Anda di halaman 1dari 40

A QUIET APARTMENT

AULYA MARWAH AYUB ACHMAD

DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
1. TEMAN BARU
2. PESTA
3. KIAMAT
4. ATURAN
PENDAHULUAN
Ada saat-saat dimana kita berpikir bahwa kita tidak akan
bertahan. Dan kemudian kita bertahan. Bersiap untuk yang
terburuk. Berharap untuk yang terbaik. Setiap orang menjadi
bijak saat diserang anjing gila; lebih sedikit yang bijak ketika
dikejar wanita gila; hanya yang paling bijak yang bertahan
saat diserang gagasan yang gila. Kita masing-masing bertahan
dengan cara kita sendiri. Kita tidak tahu apakah kita
diselamatkan dalam satu hari atau sebulan. Harus bersiap
untuk jangka panjang. Harus menjadikan tempat itu rumah
kita. Aturan bertahan hidup : Kemasi parasutmu sendiri.
1. TEMAN BARU
Terkadang, orang menghilang begitu saja. Itulah mengapa
kita harus mencintai dan menghargai mereka saat mereka
masih berada di dekat kita. Bagian tersulit dalam hidup
adalah ditinggalkan oleh seseorang yang kita cintai
meninggal.
“Dasar jahat,” umpatku.
Aku memandang bingkai foto yang berukuran 24R yang
menggantung di dinding yang sudah rapuh, cat-nya juga
sudah mengelupas. Apartemen ini semakin hari semakin
buruk saja.
Foto itu menampakkan sebuah keluarga yang harmonis.
Mereka tersenyum ceria. Dalam foto itu, Ayah dan Ibu duduk
bersama di kursi. Aku dan Kak Roni masing-masing berdiri di
sebelah Ayah dan Ibu. Konsep foto keluarga formal.
Ayah dan Kak Roni mengenakan tuxedo hitam dengan dasi
kupu-kupu warna selaras menambah kemenawan mereka
berdua. Sementara aku dan Ibu mengenakan gaun berwarna
putih dengan potongan yang sempit di bagian atas dan
melebar di bagian bawah. Berbentuk A. Gaun itu membuat
aku dan Ibu tampak lebih anggun.
Hanya foto keluarga itulah yang kupunya sekarang. Dimana
orang-orang dari isi foto itu? Tega-teganya mereka
meninggalkanku begitu saja. Tanpa peringatan. Mereka
menelantarkanku. Bagaimana caraku untuk terus hidup
tanpa mereka?
30 juta tak cukup untuk bertahan hidup. Betapa egoisnya
mereka membuatku terpuruk seperti ini. Aku lebih baik mati
daripada harus hidup tanpa mereka.
Seandainya saja aku ikut juga bersama mereka untuk liburan.
Seandainya saja aku tidak usah ikut ujian dan memilih
berlibur bersama mereka. Seandainya saja aku berada dalam
mobil itu juga dan bersama-sama mengalami kecelakaan
tragis. Seandainya saja aku tahu. Aku akan mencegah mereka
untuk pergi atau ikut mati bersama mereka.
Aura. Itu adalah namaku. Seorang remaja berusia 17 tahun.
Tak ada semangat hidup dan memilih putus sekolah karena
kehilangan keluarganya akibat kecelakaan.
Jumlah tabungan yang mereka simpan tak akan cukup untuk
kehidupanku. Oleh karena itu aku menjual rumah dan
memilih pindah ke apartemen yang memberikan harga
murah per bulannya. Di sini aku memilih untuk menutup diri
dan lebih banyak tinggal di dalam kamar.
White Home merupakan bangunan apartemen yang terdiri
dari 15 lantai dan memiliki rubanah untuk tempat mesin-
mesin seperti saluran listrik. Gedung apartemen ini hanya
memiliki dua lift dan tangga yang tersedia di ujung lorong
setiap lantai.
Apartemen ini juga memiliki rooftop yang dapat digunakan
untuk menjemur.
Layaknya apartemen pada umumnya, White Home juga
memiliki toko serba ada di lantai bawah serta kantor
penjagaan di dekat pintu utama.
Kuusap air mata yang keluar. Aku lelah. Bukan hanya air mata
yang keluar saat menangis. Detak jantungku meningkat dan
napasku lebih lambat. Secara fisik menangis memang terlihat
tak melelahkan, tetapi sebenarnya cukup menguras tenaga.
Aku lapar sekarang. Aku memutuskan untuk merebus mie
instan. Dapur, kamar mandi dan tempat tidurku tergabung
dalam satu ruangan karena ruangan ini memang sempit. Tak
heran jika biaya per bulan apartemen ini terbilang murah.
Sudah ada satu minggu aku hanya mengonsumsi mie instan.
Hal ini berisiko lebih tinggi aku akan mengalami radang usus
buntu. Tapi aku tak peduli. Toh, tidak ada alasan aku harus
bertahan hidup.
Setelah mie-ku sudah jadi, aku buru-buru meniriskannya dari
air rebus kemudian mencampurkan bumbu-bumbu instan.
Sebelum kuaduk, bel apartemenku berbunyi. Aku berjalan ke
arah pintu dan mengintip dari door viewer untuk mengecek
siapa yang ada di balik pintu.
Ternyata seorang remaja perempuan yang sepertinya
seumuran denganku, dia mengenakan seragam sekolah dan
memegang kotak bekal. Aku membuka pintu dengan malas.
“Hai,” sapanya ramah. “Aku Deena. D-E-E-N-A. Kamar 1510.”
Aku hanya menatapnya datar tanpa membalas sapaannya.
“Oh, ini untukmu,” katanya sambil menyodorkan kotak
bekalnya.
Mataku beralih pada kotak bekal, aku masih berdiri seperti
patung, enggan menerimanya. Karena lama aku tak bereaksi
apapun, Deena mengambil tanganku kemudian menyimpan
kotak bekal itu di tanganku.
“Sudah berminggu-minggu kau terus makan mie instan. Aku
tahu karena setiap minggu paket mie instanmu pasti ada di
depan pintu. Kau tahukan itu tidak sehat. Jadi ibuku ingin
memberikan itu padamu, karena kita tetangga, jadi kau juga
harus berbuat baik pada kami,” ucap Deena seraya
tersenyum.
“Aku tidak bisa menerima ini, tapi terima kasih.”
Aku mengembalikan kotak bekal itu pada Deena. Dia
merajuk.
“Apa kau seorang penyendiri?” tanyanya ketus.
“Ya.”
Deena lalu mengintip ke belakangku. Kamarku berantakan.
Tidak ada kehidupan di dalamnya.
“Kupikir perempuan cantik sepertimu tak mungkin
menyendiri, mungkin kau hanya berandal berengsek,” pekik
Deena.
Aku seharusnya tersinggung, tapi tidak, karena itu memang
salahku. Aku juga dengan ketus dan sok tak menerima
pemberiannya. Dia pasti sangat tersinggung.
Baru saja aku akan menutup pintu tanpa harus mengeluarkan
kata untuk mengusirnya, Deena menahan pintu dengan
kakinya.
“Jangan mati disini, kau hanya akan merepotkan banyak
orang. Cari tempat lain,” sindir Deena kemudian berlalu
pergi.
Aku lagi-lagi mematung mencerna perkataannya. Aku
memang tak ada semangat dan alasan untuk hidup, tapi aku
memang sudah memiliki rencana bunuh diri. Apa harus
kulakukan dengan cepat?
Aku menggeleng membuyarkan lamunanku. Aku tidak boleh
mati dulu. Aku harus menghabiskan uangku dulu lalu mati.
Itulah alasanku untuk masih bertahan. Alasan yang terbilang
munafik memang.
Aku menutup dan mengunci pintu lalu sarapan. Setelah
sarapan, perasaan bosan melandaku. Sudah seminggu aku
menjadi seorang nolep. Pasca kecelakaan itu, aku benar-
benar berubah. Bukan Aura yang kukenal. Bukan diriku yang
kukenal. Aku merasa sesuatu merenggut segalanya.
Aku berbaring di lantai dan menatap langit-langit kamar.
Kotor. Sarang laba-laba ada dimana-mana. Aku belum pernah
membersihkan kamar ini semenjak pindah.
Dilain sisi, perkataan Deena tadi menghujam dadaku. Kata-
katanya yang singkat namun menusuk berhasil berkeliling di
kepalaku. Aku memejamkan mata lalu menghembus napas
kasar agar ingatan itu pergi. Tapi nihil.
Dengan diriku yang berubah. Dengan diriku yang sudah
menjadi orang lain yang kasar dan penyendiri aku menyakiti
perasaan orang tak bersalah. Aku rasa aku harus meminta
maaf pada Deena dan Ibunya agar bisa melupakan kejadian
tadi.
Setelah mantap untuk mengatur rencana untuk meminta
maaf pada Deena dan Ibunya, aku bergegas mengambil
handuk dan mandi.
Entah kenapa aku tiba-tiba berpikiran seperti itu, padahal aku
sendiri memutuskan untuk menyendiri setidaknya sejak dua
minggu lalu, tapi satu hal yang aku yakini; setelah aku mati
nanti, tidak ada beban di dunia yang harus kuurus. Dengan
begini, aku mati begitu saja.
Murid SMA biasanya pulang sekitar pukul 13:00 setelah
pandemi Covid-19 mengubah jam pulang anak sekolah lebih
cepat. Sekarang baru pukul 08:35 pagi, jadi aku menunggu
sambil menonton serial Netflix favoritku. Ada sekitar empat
episode aku habiskan dan sudah hampir pukul satu siang.
Aku mematikan laptopku kemudian beranjak dari kasur dan
keluar dari kamar. Ini kali ketiga aku keluar kamar semenjak
pindah ke sini. Pertama, saat membuang sampah. Kedua,
mengambil paket minggu lalu di pintu utama gedung
apartemen. Dan ketiga, hari ini untuk meminta maaf pada
Deena dan Ibunya.
Hanya membutuhkan beberapa langkah ke kamar 1510.
Pintunya tertutup. Aku mengetuk pintu dengan kikuk
kemudian menekan bel dengan bodohnya. Tak lama
kemudian wanita paruh baya membukakan pintu untukku.
Aku tersenyum kikuk dan ia membalas.
Langsung saja aku berpikir bahwa wanita ini adalah Ibunya
Deena. Aku membungkuk hormat padanya.
“Aura, ya? Dari kamar 1506,” sapanya tersenyum ramah.
“Iya, Bu.”
“Kamu suka enggak dengan semur dagingnya? Kami masak
banyak jadi memberikannya juga padamu,” kata Ibunya
Deena sambil mengelus bahuku penuh kasih sayang.
Aku bingung sesaat. Berarti Deena tadi langsung ke sekolah
dan bukannya mengembalikan kotak bekal itu pada Ibunya.
Aku bernapas lega. Aku takut Ibunya Deena akan sakit hati.
“Suka kok, Bu,” elakku.
Aku berbohong. Itu tandanya aku harus benar-benar
menemui Deena untuk memberitahu bahwa aku telah
berbohong demi Ibunya.
“Baguslah. Kamu ke sini mau ngapain, Nak?” tanyanya.
“Deena belum pulang?”
“Belum, tapi sebentar lagi dia akan pulang. Masuklah untuk
menunggunya.”
“Terima kasih, Bu,” ujarku berusaha ramah.
Aku kemudian masuk ke apartemen Deena. Apartemennya
lebih cerah dibanding punyaku. Rasanya tenang dan damai.
Lain kali, aku harus merapikan kamarku agar suasana hatiku
membaik seperti apa yang kurasakan sekarang saat
menginjakkan kaki di apartemen Deena. Sepertinya hanya
aku yang di sini membayar murah.
Aku kemudian duduk di sofa setelah Ibunya Deena
menyuruhku sementara ia melenggang pergi ke dapur.
Mataku menyapu bersih seluruh isi apartemen ini. Mataku
berhenti saat melihat foto keluarga. Deena ternyata anak
tunggal. Isi foto itu hanya ada tiga orang. Deena, Ibu dan
Ayahnya.
Tak lama kemudian, Ibunya Deena membawa senampan
yang berisikan teko kaca dengan jus jeruk di dalamnya dan
dua kelas kaca. Dia meletakkan nampan itu diatas meja dan
menuang jus jeruk ke dalam gelas lalu menyodorkannya
padaku.
Aku dengan kikuk menerimanya lalu meneguknya. Setelah
itu, aku meletakkan kembali gelas ke meja. Sedari tadi Ibunya
Deena selalu memperhatikanku. Aku merasa tak nyaman.
“Kau jarang sekali lho keluar kamar, apa ada masalah?”
tanyanya dengan nada prihatin.
“Aku baik-baik saja, hanya... ingin menyendiri, tidak lebih,”
jawabku.
“Kalau ada apa-apa, jangan malu-malu untuk minta bantuan
pada kami, ya. Apa kau tahu, Deena selalu saja ingin
berteman denganmu, hanya saja kau sangat tertutup,”
ujarnya seraya tersenyum padaku.
Deena dan Ibunya sangat mirip. Deena juga tadi tersenyum
seperti itu padaku.
“Iya, Bu. Terima kasih sebelumnya,” sahutku membalas
senyumannya.
“Oh, iya, panggil aku Bu Intan saja, ya. Supaya terdengar
akrab,” ujarnya sambil terkekeh. Aku mengangguk sebagai
balasan.
Pintu terbuka, menampakkan sosok Deena yang terseok-seok
lalu menutup kembali pintunya. Deena membulatkan
matanya saat menangkapku.
“Kau sudah pulang rupanya, lihat, siapa yang datang,”
sambut Bu Intan pada anak semata wayangnya itu.
Deena langsung saja berlari menghampiri kami seakan-akan
takut akan sesuatu. Deena menarik lenganku yang otomatis
membuatku refleks berdiri.
“Aura, ayo main ke kamarku,” sergah Deena sambil
menarikku menuju kamarnya. Ibunya hanya menatap kami
kebingungan.
Sampailah kami di kamarnya. Dia menghela napas kasar
seakan-akan lega akan sesuatu. Aku bingung.
“Apa Ibuku tahu kau tak menerima makanan itu?” tanyanya
khawatir setelah mengunci pintu kamarnya.
“Tenanglah, aku berbohong padanya. Ternyata kau langsung
ke sekolah, itu bagus, aku juga tak ingin membuat Ibumu
sakit hati,” jawabku dengan nada merasa bersalah.
“Kau pintar juga, terima kasih.”
“Emmm... aku kesini sebenarnya ingin meminta maaf pada
kalian berdua. Maaf karena menolak makanan itu tadi.”
“Akan lebih simpel kalau kau menerimanya tadi,” gumam
Deena.
“Maafkan Aku.”
Dia kemudian melepaskan tas yang sedari tadi bertengger di
punggungnya. Tas itu ia letakkan di atas kasur dan tak lama
kemudian dia ambruk ke kasur.
“Duduklah, jangan berdiri saja,” perintahnya dengan mata
terpejam melepaskan penatnya.
Dengan ragu, aku duduk disudut kasur menunggunya sampai
membuka matanya.
“Ngomong-ngomong kau juga kelas 12, kan?” tanyanya
membuka percakapan dengan mata yang masih terpejam.
“Iya, hanya saja aku berhenti sekolah.”
“Aku tahu. Aku membaca formulir registrasimu soalnya.”
Deena terkekeh.
“Begitu, ya.” Aku tersenyum simpul.
“Aku belum memaafkanmu lho,” cecar Deena sambil duduk
dari baringnya.
Kupandangi dia dengan sikap minta maaf. “Jadi, apa yang
harus aku lakukan agar kau mau memaafkanku?”
“Mudah saja. Ayo berteman denganku,” katanya antusias.
Mengapa orang sepertinya mau saja berteman dengan orang
nolep sepertiku? Teman-teman SMA-ku saja menjauhiku
setelah mengetahui aku depresi. Tidak. Lebih tepatnya
mereka mengira aku gila karena sering mengucapkan kata
“mati”. Itu semua setelah kepergian keluargaku.
Ada rasa aneh di perutku. Bukan sedih dan senang juga,
hanya saja aku tak menyangka ada orang sebaik Deena yang
ingin berteman dengan orang gila sepertiku.
Sempat aku berpikir, kalau Deena dan Bu Intan baik padaku
karena hanya kasihan. Mereka pastinya membaca formulir
registrasiku seperti yang dikatakan Deena tadi. Fakta bahwa
aku yatim piatu, kecelakaan itu dan nasib menyedihkanku.
Aku menimang-nimang. Aku sebenarnya sudah tak ingin
berhubungan sama siapa pun. Itu sebabnya aku menyendiri
sejak dua minggu lalu, agar saat aku sudah mati nanti tak ada
yang harus berduka untukku.
Tapi entah mengapa Deena sangat positif bagiku. Saat dia
menawarkan diri untuk menjadi temanku, ada sesuatu hal
yang tak bisa kudeskripsikan pada diriku, dan berhasil
membuatku lupa akan rencana bunuh diriku.
“Oke. Ayo, berteman!”
Deena menjerit sebelum memelukku erat-erat. “Yeay, kita
akan menjadi teman baik.”
Aku harap Deena benar.
2. PESTA
“Apa ini? Pakaianmu hanya pakaian kasual semua?” tanya
Deena setelah membongkar isi lemariku.
Setelah perbincangan di kamarnya tadi, perihal tentang
“teman”, Deena dengan semangat dan antusiasnya
mengajakku ke pesta perayaan ke-48 apartemen White
Home yang akan dirayakan di aula malam ini.
Aku tak tahu ada pesta semacam itu rupanya. Dan malam ini
perayaan pertamaku setelah pindah. Deena mengajakku ke
pesta dengan maksud keresmian kami berteman. Itu
berlebihan sebenarnya. Tapi aku malas juga untuk
menghentikannya.
“Kau berharap apa? Gaun? Rok mini? Aku tidak memakai itu
Deena. Aku hanya memakai pakaian tertutup dan
membuatku nyaman—“
Lagi-lagi Deena memotong omonganku dan membuatku
kesal. “Aku tak peduli dengan gaya berpakaianmu, jadi... ayo
ke kamarku dan lihat gaun-gaunku.”
Belum aku sempat menjawab, Deena dengan egoisnya
menarik lenganku untuk ikut ke kamarnya.
“Tunggu... kau harus merapikan baju-bajuku lagi, Deen!”
Deena berhenti, kemudian menoleh ke belakang. Dia
tersenyum miring. “Nanti saja, malam ini lebih baik kau
menginap di kamarku ataupun berpesta semalaman tanpa
tidur mungkin,” ucapnya lalu menarikku lagi, aku terseok-
seok dibuatnya.
Deena memilihkan gaun untukku. Semua gaunnya
kebanyakan berwarna hitam seperti potongan kain dan itu
membuatku jijik. Sebagian besar terbuat dari jala dan aku
yakin jika mengenakan itu akan membuat bra-ku kelihatan.
Deena kesal padaku karena selalu menolak gaun pilihannya,
sudah lebih dari sepuluh gaun yang kutolak. Benar-benar
bukan seleraku.
Bu Intan masuk ke kamar Deena, sepertinya dia terganggu
dengan teriakan Deena yang sedari tadi marah-marah.
Seharusnya Deena tidak boleh memarahiku karena ini hari
pertama kami berteman. Tapi dengan sikapnya yang seperti
itu, berarti Deena bukan orang yang munafik.
“Seleramu dengan Aura berbeda, Deen,” kata Bu Intan yang
sedang bersandar di pinggiran pintu sambil melipat tangan di
dadanya.
“Aku kesal, Bu. Apa ada pakaian yang bisa dengan nyaman
dia kenakan untuk pesta malam ini? Aku tak mau
membuatnya berdiam diri di kamarnya. Padahal kami
berteman sekarang,” rengek Deena.
“Sebenarnya aku bisa saja mengenakan salah satu gaun
terbukamu itu, Deena. Aku bisa saja menambahkan dengan
jaket denim dan stocking hitam untuk menutupi sekujur
kakiku. Tapi itu tidak akan cocok dikenakan di pesta. Jadi aku
dilema.” Aku menggigit bibir.
“Sangat tidak cocok, Aura!”
Aku dan Bu Intan tertawa kecil mendengar keluhan Deena.
“Tapi aku sependapat dengan Aura, ini bukanlah pesta besar.
Hanya perayaan biasa, kalianlah yang para remaja apartemen
yang membuatnya seakan-akan pesta besar. Jadi, Aura bisa
saja memakai pakaian kasual atau yang nyaman
menurutnya,” dukung Bu Intan dan aku senang.
“Baiklah, itu lebih baik daripada tak datang ke pesta sama
sekali,” timpal Deena yang akhirnya luluh.
Aku kemudian mengambil salah satu gaun hitamnya dengan
panjang kira-kira diatas lututku dan ada tali penggantung
yang melingkar dibahu berupa tali tipis. Sekarang gaun ini
bukan masalah lagi, aku hanya akan menambahkan jaket
denim dan stocking hitam seperti yang kupikirkan.
Malam yang memesona. Nuansa malam yang indah. Dilangit,
bintang-bintang berkelip-kelip memancarkan sinarnya.
Banyak bintang berjatuhan. Rembulan bercahaya terang.
Angin meliuk-liuk berembus pelan dan tenang. Hawa dingin
menusuk kulit. Sesekali terdengar suara jangkrik, burung
malam dan kelelawar mengusik sepinya malam ini. Malam
yang sepi dan sunyi, setidaknya hanya di luar apartemen.
Orang tua dan para remaja berdatangan ke aula yang berada
di lantai pertama. Aku, Deena, Bu Intan dan suaminya, Pak
Dodi, baru saja sampai.
Aku pikir hanya pesta kecil-kecilan, tapi ternyata sangat
meriah. Orang-orang yang tinggal di White Home sepertinya
datang semua. Kami semua berdecak kagum untuk memuji
dekorasi pesta yang menawan sesuai dengan tema perayaan.
Di sudut dan tengah ruangan di penuhi dengan meja yang
berisikan makanan dengan pendaran cahaya lilin yang
memberi penerangan di suasana malam memancarkan
suasana hangat bagi para tamu yang duduk di sepanjang
meja.
Oh, ternyata ada juga meja billiard di bagian sangat sudut,
cahaya bagian di situ redup sekali.
“Siapa yang menyiapkan semua ini?”
“Tentu saja warga White Home, dong. Kau benar-benar
mengurung diri di kamar saja, sampai-sampai tak tahu,” cibir
Deena.
“Kapan mereka menyiapkan semua ini?”
“Tiga hari yang lalu,” jawab Deena.
Bu Intan dan Pak Dodi bergabung ke meja khusus orang tua,
sementara Deena yang sedari tadi memegang tanganku
menarikku ke kalangan anak muda.
Kami mendapati sekelompok cewek yang otomatis aku
berpikir itu adalah teman Deena.
“Hai semuanya...,” sapa Deena dengan seulas senyum,
mereka semua membalas dengan senang.
Aku duduk di samping kanan Deena. Yang lain tak berhenti
menatapku dan membuatku tak nyaman.
“Dia adalah orang yang tinggal di kamar 1506, Aura, kalian
tahu itu, kan?” Deena memberitahu mereka dan tatapan
bingung mereka pun menghilang.
Satu demi satu mereka mengangguk dan tersenyum padaku.
Mereka semua sangat ramah.
“Hai, Aura. Aku mendengar banyak hal tentangmu dari gosip
yang beredar, aku harap kau tak apa-apa,” ucap cewek yang
duduk di sebelah kiriku. “Sekedar informasi, namaku Dami,
aku happy virus mereka disini.” Kami berjabat tangan.
“Aku Salwa. Kami senang Deena membawamu ke pesta,”
ucap cewek yang berbadan kecil dan ramping. Rambutnya
yang cokelat menyala disanggul asal-asalan dan membuatnya
cantik natural.
“Halo... Aku Peggy. Namaku lucu, bukan? Aku tahu. Senang
berkenalan denganmu,” goda Peggy dan aku tersenyum
membalasnya.
Aku menunggu satu orang lagi yang akan berkenalan diri.
Tapi orang itu hanya menunduk malu. Sepertinya dia seorang
introvert, sama sepertiku.
Menyadari hal itu, Deena membuka suara. “Oh, ini Nadin. Dia
pemalu, tapi setelah kau mengenalnya lebih dekat, jangan
terkejut, karena dia misterius.” Deena meledek Nadin dan
akhirnya mendapat pukulan dari yang di ledeknya.
Suasana pesta sendiri berlangsung ramai dengan sebagian
tamu merupakan kalangan anak muda. Konsep pesta
mengusung nuansa modern dengan suguhan warna yang
membuat betah berada di dalam ruangan.
Ruang area yang cukup luas dipadu hiasan dekorasi dinding
warna krem membuat menarik suasana pesta. Sajian makan
dan suguhan alunan musik menambah suasana menjadi
syahdu.
Deena, Dami, Salwa, Peggy dan Nadin berbincang-bincang
tentang awal mula mereka bertemu kemudian menjadi
bersahabat setelah tujuh tahun lamanya padaku. Aku tak
pernah menyela omongan mereka, aku asyik mendengar
percakapan yang hangat di antara mereka berlima.
Mereka semua membicarakan diri dan serunya persahabatan
mereka seakan-akan secara tidak langsung mengajakku untuk
bergabung. Aku tertarik mengenal mereka lebih jauh. Mereka
ramah dan hangat. Mereka membuatku melupakan rencana
bunuh diri malam itu.
Pandanganku kemudian beralih pada Pak Reza, yang adalah
seorang satpam, ia cepat-cepat berlari keluar dari pesta
menutup hidungnya yang sedang mimisan. Mataku mengikuti
langkahnya yang cepat sampai dia menghilang di telan
dinding pemisah.
Pesta berlangsung selama lima jam. Selama itu orang-orang
yang ada di dalamnya menari, makan, bermain billiard dan
lain sebagainya. Tak lupa mendengar sambutan dan pidato
Bu Rizka, pendiri apartemen 48 tahun lamanya. Sesekali
tamu ada yang keluar untuk ke toilet atau pulang lebih awal.
Sekarang sudah pukul dua belas malam lewat. Sudah tengah
malam. Pesta juga sudah berakhir. Para tamu keluar dari aula
menuju lift. Ada sekitar ratusan orang yang antre
dikarenakan lift hanya ada dua yang kapasitasnya hanya 6
orang per lift.
Bu Intan dan Pak Dodi pulang lebih awal tadi. Sekarang tamu
yang antre kebanyakan anak muda dan beberapa orang tua.
Aku, Deena, Dami, Salwa, Peggy dan Nadin memilih duduk
dilantai mencium lutut dan membiarkan para orang tua yang
lebih dulu naik ke lift. Deena dan Dami terlihat sudah
mengantuk. Salwa dan Peggy terlihat masih segar dan
mereka berdua berbincang tentang menu makanan di kantin
sekolahnya. Nadin sendiri sedang sibuk dengan ponselnya.
Pintu utama, jendela dan pintu-pintu lain sudah tertutup oleh
shutter. Betapa rajinnya Pak Reza bekerja sebagai satpam.
Dia sudah bekerja keras. Aku membayangkan sulitnya
menjadi Pak Reza yang harus melakukan pekerjaan di
apartemen 15 lantai ini.
Mimisan tadi itu pasti karena kelelahan. Bayangkan saja Pak
Reza akan kesusahan terlebih lagi hanya dia satu-satunya
satpam di sini. Atau mungkin ada pergantian shift dan aku tak
tahu karena jarang keluar kamar.
“Ah, sial. Aku harus ke kantor jam segini? Ada keadaan
darurat apa sih?” gumam seorang Pak Tua yang sudah sedikit
beruban saat melihat pesan di ponselnya.
Ponsel Pak Tua itu berdering, dan langsung saja dia
mengangkat telepon itu.
“Halo... ya, aku tahu... tapi sebenarnya ada apa? Jangan
bercanda... baiklah, aku akan segera ke sana...” Pak Tua itu
lalu memutuskan sambungan telepon dan menyimpan
ponselnya di saku celananya.
Pak Tua itu kemudian berjalan ke pintu utama dan berusaha
mengangkat shutter besi yang menjadi pengaman pintu
utama. Nihil, usahanya sia-sia. Semua pasang mata
memperhatikan aktivitas Pak Tua itu sambil menunggu giliran
naik lift.
“Pak, kau tidak bisa melakukan itu,” tegurku.
Pak Tua itu menoleh garang padaku. Merasa malu atau
marah. Aku tak tahu.
“Dimana satpamnya? Aku buru-buru!” teriaknya.
Semua orang dibuat terkejut olehnya. Pak Tua itu melihat
kantor manajemen terkunci, gagang pintu kantor juga terlilit
rantai kemudian gembok besar sebagai penutupnya.
Dia semakin frustrasi, kurasa panggilan tadi benar-benar
penting. Pak Tua itu kemudian berlari entah kemana. Dia
sudah menghilang.
“Ada apa sih dengannya? Bikin khawatir saja.”
“Tapi kemana satpamnya, ya?”
“Pak Reza tadi ada di pesta, kan?”
“Entahlah, aku tidak memerhatikan.”
“Jam segini mana mungkin pintu utama di tutup.”
Para anak cewek bergosip. Sesekali anak cowok juga
nimbrung.
Aku mulai merasa aneh dan ternyata bukan aku saja.
Pasalnya, ini adalah gedung apartemen yang 24 jam akan
terjaga oleh satpam. Pak Reza mungkin saja kecapekan tapi
ada yang dibilang pergantian shift.
Jadi kemana perginya satpam yang seharusnya bekerja di
pergantian shift itu?
Sesaat malam menjadi mencekam. Mendung pun kembali
datang. Serentak alam menjadi kelam. Awan tertutup kabut.
Awan tampak semakin menghitam. Sekejap malam menjadi
kian gelap. Kini semilir angin bertiup kencang. Rintik hujan
membasahi pepohonan. Sepanjang jalan menjadi licin.
Tercium aroma tanah yang tersirami air hujan. Seolah
memecahkan kesepian dan kesunyian malam.
Malam itu semakin mencekam saja. Lift yang awalnya dalam
keadaan baik-baik saja berubah status “dalam perbaikan”.
Padahal masih ada puluhan orang yang belum sempat naik
lift. Perasaanku campur aduk.
“Eh, ada apa ini? Kenapa tiba-tiba liftnya rusak?”
“Tidak mungkin kita harus naik tangga, kan, ke lantai atas.”
“Sial, yang benar saja, dong!”
“Satpamnya bagaimana, sih? Tidak becus.”
Tak memungkinkan memang melawan kantuk untuk naik
tangga sampai ke kamar. Tapi ada juga beberapa di antara
mereka lebih memilih naik tangga daripada harus menunggu
pagi.
Tak lama kemudian Pak Tua itu kembali.
“Pintu belakang dan pintu ke tempat parkir juga terkunci,”
katanya dengan wajah panik tapi sikapnya sudah sedikit
tenang. Tidak. Tapi berusaha tenang.
Aku berdiri dari dudukku dan yang lain juga ikut. Mereka
sepertinya membaca keadaan bahwa ada sesuatu yang aneh.
“Maksudmu, kita terkurung?” tanya Bu Rizka.
“Bisa jadi seseorang mengunci kita,” jawab Pak Tua.
BOOM...
Suara ledakan terdengar di kejauhan, tepatnya dari luar
apartemen. Dentumannya menggetarkan rentetan kaca yang
terpasang di sepanjang koridor.
Semua orang berteriak, terkejut. Semakin aneh saja.
“Ada apa sih sebenarnya?” tanya Peggy yang sudah
bersembunyi di balik punggung Dami.
“Entahlah, tapi ini seperti adegan dalam film horor,” jawab
Dami yang mematung shock.
“Sumpah, perasaanku mulai tidak enak,” imbuh Deena.
“Kita harus segera membuka pintu, sesuatu telah terjadi di
luar,” usul Pak Tua kemudian mengambil APAR (Alat
Pemadam Api Ringan) yang menempel pada tiang dinding.
Langkahnya menuju kantor manajemen. Sepertinya dia akan
merusak gembok agar bisa masuk ke kantor dan membuka
pintu utama. Semua yang menyaksikan itu, terkejut dengan
suara nyaring dari pergesekan APAR dan gembok. Pak Tua itu
sungguh melakukannya.
Gemboknya berhasil dirusakkan. Rantai-rantai dan
gemboknya jatuh ke lantai menjadi kepingan. Deruan napas
Pak Tua tak teratur akibat usaha yang ia keluarkan. Dia
kemudian masuk ke kantor.
“Astaga, dia benar-benar melakukannya.”
“Aku tak habis pikir.”
KRING! KRING!
Ponsel Deena berdering. Telepon dari Bu Intan. Tanpa pikir
panjang dia langsung mengangkatnya.
“Entahlah... lift tidak berfungsi dan sesuatu telah terjadi di
bawah sini... Aku tidak tahu, aku juga mendengar suara
dentuman dari luar. Terdengar bodoh, tapi kami benar-benar
terkunci, Bu.” Tatapan Deena membuat kata-kataku
tersangkut di tenggorokan.
“Tidak usah menyusul... Pak Hazan sedang mencoba
memperbaikinya di kantor... tenanglah, Bu, aku akan
kembali...,” lanjut Deena kemudian memutuskan sambungan
telepon.
Ternyata Pak Tua itu adalah Pak Hazan.
Mulutku membentuk setiap kata tanpa suara. Aku tidak
sanggup mendorong udara keluar dari mulutku untuk
mengucapkan kata-kata yang akan membuat Deena
menjelaskan maksudnya.
“Ada apa, Deen?” Untung saja Salwa bertanya.
“Ibuku juga mendengar suara dentuman. Dia melihat sesuatu
di luar dari jendela. Kecelakaan katanya. Dan banyak orang
yang berlarian. Tapi anehnya, mereka bukannya berlari untuk
menolong si korban kecelakaan, tapi berlarian tidak jelas gitu
lho, Ibuku merasa aneh, makanya dia telepon,” jelas Deena.
“Malam ini kenapa aneh banget, sih?” Nadin frustrasi.
“Tapi seru, deh, kek di film-film gitu,” ujar Dami terkekeh.
“Apanya seru? Perutku sudah mules, itu tandanya keadaan
tidak baik-baik saja,” timpal Peggy lalu duduk kembali.
“Apa sebaiknya tidak usah membuka pintu? Perasaanku tidak
enak,” bisikku.
“Ya, harus, dong. Kita harus mengetahui keadaan di luar,”
sergah Deena padaku.
“Tapi, pasti ada alasan kenapa kita terkurung,” gumamku.
“Jangan berpikir yang tidak-tidak, deh.”
“Sudah siap. Pintunya akan terbuka. Sakelarnya ditemukan,”
teriak Pak Hazan dalam kantor manajemen.
“Buka.”
“Kenapa diturunkan, sih?”
“Entah, cuma perlu menekan tombol.”
“Kini bisa keluar.”
Orang-orang yang tersisa berlarian menuju depan pintu
utama. Sepertinya mereka juga penasaran akibat suara
dentuman keras itu.
Aku, Dami dan Salwa ikut mencoba menengok. Sedangkan
Deena, Nadin dan Peggy hanya berdiri di paling belakang
kerumunan, takut.
Shutter perlahan-lahan terangkat.
3. KIAMAT
Sementara shutter perlahan-lahan terangkat, perlahan-lahan
juga menampakkan sosok Pak Reza yang sedang berdiri di
sana. Kini shutter sudah sepenuhnya terangkat. Keanehan
semakin menjadi-jadi.
Pak Reza berdiri dengan kepala miring ke kanan. Seluruh
seragam, wajah dan mulutnya dipenuhi darah.
“Pak Reza..?”
“Apa itu? Ada apa dengannya?”
“Ada darah di mulutnya?”
“Bajunya juga.”
Pak Hazan keluar dari kantor manajemen dan membulatkan
mata melihat pemandangan yang ada di depannya.
“Turunkan lagi,” gumam seorang cowok yang ada di dekatku,
wajah cowok itu menegang.
Dengan berjalan terseok-seok, Pak Reza masuk. Semua orang
menyingkir terbagi menjadi dua kelompok untuk menyisakan
jalan tengah kemudian Pak Reza berjalan di tengah itu.
Aku pikir sudah salah lihat karena cahaya sedikit redup saat
Pak Reza berdiri di depan pintu utama dengan dipenuhi
darah. Ternyata tidak.
Saat Pak Reza sudah berada di tengah-tengah kami, dia
berhenti. Semuanya sudah jelas sekarang. Darah itu sungguh
ada. Kuperhatikan semua wajah orang-orang yang sedang
menegang. Semuanya bungkam.
Pak Reza mengangkat wajahnya pelan-pelan, lalu membuka
mulut dan memunculkan suara erangan. Wajah Pak Reza
hancur dan semua orang melotot akan hal itu.
“ARRRGHHH...” Bu Rizka berteriak histeris.
Mendengar teriakan itu, Pak Reza langsung menerkam Bu
Rizka – Bu Rizka jatuh terlentang dan Pak Reza berhasil
menindih Bu Rizka. Orang-orang tak ada yang berani
membantu. Semuanya mundur dan sebagian mencari tempat
bersembunyi.
Orang-orang yang masih menyaksikan itu ikutan panik. Kami
semua ingin menolong Bu Rizka tapi tak ada yang berani
maju. Pak Reza terlihat seperti berusaha menggigit leher Bu
Rizka.
Bu Rizka mencoba menahan kepala Pak Reza agar tak
menggigitnya. Bu Rizka menjenggut rambutnya, tapi Pak Reza
tak berhenti mencoba menggigit.
“HEY, PAK, JANGAN BEGITU!”
“TOLONG SAYA!” teriak Bu Rizka dengan pilu, tenaganya
terlihat mulai habis.
“HEY, PAK, BERHENTI!”
Pak Reza tetap saja menekan kepala terus mendekati leher
Bu Rizka. Adegannya semakin berbahaya saja. Pandanganku
kemudian beralih pada cowok yang ada di sampingku sedang
berjalan ke kulkas dan mengambil pot yang terbuat dari
tanah liat yang ada di sekitar situ.
Setelah mengambil pot, cowok itu mempercepat langkahnya,
ia berlari penuh mendekati Bu Rizka dan Pak Reza.
Dibenturkannya pot itu ke kepala Pak Reza dan berhasil
tumbang dan pingsan. Bu Rizka bernapas lega kemudian
mulai menangis. Cowok itu lalu membantunya berdiri.
“Ibu, tidak apa-apa?” tanyanya dan Bu Rizka mengangguk.
“Syukurlah,” gumam cowok itu.
“Terima kasih, Ray,” ucap Bu Rizka.
Para orang dewasa kemudian membantu Bu Rizka untuk
menjauh dari sana dan memberikannya air mineral. Orang-
orang yang tadinya berlari mencari tempat untuk
bersembunyi, sudah keluar dari persembunyian mereka
masing-masing, kemudian bernapas lega melihat Pak Reza
jatuh pingsan.
“Apa itu tadi?”
“Itu bukan manusia,” sahut Ray, napasnya memburu.
“Benar-benar gila,” kata Dami memerhatikan Pak Reza yang
masih pingsan.
“Kalian pikir ini masuk akal?” tanya Deena kemudian.
“Tentu saja tidak,” geram Salwa.
Peggy jatuh lemas ke lantai, “Aku ingin pulang,” rengeknya
lalu mengeluarkan air mata. Melihat itu, Nadin memeluk
Peggy.
Kulihat Pak Hazan menekan tombol nomor yang ada di
ponselnya, sepertinya sedang mencoba menelepon
seseorang.
“Halo... aku—“ kata Pak Hazan terpotong kemudian
membelalakkan mata.
“Ada apa, Pak?” tanya Dami yang juga melihat hal itu.
“’Saat ini semua operator sedang sibuk dengan laporan
bencana. Mohon tunggu!’ Itu katanya,” jawab Pak Hazan.
“Bencana?” gumam kami semua.
“Bukannya memang sedari tadi aneh, kan?” timpal seseorang
di antara kami.
Suara erangan kembali muncul. Suara itu dari belakang kami
– kami semua menoleh dan melihat Pak Reza sudah sadarkan
diri dan kembali berdiri dengan kaku. Ia mengangkat kepala
dan berlari menerkam orang yang memang tak jauh berdiri
dari sana.
Orang yang diterkam adalah anak cewek yang seumuran
denganku. Astaga, itu teman sekolah Deena.
“AMEL!!” teriak Deena.
Kepala Pak Reza menghujam ke leher Amel. Mulutnya yang
terbuka menempel pada kulit Amel. Darah memercik ke
berbagai arah. Kami semua berteriak. Kami tak yakin dengan
apa yang kami lihat. Pak Reza benar-benar menggigit leher
Amel.
Aku merasa mual melihat darah yang menyembur dari leher
Amel dengan begitu kencang, seperti semprotan minyak
pada tambang yang baru digali.
Pak Reza terus saja menghisap darah Amel seperti kesetanan,
seperti tak menyadari kehadiran kami dan hanya fokus ke
Amel.
“BERHENTI!! BAPAK SUDAH GILA YA!” teriak Pak Hazan. Ia
sadar harus melakukan sesuatu agar Pak Reza berhenti
melukai Amel karena sedari tadi ia memang hanya
mematung.
Para orang dewasa yang lain pun hanya berdiri di belakang
kami. Pengecut. Itulah yang ada di pikiranku.
Pak Reza tak peduli.
“HEY!” teriak Pak Hazan lagi.
“To... long!” Amel memohon. Nyaris tak terdengar.
Tiba-tiba aku mendengar langkah berlari. Seorang cowok
datang dari belakang, langsung berlari mendekati Pak Reza
dan menyepaknya sekuat tenaga.
“MAMPUS KAU!” teriaknya.
Tendangan cowok itu tepat mengenai tubuh Pak Reza yang
langsung mental dan tersungkur. Sepakan yang membuat
kami kaget sekaligus bersyukur. Amel akhirnya bisa lepas dari
gigitan Pak Reza.
Anehnya, Pak Reza tidak berteriak atau mengaduh dengan
sepakan sekeras itu. Apa jangan-jangan benar kata Ray,
bahwa Pak Reza bukan manusia lagi. Dan sekarang Pak Reza
bangkit seperti tak merasakan apa pun dari sepakan cowok
itu.
Dengan cepat kami menjauhi Amel dari Pak Reza. Kami
mengangkat tubuh Amel yang sudah bersimbah darah
dengan luka menganga di bagian leher.
Sementara itu, Pak Reza berdiri sambil memandang tajam ke
arah kami. Ia berjalan menghampiri dengan lambat.
Tangannya menjulur ke depan dengan jari-jari seolah ingin
mencakar. Mulutnya terbuka, air liur kental bercampur darah
menetes keluar, terdengar erangan suara yang serak.
“BERHENTI!” Pak Hazan berteriak.
Pak Reza tetap tak berhenti. Kami semua mempercepat
langkah kami menyeret Amel. Ray yang awalnya membantu
kami menyeret Amel, mendekati Pak Reza dan melayangkan
pukulan sekuat tenaga.
“ORANG GILA.”
BUGH!
Pukulannya tepat mengenai wajah Pak Reza yang langsung
jatuh terjengkang. Cowok itu kemudian membantu Ray
melawan Pak Reza yang masih saja sanggup berdiri.
Pak Hazan kalang kabut. Aku marah padanya karena hanya
dialah orang tua yang ada di bagian depan karena yang
lainnya ada di belakang, tapi tak mau ikut membantu.
Kami kemudian meletakkan Amel yang terus mengaduh
lemah dan seseorang datang membawa kotak P3K. Aku
membuka kotak P3K yang berdebu itu dan mengambil
segulung perban kemudian melilitkannya perlahan ke leher
Amel.
Aku tahu perban tak bisa sepenuhnya menghentikan
pendarahan. Tapi aku juga tak bisa terus-menerus menahan
darah yang mengalir deras dengan tanganku. Bahkan
sekarang lenganku mulai terasa kesemutan. Aku lalu
menyandarkan tubuh Amel pada tembok.
“Amel...” Tangis Deena pecah.
Aku kemudian menoleh ke belakang. Ray dan cowok itu
masih berjuang melawan Pak Reza. Mereka berdua berusaha
mendorong Pak Reza ke pintu utama.
“Pak Hazan!” teriak Ray.
Pak Hazan tak menjawab dan membuat Ray berteriak lagi.
Pak Hazan yang awalnya mematung kini sudah sadar dan
menjawab.
“Turunkan pintu saat kuberi tanda!”
“O-oke...” Pak Hazan berlari dengan cepat masuk ke dalam
kantor manajemen.
“PAK! TURUNKAN SEKARANG!” teriak Ray saat mereka
berdua sudah berada di luar.
Kini, perlahan-lahan shutter turun.
“Tapi, bagaimana cara mereka masuk lagi.”
“Kita harus berbuat sesuatu.”
“Aku takut!”
“Duh, bagaimana ini?”
“Sial, pintu sudah mau tertutup.”
“Biarkan saja, dengan begini kita aman.”
“Itu sama saja kalau kita membunuh!”
Orang-orang hanya banyak bicara tanpa melakukan sesuatu,
terutama para orang dewasa. Aku kesal dibuatnya. Tanpa
berpikir panjang, aku berlari menuju pintu utama dan
menahan shutter agar tak turun sepenuhnya.
“CEPAT!” teriakku pada Ray dan cowok itu yang masih
mendorong Pak Reza.
Cowok itu melepaskan pegangannya dan membuat Ray
sendirian yang mendorong Pak Reza. Aku khawatir. Mengapa
cowok itu egois sekali?
Ternyata tidak, pikiranku salah. Cowok itu malah mengambil
batu yang ada di sekitar situ, dan melayangkan ke kepala Pak
Reza – Pak Reza ambruk. Cowok itu menindih Pak Reza dan
berkali-kali memukul kepala Pak Reza hingga hancur.
Ray terkejut sekaligus bersyukur. Ray lalu menarik lengan
cowok itu dan membuatnya berhenti memukul Pak Reza.
“CEPATLAH!!” teriakku lagi.
Kini Pak Reza benar-benar sudah tak bisa bangkit lagi.
Akhirnya mereka berdua berlari ke arahku dan masuk ke
gedung lalu menarikku yang sedari tadi menahan shutter di
bahuku. Dan sekarang, pintu sudah tertutup.
Napas kami bertiga tersengal-sengal. Kaki terkulai lemas dan
membuat kami ambruk ke lantai.
“Terima kasih,” ucap cowok itu padaku.
“Apa itu tadi?” desahku.
“Entahlah, tapi yang pasti bukan manusia,” jawab cowok itu.
Cowok itu menetralkan napasnya lalu berdiri. Dia
mengulurkan tangannya dan kuambil, ia membantuku
berdiri.
“Aku Joshua, kamar 1204,” katanya memperkenalkan diri.
“Aku Aura.”
Cowok itu lalu melakukan hal yang sama pada Ray.
“Sudah pergi?”
“Entah.”
“Kurasa sudah.”
“Pelan-pelan saja!”
“Kalian baik-baik saja?” tanya Pak Hazan pada kami – kami
menoleh dan mendapatkan Pak Hazan di belakang kami, air
matanya keluar. Yang lain juga ikut maju ke depan, karena
merasa sudah aman.
“Maafkan aku karena tidak berbuat apa-apa.” Pak Hazan
berlutut di depan kami dan menangis sejadi-jadinya.
“Padahal aku orang dewasa,” lanjutnya.
Joshua berdecak kemudian berlalu pergi. Sepertinya, dia juga
ikut kesal pada Pak Hazan dan para orang dewasa lainnya.
Kulihat saat ia berlalu, dia memandang tajam pada orang
dewasa.
Ray membantu Pak Hazan berdiri. “Tak masalah, Pak.”
“Apa tindakan pemerintah mengenai ini?” tanya salah satu
orang dewasa.
“Mereka pasti akan mengurusnya,” jawabku seadanya.
“Pajak kami besar. Tapi mereka tak bisa mengurus satu
zombie!”
“Tidak...” gumam Ray dengan matanya fokus ke luar. “Bukan
hanya satu.”
Aku menatapnya bingung, kemudian mengikuti arah pandang
Ray. Mataku melotot terkejut dengan apa yang kusaksikan di
balik shutter dengan pintu utama yang terbuat dari kaca dan
menampilkan beberapa orang seperti Pak Reza tadi.
Beberapa mendekat. Langkah mereka kaku, seperti berat
untuk mengayunkan kaki, lebih terlihat menyeret-nyeret kaki
sendiri. Mata mereka terbelalak tak berkedip, menunjukkan
bola mata yang hitam tak berpupil.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanyaku, nyaris tak
terdengar.
“Entahlah. Mungkin dunia... akhirnya akan kiamat,” jawab
Ray.
4. ATURAN
Kepergian itu seperti kabut pagi yang ditampar mentari.
Hilang seketika. Tak berbekas. Bahkan serasa tak pernah
ada. Serupa mimpi yang musnah sesaat setelah mata
terbuka. Itu ada dalam ketiadaan. Kadang sengaja kembali
kututup mataku. Mungkin dengan demikian mereka akan
muncul.
Menemani sekejap. Namun, lagi-lagi hilang. Bahkan ketika
kutengok setiap ruang dalam kepalaku, mereka tak ada.
Aku kehilangan tanpa memiliki. Ini bodoh.
Ini tidak masuk akal. Tak bisa kuhentikan.
Kepergian Amel menyisakan pilu terdalam bagi warga
apartemen. Deena masih menangisi Amel di sampingnya
yang sudah ditutupi kain putih. Pintu utama di blokir
dengan meletakkan barang-barang berat agar makhluk-
makhluk itu tidak dapat masuk.
Dalam film-film, jika zombie menggigit, maka yang
digigitnya juga akan berubah menjadi zombie. Kami semua
sudah bersiap untuk itu agar jika Amel nanti berubah, kami
dapat mempersiapkan diri. Tapi nihil. Amel tak berubah.
Aku tak tahu harus bersyukur atau bagaimana. Berubah
atau tidak, Amel cuma mayat sekarang.
Cekret...
“Apa yang kau lakukan?” tanya Salwa.
“Mereka tak bisa melihat langsung. Ini usaha terakhir. Aku
mengecek nomor telepon keluarganya untuk dikabari,”
ucap Deena setelah mengambil foto Amel.
“Sebaiknya mereka tak melihatnya begini.”
“Memang tidak.”
Setelah Deena melakukan hal itu, dua orang dewasa
mengangkat jasad Amel ke gudang. Malam hari dingin
dicekam ketakutan. Aku tahu kami tak bisa mengharapkan
bantuan saat ini. Mata hitam, liar dengan nafsu yang
menggelora untuk memangsa kami sedang berkeliaran di
luar.
“Kita terkunci, di luar sedang tidak baik-baik saja. Berarti
kita aman, kan? Kalau begitu, aku mau naik ke atas saja,”
pikir Ika.
Aku dan Ika belum berkenalan secara resmi, kami hanya
saling mengetahui nama karena pesta itu.
“Kita terkurung bodoh. Kita tidak aman,” cemooh Zack.
Sama dengan Zack, kami tak saling mengenal satu sama
lain. Aku hanya tahu nama mereka semua karena pesta.
“Memang. Tapi maksudku dengan kita terkurung, jadi tidak
ada zombie di gedung ini, makanya aman-aman saja jika ke
atas dengan naik tangga,” jelas Ika lalu menatap sinis Zack.
“Sialan, kau bodoh atau bagaimana? Kau tidak tahu, ya,
situasi semacam ini justru membahayakan dalam film-
film,” berang Zack.
“Ah, entahlah. Aku hanya ingin ke apartemenku.” Ika
menekuk lutut lalu membenamkan wajahnya.
“Putraku masih belum pulang. Jangan adang pintunya! Jika
Agam alami sesuatu, itu salah kalian.” Bu Wina mencoba
menghentikan orang-orang yang sedang menghadang
pintu. Satu persatu orang dewasa meletakkan benda berat
di sana.
“Tolong tenanglah.”
“Adang pintunya,” kata Joshua datar.
“Dia disini. Aku akan cepat menjemputnya. Buka pintunya.
Ya?” sahut Bu Wina setelah memperlihatkan sesuatu di
ponselnya pada Joshua.
“Tidak bisa.”
“Memangnya kau siapa?” berang Bu Wina.
“Aku tak mau membahayakan tempat ini,” balas Joshua
lalu mendorong kembali lemari kayu untuk menghadang
pintu. Tapi Bu Wina masih bertekad untuk
menghentikannya.
“Tolong berhenti. Tolong buka pintunya!”
TING... TING... TING...

Anda mungkin juga menyukai