Kelas :B
Mata kuliah : Islam Untuk Disiplin Ilmu
Dosen pengampu : Kiki Nurjaman, S.Sos., M.I.Kom.
Aksi-aksi intoleransi ini terjadi dalam berbagai aspek, lingkungan dan tingkatan. Intoleransi berlangsung
secara sistemis, dibuktikan dengan kehadiran sejumlah produk hukum yang mengakomodir pelaksanaan
aksi-aksi radikalisme. SETARA Institut mencatat terdapat 72 produk hukum daerah yang membatasi kebebasan
beragama dan praktik kepercayaan minoritas (2000-2017). Data ini juga diperkuat oleh temuan 421 hukum
daerah yang bersifat diskriminatif oleh Komnas Perempuan sampai dengan tahun 2016. Berikut ini data
pelanggaran kebebasan beragama dan isu intoleransi di Indonesia.
Grafik di atas disajikan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menunjukkan tren peningkatan
intoleransi. Intoleransi juga turut langgeng di dalam lembaga pendidikan. SETARA Institute (2016) pernah
melakukan survei terhadap 171 SMAN di DKI Jakarta dan Bandung Raya dan hasil yang didapatkan cukup
memprihatinkan. Sebagian prosentase siswa memperlihatkan dukungan terhadap terorisme dan penggantian
ideologi Pancasila. Terkait dengan pendirian rumah ibadah, 85,3% responden menolak jika ada organisasi
tertentu yang melakukan pelarangan pendirian rumah ibadah agama lain dan 4,6% responden mendukung
organisasi tertentu yang melarang pendirian rumah ibadah. Terkait sistem pemerintahan yang ideal, 86%
responden menjawab demokrasi, 11% mendukung khilafah. Bahkan, ketika ditanya soal persetujuan terhadap
organisasi yang akan menggantikan Pancasila, 5,8% responden mendukung. 96% responden menyatakan
ketidaksetujuannya terhadap ISIS, 3% menjawab tidak tahu dan 1% mendukung tindakan ISIS.
2. Radikalisme
Radikalisme adalah paham yang menghendaki terjadinya perubahan secara ekstrem sampai ke akar,
biasanya juga turut disertai oleh pengggunaan kekerasan. Radikalisme Islam merujuk pada gerakan berbasis
Islam yang drastis, kerasa dan dilakukan tanpa kompromi kepada pihak yang dianggap musuh dengan satu
tujuan perjuangan yaitu mendirikan negara Islam dengan sistem khilafah.
Radikalisme Islam setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor, baik faktor sosial maupun faktor agama.
Faktor sosial radikalisme menyangkut banyak aspek. Radikalisme ditengarai muncul karena adanya
ketidakadilan sebagai bagian dari wujud deprivasi relatif. Deprivasi relatif muncul dari rasa frustasi akibatnya
terdapatnya gap antara nilai-nilai yang diharapkan dan kenyataan. Deprivasi relatif dalam radikalisme juga
memperlihatkan bahwa ketertinggalan mendorong perilaku agresif. Dalam cakupan global, faktor ini
menyinggung dinamika politik luar negeri negara-negara blok barat dengan Islam. Di Indonesia sendiri, faktor
ini bisa dicontohkan oleh adanya kebijakan pemerintah masa orba soal pemberian akses prioritas terhadap
golongan Tionghoa untuk menjalankan bisnis. Akibatnya, populasi golongan Tionghoa yang hanya sekitar 3%
di Indonesia mampu menguasai perekonomian nasional sebanyak 70%. Kondisi yang demikian mendorong
terjadinya konfrontasi fisik pada tahun 1998 yang melibatkan perusakkan 89 gereja dan pembunuhan. Dari segi
agama, terjadi suatu fenomena penafsiran yang bersifat literalis dan cherry picking. Kelompok radikal
menafsirkan ajaran agama sesuai dengan kehendaknya tanpa menghiraukan konteks dari ajaran tersebut
sehingga akhirnya ajaran-ajaran agama ini menjadi legitimasi atas validitas tindakan radikal yang dilakukan.
Kelompok radikal juga turut menghiraukan ayat-ayat atau ajaran yang bersahabat. Kemudian, ajaran-ajaran ini
dibingkai oleh redaksi konfrontatif. Beberapa ayat yang sering dijadikan sebagai tameng perilaku radikal antara
lain Q.S. Ali Imran ayat 151, Q.S. Ali Imran ayat 165, Q.S. Ali Imran ayat 185 dan Q.S. Al-An’am ayat 165.
Ayat-ayat tersebut berbicara soal perintah dakwah, jihad, amar makruf nahi munkar, perintah perang, hukum
qishash, kategori kafir, strategi perang dan status iman serta janji pertolongan Allah bagi orang yang berjuang
menegakkan Islam.
Ajaran agama bersifat netral, namun ketika dipersepsikan atau ditafsirkan secara eksklusif dengan
pendekatan tekstual literalis akan melahirkan fanatisme dan radikalisme. Sebaliknya, ajaran agama yang
dipahami dengan pendekatan substantif-kontekstualis akan melahirkan golongan yang moderat.
Berikut ini adalah contoh dari implementasi faktor-faktor di atas yang mendorong terjadinya radikalisme
Islam. Kelompok radikal, seperti HTI senantiasa menggunakan redaksi ketimpangan sosial yang diakibatkan
oleh sistem-sistem buatan kafir dan berdalih di akhir bahwa sistem khilafah adalah jalan keluarnya.
Masalah-masalah ketimpangan tersebut disebabkan oleh tidak dilaksanakannya sistem khilafah di Indonesia.
Selain itu, HTI juga seringkali menyertakan ayat-ayat dan dalil agama yang telah ditafsirkan sedemikian rupa
untuk mendukung argumen dan redaksi awal yang telah dibangun. Akhirnya, terjadilah pembangunan identitas
kelompok dengan cara membenci kelompok lain. Pelembagaan rasa benci terhadap kelompok lain yang
dianggap musuh bersama terbukti mampu untuk meningkatkan solidaritas.
Kemudian, aksi-aksi tercela yang dilakukan oleh kelompok radikal seringkali dibalut oleh eufemistis
(penghalusan bahasa). Kelompok radikal lebih suka menggunakan kata “jihad” daripada “membunuh” dalam
melakukan aksi terorisme. Hal ini membuat redaksi yang ditampilkan lebih bersifat terhormat padahal dalam
kenyataannya memiliki esensi yang sama.
Jika dikaitkan dengan teori kekerasan kelompok, radikalisme adalah dampak dari proses deindividuasi.
Artinya, ketika seseorang berpartisipasi aktif dalam suatu kelompok sosial maka ia akan mengadopsi identitas
dan nilai baru yang diajarkan di sana. Ketika akhirnya, norma kolektif kelompok terbentuk, tendensi untuk
melakukan kekerasan akan semakin besar. Gerakan sosial seperti aksi pengeboman rumah ibadah agama lain
yang dibangun atas nama kelompok menyebabkan terjadinya anomisitas. Pelaku merasa terhindar dari tanggung
jawab dan konsekuensi-konsekuensi yang terjadi. Terlebih, aksi radikalisme kerap kali diatasnamakan Tuhan
yang akhirnya berubah menjadi agresi altruistik berupa pelemparan tanggung jawab pada Tuhan YME.
3. Sistem Khilafah
Khilafah adalah sebuah sistem kepemimpinan yang menjadikan Islam sebagai ideologi, syariat sebagai
dasar hukum, serta mengikuti cara kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin. Sistem
khilafah menghendaki kepemimpinan tunggal yang universal atas daulah Islam di seluruh dunia yang dipimpin
oleh satu khalifah tunggal yang dibai’at oleh umat.
Di Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah kelompok radikal yang secara gencar memperjuangkan
sistem khilafah. Kehadiran HTI tidak lepas dari kemunculan Hizbut Tahrir di Palestina yang awalnya didirikan
sebagai partai politik oleh Taqiyuddin An-Nabhani pada 1953. Kemudian, gerakan ini tersebar ke berbagai
negara. Secara garis besar, HTI mengklaim bahwa tujuan dari organisasi ini adalah untuk kembali
menghidupkan konsep politik Islam yang telah menjadi kewajiban dalam kitab suci dan sunnah sejak
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW hingga keruntuhan imperium Utsmani.
Ide Daulah Islamiyah sebenarnya telah ada sejak masa perang kemerdekaan yang ditandai oleh
pemberontakkan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Namun, misi Hizbut Tahrir ini lebih condong ke arah
pendobrakan batas-batas geografis, kultural dan politik seluruh bangsa di dunia. Adapun, HTI sendiri telah
dibubarkan karena terindikasi melakukan kegiatan yang mengancam keutuhan NKRI serta menyebabkan
keresehan sosial di dalam masyarakat. HTI juga dinilai tidak menjalankan asas, ciri dan sifat ormas yang
termaktub dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas),
yaitu "Tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945".
Konsensus sosial yang dimaksud adalah Pancasila. Pancasila meredam partikularisme agama tertentu
dengan cara menarik benang merah soal nilai-nilai universal yang sejalan dengan nilai-nilai setiap agama atau
aliran kepercayaan di Indonesia. Nilai-nilai Pancasila dapat dimaknai secara islami. Contohnya, sila pertama
soal “Ketuhanan Yang Maha Esa” sangat berkaitan erat dengan konsep akidah untuk mengesakan Allah. Begitu
pula dengan sila-sila lainnya yang sebenarnya telah mengakomodir setiap perbedaan yang ada untuk kemudian
selanjutnya diletakkan dalam konfigurasi kebangsaan Indonesia.
Kesepakatan yang kuat soal konsensus ini akan membentuk modal sosial yang kuat di masyarakat. Konflik
akan lebih mudah untuk direkonsiliasi jika modal sosial ini kuat. Selain itu, modal sosial yang kuat akan
berkontribusi positif pada pembangunan nasional secara general.
Pemaksaan nilai melalui jalan kekerasan hanya akan menciptakan konflik berdarah yang membahayakan.
Aksi-aksi terorisme yang berakar dari radikalisme jelas membawa masalah sosial yang mengguncang keamanan
dan ketertiban masyarakat. Contohnya, kasus bom Bali memakan banyak korban jiwa dan melemahkan sektor
pariwisata di Bali. Akibatnya, pendapatan negara dari sektor pariwisata berkurang mengingat Bali adalah salah
satu wilayah yang memberikan kontribusi besar karena menarik banyak wisatawan.
Intinya, radikalisme yang menuntut dilaksanakannya sistem khilafah untuk ditegakkan di Indonesia adalah
bentuk manifestasi nyata dari intoleransi. Kelompok radikal menginginkan agar nilai-nilai yang mereka
percayai dilaksanakan sedangkan individu dan kelompok masyarakat lain juga sama-sama memiliki hak untuk
mempercayai apa yang mereka anggap benar. Pemaksaan nilai terhadap orang lain, apalagi menggunakan
kekerasan adalah bentuk pengabaian hak dan kewajiban asasi.
Dalam praktiknya, terdapat tiga prinsip toleransi dalam Islam. Pertama, Al-Huriyyah Al-Diniyyah
(kebebasan beragama dan memeluk kepercayaan) mengacu pada larangan untuk melakukan pemaksaan untuk
memilih agama. Allah SWT melarang dengan tegas tindakan ini dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 256 karena
perkara iman tidak datang lewat pemaksaan namun melalui proses pembuktian, penalaran dan pemilihan.
Kedua, Al-Insaniyah (kemanusiaan) yang dapat diwujudkan melalui keadilan dalam bentuk dihilangkannya
tindakan diskriminatif, persamaan kesempatan dan akses dalam berbagai dimensi kehidupan serta
pengakomodasian perlindungan. Yusuf Qaradhawi mengungkapkan bahwa sejatinya seorang non-mulism yang
hidup di dalam komunitas muslim wajib mendapatkan dua perlindunga, yaitu perlindungan dari ancaman
eksternal yang berasal dari luar serta perlindungan terhadap segala bentuk ancaman internal di dalam negeri
atau kawasan yang didiami. Ketiga, Al-Wasathiyyah (moderatisme) yang artinya berada di pertengahan. Prinsip
ini mengandung suatu tuntunan bagi umat Islam untuk menjalankan ajaran Islam di antara ghuluwwu
(berlebihan) dan taqshir (menganggap mudah).
Referensi
Khadafi, A. (2017, Mei 8). Sejarah Kemunculan HTI Hingga Akhirnya Dibubarkan. Retrieved from Tirto:
https://tirto.id/sejarah-kemunculan-hti-hingga-akhirnya-dibubarkan-coiC
Nurjannah. (2013). Faktor Pemicu Munculnya Radikalisme atas Nama Dakwah. Jurnal Dakwah, 177-198.
Rosyidi, M. F. (2019). Konsep Toleransi dalam Islam dan Implementasinya di Masyarakat Indonesia. Jurnal
Madaniyah, 278-296.
SETARA Institute. (n.d.). Memahami Situasi Intoleransi. Retrieved from SETARA:
https://setara-institute.org/memahami-situasi-intoleransi/