Anda di halaman 1dari 39

BAB II

KAJIAN LITERATUR

2.1 Konsep Prilaku Sosial

2.1.1. Pengertian Prilaku Sosial

Penelitian ilmu sosial adalah penelitian yang berkaitan dengan sebuah

pikiran yang tersembunyi dalam diri individu yang tidak bisa dipahami oleh

orang lain, berdasarkan kondisi saat itu. Perilaku sosial adalah suasana saling

ketergantungan yang merupakan keharusan untuk menjamin keberadaan

manusia Rusli Ibrahim, (2001). Sebagai bukti bahwa manusia dalam memenuhi

kebutuhan hidup sebagai diri pribadi tidak dapat melakukannya sendiri melainkan

memerlukan bantuan dari orang lain. Ada ikatan saling ketergantungan diantara

satu orang dengan yang lainnya. Artinya bahwa kelangsungan hidup manusia

berlangsung dalam suasana saling mendukung dalam kebersamaan. Untuk itu

manusia dituntut mampu bekerja sama, saling menghormati, tidak menggangu

hak orang lain, toleran dalam hidup bermasyarakat.

Begitu juga terjadinya prilaku sosial adalah ciri dinamika masyarakatnya,

untuk memperoleh keadaan yang lebih baik. Prilaku sosial adalah yang secara

khusus ditujukan kepada orang lain. Max, Weber, (1970) mengemukakan bahwa

prilaku mempengaruhi aksi social dalam masyarakat yang kemudian menimbul-

kan masalah-masalah. Permasalahan-permasalahan dalam masyarakat sebagai

sebuah penafsiran terhadap prilaku sosial. Prilaku sosial adalah rasional atau

logika dapat dipahami secara langsung. Ini prilaku social merupakan fungsi dari
orang-orang terjadinya mulai dari yang ringan dan tersembunyi hingga tingkat

yang berat, dan terbuka. Konflik diartikan dan situasi dimana setiap manusia

bertindak dengan cara dalam situasi prilaku sosial yang unik kedalam suasana

tertentu yang ditunjukan seseorang ke orang lain. Prilaku sosial sebagai bentuk

pertentangan antara satu dengan pihak lainnya. Prilaku sosial juga diartikan

sebagai perjuangan nilai dan tuntutan atas status sosial, kekuasaan, dan sumber

daya yang bersifat langka dengan maksud menetralkan, mencederai atau

melenyapkan lawan. Prilaku sosial merupakan proses kearah upaya memperoleh

penghargaan dengan cara menghilangkan dan memperlemah pesaingnya.

2.1.2. Prilaku Sosial Individu

Teori strukturalisme menekankan pada pentingnya struktur dalam

memengaruhi atau bahkan menentukan tindakan manusia. Stuktur merupakan

elemen tak kasat mata yang mengatur tindakan seseorang. Terdapat perdebatan

mengenai dimana sebenarnya struktur berada. Struktur bisa berada di tempat

yang dalam seperti pada pemikiran manusia. Ada pula yang mengatakan, struktur

berada di luar individu seperti struktur sosial berupa norma dan nilai. Pendapat

lain mengatakan struktur terdapat dalam bahasa seperti pada studi-studi

linguistik. Tidak menutup kemungkinan pula struktur berada dalam relasi antara

individu dengan struktur sosial. Teori strukturalisme meletakkan struktur sebagai

faktor determinan dari tindakan sosial. Menurut J.S. Furnivall, (2014) masyarakat

majemuk merupakan masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas

maupun kelompok-kelompok yang secara budaya dan ekonomi terpisah serta

memiliki struktur kelembagaan yang berbeda satu dengan lainnya. Pengertian


Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup secara bersama-sama di

suatu wilayah dan membentuk sebuah sistem, baik semi terbuka maupun semi

tertutup, dimana interaksi yang terjadi di dalamnya adalah antara individu-

individu yang ada di kelompok tersebut.

Walgito (2004) prilaku sosial individu dapat dilihat dari kecenderungan

dan cirri-ciri interpersonal masyarakat yang terdiri dari berbagai macam

karakteristik kebudayaan baik perbedaan dalam bidang etnis, golongan, agama,

tingkat sosial yang tinggal dalam suatu komunitas tertentu. Dalam kajian prilaku

social Individu yang respon interpresonalnya sebagai berikut ; 1). Kecendrungan

peranan (role disposition) yaitu kecenderungan yang mengacu pada tugas,

kewajiban dan posisi yang dimiliki seorang individu. 2). Kecenderungan

sosialmetrik (sosiometric disposition) yaitu kecendrungan yang bertauta dengan

kesukaan, kepercayaan terhadap individu lain, dan 3). Ekpressi (expression

Disposition), yaitu Kecenderungan yang bertauta dengan ekspresi diri dengan

menampilkan kebiasaan-kebiasaan khas. Kajian-kajian tentang prilaku sosial

banyak mengambil perhatian para ahli. Suatu masyarakat terbentuk karena setiap

manusia menggunakan perasaan, pikiran, dan hasratnya untuk bereaksi terhadap

lingkungannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah mahluk sosial

yang secara kodrati saling membutuhkan satu sama lainnya

Raho, Bernard. (2007) prilaku social masyarakat dapat terdiri atas jenis-

jenis manusia yang berbeda-beda dan mempunyai fungsi yang berbeda pula, yang

terbentuk serta dilihat dari segi fungsi tidak dari rasa cinta dan sejenisnya, dan
hanya ada rasa untuk saling menjaga satu sama lain supaya tidak saling

menyakiti.

Emile Durkheim (1982) fakta sosial ialah suatu kenyataan objektif untuk

tiap-tiap individu dimana adalah anggotanya. Durkheim mencetuskan sebuah

konsep yang diberi nama fakta sosial. Fakta sosial didefinisikan sebagai cara

bertindak, berpikir, atau berperasaan yang berada di luar individu; namun

memiliki kekuatan untuk memaksa individu tersebut. Bagi Durkheim, fakta sosial

merupakan pokok bahasan utama sosiologi yang membedakan sosiologi dengan

disiplin ilmu Masyarakat dapat disebut sebagai komunitas yaitu proses alamiah

dimana sekelompok orang hidup bersama guna memaksimalkan kepentingan

mereka, dan kepentingan diri tiap individu dapat diperolah dalam sebuah

kelompok tersebut.

Menurut Herry Priyono. (2013) suatu masyarakat dapat dikenali dari

karakteristik yang ada di dalamnya. Adapun ciri-ciri fakta sosial adalah sebagai

berikut: 1) Berada di wilayah tertentu mengacu pada pengertian masyarakat di

atas, suatu kelompok masyarakat mendiami di suatu wilayah tertentu secara

bersama-sama dan memiliki suatu sistem yang mengatur hubungan antar

individu. 2) Hidup secara berkelompok manusia adalah mahluk sosial dan akan

selalu membentuk kelompok berdasarkan kebutuhan bersama. Kelompok

manusia ini akan semakin besar dan berubah menjadi suatu masyarakat yang

saling tergantung satu sama lain. 3) Terdapat suatu kebudayaan hanya dapat

tercipta bila ada masyarakat. Oleh karena itu, sekelompok manusia yang telah

hidup bersama dalam waktu tertentu akan melahirkan suatu kebudayaan yang
selalu mengalami penyesuaian dan diwariskan secara turun-temurun. 4) Terjadi

perubahan suatu masyarakat akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu

karena memang pada dasarnya masyarakat memiliki sifat yang dinamis.

Perubahan yang terjadi di masyarakat akan disesuaikan dengan kebudayaan yang

sebelumnya telah ada. 5) Terdapat interaksi sosial interaksi sosial akan selalu

terjadi di dalam suatu masyarakat. Interaksi ini bisa terjadi bila individu-individu

saling bertemu satu dengan lainnya. 6) Terdapat pemimpin aturan dan norma

dibutuhkan dalam suatu masyarakat agar kehidupan harmonis dapat terwujud.

Untuk itu, maka dibutuhkan pemimpin untuk menindaklanjuti hal-hal yang telah

disepakati sehingga dapat berjalan sebagaimana mestinya 7) Terdapat stratafikasi

sosial di dalam masyarakat akan terbentuk golongan tertentu, baik berdasarkan

tugas dan tanggungjawab, maupun religiusitasnya. Dalam hal ini stratafikasi

dilakukan dengan menempatkan individu pada posisi tertentu sesuai dengan

keahlian dan kemampuannya.

2.1.3 Paradigma Perilaku Sosial

Persoalan ilmu sosial dalam hal ini sosiologi menurut paradigma ini

adalah perilaku atau tingkah laku dan perulangannya (contingencies of

reinforcement). Paradigma ini memusatkan perhatian kepada tingkah laku

individu yang berlangsung dalam lingkungan yang menimbulkan akibat atau

perubahan terhadap tingkahlaku selanjutnya. Paradigma perilaku sosial secara

tegas menentang ide paradigma definisi sosial tentang adanya suatu kebebasan

berpikir atau proses mental yang menjembatani tingkahlaku manusia dengan

pengulangannya. Penganut paradigma ini menganggap kebebasan berpikir


sebagai suatu konsep yang bersifat metafisik. Paradigma ini juga berpandangan

negatif terhadap konsep paradigma fakta sosial yaitu struktur dan pranata sosial.

Paradigma perilaku sosial memahami tingkah laku manusia sebagai sesuatu yang

sangat penting. Konsep seperti pemikiran, struktur sosial dan pranata sosial

menurut paradigma ini dapat mengalihkan perhatian kita dari tingkahlaku

manusia itu.

2.1.4 Tindakan Sosial

Max Weber membedakan antara tindakan sosial yang melibatkan campur

tangan atas proses pemikiran dan perilaku reaktif yang muncul begitu saja tanpa

melibatkan proses pemikiran yang panjang. Perilaku reaktif tidak menjadi fokus

pembahasan Weber. Tindakan terjadi bila para individu melekatkan makna-

makna subjektif kepada tindakan-tindakan mereka. Tugas sosiologi mencakup

penafsiran tindakan dari segi makna subyektifnya. Tindakan di dalam arti

orientasi perilaku dapat dipahami secara subyektif, ada yang hanya sebagai

perilaku seseorang atau lebih sebagai manusia secara individual. Weber

melakukan pembedaan di antara dua tipe tindakan rasional, antara lain (a)

tindakan rasionalitas alat-tujuan atau tindakan yang ditentukan oleh pengharapan-

pengharapan mengenai perilaku-perilaku obyek di dalam lingkungan dan perilaku

manusia lainnya. (b) tindakan rasionalitas nilai atau tindakan yang ditentukan

oleh kepercayaan yang sadar akan nilai tersendiri suatu bentuk perilaku yang etis,

estetis, religius, atau bentuk lainnya, terlepas dari prospek-prospek

keberhasilannya. Selain itu Weber juga menerangkan (c) tindakan afektual yang
ditentukan oleh keadaan dan emosional sang aktor, serta (d) tindakan tradisional

yang ditentukan oleh cara-cara berperilaku sang aktor yang biasa dan lazim.

2.2 Konsep Moderasi Beragama

2.2.1 Pengertian Moderasi Beragama

Kata moderasi berasal dari bahasa Latin moderatio, yang berarti ke-

sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga bearti

penguasaan diri dari sikap yang sangat berlebihan dan kekurangan. beragama

Pengertian dan batasan moderasi sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus

besar bahasa Indonesia (KBBI) menyendiakan dua pengertian kata moderasi

yakni : 1. pengurangan kekerasan dan 2. penghindaran keeksreman. Jika

dikatakan, orang dan tidak itu bersikap moderat, kalimat itu berarti bahwa orang

itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem.

Dalam bahasa Inggris kata moderation sering digunakan dalam pengertian

average (rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non aligned (tidak berpihak).

Secara umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal

keyakinan moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai

induvidu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara. Sedangkan dalam

bahasa Arab, moderasi di kenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang

memiliki padanan dan tawassuth (berimbangan). orang yang menerapkan prinsip

wasathiyah bisa disebut wasith. Dalam bahasa Arab pula, kata wasathiyah di

artikan sebagai “pilihan terbaik “apa pun kata yang dipakai, semuanya

menyiratkan satu makna yang sama, yakni adil yang dalam konteks ini berarti

memilih posisi.
Untuk memahami lebih jauh tentang pemahaman moderasi beragama

adalah meyakini secara absolut ajaran agama yang diyakini dan memberi ruang

terhadap agama yang diyakini terhadap orang lain dalam kehidupan masyarakat

plural dan multicultural dan harus dipahami sebagai komitmen bersama untuk

menjaga komitmen bersama dimana setiap warga apapun suku, etnis, budaya dan

agama dan pilihan politik harus mau saling mendengarkan satu sama lain dan

mengatasi perbedaan antar masyarakat moderen yang ada di wilayah Cakranegara

Kota Mataram. Moderasi beragama yang dimaksud disini adalah saling

memperkuat pemahaman masyarakat tentang keyakinan yang di yakini oleh

masyarakat moderen yang ada di Cakranegara Kota Mataram. Dengan

memperkuat keyakinan agama bagi masyarakat saat ini maka kekuatan

silatulrahmi menjadi lebih rukun dalam kehidupan beragama, bernegara, dan

beragama lebih harmonis.

Konteksi ini, narasi pentingnya jalan tengah (the middle path) dalam

beragama seperti yang ditulis Fathorrahman Ghufron (2018) dalam “Mengurus

utamakan Islam Moderat” (Kompas, 23/5/2018), sesungguhnya memiliki nilai

urgensinya untuk terus-menerus digaungkan oleh tokoh agama, akademisi

kampus yang memiliki otoritas, dan melalui saluran berbagai media.

Penggaungan narasi semacam itu khususnya untuk untuk memberikan pendidikan

kepada remaja atau publik bahwa bersikap ekstrem dalam beragama, pada sisi

manapun, akan selalu menimbulkan benturan.

Moderasi beragama menjadi sangat mendesak dalam masyarakat yang

sangat plural khusus di Nusa Tenggara Barat dan umumnya di wilayah seperti
Indonesia. Terutama ketika masyarakat seolah terbelah sebagai imbas segregasi

politik. Sesungguhnya, moderasi beragama tampak sudah menjadi visi melekat

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (2019), yang coba penjawantahkan

dalam berbagai sikap dan kebijakan yang selalu mencoba berdiri di jalan tengah,

meski dengan resiko kecaman dari kedua sisi. Masalahnya, pada tataran praktis,

seruan mempraktikkan moderasi beragama ini masih menghadapi banyak

tantangan.

2.2.2 Prinsip dasar moderasi adil dan berimbang

Salah satu prinsip dalam moderasi beragama adalah selalu menjaga

keseimbangan diantara dua hal, misalnya keseimbangan antara akal dan

wahyu, antara jasmani dan rohani, antara hak dan kewajiban, antara

kepentingan individu dan kepentingan komunal, antara keharusan dan

kesukarelaan, antara teks agama dan ijtihad tokoh agama antara gagasan dan

kenyataan serta keseimbangan antara masa lalu dan dan masa depan.

Begitulah, inti dari dari moderasi beragama adalah adil dan berimbang

dalam memandang, menyikapi, dan mempraktikan semua konsep yang

berpasangan.

2.2.3 Landasan moderasi dalam tradisi berbagai agama

Setiap agama mengajarkan penyerahan diri seutuhnya kehadapan Tuhan

Yang Maha Esa san Maha pencipta. Penghambaan Kepada Tuhan ini

diwujudkan dalam kesiapan mengikut petunjuknya dalam kehidupan. Manusia

menjadi hamba hanya kepada Tuhan, tidak menghamba kepada yang lain

disinilah esensi nilai keadilan antar manusia sebagai sesama, mahluk Tuhan.
Moderasi beragama menjadi muatan nilai dan praktek yang paling sesuai

untuk mewujudkan permasalahan bumi Indonesia. Sikap mental moderat, adil

dan berimbang menjadi kunci untuk mengelola keagamaan umat manusia.

Dalam berhikmad menbangun bangsa dan negara setiap warga negara

Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang seimbang untuk mengembangkan

kehidupan bersama yang tentram.

2.2.4 Indikator moderasi beragama

Seperti telah dikatakan di atas sebelumnya, moderasi beragama adalah

ibarat bandul jam yang bergerak dari pinggir dan selalu cenderung menuju

pusat atau sumbu (centripetal), ia tidak pernah diam statis. Sikap moderat

pada dasarnya merupakan keadaan yang diamis, selalu bergerak, karena

moderasi pada dasarnya merupakan proses pergumulan terus-menerus yang

dilakukan dalam dalam kehidupan masyarakat. Moderasi dan sikap moderat

dalam beragama selalu berkontesta dengan nilai-nilai yang ada dikanan dan

dikirinya. Karena itu, mengukur moderasi beragama harus bisa

mnggambarkan bagaimana kontestasi dan pergumulan nilai itu terjadi.

Adapun indikator moderasi beragama terbagi menjadi empat bagian yaitu

1) kemitmen kebangsaan, 2) toleransi, 3) anti kekerasan, 4) akomodatif

terhadap kebudayaan lokal. Keempat indikator ini digunakan untuk mengenali

seberapa kuat moderasi beragama yang dipraktikan oleh seseorang di

Indonesia, dan seberapa besar kerentanan yang dimiliknya. Kerentanan

tersebut perlu dikenali supaya bisa menemukenali dan mengambil langkah-

langkah yang tepat untuk melakukan penguatan moderasi beragama. Sikap


dalam menghadapi perbedaan toleransi menjadi fondasi terpenting dalam

demokrasi, sebab demokrasi hanya bisa berjalan bila seseorang mampu

menahan dan menerima pendapat orang lain.

2.2.5 Moderasi di antara ekstrem kiri dan ekstrem kanan

Sebagian tulisan di atas tentang moderasi beragama sering kali hanya

fokus menempatkan gerakan moderasi sebagai solusi untuk menangani

masalah konservatisme beragama atau sering disebut sebagai ekstrem kanan.

Ini menggambarkan pemahaman yang belum utuh tentang moderasi

beragama, karena sesungguhnya moderasi beragama tidak hanya bertujuan

untuk menengahi mereka yang cenderung memiliki pemahaman keagamaan

yang ultra konservatif, namun, melainkan juga kelompok yang memiliki cara

pandang, sikap dan prilaku beragama yang liberal, atau yang sering disebut

sebagai ekstrem kanan.

Secara konseptual, pandangan sikap, dan praktek kagamaan yang ultra

konservatif sering muncul dari cara pandang teosentris secara ekstrem dalam

beragama, dan mengabaikan dimensi antroprosentrismenya. Pandangan

teosentris mendoktrin penganutnya untuk memaknai ibadah sebagai upaya

membahagiakan Tuhan, melalui sejumlah ritual ibadah, dalam pengertian

yang sempit. Imajinasi demi membela Tuhan yang tertanam dalam cara

berpikirnya. Membuat kelompok ini memaknai ibadah dan agama hanya

dalam perspektif memuaskan hasrat ke Tuhan-an sembari mengabaikan nilai

dan fungsi agama bagi kemanusiaan (Masdar Hilmy “Antroprosestisme

beragama, Kompas 4/7/2018).


2.3 Konsep Masyarakat

Secara umum penyebab prilaku sosial di lingkungan Taliwang dan di

Tohpati cukup kompleks, sesuai dengan rencana penelitian di lingkungan

Taliwang dan lingkungan Tohpati dapat di bahas dari berbagai prespektif,

sebagai berikut :

2.3.1 Prespektif Sosial

Dalam suatu Masyarakat menurut Emile Durkheim (1962) terdapat dua

type solidaritas, yakni solidaritas mekanis (mechanical solidarity) dan

solidaritas organis (organic solidarity). Solidaritas mekanis akan dapat

ditemukan pada masyarakat yang relatif bersahaja dan homogen didasarkan

pada hubungan antar pribadi, persamaan kebiasaan, gagasan maupun sikap.

Sedangkan solidaritas mekanis menjadi ciri khas masyarakat modern yang

heterogen berdasarkan hubungan fungsional antar pribadi maupun kelompok

dengan peranan yang bervariasi. Emile Durkheim mencirikan “Solidaritas

mekanis” masyarakat tradisional sebagai solidaritas yang tergantung pada

“keseragaman” anggota-anggotanya, yang keadaan kehidupan bersamanya

diciptakan bagi keyakinan dan nilai-nilai bersama.

Ada dua type hukum berdasarkan jenis solidaritas di atas, yaitu hukum

yang bersifat refresif dan hukum yang bersifat restitutif. Pada masyarakat

dengan type solidaritas mekanis hukum bersifat refresif. Suatu tindakan yang

menyimpang dianggap menodai hati nurani kolektivitas. Penghukuman

merupakan suatu reaksasi mekanis untuk mempertahankan solidaritas sosial

yang ada. Karakter hukum yang bersifat refresif dilaksanakan dengan


memberikan penderitaan, menghilangkan nyawa ataupun keberuntungan,

seperti halnya yang berlaku dalam penerapan hukum pidana. Pada masyarakat

dengan type solidaritas organis hukum bersifat restitutif yang menekankan

pada pemberian kompensasi. Kejahatan atau penyimpangan dianggap sebagai

sikap tindak yang ditunjukan kepada pribadi-pribadi sehingga tidak menodai

hati nurani kolektivitas. Penghukuman dimaksudkan sebagai upaya untuk

penggantian (restitusi) serta perbaikan terhadap kerugian-kerugian yang

diderita korban atau sebagai pemulihan keadaan.

Apabila mengunakan pernyataan solidaritas di atas maka masyarakat

dilingkungan Taliwang dan lingkungan Tohpati dapat dikategorikan sebagai

masyarakat tradisional yang mempunyai tipe solidaritas mekanis, hal tersebut

sangat nampak dari persepsi mereka terhadap anggota individu lain dan

masyarakat mereka. Sebagai orang Sasak meskipun mereka sedang bertikai

antar kampung atau dusun di dalam lingkungan yang sama, namun apabila

lingkungan Taliwang bertikai dengan lingkungan Tohpati, maka secara

otomatis mereka akan bersatu kembali dan melupakan dendam diantara

mereka, namun sebaliknya setelah selesai melihat prilaku sosial di lingkungan

dengan lingkungan lainnya seringkali tindakan sosial antar kampung antar

dusun kembali terjadi.

Masyarakat lingkungan Taliwang dan Tohpati seringkali menganggap

bahwa suatu tindakan menyimpang yang dilakukan oleh individu kelompok

lain kepada individu anggota kelompoknya seringkali dimaknai dan dianggap

menodai hati nurani kolektivitas kelompoknya sehingga mereka akan


berupaya mengembalikan atau membalas dendam, tindakan tersebut untuk

mengembalikan kebanggaan solidaritas mereka dengan cara yang bersifat

represif.

Durkheim (1962) juga berpendapat bahwa masyarakat akan berkembang

dari yang bentuk primitif kepada bentuk yang kompleks (modern). Dalam

perjalanan perkembangan masyarakat akan terjadi masa-masa abnormal.

Ketika elemen-elemen dalam masyarakat semuanya bergerak dan dapat

menyesuaikan diri maka kondisi seperti ini dinamai dengan keseimbangan

(equilibrium). Pada saat terjadi sebuah kondisi elemen-elemen dalam

masyarakat tidak bisa menyesuaikan diri dalam pertumbuhan masyarakat

yang cepat kondisi ini disebut dengan anomie atau kondisi normlessness.

Bentuk abnormalitas lainnya adalah seperti adanya keterpaksaan dalam

melaksanakan peraturan-peraturan atau kontrak karena latar belakang status

ekonomi yang berbeda. Juga dalam hal ini dimana fungsi-fungsi yang berbeda

dari anggota masyarakat harus dilaksanakan tanpa adanya ketergantungan

yang saling menguntungkan.

Kondisi anomie ini nampaknya terjadi di lingkungan Taliwang dan

lingkungan Tohpati ini ditandai dengan sudah tidak adanya norma yang

ditakuti oleh masyarakat, tidak adanya tokoh yang didengar oleh masyarakat

dan hancurnya struktur sosial yang ada di masyarakat, kearifan-kearifan lokal

yang dulunya dijunjung tinggi masyarakat perlahan pudar dan musnah. Selain

kondisi diatas, faktor yang cukup penting lainnya adalah memudarnya

penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat, hal cukup terlihat


dari keseharian masyarakat dimana Masjid yang sepi ketika datang waktu

sholat dan mulai lunturnya ketokohan dari ulama setempat, mereka tidak lagi

didengar suara atau fatwanya.

Homogenitas masyarakat juga menjadi salah satu faktor yang

menyebabkan prilaku berlangsung berlarut-larut. Dari data yang ada jumlah

penduduk pendatang yang menetap di ketara tidak lebih dari 10 orang. Hal

inilah yang kemudian menjadikan ketara terkotak-kotak dalam klan-klan

masing-masing.

2.3.2 Historis

Secara historis ada beberapa hal yang berpengaruh cukup signifikan

terhadap terjadinya prilaku sosial di lingkungan Taliwang, ada keyakinan

dalam masyarakat bahwa nenek moyang orang Sasak dan campuran dari suku

Bali adalah orang tertua di Pulau Lombok, keberadaan orang Sasak yang saat

ini bermukim di lingkungan Taliwang dan lingkungan Tohpati mulanya

berasal dari nenek moyang mereka yakni berdatangan dari Bali ke Lombok.

Keberadaan kedua lingkungan ada, sampai saat ini masih menjadi

kontroversi dalam masyarakat adat Sasak beberapa pihak di luar Taliwang

masih mempertanyakan tentang keberadaan suku Bali atau disebut Bali-

Lombok (Balom) apakah tokoh atau tempat atau kerajaan di sisi lain ada,

bahkan keberadaannya saat ini sudah diakui dan menjadi salah satu anggota

yang menjadi tindakan pertukaran, di luar pro dan kontra dalam keyakinan

moderasi beragama bahwa mereka adalah keturunan sasak sebagai leluhur

orang sasak di Lombok menjadikan mereka beranggapan bahwa mereka


mempunyai “duk” lebih tinggi daripada masyarakat lain di luar Sasak

sehingga orang di luar lingkungan Taliwang yang notabene ”besar dan lahir

di taliwang dan Tohpati” lebih rendah harus menghormati mereka. Inilah

salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat sering berprilaku sosial

dengan sekitarnya. Hal serupa juga terjadi dalam kondisi lingkungan antara

Taliwang dan Tohpati, di antara mereka saling mengklaim bahwa mereka

adalah yang tertua di antara lingkungan lainnya. Baik Taliwang maupun

Tohpati merasa bahwa mereka mempunyai suku dan etnik daripada lainnya

sehingga tidak harus lebih menghormati dirinya.

Selain faktor nenek moyang di atas, faktor kehidupan masa lalu

masyarakat lingkungan Taliwang dan Tohpati sebagai “daerah hitam” dimana

di masa lalu tingkat kejahatan dan kriminalitas di Kelurahan Cakra Utara

cukup tinggi sampai saat ini meninggalkan stigma negative dari masyarakat

di luar Taliwang. Stigma ini cukup berperan mengiring opini masyarakat

maupun birokrasi pemerintah bahwa orang lingkungan Taliwang dan Tohpati

itu tidak ada yang baik, masyarakatnya adalah masyarakat yang sering buat

masalah dan sederet hal-hal yang tidak baik lainnya. Parahnya lagi faktor

stigma ini seringkali menyebabkan pemerintah akhirnya juga

menganaktirikan ke dua lingkungan ini dibanding dengan lain di sekitarnya.

2.3.3. Prespektif Ekonomi

Dalam prespektif ekonomi, kedua lingkungan masuk dalam salah satu

lingkungan tertingal di kelurahan Cakra Utara, mata pencaharian utama

penduduknya adalah petani yang mengandalkan pertanian tadah hujan.


Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya dari jumlah 2.259 KK yang

terdapat di dua lingkungan kurang lebih separonya yaitu 796 KK termasuk

dalam kategori keluarga prasejahtera, hal inilah yang mungkin pada masa lalu

menyebabkan banyak masyarakat yang akhirnya terjeremus dalam dunia

kriminalitas dan dikenal sebagai salah satu prilaku sosial.

Meskipun pada saat ini angka kriminalitas penduduk di dua lingkungan

sudah jauh menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya namun

sebenarnya masalah ekonomi ini belum sepenuhnya selesai. Seiring dengan

pembangunan mulai muncul, dampak dari dibangunnya beberapa bangunan

juga berpengaruh kepada kehidupan masyarakat di dua lingkungan yang

berada dalam lingkar ini menjadi membaik. Keberadaan tokoh dan kios

mengurangi lahan pertanian masyarakat pada saat dilakukan pembebasan

lahan cenderung hasil ganti kerugian tanah yang mereka dapatkan saat itu

tidak dimanfaatkan untuk membeli lahan pertanian baru, namun cenderung

digunakan untuk tujuan konsumtif sehingga saat ini meskipun masyarakat

saat ini sebagaian besar mengantungkan hidupnya dari pertanian tadah hujan

namun banyak yang saat ini tidak memiliki tanah atau jumlah tanah yang

mereka miliki sudah jauh berkurang. Ada indikasi kuat bahwa tindakan sosial

di dua lingkungan juga disebabkan oleh perebutan Sumberdaya ekonomi

dimana masing-masing pihak baik Taliwang maupun Tohpati saling berebut

kekuasaan untuk bekerja dalam lahan pertanian, hal ini juga didukung oleh

opini bahwa setelah lahan direbut maka masyarakat akan banyak yang

bekerja di lahan yang ada. Espektasi besar masyarakat bahwa sebagian besar
dari mereka nantinya akan mendapat pekerjaan lahan apabila sudah jadi milik

secara tidak langsung menjadi masalah tersendiri suatu saat apabila dari saat

ini tidak diselesaikan.

2.3.4 Prespektif Hukum dan Pemerintahan

Dalam prespektif hukum dan pemerintahan dapat diindentifikasi beberapa

hal terkait dengan konflik Taliwang dan Tohpati. Pertama lemahnya proses

penegakan hukum saat terjadinya konflik-konflik awal (konflik awal dimulai

tanggal 8 Oktober 2007) menyebabkan masyarakat tidak merasa jera atau

takut dengan sanksi pidana yang ada, hal ini didukung oleh tipe masyarakat

ke dua lokasi yang di awal sudah dijelaskan bahwa masyarakat Taliwang dan

Tohpati masuk dalam tipe masyarakat dengan solidaritas mekanis yang

sedang, mengalami proses perkembangan menjadi masyarakat dengan

solidaritas organis.

Kondisi Anomi ini maka hukum harus bersifat represif artinya fungsi

sanksi pidana tidak lagi semata-mata sebagai sarana rehabilitasi namun sanksi

pidana harus dijadikan sebagai sarana untuk menakut-nakuti dan membuat

jera pelaku. Pelaku atau orang yang berpotensi untuk melakukan akan

berpikir untung rugi untuk terlibat dalam konflik. Selain itu yang tidak kalah

penting dalam menanggulangi prilaku yang terjadi adalah kecepatan aparat

penegak hukum untuk bertindak menangani pemicu (trigger) dari prilaku

sosial. Pemicu prilaku sosial dua lokasi yang sering terjadi biasanya

disebabkan oleh perkelahian antar pemuda atau anak-anak yang tidak

terselesaikan sehingga sesuai dengan ciri dari masyarakat dengan solidaritas


mekanis tadi tindakan orang lain individu dari kelompok lainnya kepada

individu anggota kelompoknya dimaknai sebagai penodaan terhadap

solidaritas kelompoknya. Sehingga nurani kolektivitas dalam dirinya

kemudian menjadikannya bersatu dengan kelompoknya dalam sebuah

solidaritas kelompok untuk membalas tindakan yang dilakukan oleh

kelompok lain.

2.4 Teori Sosial yang Relevan

2.4.1 Teori Prilaku Sosial

Teori prilaku sosial adalah suatu teori yang memiliki sudut pandang

dalam kehidupan sosiologis dan psikologi sosial masyarakat yang

menganggap sebagaian besar aktifitas harian dikategorikan yang ditetapkan

secara sosial. Dalam International Encyclopedia of The Social Sciences

Vol. 3 tahun 2016 diuraikan mengenai pengertian teori konflik dari aspek

antropologi, yakni ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara kedua

belah pihak; di mana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga,

kelompok kekerabatan, satu komunitas, atau mungkin satu lapisan kelas

sosial pendukung ideologi tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa,

atau satu pemeluk agama tertentu. Dengan demikian pihak-pihak yang

dapat terlibat dalam konflik meliputi banyak macam bentuk dan

ukurannya. Selain itu dapat pula dipahami bahwa pengertian teori konflik

secara antropologis tersebut tidak berdiri sendiri konflik ini, melainkan secara

bersama-sama dengan pengertian teori konflik menurut aspek-aspek lain yang


semuanya itu turut ambil bagian dalam memunculkan konflik sosial dalam

kehidupan kolektif manusia.

Pandangan Karl Marx tentang akar prilaku sosial adalah dalam

perkembangan kajian teori sosial, kehadirannya menjadi titik dasar dari

proses kajian yang muncul pada kerangka akademik studi sosiologi. Teori

sosial merupakan manifestasi dari berbagai macam pendekatan yang bisa

dipergunakan untuk membedah varian-varian dari dinamika kajian yang ada

pada studi sosiologi. Besarnya peranan dari teori sosial ini mengukuhkan

eksistensinya sebagai instrumen dasar pada bangunan analisis kajian sosial

yang hadir dalam studi sosiologi. Hal ini pula yang bisa disandarkan kepada

analisis tentang manifestasi konflik dalam dinamika kehidupan masyarakat.

Analisis konflik pada realitas kehidupansosial menjadi fakta yang cukup

mengesankan untuk dikaji dalam rangka menempatkan situasi social yang

berkembang di tengah-tengah masyarakat pada kerangka dasar data yang

tepat serta mengarah kepada posisi impelementatif dari perwujudannya.

Tindakan social yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat

merupakan bagian dari pembentukan masyarakat itu sendiri. Untuk itulah,

mengamati fenomena munculnya konflik beberapa sosiolog membangun

asumsi beragam. Bagi seorang ahli yang melihat masyarakat dari nilainilai

internal kehidupan mereka, maka pengembangan teori sosial berbasis

sosiologi mikro dikembangkan. Namun, bagi mereka yang melihat

masyarakat dari aspek terluar, atau wilayah makro, maka kajian sosiologi

makro dipergunakan. Pada kerangka ini, baik Marx dan Simmel sebagai
penggagas analisis tentang konflk mencoba memotret fenomena ini daridua

sudut pandang. Marx ingin melihat masyarakat dalam perjuangan kelasnya.

Sementara itu, Simmel melihat bahwa pada pertumbuhannya, konflik itu

memberikan fungsi pengembangan dalam masyarakat yang bersifat lunak.

Manifetasi konflik dipersepsikan oleh Marx dan Simmel mampu menembus

sistem social dalam masyarakat. Kedua tokoh ini pada ujungnya menjelaskan

tentang bipolaritas konflik yang dibangun oleh masing-masing. Marx

menjelaskan manifestasi tindakan sosial sebagai usaha memecah stabilitas

sosial dengan pembentukan masyarakat komunis. Sementara itu, Simmel

menjelaskan bahwa prilaku sosial merupakan interaksi yang bisa

menghasilkan integrasi melalui kompromi sosial.

Kehidupan sosial itu, kalau dicermati komponen utamanya adalah

interaksi antara para anggota. Sehubungan dengan interaksi antaranggota

itu ditemukan berbagai tipe. Tipe-tipe interaksi sosial yang ada secara

umum dapat terlihat meliputi bagian : cooperative (kerjasama), competition

(persaingan) dan conflict (pertikaian). Dalam kehidupan sosial sehari -hari

tampaknya selain diwarnai oleh kerjasama, senantiasa juga diwarnai oleh

berbagai bentuk persaingan dan konflik. Bahkan dalam kehidupan sosial tidak

pernah ditemukan seluruh warganya sepanjang masa kooperatif. Sehubungan

dengan itu, yang menjadi pertanyaan dalam tulisan ini adalah “apakah konflik

itu erat hubungannya dengan struktur sosial, dan apa fungsi konflik itu bagi

kehidupan sosial manusia?”


Kondisi kehidupan sosial tertentu kalau dikaitkan dengan teori

konflik, tentunya tidak sederhana, karena setiap teori konflik antar anggota

dalam kehidupan sosial itu tidak selalu bentuk dan sifatnya sama (misalnya

ada konflik individual atau kelompok, konflik terpendam atau terbuka).

Dengan demikian memang ada variasi dalam teori konflik, baik atas dasar

bentuk, sifat, penyebab terjadinya, maupun langkah penyelesaiannya.

Selanjutnya dapat pula dijelaskan bahwa dalam persoalan konflik ini perlu

diperhatikan konteks struktur dan fungsi dalam kehidupan sosial yang

bersangkutan. Tipe struktur dan fungsi kehidupan sosial tertentu sebagai

suatu unit entitas akan berpengaruh terhadap konflik yang terjadi di

lingkungan Taliwang dan lingkungan Tohpati.

2.4.2 Teori Tindakan Sosial

Peter M. Blau (1977) menyatakan bahwa struktur sosial adalah

penyebaran secara kuantitatif pada warga komunitas di dalam berbagai posisi

sosial yang berbeda yang mempengaruhi hubungan di antara mereka yang ada

disekitar linkungan. Teori tindakan sosial melihat antara perilaku dengan

lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal).

Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan

(cost) dan keuntungan (profit). Teori Pertukaran (exchange theory) adalah

bagian dari paradigma perilaku sosial. Paradigma perilaku sosial

memusatkan perhatiannya kepada antar hubungan antara individu dan

lingkungannya.
Konsep Peter. M Blau (1977) mengenai tindakan sosial terbatas kepada

tingkah laku yang menghasilkan ganjaran atau imbalan, yang artinya tingkah

laku akan berhenti bila pelaku tersebut berasumsi bahwa dia tidak akan

mendapat imbalan lagi. Blau menyatakan bahwa terjadi tarik menarik yang

mendasar antara pelaku-pelaku sosial tersebut yang menyebabkan terjadinya

teori pertukaran sosial, dan dia menggunakan paradigma yang terdapat dalam

karya Homans untuk menjelaskan mengenai ketimpangan kekuasaan.

Ketimpangan kekuasaan terjadi karena ketidakseimbangan ganjaran yang

diberikan antara pihak satu dengan pihak lain. Blau mengatakan bahwa

„sementara yang lain dapat diganjar dengan cara yang memadai melalui

pengungkapan kepuasan telah menolongnya, maka pihak yang ditolong itu

tidak harus memaksa dirinya dan menghabiskan waktunya untuk membahas

pertolongan dari penolongnya. Karakteristik pokok dari struktur yaitu adanya

berbagai tingkat ketidaksamaan atau keberagaman antar bagian dan

konsolidasi yang timbul dalam kehidupan bersama, sehingga mempengaruhi

derajat hubungan antarbagian tersebut yang berupa dominasi, eksploitasi,

konflik, persaingan, dan kerjasama. Menurut Homans, teori ini “memandang

perilaku sosial sebagai pertukaran aktivitas, ternilai ataupun tidak, dan kurang

lebih menguntungkan atau mahal, bagi sekurang-kurangnya dua orang”

Homans dalam Ritzer, (2009).

Dalam karya teoretisnya, Homans membatasi dirinya pada interaksi sosial

sehari-hari. Namun, jelas kalau ia percaya bahwa sosiologi yang terbangun

dari prinsip-prinsip ini pada akhirnya akan mampu menjelaskan semua


perilaku sosial. Memusatkan perhatiannya pada situasi semacam ini, dan

mendasarkan gagasan-gagasannya pada temuan Skinner, Homans

mengembangkan beberapa proposisi, antara lain: Proposisi Sukses “Jika

makin sering tindakan apa pun yang dilakukan orang memperoleh imbalan,

makin besar pula kecenderungan orang itu mengulangi tindakan tersebut”

Homans dalam Ritzer, (2009). Secara umum, perilaku yang selaras dengan

proposisi sukses meliputi tiga tahap: pertama, tindakan seseorang; kedua,

hasil yang diberikan; ketiga, pengulangan tindakan asli atau minimal tindakan

yang dalam beberapa hal menyerupai tindakan asli.

Homans mencatat beberapa hal khusus uraian terkait dengan proposisi

sukses. Pertama, imbalan yang diterima mendorong frekusensi tindakan,

timbal balik tidak akan berlangsung tanpa batas. Kedua, semakin pendek

interval waktu antara tindakan dan imbalan, semakin besar peluang

seseorang mengulangi tindakan tersebut, begitupun sebaliknya. Ketiga,

imbalan secara tidak teratur lebih cenderung menyebabkan berulangnya

perilaku ketimbang imbalan teratur. Imbalan yang diberikan secara teratur

mengakibatkan rasa bosan dan muak, sementara imbalan pada interval tidak

teratur cenderung menimbulkan berulangnya perilaku.

Selanjutnya Peter. M Blau (1977) menyatakan bahwa mengelompokkan

basis parameter pembedaan struktur menjadi dua, yaitu nominal dan

gradual. Parameter nominal membagi komunitas menjadi sub-sub bagian atas

dasar batas yang cukup jelas, seperti agama, ras, jenis kelamin, pekerjaan,

marga, tempat kerja, tempat tinggal, afiliasi politik, bahasa, nasionalitas, dan
sebagainya. Kalau dicermati, pengelompokan ini bersifat horisontal, dan akan

melahirkan berbagai “golongan”. Adapun parameter gradual membagi

komunitas ke dalam kelompok sosial atas dasar peringkat status yang akan

menciptakan perbedaan kelas, seperti pendidikan, pendapatan, kekayaan,

prestise, kekuasaan, kewibawaan, inteligensia, dan sebagainya.

Menurut Peter. M. Blau (1977) mengemukakan bahwa definisi struktur

sosial makro yang lebih “sederhana” dilihat secara sepintas, namun penting

karena mempunyai implikasi sosiologis yang sangat penting. Seperti

dikatakan oleh Turner (1998), bagi Blau struktur sosial merujuk pada

distribusi anggota populasi ke dalam sejumlah posisi yang pada gilirannya

membatasi peluang dan kesempatan bagi orang-orang tersebut untuk

membangun asosiasi sosial. Blau mengatakan bahwa:

“Social structure is conceptualized narrowly as referring to the


distributions of a population among different social positions that
reflect and affect people’s relations with one another. To speak of
social structure is to speak of differentiation among people. For
social structures, as conceptualized, are rooted in the social
distinctions people make in their role relations and social
association” (Blau 1977).

Selanjutnya, Blau menjelaskan konsep kunci untuk memahami struktur

sosial ini adalah parameter, yakni karakteristik yang digunakan oleh anggota

populasi untuk membuat perbedaan diantara mereka. Ada dua jenis parameter

ini, yaitu parameter nominal (nominal parameters) dan parameter berjenjang

atau bertingkat (graduated parameters). Parameter nominal membedakan

anggota populasi dengan menggunakan “kategori diskret” (discrete

categories), seperti suku, agama, jenis kelamin, pekerjaan, tempat tinggal,


dan sebagainya. itu, parameter bertingkat menempatkan anggota populasi ke

dalam skala atau tingkatan yang bersifat kontinuum, seperti tingkat

pendidikan, pendapatan, kekayaan, kekuasaan, status, prestise, dan

sebagainya.

Max Weber dalam Ritzer (2012) membedakan antara tindakan sosial yang

melibatkan campur tangan atas proses pemikiran dan perilaku reaktif yang

muncul begitu saja tanpa melibatkan proses pemikiran yang panjang. Perilaku

reaktif tidak menjadi fokus pembahasan Weber. Tindakan terjadi bila para

individu melekatkan makna-makna subjektif kepada tindakan-tindakan

mereka. Tugas sosiologi mencakup penafsiran tindakan dari segi makna

subyektifnya. Tindakan di dalam arti orientasi perilaku dapat dipahami secara

subyektif, ada yang hanya sebagai perilaku seseorang atau lebih sebagai

manusia secara individual. Weber melakukan pembedaan di antara dua tipe

tindakan rasional, antara lain (a) tindakan rasionalitas alat-tujuan atau

tindakan yang ditentukan oleh pengharapan-pengharapan mengenai perilaku-

perilaku obyek di dalam lingkungan dan perilaku manusia lainnya. (b)

tindakan rasionalitas nilai atau tindakan yang ditentukan oleh kepercayaan

yang sadar akan nilai tersendiri suatu bentuk perilaku yang etis, estetis,

religius, atau bentuk lainnya, terlepas dari prospek-prospek keberhasilannya.

Selain itu Weber juga menerangkan (c) tindakan afektual yang ditentukan

oleh keadaan dan emosional sang aktor, serta (d) tindakan tradisional yang

ditentukan oleh cara-cara berperilaku sang aktor yang biasa dan lazim.
Sementara Jasson dan Wagman (Jansson et al., 2017) membahas

mengenai relevansi Vita Activa dalam dunia pekerjaan sehingga adanya

perspektif yang mendalam secara filosofis mengenai pekerjaan manusia.

Kreber (Kreber, 2014) membahas dari sisi penggunaan Vita Activa untuk

membentuk pemahaman profesionalisme yang berwawasan sipil untuk

menjadikan individu yang siap dengan adanya perubahan. Di sisi lain, Haba

(Haba, 2012) menjelaskan mengenai interaksi masyarakat sasak, Samawa dan

mbojo di lokasi konflik Cakranegara Kota Mataram terus membaik.

Jadi pengelompokan ini bersifat vertikal, yang akan melahirkan berbagai

“lapisan”. Atas dasar struktur sosial yang dikemukakan Blau di atas, dapat

disebutkan bahwa interaksi antarbagian dalam kehidupan bersama dapat

terjadi antarkelompok, baik atas dasar parameter nominal maupun gradual;

bahkan tidak hanya secara internal tetapi dapat juga secara eksternal. Interaksi

antar bagian dalam kehidupan sosial, atas dasar parameter nominal atau

gradual dapat menimbulkan munculnya prilaku sosial antar individu

anggota dari berbagai “golongan” dan “lapisan” tadi. Sementara itu, menurut

Dahrendorf (1986), prilaku sosial mempunyai sumber struktural, yakni

hubungan kekuasaan yang berlaku dalam struktur organisasi sosial.

Dengan kata lain, prilaku sosial antar kelompok dapat dilihat dari sudut

keabsahan hubungan kekuasaan yang ada atau dari sudut struktur sosial

setempat.

Berdasar konsep Parsons (1951), setiap sistem sosial diperlukan

persyaratan fungsional. Di antara persyaratan itu dijelaskan bahwa


sistem sosial harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan dengan

tuntutan transformasi pada setiap kondisi tindakan warga (adaptation).

Berikutnya, tindakan warga diarahkan untuk mencapai tujuan bersama (goal

attainment). Kemudian persyaratan lain adalah bahwa dalam interaksi antar

warga setidaknya harus ada suatu tingkat solidaritas, agar struktur dan sistem

sosial berfungsi (integration). Tampaknya apa yang dikemukakan Parsons itu

cukup relevan untuk dipakai sebagai salah satu dasar dalam menganalisis

secara struktural dan fungsional konflik lokal; dan atas dasar konsep Parsons

ini pengetahuan mengenai konflik sosial akan lebih memadai. Sehubungan

dengan itu Coser menyatakan bahwa konflik adalah suatu komponen

penting dalam setiap interaksi sosial. Oleh karena itu menurut Coser

konflik tidak perlu dihindari, sebab konflik tidak boleh dikatakan selalu

tidak baik atau memecah belah atau merusak. Dengan kata lain konflik dapat

menyumbang banyak bagi kelestarian kehidupan sosial, bahkan mempererat

hubungan antar anggota.

2.4.3 Teori Struktural Sosial

Menurut Compbel (1994:222) dalam buku berjudul Tujuh Teori Sosial,

teori fungsionalime struktural berusaha menunjukkan kesesuaian gagasan

mengenai pendapat masyarakat sehingga mudah ditelusuri dan diteliti. Dalam

penelitian ini masyarakat dianggap sebagai kelompok yang menyatu dan

memiliki konsep sosial yang bisa memberikan sebuah kerangka garis besar

masyarakat sebagai sebuah sistem yang tersusun dari bagian masyarakat.

Dalam hal ini dapat diidentifikasi saling berhubungan satu dengan yang
lainnya. Di antara saling ketergantungan hubungan fungsi sosialnya, aktivitas

dan kegiatan masyarakat sangat cenderung berbuat keseimbangan dalam

mencapai kemajuan dan kedamaian

Sementara itu Parsons dalam Nasikun, (2003: 11-12) menyatakan bahwa

perubahan-perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara

gradual, dan melalui penyesuaian-penyesuaian diri. Perubahan-perubahan

yang terjadi secara drastis pada umumnya hanya mengenai bentuk luarnya,

sedangkan unsur-unsur sosial budaya yang menjadi bangunan dasarnya tidak

seberapa mengalami perubahan. Di dalam masyarakat terdapat tujuan-tujuan

dan prinsip-prinsip dasar tertentu yang diterima di masyarakat sebagai sesuatu

yang mutlak benar. Interaksi sosial yang terjadi diantara individu tidak secara

kebetulan, tetapi tumbuh dan berkembang di atas standar penilaian umum

yang disepakati bersama oleh anggota masyarakat. Fungsionalisme struktural

menekankan anggapan-anggapan dasarnya pada peranan unsur-unsur

normatif dari tingkah laku sosial, khususnya pada proses-proses yang

mengatur hasrat-hasrat perseorangan secara normatif untuk menjamin

terpeliharanya stabilitas sosial. Di samping itu, tidak dikesampingkan strata

kehidupan masyarakat.

Menurut Robert K. Merton dalam Ritzer, (2005: 137-138) analisis

stuktural fungsional memusatkan perhatinnya pada kelompok, organisasi,

masyarakat, dan kultur. Merton menyatakan bahwa setiap objek yang dapat

dijadikan sasaran analisis struktural fungsional tentu mencerminkan hal yang

standar artinya terpola dan berulang. Dalam pikiran Merton (1973: 360)
sasaran studi struktural fungsional, antara lain adanya peran sosial, pola

institusional, proses sosial, pola kultur, emosi yang terpola secara kultur,

norma sosial, organisasi, kelompok, struktur sosial, dan perlengkapan untuk

pengendalian sosial. Walaupun bentuk dapat dikaji, penelitian dipusatkan

pada fungsi suatu fakta terhadap fakta lainnya.

Munculnya berbagai konflik dapat dianggap sebagai suatu gejala

fungsional perkembangan agama karena kehadiran pusat kajian, studi

kelompok, yayasan pendalaman agama jelas akan memberikan fungsi

terhadap yang lainnya dalam proses dinamika agama yang seimbang.

Penganut teori fungsionalisme struktural tidak akan memandang perbedaan

yang ada dalam eksistensi institusi serta perbedaan jenis kegiatan yang

dilaksanakan tiap-tiap institusi, sebagai wujud perbedaan yang

mengakibatkan terjadinya ketidak sesuaian. Teori ini dipakai untuk melihat

bagaimana fungsi struktur tokoh masyarakat, agama, dan pemerintah

khususnya dalam menangani konflik yang ada di dua lingkungan di

Kecamatan Cakranegara Kota Mataram sebagai wadah untuk meningkatkan

pemahaman dalam kehidupan sosial antara lain; agama, adat istiadat, dan

budaya masyarakat.

Ketiga pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa fungsional

struktural memberikan gambaran secara garis besar tentang struktur

masyarakat. Di samping itu juga hubungan pribadi manusia dalam kaitannya

dengan konflik dalam pembinaan ke dua lingkungan di kelurahan Cakra

Utara Kota Mataram.


Menurut Geogre Simmel (2004) menyatakan bahwa interaksi yang terjadi

baik antar individu maupun antar kelompok kadang menimbulkan konflik,

dan konflik merupakan pokok bahasan tersendiri yang diuraikan oleh

Simmel. Menurut Simmel masalah mendasar dari setiap masyarakat adalah

konflik antara kekuatan-kekuatan sosial dan individu, karena, pertama,

prilaku sosial melekat kepada setiap individu dan, kedua, prilaku sosial

masyarakat dan unsur-unsur individu dapat berbenturan dalam individu,

meskipun pada sisi lain dari konflik merupakan sarana mengintegrasikan

individu-individu. Karena setiap individu meiliki kepentingan yang berbeda-

beda dan adanya benturan-benturan kepentingan tersebut mencerminkan dari

sikap-sikap individu tersebut dalam usahanya memenuhi kebutuhannya, dari

sikap yang nampak ini Simmel memiliki sebuah pemikiran yang

menghasilkan konsep individualisme ini dari kepribadian yang berbeda

terwujud dalam prinsip-prinsip ekonomi, masing-masing, persaingan bebas

dan pembagian kerja yang tidak adil.

2. 5 Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Beberapa Hasil Penelitian:

penelitian Ayami Nakaya 2018 dalam jurnal international of multikutural

education dengan judul overcoming ethnic Conflic Through multicultural

ducation the case of west Kalimantan, Indonesia. Penelitian tersebut

membahas tentang efektititas ujian masyarakat Multikultural sebelum

terjadinyan konflik dari tahun (1996-2001) menyatakan bahwa dari beberapa

data di peroleh dari beberapa sekolah menengah atas banyak data individu
masyarakat dan budaya pendidikan dijumpai dapat membantu siswa dan

mengerti akan masa lalunnya. Situasi kondisi yang hadir. Walaupun

demikian kedua masaha ini sudah terindifikasi trauma masyarakat.

Penelitian yang dilakukan oleh Sagaf S Petatalongi dalam Jurnal

Cakrawala Pendidikan Juni 2013 Thn. XXXII No. 2 terindeks Scopus

dengan judul “Islam dan Pendidikan Humanis dalam revolusi Konflik

Sosial”. Dalam penelitian tersebut membahas mengenai keagamaan

merupakan potensi besar dalam membangun bangsa sekaligus menjadi

potensi kerawanan konflik sosial. Hasil penelitian menyebutkan adalah peran

pertama Islam sebagai agama mayoritas yang damai. Islam dengan penganut

mayoritas Islam memiliki kontribusi yang besar dalam mencegah terjadinya

konflik karena Islam menganut agama perdamaian. Relevansi dengan

penelitian oleh Sagaf adalah meneliti agama dan pendidikan. Namun

perbedaan terletak pada agama yang humanis dan kedamaian.

Penelitian yang dilakukan oleh Samual Patra Ritianu dkk dalam bentuk

jurnal terindek Scopus Cakrawala pendidikan Oktober 2017. Th. XXXVI.

No. 3 yang berjudul “The Development of Desaign Model of the Conflik

Resolution Education on Culturel Values of PELA”. Adapun hasil penelitian

pengembangan desain Model Pendidikan revolusi konflik berbasis nilai

budaya karena pengembangan ini akan memperlihatkan bahwa desain

model RPK BNBP pada tahapan awal sebelum dilakukan uji terbatas

mengalami perbaikan pada tahap uji lebih luas dan uji validasi akhir.

Perbedaannya terletak pada Model konflik pendidikan.


Penelitian Mulyadi dalam jurnal nasional yang judul “konflik Sosial

ditinjau dari struktur dan fungsi tahun 2017. Dalam penelitian tersebut

dibahas tentang kondisi kehidupan sosial tentu kalau dikaitkan dengan

konflik sosial tentunya tidak sederhana, karena setiap konflik antar anggota

dalam kehidupan sosial tidak selalu bentuk dan sifatnya sama misalnya ada

konflik individu atau kelompok, konflik terpendam atau terbuka. Dengan

demikian memang ada variasi dalam konflik, baik atas dasar bentuk, sifat,

penyebab terjadinya maupun langkah penyelesaian. Hasil dari penelitian

menyebutkan bahwa persoalan konflik sosial memerlukan kearifan dan

kecermatan sosial sendiri, baik dalam hal memilih cara pendekatan maupun

tujuan yang ingin dicapai. Relevansi dengan penelitian yang diangkat oleh

Mulyadi dengan peneliti yaitu meneliti konflik sosial ditinjau dari segi

struktual. Perbedaannya terletak pada jenis dan bagaimana upaya

penanggulangi prilaku sosial.

penelitian yang dilakukan oleh Agus Firmansyah dkk dalam bentuk Jurnal

Kebijakan dan Administrasi Publik JKAP Vol. 18 Nomor 1 Mei 2014,

dengan judul “Ekonomi Publik Penyelesaian Konflik Batas Daerah Antar

Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon”. Hasil penelitian yaitu terjadinya

konflik batas daerah disebabkan oleh perbedaan penafsiran pembentukan

kota atau kabupaten, undang-undang pembentukan kota tidak mencantumkan

batas daerahnya, kebijakan pelurusan sungai dan lain sebagainya. Relevansi

dengan penelitian Agus, adalah perekonomi publik sementara perbedaan ada

penyelesian batas kota.


Penelitian yang dilakukan oleh Heri Listyawati dalam Jurnal Mimbar

Hukum Volumen 23 Nomor 3 Oktober 2011, dengan judul “konflik

Pemanfaatan Sumber Daya Air untuk Irigasi di Kecamatan Minggir

Kabupaten Sleman. Hasil penelitian pemanfaatan irigasi sangat peluang bagi

para petani dalam menentukan jenis usaha pertanian diversifikasi pertanian

berdampak pada terjadinya konflik pertanian tanpa pengurangan dan

pengaturan pengawasan yang baik dan adil. Adapun relevansi penelitian

yang diteliti yang diangkat oleh Heri Listya adalam konflik sedangkan

perbedaan adalah pemanfaat sumber daya air.

Tabel 1

Penelitian Terdahulu yang Relevan

No Judul Penelitian Focus Hasil Penelitian

1 Islam dan Pendidikan Agama Hasil penelitian


Humanis dalam merupakan menyebutkan
revolusi Konflik potensi besaradalah peran
Sosial. dalam pertama Islam
membangun sebagai agama
bangsa yang moyoritas
sekaligus yang damai. Islam
menjadi dengan penganut
potensi mayoritas Islam
kerawanan memiliki kontribusi
konflik sosial.
yang besar dalam
mencegah
terjadinya konflik
karena Islam
menganut agama
perdamaian.
2 The Development of Pengembangan Adapun hasil
Desaign Model of the model penelitian
conflik resolution pembelajaran pengembangan
Education on culturel memperlihatkan desain model
values of PELA”. dengan cara pendidikan revolusi
tertentu konflik berbasis
nilai budaya karena
pengembangan ini
akan
memperlihatkan
bahwa desain
model RPK BNBP
pada tahapan awal
sebelum dilakukan
uji terbatas
mengalami
perbaikan pada
tahap uji lebih luas
dan uji validasi
akhir.
3 Konflik Sosial ditinjau Bagaimana Hasil dari
dari Struktur dan Kondisi penelitian
Fungsi. kehidupan menyebutkan
sosial dengan bahwa persoalan
konflik sosial konflik sosial
tentunya tidak memerlukan
sederhana, kearifan dan
kelompok, kecermatan sosial
konflik bentuk, sendiri, baik dalam
sifat, penyebab hal memilih cara
terjadinya pendekatan
maupun maupun tujuan
langkah yang ingin dicapai.
penyelesaian.
4 Ekonomi Publik Bagaimana cara Hasil penelitian
Penyelesaian Konflik penyelesaian yaitu terjadinyan
Batas Daerah Antar Kota konflik di konflik batas
Cirebon dan Kabupaten wilayah daerah disebabkan
Cirebon”. perbatasan oleh perbedaan
dapat penafsiran
diselesaikan pembentukan kota
dengan baik atau kabupaten,
dengan undang-
undang
pembentukan kota
tidak
mencantumkan
batas-batas
daerahnya,
kebijakan
pelurusan sungai
dan lain
sebagainya.
5 konflik Pemanfaatan Bagaimana Hasil penelitian
Sumber Daya Air untuk pemanfaatan pemanfaatan irigasi
Irigasi di Kecamatan irigasi dapat sangat peluang
Minggir Kabupaten dipenuhi di bagi para petani
Sleman. Kecamatan dalam menentukan
manggir jenis usaha
Kabupaten pertanian
Sleman. diversifikasi
pertanian
berdampak pada
terjadinya konflik
pertanian tampa
pengurangan dan
pengaturan
pengawasan yang
baik dan adil.

2.6 Kerangka Konseptual Penelitian

Penelitian perspektif sosiologi di lingkungan Taliwang dan lingkungan

Tohpati di Kecamatan Cakranegara kota Mataram menggunakan analisis

deskriptif dari konflik sosial. Kondisi di lapangan masih banyak yang akan

muncul konflik yang tidak diduga diakibatkan kurangnya komunikasi antar

para tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sampai remaja yang ada di

dua wilayah yang konflik. Untuk menjadi media dalam dua wilayah yang ada

perlu pengawasan dan pembinaan mental remaja yang lebih ekstra agar kedua

lingkungan tidak menimbulkan konflik lagi.


Gambar 1

Kerangka Konseptual Penelitian

Prilaku Sosial masyarakat dalam Moderasi beragama dan


Upaya Penanggulangan Di Cakra Utara Cakranegara
BAB
Kota Mataram (ditinjau dari III ekomoni masyarakat)
sosial

Rumusan masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:


Bagaimanakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
prilaku masyarakat dalam moderasi beragama di Cakra Utara
Cakranegara Kota Mataram ditinjau dari sosial ekomoni
masyarakat?
Apakah upaya penanggulangan yang seharusnya dilakukan oleh
pihak terkait Pemerintah Daerah, Kepolisian dan Masyarakat
dalam Moderasi Beragama ?

Fokus
Teori Faktor-faktor yang menyebabkan moderasi beragama adalah Teori pendukung
Utama Sara Teori Interaksi
Teori Ekonomi Sosial
Suku Teori Sosial
Sosial Upaya penanggulangan moderasi beragama Teori
Pembinaan oleh Ulama
Tokoh Masyarakat
Umat Islam ditengah umat Hindu yang ada di dua lingkungan
Cakra Utara Cakranegara

Temuan

Proposisi-proposisi

Assalamualaikum warahmatullahi Wabarakatuh,

Pak Nasar, mohon diperjelas dan dipertegas, diantara judul, rumusan masalah, dan di
kerangka konseptual penelitin yang berbeda ini, yang hendak Pak Nasar gunakan yang mana.
Kalau sudah dipilih salah satu, maka selanjutnya harus konsisten. Dan itu semua harus sudah
dikemukakan secara tuntas di Latar Belakang Masalah Penelitian (Bab I). Karena ini sangat
menentukan apa yang seharusnya diuraikan di Bab II (teori, regulasi, informasi empirik).

Judul: Perilaku Sosial Dalam Moderasi Beragama di Cakra Negara Kota Mataram
(Realitas Sosial Di Lingkungan Cakra Utara)
Rumusan Masalah: Bagaimana prilaku sosial dalam moderasi beragama di Cakra Utara
Cakranegara Kota Mataram?

Kerangka Konseptual Penelitian: Prilaku Sosial masyarakat dalam Moderasi beragama dan
Upaya Penanggulangan Di Cakra Utara Cakranegara Kota Mataram (ditinjau dari sosial
ekomoni masyarakat).

Sementara ini saya masih membaca/mengkoreksi draft proposal Bab II.

Demikian, terimakasih.

Wassalam.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Selamat malam Pak Nasaruddin. Berikut catatan yang bisa saya buat untuk Bab II draft
proposal disertasi Bapak.

1. Kajian Literatur (Tinjauan Pustaka atau Kajian Pustaka) itu substansinya berisi uraian
bagaimana menemukan jawaban atau penjelasan teoritis (ilmiah) atas rumusan
masalah yang ditetapkan. Oleh karenanya rumusan masalah mesti jelas dan tegas.
Kajian literatur idak bisa menyimpang dari upaya menjawab dan atau menjelaskan
rumusan masalah penelitian. Dengan demikian, setidaknya dalam Bab II Pak Nasar
mesti mengemukakan secara teoritis bagaimana hubungan antara kekerasan atas nama
agama dengan pemahaman tentang pluralitas, pluralisme, toleransi, dan moderasi;
agama (islam) dan pluralisme, toleransi, dan moderasi; juga teori-teori utama (grand
theory) tentang perilaku sosial yang mesti diambil dari sumber aslinya (meskipun
buku terjemahan). Uraian yang sudah P Nasar kemukakan di Bab II belum mengarah
ke bagaimana memberikan jawaban dan atau menjelaskan secara teori rumusan
masalah penelitian yang Bapak tetapkan. Apalagi, rumusan masalah penelitiannya
sendiri juga belum jelas dan tegas.

2. Penelitian terdahulu yang relevan. Artikel yang dikemukakan perlu diseleksi yang
benar-benar relevan untuk digunakan (sesuai dengan catatan poin 1 di atas). Agar
lebih lengkap informasinya matriks/tabel hendaknya terdiri dari kolom-kolom:
Judul/Penulis; Jurnal/Vol/Ed/Thn.; Tujuan Penelitian; Metode Penelitian; Teori
Utama; Fokus Penelitian; Temuan Penelitian; Persamaan/Perbedaan dengan penelitian
yang akan dilakukan. Artikel jurnal yang digunakan semestinya sebagian haruslah
jurnal internasional.

3. Untuk kerangka konseptual penelitian mohon dipertimbangkan untuk mengacu pada


diagram metode ilmiah di bawah ini, yang terdapat di dalam buku: Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer, oleh Jujun S. Suriasumantri.
Demikian, P Nasar, kurang lebihnya mohon maaf. Semoga bermanfaat.

Wassalam

Anda mungkin juga menyukai