Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Konstruksi Sosial


Dalam literatur-literatur ilmu sosial dijelaskan bahwa social contruction
sebagaimana halnya konsepsi yang diperkenalkan Berger dan Luckmann,
termasuk dalam ranah sosiologi kontemporer dengan basis analisa ilmiah nya
pada sosiologi pembangunan. Dasar Teori konstruksi sosial ini lebih
menekankan pada tindakan manusia sebagai aktor kreatif dari realitas
sosialnya. Realitas sosial merupakan konstruksi sosial yang diciptakan
individu. Individu adalah manusia bebas yang melakukan hubungan antara
manusia yang satu dengan manusia yang lain. Individu menjadi seorang
penentu dalam dunia sosial yang telah dikonstruksi masyarakat berdasarkan
kehendaknya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa teori konstruksi sosial
ditekankan pada perilaku manusia (human attitude) dalam realitas sosialnya
sekaligus berperan sebagai aktor yang kreatif yang dilahirkan oleh setiap
individu manusia (human being). Dalam hal individu, manusia memiliki
privacy dan freedom dalam berinteraksi dengan individu satu dengan dengan
individu lainnya yang dirajuk dalam hubungan dalam kehidupan realitas
sosial. Dalam konteks makna, individu menunjukkan suatu kebebasan
manusia dalam menjalin hubungan dengan siapapun, kapanpun dan
dimanapun sesuai dengan kehendak individu, artinya posisi individu manusia
dalam kontruksi sosial bisa dikatakan sebagai subjek dan objek, produksi dan
reproduksi dalam membangun dan menata kehidupan sosial baik dalam
berbangsa dan bernegara.
Selanjutnya dijelaskan bahwa hubungan antara konstruksi sosial dan
sosiologi pengetahuan sebagai berikut :
Oleh karena konstruksi sosial merupakan sosiologi pengetahuan,
maka implikasinya harus menekuni pengetahuan yang ada dalam
masyarakat dan sekaligus proses-proses yang membuat setiap
perangkat pengetahuan yang ditetapkan sebagai kenyataan. Sosiologi
pengetahuan harus menekuni apa saja yang dianggap sebagai
pengetahuan dalam masyarakat (Berger & Luckmann, 2012).

8
Konsepsi yang dikembangkan Berger dan Luckmann terkait dengan
sosiologi pengetahuan tersebut sejatinya adalah pengetahuan yang
didasarkan pada kenyataan berkehidupan keseharian ditengah-tengah
masyarakat. Hakekat dari kenyataan berkehidupan ditengah-tengah
masyarakat diistilahkan pada kenyataan yang sifatnya utama (paramount),
semesta alam dalam berkehidupan keseharian menunjukkan diri dalam
kenyataan atas manusia untuk menafsirkannya. Dengan demikian, apa yang
diketahui dalam dunia kehidupan sehari-hari menurut manusia merupakan
perwujudan kenyataan sebagaimana yang dialaminya.
Selain itu, Jurgen Habermas menyatakan bahwa pengetahuan selalu ada
keterkaitan dengan kepentingan (Hardiman, 2009). Dalam hal ini Habermas
menjelaskan bahwa upaya memisahkan pengetahuan dari kepentingan
sebenarnya hanya bersifat semu dan palsu, bahkan menjadi alat terselubung
bagi suatu kepentingan tersendiri, yang selanjutnya dijelaskan bahwa bentuk
pengetahuan adalah bentuk kepentingan dari mana pengetahuan itu muncul.
Sosiologi pengetahuan secara spesifik adalah suatu bentuk paradigma
teoritis yang lebih menekankan pada karakter sosial pengetahuan. Sosiologi
pengetahuan ini mempelihatkan tentang kaedah-kaedah (nilai) yang ada
ditengah-tengah masyarakat yang teradopsi berdasarkan diskusi-diskusi,
dimana secara spesifik membutuhkan pemahaman apa sesungguhnya
kaitannya antara pengetahuan dengan masyarakat. Dalam pengertian yang
lain dapatlah dikatakan bagaimana sesungguhnya pengetauan itu dihasilkan
(diproduksi), disalurkan (distribusi) dan dikembangkan ditengah-tengah
kebidupan bermasyarakat atas jalinan sosialnya.
Inti sari sosiologi pengetahuan sesungguhnya bagaimana berusaha
memaknai beberapa perihal dengan cara menganalisis pengetahuan yang ada
dalam masyarakat, sementara juga adanya usaha terus menerus mengetahui
keberlangsungan prosesnya. Pembentukan kenyataan oleh masyrakat (social
construction of reality) merupakan kata kunci materi kajian analisa yang
harus dilakukan dalam sosiologi pengetahuan. Konstruktivisme yang dimulai
dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif merupakan akar filosofis konstruksi
sosial (Bungin, 2006), dengan suatu penjelasan bahwa konstruksi sosial

9
sebenarnya memiliki arti yang sangat luas dalam ilmu sosial yang
menyatakan bahwa :
Konstruksi sosial memiliki beberapa kekuatan, Pertama adalah
peran sentral bahasa yang memberikan mekanisme secara konkret, di
mana budaya untuk mempengaruhi pikiran dan tingkah laku
individu. Kedua, konstruksi sosial dapat mewakili kompleksitas
dalam suatu budaya tunggal, di mana hal ini tidak mengasumsikan
keseragaman. Ketiga, tentu saja hal ini bersifat konsisten dengan
masyarakat dan waktu (Ngangi, 2011).

Konstruksi sosial menggambarkan proses di mana melalui tindakan dan


interaksi, individu menciptakan secara terus-menerus suatu kenyataan yang
dimiliki bersama yang dialami secara faktual objektif dan penuh arti secara
subjektif (Paloma, 1994). Konstruksi sosial terjadi dalam hal-hal yang saling
berdialektika yaitu eksternalisasi, Objektivasi, dan internalisasi. Dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya manusia memerlukan lembaga yang
menyatukan dan melestarikan mereka. Teori fungsional memandang
kebutuhan demikian itu karena karakteristik dasar eksistensi manusia.
Berger dan Luckmann dalam bangunan teorinya The sosial contruction
of reality bermaksud untuk berkontribusi pemikiran menawarkan solusi
anternatif atas permasalahan deternimisme dimana sosok individu seakan-
akan diwujudkan dalam struktur sosial sehingga seolah-olah tidak bernilai
guna pada pembentukan struktur sosial. Maksud yang terkandung atas
pemikiran yang hendak ditawarkan dalam hal ini adalah tinjauan yang
membawa pada proses dialektis yang mendasari arah pijakan untuk
mengetahui poisisi manusia terhadap dunianya. Dalam hal ini Berger dan
Luckmann menyatakan :
Tidak ada kodrat (nature) insani dalam arti suatu substratum
yang telah ditetapkan secara biologis dan yang menentukan
keanekaragaman bentukan-bentukan sosio-kultural, yang ada
hanyalah kodrat insani dalam arti konstanta-konstanta antropologis
yang membatasi dan memungkinkan bentukan-bentukan
sosiokultural manusia. Tetapi bentuknya yang khusus dari
keinsanian itu ditentukan oleh bentukan-bentukan sosio-kultural itu
dan berkaitan dengan variasi-variasinya yang sangat banyak itu.
Sementara bisa saja dikatakan bahwa manusia mempunyai kodrat
adalah lebih berarti untuk mengatakan bahwa manusia
mengkonstruksi kodratnya sendiri; atau lebih sederhana lagi, bahwa
manusia menghasilkan dirinya sendiri (Berger & Luckmann, 2013).

10
Berangkat dari tinjauan yang sifatnya dialektis ini, pada akhirnya
tergambarkan dalam konsepsi trio momen yang bersifat simultan, yakni
eksternalisasi, Objektivasi, dan internalisasi sebagaimana dapat digambarkan
sebagai berikut :
Gambar 2.1
Proses dialektis konstruksi sosial
Peter L. Berger & Thomas Luckmann

Sumber : Geger Riyanto, 2009.


Guna untuk dapat memperdalam pemahaman mengenai proses dialektis
dengan tiga momen, yakni eksternalisasi, Objektivasi, dan internalisasi
sebagaimana tersaji dalam gambar diatas, maka dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a. Eksternalisasi
Eksternalisasi adalah momen dialektis yang menunjukkan adanya
proses penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia.
Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia secara terus
menerus ke dalam dunia sosio kultur, baik dalam aktivitas fisik maupun
mentalnya. Sudah merupakan hakikat manusia sendiri, dan merupakan
keharusan antropologis, manusia selalu mencurahkan diri kedalam dunia
tempat ia berada (Sriningsih, 2010).
Mencermati pandangan tersebut maka eksternalisasi itu merupakan
tahapan yang paling mendasar kejadiannya pada suatu model-model
hubungan perilaku diantara manusia sebagai makhluk individu dengan

11
bentuk-bentuk sosial di masyarakat. Dalam konteks untuk memaknai apa
yang dimaksudkan terjadinya proses adalah disaat suatu bentuk-bentuk sosial
sudah merupakan sesuatu yang menjadi penting ditengah-tengah masyarakat
yang apabila kapan saja dibutuhkan oleh manusia sebagai mahluk individu,
maka bentukan sosial itu merupakan bagian terpenting pada kehidupan
seseorang untuk menatap dunia luar. Bungin (2006) mengartikan bahwa
tahapan eksternalisasi dapat terjadi disaat produk sosial terwujud ditengah-
tengah kehidupan masyarakat, selanjutnya keberadaan individu akan
menyesuaikan diri (proses eksternalisasi) pada dunia sosio cultural yang
merupakan bagaian dari hasil bentukan manusia.
Berger dan Luckmann mengasumsikan bahwa hendaklah bisa diterima
keberadaan kenyataan sosial objektif. Sebagaimana tampak dalam interaksi
manusia sebagai mahluk individu pada kelembagaan sosial yang dalam hal ini
bentuk yang paling besar adalah Negara. Pada sisi yang lain keberadaan
norma, hukum dan bentuk-bentuk peraturan sosial lainnya itu hanyalah
bagian dari bentuk buatan manusia atau produk dari kesepakatan-kesepakatan
manusia belaka. Karakteristik coercive pada struktur sosial yang objektif
yaitu suatu dinamisasi kegiatan manusia dalam tahapan eksternalisasi
(eksternalisasi proses) dan atau hubungan manusia dalam hirarkis sosial yang
memang ada. Norma, hokum yang sifatnya memaksa pada proses dialektis
berupaya dalam melindungi (maintain) struktur social yang telah berjalan
mapan, namun tidak bisa menjamin menyelesaikan proses ekternalisasi
personal yang ada pada struktur itu. Pada peristiwa sisi yang lain, pada
pengalaman riwayat umat manusia, realitas objektif dibentuk untuk
pengaturan pengalaman individu yang dinamis yang pada akhirnya
masyarakat bisa menepis atas kekacauan atau dari keadaan tanpa makna
(Sriningsih, 2010).
Pada tahapan momen ekternalisasi, realitas social dikeluarkan dari
ranah personal (individu). Dalam momen eksternalisasi ini, kenyataan
(realita) social yang diwujudkan proses penyesuaian diri pada teks-teks suci,
norma, hokum, kespakatan para ulama, nilai maupun dalam bentuk aturan
social lainnya dimana posisinya diluar diri manusia, maka dalam proses

12
konstruksi social mmpertemukan dengan terlibatnya momentum penyesuaian
(adaptation) diri pada keberadaaan norma, hokum, teks-teks suci pada dunia
sosiokultural. Penyesuaian sebagaimana dimaksud bisa lewat bahasa, aksi-
aksi dan pentradisian dimana istilah dalam khazanah rumpun ilmu-ilmu sosial
dikenal dengan interpretasi atas teks maupun dokma. Oleh karena adaptasi
diartikan sebagai proses penyesuaian-penyesuaian yang berbasis atas
penafsiran, sehingga akan berpotensi sekali memunculkan beragam macam
varian adaptasi serta hasil adaptasi yaitu tindakan masing-masing individu.
Pontensi terjadinya perubahan sosial manakala proses ekternalisasi
individu merongrong tatanan social yang sudah sekian lamanya berjalan
secara mapan serta ada usaha menggantinya pada suatu masa tertentu guna
mencapai adanya perubahan yang dipandang mendatangkan keuntungan baru.
Pada tatanan sosial yang mempunyai kecenderungan untuk senantiasa
menciptakan keamanan (stabilitas sosial), maka individu ketika berposes
dalam bentuk eksternalisasi akan mengidentifikasi pada pranata sosial
tentunya yang telah terlembagakan Peranan yang telah terbangun pola-
polanya serta diimbangi dengan symbol-simbol yang menunjukkan pola-pola
atas peranan tersebut. Pada lingkungan kehidupan social individu beradaptasi
dirinya pada pola aktifitas peranannya dan perkiraan atas pelaksanaan
(performance) peranan yang telah dipilih. Peranan akan menjadi satuan
mendasar dari aturan yang terlembaga secara objektif (Sriningsih, 2010).
b. Objektivasi
Berger dan Luckman (1991), memberikan batasan bahwa objektivasi
adalah suatu keadaan atas diterimanya beragam macam bentuk aktifitas atau
kegiatan dalam interaksi sosial dengan intersubjektif yang terlembagakan atau
melalui proses institusional. Dalam konteks momen objektivasi terdapat dua
bentuk realitas social yang berbeda dalam berprosesnya, yakni relitas diri
individu dan realitas social lainnya yang memposisikan eksternal dirinya,
pada gilirannya realitas tersebut merupakan sesuatu hal yang objektif. Pada
proses konstruksi social, momen tersebut diistilahkan dengan interaksi social
melewati pelembagaan serta lgitimasi. Pada pelembagaan serta legitimasi
itulah, agen bekerja untuk merangsang dunia subjektifitasnya beralih kepada

13
dunia objektif melalui hubungan antar manusia dengan diranxcang secara
berkelompok. Pelembagaan dapat trcipta apabila adanya kesepakatan bersama
intersubjektif dan atau relationship subjek-subjek (Syam, 2005).
Objektivasi masyarakat meliputi beberapa unsur misalnya institusi,
peranan, identitas. Suatu peranan memiliki objektivitas yang serupa. Peranan
ini memberikan modal bagi tata kelakuan individual. Seseorang dapat saja
tidak menyukai peranan yang harus ia mainkan, namun peranan itu
mendiktekan apa yang mesti dilakukan sesuai dengan deskripsi objektifnya
(Ngangi, 2011). Dalam proses ini Berger dan Luckmann menekankan adanya
kesadaran, dan kesadaran itu selalu intensional karena ia selalu terarah pada
objek. Dasar kesadaran (esensi) memang tidak pernah dapat disadari, karena
manusia hanya memiliki kesadaran tentang sesuatu (fenomena), baik
menyangkut kenyataan fisik lahiriah maupun kenyataan subjektif batiniah
(Manuaba, 2010).
c. Internalisasi
Internalisasi merupakan suatu tindakan untuk melakukan peresapan
ulang atas kenyataan (realitas) manusia serta mengalihkannya (transfer) dari
tingkatan dunia objektif pada bagian tingkatan dunia subjektif. Dalam
konteks eksternalisasi, sesungguhnya komunitas sosial (masyarakat) itu
adalah bagian dari produk manusia. Sementara dalam konteks objektifasi,
masyarakat merupakan suatu realitas “sui generis unik.” Pada gilirannya
dalam konteks internalisasi, sesungguhnya manusia merupakan bagian
produk masyarakat (Berger dan Luckman, 1991). Secara sederhana
internalisasi merupakan proses dimana individu mengidentifikasikan dirinya
dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu
menjadi anggotanya (Bungin, 2006).
Momen internalisasi dapat dijelaskan bahwa dunia realitas sosial yang
objektif dihadirkan lagi pada diri secara personal, pada akhirnya terkesan
bahwa memang berada pada diri secara personal tersebut. Dalam proses
terjadinya daya tarik kedalam itu mengikutsertakan institusiatau lembaga
yang ada dalam masyarakat, ambil contoh misalkan keberadaan lembaga
keagamaan, kelembagaan social, kelembagaan ekonomi dan bahkan partai

14
politik. Keberadaan lembaga tersebut tentunya memegang peran pada
jalannya proses itu, alasannya adalah bentuk konkret pada pranata social yaitu
norma, adat istiadat, dan aturan-aturan social lainnya yang menjaga ruang
gerak kebutuhan komunitas sosial dan sudah terinternalisasi pada lingkungan
sosial manusia, dalam istilah yang berbeda bahwa pranata social merupakan
norma atau system yang sudah melembaga dalam suatu masyarakat tertentu
(Berger dan Luckman, 1991). Dengan demikian, dalam rangka menjaga
eksistensi identifikasi itu, maka tentu saja dibutuhkan adanya sosialisasi.
Ketika berinteraksi social manusia aan selalu tertuntut agar bisa selalu
menyesuaikan diri (adaptation) dengan jalan yang disebut dengan proses.
Bungin (2007) memberikan batasan pengertian bahwa suatu kegiatan tertentu
dikatakan berproses manakala adanya penyesuaian diri individu kedalam
kehidupan sosial, yakni apa yang dikenal dengan bentuk sosialisasi.
Hakekat manusia dalam kapasitasnya sebagai individu, maka untuk
menjaga keberlangsungan kehidupan sosialnya suka tidak suka atau bahkan
disadarinya atau tidak proses sosialisasi akan berjalan pada diri si individu
dimaksud. Semua ini haruslah dijalaninya mengingat individu sebagaimana
dimaksud agar bisa diakui oleh masyarakat, bagaimanapun juga langkah itu
diambil demi mencapai tujuan dari proses sosialisasi. Sosialisasi diartikan
sebagai berprosesnya sosok manusia dengan segala daya upayanya agar bisa
menyerap kandungan kebudayaan yang tumbuh dilingkungan sekitarnya
(Abdulsyani, 2012).
Berikut ini akan dijelaskan tentang bentuk-bentuk sosialisasi,
sebagaimana yang diketengahman oleh Berger dan Luckmann (2013) yang
terbagi kedalam 4 (empat) golongan :
1. Sosialisasi Primer
Sosialisasi primer merupakan proses sosialisasi yang merupakan langkah
pertama kalinya yang dilakukan masing-masing individu ketika usia dini,
dimana individu tersebut dihadapkan pada dunia sosial objektif. Sosok
manusia bersinggungan dengan manusia lainnya yang begitu
mempengaruhi (significant others) bagi perjalanan kehidupannya
(Sanderson, 2003). Pada hakekatnya proses untuk menjadi manusia

15
seutuhnya tersebut berjalan secara normal pada hubungan yang sifatnya
timbal balik atas lingkungannya. Manusia sebagai mahluk sosial itu,
berkembang bukan hanya bersosialisasi yang saling ketergantungan
dengan lingkungan kehidupan tertentu akan tetapi pada tatanan
kebudayaan beserta sosialnya yang khusus, dimana interaksinya
berdasarkan perantaraan significant other itu sendiri (Berger dan
Luckmann, 2013).
2. Sosialisasi Sekunder
Sosialisasi sekunder merupakan suatu proses untuk bisa mendapatkan
pengetahuan yang bersifat spesifik disesuaikan dengan peran sosialnya
(role-spesific knowledge)yang tentu sajasecara langsung atau tidak
peranan-peraannya bermuara atas pembagaian pekerjaan (Berger dan
Luckman, 2013).
Dalam konteks proses sosialisasi ini bersangkut paut pada proses belajar
seseorang terhadap nilai, norma, dan kebudayaan di lingkungannya
berkaitan dengan system sosial. Sehubungan dengan proses tersebut
seseorang individu mulai masa kecilnya hingga mencapai masa tua terus
berupaya mempelajari pola-pola tindakan (action) dalam berinteraksi atas
segala bentuk peranan social yang memungkinkan hadir pada kehidupan
sosialnya.
Pada proses sosialisasi tersebut, Berger mengikuti teori George Herbert
Mead dari aliran interaksionisme simbolik yang menyatakat bahwa proses
sosialisasi berlangsung melalui empat tahapan (Ritzer, 2014), yaitu :
Pertama, tahap persiapan (prepatory stage) merupakan suatu tahap yang
keberadaan manusia mengalaminya sejak baru pertama dilahirkan hingga
tumbuh berkembang menjadi anak-anak dengan belajar dan berdapatasi
pada lingkungan sosialnya. Proses ini juga adanya upaya untuk
memperoleh pemahaman tentang diri. Dalam tahapan ini anak sudah
memulai tahapan meniru sekalipun masih belum sempurna.
Kedua, tahap meniru (play stage) tahap ini merupakan suatu tahapan yang
menunjukkan adanya tanda-tanda kearah yang lebih baik keberadaan si
anak mengadopsi peranan seseorang yang lebih berpengalaman

16
dilingkungannya. Tahapan ini bisa diartikan adanya bentuk kesadaran diri
atas lingkungan sekitarnya.
Ketiga, tahap siap bertindak (game stage) tahapan ini adalah suatu tahap
dimana seorang anak sudah memainkan peran secara langsung dengan
penuh kesadaran. Dalam kondisi ini seorang anak sudah mempunyai
kemampuan untuk memposisikan diri sehingga memungkinkan adanya
kempuan untuk berinteraksi dan berperan diri. Dari kondisi yang demikian
sudah mulai terbentuk pemahaman atas kenyataan kehadiran nilai-nilai
sosial (social value’s) pada lingkungan keluarga.
Keempat, tahap penerimaan norma kolektif (generalized stage) adalah
tahapan dimana individu sudah menselaraskan dirinya dengan nilai,
norma, dan pola sosial budaya masyarakat di sekitarnya. Dalam tahap ini
manusia sebagai individu sudah menjadi warga masyarakat dalam arti
seutuhnya.
3. Pengendapan tradisi
Proses pengedapan intersubjektif menjadi urgen bagi manusia sebagai
individu untuk bisa memahami biografinya dan pada gilirannya akan
menjadi cadangan pengetahuan bersama. Pengendapan ini dinamakan
sosial apabila sudah diobjektivasi dalam suatu sistem tanda, yang
selanjutnya ada kemungkinan bagi pengalaman-pengalaman tersebut untuk
dialihkan dari suatu generasi kegenerasi berikutnya (Berger & Luckmann,
2013).
4. Legitimasi
Legitimasi merupakan suatu bentuk pengakuan yang diharapkan
mendatangkan makna-makna yang terbarukan, bernilai anfaat dalam
mengintegrasikan makna-makna yang telah terkontribusikan pada proses
pelembagaan lainnya. Legitimasi dalam kerangka konteks fungsional
menjadikan objektifasi pada perihal yang telah berjalan proses
pelembagaan serta menyediakan secara objektif dan menjadi rasional
secara subjektif. Legitimasi diarahkan menguraikan struktur pelembagaan
untuk mendatangkan pengakuan kebenaran kognitif terhadap makna-
maknya yang telah di objektifasi (Berger dan Lukmann, 2013).

17
Berger dan Luckman meneguhkan pendapatnya bahwa sosialisasi skunder
merupakan sosialisasi dalam bentuk-bentuk “sub dunia” kelembagaan,
atau dengan pengistilahan yang lain berbasis lembaga. Ruang jelajah serta
sifat sosialisasi tersebut, mengukur pada beragam macam bentuk
pengklasifikasian kinerja dan saluran pengetahuan pada komunitas
masyarakat yang mengikutinya. Sosialisasi skunder meruapakan proses
dalam mendapatkan pengetahuan yang kekhususan selaras dengan
fungsional nya (role spesifix knowledge), fungsional yang dimaksudkan
diatur berdasarkan pembagian tugas. Selanjutnya Berger dan Luckmann
menegaskan bahwa realitas subjektif sebagaimana yang terjadi
sesungguhnya harus dipertahankan, karena sosialisasi menunjukkan
adanya alternatif bahwa realitas subjektif bisa ditransformasikan. Menurut
Berger, suksesnya sosialisasi terletak pada kekuatan simetri antara dunia
objektif masyarakat dengan subjektif individu. Begitupun juga dalam
melihat kegagalan sosialisasi ternyata tergantung kepada beragam macam
tingkatan asimetri. Dengan demikian Nampak jelas bahwa jika sosialisasi
belum bisa mencapai tujuan menginternalisasi setidaknya makna lebih
utama dari suatu masyarkat tertentu, maka hampir bisa dipastikan
masyarakat tersebut tidak bisa mencapai tujuannya membentuk tradisi
apalagi bisa menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat yang ada.
Berger dan Luckman, menjelaskan bahwa terkait dengan sosialisasi primer
adanya potensi kegagalan sosialisasi dilatarbelakangi adanya pengaruh
yang berlawanan menyebabkan beragam kenyataan objektif terhadap
invidu. Tidak tercapainya sosialisasi sebagai bentuk dari heterogenitas
pada lingkungan seputar personil sosialisasinya.
Seiring dengan perjalanan hidup manusia dan proses sosial yang dilaluinya
eksternalisasi, Objektivasi, dan internalisasi merupakan tiga proses yang
berjalan secara simultan dan bersifat dialektis. Keberadaan dunia social
objektif mewujudkan masing-masing seseorang dalam konteks seseorang
itu merupakan hasil produk masyarakat. Aneka ragam atas dunia itu eksis
pada wujud hukum-hukum yang merefleksikan norma-norma sosial.

18
Realitas objektif alam sisi lainnya bukanlah merupakan suatu realitas yang
langsung dapat diketahui, namun lebih selebihnya relitas objektif dapat
terkontaminasi pada banyak hal, misalkan saja gaya dalam berbicara, style
dalam berbusana, realitas yang sosial objektif tersebut dipantulkan sosok
manusia lain dengan mempunyai arti penting tersendiri bagi individu,
meskipun realitas yang dialaminya tidak semestinya berbanding lurus antar
individu dimaksud. Dalam perspektif fundamentalis, tidak seutuhnya
manusia diatur oleh lingkungan sosialnya, yang dalam hal ini dapat
diartikulasikan bahwa proses sosialisasi tidak menunjukkan pencapaian
tujuan yang utuh, manusia berpotensi dalam mengeksternalisir atau dengan
kebersamaan menciptakan dunia sosialnya, dan pada gilirannya
eksternalisasi menimbulkan terciptanya perubahan social.
Budaya merupakan produk besar manusia. Budaya sejatinya mengandung
suatu keharusan untuk selalu diciptakan dan atau menciptakan secara
berkelanjutan dalam suatu peradaban manusia, oleh sebab itu struktur
budaya dalam alur pikir yang instrinsik tercipta untuk selalu berdaptasi
dengan perubahan situasi dan kondisi yang ada. Atas dasar itulah apabila
ditemukan dalam suatu komunitas selalu bertahan dengan tradisi
kebudayaan yang ada tanpa ada inisiatif untuk beradaptasi atas perubahan
yang terjadi menunjukkan adanya permasalahan stagnasi dalam proses
aktifitas pembuatan dunianya. Salah satu budaya terbesar yang dihasilkan
manusia adalah simbolis bangunan dan bahasa pergaulan dengan
merefleksikan totalitas perikehidupannya (Hilmy, 2009).

B. Penelitian Terdahulu
Dalam upaya untuk memperkaya khasanah pengetahuan serta menghindari
kesalahan penafsiran terhadap penelitian yang akan dilakukan yakni Sub Budaya
Bhurmaen Di Madura (Studi Konstruksi Sosial Atas Sub Budaya Bhurmaen
Pada Masyarakat Tlanakan Pamekasan Madura), maka peneliti akan
memberikan tinjauan berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, diantaranya
sebagai berikut :

19
Penelitian dalam konteks fenomena pengemis yang dilakukan oleh Chalik
(2016), dengan judul “Tradisi Pengemis di Kompleks Makam Sunan Giri
Kecamatan Kebomas Kabupaten Gresik”. Dalam hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa selain faktor ekonomi yakni kemiskinan, terdapat faktor
budaya dan keyakinan pada takdir yang menjadikan masyarakat Kebomas
Gresik menjadi seorang pengemis. Mengemis merupakan budaya turun termurun
dan adanya sikap malas bekerja keras, sehingga selalu mentergantungkan
hidupnya pada orang lain. Masyarakat Kebomas Gresik juga memiliki keyakinan
bahwa bekerja sebagai pengemis adalah kodrat yaitu ketentuan Allah yang sudah
digariskan. Pekerjaan mengemis dianggap sebuah nasib yang merupakan
ketentuan Allah yang tidak bisa dielakkan. Pandangan tersebut menjadikan
pekerjaan mengemis dianggap biasa tanpa ada perasaan risih atau malu. Sikap
biasa tersebut semakin memperkuat dengan adanya anggapan bahwa pekerjaan
mengemis tidak melanggar ajaran agama maupun norma sosial.
Penelitian dengan mengangkat judul “Strategi Pengemis Dalam Hidup
Bermasyarakat” yang dilakukan Mukti (2013), dimana teori yang digunakan
sebagai pisau analisis penelitiannya menggunakan teorinya yang digagas oleh
Erving Goffman yaitu dramaturgi theori. Adapun tujuan yang hendak dicapai
adalah untuk mengetahui bagaimana strategi para pengemis dalam kehidupan
sosialnya, apakah dasar yang menguatkan orang menjadi pengemis, bagaimana
upaya mengalihkan dari kebiasaan mengemis pada bentuk pekerjaan lain. Dalam
hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tidak semua pengemis melakukan
dramaturgi yaitu di panggung depan (front tage) saat bertatap langsung
dihadapan khalayak umum atau dermawan. Terkait dengan kebiasaan yang
dilakukan pada kehidupan sosial kemasyarakatannya dimana mereka tinggal
nampak bahwa bersosialisasinya berjalan dengan normal sebagaimana layaknya
kehidupan bermasyarakat pada umumnya, orang-orang disekitar tempat
tinggalnya tidak banyak yang mempermasalahkan kebiasaan atau aktifitas
mengemis mereka. Sementara terkait dengan upaya mengalihkan dari kebiasaan
mengemis kepada bentuk-bentuk pekerjaan lain ternyata mereka berpandangan
belumlah saatnya untuk dilakukan mengingat aktifitas mengemis sampai saat ini
cukup bisa mendatangkan uang sesuai target perhitungan mereka.

20
Hasil penelitian dilakukan oleh Handayani (2009), dengan tema
“Identifikasi Anak Jalanan di Kota Medan” ditemukan bahwa adanya hubungan
antara budaya dengan prilaku anak pengemis. Sesungguhnya ada banyak faktor
yang menyebabkan anak-anak terjerumus kedalam kehidupan jalanan yang pada
akhirnya menjadi pengemis, seperti adanya orang tua membawa dan menyuruh
anaknya untuk meminta-minta kepada orang lain dengan harapan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dan kehidupan lingkungan masyarakat (faktor
lingkungan). Kombinasi faktor tersebut seringkali memaksa anak-anak untuk
mencari nafkah atau hidup mandiri dijalanan. Hal tersebut dilakukan secara
turun temurun, sehingga dijadikan suatu kebudayaan disuatu daerah pedesaan
atau perkotaan. Kadangkala pengaruh teman atau kerabat juga turut menentukan
keputusan untuk hidup dijalanan.
Penelitian yang dilakukan oleh Marcus & Anthony (2005), dengan judul:
“The Culture of Poverty Revisited : Bringing Back the Working Class”. Dalam
hasil penelitiannya ditemukan bahwa masalah kemiskinan di Amerika
disebabkan bukan karena kelebihan kapasitas ataupun banyaknya produksi
ekonomi yang terjadi di Amerika, akan tetapi kemiskinan terjadi karena adanya
modus produksi kapitalais terhadap kebijakan yang diberikan oleh pemerintahan
terhadap solusi politikus kelas pekerja yang berdampak kepada munculnya krisis
tunawisma yang meletakkan pada masalah kelas pekerja seperti perumahan,
pekerjaan, perawatan, kesehatan yang mulai terpinggirkan, berbeda, dan terpisah
dari sisi Amerika Serikat.
Penelitian dengan judul “Makna Pernikahan Dini Bagi Orang Tua Pada
Masyarakat Pengemis” oleh Susilo (2017), lokasi penelitian yang dilakukan oleh
Susilo ini adalah termasuk wilayah kecamatan Tlanakan yang oleh masyarakat
luas dikenal sebagai kecamatannya para bhurmaen. Secara khusus lokasi
penelitian ini adalah di dusun Palanggeren desa branta tenggi kecamatan
tlanakan kabupaten pamekasan. Dalam hasil penelitian ini terungkap bahwa
kondisi masyarakat diusia yang sebenarnya bisa dibilang usia-usia produktif
ternyata mengalami kondisi lingkungan yang kurang melek terhadap arti
pentingnya pendidikan. Banyaknya ditemukan anak-anak di wilayah ini yang
drop out dari sekolah lanjutan pertama bahkan tidak sampai lulus sekolah dasar.

21
Tingginya angka putus skolah ini disebabkan oleh kondisi geografis yang dari
hitung-hitungan secara ekonomi kurang banyak memberikan keuntungan, tanah
lahan pertanian yang tandus karena kekurangan aliran air. Hampir bisa
dipastikan bahwa kondisi sosial ekonomi di daerah ini jauh dari angka sejantera.
Semua ini pada akhirnya banyak juga ditemukan tingginya angka menikah di
usia muda, berdasarkan data-data yang ditelusuri dilokasi ini bahwa usia 13
sampai dengan 16 tahun mendominasi maraknya orang untuk melangsungkan
prnikahan. Salah satu motivasi mereka para orang tua yang menikahkan anak-
anaknya di usia muda tersebut karena adanya pola pikir yang khawatir anaknya
akan menjadi perawan tua kalau tidak segera dinikahkan. Social action para
orang tua yang segera menikahkan anaknya pada usia muda mengandung
meaning sebagai berikut : Pertama, motif pernikahan usia muda dimaknai untuk
menolak sangkal dalam kehidupan; Kedua, motif pernikahan usia muda
dimaknai pengurangan beban ekonomi keluarga; Ketiga, motif pernikahan usia
muda dimaknai sebagai momentum menyambung silaturrahmi.
Dengan memahami dari beberapa penelitian-penelitian terdahulu yang
ada relevansinya dengan penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti dalam
konteks fenomena masalah sosial yaitu budaya mengemis yang disebabkan
keterbatasan secara ekonomi (kemiskinan), maka yang menjadi pembeda tujuan
yang hendak dicapai oleh peneliti dengan pemilihan judul Sub Budaya
Bhurmaen di Madura adalah, peneliti akan berusaha untuk mengungkap tentang
terbangunnya konstruksi sosial atas sub budaya bhurmaen yang merupakan
masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensional, yakni kaitannya
pada aspek ekonomi, sosial, budaya, agama bahkan politik. Dalam ilmu-ilmu
sosial fenomena terkonstruknya sub budaya bhurmaen tersebut bisa ditemukan
dengan merujuk dalam teori-teori sosiologi, yakni apa yang dikenal dengan teori
konstruksi sosial (social construktion). Sebagai gambaran yang dimaksudkan
adalah bagaimana beberapa faktor seperti : cara berpikir, kebiasaan, kondisi
lingkungan, norma, nilai dan kepercayaan mempengaruhi terbangunnya sub
budaya bhurmaen yang begitu kuatnya sampai dilanggengkan secara turun-
temurun (regeneration).

22

Anda mungkin juga menyukai