Barat (serupa dengan perkembangan politik nasionalis). Ada
kelompok penting dari aktivis perempuan terkemuka (banyak di antaranya diuntungkan dari
berkembangnya pendidikan Islam di masa Orde Baru) yang berpendapat bahwa feminisme
tidak eksklusif untuk kosmopolitan Barat. Mereka memandang Islam sebagai dasar dari
gerakan feminis yang khas dan bentuk unik dari kesetaraan gender. Pada rubrik Senin di
harian utama Jakarta, Kompas (Swara), diedit oleh Lies Marcoes-Natsir, para intelektual
Islam Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, terlibat dalam perdebatan ini, seperti
yang mereka lakukan di situs web organisasi seperti Jaringan Islam. Liberal dan Rahima.
Banyak dari para intelektual ini aktif dalam organisasi-organisasi Islam besar, Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah.
Argumen saya tentang artikel ini adalah , di sini menjelaskan tentang munculnya
beberapa komentator melihat munculnya politik Islam sebagai ancaman terhadap kebebasan yang
baru dicapai. Segera setelah perempuan dibebaskan dari batasan 'ibuisme negara', yaitu kebijakan
resmi yang mempromosikan peran istri dan ibu (ibu) Orde Baru yang mendukung familisme patriarki
sebagai landasan politik otoriter,namun di dalam artikel tersebut memiliki kekurangan yaitu tidak
adanya ayat-ayat atau hadist untuk memperkuat artikel tersebut .
Bacaan 2
\
Bacaan 3
Rangkuman bab 1 dan 2 : bab 1 Warisan kolonialisme Eropa dan Amerika adalah kehadiran
bayangan dalam materi kurikuler yang menghadirkan perbedaan melalui lensa hierarki dan
hubungan kekuasaan. Postkolonialisme dalam pendidikan menciptakan pemutusan dengan
kolonialisme dan revisi kritis kurikulum yang diresapi dengan ketidakadilan dan hierarki.
Kolonial dan pascakolonial adalah oposisi persepsi, mewakili pola pikir bukan periode
waktu; mereka dapat berada di negara, lingkungan, atau orang yang sama, terlepas dari posisi
sosial atau budaya. Upaya untuk membedakan kolonial dari pascakolonial bukanlah proyek
yang jelas, tetapi pekerjaan yang rumit dan berantakan yang selalu terbuka untuk revisi dan
perubahan. Penggunaan kata “postkolonial” dalam judul buku ini mengharuskan saya
membongkar terminologi dan mempertanyakan “pos”. Saya tidak percaya bahwa kita berada
dalam periode waktu setelah atau di luar kolonialisme; kolonialisme masih hidup dan sehat,
meskipun biasanya disebut dengan nama lain yang lebih ramah. Bagi kita di apa yang disebut
barat, dunia pertama, dunia maju, utara, atau penjajah, kita diberitahu bahwa teknologi dan
demokrasi kita membuat kita menjadi mercusuar harapan yang bersinar bagi "orang lain" itu,
non- barat, dunia ketiga, dunia berkembang, selatan, terjajah. Dalam pendidikan resmi kami
di sekolah dan dalam pendidikan tidak resmi kami di media, warisan kekuasaan dan hak
istimewa yang berpusat di Eropa dan Amerika Serikat selama era kolonial tetap ada.
Meskipun kolonialisme tidak disukai dalam retorika, eksploitasi serupa atas sumber daya
manusia dan alam terjadi atas nama pasar negara berkembang dan ekonomi transnasional.
Dan jejak kolonial ada di sekitar kita, di mana pun kita berada dalam kaitannya dengan mitos
kemajuan dan pembangunan
Argumen saya tentang Buku ini adalah saya melihat bahwa dalam bacaan ini terdapat upaya
untuk menelusuri sejarah dan jejak kontemporer pendidikan kolonial, khususnya melihat
representasi perempuan dalam teks, media, dan seni kolonial dan pascakolonial. Apa artinya
menyikapi kolonial dan postkolonial di era korporasi transnasional dan globalisasi kita
sekarang ini? Saya percaya seseorang tidak dapat mendiskusikan hubungan global
kontemporer tanpa mengakui sejarah dan warisan kolonialisme yang berkelanjutan. Selain
itu, saya mencoba membuat peta parsial dari bentuk representasi pascakolonial yang
menumbangkan hierarki dan asumsi kolonial. Proyek ini sangat besar dalam lingkup dan visi,
sementara dibatasi oleh posisi budaya sendiri dan pemadatan realitas teoritis dan sejarah
yang kompleks ke dalam ruang yang relatif singkat.