Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

TEORI PEKERJAAN SOSIAL


“TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK”

Dosen Pengampu: Umi Hani, SE., M.KESOS

Disusun oleh:
Salma Aulia (212020001)
Firasya Finna Az-zahra Ludfi (212020013)
Mutiara Kusuma Wardhani (212020014)
Salwa Luthfiyyah (212020021)
Nabillah Tri Syahrani Putri (212020041)
Angelique Margaretha (212020046)
Rizky Rahmalita (212020047)
Raihan Rasendriya Perwiranegara (212020055)
Wafa Izzati Nabila (212020065)

PROGRAM STUDI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas
limpahan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Teori
Interaksionis Simbolik”. Tidak lupa, kami juga mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak
yang telah memberikan sumbangan keilmuan dan kontribusi lain sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.

Sebagai penulis, kami berharap makalah ini dapat memperluas cakrawala pengetahuan
pembaca. Bahkan, kami berharap lebih jauh lagi agar esensi dari makalah ini dapat
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari demi terwujudnya masyarakat yang sejahtera.

Selain itu, kami selaku penyusun menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan makalah ini. Oleh karena itu, kami memohon saran dan kritik yang membangun
demi kesempurnaan isi makalah.

Bandung, 11 Oktober 2022

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Teori interaksionisme simbolik merupakan teori yang berasal dari pemikiran George
Herbert Mead dan Herbert Blumer yang menjelaskan tentang penggunaan dan penciptaan
simbol dalam interaksi (Soeprapto, 2002). Dijelaskan pula oleh Mead (dikutip dari West
dan Turner, 2008) bahwa di dalam interaksi sosial, individu akan membentuk dan
dibentuk oleh society melalui interaksi.
Salah satu hasil dari interaksi tersebut adalah konsep diri individu. Interaksi individu
baik di dalam sosialnya, maupun di dalam sebuah organisasi, akan membentuk konsep
diri individu. Konsep diri sendiri dapat didefinisikan sebagai aspek-aspek yang ada di
dalam diri individu, seperti emosi, pikiran, peranan serta nilai yang ada di dalam dirinya
(West dan Turner, 2008).
Dapat dikatakan bahwa konsep diri disadari seseorang dengan menempatkan diri
sebagai subjek dan objek, melihat diri dari perspektif diri sendiri dan dari orang lain. Hal
tersebut dijelaskan di dalam teori interaksionisme simbolik di dalam konsep penting yang
dijelaskan oleh Mead (West dan Turner, 2008: 106), yaitu self. Ditambahkan oleh Mead
(dikutip dari West dan Turner, 2008) bahwa interaksi merupakan salah satu pembentuk
konsep diri individu.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa sejarah Teori Interaksionisme Simbolik?
2. Apa pengertian tentang Teori Interaksionisme Simbolik?
3. Apa contoh kasus dari Teori Interaksionisme Simbolik?
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK


Teori interaksi simbolik bermula dari interaksionisme simbolik yang digagas
oleh George Herbert Mead yakni sebuah perspektif sosiologi yang dikembangkan pada
kisaran pertengahan abad 20 dan berlanjut menjadi beberapa pendekatan teoritis yaitu
aliran Chicago yang diprakarsai oleh Herbert Blumer, aliran Iowa yang diprakarsai
oleh Manford Kuhn, dan aliran Indiana yang diprakarsai oleh Sheldon Stryker.
Karir Goerge Herbert Mead berawal saat beliau menjadi seorang professor di kampus
Oberlin, Ohio, kemudian Mead berpindah pindah mengajar dari satu kampus ke kampus
lain, sampai akhirnya saat beliau di undang untuk pindah dari Universitas Michigan ke
Universitas Chicago oleh John Dewey. Disinilah Mead dikenal sebagai seseorang yang
memiliki pemikiran yang original dan membuat catatan kontribusi kepada ilmu sosial
dengan meluncurkan “The Theoretical Perspective” yang pada perkembangannya nanti
menjadi cikal bakal “Teori Interaksi Simbolik”, dan sepanjang tahunnya,
Mead dikenal sebagai ahli sosial psikologi untuk ilmu sosiologis. Semasa hidupnya
Mead memfokuskan diri dalam memahami suatu interaksi perilaku sosial, dan
berpendapat bahwa aspek internal juga perlu untuk dikaji. Mead tertarik pada interaksi,
dimana isyarat nonverbal dan makna dari suatu pesan verbal, akan mempengaruhi pikiran
orang yang sedang berinteraksi.
Dalam terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat nonverbal (seperti body
language, gerak fisik, baju, status, dan lain-lain) dan pesan verbal (seperti kata-kata,
suara, dan lain-lain) yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak
yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti
yang sangat penting (a significant symbol).
Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan interaksi simbolik, di mana
pada saat itu dasar pemikiran Mead terpecah menjadi dua Mahzab (School), di mana
kedua mahzab tersebut berbeda dalam hal metodologi, yaitu :
1. Mahzab Chicago (Chicago School), dipelopori oleh Herbert Blumer pada tahun 1969
yang juga mencetuskan nama interaksi simbolik. Blumer melakukan pendekatan
kualitatif, dimana meyakini bahwa studi tentang manusia tidak bisa disamakan
dengan studi terhadap benda mati, dan para pemikir yang ada di dalam mahzab
Chicago banyak melakukan pendekatan interpretif berdasarkan rintisan pikiran
George Harbert Mead.
2. Mahzab Lowa (Lowa School), dipelopori oleh Manfred Kuhn dan Kimball Young
pada tahun 1950-1960an, dengan pendekatan kuntitatif. Kuhn meyakini bahwa
konsep interaksi simbolik dapat dioprasionalisasi, dikuantifikasi, dan diuji. Mahzab
ini mengembangkan beberapa cara pandang yang baru mengenai ”konsep diri”.

Kini, Interaksi simbolik telah menjadi istilah komunikasi dan sosiologi yang bersifat
interdisipliner. Objek materialnya pun sama, yaitu manusia, dan perilaku manusia (human
behavior). Salah satu teori sosiologi yang cukup berpengaruh adalah Interaksi Simbolik
yang fokus pada perilaku peran, interaksi antarindividu, serta tindakan-tindakan dan
komunikasi yang dapat diamati. Melalui pendekatan ini, secara lebih spesifik, peneliti
dapat menguraikan perkembangan sejarahnya dan manfaatnya bagi individu maupun
masyarakat itu sendiri.

Interaksi Simbolik menunjuk pada sifat khas dari interaksi antarmanusia. Artinya
manusia saling menerjemahkan dan mendefinisikan tindakannya, baik dalam interaksi
dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri. Proses interaksi yang terbentuk
melibatkan pemakaian simbol-simbol bahasa, ketentuan adat istiadat, agama dan
pandangan-pandangan.

B. PENGERTIAN TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK


Interaksionisme simbolik, merupakan sebuah perspektif sosiologis yang berfokus
pada dinamika penafsiran situasi sosial dalam menegosiasikan makna situasi ini dengan
orang lain. Perspektif ini lebih terfokus secara struktural dalam melihat individu yang
secara aktif menciptakan dunia sosial, daripada hanya bertindak dalam batasan budaya
dan struktur sosial.
Maka dengan itu, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan
oleh setiap individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri
dari perspektif interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik. Menurut Ralph
Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008:96), inti dari interaksi
simbolik adalah untuk menjelaskan tentang kerangka referensi dalam memahami
bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan
bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia.
Dalam teorinya, George Herbert Mead menyebutkan tiga tema konsep mendasar,
yakni mind, self and society. Jika dikaitkan dengan penggunaan bahasa isyarat SIBI dan
BISINDO, berikut ini rumusan analisis ketiga konsep tersebut. 
a. Mind (pikiran), pembentukkan makna melalui simbol terletak pada konsep mind
(pikiran). Mind termanifestasikan secara nyata ketika individu berinteraksi
menggunakan simbol-simbol yang diinterpretasikan sebagai makna. Mind mencakup
kemampuan menggunakan makna sosial yang diproduksi lewat interaksi. Dalam
menciptakan makna yang sama dan seragam, individu harus saling menjalin
kesepakatan dan kesepahaman untuk menerapkan suatu makna pada simbol tertentu.
Penggunaan SIBI dan BISINDO mengakomodir konsep ini. SIBI dan BISINDO
adalah sistem makna yang disepakati secara bersama penggunaannya oleh teman tuli.
Teman tuli dapat berkomunikasi satu sama lain lewat makna yang diproduksi. 
b. Self (diri), Self merujuk pada kemampuan untuk menerima diri sendiri dari perspektif
orang lain. Hal ini muncul melalui proses interaksi dan menyesuaikan diri sendiri
dengan perspektif orang lain adalah cara untuk masuk ke dalam tatanan sosial. Self
terdiri atas “I” (konsep diri ketika seorang individu bertindak sebagai subjek) dan
“Me” (konsep diri ketika seorang individu bertindak sebagai objek). Perbedaan
keduanya terlihat dari kehadiran pertimbangan yang berasal dari dunia luar. “I” adalah
konsep diri non-reflektif dan respons yang spontan tanpa pertimbangan, sedangkan
konsep “Me” terlihat ketika aksi atau reaksi yang ditunjukkan didasarkan atas suatu
pertimbangan. Jika dikaitkan dengan penggunaan bahasa isyarat oleh teman tuli,
konsep ini dapat terlihat pada beberapa situasi. Teman tuli akan berkomunikasi lewat
bahasa isyarat saja jika berinteraksi dengan teman tuli lainnya. Adapun, jika mereka
berhadapan dengan teman dengar biasanya mereka menggunakan bahasa isyarat
sambil melafalkan vokal kata walaupun terbatas. Kondisi semacam ini menunjukkan
penilaian mengenai diri sendiri dan usaha untuk memenuhi ekspektasi sosial pada
umumnya. 
c. Society (masyarakat), Mead berpendapat bahwa makna akan dimodifikasi lewat
proses interaksi yang terjadi secara terus menerus. Perkembangan konsep diri (self)
juga dipengaruhi oleh society. Konsep ini dapat terlihat dari perkembangan bahasa
isyarat. Pada awal kemunculannya, bahasa isyarat hanya merupakan metode
pengajaran secara tertulis saja. Artinya, komunikasi terhadap teman tuli masih
terbatas lewat tulisan. Makna sosial didapat dari pemberian makna terhadap kosakata
verbal tersebut.
Dewasa ini, bahasa isyarat telah dioperasionalisasikan dan memiliki ragam baku yang
telah menjadi standar keseragaman makna. Akibatnya, teman tuli berkomunikasi lewat
gestur dan ekspresi. Jarome Manis dan Bernard Meltzer dalam Littlejhon (2004)
mengemukakan tujuh proposisi dasar dalam interaksi simbolik, yakni:
1) Manusia memahami sesuatu melalui makna yang diperoleh dari pengalaman, persepsi
manusia selalu muncul menggunakan simbol-simbol.
2) Makna dipelajari melalui interaksi antar manusia dan makna muncul dari pertukaran
simbol dalam kelompok sosial.
3) Semua struktur dan institusi sosial dibuat berdasarkan interaksi antar manusia.
4) Perilaku manusia tidak hanya dipengaruhi oleh kejadian, melainkan oleh kehendak
dirinya sendiri.
5) Benak manusia berisi percakapan bersifat internal, yang merefleksikan bahwa dia
telah berinteraksi.
6) Perilaku tercipta dalam interaksi dengan kelompok sosial.
7) Seseorang tidak dapat dipahami hanya dari perilaku yang terbuka.
C. IMPLIKASI ILMU, TEORI DAN METODOLOGI
1. Teori Sosiologikal Modern (Modern Sociological Theory)
Dimana teori ini menjabarkan interaksi simbolik sebagai perspektif yang bersifat
sosial-psikologis. Teori sosiologikal modern menekankan pada struktur sosial, bentuk
konkret dari perilaku individu, bersifat dugaan, pembentukan sifat-sifat batin, dan
menekankan pada interaksi simbolik yang memfokuskan diri pada hakekat interaksi.
2. Perspektif interaksional (Interactionist perspective) Perspektif ini menekankan pada
pendekatan untuk mempelajari lebih jauh dari interaksi sosial masyarakat, dan
mengacu dari penggunaan simbol-simbol yang pada akhirnya akan dimaknai secara
kesepakatan bersama oleh masyarakat dalam interaksi sosial mereka.
3. Konsep definisi situasi (The definition of the situation)
Konsep definisi situasi merupakan perbaikan dari pandangan yang mengatakan bahwa
interaksi manusia merupakan pemberian tanggapan (response) terhadap rangsangan
(stimulus) secara langsung. Konsep definisi situasi mengganggap bahwa setiap
individu dalam memberikan suatu reaksi terhadap rangsangan dari luar, maka perilaku
dari individu tersebut didahului dari suatu tahap pertimbangan-pertimbangan tertentu,
dimana rangsangan dari luar tidak ”langsung ditelan mentah-mentah”, tetapi perlu
dilakukan proses selektif atau proses penafsiran situasi yang pada akhirnya individu
tersebut akan memberi makna terhadap rangsangan yang diterimanya.
4. Konstruksi sosial (Social Construction)
Merupakan implikasi berikutnya dari interaksi simbolik dimana konstruksi sosial
melihat individu yang melakukan proses komunikasi untuk menafsirkan peristiwa dan
membagi penafsiran-penafsiran tersebut dengan orang lain, dan realitas dibangun
secara sosial melalui komunikasi.
5. Teori peran (Role Theory)
Merupakan implikasi selanjutnya dari interaksi simbolik dimana, salah satu aktivitas
paling penting yang dilakukan manusia setelah proses pemikiran (thought) adalah
pengambilan peran (role taking). Teori peran menekankan pada kemampuan individu
secara simbolik dalam menempatkan diri diantara individu lainnya ditengah
interaksi sosial masyarakat.
6. Teori diri (Self Theory)
Merupakan bentuk kepedulian dari Ron Harrě, dimana diri dikonstruksikan oleh
sebuah teori pribadi (diri). Artinya, individu dalam belajar untuk memahami diri
dengan menggunakan sebuah teori yang mendefinisikannya, sehingga pemikiran
seseorang tentang diri sebagai perso merupakan sebuah konsep yang diturunkan dari
gagasan-gagasan tentang personhood yang diungkapkan melalui proses komunikasi.
7. Teori dramatisme (Dramatism Theory)
Teori ini memfokuskan pada diri dalam suatu peristiwa yang ada dengan
menggunakan simbol komunikasi. Dramatisme memandang manusia sebagai tokoh
yang sedang memainkan peran mereka, dan proses komunikasi atau penggunaan
pesan dianggap sebagai perilaku yang pada akhirnya membentuk cerita tertentu.
D. KAJIAN TERHADAP KASUS AKTUAL
Teori interaksionisme simbolik lazim digunakan dalam kajian komunikasi. Jika
dikaitkan dengan pekerjaan sosial, kasus aktual yang dapat ditelaah melalui teori ini
adalah soal penggunaan bahasa isyarat untuk penyandang tunarungu, yang akrab disapa
teman tuli. Bahasa yang lazim digunakan adalah SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia)
dan BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia).
Keduanya memiliki perbedaan. SIBI adalah isyarat bahasa yang telah distandarkan
dan dinormalisasikan sesuai dengan tata bahasa, sintaksis dan morfologi kata. Hampir
semua kata dasar memiliki isyarat, bahkan imbuhan pun telah diwakili oleh suatu isyarat
khusus.
Adapun, BISINDO adalah bahasa alamiah yang terbentuk sesuai dengan budaya asli
Indonesia yang dapat dengan mudah digunakan dalam lingkup pergaulan penyandang
tunarungu. BISINDO memiliki kedudukan sebagai bahasa ibu pada penyandang
tunarungu yang kurang lebih serupa peranannya seperti bahasa daerah bagi banyak orang
Indonesia. Oleh karena itu, BISINDO bersifat sangat unik dan otentik.
Interaksi di antara para penyandang  tunarungu atau teman tuli dapat terjalin lewat
penggunaan simbol-simbol yang diberi makna. Dalam hal ini, makna tersebut telah
disepakati bersama sehingga terjadi kesesuaian pesan antara komunikator dan komunikan.
Penyusunan bahasa isyarat dimaksudkan untuk mendukung kesejahteraan penyandang
tunarungu, di mana hal ini memenuhi kebutuhan mereka untuk berkomunikasi dan
berkumpul dengan sesamanya. 
Kemunculan SIBI tidak lepas dari kehadiran Widyatmoko, mantan kepala sekolah
SLB/B Widya Bakti Semarang yang bekerja sama dengan SLB/B di Jakarta dan
Surabaya. SIBI telah memiliki kamus bahasa isyarat yang aktif didistribusikan kepada
para penyandang tunarungu sejak tahun 2001 lewat institusi pendidikan. Basis
penyusunan SIBI adalah ASL (American Sign Language) yang diciptakan oleh William
Stokoe pada 1960-an. 
Dari pemaparan di atas, dapat terlihat bahwa makna diproduksi oleh individu melalui
proses interaksi. Interaksi yang terjadi antara para penyandang tunarungu, yang
notabenenya tidak dapat dan/atau memiliki gangguan pendengaran, terjadi lewat
penggunaan sejumlah gestur dan ekspresi yang mungkin saja tidak bermakna apa-apa
bagi teman dengar. Gestur-gestur ini kemudian diberi makna dan dioperasionalisasikan
dalam pergaulan hidup-hidup sehari-hari. Supaya komunikasi berjalan lancar, makna
tersebut disepakati secara bersama sehingga menghasilkan satu konsepsi yang seragam.
Hal ini dapat terlihat dari adanya upaya penyusunan kamus bahasa isyarat.
Penyusunan ini bertujuan untuk memberikan makna atas suatu simbol (dalam hal ini
gestur) yang bisa diinterpretasikan seragam oleh individu atau kelompok yang terlibat di
dalam interaksi. Implikasi akhir dari seluruh upaya ini akan bermuara pada pemberian
respons komunikan yang sesuai dengan pesan komunikator, mengingat menurut Herbert
Blumer sendiri manusia akan bertindak sesuai makna yang dikandung di dalam interaksi.
Artinya, makna memberikan sumbangsih dalam menentukan motif untuk berperilaku.
Karenanya, kesepakatan untuk membentuk suatu makna sosial harus berjalan secara tepat.
E. KRITIK TERHADAP TEORI
- Interaksi simbolik memiliki banyak implikasi-implikasi, sehingga teori ini paling sulit
untuk disimpulkan
- Interaksi simbolik tidak dianggap cukup heuristik,sehingga memunculkan sedikit
hipotesis yang bisa diuji dan pemahaman yang minim
- Interaksi simbolik dalam proses penelitian dianggap meremehkan ataupun
mengabaikan variabel-variabel penjelas yang sebenarnya cukup penting, seperti emosi
individu yang diteliti.
- Interaksi simbolik berhubungan dengan organisasi sosial kemasyarakatan, dimana
organisasi sosial atau struktur menghilangkan prerogatif individu.
- Interaksi simbolik menanggapi sebuah inkonsistensi yang melibatkan masalah
determinisme, dimana individu tidak memiliki banyak pilihan kecuali memandang
dunia dengan cara yang sudah ditentukan, padahal dalam realita nya, manusia bebas
untuk memilih setiap pilihannya secara aktif, dan independen, dan tanpa dibatasi oleh
aturan yang mengikat.
Jadi, menurut penulis, Interaksi Simbolik yang disampaikan oleh George Herbert
Mead adalah masuk dalam kategori Asumsi, dan bukan sebuah Teori.
BAB III
KESIMPULAN

Interaksionisme simbolik, merupakan sebuah perspektif sosiologis yang berfokus


pada dinamika penafsiran situasi sosial dalam menegosiasikan makna situasi ini dengan
orang lain. Perspektif ini lebih terfokus secara struktural dalam melihat individu yang
secara aktif menciptakan dunia sosial, daripada hanya bertindak dalam batasan budaya
dan struktur sosial.

Interaksi Simbolik menunjuk pada sifat khas dari interaksi antarmanusia. Artinya
manusia saling menerjemahkan dan mendefinisikan tindakannya, baik dalam interaksi
dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri. Proses interaksi yang terbentuk
melibatkan pemakaian simbol-simbol bahasa, ketentuan adat istiadat, agama dan
pandangan-pandangan.

Interaksi Simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal
dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi
sosial, dan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah
masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap.

Anda mungkin juga menyukai