Anda di halaman 1dari 28

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/318054171

FAKTOR PENDUKUNG TERBENTUKNYA RADIKALISME DAN TERORISME DI


INDONESIA

Article · July 2012

CITATIONS

1 author:

Fatkhuri Fatkhuri
Universitas Pembanguan Nasional "Veteran" Jakarta
7 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Mapping of Islamic Firqa Terrorism Movement in Indonesia View project

Konsep Dasar Sosiologi dan Antropologi: Teori dan Aplikasi View project

All content following this page was uploaded by Fatkhuri Fatkhuri on 01 July 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


0

FAKTOR PENDUKUNG TERBENTUKNYA RADIKALISME DAN TERORISME DI

INDONESIA

OLEH: FATKHURI, S.IP, MA, MPP

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

Abstrak

Sejak reformasi bergulir, Indonesia mengalami transisi


demokrasi setelah selama 32 tahun di bawah rezim otoriter
Soeharto. Demokrasi membuka peluang bagi lahirnya berbagai
macam organisasi baik politik, ekonomi maupun agama sebagai
manifestasi kebebasan berekspresi. Tak pelak, periode transisi
ini juga membuka ruang bagi menjamurnya organisasi keagamaan
dengan beragam karakternya. Munculnya berbagai macam
organisasi islam militan seperti Front Pembela Islam (FPI),
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majlis Mujahiddin Indonesia
(MMI) dan Jamaah Islamiyah (JI) untuk menyebut beberapa nama
merupakan konsekwensi logis bagi kebebasan yang ada. Namun
demikian, keberadaan organisasi ini dinilai membahayakan sebab
tidak jarang dalam aktifitasnya selalu menebarkan kebencian,
teror dan aksi kekerasan. Lebih tragis lagi organsiasi yang
disebut terakhir (JI) merupakan institusi yang disinyalir
bertannggung jawab atas marakanya aksi pengeboman yang terjadi
di beberapa wilayah di Indonesia selama ini. Realitas ini
semakin menegaskan bahwa radikalisme dan terorisme mengancam
semangat toleransi beragama yang menjadi ciri khas Islam
Indonesia.
Apa saja faktor pendukung radikalisme dan terorisme tersebut?
Studi ini menguraikan bahwa radikalisme dan terorisme tumbuh
karena dua faktor fundamental yakni deprivasi ekonomi dan
ketidakadilan politik. Dalam konteks ekonomi, studi ini
menjelaskan bahwa kemiskinan mendorong radikalisme dan
terorisme karena rasa frustasi berkepanjangan serta
kesenjangan ekonomi masyarakat yang diakibatkan oleh kebijakan
diskriminatif pemerintah. Dalam konteks politik, radikalisme
dan terorisme muncul sebagai bentuk protes kelompok islam
militan dengan sistem politik sekuler (demokrasi). Pelaksanaan
demokrasi memicu kelompok islam militan berupaya untuk
mengganti sistem politik yang ada dengan syariat islam.
Kelompok ini mengklaim bahwa Indonesia dengan mayoritas
penduduk muslim di dunia harus melaksanakan sistem politik
Islam (Khilafah). Disisi lain, demokrasi dinilai tidak bisa
memecahkan berbagai persoalan seperti kemiskinan yang tetap
1

merajalela, moral masyarakat semakin tidak tertata dan


sebagaianya. Kedua, radikalisme dan terorisme tumbuh
dikarenakan oleh ketidakadilan global. Kebijakan (standar
ganda) luar negeri AS terhadap Negara-negara Islam (timur
tengah) menimbulkan reaksi keras dari kelompok Islam militan
Indonesia terhadap Negara-negara barat (USA).Reaksi inilah
yang pada gilirannya memicu kelompok islam militan melakukan
aksi kekerasan dan ancaman teror sebagai bentuk perlawanan
mereka.

Kata Kunci: radikalisme, terorisme, ekonomi, politik, Islam,

Indonesia

A. PENDAHULUAN

Sejak bergulirnya reformasi di Indonesia tahun 1998,

radikalisme dan terorisme menjadi ramai diperbincangkan.

Reformasi membuka kran demokrasi yang tertutup selama 32

tahun selama rezim orde baru berkuasa. Alhasil, ruang

eskpresi yang terbuka lebar mendorong lahirnya banyak

organisasi dan gerakan keagamaan. Dalam masa ini,

berbagai macam kelompok/organisasi baik politik, ekonomi,

agama dan sebagainya menemukan tempat untuk

mengekspresikan kepentingannya. Menurut Azra (2003),

munculnya kelompok radikal di Indonesia diakibatkan oleh

disamping euforia demokrasi, juga karena dicabutnya

undang-undang anti-subversi oleh Presiden Habibie yang

pada gilirannya memberikan ruang yang lebar bagi kelompok

ekstrimis untuk mengekspresikan gagasan dan aktifitas


2

mereka (hal. 50). Sependapat dengan Azra, Abuza (2007)

juga mengatakan bahwa jatuhnya rezim otoriter Soeharto

memicu lahirnya kekuatan civil society secara masif yang

pada gilirannya memberikan ruang kepada kelompok tertentu

termasuk di dalamnya kelompok radikal (uncivil) yang

mengekspresikan kepentingannya dengan cara menebarkan

kebencian dan intoleransi dengan menggunakan cara-cara

kekerasan (violence) (hal.67).

Diskursus radikalisme dan terorisme semakin memanas pasca

meletusnya peristiwa 11 September 2001 menyusul hancurnya

dua gedung kembar Word Trade Center (WTC) dan Gedung

Pertahanan Pentagon di Amerika Serikat. Banyak kalangan

barat menilai, pelaku bom tersebut dilakukan oleh

kelompok islam militan atau ekstrimis Al-Qaida pimpinan

Osama Bin Laden. Praktis sejak saat itu banyak negara-

negara barat melihat Islam sebagai agama yang identik

dengan kekerasan.Stereotype ini diperkuat dengan adanya

aksi bom lanjutan yang marak terjadi di hampir semua

belahan dunia seperti Indonesia (peristiwa Bom Bali I dan

II), negara-negara timur tengah (bom Afganistan dan

Pakistan) bahkan Eropa.

Sebagaimana diuraikan di awal, reformasi melahirkan

banyak gerakan keagamaan termasuk kelompok islam militan

(islam radikal) yang mengkonsolidasikan diri dan

menyerukan diberlakukannya syari’ah islam bahkan Negara


3

Islam (daulah islamiyah) di Indonesia. Beberapa

organisasi yang termasuk dalam kelompok ini adalah Front

Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),

Laskar Jihad (LJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan

Jamaah Islamiyah (JI).

Secara umum, organisasi-organisasi diatas acapkali turun

jalan (demonstrasi) untuk menuntut pemerintah

memberlakukan syari’at islam dan tidak jarang kelompok

islam militan ini melancarkan aksinya dengan menggunakan

cara-cara kekerasan. Salah satu cara yang dipakai

kelompok ini adalah melakukan razia ke Kafe, diskotik,

kasino dan lain-lain terutama di bulan ramadhan. Fenomena

ini pada gilirannya memantik banyak kecaman dari publik

sebab keberadaannya tidak hanya meresahkan masyarakat

tetapi juga menimbulkan rasa takut publik akan ancaman

teror yang sewaktu-waktu bisa terjadi.

Dengan melihat realitas tersebut diatas, pertanyaan yang

diajukan dalam makalah ini adalah apa saja faktor-faktor

yang mendukung terbentuknya radikalisme dan terorisme di

Indonesia. Hasil penelitian literatur ini menunjukan

bahwa radikalisme dan terorisme di Indonesia disebabkan

karena dua masalah fundamental yakni deprivasi ekonomi

(kemiskinan) dan ketidakadilan politik.


4

B. Radikalisme dan terorisme: Tinjauan Teoritis

Arti Radikalisme dan Terorisme

Sebelum jauh mendiskusikan faktor-faktor penyebab

radikalisme dan terorisme, alangkah baiknya lebih dahulu

melacak apa sebenarnya arti/makna dari radikalisme dan

terorisme itu sendiri. Hal ini penting untuk menghindari

kesalahan penafsiran dan misperspesi sehingga memudahkan

kita memahami persoalan. Sebagaimana dikatakan oleh

Copland (2005) bahwa tidak hanya deskripsi teroris yang

mengalami kontradiksi satu sama lain, tetapi juga

deskripsi yang sama bisa dipakai untuk banyak orang di

dalam komunitas masyarakat yang berpartisipasi dalam aksi

teror (hal.43).

Uraian Copland di atas merefleksikan bahwa radikalisme

dan terorisme adalah masalah kompleks. Artinya, keduanya

bisa mendatangkan ruang perdebatan serta tafsiran yang

berbeda-beda sesuai dengan konteks, kepentingan dan

kondisi yang menyertainya.

Secara literal, kata radikal berasal dari bahasa latin

yang berarti ‘akar’. Sebagaimana dikutip oleh Adian

Husaini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990),

radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-

habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju

dalam berpikir atau bertindak”, sedangkan “radikalisme”,

diartikan sebagai: “paham atau aliran yang radikal dalam


5

politik”, “paham atau aliran yang menginginkan perubahan

atau pembaruan sosial dan politik dengan cara yang keras

atau drastic”, “sikap ekstrim di suatu aliran politik”

(Republika 8/9/2009). Melihat definisi diatas, kita bisa

menganalisa, aktifitas atau tindakan dalam bentuk seperti

apa yang termasuk kategori radikal. Sementara dalam

konteks gerakan islam, aktifitas yang tergolong radikal

mempunyai beberapa kriteria tersendiri. Berkaitan dengan

hal ini, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat

Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta (PPIM) (2004)

sebagaimana dikutip oleh Husaini menguraikan empat

kriteria radikal antara lain sebagai berikut:

1. mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang

mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan

sistem yang sedang berlangsung;

2. dalam kegiatannya mereka seringkali menggunakan aksi-

aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar

terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai

bertentangan dengan keyakinan mereka;

3. secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok

radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan

menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang

khas;
6

4. Kelompok ‘Islam radikal’ seringkali bergerak secara

bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara

terang-terangan (Republika, 8/9/2009).

Sama halnya dengan radikalisme, terorisme mempunyai arti

ancaman dan tindakan dalam rangka membuat orang lain

takut. Secara harfiah, kata terorisme berasal dari bahasa

latin “terrere” yang berarti ‘bergetar’, dikombinasi

dengan akhiran ‘isme’ yang berarti ‘mempraktekan’ (Keling

Dkk 2009, hal. 32).

Sedangkan menurut Howard (2001), terorisme adalah salah

satu metode yang digunakan dalam peperangan. Dia

memberikan tiga kriteria aktifitas yang termasuk kategori

tindakan teror sebagai berikut:

1. aktifitas yang berhubungan dengan inisiasi propaganda

atau menarik perhatian dunia internasional dengan cara

menunjukan kemampuan (show of force);

2. aktifitas yang berhubungan dengan upaya memperlemah

musuh;

3. gerakan profokasi dan meyakinkan bahwa musuh bisa

diberdaya yang pada gilirannya dapat menarik simpati

dunia internasional bahwa tujuan-tujuan mereka telah

tercapai (Keling dkk. 2009, hal. 32).

Secara umum, terorisme termasuk tindakan kriminal yang

dilakukan oleh individu atau kelompok dalam rangka

membuat kerusakan sehingga tidak jarang mengakibatkan


7

kerusakan fasilitas publik dan jatuh korban. Hal ini

sebagaimana diuraikan oleh Henderson (2001)yang merujuk

pada definisi yang dibuat oleh Amerika bahwa terorisme

adalah aktifitas kriminal yang melibatkan

kekuatan(kekerasan) secara sengaja untuk tujuan-tujuan

tertentu (Keling dkk 2009, hal. 32).

Berkaitan dengan gerakan Islam radikal/militan, Abuza

(2007) membagi empat kategori dalam kelompok ini. Pertama

adalah muslim militan (laskar)yang melancarkan aksinya

dengan kekerasan (violence), akan tetapi hanya dalam

batas tertentu. Mereka ini disebut juga sebagai “reactive

jihadists” yang mana kekerasan digunakan untuk merespon

situasi atau kejadian tertentu. Kedua adalah kelompok

militan “Islamist”, yang mana gerakannya tersporadis,

cenderung menggunakan kekerasan, serta pengetahuan dan

interpretasi kelompok ini terhadap nilai-nilai islam

sangat literal (rudimentary). Ketiga adalah kelompok yang

terdiri dari mahasiswa radikal atau kelompok berbasis

kampus (university-based organizations). Kelompok ini

sangat anti terhadap barat yang mana para pengikutnya

cenderung simpatik terhadap penyebab-penyebab yang lebih

radikal. Keempat adalah organsiasi salafi murni (pure

Salafi organizations) dan organisasi dakwah seperti Hizb

ut-Tahrir yang melihat aksi politik dan aksi militer


8

sebagai gangguan dari tujuan purifikasi agama yang

menjadi agenda mereka (Abuza 2007, hal. 67).

Akar radikalisme dan terorisme

Studi tentang radikalisme dan terorisme banyak

menguraikan bahwa radikalisme dan terorisme disebabkan

oleh berbagai macam faktor seperti ekonomi dan politik.

Dari sisi ekonomi, hasil riset Djelantik (2006) di Jawa

Barat menyebutkan bahwa salah satu faktor pendukung

radikalisme dan terorisme adalah karena ketidakpuasan

publik (dissatisfaction) terhadap kebijakan pemerintah

yang tidak adil terhadap rakyat kecil. Selaras dengan

padangan Djelantik, Gottlieb (2009) juga menguraikan

bahwa dalam teori ilmu ekonomi liberal, setiap individu

mempunyai motivasi untuk hidup berkecukupan secara materi

(material well-being). Dalam kaitan ini, mereka yang

mempunyai kecukupan materi akan menerima sebuah sistem

dimana mereka tinggal dan beraktifitas secara damai,

sebaliknya mereka yang secara sosio-ekonomi mengalami

kesengsaraan (distress) dan kekurangan (deprivation)

mempunyai kecendrungan untuk berbuat radikal dan besar

kemungkinan menggunakan cara kekerasan (violent movement)

termasuk gerakan teroris (terrorist movement).

Uraian diatas merefleksikan bahwa kemiskinan akan

memudahkan kelompok tertentu untuk memperdaya mereka yang


9

miskin untuk tujuan-tujuan politis, idiologis, dan

sebagainya. Sebagaimana Hippel (2009) juga mengemukakan

bahwa kemiskinan akan memungkinkan seseorang mudah

berbuat radikal dan melakukan aksi teror sebab mereka

tertarik untuk mendapat bantuan jasa (charity) dari pihak

lain. Hipel (2009) memberikan contoh bahwa beberapa

kelompok islam dan partai politik, termasuk gerakan Al-

Qaeda dapat melebarkan pengaruhnya hanya dengan

memberikan bantuan jasa terhadap masyarakat miskin.

Menurut Hipel, kelompok teroris telah meluaskannya

pengaruhnya dan mendapatkan pengikut banyak karena

bantuan (charity) yang mereka berikan (2009, hal.53).

Hipel menunjukan fakta bahwa beberapa gerakan teroris di

Pakistan dan Afghanistan mengembangkan gerakannya dengan

cara memberikan bantuan langsung kepada masyarakat miskin

dan terbukti beberapa orang yang melakukan bom bunuh diri

berasal dari keluarga tidak mampu.

Dalam konteks politik, radikalisme dan terorisme bisa

disebabkan oleh perlakuan diskriminatif penguasa terhadap

kelompok tertentu. Diskriminasi tersebut bisa berupa

tidak diakomodasinya aspirasi atau keinginan kelompok

tersebut sehingga mengakibatkan tindakan frontal dan

anarkis. Contohnya adalah aksi anarkisme yang dilakukan

oleh kelompok islam militan yang bertujuan untuk

mengganti sistem sekuler (demokrasi) dengan syari’ah


10

islam (daulah islamiyah). Kelompok ini beranggapan bahwa

demokrasi adalah sistem politik barat yang harus ditolak

karena tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Dalam

kaitan ini, mengutip Crenshaw (1981), Keet menguraikan

bahwa terorisme lahir karena sebuah kegagalan perjuangan

politik dalam jangka waktu yang lama. Pada awalnya mereka

mengikuti garis politik yang telah ada, namun karena

berkali-kali gagal akhirnya membentuk faksi politik

sendiri dan melakukan aksi terorisme ( 2003, hal.24).

Dalam risetnya, Keet (2003) juga mengatakan bahwa untuk

menghindarkan potensi kekerasan atau tindakan teror,

pemimpin dalam sebuah Negara demokrasi harus mempunyai

kemampuan merespon kemauan kelompok radikal yang pada

gilirannya mengurangi informasi yang tidak simetris

sehingga potensi konflik bisa diminimalisir (hal.60).

Disisi lain, sebagaimana dikutip oleh Copland (2005),

Feliks Gross juga mengklaim bahwa terorisme lahir karena

kondisi tertentu seperti sosial dan politik, keberadaan

organisasi yang tidak sepakat dengan kondisi yang ada,

dan adanya individu yang ingin berpartisipasi. Jika salah

satu kondisi ini tidak terpenuhi maka kemungkinan prilaku

teroris tidak akan ada (hal.2). Dari penjelasan ini jelas

bahwa semua elemen saling melengkapi terjadinya aksi

terorisme. Dengan demikian, hasil interaksi semua

komponen tersebut pada akhirnya menciptakan sebuah


11

aktifitas radikal atau ekstrim. Kondisi ini menegaskan

argumentasi Copland (2005) bahwa radikalisme dan

terorisme lahir sebagai sebuah hubungan/interaksi

(interplay) antara faktor sosio-kultur masyarakat,

karakteristik individu, dan berbagai dinamika dari

organisasi teroris (hal.43).

C. Radikalisme dan Terorisme di Indonesia

Selama ini umum dipahami bahwa akar masalah radikalisme

dan terorisme adalah persoalan agama (perbedaan idiologi)

yakni Islam versus barat (non Islam). Perpsektif ini

tidak salah sebab secara umum kelompok islam radikal

menginginkan islam sebagai prinsip hidup yang harus

diadopsi dalam sistem ketatanegaraan. Namun demikian,

apakah agama (islam) betul-betul menjadi sebab kemunculan

radikalisme bahkan terorisme? Tentu saja kita tidak bisa

terburu-buru memberikan jawaban bahwa agama menjadi

faktor determinan dalam masalah ini. Dalam kaitan ini,

kita perlu mempertimbangkan akar masalah radikalisme dan

terorisme dengan menggunakan perspektif lain.

Melacak akar radikalisme dan terorisme sebetulnya sangat

kompleks. Artinya radikalisme dan terorisme tidak hanya

disebabkan oleh faktor tunggal sebagaimana disebutkan

diatas. Aspek politik, sosial dan ekonomi juga merupakan


12

bagian integral dan fundamental yang bisa menjadi sebab

kemunculan radikalisme dan terorisme.

Penting dicatat bahwa radikalisme dan terorisme bukan

fenomena baru di Indonesia. Dalam sejarahnya, radikalisme

dan terorisme disebabkan oleh adanya keinginan sekelompok

umat islam yang menginginkan permunian ajaran agama pada

masa pra-kemerdekaan. Dalam konteks ini, sebagian umat

islam dianggap tidak lagi berjalan sebagaimana ajaran

yang dianjurkan oleh Rasulullah dan tuntunan dalam Al-

Qur’an. Dus, faktor internal menjadi pemicu keberadaan

radikalisme daripada ancaman dari luar sebagaimana yang

terjadi saat ini. Faktor internal yang terjadi pada

sebelum periode modernisasi menurut Azyumardi Azra (2003)

termasuk ditandai dengan respon umat islam terhadap

kemunduran entitas politik islam dan konflik yang

berkelanjutan antar sesama umat islam (hal. 47). Menurut

Azra, banyak umat islam percaya bahwa kondisi

memprihatinkan yang dihadapi umat islam pada saat pra-

kolonial disebabkan karena degradasi moral dan sosial

umat islam sebagai dampak dari menganut kepercayaan dan

praktek agama yang salah sehingga radikalisme muncul

karena kebanyakan muslim meninggalkan atau tidak lagi

merujuk pada keaslian dan kebenaran ajaran agama hal.47).

Alhasil, beberapa kelompok umat islam merasa perlu untuk

meluruskan umat islam yang telah tersesat tidak hanya


13

dengan cara dakwah bil-lisan (ucapan) akan tetapi juga

dengan kekerasan (jihad).

Fakta ini juga menunjukan bahwa kemunculan radikalisme

dan terorisme pada masa sebelum kemerdekaan lebih banyak

dipengaruhi oleh faktor idiologi (agama). Contoh dari

Gerakan ini termasuk kelompok Padri di Minangkabau

Sumatera Barat. Gerakan Padri lahir dengan agenda untuk

menyebarkan ajaran wahabi di Indonesia. Gerakan ini

muncul sejak abad 16 Masehi sampai awal abad 18. Menurut

Azumardy Azra, Gerakan Padri merupakan organisasi yang

bertujuan untuk mengembalikan kemurnian ajaran Islam

sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW dan sahabat-

sahabatnya (2003, hal. 47). Namun demikian, pada

perkembangannya gerakan Padri tidak mendapatkan sambutan

yang menggembirakan dari masyarakat, sehingga gerakan ini

kemudian mati.

Pada konteks saat ini, radikalisme dan terorisme memiliki

corak yang sedikit berbeda dengan pada saat sebelum

kemerdekaan sebagaimana Gerakan Padri. Radikalisme dan

terorisme lahir karena berbagai macam sebab atau tidak

hanya karena persoalan agama. Berikut ini adalah dua

faktor pendukung terhadap kemunculan radikalisme dan

terorisme di Indonesia yakni deprivasi ekonomi dan

ketidakadilan politik.
14

Deprivasi Ekonomi

Berkaitan dengan masalah ekonomi, ada dua alasan mendasar

mengapa ketidakadilan ekonomi menjadi faktor pendukung

lahirnya radikalisme dan terorisme.

Pertama, radikalisme dan terorisme lahir sebagai akibat

dari rasa frustasi beberapa kelompok orang miskin yang

tidak bisa survive dalam kehidupannya. Kelompok yang

mengalami under-pressure dan frustasi berkepanjangan

rentan terhadap dua hal; 1) berbuat radikal (kekerasan);

2) mudah dipengaruhi pihak luar (kelompok tertentu) untuk

berbagai macam kepentingan. Alhasil, kondisi ini akan

sangat memudahkan para pimpinan teroris (jihadis) untuk

melakukan indoktrinasi dengan ajaran yang menyesatkan

terhadap kelompok miskin.

Gangguan psikologi (frustasi) pada seseorang

mengakibatkan mereka akan menerima apapun ajaran tanpa

reserve, terlebih ajaran tersebut menggunakan justifikasi

agama. Argumentasi ini bisa ditelisik dari fakta bahwa

para aktor pengeboman yang selama ini terjadi di berbagai

daerah di Indonesia seperti Imam Samudera dari Banten dan

Amrozi dari Lamongan Jawa Timur adalah orang-orang dari

latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Disisi lain

pelaku bom di depan Kedutaan Besar Australia di Kuningan

yakni Ahmad Hasan yang merupakan karyawan PT Pertani

Blitar dan Agus Ahmad seorang karyawan PT Sajira di


15

Jakarta juga berasal dari latar belakang ekonomi lemah

(CMMI 2006).

Sama halnya dengan pelaku bom di beberapa tempat

sebagaimana disebutkan di atas, penangkapan beberapa

anggota teroris di Kabupaten Temanggung tahun 2009 juga

menjadi bukti bahwa kemiskinan melahirkan rasa frustasi

yang berujung pada aksi radikal.Sebagaimana diketahui

bersama, para aktor yang terlibat aksi teroris di

Temanggung umumnya adalah kelompok pemuda yang frustasi

karena kehidupan di desanya tidak menjanjikan. Fakta

menunjukan bahwa sejak akhir tahun 1990 dan awal 2000,

masyarakat pedesaan di Temanggung mengalami goncangan

ekonomi seiring jatuhnya harga komoditas tembakau yang

semula menjadi penyangga kesejahteraan warga setempat.

Jatuhnya harga tembakau tersebut membuat sebagian warga

desa tidak lagi dapat menikmati kesejahteraan sebagaimana

yang mereka rasakan sebelumnya. Pada perjalannya,

generasi muda pun memilih pergi ke luar daerah untuk

mendapatkan penghidupan dan masa depan lebih baik. Namun

demikian, fakta tidak seindah mimpi yang mana tidak semua

dari mereka mendulang kesukesan. Alhasil, banyak anak muda

yang pergi ke luar kota untuk merantau kemudian

terjerumus dalam keputusasaan yang berujung pada aksi

radikal (Kompas, 24 Agustus 2009).


16

Kedua, kebijakan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu

terutama ekonomi yang memarginalkan masyarakat bawah juga

mengakibatkan ketidakpuasan publik yang pada gilirannya

melahirkan tindakan radikal pada diri seseorang. Meskipun

tidak dipengaruhi pihak luar untuk kepentingan tertentu

(misalnya: agama) sebagaimana disebutkan dalam poin

pertama, marginalisasi dan diskriminasi pada akhirnya

menyulut ketidakpuasan publik terutama kelompok miskin

sehingga membuat kelompok tersebut mudah melakukan aksi

kekerasan.

Fakta ini juga menkonfirmasi hasil riset Djelantik (2006)

di Jawa Barat dimana dalam sejarahnya banyak kelompok

teroris dan radikal berasal dari daerah ini. Dia

menyebutkan bahwa radikalisme dan terorisme disebabkan

oleh adanya keterbatasan akses terhadap sumber-sumber

ekonomi yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang

diskriminatif. Dia juga menambahkan bahwa disparitas

ekonomi yang sangat tinggi antara si kaya dan si miskin

adalah realitas nyata di daerah tersebut. Fakta

menunjukan bahwa radikalisme tumbuh subur karena

kebijakan ekonomi pemerintah hanya terpusat pada

pengembangan infrastruktur dan pada saat yang sama

mengabaikan pengembangan sumber daya manusia dan aspek

sosial budaya sehingga masyarakat pedesaan

termarginalisasi di dalam sistem ekonomi (2006, hal.8).


17

Kondisi inilah yang pada akhirnya menimbulkan

ketidakpuasan masyarakat sehingga memicu aksi radikal

(kekerasan).

Ketidakadilan Politik

Tidak bisa dipungkiri, politik merupakan salah satu

faktor pendukung kemunculan radikalisme dan terorisme di

Indonesia. Ada dua alasan mendasar mengapa politik

menjadi akar masalah radikalisme dan terorisme.

Pertama, secara umum kelompok radikal yang didalamnya

termasuk Front Pembela Islam (FPI), Majlis Mujahidin

Indonesia (MMI) untuk menyebut beberapa nama beranggapan

bahwa sistem politk (demokrasi) di Indonesia dianggap

tidak selaras/kompatibel dengan Islam. Menurut kelompok

ini, Indonesia sebagai Negara muslim terbesar di dunia

harus memberlakukan Islam sebagai idiologi Negara. Mereka

beranggapan bahwa sistem demokrasi adalah produk barat

dan harus ditolak habis-habisan. Demokrasi juga dianggap

tidak bisa menyelesaikan persoalan kebangsaan. Contoh,

fenomena korupsi yang begitu akut, angka kemiskinan yang

tidak kunjung turun dan merajalelanya pornografi dan

semacamnya adalah salah satu bukti bahwa demokrasi

dinilai tidak bisa memberikan solusi atas berbagai macam

persoalan. Kelompok radikal menganggap bahwa Islam adalah

satu-satunya sistem politik yang bisa membawa


18

kemashalahatan bagi umat manusia. Alhasil, realitas

inilah yang pada gilirannya menimbulkan gejolak politik

yang mana beberapa kelompok ekstrimis kemudian melakukan

aksinya demi tujuan mengganti sistem yang ada. Fenomena

ini relevan dengan argumentasi Nakhleh (2009) bahwa

radikalisme bahkan terorisme lahir ketika orang atau

kelompok tertentu tidak lagi mempercayai efektifitas

perubahan yang terjadi, dan menganggap bahwa kekerasan

sebagai sebuah cara legitimate untuk tujuan politik,

idiologi, dan aksi keagamaan.

Merujuk pengalaman radikalisme selama ini, salah satu

upaya legal (tanpa kekerasan) yang telah dilakukan oleh

kelompok militan adalah dengan mendukung pemberlakuan

syariat islam (peraturan daerah/Perda) di beberapa

pemerintahan daerah di Indonesia. Mereka mengklaim bahwa

syariat Islam adalah solusi alternatif untuk

menyelesaiakan permasalahan bangsa. Sebagaimana dikatakan

oleh Ismail Yusanto sebagai Juru bicara Hizbu Tahrir

Indonesia (HTI), sistem sekuler yang diterapkan di

Indonesia telah memarginalkan peran agama hanya untuk

urusan privat (Hasan 2007, hal 5). Yusanto juga

menambahkan bahwa syariat Islam (perda Syariah) dipercaya

bisa meminimalisir ketergantungan Indonesia terhadap

Negara-negara barat yang terbukti tidak bisa

menyelesaikan krisis ekonomi dan politik, dan perda


19

syariah dinilai relevan untuk bisa menyelesaikan

permasalah bangsa melewati batas-batas ras, budaya maupun

agama (Hasan 2007).

Sejalan dengan argumen di atas, hasil survei Pusat

Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam

Negeri (UIN) Jakarta tahun 2001, 2002 dan 2004 juga

menguraikan bahwa ketertarikan umat islam terhadap

pelaksanaan peraturan daerah (perda syariah) mengalami

peningkatan. Jumlah mereka yang setuju dengan perda

syariah meningkat dari 61.4 persen di tahun 2001 ke 70.6

persen pada tahun 2002, dan 75.5 persen di tahun

2004.Sementara mereka yang setuju dengan pelaksanaan

hukum potong tangan bagi pelaku pencurian juga meningkat

meskipun jauh lebih sedikit yakni 28.9 persen (2001),

33.5 persen (2002) dan 39.9 persen (2004) (Anwar 2009,

hal.58).

Berbeda dengan kondisi diatas, organisasi Islam militan

yang kerap mendapat sorotan tajam publik karena berada di

belakang aksi kekerasan (teror bom) di Indonesia selama

ini adalah Jamaah Islamiyah (JI). Jamaah Islamiyah adalah

organiasi yang masih berkaitan erat dengan Darul Islam

(DI). DI merupakan sebuah organisasi yang bercita-cita

mendirikan Negara Islam pada awal-awal kemerdekaan

Indonesia.
20

Dalam sejarahnya, berdirinya Darul Islam (DI) juga tidak

bisa dilepaskan dari masalah politik kekuasaan. Meskipun

menggunakan jargon/simbol agama, perjuangan yang diusung

oleh DI pada dasarnya adalah perjuangan politik sebab

tujuan utama dari gerakan ini adalah mendirikan Negara

Islam Indonesia.

Sama halnya dengan DI, JI menganggap bahwa kekerasan

dinilai sebagai cara yang efektif untuk mengganti

idiologi pancasila (demokrasi) dengan sistem politik

Islam. Sebagaimana dikutip dari Bubalo dan Fealy (2005),

Copland menguraikan bahwa JI mempunyai pandangan bahwa

untuk mengikuti garis Islam Salafi, hanya perang dan

terorisme yang bisa dilakukan untuk menegakan Negara

Islam sebagaimana terjadi pada masa kaum salafi (2005,

hal. 6).

Terkait dengan tujuan gerakan tersebut, dalam

perkembangannya, nuansa politik semakin mengental

manakala aksi terorisme saat ini tidak hanya dalam rangka

mengusir penduduk asing atau merusak tempat-tempat yang

dianggap representasi kekuatan asing seperti kantor

kedutaan, Tempat Hiburan dan sebagainya. Akan tetapi

beberapa umat islam sendiri juga menjadi target serangan

kaum teroris. Fakta menunjukan bahwa belum lama ini Mabes

Polri mengungkapkan bahwa kelompok teroris telah

menyiapkan rencana serangan dan pembunuhan terhadap


21

presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)dan para pejabat

negara pada saat upacara peringatan hari kemerdekaan 17

Agustus 2010 mendatang. Mereka disinyalir akan menyerang

bahkan membunuh semua pejabat yang hadir pada upacara 17

Agustus 2010 termasuk para tamu negara yang hadir (Suara

Karya, 15 Mei 2010).Penyerangan itu dinilai sebagai

bagian dari upaya kelompok teroris untuk mendeklarasikan

negara islam di Indonesia.

Fakta di atas menujukan bahwa disamping aksi terorisme

semakin tidak terarah/tersporadis, juga mengafirmasi

argumentasi Nakhleh bahwa aksi radikalisme yang berujung

kekerasan juga bertujuan untuk melawan rezim Islam yang

dianggap tidak islami (tidak mencerminkan nilai-nilai

Islam) (2009).Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa

agama secara jelas hanya dijadikan justifikasi dalam

rangka mewujudukan tujuan politik para esktrimis.

Kedua, radikalisme dan terorisme tumbuh sebagai bentuk

protes atas ketidakadilan Negara-negara barat terutama

Amerika Serikat atas kebijakan standar ganda yang selama

ini diberlakukan di Negara-negara timur tengah. Invasi AS

ke Irak, kenyataan okupasi Israel terhadap Palestina yang

dibiarkan merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri

bahwa Amerika dinilai bertindak tidak adil terhadap

Negara-negara muslim. Dari sinilah rasa nasionalisme


22

keislaman para jihadis tumbuh. Mereka merasa bahwa

ketidakadilan yang dialami masyarakat muslim di timur

tengah merupakan tanggung jawab bersama umat islam di

Dunia. Kekerasan yang mereka pertontonkan merupakan

bentuk perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni asing

(AS).

D. KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

ketidakadilan ekonomi dan politik menjadi faktor paling

menentukan bagi lahirnya gerakan radikalisme dan

terorisme di Indoneisa. Meskipun Islam kerapkali

dijadikan dasar argumentasi aksi kelompok radikal, namun

nuansa ekonomi dan politik tampak jelas menjadi faktor

penyebab kemunculannya.

Dalam konteks ekonomi, studi ini menjelaskan bahwa

kemiskinan mendorong orang berbuat radikal karena rasa

frustasi berkepanjangan. Terbukti beberapa kelompok yang

terlibat dalam aksi terorisme selama ini adalah mereka

yang mengalami depresi berkepanjangan setelah sekian lama

hidup dalam ketidakberdayaan. Disisi lain kesenjangan

ekonomi masyarakat yang diakibatkan oleh kebijakan

diskriminatif pemerintah juga berkontribusi terhadap

tindakan radikal.
23

Dalam konteks politik, penonalakan terhadap sistem

politik sekuler memicu kelompok radikal berupaya untuk

mengganti sistem politik tersebut dengan syariah islam.

Sebagaimana diketahui bersama, Indonesia dengan mayoritas

penduduk muslim di dunia bukanlah Negara Islam. Namun

demikian, beberapa kelompok islam militan menginginkan

agar Islam menjadi dasar negara. Motif inilah yang pada

akhirnya mendorong beberapa kelompok islam garis keras

berusaha melakukan perlawanan dalam rangka mendorong

pemerintah untuk menerapkan Islam sebagai dasar Negara.

Dorongan tersebut semakin meningkat manakala demokrasi

dinilai tidak bisa memecahkan persoalan. Fenomena

kemiskinan yang tetap merajalela, moral masyarakat

semakin tidak tertata dan sebagaianya merupakan fakta

yang tidak bisa dihindarkan yang memicu kritik tajam dari

kelompok radikal. Kritik yang dilancarkan dalam taraf

tertentu menggunakan aksi kekerasan. Kedua, radikalisme

dan terorisme tumbuh subur dikarenakan oleh ketidakadilan

politik global. Kebijakan (standar ganda) luar negeri AS

terhadap Negara-negara Islam (timur tengah) menimbulkan

reaksi keras terhadap kelompok Islam Indonesia. Reaksi

tersebut salah satunya diimplementasikan dalam bentuk

kekerasan sebagai simbol perlawanan.


24

REFERENSI

Abuza, Zachary 2007,Political Islam and violence in

Indonesia, Routledge, London and New York

Anwar, Etin 2009, ‘the Dialectics of Islamophobia and

Radicalism in Indonesia’, Research of notes, ASIANetwork

Exchange, Vol. XVI, No. 2, Spring, Hobart and William

Smith Colleges

Azra, Azyumardi 2003, ‘Bali and Southeast Asian Islam:

Debunking the Myths’, di Kumar Ramakrishna dan See Seng

Tan (Editor), After Bali: the Threat of terrorism,

Institute of Defence and Strategic Studies, Nanyang

Technological University, Singapore

Coplan, Sarah 2005, Psicological Profilling of

Terrorists: A Case study of Bali bombers and Jamaah

Islamiyah, Australian National Internships program,

Australia

Center for Moderate Muslim Indonesia (CMMI)2006,’

Ketidakadilan dan Kemiskinan Picu Radikalisme’, CMMI, 26

Maret,<http://www.cmm.or.id/cmm-

ind_more.php?id=A912_0_3_0_M>
25

Djelantik, Sukawarsini 2006, ‘Terrorism in Indonesia: the

emergence of West Javanese terrorists,International

Graduate Student Conference series, East-West centre

working paper, No.22

Gottlieb, Stuart 2009, Debating terrorism and

counterterrorism:conflicting perspectives on causes,

contexts and responses, CQ Express, A division of Sage,

Washington, D.C

Hasan, Noorhaidi 2007, ‘Islamic militancy, shari’a and

democratic consolidation in Post-Suharto

Indonesia’,Working Paper S. Rajaratnam School of

International Studies, 23 Oktober Singapore.

Hippel, Karin Vol 2009, the role of terrorism in

radicalization and terrorism,Center for Strategic and

International Studies,

Husaini, Adian 2009, Radikalisme atau Ekstrimisme?,

Republika, 8 September.

Keet, C. Maria 2003, ‘Terrorism and Game Theory:

Coalitions, negotiations and audience costs’, Department

of Government & Society, University of Limerick, Ireland


26

Keling, Mohamad Faisol dkk 2009,‘The Problems of

Terrorism in Southeast Asia’, Journal of Asia Pacific

Studies, Vol 1, No 1, 27-48

Kompas 2009, ‘Jaringan Terorisme: Radikalisme yang

Kompleks di Kabupaten Temanggung’, Koran Kompas, 24

Agustus,http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/08/24/03192

668/radikalisme.yang.kompleks.di.kabupaten.temanggung

Nakhleh, Emile A. 2009, A Necessary Engagement:

reinventing america’s relations with the muslim world,

princeton university press princeton and Oxford.

Suara Karya 2010, ‘Presiden jadi target Serangan di

Istana’, Koran Suara Karya Online, 15 Mei,

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=253144

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai