Anda di halaman 1dari 7

TEORI KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI

“TEORI INTERAKSI SIMBOLIK”

Kajian ini ditujukan untuk memenuhi tugas

mata kuliah Komunikasi Antar Pribadi

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 12

1. Febri Ardiansyah (6662150019)

2. Novi Yuliana (6662150061)

3. M. Nurul Fikri Naufal (6662150111)

KELAS : 3B Ilmu Komunikasi

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
Jln. Raya Jakarta Km. 4 Pakupatan – Serang, Provinsi Banten, tlp (0254) 280330
Tahun Ajaran 2016/2017
Teori Interaksi Simbolik (Symbolic Interaction Theory - SI)

George Herbert Mead mengagumi kemampuan manusia untuk menggunakan simbol; dia
menyatakan bahwa orang bertindak berdasarkan makna simbolik yang muncul didalam sebuah
situasi tertentu. Simbol yang dimaksud adalah label arbitrer atau representasi dari fenomena.
Teori ini menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi. Raph Larossa dan Donald C.
Reitzes (1993) mengatakan bahwa interaksionisme simbolik adalah pada intinya sebuah
kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lainnya,
menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia ini, sebaliknya membentuk perilaku manusia.
Dalam pernyataan ini, kita dapat melihat argument Mead mengenai saling ketergantungan antara
individu dan masyarakat.

Sejarah Interaksionisme Simbolik


Interaksionisme simbolik lahir pada dua universitas: Universitas Iowa dengan tokoh
Manford Kuhn dan Universitas Chicago dengan tokoh George Herbert Mead. Kedua universitas
ini mengembangkan dua metode yang berbeda. Herbert Blummer (Universitas Chicago)
menyatakan bahwa studi mengenai manusia tidak dapat dilaksanakan dengan menggunakan
metode yang sama seperti yang digunakan untuk mempelajari hal lainnya. Mahzab Chicago
mendukung penggunaan studi kasus dan sejarah serta wawancara tidak terstruktur. Sedangkan
aliran dari Universitas Iowa mengadopsi pendekatan kuantitatif dalam studinya. Mahzab Iowa
beranggapan bahwa konsep interaksionisme simbolik dapat dioperasionalkan, dikuantifikasi, dan
diuji, dalam hal ini dikembangkan sebuah teknik “kuesioner dua puluh pertanyaan sikap diri”.

Tema dan Asumsi Interaksionisme Simbolik


1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia.
Teori ini berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi
karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap apapun. Dibutuhkan konstruksi interpretif
diantara orang-orang untuk menciptakan makna, bahkan tujuan dari teori ini adalah
menciptakan makna yang sama.
Asumsi-asumsinya:

1
a) Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang
lain kepada mereka. Asumsi ini menjelaskan perilaku sebagai suatu rangkaian pemikiran
dan perilaku yang dilakukan secara sadar antara rangsangan dan respons yang berkaitan
dengan rangsangan tersebut.
b) Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia. Mead menekankan dasar intersubjektif
dari makna. Makna dapat ada, menurut Mead, hanya ketika orang-orang memiliki
interpretasi yang sama mengenai symbol yang mereka pertukaran dalam interaksi.
c) Makna dimodifikasi melalui proses interpretif. Blumer menyatakan bahwa proses
interpretif ini memiliki dua langkah. (1) Para pelaku menentukan benda-benda yang
mempunyai makna. (2) Melibatkan perilaku untuk memilih, mengecek dan melakukan
transformasi makna di dalam konteks di mana mereka berada.
2. Pentingnya konsep diri.
Tema kedua pada teori ini berfokus pada pentingnya konsep diri (self-concept), atau
seperangkat persepsi yang relatif stabil yang dipercaya orang mengenai dirinya sendiri.
Asumsi-asumsinya:
a) Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain.
Asumsi ini menyatakan bahwa kita membangun perasaan akan diri (sense of self) tidak
selamanya melalui kontak dengan orang lain. Orang-orang tidak lahir dengan konsep diri;
mereka belajar tentang diri mereka melalui interaksi.
b) Konsep diri memberikan motif penting untuk perilaku. Pemikiran bahwa keyakinan, nilai,
perasaan, penilaian-penilaian mengenal diri mempengaruhi perilaku adalah sebuah
prinsip penting pada interaksionisme simbolik. Mead berpendapat bahwa karena manusia
memiliki diri, mereka memiliki mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri.
Mekanisme ini digunakan untuk menuntun perilaku dan sikap.
3. Hubungan antara individu dan masyarakat.
Tema ini berkaitan antara kebebasan individu dan batasan sosial. Dalam hal ini dicoba
dijelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial.
Asumsi-asumsinya:
a) Orang dan kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial. Asumsi ini mengakui
bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku manusia. Selain itu, budaya secara kuat
mempengaruhi perilaku dan sikap yang kita anggap penting dalam konsep diri.

2
b) Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial. Asumsi ini menengahi posisi yang
diambil oleh asumsi sebelumnya. Interaksionisme simbolik mempertanyakan pendangan
bahwa struktur sosial tidak berubah serta mengakui bahwa individu dapat memodifikasi
situasi sosial. Dengan demikian para peserta dalam interaksi memodifikasi struktur dan
tidak secara penuh dibatasi oleh hal tersebut. Dengan kata lain, manusia adalah pembuat
pilihan.

Konsep Penting
1. Pikiran (Mind)
Didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna
sosial yang sama, dan Mead percaya bahwa manusia harus mengembangkan pikiran melalui
interaksi dengan orang lain. Manusia tidak dapat berinteraksi dengan orang lain apabila
belum mengenal bahasa. Bahasa itu sendiri tergantung pada simbol signifikan (significant
symbol), atau simbol-simbol yang memunculkan makna yang sama bagi banyak orang.
Dengan bahasa, manusia dapat mengembangkan pikiran menjadi pemikiran (thought) dan
akhirnya menghasilkan pengambilan peran (role taking), atau kemampuan untuk secara
simbolik menempatkan dirinya sendiri dalam diri khayalan orang lain.
2. Diri (Self)
Definisikan sebagai kemampuan untuk merefleksikan diri kita sendiri dari perspektif
orang lain. Bagi Mead, diri berkembang dari sebuah jenis pengambilan peran yang khusus –
maksudnya, membayangkan bagaimana kita dilihat orang lain. Mead meminjam konsep
Charles Cooley (1912), cermin diri (looking-glass-self), atau kemampuan kita untuk melihat
diri kita sendiri dalam pantulan dan pandangan orang lain.
3. Masyarakat (Society)
Didefinisikan sebagai jejaring hubungan sosial yang diciptakan manusia. Individu-
individu terlibat didalam masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan
suka rela. Jadi, masyarakat menggambarkan keterhubungan beberapa perangkat perilaku
yang terus disesuaikan oleh individu-individu. Masyarakat ada sebelum individu tetapi juga
diciptakan dan dibentuk oleh individu, dengan melakukan tindakan sejalan dengan orang
lainnya (Forte, 2004). Ada dua bagian penting masyarakat yang mempengaruhi pikiran
dan diri, yaitu:

3
a) Orang lain secara khusus (particular others), yakni:
Merujuk pada individu-individu dalam masyarakat yang signifikan bagi kita. Orang-
orang ini biasanya adalah anggota keluarga, teman, dan kolega di tempat kerja serta
supervisor. Kita melihat orang lain secara khusus tersebut untuk mendapatkan rasa
penerimaan sosial dan rasa mengenai diri. Sering kali pengharapan dari beberapa
particular others mengalami konflik dengan orang lainnya;
b) Orang lain secara umum (generalized others), yakni:
Merujuk pada cara pandang dari sebuah kelompok sosial atau budaya sebagai
keseluruhan. Hal ini diberikan oleh masyarakat kepada kita, dan “sikap dari orang lain
secara umum adalah sikap dari keseluruhan komunitas” (Mead, 1934). Orang lain
secara umum memberikan menyediakan informasi mengenai peranan, aturan, dan sikap
yang dimiliki oleh komunitas. Orang lain secara umum juga memberikan kita perasaan
mengenai bagaimana orang lain bereaksi kepada kita dan harapan sosial secara umum.
Perasaan ini berpengaruh dalam mengembangkan kesadaran sosial. Orang lain secara
umum dapat membantu dalam menengahi konflik yang dimunculkan oleh kelompok-
kolompok orang lain secara khusus yang berkonflik.

Contoh Kasus Teori Interaksi Simbolik


Bagas adalah seorang pegawai baru di suatu perusahaan besar yang bergerak di bidang
advertising, dimana dia ditempatkan dibagian marketing atau pemasaran. Bagas adalah seorang
pegawai dengan latar belakang D1, namun ia mampu dan berhasil masuk ke perusahaan tersebut
dengan latar belakang pengalaman dan kemampuannya yang ia telah lampirkan di CV saat ia
melamar pekerjaan.
Pada hari pertama ia bekerja, Bagas mengalami kekhawatiran yang mendalam. Apalagi
saat ia dikenalkan dengan pegawai lainnya yang akan menjadi rekan kerjanya selama ia bekerja
di perusahaan tersebut. Ia menjadi sedikit rendah diri karena perkenalan singkat tersebut. Akan
tetapi, setiap kali ia merasa rendah diri, Bagas akan selalu mengingat adik-adiknya. Ia hanya
tinggal dengan 3 orang adik-adiknya yang masih menempuh pendidikan di berbagai jenjang.
Memikirkan adik-adiknya membuat ia selalu merasa kuat. Ia berjuang untuk membiayai adik-
adiknya mengenyam pendidikan yang baik, sehingga mereka menjadi orang-orang sukses di
masa depan dan dapat membanggakan orang tua mereka yang dulunya juga merupakan pekerja

4
keras yang mecintai pekerjaannya. Bagas selalu menanamkan hal tersebut di dalam dirinya.
Pada saat akan memulai pekerjaan, Bagas dibimbing oleh rekan kerjanya yang usianya tidak jauh
berbeda dengannya. Rekan kerjanya memberikan banyak informasi mengenai hal-hal penting
yang diperlukan saat mereka bekerja. Setelah selesai, rekan kerjanya mulai membuka
pembicaraan dengan topik yang lebih santai dan rileks. Rekan kerjanya ternyata memiliki latar
belakang S1. Ia bercerita bahwa awalnya ia juga merupakan karyawan tamatan D1, akan tetapi ia
bekerja sambil kuliah untuk mengambil S1. Rekan kerjanya tersebut juga merupakan anak tertua
di keluarganya, yang meskipun kedua orang tuanya masih ada, namun ia lah yang menjadi tulang
punggung keluarga. Mendengar hal itu membuat Bagas menjadi lebih rileks dan siap dengan
tantangan pekerjaan di depannya. Ia merasa lebih kuat dan lebih percaya diri dengan mengetahui
bahwa ia memiliki rekan kerja dengan latar belakang yang sama dengannya. Dengan demikian,
kekhawatiran yang ia miliki telah berkurang dan ia siap untuk bekerja.

Analisa Kasus
Dari contoh kasus di atas dapat dilihat bahwa Bagas melakukan interaksi simbolik,
dimana ia memaknai suatu simbol yang ada dalam dirinya saat akan mulai bekerja. Ia pada
awalnya merasa rendah diri, namun ia selalu mengingat adik-adiknya dan orang tuanya yang
dulunya juga merupakan pekerja yang mencintai pekerjaan mereka. Dan juga, dengan adanya
kehadiran rekan kerja Bagas yang memiliki latar belakang yang sama dengannya, memunculkan
pemaknaan simbolik yang ada dalam diri Bagas, yaitu bekerja keras dan mencintai pekerjaannya.
Saat itulah, ia merasa lebih kuat dan percaya diri, dan siap untuk menerima tantangan
pekerjaannya.

Solusi Kasus
Solusi untuk kasus yang dialami Bagas di atas adalah Bagas harus membuang jauh-jauh
rasa khawatir di dalam dirinya ketika ingin bertemu dengan orang baru di kehidupannya. Sifat
rendah diri sangat tidak baik untuk kita dalam menjalankan hidup. Tetap percaya diri dengan apa
yang akan terjadi, karena bisa saja orang yang baru kita kenal tersebut memiliki jalan pikiran
yang sama. Orang yang baru kita kenal hari ini bisa juga menjadi penolong kita di kemudian
hari.

5
Sumber:
West. L. Richard. Turner, H. Lynn. 2008. Pengantar Teori KomunikasI: Analisis dan Aplikasi.
Jakarta; Salemba Humanika.

Anda mungkin juga menyukai