Anda di halaman 1dari 6

BAB II

TINJAUAN TEORITIS
2.1 Interkasi Simbolik
Interaksi adalah istilah dan garapan sosiologi sedangkan simbolik adalah garapan
komunikologi atau ilmu komunikasi. Kontribusi utama sosiologi pada perkembangan ilmu
psikologi sosial yang melahirkan perspektif interaksi simbolik.
2.2.1 Makna Interaksi Simbolik
Herbert Blumer dalam Ahmadi D ( 2008: 309-3010), konsepnya tentang interaksi
simbolik, Blumer menunjuk kepada sifat khas dari tindakan atau interaksi antar manusia.
Kekhasannya bahwa manusia saling menerjemahkan, mendefenisikan tindakannya, bukan
hanya reaksi dari tindakan seseorang terhadap orang lain. Tanggapan seseorang, tidak
dibuat secara langsung atas tindakan itu, tetapi didasarkan atas “makna” yang diberikan.
Olehnya, interaksi dijembatani oleh penggunaan simbol, penafsiran, dan penemuan makna
tindakan orang lain.
Blumer Soeprapto (2002), mengatakan bahwa individu bukan dikelilingi oleh
lingkungan objek-objek potensial yang mempermainkan dan membentuk perilakunya,
sebaliknya ia membentuk objek-objek itu. Dengan begitu, manusia merupakan actor yang
sadar dan reflektif, yang menyatukan objek yang diketahuinya melalui apa yang disebutnya
sebagai self-indication. Maksudnya, proses komunikasi yang sedang berjalan dimana
individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberi makna dan memberi tindakan dalam
konteks sosial. Menurutnya dalam teori interaksi simbolik mempelajari suatu masyarakat
disebut “tindakan bersama”.
Dalam perspektif Blumer, teori interaksi simbolik mengandung beberapa ide dasar,
yaitu: (1) Masyarakat terdiri atas manusia yang bertinteraksi. Kegiatan tersebut saling
bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk struktur sosial; (2) Interaksi terdiri atas
berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi
nonsimbolis mencakup stimulus respons, sedangkan interaksi simbolis mencakup
penafsiran tindakan-tindakan; (3) Objek-objek tidak memiliki makna yang intrinsik.
Makna lebih merupakan produk interaksi simbolis. Objek-objek tersebut dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu objek fisik, objek sosial, dan objek abstrak;

5
(4) Manusia tidak hanya mengenal objek eksternal. Mereka juga melihat dirinya sebagai
objek;(5) Tindakan manusia adalah tindakan interpretasi yang dibuat manusia itu sendiri;
(6) Tindakan tersebut saling berkaitan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok.
Ini merupakan “tindakan bersama”. Sebagian besar “tindakan bersama” tersebut dilakukan
berulang-ulang, namun dalam kondisi yang stabil. Kemudian di saat lain ia melahirkan
kebudayaan (Bachtiar, 2006:249-250).

2.1.2. Konsep Diri Dalam Interaksi Simbolik


Menurut G. Herbert Mead dalam Ahmadi D ( 2008: 307-308), mengatakan bahwa
teori interaksi simbolik adalah tentang “diri” (self), menganggap bahwa konsepsi-diri
adalah suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain. Bagi
Mead, individu adalah makhluk yang bersifat sensitif, aktif, kreatif, dan inovatif. Konsep
“diri” (self) dapat bersifat sebagai objek maupun subjek sekaligus. Objek yang dimaksud
berlaku pada dirinya sendiri sebagai karakter dasar dari makhluk lain, sehingga mampu
mencapai kesadaran diri (self conciousness), dan dasar mengambil sikap untuk dirinya,
juga untuk situasi sosial.

Menurut Charles Horton Cooley dalam Ahmadi D ( 2008: 307-308), mengatakan


bahwa tentang “Diri” yang penting dalam perkembangan Interaksi simbolik ini berusaha
mendapatkan pemahaman yang lebih dalam mengenai individu, namun bukan sebagai
entitas yang terpisah dari masyarakat. Cooley mendefinisikan “diri” sebagai segala sesuatu
yang dirujuk dalam pembicaran biasa melalui kata ganti orang pertama tunggal. Cooley
berpendapat bahwa “aku” (I), “daku”, (me), “milikku”, (mine), dan “diriku” (my self).
Menurutnya, segala sesuatu yang dikaitkan dengan diri menciptakan emosi lebih kuat
dibandingkan dengan yang tidak dikaitkan dengan diri bahwa diri dapat dikenal hanya
melalui perasaan subjektif. Dalam teorinya the lookingglass self, Cooley berargumen
bahwa konsep diri individu secara signifikan ditentukan apa yang ia pikirkan tentang
pikiran orang lain mengenaidirinya. Artinya, individu memerlukan respons orang lain yang
ditafsirkan subjektif sebagai data dirinya, (Mulyana, 2006).

Menurut William Jamesdalam Ahmadi D ( 2008: 307-308), menjelaskan “Diri” tidak


jauh berbeda dengan argumentasi Mead bahwa konsep “diri”(self) dapat bersifat sebagai
objek maupun subjek sekaligus. Objek yang dimaksud berlaku pada dirinya sendiri sebagai
6
karakter dasar dari makhluk lain, sehingga mampu mencapai kesadaran diri (self
conciousness), dan dasar mengambil sikap untuk dirinya juga untuk situasi sosial. James
mengakui bahwa individu mempunyai banyak “diri” sebanyak kelompok berlainan yang
merespon individu tersebut. Prinsipnya bahwa “diri” merefleksikan masyarakat,
memerlukan suatu pandangan atas ‘diri” sesuai dengan realitas. William James
menyimpulkan bahwa tidak ada realitas tunggal, melainkan realitas yang tak terbatas,
seperti realitas kehidupan sehari-hari, mimpi, sains termasuk realitas pribadi.

2.2. Solidaritas Sosial menurut Durkheim


Durkheim mengatakan bahwa masyarakat merupakan hasil dari sebuah
kebersamaan yang disebut dengan solidaritas sosial, yaitu satu keadaan hubungan antara
individu dengan individu atau kelompok dengan kelompok yang didasarkan pada perasaan
moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional
bersama (Johnson, 1988:181).
Durkheim dalam Johnson (1988), indikator yang paling jelas untuk solidaritas
mekanis adalah ruang lingkup dan kerasnya nilai-nilai yang bersifat menekan. Solidaritas
mekanis menekankan pada sesuatu kesadaran kolektif bersama (collective consciousness),
yang menyandarkan pada totalitas kepercayaan dan sentimen bersama yang rata-rata ada
pada warga masyarakat yang sama. Solidaritas mekanis merupakan sesuatu yang
bergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut
kepercayaan dan pola norma yang sama pula. Menurut Doyle Paul Johnson (1986),
solidaritas mekanis adalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas
yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen dan sebagainya.
Perubahan dalam pembagian kerja memiliki implikasi yang sangat besar bagi
struktur masyarakat. Durkheim sangat tertarik dengan perubahan cara dimana solidaritas
sosial terbentuk, dengan kata lain, perubahan cara-cara masyarakat bertahan dan
bagaimana anggotanya melihat diri mereka sebagai bagian yang utuh. Untuk
menyimpulkan perbedaan ini, Durkheim membagi solidaritas sosial menjadi dua, yaitu
solidaritas mekanis dan organis. (Ritzer dan Goodman, 2010: 90-91). Durkheim
berpendapat bahwa masyarakat dalam masyarakat primitif memiliki kesadaran kolektif
lebih kuat yang melingkupi seluruh masyarakat dan seluruh anggotanya, dia sangat
diyakini, sangat rigid, dan isinya sangat bersifat religius, yaitu pemahaman, norma dan
7
kepercayaan bersama. Peningkatan pembagian kerja menyebabkan menyusutnya
kesadaran kolektif.
Masyarakat modern lebih mungkin bertahan bersama dengan pembagian kerja dan
membutuhkan fungsi-fungsi yang dimiliki orang lain daripada bertahan dengan kesadaran
kolektif bersama dan kuat. Kesadaran kolektif dibatasi pada sebagian kelompok, tidak
dirasakan terlalu mengikat, kurang rigid, dan isinya adalah kepentingan individu yang lebih
tinggi daripada pedoman moral. Oleh karena itu, meskipun masyarakat organis memiliki
kesadaran kolektif, namun dia adalah bentuk yang lemah yang tidak memungkinkan
terjadinya perbedaan individual (Ritzer dan Goodman, 2010: 92).
Solidaritas mekanik merupakan dasar kohesi sosial, di sana tingkat perorangan
sangat rendah, karena setiap individu merupakan satu mikrokosmos yang bersifat kolektif,
maka setiap anggota masyarakat semacam ini kesempatan untuk mengembangkan sifat
kepribadian khusus sangat terbatas. Artinya bahwa solidaritas ini telah diperkuat oleh
disiplin suatu komunitas berdasarkan kebersamaan moral dan sosial. Dalam rangka seperti
ini, tradisi sangat berkuasa, individualisme sama sekali tidak ada dan keadilan ditujukan
kepada tunduknya individu kepada kehidupan bersama karena solidaritas ini lahir dari
kesamaankesamaan yang ada dalam diri anggota masyarakat, ia timbul dari kenyataan
bahwa sejumlah keadaan kesadaran dimiliki bersama oleh semua anggota masyarakat itu
(Muhni, 1994:33). Dominasi kolektivitas terhadap perorangan terlihat dalam hukuman-
hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang yang menyimpang dari aturan-aturan atau
kode-kode tingkah laku yang ditetapkan oleh kesadaran kolektif.

8
2.3. Kerangka Pikir

Masyrakat Ngongi

Budaya sirih pinang

Interaksi Simbolis

Kehidupan sehari Ritual adat


hari

Solidaritas

Keterangan Kerangka Berpikir:

Masyarakat Sumba merupakan masyarakat yang kaya akan kebudayaan atau tradisi yang
secara turun temurun melekat dalam kehidupan masyarakat Sumba. Salah satu budaya masyarakat
Sumba adalah mengkonsumsi atau mkan sirih pinang. Di Sumba Timur, khususnya Desa Ngongi
Siri Pinang merupakan hal yang paling penting untuk disediakaan dalam melakukan interaksi antar
individu atau antar kelompok dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam prosesi adat. Dalam
kehidupan sehari-hari Siri Pinang dikonsumsi dan digunakan sebagai bagian jamuan tuan rumah
ketika ada tamu yang datang berkunjung. Selain itu dalam kegiatan adat Siri Pinang juga harus
disediakan sebagai media untuk menghargai orang lain atau sesama yang berkaitan dengan prosesi
adat yang berlangsung.

Dalam kehidupan sehari-hari dan kegiatan adat sirih pinang digunakan sebagai media
perantara untuk memperlancar proses komunikasi. Mengkonsumsi Sirih pinang secara bersama-

9
sama, mampu menghilangkan kesenjangan antar individu atau kelompok sehingga rasa solidaritas
dapat terbagun dikalangan masyarakat Sumba.

10

Anda mungkin juga menyukai