Anda di halaman 1dari 9

Nama:Nurul Nisa

Nim:50500120049

Matkul: investigasi reporting

Kontruksi sosial media massa

A.realita merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan kontruksi sosial
terhadap dunia sosial di sekelilingnya.

Substansi konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat
dan luas sehingga konstruksi sosial yang berlangsung sangat cepat dan sebarannya
merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung
apriori, dan opini massa cenderung sinis.

Konstruksi Sosial atas Realitas (Social Construction of Reality) didefinisikan sebagai


proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu atau sekelompok individu,
menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama
secara subjektif. Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas
sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu, yang merupakan
manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi
berdasarkan kehendaknya, yang dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak
di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya. Dalam proses sosial, manusia
dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.

Konstruksi sosial merupakan teori sosiologi kontemporer, dicetuskan oleh Peter L.


Berger dan Thomas Luckmann. Teori ini merupakan suatu kajian teoritis dan sistematis
mengenai sosiologi pengetahuan (penalaran teoritis yang sistematis), bukan
merupakan suatu tinjauan historis mengenai perkembangan disiplin ilmu. Pemikiran
Berger dan Luckmann dipengaruhi oleh pemikiran sosiologi lain, seperti Schutzian
tentang fenomenologi, Weberian tentang makna-makna subjektif, Durkhemian –
Parsonian tentang struktur, pemikiran Marxian tentang dialektika, serta pemikiran
Herbert Mead tentang interaksi simbolik.

Asal usul kontruksi sosial dari filsafat Kontruktivisme, yang dimulai dari gagasan-
gagasan konstruktif kognitif. Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme telah
muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, dan Plato menemukan
akal budi. Gagasan tersebut semakin konkret setelah Aristoteles mengenalkan istilah,
informasi, relasi, individu, subtansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan
bahwa manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dapat dibuktikan
kebenarannya, serta kunci pengetahuan adalah fakta. Ungkapan Aristoteles ?Cogito
ergo sum?, yang artinya ?saya berfikir karena itu saya ada?, menjadi dasar yang kuat
bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini.

Seorang epistemolog dari Italia bernama Giambatissta Vico, yang merupakan pencetus
gagasan-gagasan pokok Konstruktivisme, dalam ?De Antiquissima Italorum Sapientia?,
mengungkapkan filsafatnya ?Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah
tuan dari ciptaan?. Menurutnya, hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini
karena hanya Ia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa Ia membuatnya,
sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya.ial
melalui tindakan dan interaksi dimana individu atau sekelompok individu, menciptakan
secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.
Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai
konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu, yang merupakan manusia bebas.
Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan
kehendaknya, yang dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas
kontrol struktur dan pranata sosialnya.

Konstruksi Sosial atas Realitas (Social Construction of Reality) didefinisikan sebagai


proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu atau sekelompok individu,
menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama
secara subjektif. Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas
sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu, yang merupakan
manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi
berdasarkan kehendaknya, yang dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak
di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya. Dalam proses sosial, manusia
dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.

Konstruksi sosial merupakan teori sosiologi kontemporer, dicetuskan oleh Peter L.


Berger dan Thomas Luckmann. Teori ini merupakan suatu kajian teoritis dan sistematis
mengenai sosiologi pengetahuan (penalaran teoritis yang sistematis), bukan
merupakan suatu tinjauan historis mengenai perkembangan disiplin ilmu. Pemikiran
Berger dan Luckmann dipengaruhi oleh pemikiran sosiologi lain, seperti Schutzian
tentang fenomenologi, Weberian tentang makna-makna subjektif, Durkhemian –
Parsonian tentang struktur, pemikiran Marxian tentang dialektika, serta pemikiran
Herbert Mead tentang interaksi simbolik.
Asal usul kontruksi sosial dari filsafat Kontruktivisme, yang dimulai dari gagasan-
gagasan konstruktif kognitif. Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme telah
muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, dan Plato menemukan
akal budi. Gagasan tersebut semakin konkret setelah Aristoteles mengenalkan istilah,
informasi, relasi, individu, subtansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan
bahwa manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dapat dibuktikan
kebenarannya, serta kunci pengetahuan adalah fakta. Ungkapan Aristoteles ?Cogito
ergo sum?, yang artinya ?saya berfikir karena itu saya ada?, menjadi dasar yang kuat
bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini.

Seorang epistemolog dari Italia bernama Giambatissta Vico, yang merupakan pencetus
gagasan-gagasan pokok Konstruktivisme, dalam ?De Antiquissima Italorum Sapientia?,
mengungkapkan filsafatnya ?Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah
tuan dari ciptaan?. Menurutnya, hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini
karena hanya Ia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa Ia membuatnya,
sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya.

Terdapat 3 (tiga) macam Konstruktivisme, antara lain:

1. Konstruktivisme radikal

Hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita, dan bentuknya tidak selalu
representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan
antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi
mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologism obyektif, namun sebuah realitas yang
dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari
individu yang mengetahui dan tidak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif.

2. Realisme hipotesis

Pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan
menuju kepada pengetahuan yang hakiki.

3. Konstruktivisme biasa

mengambil semua konsekuensi konstruktivisme, serta memahami pengetahuan


sebagai gambaran dari realitas itu. Pengetahuan individu dipandang sebagai gambaran
yang dibentuk dari realitas objektif dalam dirinya sendiri.

Dari ketiga macam konstruktivisme terdapat kesamaan, dimana konstruktivisme dilihat


sebagai proses kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena
terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya.
Kemudian Individu membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihatnya
berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yang disebut
dengan konstruksi sosial menurut Berger dan Luckmann.

Berger dan Luckman berpendapat bahwa institusi masyarakat tercipta dan


dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia, walaupun
masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada
kenyataannya semua dibentuk dalam definisi subjektif melalui proses interaksi.
Objektivitas dapat terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang
lain, yang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling
tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu
pandangan hidup menyeluruh yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk
sosial, serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya.

Menurut Berger & Luckman, terdapat 3 (tiga) bentuk realitas sosial, antara lain:

1. Realitas Sosial Objektif

Merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan)


gejala-gejala sosial, seperti tindakan dan tingkah laku yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari dan sering dihadapi oleh individu sebagai fakta.

2. Realitas Sosial Simbolis

merupakan ekspresi bentuk-bentuk simbolik dari realitas objektif, yang umumnya


diketahui oleh khalayak dalam bentuk karya seni, fiksi serta berita-berita di media.

3. Realitas Sosial Subjektif

Realitas sosial pada individu, yang berasal dari realitas sosial objektif dan realitas sosial
simbolik, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi
melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu
merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi atau proses
interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial.

Setiap peristiwa merupakan realitas sosial objektif dan merupakan fakta yang benar-
benar terjadi. Realitas sosial objektif ini diterima dan diinterpretasikan sebagai realitas
sosial subjektif dalam diri pekerja media dan individu yang menyaksikan peristiwa
tersebut. Pekerja media mengkonstruksi realitas subjektif yang sesuai dengan seleksi
dan preferensi individu menjadi realitas objektif yang ditampilkan melalui media dengan
menggunakan simbol-simbol. Tampilan realitas di media inilah yang disebut realitas
sosial simbolik dan diterima pemirsa sebagai realitas sosial objektif karena media
dianggap merefleksikan realitas sebagaimana adanya

B.Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran itu timbul ,
bersifat berkembang dan dilembagakan.

dalam komunikasi, asumsi dari teori konstruksi sosial adalah bahwa manusia
merasakan pengalaman dengan cara membentuk sebuah model dunia sosial dan cara
kerjanya. Pada dasarnya, teori konstruksi realitas sosial menunjukkan asumsi ontologis
yang merupakan hakekat eksistensi manusia.

Dalam komunikasi, terdapat dua unsur yang sangat relevan yaitu asumsi bahwa
manusia merasakan pengalaman dengan membentuk sebuah model dunia sosial dan
bagaimana ia bekerja serta penekanan pada bahasa sebagai sistem terpenting dalam
pembentukan realitas. Adapun implikasi yang dihasilkan adalah bahwa percakapan
memiliki fungsi sebagai instrumen yang paling penting dalam memelihara realitas.

Para pelaku sosial menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi untuk membuat
sesuatu terjadi atau menjadi nyata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahasa
merupakan konstruksi sosial yang paling penting sehingga menjadi topik utama untuk
dianalisis oleh para peneliti.

Adapun intisari dari teori konstruksi realitas sosial menurut Melvin De Fleur adalah
sebagai berikut :

1.Semua manusia membutuhkan pemahaman mengenai dunia tempat dimana ia


tinggal dan hal-hal yang harus diadaptasi agar dapat bertahan hidup

2.Pada awalnya, manusia hanya menggunakan tanda dan petunjuk nonverbal.

3.Bahasa menjadi bagian dari eksistensi manusia ketika terjadi perubahan evolusioner
terhadap tubuh manusia yang memungkinkan kontrol suara dan pita suara serta
penyimpanan makna yang kompleks pada otak yang lebih besar.

4.Dengan kata-kata yang tersedia, ciri lingkungan yang harus ditangani oleh manusia
dapat diberi nama melalui konvensi yang terkait secara internal tentang seputar makna
yang memungkinkan standardisasi interpretasi fenomena, menstabilkan makna yang
melekat pada semua aspek realitas yang dimiliki manusia.

5.Di zaman modern, media termasuk media massa, berperan dalam mengembangkan
makna yang dimiliki oleh individu tentang kejadian, situasi, dan objek yang ada di
lingkungan manusia yang dilakukan melalui penggambaran dan representasi mereka
dalam bentuk hiburan dan konten lainnya.
6.Karenanya, makna (baik personal maupun pribadi, atau interpretasi bersama secara
budaya) dari aspek realitas yang mana orang harus menyesuaikan diri, dikembangkan
dalam sebuah proses komunikasi, yang mengindikasikan realitas, dalam artian
interpretasi individual atau sebuah konsensus bersama tentang makna yang melekat
pada objek, tindakan, kejadian, dan situasi yang dibangun secara sosial.

C.Kehidupan masyarakat itu dikontruksi secara terus menerus

Bagi Berger, masyarakat adalah produk manusia, berakar pada fenomena eksternalisasi.
Produk manusia (termasuk dunianya sendiri), kemudian berada di luar dirinya,
menghadapkan produk-produk sebagai faktisitas yang ada di luar dirinya. Meskipun
semua produk kebudayaan berasal dari (berakar dalam) kesadaran manusia, namun
produk bukan serta-merta dapat diserap kembali begitu saja ke dalam kesadaran.
Kemampuan ekspresi diri manusia mampu mengadakan obyektivasi (objectivation),
artinya ia memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia,
baik bagi produsenprodusennya maupun bagi orang lain sebagai unsur-unsur dari dunia
bersama. Obyektivasi itu merupakan isyarat-isyarat yang sedikit banyaknya tahan lama
dari proses-proses subyektif para produsennya, sehingga memungkinkan obyektivasi
itu dapat dipakai sampai melampaui situasi tatap muka dimana mereka dapat dipahami
secara langsung.

Tahap objektivitasi terjadi jika suatu keadaan dilakukan secara berulang.Keadaan yang
berulang ini menyadarkan individu bahwa realitanya tradisi ini rutin dilaksanakan sejak
dulu (Rorong, 2020). Walaupun dahulu dilaksanakan pada saat acara kematian
bangswan namun sekarang hanya dilaksanakan pada acara panen saja. Karena rutin
diadakan maka tradisi ini sudah menjadi kebiasaan yang dilangsungkan setiap tahun,
semua orang menunggu dilaksanakannya tradisi ini. Dari hasil penelitian yang dilakukan
peneiliti ada beberapa perdebatan untuk melestarikan tradisi ini, dari 12 informan ada 4
informan menganggap tradisi ini mengandung unsur kekerasan dan beberapa daerah di
Toraja sendiri sudah banyak yang menghapuskan tradisi ini. Namun masyarakat desa
Kandeapi tetap mempertahankan tradisi ini karena dianggap masih bisa mematuhi
peraturan permainan dan waktu yang diberikan dipersingkat. Mereka menganggap
bahwa tradisi ini sudah menjadi bagian dari adta istiadat yang langka dan harus tetap
dilestarikan. Gejala ini relevan dengan teori konstruksi sosial Berger & Luckmann (1991)
bahwa dalam tahapan objektivasi, pengetahuan individu berbeda antara satu dengan
lain bergantung pada faktor yang berpengaruh di luar individu.

Bagi Berger, masyarakat adalah produk manusia, berakar pada fenomena eksternalisasi.
Produk manusia (termasuk dunianya sendiri), kemudian berada di luar dirinya,
menghadapkan produk-produk sebagai faktisitas yang ada di luar dirinya. Meskipun
semua produk kebudayaan berasal dari (berakar dalam) kesadaran manusia, namun
produk bukan serta-merta dapat diserap kembali begitu saja ke dalam kesadaran.
Kemampuan ekspresi diri manusia mampu mengadakan obyektivasi (objectivation),
artinya ia memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia,
baik bagi produsenprodusennya maupun bagi orang lain sebagai unsur-unsur dari dunia
bersama. Obyektivasi itu merupakan isyarat-isyarat yang sedikit banyaknya tahan lama
dari proses-proses subyektif para produsennya, sehingga memungkinkan obyektivasi
itu dapat dipakai sampai melampaui situasi tatap muka dimana mereka dapat dipahami
secara langsung.

Tahap objektivitasi terjadi jika suatu keadaan dilakukan secara berulang. Keadaan yang
berulang ini menyadarkan individu bahwa realitanya tradisi ini rutin dilaksanakan sejak
dulu (Rorong, 2020). Walaupun dahulu dilaksanakan pada saat acara kematian
bangswan namun sekarang hanya dilaksanakan pada acara panen saja. Karena rutin
diadakan maka tradisi ini sudah menjadi kebiasaan yang dilangsungkan setiap tahun,
semua orang menunggu dilaksanakannya tradisi ini. Dari hasil penelitian yang dilakukan
peneiliti ada beberapa perdebatan untuk melestarikan tradisi ini, dari 12 informan ada 4
informan menganggap tradisi ini mengandung unsur kekerasan dan beberapa daerah di
Toraja sendiri sudah banyak yang menghapuskan tradisi ini. Namun masyarakat desa
Kandeapi tetap mempertahankan tradisi ini karena dianggap masih bisa mematuhi
peraturan permainan dan waktu yang diberikan dipersingkat. Mereka menganggap
bahwa tradisi ini sudah menjadi bagian dari adta istiadat yang langka dan harus tetap
dilestarikan. Gejala ini relevan dengan teori konstruksi sosial Berger & Luckmann (1991)
bahwa dalam tahapan objektivasi, pengetahuan individu berbeda antara satu dengan
lain bergantung pada faktor yang berpengaruh di luar individu.

D.Membedakan antara realitas dan pengetahuan

Talcott Parsons berpendapat bahwa aksi ( action ) itu bukanlah perilaku ( behavior ).
Aksi merupakan tanggapan atau respon mekanis terhadap suatu stimulus sedangkan
perilaku adalah suatu proses mental yang aktif dan kreatif. Menurut Parsons, yang
utama bukanlah tindakan individual, melainkan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang
menurunkan dan mengatur perilaku (Sarwono, 1993 : 19 ).

Parsons melihat bahwa tindakan individu dan kelompok dipengaruhi oleh tiga sistem,
yaitu sistem sosial, sistem budaya, dan sistem kepribadian masing-masing individu.
Kita dapat mengaitkan individu dengan sistem sosialnya melalui status dan perannya.
Dalam setiap sistem sosial individu menduduki suatu status dan berperan sesuai
dengan norma atau aturan yang dibuat oleh sistem tersebut dan perilaku ditentukan
pula oleh tipe kepribadiannya. (Sarwono, 1993 : 19 ).
Dalam menyesuaikan tingkah lakunya dengan norma masyarakat biasanya individu
melihat kepada kelompok acuannya ( reference group ). Kelompok referensi yaitu
kelompok sosial yang menjadi acuan bagi seseorang (bukan anggota kelompok) untuk
membentuk pribadi dan perilakunya. Dengan perkatan lain, seorang yang bukan anggota
kelompok sosial bersangkutan mengidentifikasi dirinya dengan kelompok tadi
(Soekanto, 1990:154)

Menurut Parsons, salah satu asumsi dari teori aksi adalah bahwa subyek, manusia
bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan tersebut antara lain
untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia yang meliputi kebutuhan makan, minum,
keselamatan, perlindungan, kebutuhan untuk dihormati, kebutuhan akan harga diri, dan
lain sebagainya. Untuk mencapai tujuan tersebut dapat diupayakan dengan bekerja.
Jadi tujuan yang hendak dicapai seorang individu merupakan landasan dari segenap
perilakunya.

Parsons menjelaskan bahwa orientasi orang bertindak terdiri dari dua elemen dasar,
yaitu orientasi motivasional dan orientasi nilai. Orientasi motivasional menunjuk pada
keinginan individu yang bertindak itu untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi
kekecewaan. Sedangkan orientasi nilai menunjuk pada standar-standar normatif yang
mengendalikan pilihan-pilihan individu ( alat dan tujuan ) dan prioritas sehubungan
dengan adanya kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan yang berbeda.

Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi
manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan
tindakan. Perilaku merupan respon individu terhadap stimulus yang berasal dari luar
maupun dari dalam dirinya, setelah melalui proses berpikir dan respon yang muncul
dapat berupa perilaku yang tampak.

Suatu proses pemaknaan yang dilakukan oleh setiap individu terhadap lingkungan dan
aspek diluar dirinya yang terdiri dari proses eksternalisasi, internalisasi dan obyektivasi.
Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk
manusia, obyektivasi adalah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang
dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, dan internalisasi adalah
individu mengidentifikasi diri ditengah lembaga-lembaga sosial dimana individu
tersebut menjadi anggotanya.

Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates


menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide.
(Bertens, 1999:89). Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles
mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, subtansi, materi, esensi, dan sebagainya.
Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus
dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah fakta (Bertens, 1999:137).

Aristoteles pulalah yang telah memperkenalkan ucapannya ‘Cogito ergo sum’ yang
berarti “saya berfikir karena itu saya ada”. Kata-kata Aristoteles yang terkenal itu
menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai
saat ini. Pada tahun 1710, Vico dalam ‘De Antiquissima Italorum Sapientia’,
mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ‘Tuhan adalah pencipta alam semesta dan
manusia adalah tuan dari ciptaan’. Dia menjelaskan bahwa ‘mengetahui’ berarti
‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu ’ini berarti seseorang itu baru mengetahui
sesuatu jika ia menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut
Vico bahwa hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya dia
yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa ia membuatnya, sementara itu orang
hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya (Suparno, 1997:24).

Anda mungkin juga menyukai