Anda di halaman 1dari 12

Nama: Nuraisyah

Nim : 21200012074
Kelas : Psikologi Pendidikan Islam

Wanita Muslimah, Visi Moral: Globalisasi dan Kontroversi Gender di Indonesia

Pendahuluan

Tahun-tahun sejak runtuhnya rezim Suharto telah ditandai dengan perdebatan yang
memecah belah di tanah air. Sejak tahun 1998, masyarakat Indonesia disibukkan dengan
kontroversi isu-isu seperti pornografi, poligami, hukum Islam, aborsi, dan homoseksualitas.
Perdebatan ini dimainkan di media massa, di internet, di parlemen, dan di jalan-jalan kota besar,
di mana mereka menjadi bahan demonstrasi dan bentuk aksi kolektif lainnya. Perdebatan-
perdebatan ini rumit dan melibatkan gagasan-gagasan yang saling bersaing tentang keluarga,
gender, hubungan antara Islam dan negara, dan kebaikan bersama. Sedang artikel yang ditulis
oleh Rachel Rinaldo ini memfokuskan bagaimana proses global yang terwujud dalam konteks
lokal.

Debat moral di Indonesia menunjukkan cara penting di mana wacana global


dinegosiasikan dalam pengaturan nasional. Penulis mengkaji dua wacana global: feminisme dan
ide terkait dengan kebangkitan Islam. Indonesia adalah tempat yang ideal untuk mempelajari
manifestasi lokal dari wacana-wacana ini. Mengingat negara ini memiliki populasi Muslim
terbesar di dunia dan dalam beberapa tahun terakhir kebebasan politik baru telah memungkinkan
perdebatan sengit di ruang publik. Fokus penulis adalah bagaimana aktivis perempuan
menyesuaikan wacana global sebagai bagian dari seruan mereka untuk reformasi politik. Yang
menarik adalah bagaimana aktivisme mereka dibentuk oleh keanggotaan mereka dalam organisasi
nasional, khususnya pendekatan yang berbeda untuk menafsirkan teks-teks Islam yang dipelajari
wanita dalam hal ini organisasi nasional.

Dalam debat, beberapa perempuan saleh menggunakan wacana feminisme dan Islam
liberal untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan, sementara yang lain menggunakan Islam
untuk menyerukan regulasi moral yang lebih besar di masyarakat. Di sini penulis memiliki
argumen utama bahwa wacana global feminisme dan kebangkitan Islam dimediasi melalui
organisasi nasional yang membentuk aktivisme politik perempuan dan menyalurkan aktivisme
mereka ke arah yang berbeda.

Analisis penulis adalah tentang bagaimana aktivis perempuan Indonesia terlibat dengan
feminisme juga mengacu pada literatur tentang feminisme transnasional. Dalam penelitian ini
penulis telah memetakan bagaimana ide-ide feminis telah menyebar ke seluruh dunia terutama
sejak tahun 1980-an, telah dimasukkan ke dalam agenda internasional, nasional, dan organisasi
akar rumput. Ini tentu bukan pertama kalinya ide-ide feminis diglobalkan tetapi, seperti yang
Moghadam berpendapat, jaringan feminis transnasional menyediakan mode mobilisasi baru
untuk gerakan feminis di seluruh dunia. Meskipun sedikit perhatian diberikan pada bagaimana
konteks nasional membentuk proses ini, aspek penting dari penelitian ini adalah penekanan pada
bagaimana wacana feminis ditransformasikan dalam konteks lokal. Para ahli berpendapat bahwa
perempuan sering dilihat sebagai perwujudan identitas nasional atau komunitas. Pada masa
pergolakan sosial, tubuh dan perilaku perempuan sering menjadi fokus perhatian. Perubahan
sosial juga menimbulkan ketegangan yang menjadi perdebatan yakni bagaimana peran
perempuan yang tepat dalam masyarakat.

Wacana kedua yang dikaji adalah terkait kebangkitan Islam, sebuah gerakan keagamaan
yang menekankan bentuk-bentuk nyata dari praktik saleh. Muncul di Timur Tengah pada 1970-an,
telah berpengaruh di Asia dan Afrika (Juergens Meyer, 2005; Roy, 2004). Kebangkitan Islam
mencakup banyak arus tetapi sebagian besar perhatian terfokus pada Islam politik, atau gerakan-
gerakan yang berusaha membawa Islam ke dalam negara. Ulama lain mencatat gerakan
kesalehan yang mengedepankan dakwah dan berusaha menanamkan nilai-nilai Islam dalam
semua aspek kehidupan, tetapi tidak harus terlibat dalam politik (Mahmood, 2005). Yang kurang
terlihat dalam diskusi ilmiah adalah Islam liberal, yang menerapkan pendekatan kritis dan
kontekstual terhadap teks-teks Islam untuk menyelaraskan Islam dengan ide-ide hak asasi
manusia (Kurzman, 1998). Salah satu alirannya yang paling dinamis adalah feminisme Islam
atau Muslim, yang mengintegrasikan Islam dengan cita-cita feminis.

Kesamaan antara feminisme transnasional dan kebangkitan Islam adalah bahwa


keduanya merupakan orientasi etis yang mungkin menuntut perubahan tatanan sosial, terutama
yang terkait dengan peran gender dan keluarga. Meskipun tidak ada wacana yang monolitik,
wacana itu mencakup tentang bagaimana laki-laki dan perempuan harus berhubungan satu
sama lain, mengatur rumah tangga, dan bereproduksi. Beredarnya wacana global ini memicu
perdebatan tentang perilaku perempuan dan dan hak-hak perempuan. Dalam hal ini kita bisa
melihat bagaimana konteks nasional membentuk para aktivis perempuan Indonesia memaknai
dan menegosiasikan wacana-wacana global tersebut.
Adapun fokus objek penelitian dalam artikel yang ditulis oleh Rachel Rinaldo yakni
perempuan Muslim dari dua organisasi nasional; Fatayat Nahdlatul Ulama, dan Partai Keadilan
Sejahtera dan bagaimana mereka mengintervensi perdebatan tentang pornografi dan poligami.

Tinjauan Teoritis

Dalam kajian ini, penulis menggunakan cara pandang Sassen dalam memahami
hubungan antara global dan nasional. Sassen telah membantu ketentuan debat terkait
globalisasi dan pemerintahan dengan menunjukkan bagaimana tatanan global saat ini dibentuk
oleh institusi dan jaringan yang pada awalnya dirancang untuk membangun negara-bangsa.
Sassen juga berpendapat bahwa aspek kunci dari proses global kontemporer adalah munculnya
kumpulan khusus wilayah, otoritas dan hak yang ia sebut dengan kerangka normatif alternatif.
Sementara konsep wilayah, otoritas, dan hak sampai sekarang cukup kongruen dengan negara-
bangsa, Sassen berpendapat bahwa kita sekarang melihat munculnya tatanan normatif yang
tidak dengan rapi memetakan negara-bangsa. Perkembangan ini, menurut Sassen, menantang
otoritas moral negara-bangsa dan mewakili gerakan menuju transnasionalisasi identitas dan
bentuk kepemilikan. Pandangan Kassen ini memberikan cara berpikir baru terkait hubungan
antara global dan nasional sebagai saling memperkuat bukan bertentangan.
Dalam hal ini, penulis membangun karya Sassen menyoroti pentingnya aktivis
perempuan dalam mengadaptasi dua wacana global: feminisme dan ide-ide yang terkait dengan
kebangkitan Islam. Proses ini, menurut peulis dimediasi melalui organisasi gerakan sosial
nasional yang menyalurkan keterlibatan aktivis perempuan dengan feminisme dan Islam.
Feminisme dan kebangkitan Islam juga dapat dilihat sebagai kerangka normatif yang
menghubungkan perdebatan moral dengan berbagai visi negara-bangsa Indonesia.
Feminisme dan Islam di Indonesia

Gagasan tentang hak-hak perempuan pertama kali muncul di Indonesia pada tahun
1920-an dalam kelompok-kelompok perempuan Belanda. Namun, mereka segera menyebar ke
organisasi nasionalis, banyak di antaranya memiliki sayap perempuan. Saat itu, kesetaraan
politik perempuan sering menjadi bagian dari platform nasionalis, tidak terkecuali Indonesia.
(Jayawardena, 1986)
Pada tahun 1920-an dan 1930-an, perempuan Indonesia juga aktif dalam organisasi-
organisasi Muslim. Namun, wanita sekuler dan Muslim sering terbelah, terutama dalam hal
masalah seperti poligami (Robinson, 2009). Setelah kemderdekaan, konstitusi menjamin
persamaan hak kewarganegaraan bagi laki-laki dan perempuan, tetapi hanya sedikit
perempuan yang terlibat dalam politik formal.
Setelah percobaan kudeta pada tahun 1965 dan represi kekerasan yang mengikutinya,
pemerintah Suharto mengikat perempuan ke dalam organisasi negara yang dikendalikan dan
menekankan peran mereka sebagai istri dan ibu. Namun demikian, perluasan sistem pendidikan
memfasilitasi munculnya lebih banyak perempuan yang bisa aktif dalam kehidupan publik.
Karena adanya penekanan dari internasional tentang hak-hak perempuan, pemerintah
membentuk kementrian untuk peran wanita pada tahun 1987. Kemudian pada tahun 1984,
meratifikasi “Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan”. Aktivisme independen perempuan dihidupkan kembali pada 1980-an. Wanita
Indonesia yang hadir pada konferensi PBB tentang perempuan terinspirasi untuk mendirikan
LSM (Robinson, 2009; Brenner. 2005) dan beberapa menerima donor dari internasional. Pada
tahun 1990-an, jaringan LSM perempuan aktif di Indonesia dan kata-kata “kesetaraan gender”
dan “feminisme” menjadi populer di kalangan gerakan mahasiswa yang sedang berkembang.
Hingga pertengahan 1990-an, stereotip “aktivis wanita” Indonesia adalah wanita sekuler
dari latar belakang elit (Robinson, 2009). Terjadi reaksi balik menentang feminisme, dengan
lawan menuduhnya merusak nilai-nilai agama. Namun, dalam dekade terakhir, wacana
kesetaraan gender telah diangkat oleh beberapa aktivis Muslim. Feminisme tidak hanya
menemukan lahan subur dalam sejarah nasional Indonesia yang memobilisasi perempuan,
tetapi aktivisme demkrasi pada 1990-an memperkenalkan kembali banyak perempuan
Indonesia yang terlibat dalam ide-ide tentang hak-hak perempuan dan dan kesetaraan gender.
Hal ini membantu meletakkan dasar bagi jaringan perempuan saat ini, beberapa diantaranya
melihat diri mereka sebagai bagian dari organisasi transnasional.

Reformisme Islam juga memberi ruang bagi perempuan. Pada tahun 1917,
Muhammadiyah yang modernis mendirikan Aisyiyah, organisasi wanita Muslim formal
pertama. Aisyiyah mempromosikan pendidikan agama untuk anak perempuan dan perempuan
(Van Doorn-Harder, 2006). Nahdlatul Ulama didirikan pada tahun 1926 sebagai reaksi
terhadap Muhammadiyah, tetapi tidak termasuk wanita sampai berdirinya Muslimat (untuk
wanita yang lebih tua) pada tahun 1946 dan Fatayat (wanita yang lebih muda) pada tahun
1950.
Pengaruh Islam transnasional menjadi berpengaruh lagi pada akhir 1970-an sebagai
bagian dari kebangkitan Islam global (Sidel 2006; Hefner, 2000). Kebangkitan Islam di
Indonesia didorong oleh orang Indonesia yang menerima beasiswa untuk belajar di Timur
Tengah. Beberapa dari mahasiswa ini membawa kembali ide-ide Ikhwanul Muslimin, yang
menekankan Islam sebagai cara hidup dan menolak pemisahan antara agama dan politik
(Machmudi, 2008; Samping, 2006 ). Mereka membantu membangun jaringan luas kelompok-
kelompok dakwah berbasis kampus yang mengambil pendekatan Islam yang lebih literalis,
praktik-praktik saleh seperti shalat berjamaah, dan mengilhami anggota dengan kepekaan
Islam yang direvitalisasi. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) didirikan oleh para veteran
kelompok dakwah, yang terus menjadi jalur utama rekrutmen. PKS tidak memiliki hubungan
formal dengan Ikhwanul Muslimin Mesir tetapi terjemahan dari pemikir Ikhwanul Muslimin
seperti Yusuf al-Qaradawi banyak dibaca di dalam partai dan artikel oleh Qardhawi dan tokoh
Ikhwanul lainnya muncul di jurnal dan majalah yang terkait dengan partai (Machmudi, 2008 ;
Rinaldo, 2008).
Meskipun sebagian besar kisah kebangkitan Islam berfokus pada Islam politik, salah
satu perkembangan yang paling penting di Indonesia adalah liberalisasi NU selama tahun
1980-an. Aktivis muda NU berusaha mendamaikan Islam dengan HAM, demokrasi, dan
pluralisme. Mereka terinspirasi oleh reformis Muslim seperti Fazlur Rahman, yang mengajar
di Universitas Chicago dan membimbing beberapa pemimpin masa depan. Menjelang 1990-
an, para aktivis NU mempelajari tulisan-tulisan intelektual Muslim liberal seperti Abdulkarim
Soroush dan Mohammed Arkoun, yang mempopulerkan pendekatan kontekstual terhadap
teks-teks Islam (Van Doorn-Harder, 2006; Ali, 2006).
Selain itu, tulisan-tulisan feminis Timur Tengah Fatima Mernissi dan Nawal el-Sadaawi,
yang menanamkan Islam reformis dengan feminisme, sedang diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. Mereka menyerukan pendekatan revisionis terhadap teks-teks agama untuk
mempromosikan kesetaraan perempuan. Tulisan-tulisan feminis Muslim menjadi populer di
kalangan kelompok hak-hak perempuan dan aktivis mahasiswa pada awal 1990-an (Brenner,
2005).

Fatayat NU dan Partai Keadilan Sejahtera

Fatayat, didirikan pada tahun 1950, adalah sebuah organisasi untuk perempuan NU
berusia antara 25 dan 45, dan memiliki sekitar 3 juta anggota. Selama beberapa dekade,
perempuan terpinggirkan dalam NU yang secara sosial konservatif dan Fatayat pada dasarnya
adalah pembantu perempuan. Namun, kepemimpinan Fatayat banyak dipengaruhi oleh
penggabungan gagasan tentang masyarakat sipil dan hak asasi manusia ke dalam program-
program NU (Van Doorn-Harder, 2006)

Para pemimpin Fatayat juga menemukan gagasan kesetaraan gender melalui lokakarya
yang diadakan oleh Ford Foundation dan Asia Foundation, dan melalui pembacaan para pemikir
Muslim liberal. Fatayat sekarang mengambil pendekatan kontekstual dan revisionis terhadap
teks-teks Islam dan para pemimpinnya melihat hak-hak perempuan sebagai misi mereka.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) didirikan pada tahun 1998 dan merupakan salah satu
partai politik baru yang paling sukses di Indonesia. Organisasi ini awalnya menyerukan negara
Islam tetapi setelah tampil lemah dalam pemilu 1999, ia disusun kembali dengan platform yang
lebih moderat. Ia tidak lagi menyerukan hukum Syariah tetapi menganjurkan untuk menjadikan
Islam sebagai sumber kebijakan. PKS mirip dengan gerakan sosial, ia melakukan pengabdian
masyarakat dan misinya adalah untuk membawa reformasi dalam masyarakat Indonesia.

Hasil dan Pembahasan

Aktivis Perempuan dan Debat Moral: Pornografi dan Poligami

RUU pornografi yang disahkan pada tahun 2008 memicu demonstrasi kemarahan dan
berbagai artikel surat kabar dan majalah, serta perdebatan sengit di parlemen. Pornografi menjadi
topik yang semakin mengkhawatirkan banyak orang Indonesia dengan munculnya media massa
yang bebas setelah tahun 1998. Allen (2009; 2007) mencatat bahwa minat pada undang-undang
pornografi baru sedang dibangun hingga akhir 1990-an, dan Blackwood (2007) berpendapat
bahwa momentum untuk rancangan undang-undang dimulai setelah upaya kelompok agama
konservatif untuk mereformasi kode seksualitas nasional terhenti pada awal 2000-an. Undang-
undang yang lebih lama memberikan beberapa bentuk penyensoran tetap berlaku tetapi beberapa
orang Indonesia mulai merasa bahwa acara televisi dan majalah menampilkan materi pelajaran
yang lebih bersifat cabul, seperti topik yang sebelumnya tabu seperti seks sebelum menikah, atau
wanita yang mengenakan rok mini atau pakaian renang. Dalam artikel yang dimuat di mingguan
Tempo, misalnya, Syamsul Muarif, Menteri Komunikasi dan Informatika mengatakan bahwa 60
persen masyarakat Indonesia mengakses pornografi di internet dan media lainnya.

Dalam artikel Rachel Rinaldo mengangkat kasus Inul Daratista dengan kehebohan
goyang ngebornya pada tahun 2002 dan 2003. Hal ini memunculkan reaksi yang berbeda dari
aktivis organiasai nasional di Indonesia dalam hal ini yang disoroti oleh penulis yakni aktivis
perempuan Fatayat NU dan aktivis perempuan PKS.

Para wanita di Fatayat NU malah tertawa dan menjadikannya sebuah lelucon namun
bereaksi serius ketika Rhoma Irama mencela yang dilakukan oleh Inul. Intervensi Rhoma
menimbulkan reaksi aktivis perempuan bangkit membela Inul. Menurut mereka, yang dilakukan
Inul tidak menimbulkan pembangkitan gairah. Sebaliknya perempuan PKS menganggap yang
dilakukan Inul sebagai sebuah aib dan menganggap hal tersebut tidak mengangkat martabat
perempuan tetapi malah menghancurkannya. Mereka sangat menyayangkan wanita yang
dikagumi dari lekuk tubuhnya bukan karena ketajaman pikirannya.

Pada tahun 2003, perempuan PKS mengadakan seminar dan demonstrasi menentang
pornografi. Mereka mengatakan bahwa, "kita menghadapi tantangan membangun Indonesia yang
bermoral. Kita memiliki tanggung jawab kepada generasi penerus untuk membuat Indonesia
menjadi lebih baik". Yoyoh Yusroh, seorang legislator PKS dan wakil ketua pansus yang
membahas RUU tersebut, menjelaskan dukungannya terhadap undang-undang tersebut dalam
sebuah wawancara dengan Jakarta Post:

"Masyarakat kita sangat membutuhkan RUU pornografi. Tindakan pornografi (di televisi)
dan publikasi yang selama ini tidak terkendali telah merusak moral anak-anak kita, dan
harus dihentikan. Ketersediaan pornografi yang tidak terkendali juga telah merusak
banyak pernikahan. Kami juga tidak setuju bahwa RUU itu akan membahayakan hak
perempuan untuk berpakaian sesuai pilihan mereka. Setelah membahas RUU, kami akan
melindungi perempuan dari menjadi korban globalisasi. Kami akan melindungi mereka
dari menjadi korban perusahaan multinasional yang menjadikan perempuan “pasar” untuk
produk (fashion) mereka (Suryana, 2006).
Dalam hal ini, perempuan PKS mendukung untuk pembentukan RUU pornografi. Lain
halnya dengan reaksi dari perempuan dari Fatayat NU:

Adapun Fatayat, kami setuju bahwa pornografi tidak boleh diizinkan, tetapi kami juga
tidak berpikir undang-undang ini harus segera disahkan. Bukannya kita setuju dengan
pornografi, tapi banyak paragraf yang merugikan perempuan. Misalnya perempuan kalau
keluar lewat tengah malam harus ada pendamping atau bisa ditangkap. Sekarang untuk
apa itu? Sementara itu, tidak apa-apa untuk pria, dan saya pikir itu tidak adil. Jadi
menurut saya ada beberapa hal yang sangat merugikan perempuan, jadi kami
menolaknya… Ya, ada hal-hal yang saya setujui, tetapi undang-undang ini tidak
memberdayakan perempuan, malah sebaliknya.

Dalam pandangan Fatayat, masalah yang penting bagi perempuan adalah perlunya
reformasi politik dan ekonomi dan jarang menyebut moralitas sebagaimana perempuan di PKS.

PKS dan lain-lain menyalahkan globalisasi untuk peningkatan amoralitas, khususnya


apa yang mereka lihat sebagai penyebaran budaya kebarat-baratan yang disibukkan dengan
seks. Perempuan di PKS menggunakan wacana kesopanan dan moralitas Islam untuk
menyatakan bahwa gambar “pornografi” adalah ancaman bagi bangsa dan untuk menekankan
perlunya regulasi publik tentang moralitas. Sementara itu para penentang RUU tersebut
menggunakan feminisme transnasional untuk berargumen bahwa RUU tersebut akan
bertentangan dengan kemajuan menuju pemberdayaan perempuan. Secara khusus, perempuan
di Fatayat menggunakan wacana liberal tentang kebebasan, masyarakat sipil, dan hak untuk
berpendapat bahwa regulasi ekspresi negara yang lebih besar bukanlah cara untuk mencapai
kesetaraan gender. Dan mereka juga menggunakan warisan Islam mereka untuk
mempertanyakan apakah satu interpretasi tertentu tentang Islam harus memandu kebijakan
atau pembangunan nasional. Yang penting, dua cara berbeda PKS dan perempuan Fatayat
menafsirkan wacana global memiliki kredibilitas dan legitimasi terutama karena berakar pada
ideologi organisasi nasional masing-masing.

Poligami

Dalam pandangan terkait poligami, aktivis perempuan di Fatayat dan PKS memiliki
pandangan yang berbeda pula. Perempuan Fatayat NU menentang poligami dan menganggapnya
sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Menurut cendekiawan muslim Musdah Mulia yang
merupakan mantan ketua Fatayat menyatakan dalam bukunya, "Islam Mengkritik Poligami",
bahwa al-Qur'an sebenaranya bertujuan untuk menghapus poligami dan bahwa mereka yang
menggunakan al-Qur'an sebagai dalil pembenaran salah menafsirkan pesannya. Para perempuan
Fatayat NU juga mengatakan bahwa konteks al-Qur'an yang berbicara tentang poligami perlu
memperhatikan konteks sejarah. Ini dipengaruhi oleh interpretasi revisionis dari reformis seperti
Fatima Mernissi dan Ali Asghar Enginee. Para pemimpin Fatayat berpendapat bahwa kata-kata
dari ayat utama tentang poligami memperjelas bahwa laki-laki hanya diizinkan untuk menikahi
lebih dari satu istri jika mereka dapat mendukung semua istri secara setara. Mencapai hal yang
pada dasarnya tidak mungkin dilakukan di zaman sekarang ini, bantah mereka, terutama dalam
hal menangani kebutuhan emosional istri.

Maria Ulfah Ansor, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Fatayat. Dia berpendapat
bahwa praktik poligami Nabi Muhammad adalah keadaan khusus karena selama hidupnya ada
banyak janda karena konflik suku. Dia berpendapat bahwa "prinsip dasar" dari pernikahan dalam
Islam adalah monogami, dan ayat-ayat tentang poligami harus dilihat di konteks waktu dan tempat
tertentu (Ansor, 2002). “Islam tidak melarangnya, tetapi juga tidak menganjurkannya. Al-Qur'an
memiliki ayat tentang poligami, tetapi ketika dibaca secara lengkap, poligami tidak dianjurkan.
(Pambudy, 2009)

Lain halnya dengam PKS, Para pemimpin PKS berpendapat bahwa poligami harus legal
karena diperbolehkan dalam Al-Qur'an. Hal ini dianggap dapat diterima jika seorang istri tidak
dapat melahirkan anak, atau jika seorang suami memiliki hasrat seksual yang berlebihan.
Beberapa wanita PKS mengakui kepada saya bahwa mereka tidak menyukai gagasan poligami
tetapi merasa bahwa sebagai Muslim mereka harus menerimanya. Menurut mereka, poligami itu
seperti pintu darurat, kalau ada kebutuhan dan tidak bisa dipenuhi bisa menyebabkan seks di luar
nikah, AIDS, dan lain-lain.

Seperti halnya pornografi, proses global memiliki peran penting dalam perdebatan
poligami. Sekali lagi, isu-isu global dibiaskan melalui lensa nasional dan perdebatan poligami
terkait dengan persepsi krisis nasional dalam perkawinan dan moralitas, dan perjuangan atas
bentuk keluarga mana yang sesuai untuk negara modern. Bagi sebagian orang, poligami adalah
simbol gaya hidup Islam yang otentik dan saleh, sementara bagi yang lain poligami mewakili
penindasan perempuan, dan bagi sebagian nasionalis sekuler itu mewakili keterbelakangan. Ini
juga mencerminkan perjuangan tentang bagaimana agama harus ditafsirkan—secara literal
versus kontekstual—debat yang sedang berlangsung di banyak lingkungan Muslim.
Globalisasi, Debat Moral dan Gender di Ruang Publik

Perempuan di Fatayat NU mengklaim bahwa RUU pornografi mengancam kebebasan


berekspresi dan mendiskriminasi perempuan, sementara perempuan pendukung RUU tersebut
berpendapat bahwa RUU itu. diperlukan untuk memerangi degradasi moral nasional dan
mempromosikan nilai-nilai Islam. Aktivis Fayatat NU berpendapat bahwa poligami bertentangan
dengan cita-cita kesetaraan dan keadilan. Perempuan PKS berpendapat bahwa poligami adalah
hakekat Islam dan bahwa negara tidak dapat ikut campur dalam praktik Islam.

Kedua organisasi ini berakar pada tradisi politik dan Islam Indonesia. Fatayat mengacu
pada sejarah pendekatan kompleks terhadap teks-teks Islam, serta upaya pemberdayaan
perempuan yang telah berlangsung lama, sementara PKS mengacu pada warisan modernis. dan
Islam politik. Kedua kelompok juga memanfaatkan sejarah mobilisasi Indonesia perempuan di
ruang publik, baik untuk tujuan nasionalis atau kemajuan wanita.

Perdebatan ini, mengajukan visi moral yang sangat berbeda untuk masa depan Indonesia.
Perempuan Fatayat menggunakan wacana kesetaraan dan hak untuk menegaskan bahwa RUU
pornografi itu diskriminatif. Mereka juga menggunakan liberalisme, baik sekuler maupun Islam,
untuk menegaskan bahwa RUU pornografi menanamkan interpretasi yang sempit tentang Islam
di negara-bangsa. Sebaliknya, perempuan PKS menggunakan wacana kesopanan dan moralitas,
yang diilhami oleh kebangkitan Islam, untuk berargumen bahwa citra seksual mengancam
bangsa.

Dalam perdebatan poligami, perempuan Fatayat memobilisasi transnasional wacana


feminisme dan reformisme Islam yang berargumen bahwa poligami tidak melekat pada Islam,
dan melanggar kesetaraan perempuan, yang mereka pandang sebagai ruh Islam yang sebenarnya.
Sebaliknya, perempuan PKS, yang diilhami oleh wacana revivalis Islam, menentang pembatasan
poligami dengan alasan bahwa orang percaya harus mengikuti persis kata-kata Al-Qur'an.

Aktivis di Fatayat dan PKS menggunakan normatif kerangka feminisme dan kebangkitan
Islam untuk membangun argumentasi bagi masa depan Indonesia, mengedepankan visi
demokrasi plural dan kesetaraan di satu sisi, dan bangsa yang lebih Islami di sisi lain.
Kelompok-kelompok seperti PKS mengadvokasi hubungan yang lebih erat antara negara
dan Islam, sementara Fatayat mencari peran Islam di ruang publik untuk mempromosikan
keadilan dan kesetaraan, dan aktivisme mereka seputar pornografi dan poligami mencerminkan
perspektif ini. Ini adalah perjuangan di kalangan Muslim Indonesia atas makna masyarakat Islam
dan sangat dipengaruhi oleh wacana global liberal dan konservatif. Kasus Indonesia menyoroti
tidak hanya bagaimana proses global mempengaruhi perdebatan di ruang publik, tetapi juga
bagaimana gender terlibat dalam perjuangan tersebut. Aktivis perempuan memperdebatkan visi
moral yang bersaing tentang bangsa seperti apa Indonesia seharusnya.

Referensi

Ali, M. 2005. Akar Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia Kontemporer. American Journal
of Islamic Social Sciences 22(1): 1-27.
Allen, P. 2007. Menantang Keberagaman?: RUU Anti Pornografi Indonesia. Kajian Kajian Asia
31(2): 101–115.
Allen, Pam. 2009. Perempuan, Aktivisme Gender, dan RUU Anti Pornografi Indonesia.
Persimpangan: Gender dan Seksualitas di Asia dan Pasifik Edisi
19http://intersections.anu.edu.au/issue19/allen.htm#t31
Ansor, Maria Ulfah. 2002. Poligami: Manifestasi Dominasi Suami terhadap Istri. Kompas 4
Maret, 35–36.
Aspinall, E. 2005. Menentang Suharto: Kompromi, Perlawanan, dan Perubahan Rezim di
Indonesia. Stanford, CA: Pers Universitas Stanford.
Badran, M. 2008. Feminisme dalam Islam: Konvergensi Sekuler dan Agama. Oxford: Pers
Oneworld.
Blackburn, S. 2004. Perempuan dan Negara di Indonesia Modern. Cambridge: Pers Universitas
Cambridge.
Blackwood, E. 2008. Wacana Transnasional dan Sirkuit Pengetahuan Queer di Indonesia. Gay &
Lesbian Triwulanan14(4): 481–507.
Kecantikan Wanita. 2006. Aa Gym, Pengkhotbah Populer Indonesia Memicu Debat
Poligami.http://www. femalebeauty.info/2006/aa-gym-popular-indonesian-preacher-sparks-
polygamy-debate.html.
Machmudi, Yon. 2008. Islamisasi Indonesia: Bangkitnya Jamaah Tarbiyah dan Partai Keadilan
Sejahtera (PKS). E-Press Universitas Nasional Australia,
http://epress.anu.edu.au/islamic/islam_indo/html/frames.php.
Mahmood, S. 2005. Politik Kesalehan: Kebangkitan Islam dan Subjek Feminis. Princeton, NJ:
Pers Universitas Princeton.
Mir-Hosseini, Z. 2006. Pencarian Perempuan Muslim untuk Kesetaraan: Antara Hukum Islam
dan Feminisme. Pertanyaan Kritis 32(4): 629–645.
Suryana, Aan. 2006. RUU Pornografi menguat di DPR.” The Jakarta Post, Jumat 7 April. Tugal,
C. 2009. Transformasi Kehidupan Sehari-hari: Islamisme dan Teori Gerakan Sosial. Teori
dan Masyarakat 38 (5): 423–458.

Anda mungkin juga menyukai