Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN STUDI KASUS

METODE PEKERJAAN SOSIAL INDIVIDU DAN KELUARGA

Disusun oleh:

Rizky Rahmalita (212020001)

PROGRAM STUDI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PASUNDAN

BANDUNG

2022
TRANSKRIP WAWANCARA

Saya : Halo, selamat malam Kak. Sedang ada kesibukan apa belakangan ini Kak? Apa
kabarnya Kak?
Klien : Sekarang sedang sibuk kuliah dan berkegiatan di organisasi. Kalau kabar
biasa-biasa saja. Gak buruk, tapi juga gak baik-baik banget. Akhir-akhir ini aku
sedang banyak menyembuhkan rasa sakit. Baru kemarin terjadi, aku ke trigger
karena mantan pacarku sudah punya pengganti yang baru. Aku pernah menjalin
hubungan selama tiga tahun dengan dia. Banyak kenangan indah yang sudah
terlewati. Sampai saat ini, aku masih menjalin komunikasi dengan dia, masih sering
bertukar pesan. Tapi, kemarin malam seorang laki-laki, yang aku kenal dan berteman
juga di media sosial, mengunggah foto mantan pasanganku. Ternyata, selama ini
mereka sudah punya hubungan spesial. Karena kejadian ini, aku uring-uringan
seharian dan gak mau melakukan apa-apa. Kemarin, aku cuma mengurung diri di
kamar karena entah mengapa rasanya sakit sekali. Aku jadi meratapi masa lalu dan
rasanya sakit karena masa itu gak akan pernah bisa kembali lagi. Hubungan kami
dulu berakhir karena kerenggangan komunikasi. Aku yang sudah masuk kuliah saat
itu sangat hectic dengan seluruh jadwal yang ada. Mantan pacarku merasa bahwa
aku tidak menyediakan waktu bersama lagi untuknya. Hubungan kami berakhir, tapi
sejatinya perasaan kami masih saling terpaut. Aku pernah menjalin hubungan
dengan orang baru, tapi aku dan mantan pasanganku masih saling mengabari.
Mantan pasanganku bahkan saat itu memintaku kembali berkali-kali, tapi aku sudah
berkomitmen dengan orang yang baru. Naasnya, pacarku mencium interaksiku
dengan mantan pasanganku. Dia marah besar dan hubungan kami akhirnya berakhir
juga. Setelahnya, hubunganku dengan mantan pacarku mengalami ketidakjelasan
arah.
Saya : Kak, seberapa berarti mantan pacar kakak terhadap hidup kakak?
Klien : Sangat berarti. Aku benar-benar sayang sama dia karena dia adalah orang yang
paling mengerti. Aku adalah orang yang tertutup dan cuma bisa berbagi semua hal
dengan pasanganku. Bahkan, dengan teman dekatku saja aku masih menyaring bagian
mana saja yang sekiranya bisa aku share dan tidak. Aku tidak bisa bercerita
sembarangan karena biasanya respons yang diberikan orang terdekatku tidak
mengenakan. Berbeda dengan mantan pacarku, dia adalah orang yang selalu antusias
dengan semua cerita-ceritaku. Aku merasa kehilangan support system terbesarku.
Setelah kehilangannya, aku takut tidak akan pernah lagi ada orang yang menerima
kondisiku, Lit.
Saya : Baik Kak, I see. Aku bisa melihat mengapa dia sangat berarti buat kakak. Mengapa
pada akhirnya kakak merasa tidak akan yang menerima Kakak lagi dengan tulus?
Klien : Lit, aku punya sebuah kondisi medis. Aku punya eksim sejak kelas 2 SD sampai
sekarang. Sampai hari ini masih kurasakan. Aku merasa gatal-gatal setiap hari dan
intensitasnya meningkat di malam hari. Aku bahkan sampai bingung rasa hidup tanpa
rasa gatal itu seperti apa karena jujur saja eksim ini gak pernah hilang. Eksim ini
hanya akan hilang selama beberapa saat dan kembali lagi terus menerus.
Saya : Apakah keluarga kakak punya riwayat alergi?
Klien : Soal itu aku kurang tahu Lit. Tapi lucunya, awalnya aku pernah menganggap ini
sebagai penyakit kutukan. Ibuku pernah mewanti-wanti aku untuk tidak bermain ke
rumah tetangga karena ia sedang sakit gatal supaya tidak tertular. Eh, di kelas 2 SD
aku sendiri terkena eksim. Yah, aku menganggap ini kutukan juga karena penyakit ini
membuat kualitas hidupku menurun.
Saya : Perubahan apa yang terjadi ketika kakak divonis eksim?
Klien : Banyak. Aku sangat-sangat benci dengan kondisiku ini. Tapi, ada satu hal yang
membuat aku sangat sakit hati sampai hari ini. Ketika aku masih kecil, saat itu
eksimku sedang menggila. Eksimnya muncul di jari-jari dan telapak tanganku.
Rasanya jelas sangat sakit, bahkan ketika aku memegang suatu benda pun, aku
merasakan sensasi tersengat listrik karena eksim di jari tanganku. Selain itu,
kondisinya pun menjijikkan. Kalau kata orang Sunda terlihat gila. Aku menyaksikan
eksim menciptakan lubang-lubang di telapak tanganku. Waktu aku sedang bermain
bersama sepupuku, kemudian dia berniat hendak minum dari gelas bekas minumku.
Bibiku sontak membentak anaknya untuk tidak minum dari gelas itu dengan redaksi
kalimat yang menyakitkan. Ia berkata, “Tong minum tina gelas urut si A Rama (nama
samaran), geuleuh, bisi katepaan.” Padahal, kondisi yang kualami saat itu adalah
eksim, alergi yang notabenenya tidak akan menular. Pokoknya, aku sangat benci
dengan diriku sendiri waktu itu. Kenapa harus aku yang merasakan semua ini?
Gara-gara eksim sialan ini aku gak bisa bebas melakukan kegiatan-kegiatan yang aku
sukai. Selain gatal, rasanya sakit juga. Bahkan, luka-luka kering bekas eksim yang
kupunya juga masih terasa sangat gatal sampai hari ini. Intinya, aku hidup begini
secara terus menerus.
Saya : Biasanya, pemicu dari eksim yang Kakak derita apa? Kemudian, apa penanganan
yang kakak lakukan untuk meredakannya?
Klien : Biasanya kalau aku makan protein terlalu banyak, apalagi protein dalam makanan
laut sangat-sangat aku hindari. Selain itu, ketika udara lembab dan agak panas
intensitas gatalku biasanya meningkat juga. Kadang, kalau aku stress, aku gatal-gatal
juga karena terkadang aku sudah mencoba menghindari pantangan dan pemicu, tapi
eksimku tetap kambuh. Kalau sudah gatal begini, biasanya aku sering menggunakan
salep yang diresepkan dokter untuk mengobati gatal-gatalnya. Kalau eksimku infeksi
atau iritasi biasanya aku mengopresnya terlebih dahulu dengan NaCl. Kadang juga
aku ikat bagian yang eksim dengan perban basah untuk sedikit meringankan
peradangan.
Saya : Biasanya, apa yang menyebabkan eksim kakak berkembang menjadi parah?
Klien : Karena digaruk. Aku suka tidak tahan untuk menggaruknya karena terasa sangat
gatal.
Saya : Bagaimana perjuangan kakak hidup dengan eksim sejauh ini? Apakah eksim yang
kakak milikki menghambat kakak dalam menjadi manusia yang produktif?
Klien : Menjalani hidup dengan eksim sangat sulit. Apalagi, eksim ini gak bisa aku
sembuhkan seumur hidupku. Aku pernah merasa menjadi beban untuk orang-orang
terdekatku. Aku merasa bahwa aku cuma merepotkan mereka terus, terutama orang
tuaku. Buat apa aku mengobati sesuatu yang bahkan tidak bisa disembuhkan? Aku
capek terus menerus dihadapkan pada situasi yang sama. Aku lelah berperang
menghadapi gatal-gatal yang aku rasakan setiap hari. Biaya ke dokter spesialis kulit
tidaklah murah. Pernah ada suatu masa, kalau tidak salah ketika aku SMA, eksimku
bernanah parah di bagian kaki dan tangan. Saat itu, aku memaksakan diri untuk ke
sekolah. Aku menutupi eksim bernanah itu dengan kain kasa dan membungkusnya
kembali dengan kaos kaki dan baju. Harusnya tidak boleh seperti itu, dokter bilang
bahkan aku tak boleh menggunakan alas kaki. Tapi, aku malu dengan kondisiku. Di
sekolah, aku menahan rasa gatal dan sakit. Pulang ke rumah, aku langsung masuk ke
kamar. Mematikan seluruh lampu, menutup jendela, memastikan ruangan cukup gelap
supaya aku tidak melihat penampakkan diriku yang menjijikan. Tapi, bayangan itu
masih nampak. Aku mencoba membuka kain kasa yang ku balutkan untuk menutup
infeksi pada eksim di kakiku, tapi meskipun sudah gelap kondisi yang gila itu tetap
terlihat. Sambil menahan tangis, aku mencoba memisahkan kain kasa yang
kelihatannya sudah bersatu dengan kulit dan otot kakiku. Pemandangan itu sangat
menjijikan pokoknya. Aku gak bisa lagi menahan tangis, aku akhirnya sesenggukan
dengan suara pelan karena takut di notice orang tua. Tapi, akhirnya Ibu masuk dan
emosiku langsung pecah di sana. Ibu datang memeluk aku yang sedang menangis.
Pernah suatu malam aku terbangun dan melihat orang tuaku bersujud memohon
kesembuhanku. Mereka menangis berdua di atas sajadah sambil mengucapkan doa
yang di dalamnya ada namaku. Aku pernah berdoa juga memohon untuk mati lebih
dulu dibanding orang tuaku. Karena, apa yah, aku gak bisa membayangkan hidupku
tanpa mereka. Siapa lagi yang mau menerima aku secara tulus kalau bukan mereka.
Saat eksimku ada di titik yang parah, bahkan aku merasa ingin mengakhiri semuanya
aja. Gak, aku gak ada tendensi untuk bunuh diri, tapi aku cuma mau mengakhiri
semua rasa sakit yang aku alami aja.
Saya : Baik Kak. Kak, dengan semua kondisi yang kakak alami, adakah hal-hal yang
membuat kakak bersemangat?
Klien : Kamu tahu, organisasi ini. Aneh yah? Soalnya organisasi yang aku pilih ini
ngejelimet banget kerjaannya. Stressful parah. Selalu under pressure juga kan yah.
Tapi, aku merasa punya wadah di sini. Aku juga seneng banget ketemu semua orang
di sini, meskipun kadang mereka ngeselin juga. Tapi, organisasi ini adalah pelarianku.
Aku baru sadar bahwa aku terikat banget sama organisasi ini. Aku passionate banget
di sini. Aku merasa bahwa aku punya kesukaan lagi setelah sekian lama. Karena
eksim yang aku derita, dulu aku sampai harus mengorbankan banyak impian. Aku
suka banget dengan sepak bola sejak aku TK, dulu aku juga pernah sekolah bola dan
yah aku punya impian buat jadi pesepakbola profesional. Tapi, akhirnya mimpi itu
harus kandas gara-gara eksim dan kecerobohan aku sendiri. Kuku kakiku ternyata
agak sedikit panjang waktu itu dan aku latihan bola seperti biasanya. Kuku jempol di
dua kakiku ternyata masuk ke dalam dan merobek daging. Rasanya sakit banget.
Sekedar kegesek dengan kain halus aja perih, mana mungkin bisa main bola lagi kalau
kaya gini. Aku menjalani dua operasi kuku kaki waktu itu. Tapi, sampai sekarang
kakiku masih sakit banget. Mungkin karena struktur kuku kakinya yang sudah rusak,
aku jadi sering cantengan. Itulah kenapa aku selalu pake kaos kaki panjang setiap saat
dalam kondisi apapun. Selain karena di kakiku banyak eksim, yang kadang basah,
jempol kakiku juga dalam kondisi yang buruk. Aku malu, dua-duanya terlihat
menjijikan.
Saya : Apakah kakak merasa terlindungi ketika menggunakan kaos kaki?
Klien : Iya, kalau gak pake, aku merasa ditelanjangi banget. Aku merasa telah mengekspos
sesuatu yang terlarang.
Saya : Apakah muncul perasaan cemas ketika tidak menggunakannya.
Klien : Iya, sangat cemas. Aku merasa terancam.
Saya : Kapan kakak gak memakai kaos kaki?
Klien : Kalau di rumah, itu pun ketika aku sendirian. Aku sebenarnya mau banget untuk
barefoot, apalagi dokter bilang kakiku harus diberi ruang untuk penyembuhan. Tapi,
aku masih belum bisa. Aku malu karena kondisi kakiku, yang tadi menjijikan.
Saya : Apakah kakak ingin mengubah kebiasaan ini?
Klien : Iya. Aku ingin sekali. Aku paham betul juga bahwa eksim dan kondisi jempol
kakiku yang menghambat aku melakukannya. Aku sering banget berkegiatan di
sekretariat organisasi ini sampai malam. Bahkan, sampai tidak pulang dan selama itu
aku tetap pakai kaos kaki. Aku seorang muslim, aku mengakui kalau aku jarang salat,
apalagi ketika sedang berkegiatan di sekretariat. Aku bukan seorang agnostik juga
seperti apa yang selalu teman-teman pikir, aku dibesarkan oleh keluarga yang cukup
religius. Aku jarang salat ketika di kampus karena aku malu mengambil wudhu.
Ketika berwudhu, itu artinya aku harus membuka kaos kakiku. Kadang, ketika
eksimnya basah aku sering bingung apakah aku harus berwudhu atau tidak karena
kamu tahu kalau air mengenai eksimku ini, lukanya akan menjadi basah kembali. Jadi,
biasanya aku salat sembunyi-sembunyi ketika keadaan sudah sepi. Bahkan, ketika
salat bersama teman-teman yang lain, aku seringkali menyuruh mereka untuk duluan
berwudhu, karena aku malu dilihat mereka. Aku pernah sekali tidak menggunakan
kaos kaki saat berkegiatan di sekre, tapi orang-orang selalu point out soal kakiku.
Mereka selalu gagal fokus sama kakiku. Aku tidak nyaman diperhatikan begitu.
Saya : Selain itu kak, apa lagi yang ingin kakak lakukan?
Klien : Aku ingin mengubah beberapa kebiasaan buruk. Pertama, aku sering sekali
menunda-nunda pekerjaan dan malah berselancar di media sosial untuk mendapat
kesenangan instant. Aku tahu kalau perbuatan seperti ini membuang-buang waktu tapi
entah mengapa aku gak bisa berhenti. Aku membayangkan kalau aku gak terlalu
candu sama sosmed mungkin aku sudah punya banyak karya sekarang. Kedua, aku
ingin lebih punya motivasi lagi buat hidup.
Saya : Kak, apakah kakak menemukan motivasi itu di organisasi yang kakak ikuti
sekarang? Pada kondisi apa kakak merasa sangat hidup dan apa personal values yang
kakak pegang kuat selama ini?
Klien : Tentu. Soal nilai yang aku pegang yah, aku rasa personal values yang aku junjung
tinggi saat ini adalah kebermanfaatan. Aku merasa sangat hidup ketika kehadiranku
memberi makna untuk orang sekitar. Kamu tahu? Aku merasa sangat bersemangat
kalau aku menguasai suatu skill yang baru. Kalau aku sedang mengkaji pengetahuan
baru, aku merasa sangat puas dan bahagia ketika menguasainya. Makanya, aku betah
sekali di sini, aku bisa menjalankan hobiku dalam dunia fotografi dan videografi. Safe
haven sekali, banyak buku di sini. Aku sangat suka membaca juga soalnya. Kalau
sedang sibuk dengan proyek yang aku kerjakan, kadang rasa gatal itu teralihkan.
Saya : Wah, buku apa nih yah suka kakak baca?
Klien : Aku senang membaca buku filsafat dan sejarah.
Saya : Apakah itu coping stress kakak ketika merasakan emosi negatif?
Klien : Iya. Tapi, selain membaca biasanya aku menggambar juga. Aku menggambar ketika
aku merasa tertekan, gugup, bosan, stress dan yah aku menggambarkan ketika
merasakan ketidaknyamanan dalam diri. Dulu, aku sering menulis juga. Tapi, aku
sekarang jadi sangat perfeksionis. Entah mengapa, aku jadi punya standar tak masuk
akal ketika hendak menuangkan perasaan dalam tulisan. Aku rasa itu karena aku terus
berada di dalam dunia jurnalistik. Aku jadi terbiasa terpatok dengan kaidah serupa
tulisan jurnalistik. Jadi, pada akhirnya aku merasa bahwa apa yang aku tulis tak cukup
baik untuk menggambarkan apa yang terjadi di dalam diri.
Saya : Kakak menggeluti aliran filsafat yang mana?
Klien : Aku sudah banyak membaca karya filsafat, tapi yang aku terapkan biasanya yang
bersifat way of life.
Saya : Aku punya kesukaan yang sama juga dengan kakak, mungkin nanti kita bisa diskusi
soal ini lebih lanjut yah Kak. Goals apa yang ingin kakak capai?
Klien : Gak muluk-muluk, aku ingin kehidupan yang stabil aja sekarang. Aku ingin kembali
menikmati hidup sehabis-habisnya sampai usiaku berakhir. Kuliah dan berkarya
dengan tenang. Tidur yang cukup dan nyaman, by the way aku rasa pola tidurku buruk
juga. Di siang hari aku banyak bermain sosmed, aku suka memarahi diri sendiri
kenapa aku bermain sosmed selama itu dan di malam hari adalah pembalasan untuk
semua hal yang tidak aku kerjakan di siang hari. Akibatnya, aku jadi sering bangun
dengan kondisi lemas dan yah lingkaran setan itu terjadi lagi. Aku rasa ini cukup
berdampak juga sama kesehatanku, aku jadi sering sakit. Selanjutnya, aku mau
membuat orang-orang yang aku sayang senang. Aku mau banyak-banyak berkarya
karena aku merasa bermakna ketika begitu.
Saya : Terima kasih sudah bercerita yah Kak. Setelah ini aku harap kita bisa saling berbagi
lagi untuk mendiskusikan opsi-opsi yang akan kita ambil. Apa yang kakak rasakan
valid, kakak berhak bersedih dan merasakan emosi-emosi yang ada sewajarnya
seorang manusia. Aku berharap kakak terus menerus hidup untuk mencari makna, aku
melihat potensi yang sangat besar dalam diri kakak. Terakhir Kak, apakah Kakak
menerima kondisi kakak yang seperti ini?
Klien : Iya dan tidak. Ketika kambuh dan parah aku bahkan sering marah pada Tuhan,
mengapa aku yang harus begini? Setelahnya, bahkan sering merembet ke hal-hal lain,
seperti, “Mengapa mantan pacarku malah berakhir dengan laki-laki yang tidak baik?”
Tapi, pada akhirnya aku pun tahu kalau ini adalah bagian dari diriku, aksesoris. Jadi,
aku mau hidup bersama eksim ini.
KAJIAN KEPUSTAKAAN

Dalam laporan kali ini, saya menggunakan teori psikoanalisis sebagai pisau analisis
terhadap permasalahan yang dialami oleh klien. Aliran ini dipopulerkan oleh Sigmund Freud
yang sempat menuai kontroversi di zamannya. Freud melawan arus penelitian psikologi yang
saat itu lebih memandang kesadaran sebagai aspek utama dari kehidupan mental.
Menurutnya, manusia adalah makhluk deterministik yang perilakunya didorong oleh
kekuatan irasional, kekuatan yang berasal dari alam bawah sadar, dorongan biologis dan
insting pada saat berusia enam tahun pertama kehidupannya. Karenanya, kesadaran hanyalah
sebagian kecil bagian kehidupan mental seseorang. Freud mengibaratkannya seperti gunung
es, di mana bagian yang muncul ke permukaan (alam sadar) lebih kecil daripada bagian yang
tenggelam (alam bawah sadar).

Freud membagi kehidupan mental atau jiwa seorang manusia ke dalam tiga tingkatan,
yaitu sadar (conscious), prasadar (preconscious) dan bawah sadar (unconscious). Bagi Freud,
ingatan masa kecil sangat menentukan kepribadian seseorang ketika dewasa dan alam bawah
sadar adalah pendorong dari seluruh tingkah laku manusia. Lebih lanjut lagi, struktur
kepribadian manusia menurut Freud terbangun atas id, superego, dan ego. Id merujuk pada
dorongan atau nafsu yang paling dasar yang ada di alam bawah sadar manusia. Id adalah
insting primitif yang mendorong manusia untuk selalu mencari kesenangan. Superego selalu
berkaitan dengan moralitas, nilai dan norma. Biasanya terbentuk lewat sejumlah sosialisasi.
Ego adalah penghubung dan kompromi di antara keduanya. Freud mendefinisikan
kepribadian sebagai dinamika antara ketiganya. Hubungan ketiganya bisa diibaratkan seperti
kuda yang berlari di lintasan pacuan kuda. Id adalah kuda, superego adalah lintasan dan ego
adalah sang pengendara.
Masalah muncul ketika kuda (id) terlalu liar untuk dikendalikan, lintasan (superego)
rusak dan sang pengendara (ego) tidak tahu cara mengendalikan kuda. Id yang tidak bisa
dikontrol akan menghasilkan sejumlah kejahatan dan superego yang rusak boleh jadi
disebabkan oleh ketidaktahuan seseorang akan nilai dan norma yang ada di masyarakat.
Adapun, ego yang rusak akibat kurangnya pengajaran juga akan menghilangkan kontrol
seseorang terhadap id.
Id dan superego senantiasa berkonflik. Konflik yang dirasakan seseorang akan
menghasilkan sejumlah ego defence mechanism yang terdiri atas sebagai berikut.
a. Represi merupakan penekanan dorongan ke ketidaksadaran.
b. Rasionalisasi merupakan upaya memutarbalikkan fakta dengan dalih yang seolah-olah
masuk akal.
c. Displacement merupakan upaya pengalihan dorongan yang tidak dapat diterima oleh
individu kepada objek/aktivitas lain sehingga dorongan tersebut tersamarkan.
d. Sublimasi merupakan upaya pengalihan id kepada aktivitas yang dapat diterima oleh
masyarakat.
e. Proyeksi adalah upaya pengalihan dorongan, sikap atau tingkah laku yang
menimbulkan kecemasan kepada orang lain.
f. Regresi merupakan keadaan di mana seseorang mundur secara mental ke tahap
perkembangan sebelumnya
g. Pembentukan reaksi adalah upaya penekanan dorongan ke alam bawah sadar dengan
melakukan hal yang bertolak belakang dengan dorongan tersebut.
h. Kompensasi merupakan upaya untuk mengatasi kekurangan dalam suatu bidang
dengan cara mengupayakan kelebihannya di bidang lain.
PEMBAHASAN DAN LAPORAN HASIL ASESMEN

Berikut ini tabel hasil observasi terhadap klien


Latar belakang pemilihan klien didasarkan atas kedekatan. Klien adalah rekan penulis
di salah satu lembaga kemahasiswaan. Selama ini klien terlihat sangat pendiam, meskipun
masih sering menjalin interaksi. Klien adalah pribadi yang cukup tertutup. Mengingat
intensitas pertemuan penulis dan klien yang cukup tinggi, penulis berhasil mengumpulkan
sejumlah data observasi terhadap klien dalam waktu beberapa bulan ke belakang. Dalam
tabel di bawah ini juga penulis sertakan data observasi yang diperoleh saat proses wawancara.

No Data Observasi Interpretasi

1. Saat melakukan kegiatan di sekretariat Klien tidak nyaman dengan tubuhnya.


organisasi, klien senantiasa menggunakan Klien sedang berusaha untuk
kaos kaki panjang dan celana panjang menutupi kondisi tubuhnya yang
bagaimanapun keadaannya. Perilaku ini tidak terserang eksim.
hanya disadari oleh penulis semata,
melainkan rekan-rekan yang lain.
Rekan-rekan yang lain bahkan seringkali
bertanya apakah tidak panas menggunakan
kaos kaki dan pakaian panjang terus
menerus.

2. Dalam beberapa dokumentasi wisata milik Klien tidak nyaman dengan kondisi
organisasi, klien seringkali berpakaian serba tubuhnya karena menganggap kondisi
panjang dalam semua kondisi, termasuk yang dimiliki memalukan sekaligus
ketika sedang berenang dan bermain ke tidak ingin membuat orang lain
badan air. Dalam salah satu video, klien tidak merasa jijik terhadapnya.
melepaskan pakaian ketika sedang berendam
di sungai bersama rekan lelaki lainnya.

3. Penulis dan klien pernah tidur bersama di Klien merasa malu atas kondisi
ruangan sekretariat karena terjebak hujan kakinya.
yang cukup deras selepas mengerjakan suatu
proyek. Saat tidur, klien sempat tidak
menggunakan kaos kaki. Namun, begitu
penulis memasuki ruangan yang sama, klien
langsung buru-buru mencari barang untuk
menutupi kakinya.

4. Klien seringkali disuruh untuk mandi dan Klien bingung dalam menjelaskan
beribadah oleh rekan-rekannya. Saat kondisinya kepada rekan-rekan yang
menghadapi situasi semacam ini klien lain.
banyak memberikan alibi disertai senyuman
getir.
5. Saat melalui tahapan wawancara, klien Klien merasakan kesedihan yang
terlihat berkaca-kaca saat menceritakan dalam atas kondisi yang dialaminya.
beberapa bagian, terutama ketika
membicarakan soal orang tuanya.

6. Selama wawancara berlangsung, klien Diakui oleh klien bahwa


bersandar dengan raut lelah. Ia juga menggambar adalah salah satu stress
melangsungkan sesi wawancara sambil relief yang sering dilakukannya.
memegang pena dan kertas. Selanjutnya, Klien menggambar dalam keadaan
ketika cerita yang disampaikan mengalami terancam.
ketegangan tensi, klien berbicara sambil
menggambar.

7. Di beberapa bagian cerita, terutama ketika Klien sedang mengingat memori tak
mengingat kenangan yang menyakitkan, menyenangkan.
klien menengadahkan pandangan ke
langit-langit sambil menyilangkan tangan.

8. Dalam beberapa bagian cerita, terutama Klien masih memiliki motivasi untuk
ketika menceritakan soal impiannya, klien melanjutkan hidup.
tersenyum dengan riang.

9. Pergerakan klien cukup lambat. Hal ini Klien tidak bisa berjalan dengan
disadari olen rekan-rekan organisasi. Klien cepat karena rasa sakit akibat insiden
sampai sering disebut kukang. kuku jempol yang merobek daging
hingga struktur kukunya rusak
sampai saat ini.

PEMBAHASAN MELALUI TEORI PSIKOANALISIS SIGMUND FREUD


Klien memiliki self esteem yang rendah karena ingatan masa lalu yang sangat
berbekas. Klien hidup dengan eksim sejak usia 5 tahun dan ketika eksimnya kambuh, klien
mendapatkan komentar yang bersifat traumatis. Komentar ini memojokkan klien dan
menghasilkan kesan bahwa klien adalah manusia berpenyakit yang menjijikan serta pantas
untuk dihindari. Kejadian ini akhirnya masuk ke alam bawah sadar klien dan terwujud secara
tidak sadar dalam beberapa tindakan atau perilakunya.
Di awal, klien bercerita bahwa dia merasa sangat sedih sampai tidak bisa melakukan
apa-apa ketika melihat potret mantan pacarnya diunggah di salah satu platform media sosial
oleh seorang lelaki. Sejatinya, respons semacam ini secara tidak langsung adalah refleksi
alam bawah sadar klien. Saat kecil, klien dijauhi karena eksim yang dimilikinya. Komentar
buruk yang dialamatkan oleh sanak keluarga terdekatnya, yang seharusnya memberikan klien
support, menciptakan suatu ketakutan akan ditinggalkan. Klien mengalami fear of
abandonment, ketakutan ditinggalkan oleh orang tersayang karena dahulu klien mengalami
penolakan dan ditinggalkan oleh sanak famili terdekat akibat kondisi medis yang dimilikinya.
Karenanya, klien sampai berharap untuk bisa mati lebih cepat sebelum orang tuanya.
Kejadian ini juga turut menunjukkan gambaran alam bawah sadar klien. Klien juga cukup
tertutup dalam bercerita sebab ia takut membuka tabir dirinya sendiri. Klien takut terhadap
penolakan dari lingkungan sekitar. Dalam beberapa kesempatan, klien sempat mengakui
bahwa dirinya sangat bergantung secara emosional kepada pasangannya. Akibatnya, ketika
pasangannya tidak hadir di sampingnya, klien merasa sangat frustrasi.
Perilaku klien yang seringkali menggunakan kaos kaki dalam kondisi apapun juga
berangkat dari pengalaman masa kecil yang menyakitkan. Kepercayaan dirinya runtuh karena
satu komentar di masa kecil.
Berdasarkan hasil wawancara dengan klien, terdapat beberapa ego defense mechanism
yang dilakukannya, antara lain sebagai berikut.
a. Kompensasi. Klien sempat kehilangan arah ketika impiannya menjadi pemain
sepak bola sirna, namun klien sekarang banyak bergerak di bidang-bidang yang
juga turut ia sukai. Ketika kondisi fisiknya tak memungkinkan ia untuk mencapai
impian awal, klien mengusahakan diri sendiri untuk unggul di bidang lain.
Menurut pengamatan penulis yang juga tergabung dalam satu organisasi yang
sama, klien sangat produktif dalam berkarya dan aktif mengikuti sejumlah
kegiatan yang diadakan oleh organisasi. Klien bahkan saat ini punya posisi
strategis yang cukup berpengaruh besar.
b. Sublimasi. Ketika menghadapi sesuatu yang mengancam diri, klien seringkali
menggambar. Hal ini adalah salah satu bentuk coping positif yang dimiliki oleh
klien. Namun, klien juga mengakui seringkali menjadikan media sosial sebagai
coping-nya (berdasarkan hasil wawancara) sampai terlalu menghabiskan waktu di
sana.

HASIL ASESMEN
MASALAH :
Permasalahan yang dialami oleh klien berakar dari kondisi medis yang dimilikinya.
Klien diketahui telah menderita eksim sejak kelas 2 SD. Eksim adalah penyakit kulit kronis
yang tidak dapat disembuhkan dan dapat kambuh secara berkala. Berdasarkan hasil
wawancara, klien mengalami gatal (terutama di bagian kaki) secara terus menerus sampai
hari ini. Artinya, klien telah hidup dengan rasa gatal dan sakit yang disebabkan oleh eksim
bertahun-tahun lamanya. Klien bahkan sudah tidak tahu bagaimana rasanya hidup tanpa rasa
gatal. Selain eksim, masalah utama yang dihadapi klien adalah kaki yang senantiasa terasa
sakit akibat insiden kuku yang masuk dan merobek daging kuku jempol saat klien masih aktif
menjadi murid dari salah satu sekolah bola. Kedua kondisi medis ini berimplikasi pada
penurunan kualitas kehidupan klien yang juga menimbulkan efek domino terhadap
permasalah-permasalahan lainnya.
Eksim memang tidak dapat disembuhkan, tapi dapat dikendalikan kemunculannya.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap klien, klien sudah cukup mengetahui
informasi dasar soal eksim. Namun, berdasarkan observasi penulis, pemahaman klien dan
pendisiplinan diri terhadap kondisi medis yang dimilikinya harus ditingkatkan. Penulis dapat
berpendapat semacam ini karena masih sering melihat klien abai dengan personal
hygiene-nya sendiri. Klien seringkali berkegiatan di sekretariat dan tidak mandi berhari-hari.
Selain itu, klien juga memiliki pola tidur yang sangat kacau. Klien harus sangat aware
dengan faktor pemicu dan sebisa mungkin menghindarinya supaya eksim yang diderita tidak
kambuh atau muncul semakin parah.
Penulis juga menilai bahwa klien masih belum bisa menerima diri secara penuh. Klien
masih seringkali menunjukkan anger ketika eksim yang dideritanya kambuh sampai
menyalahkan Tuhan. Tapi, di sisi lain, klien juga sedang berproses ke arah sana. Ia telah
memiliki konsepsi yang baik bahwa eksim yang dimilikinya adalah bagian dari dirinya yang
tak terhindarkan. Karenanya, ia harus bisa menyesuaikan diri untuk hidup dengan penyakit
yang dimilikinya.
Berdasarkan hasil analisis penulis, maka dapat disimpulkan bahwa masalah utama
yang dimiliki oleh klien adalah penerimaan diri (self acceptance) yang belum utuh.
Penerimaan diri yang masih setengah-setengah ini berimplikasi langsung pada rendahnya self
esteem klien. Klien menjadi bimbang akan kemampuannya dalam mengambil tanggung
jawab dan menjalani kehidupan. Menurut Shereer, terdapat beberapa aspek yang harus
dipenuhi dalam menerima diri sendiri, di antaranya sebagai berikut.
a. Sikap dan perilakunya berdasarkan nilai dan standar pada dirinya sendiri daripada
didasari oleh tekanan-tekanan yang berasal dari luar. Klien masih sering
mendasarkan sikapnya atas penilain-penilaian orang lain. Ia masih sering
menggunakan kaos kaki super panjang dan ketat karena takut orang lain
berkomentar kurang baik terhadap kondisi kakinya padahal tidak seharusnya ia
terlalu sering menggunakan alas kaki (menurut anjuran dokter).
b. Memiliki kemampuan atas keyakinan dalam menghadapi kehidupan. Klien masih
sering meragukan diri sendiri sampai ia bahkan bergantung secara emosional
kepada orang-orang terdekatnya. Klien takut menghadapi kehidupan sendirian,
karenanya klien selalu punya keinginan untuk mati lebih cepat dibanding orang
tuanya karena klien tak bisa menjalankan kehidupannya jika tak ada seseorang
yang tulus di sisinya.
c. Berani bertanggung jawab terhadap perilakunya. Klien adalah orang yang cukup
penting di lembaga kemahasiswaan tempat penulis bergabung. Ia mengambil
peran yang sangat strategis dan sejauh ini rekan-rekan yang lain memberikan
persepsi positif soal kinerjanya.
d. Menerima pujian dan kritik secara objektif. Klien memiliki keunggulan dalam
menyikapi pujian dan kritik. Jika dipuji ia bertekad akan lebih baik lagi karena
termotivasi, namun jika dikritik klien juga akan menerima dengan lapang dada.
e. Tidak menyangkal perasaan, motif, keterbatasan, kemampuan dalam dirinya
sendiri, serta menerima semuanya tanpa menghakimi diri sendiri. Klien masih
kurang dalam aspek ini. Klien masih sering menghakimi diri sendiri atas penyakit
yang menimpanya. Ia menganggap penyakit ini sebagai kutukan dan sering sekali
merasa jijik terhadap diri sendiri. Selain itu, klien juga seringkali marah kepada
Tuhan jika eksimnya kambuh.
f. Menganggap dirinya layak dan sama dengan orang lain. Klien juga masih kurang
dalam aspek ini. Klien punya ketakutan soal ‘tidak akan ada lagi orang yang
menerimanya’. Hal ini berarti bahwa klien memandang rendah dirinya sendiri
karena sejumlah keterbatasan yang ia miliki.
g. Tidak mengharapkan orang lain untuk menolak atau mengucilkan dirinya. Kliem
sudah memenuhi aspek ini.
h. Tidak menganggap dirinya berbeda dari orang lain atau abnormal. Klien memiliki
konsep diri seperti ini. Hal ini dicirikan oleh klien yang sangat menjaga ketat area
kakinya sendiri karena menganggap kakinya tidak normal dan menjijikan.
i. Tidak malu atau rendah diri. Klien masih kurang di aspek ini.
Penerimaan terhadap diri sendiri sangat penting bagi kehidupan seseorang. Dengan
menerima kondisi diri sendiri tanpa penghakiman, seseorang bisa mengambil keputusan yang
tepat dan rasional. Penerimaan diri juga akan menurunkan resiko stress, kecemasan dan juga
tendensi untuk mengalami gangguan depresi pada seseorang yang divonis penyakit kronis.
Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa penerimaan diri yang baik berkorelasi positif
dengan tingkat penyembuhan. Jadi, kesimpulannya, masalah utama yang dimiliki oleh klien
saat ini adalah masalah kesehatan yang diikuti oleh satu masalah utama lainnya, yakni
masalah penerimaan diri yang masih kurang.

KEBUTUHAN
Berikut ini beberapa kebutuhan yang diperlukan klien berdasarkan hasil wawancara.
1. Kebutuhan akan penerimaan yang baik dari lingkungannya. Klien menyatakan bahwa
sebetulnya ia ingin juga tidak ingin menggunakan alas kaki (kaos kaki) setiap saat.
Selain karena tidak nyaman, dokter merekomendasikan demikian. Tapi, salah satu
yang menahannya adalah reaksi dari orang sekitar yang menurut keterangannya kerap
kali ‘gagal fokus’ dengan kakinya. Diperlukan peran serta orang-orang terdekat klien
untuk mengetahui kondisi ini supaya klien tidak merasa diawasi terus menerus.
Orang-orang sekitar harus mencoba melakukan upaya ‘pembiaran’ terhadap klien
ketika klien beritikad untuk membiasakan diri tanpa alas kaki.
2. Kebutuhan akan support system yang sehat. Dalam wawancara yang dilakukan,
terlihat sekali bahwa klien cukup rapuh dan seringkali bergantung secara emosional
kepada pasangannya. Situasi demikian dilatarbelakangi oleh tidak tersedianya support
system yang memadai di kalangan rekan-rekannya. Klien merasa kurang mendapatkan
ruang afeksi yang tepat ketika berbicara dengan rekan-rekannya.
3. Kebutuhan akan penerimaan diri dan pembentukkan konsep diri yang jauh lebih
positif serta objektif. Klien mengungkapkan bahwa ia merasa sangat hidup dan ingin
terus hidup ketika ia memberikan makna pada orang lain. Pembentukkan konsep diri
yang lebih positif bisa melibatkan rekan-rekan terdekat klien.
4. Kebutuhan akan siasat coping yang lebih baik karena klien mengatakan ia cukup
terikat dengan gawainya. Keterikatan ini membuat pola hidup klien lumayan kacau
hingga mengganggu waktu tidur klien yang berimbas pada tara kesehatan klien
sendiri.
5. Kebutuhan akan peningkatan pendisiplinan diri sendiri dalam memberikan self care
demi mengendalikan eksim yang dimilikinya.
6. Kebutuhan akan penanganan medis untuk jempol klien yang masih sering cantengan
dan merasa sakit hingga saat ini.

POTENSI
1. Klien memiliki keluarga yang sangat suportif.
2. Klien dapat mengakses fasilitas kesehatan.
3. Klien adalah pribadi yang senang belajar dan terbuka dalam menerima ide-ide baru.
4. Klien dapat mengurangi sedikit penderitaannya ketika berkarya dan klien sangat
produktif dalam melakukannya. Ia suka menulis, membaca, menggambar, memotret
dan terjun langsung dalam bidang videografi. Klien merupakan pribadi yang cerdas
dan kritis.
5. Klien tergabung ke dalam salah satu lembaga kemahasiswaan yang menurutnya
sangat menyenangkan dan menjadi motivasi terbesarnya untuk terus hidup dari hari
ke hari. Artinya, klien sudah merasa menemukan ruang afeksi dan pengembangan
diri.

NILAI
Dari hasil wawancara yang dilakukan, terlihat bahwa klien sebetulnya adalah pribadi
yang cukup menjunjung nilai-nilai spiritual dari agama yang dianutnya. Klien dihantui rasa
bersalah secara terus menerus karena sering tidak menjalankan kewajibannya akibat rasa
malu dan kondisi medis di kakinya yang tidak memungkinkan ia untuk menjalankan beberapa
ritus. Selain itu, klien juga adalah pribadi yang cukup melek dengan beberapa ajaran filsafat,
terutama filsafat yang sifatnya way of life. Aliran filsafat semacam ini bisa membantu klien
dalam membentuk konsep diri yang lebih positif dan memaksimalkan motivasi yang
dimilikinya.

PENGALAMAN
Klien memiliki pengalaman buruk terkait judgement orang-orang terhadap eksim
yang dimilikinya. Saat kecil klien pernah dikomentari secara pedas oleh saudaranya, ketika
dewasa kondisi kaki klien seringkali diperhatikan orang-orang. Hal-hal ini membuat
penerimaan klien terhadap diri sendiri menjadi kurang.

HARAPAN
Klien berharap untuk memiliki kehidupan yang stabil dan teratur. Klien juga berharap
ia bisa menikmati hidup seutuhnya. Ia ingin memiliki pola kehidupan yang lebih terorganisir.

EMOSI/PERASAAN
Dari hasil wawancara dan observasi terlihat bahwa klien masih belum bisa melakukan
penerimaan diri secara penuh. Akibatnya, klien seringkali merasakan dan menampilkan
emosi negatif pada saat-saat tertentu.

KONDISI KEBERFUNGSIAN KLIEN


Berdasarkan hasil observasi terhadap kesehariannya, klien bisa dibilang memiliki
keberfungsian yang cukup baik. Ia masih bisa menjalankan peranannya sebagai mahasiswa
dan pemimpin suatu lembaga kemahasiswaan dengan bertanggung jawab. Hanya saja,
kondisi medis yang dimilikinya sedikit menurunkan kemampuan klien untuk berperan secara
optimal. Pergerakannya jadi terhambat. Klien punya segudang potensi, namun kondisi medis
yang dideritanya menghalangi ia untuk mengembangkan diri sepenuhnya. Selain itu, klien
juga terkadang punya konsep diri yang negatif dan subjektif, yang menghalangi klien untuk
hidup seutuhnya. Artinya, klien sebetulnya masih menjalankan peran sosialnya secara baik.
Namun, permasalahan-permasalahan internal yang dimilikinya, seperti masalah penerimaan
diri yang masih setengah-setengah, harus diselesaikan pula untuk menunjang kualitas hidup
dan kepuasan klien terhadap diri sendiri. Upaya-upaya ini ditujukan semata-mata untuk
memastikan klien menjadi fully functioning person.
RENCANA INTERVENSI

1. Bimbingan Konseling CCT (Client Concept Therapy) Berbasis Person Concept


Theory
Di awal, penulis menganalisis permasalahan klien berdasarkan teori psikoanalisis milik
Sigmund Freud. Setelah dirumuskan, penulis merasa bahwa model CCT lebih cocok untuk
diterapkan dibanding konseling berbasis psikoanalisis. Hal ini disebabkan oleh satu alasan
mendasar, yakni klien sudah sadar akan memori masa kecil yang melatarbelakangi
perilakunya. Klien sudah sadar bahwa ia malu dengan kondisi kakinya dan selalu
menutupinya diakibatkan oleh komentar pedas yang dilayangkan oleh keluarga terdekatnya.
Bimbingan konseling atau terapi menggunakan model psikoanalisis lebih ditujukan untuk
mengungkap dorongan-dorongan alam bawah sadar yang masih belum diingat secara
conscious oleh klien. Dalam kasus ini, klien sudah membawa memori menyakitkan di masa
kecil tersebut ke alam kesadaran sehingga saat ini masalah utama yang dihadapi klien saat
ini, di samping kondisi medis yang dimilikinya, adalah rendahnya self esteem, penerimaan
diri dan konsep diri yang buruk. Untuk situasi demikian, akan lebih baik menggunakan model
CCT.
CCT yang diungkapkan oleh Carl Rogers lebih menekankan fokus penanganan masalah
yang terpusat pada klien, di mana setiap orang dipandang memiliki potensi dan
kecenderungan dasar untuk mengaktualisasikan dirinya. Aktualisasi diri yang menunjang
personal growth sering kali disebabkan oleh lingkungan yang kurang memberikan ruang bagi
perkembangan individu. Dalam teorinya, Rogers juga turut mengemukakan gagasan soal
konsep diri yang banyak berbicara soal pandangan seseorang terhadap siapa dirinya, apa yang
harus ia lakukan dan apa yang ia inginkan. Konsep diri terbagi menjadi konsep diri real
(kondisi individu yang dipersepsikannya saat ini) dan konsep diri ideal (kondisi yang
diharapkan ada).
Perkembangan konsep diri sangat bergantung pada pengalaman masa kecil. Rogers
menjelaskan bahwa anak-anak sangat membutuhkan positive regards, seperti penerimaan,
cinta dan persetujuan dari orang lain. Rogers membedakan positive regards ke dalam
unconditional positive regards dan conditional positive regards. Unconditional positive
regards adalah penerimaan tanpa syarat (penuh) dan conditional positive regards adalah
penerimaan yang ditujukan ketika seorang anak menunjukkan perilaku sesuai dengan
keinginan orang sekitarnya. Penerimaan yang bersyarat akan meninggalkan suatu
pemahaman bahwa ia layak untuk diterima ketika ia mengekspresikan perilaku yang
diinginkan oleh orang lain atau menahan mengungkapkan perilaku yang berpotensi
menghasilkan penolakan.
Klien mengalami situasi semacam ini. Penerimaan dari sanak keluarga terdekatnya yang
kurang baik membuat klien memiliki persepsi bahwa klien akan diterima ketika tidak
menunjukkan kondisi medis yang dideritanya karena kondisi medis yang ia miliki bersifat
menjijikan. Klien bertindak demikian sebagai proteksi atas penolakan. Klien mengalami
incongruence, suatu kondisi di mana klien kesulitan untuk mengenali pengalaman organismik
sebagai pengalaman dari dirinya. Terdapat kesenjangan antara ideal self concept yang
dimiliki dengan real self concept. Idealnya, klien ingin diterima tanpa syarat, tapi pengalaman
riil klien tidak menunjukkan hal yang demikian. Pengaruhnya, klien sedikit terganggu dalam
proses aktualisasi diri. Klien menjadi memiliki self esteem yang rendah soal tubuhnya sendiri.
Maka, model psikoterapi yang tepat adalah CCT. Selain itu, klien juga merasa sangat hidup
dan termotivasi ketika terus berkarya. Klien harus dibantu untuk terus mengaktualisasikan
dirinya sendiri untuk memaksimalkan keberfungsiannya.
Tujuan dari pemberian CCT adalah untuk membuat klien menjadi fully functioning
person, dengan karakteristik individu yang memakai kapasitas dan bakatnya, merealisasikan
potensinya dan bergerak menuju pemahaman yang lengkap mengenai diri sendiri.
Dalam proses asesmennya, psikoterapi model CCT biasanya menggunakan teknik
Q-short. Klien akan diminta untuk menyusun kartu berisi kalimat yang sesuai dengan dirinya
dan selanjutnya klien akan diminta untuk menyusun gambaran orang yang
dicita-citakannya.Selain itu, karena klien sangat suka hal-hal yang berbau seni dan karya,
klien dapat diarahkan untuk mengikuti sesi Art Therapy. Art therapy telah terbukti dapat
meningkatkan keberhargaan diri (ini sejalan dengan keterangan klien yang merasa ‘hidup’
ketika banyak berkarya), sebagai media pengungkapan perasaan, menurunkan kecemasan dan
meningkatkan kemampuan untuk berdamai dengan konflik emosional. Art therapy akan
membantu individu untuk mengenali diri sendiri sehingga dapat meningkatkan self awareness
yang bermuara pada kesehatan mental dengan taraf yang baik.

2. Penanganan Kuratif dan Upaya Preventif


Penanganan kuratif diberikan dalam bentuk penanganan medis terhadap kuku jempol
kakinya yang masih terasa sakit. Klien sudah melakukan dua kali operasi terhadap kukunya
tapi masih tetap terasa sakit hingga hari ini. Adapun, berkaitan dengan kondisi eksim yang
dialaminya, klien dapat diedukasi untuk menjaga personal hygiene, menggunakan sabun dan
lotion khusus eksim untuk mencegah gatal (klien mengaku tidak menggunakanya setelah
penulis melakukan follow up) dan diajak untuk menggunakan bahan pakaian yang ramah
terhadap eksim. Klien juga bisa meningkatkan kontrol terhadap diri sendiri untuk mencegah
segala pemicu eksim.

3. Perubahan Pola Hidup


Klien ingin kehidupan yang stabil dan cenderung terorganisir. Klien mengakui punya
pola tidur yang buruk padahal tidur sangat penting bagi kesehatan fisik dan mentalnya serta
klien punya kebiasaan buruk untuk bermain sosial media secara terus menerus. Di siang hari,
klien kadang tidak termotivasi untuk melakukan apapun dan bermain sosial media secara
impulsif, malamnya klien merasa bersalah dan malah mengerjakan hal-hal yang tidak
terlaksana di siang hari. Akibatnya, pola tidur klien berantakan dan siklus semacam ini terus
menjadi lingkaran setan. Beberapa opsi yang dapat diambil klien untuk mengatasi masalah ini
adalah dengan menghadirkan medium gratifikasi yang lebih sehat dibanding sosial media.
Seni dapat menjadi media gratifikasi yang dipilih klien. Dalam banyak penelitian,
penggunaan sosial media yang impulsif berkorelasi positif dengan peningkatan kecemasan.
Sebaliknya, seni dapat membantu seseorang untuk lebih mindful.
Klien diketahui suka menulis meskipun aktivitas ini terhenti karena sikap perfeksionis
klien terhadap tulisannya sendiri. Namun, klien dapat diarahkan kembali untuk membuat
bullet journal (semacam diary dan planner yang digabung). Bullet journal dapat
mengakomodasi klien untuk mengekspresikan diri, membuat rencana aktualisasi diri,
melepas emosi dan meningkatkan kesadaran untuk focus on present yang akan menurunkan
kecemasan. Dalam bullet journal, klien dapat mengatur jadwal sehari-harinya yang
disesuaikan dengan keseimbangan porsi antara bekerja serta beristirahat. Klien juga dapat
melakukan habit tracker, termasuk untuk membiasakan diri untuk tidur secara cukup.
Penginternalisasian kebiasaan ini dilakukan secara perlahan.

4. Penguatan Support System


Klien membutuhkan support system yang kuat, apalagi klien adalah orang yang tertutup.
Klien diketahui memiliki nuclear family yang suportif. Selain itu, rekan-rekan organisasi
klien juga diketahui adalah orang-orang yang sangat klien senangi. Untuk itu, dapat
dilakukan penguatan interaksi di antara mereka.

5. Pengembangan Diri
Klien diketahui suka sekali membaca buku. Klien dapat diberikan referensi buku yang
membantunya untuk memaksimalkan motivasi. Klien menyukai buku filsafat, klien bisa
diberikan buku filsafat aliran stoicisme untuk mengurangi kecemasan dan eksistensialisme
untuk membantunya membentuk konsep diri.
DAFTAR PUSTAKA

Harahap, D., Dakwah, F., Komunikasi, I., & Padangsidimpuan, I. (2020). Teori Carl Rogers
dalam Membentuk Pribadi dan Sosial yang Sehat. Jurnal Al-Irsyad: Jurnal Bimbingan
Konseling Islam, 2(2), 321–334.
http://194.31.53.129/index.php/Irsyad/article/view/3174

Ningsih, D. R. (2019). Model Pendekatan Person Centered dalam Upaya Meningkatkan


Konsep Diri Remaja. Al-Isyrof: Jurnal Bimbingan Konseling Islam, 1(1), 1–20.
https://ejournal.iaiskjmalang.ac.id/index.php/isrof/article/view/4

Rizkya, I., Purwono, R. U., & Abidin, Z. (2020). EFEKTIVITAS PERSON-CENTERED


ART THERAPY UNTUK MENGURANGI SIMTOM POST-TRAUMATIC STRESS
DISORDER (PTSD) PADA PENYINTAS BENCANA GEMPA DI LOMBOK. Journal
of Psychological Science and Profession, 4(2), 106–115.
http://jurnal.unpad.ac.id/jpsp/article/view/24930

Utomo, Y., & Ginting, P. (2016). SISTEM PAKAR DIAGNOSA PENYAKIT ALERGI
KULIT EKSIM PADA ORANG DEWASA MENGGUNAKAN METODE
CERTAINTY FACTOR. JURIKOM (Jurnal Riset Komputer), 3(1), 3.
https://doi.org/10.30865/JURIKOM.V3I1.60

Wijaya, H., & Darmawan, I. P. A. (2019). Optimalisasi Superego dalam Teori Psikoanalisis
Sigmund Freud untuk Pendidikan Karakter. https://doi.org/10.31219/OSF.IO/ZMT6Y

Anda mungkin juga menyukai