Anda di halaman 1dari 5

MANUSIA DALAM TINJAUAN SOSIOLOGI DAKWAH1

Oleh: Rohmanur Aziz

Sebelum mempelajari sosiologi Islam dan sosiologi dakwah, seyogyanya kita


pahami beberapa teori dalam sosiologi agama, Diantara tokoh yang concerna pada
sosiologi agama yaitu Emile Durkheim. Beberapa terminologi sosiologi yang bisa
dikatakan sebagai peta ke dalam pemikiran Durkheim, antara lain:
a. Fakta sosial (social facts/social reality). Lewis Coser menjelaskan bahwa yang
dimaksud Durkheim mengenai fakta sosial adalah suatu ciri atau sifat sosial
yang kuat yang tidak harus dijelaskan pada level biologi dan psikologi, tetapi
sebagai sesuatu yang berada secara khusus di dalam diri manusia. Dengan kata
lain, Ritzer menjelaskan bahwa fakta sosial, dalam teori Durkheim itu bersifat
memaksa karena mengandung struktur-struktur yang berskala luas – misalnya
hukum yang melembaga. Pengaruh fakta sosial itu pun tampak dalam karyanya
mengenai bunuh diri di mana persoalan yang pokok di situ ialah apa motif dan
alasan seseorang melakukan tindakan tersebut, atau mengapa beberapa orang
cenderung melakukan tindakan itu (bunuh diri). Dengan demikian jelas bahwa
yang dimaksud dengan fakta sosial adalah bukan sesuatu yang tampak seperti
itu saja, melainkan motif-motif atau dorongan sosial yang menimbulkan
sesuatu itu terjadi di dalam realitas sosial.
b. Sui Generis. Dalam kerangka itu, istilah sui generis menjadi suatu terminologi
sosial yang sangat kuat dalam teori Durkheim. Masih terkait dengan fakta
sosial, semua gejala yang tampak itu bagi Durkheim tidak bisa dipahami secara
sui generis, atau taken for granted, atau dipahami apa adanya secara langsung.
Suatu fakta yang sui generis bukanlah suatu fakta yang harus diterima begitu
saja, termasuk penyimpangan moral seseorang tidak mesti dipahami secara sui
generis. Orang harus mampu melihat dorongan-dorongan psikologi, faktor-
faktor biologis, dll, sehingga memunculnya suatu bentuk perilaku moral seperti
itu.
c. Solidaritas sosial: secara mekanis dan organis. Kedua terminologi tadi perlu
dipahami dalam kerangka teori-teori Durkheim mengenai masyarakat. Bagi
Durkheim, fakta sosial itu memperlihatkan adanya berbagai cara dan usaha
manusia untuk membangun suatu komunitas, atau apa yang disebutnya
masyarakat. Tidak seperti Ferdinand Tonnies yang melihat pada bentuk
gemeinschaft (kekerabatan) dan gesselschaft (persekutuan masyarakat luas),
Durkheim melihat pada bagaimana pola masyarakat membangun persekutuan
itu sendiri. Di sini menurut Durkheim ada dua corak orang membangun
komunalitas, yaitu secara organik (solidaritas organik) dan secara mekanis
(solidaritas mekanik). Solidaritas organik itu suatu bentuk cara membangun
komunitas dengan mana melihat pada latarbelakang yang sama, dan terjadi
secara spontan, tanpa melalui suatu rekayasa (social enginering). Berbeda
dengan solidaritas mekanik yang terjadi karena faktor disengajakan atau
diciptakan secara terencana.

*
Bahan kuliah Sosiologi Dakwah Semester 7 Jurusan Bimbingan Konseling Islam FDK UIN
Sunan Gunung Djati Bandung Tahun 2022.
d. Totemisme. Durkheim patut disebut sebagai pendiri “Sosiologi Agama”.
Metodologi yang dikembangkannya dalam sosiologi memang masih
menggunakan kerangka filsafat deterministik, dan karena itu cara berpikir
matematis (mathematico scientific model) – seperti dikembangkan Imanuel
Kant – menjadi acuan metodologi yang penting. Tetapi pengaruh psikologi dan
pengetahuan moral membuat Durkheim lebih merespons suatu gejala
kepercayaan (sense of beliefs) dalam diri masyarakat. Ada kecenderungan
orang membangun suatu ideologi sosial dan dijadikan sebagai acuan dalam
hidup. Ideologi itu dilembagakan dalam totem sebagai suatu simbol yang
mampu membangun sikap percaya atau perasaan takut dan tunduk (taat). Di
sini kita bisa melihat bagaimana Durkheim kembali merekonstruksi dasar-
dasar keagamaan masyarakat, dan sebetulnya mengapa masyarakat itu bisa
bersekutu dengan melihat pada suatu totem.2 Kedua teori ini akan dikolaborasi
untuk membedah kontruksi sosial sebagaimana Berger & Luckmann
berpandangan bahwa kenyataan itu dibangun secara sosial, dalam pengertian
individu-individu dalam masyarakat itulah yang membangun masyarakat.
Maka pengalaman individu tidak terpisahkan dengan masyarakatnya. Berger
memandang manusia sebagai pencipta kenyataan sosial yang objketif melalui
tiga momen dialektis yang simultan yaitu eksternalisasi, objektivasi dan
internalisasi.
a. Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia
kedalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Proses ini
merupakan bentuk ekspresi diri untuk menguatkan eksistensi individu
dalam masyarakat. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai produk
manusia (Society is a human product ).
b. Objektifikasi, adalah hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik
dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu berupa realitas
objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai
suatu faktisitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang
menghasilkannya (hadir dalam wujud yang nyata). Realitas objektif itu
berbeda dengan kenyataan subjketif perorangan. Ia menjadi kenyataan
empiris yang bisa dialami oleh setiap orang. Pada tahap ini masyarakat
dilihat sebagai realitas yang objektif ( society is an objective reality),
atau proses interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang
dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi.
c. Internalisasi, lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke
dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu
dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia
yang telah terobjektifikasi tersebut akan ditangkap sebagai gejala
realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi
kesadaran. Melalui internalisasi manusia menjadi hasil dari masyarakat
(Man is a social product).

2
Lihat Bryan S. Turner, Sosiologi Islam (Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber),
Rajawali Pers, Jakarta. 1994.
Teori tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang dinamis,
senantiasa melakukan perubahan seiring dengan perubahan alam dan segala sesuatu
yang menyertai eksistensinya. Perubahan yang dilakukan oleh manusia ada yang
terencana dan tidak terencana.
Perubahan yang terencana, yaitu perubahan yang melalui serangkaian
rekayasa kesadaran manusia untuk mengubah suatu keadaan menjadi keadaan yang
lain. Adapun perubahan yang tidak terencana yaitu perubahan tanpa kendali
manusia. Wabah virus corona yang mengakibatkan Corona Virus Disease (Covid
19), mengubah segalanya tanpa rencana sebelumnya. Secara global telah terjadi
transformasi berbagai kondisi menjadi terkonsentrasi pada penyikapan terhadap isu
Covid 19. Dilihat dari aspek waktu perubahan, ada dua jenis yaitu revolusi dan
evolusi. Revolusi yaitu perubahan secara cepat dan evolusi yaitu perubahan secara
perlahan/ lambat. Isu Covid 19, termasuk pada penyebab transformasi yang
revolusioner dengan mengubah segala aspek kehidupan menjadi suatu kondisi dan
bentuk yang lain. Ancaman terpapar virus melahirkan berbagai produk kreatifitas,
mulai dari system pendidikan online dengan fasilitas e-learning, system ekonomi
dengan diberlakukan alat pembayaran secara digital melalui fasiltas e-money,
system budaya tanpa interaksi langsung semua berubah. Evolusi merupakan
perubahan pada sesuatu secara perlahan, maka perubahan ini cenderung terencana
walaupun tidak menutup kemungkinan evolusi terjadi secara tidak terencana seperti
perubahan fisik dan psikis dari bayi, balita, anak-anak, remaja, dan dewasa.
Dalam koteks perubahan sosial, hal-hal penting dalam perubahan sosial
menyangkut aspek-aspek sebagai berikut, yaitu: perubahan pola pikir masyarakat,
perubahan perilaku masyarakat dan perubahan materi budaya (Burhan Bungin,
2008). Pola pikir merupakan struktur cara berpikir yang dipengaruhi oleh berbagai
faktor baik yang sifatnya internal maupun eksternal. Faktor internal, merupakan
bawaaan sebagai karunia Tuhan (fitrah). Kapasitas kecerdasan setiap orang
berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan kemapanannya. Howard Earl Gardner
(1993) menyebut dengan kecerdasan majemuk (multiple intelegency). Dalam
paradigma kaum tradisional, berpandangan bahwa kecerdasan hanya bertumpu
pada Intelectual Quotient (IQ) yaitu kecerdasan yang mengandalkan kemampuan
logika, sistematika dan mekanistik yang dalam kajian neurologi lebih cenderung
menggunakan otak kiri. Padahal Gardner menyebut masih ada kecerdasan lainnya.
Ini yang disebut sebagai postulat seven basic ``intelligences,'' including language
and logical-mathematical but also kinesthetic, musical, interpersonal,
intrapersonal, and spatial. Dalam perkembangannya kecerdasan ini berkembang
ada kecerdasan emosional (Emotional Quotient) dan kecerdasan spiritual (Spritual
Qoutient). Secara internal, manusia sudah dibekali potensi oleh Allah SWT yang
dalam pandangan Islam disebut sebagai hidayah atau petunjuk yang di dalamnya
termasuk berpikir (‘aql). Berpikir merupakan aktifitas fungsi otak, dengan
melakukan serangkaian analisis dan proses pada pemahaman tentang suatu
pengetahuan.
Secara eksternal pola pikir manusia dipengaruhi oleh berbagai hal yang
terkait dengan eksistensi dirinya seperti lingkungan, masa lalu, tingkat pendidikan,
tingkat ekonomi, termasuk budaya. Faktor-faktor ini lambat laun berpotensi kuat
mempengaruhi pola pikir seseorang sehingga melahirkan persepsi, motivasi dan
paradigma.
Persepsi merupakan pandangan sementara terhadap sesuatu yang sifatnya
nisbi dan bahkan mungkin dangkal. Persepsi lebih dekat dengan prasangka,
sehingga kebenarannya belum teruji. Faktor lingkungan pada masyarakat perkotaan
dan masyarakat pedesaan tentu akan sangat berbeda. Contoh pada masyarakat
perkotaan mempersepsi tentang virus corona sebagai ancaman serius yang harus
disikapi secara cepat, tepat, dan serius karena lingkungan pada masyarakat kota
sangat bergantung pada interaksi antara manusia dengan manusia. Pada
perkembangannya, masyarakat kota akan cepat mempelajari akar penyebab dan
sistem penanggulangannya dan perlahan pola pikirnya akan segera berubah setelah
ditemukan obat dan jalan keluarnya. Sementara pada lingkungan masyarakat
pedesaan sangat bergantung pada dominasi interaksi manusia dengan alam,
sehingga dalam menyikapi virus corona pada awalnya seringkali dipersepsi sebagai
penyakit biasa sebagaimana penyakit lainnya yang seringkali di derita manusia,
maka persepsi yang muncul, corona dipandang bukan ancaman berarti, namun pada
perkembangannya masyarakat desa akan menemukan kebenaran faktual tentang
bahaya corona atau Covid 19 tersebut, sementara kognisi sosial tidak memadai
untuk penanganannya. Pada kondisi ini, agama dan mistisisme seringkali menjadi
pelarian dan melahirkan justifikasi kebenaran yang semu sehingga melahirkan
sikap yang keliru dan tentunya merugikan masyarakat itu sendiri. Pada akhirnya,
pola pikir masyarakat desa akan berubah setelah ada proses dialektika dan trial and
eror.
Perubahan pola pikir masyarakat, secara otomatis akan mempengaruhi
perubahan perilaku masyarakat yaitu dengan berubahnya sistem sosial. Sistem
sosial merupakan keterkaitan secara integral antar aspek-aspek kehidupan sosial.
Pada perkembangan sejarah manusia, sistem sosial dimulai dari kebebasan sosial
yang tanpa batas. Hal ini terjadi pada masyarakat primitif, dimana karena kebebasan
yang tanpa batas itu, manusia tidak berdaya menghadapi kerasnya hukum rimba
sehingga terisolir dengan hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat
lainnya (nomaden) untuk mempertahankan hidup dengan alam yang diadaptasi
sementara. Perkembangan berikutnya, perilaku masyarakat primitif akan beranjak
menjadi masyarakat agrokultural, setelah alam tidak lagi memberikan dukungan
terhadap manusia, maka perilaku manusia mulai menetap dan bercocok tanam dan
memanen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah fase ini, manusia akan
beranjak menuju masyarakat tradisional yaitu masyarakat yang menetap permanen
pada suatu wilayah karena dipandang wilayah tersebut strategis. Pada fase ini
dimulai kata desa sebagai gambaran suatu kawasan yang dihuni oleh masyarakat
tertentu dengan membangun pola interaksi yang khas dan mengembangkan budaya.
Selanjutnya, akan terjadi fase transisi yaitu situasi antara isolasi dan kemajuan
masyarakat desa setelah terkoneksi dengan masyarakat luar yang sudah lebih awal
measuki kemajuan dalam berbagai bidang. Perubahan perilaku masyarakat transisi
akan nampak mendua dan ambigu, satu sisi mempertahankan tradisionalisme
namun disisi lain sudah kehilangan ciri masyarakat tradisionalnya. Perubahan
masyarakat berikunya yaitu fase modern, yaitu fase kemajuan yaitu perubahan
perilaku masyarakat yang totaliter meninggalkan fase transisi dan tradisional
dengan mengedepankan perubahan pola pikir yang rasional dan mekanistik. Sistem
sosial pada masyarakat modern cenderung kaku harus sesuai aturan-aturan yang
ditetapkan sehingga melahirkan profesionalisme. Kaum professional dikenal
sebagai kumpulan manusia yang memiliki kecenderungan karakter transaksional,
individualistik, dan mekanistik. Nasib masyarakat modern sejatinya tigdak lebih
merdeka daripada masyarakat primitif, karena pada sistem sosial masyarakat
modern manusia hampir disejajarkan dengan status mesin atau robot. Tidak aneh
jika kemudian, para pemilik modal (kapitalis), pada gilirannya mengalihkan biaya
produksi dan marketing dari manusia ke mesin dan robot. Masyarakat modern
selain melahirkan profesionalisme juga melahirkan industrialisasi yaitu mobilasasi
produksi barang dan jasa secara massal dengan pengembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan, sehingga terciptalah kaum buruh. Sesungguhnya kaum buruh
merupakan kaum profesional yang lahir pada fase modern, namun distrukturkan
sebagai “masyarakat kelas dua” setelah kapitalis. Hal ini yang kemudian fase
perubahan perilaku masyarakat beranjak lagi ke postmodern.

Pertanyaan:
1. Menurut Anda, apa yang dimaksud dengan:
a. Manusia
b. Masyarakat
c. Ummat
2. Menurut Anda, bagaimana kondisi umat Islam saat ini dalam konteks sosiologi
dakwah?

Anda mungkin juga menyukai