Anda di halaman 1dari 4

Judul: ANTARA ACEP DAN ARMAN

Karya: Martina Indah Purnamasari

Namaku Arman, aku tinggal di jakarta seorang diri. Ibu dan ayahku sudah
lama meninggal. Aku tak mempunyai satu pun saudara di kota.

Siang ini hujan mengguyur Kota Jakarta. Aku berteduh di warung terdekat
dan memesan segelas teh untuk menghangatkan tubuhku.

“Bu tehnya satu.” Pintaku kepada pemilik marung

Aku menatap hampa jalan seberang, kulihat anak sedang menawarkan


payung.

“Payungnya pak, bu biar gak kehujanan.”Tawarnya

Bajunya sudah tak layak pakai lagi. Ia sungguh dekil. Tiba-tiba ibu pemilik
warung itu datang membawakan teh pesananku. Membuat lamunanku
buyar.

Segera kuseruput tehku dan kuambil gorengan yang berada di depanku,


kemudian aku kembali mengamati anak itu. Sesekali anak itu balas
menatapku. Anak itu terlihat sangat kelaparan. Kuseruput habis tehku lalu
kubayar. Aku mencoba mendekati anak itu. Anak itu menawarkan hal yang
sama padaku.

“Payungnya mas biar gak kehujanan.”Tawarnya kepadaku

Hujan semakin deras didampingi angin yang bertiup kencang. Kilat dan
suara gemuruh guntur pun tak mau kalah. Kuajak anak itu berteduh di
warung tadi. Anak itu mengiyakan ajakanku. Sesampainya di warung aku
memesan teh dan nasi.Aku bertanya pada anak itu.

“Siapa namamu?”

‘Saya Acep, mas sendiri siapa?”Tanya balik anak itu

“Saya Arman.” Jawabku

Ibu pemilik warung itu kembali datang membawa pesanan keduaku. Aku
mempersilakan anak itu untuk makan.

Anak itu tidak memakannya. tetapi meminta pada Ibu penjual nasi itu
untuk membungkusnya.“Bu, aku dirumah mempunyai ibu,” kata Acep
menatapku sejenak, lalu melihat pada Si Penjual.

Si Penjual itu tersenyum dan melakukan apa yang dimaui Acep.


Aku tak sepenuhnya paham dengan apa yang dilakukan Acep. Aku
menyelanya:“Kau bisa memakan itu dan membungkuskan lagi untuk
ibumu. Aku akan membayarnya.”

Acep menatapku dengan sangat sopan. “Tapi saya sudah sangat berterima
kasih dengan traktiran sebungkus saja. Saya tidak menggantungkan diri
terlalu banyak dari belas kasihan orang.”

Aku terkejut dengan jawaban Acep. Kukontrol diriku sendiri untuk tak
menunjukkan keterkejutan sepenuh keheranan tersebut. Akan tetapi mau
tak mau aku tak bisa berhenti menatapnya begitu saja. Malahan kian aku
menolak keinginan tersebut.

Kemudian aku ingin mengikuti keberadaannya. Tak lama kemudian kami


bertatapan lagi sangat lekat, lalu Acep berpamit kepadaku dengan sangat
sopan sembari mencium tanganku.

“Kenapa buru-buru?”Tanyaku.

“Duluan mas.” Jawab Acep tanpa mengatakan apa-apa lagi.

Kenapa dengannya? Apa aku membuatnya takut? Apa aku telah


menyingung perasaannya? Kenapa dia langsung pulang?

Arlojiku menunjukkan jam 3 sore. Aku segera pulang ke rumah. Seperti


biasa aku di rumah hanya seorang diri. Kuambil handuk dan segera mandi.
Jam berlalu sangat cepat. Aku menuju kamar untuk tidur. Aku merebahkan
tubuhku ke kasur dan terus memikirkan apa yang di maksud acep. Apa hari
ini aku hanya bermimpi.

Hari demi hari telah kulewati. Kejadian itu telah aku lupakan. Aku melalui
hariku seperti biasannya. Malam berganti pagi. Aku bangun untuk lari pagi.
Kuambil handuk kecilku dan kukalungkan di leherku. Kubuka pintu
rumahku.

Dari kejauhan, kulihat seorang ibu berbalutkan kain dengan baju atasan
kumal sedang menuntun sepeda tua. Sepeda itu membawa dua bagor dan
tumpukan kardus pada boncengannya. Sesosok anak remaja mengikuti di
sebelahnya.

Ia mencoba turut membantu mendorong beban sepeda yang berat tersebut.


Ibu dan anak itu tampaknya bahu membahu mencari barang rongsokan
dan membawa ke pengepul atau membawa pulang. Entahlah, ke mana
mereka membawanya.
Aku teringat pada sosok Acep yang kutemui pekan lalu. Ah, kukira Acep
tidak cukup makan bergizi, tapi memiliki ibu. Mungkin juga sepasang ibu
dan anak di kejauhan tersebut juga demikian; mereka tak memiliki rumah
nyaman, makanan bergizi dan mampu membeli pakaian bagus.

Tapi kebersamaan itu? Hati yang dapat bicara satu sama lain; berbagi
kepedulian, kesedihan dan kegembiraan kecil. Betapa indahnya saat saat
kebersamaan dengan seseorang yang siap mendengar keluh kesah kita dan
siap menyentuh bahu kita ketika kita ingin merasakan betapa dalam
perhatian itu. Sekarang ini aku sangat ingin merasakannya. Kenapa aku
memikirkannya begitu dalam?

Sebenarnya siapa yang harus mengasihani siapa? Aku kah yang harus
mengasihani Acep karena tidak dapat hidup layak dengan memiliki rumah,
makanan dan pakaian yang layak serta kesenangan lain seperti anak anak
di usiaku dulu?

Aku memiliki banyak sekali mainan di rumah, bisa lihat TV dengan layar
yang lebar, bepergian dengan mobil ke tempat tempat menyenangkan,
membeli pakaian dan makanan yang bagus bagus dan enak-enak dengan
harga yang mahal dan di tempat tempat yang bagus.

Tetapi pada akhirnya, ibuku meninggal karena tak tahan menahan malu,
dan bapakku mengakhiri hidupnya sendiri di luar kewenangan Tuhan yang
menghidupkannya karena sebuah kecurangan demi uang. Beberapa waktu
kemudian aku merasa tak nyaman untuk bertemu orang lain.Aku perlu
hampir setahun untuk dapat berdiri tegak kembali.

Bagaimana pun seorang temanku pernah menasihatkan :“Kau lelaki, dan


kau harus tabah hidup sendiri. Kendati pun suatu ketika kau memiliki
keluarga, lelaki harus tetap sendiri memikirkan pertahanan hidup.”

Temanku ada benarnya. Aku sudah melewati masa tersulit melepas


kepergian kedua orang tua yang menghancurkan reputasi dinasti kakek
nenek. Aku tidak bisa membaca pikiran mereka, tetapi sekurangnya aku
bisa memperkirakan, betapa mereka menanggung malu atas ulah bapakku.

Aku mendongakkan wajah, berusaha meyakinkan diri bahwa hidup tak


sepatutnya menyerah pada penderitaan. Hidup itu hadiah Tuhan. Si Kecil
Acep begitu tabah menjalani hidupnya yang keras. Maka aku yang
sedewasa ini, semestinya menjadikannya teladan.

Kuambil apel di dalam kulkas. Kubawa apel itu ke kamarku dan kubuka
jendela kamarku. Semribit angin menerpa wajahku. Di kamarku yang
biasanya kudinginkan dengan AC, aku melihat diriku sendiri dalam diri
Acep.

Anda mungkin juga menyukai