Namaku Arman, aku tinggal di jakarta seorang diri. Ibu dan ayahku sudah
lama meninggal. Aku tak mempunyai satu pun saudara di kota.
Siang ini hujan mengguyur Kota Jakarta. Aku berteduh di warung terdekat
dan memesan segelas teh untuk menghangatkan tubuhku.
Bajunya sudah tak layak pakai lagi. Ia sungguh dekil. Tiba-tiba ibu pemilik
warung itu datang membawakan teh pesananku. Membuat lamunanku
buyar.
Hujan semakin deras didampingi angin yang bertiup kencang. Kilat dan
suara gemuruh guntur pun tak mau kalah. Kuajak anak itu berteduh di
warung tadi. Anak itu mengiyakan ajakanku. Sesampainya di warung aku
memesan teh dan nasi.Aku bertanya pada anak itu.
“Siapa namamu?”
Ibu pemilik warung itu kembali datang membawa pesanan keduaku. Aku
mempersilakan anak itu untuk makan.
Anak itu tidak memakannya. tetapi meminta pada Ibu penjual nasi itu
untuk membungkusnya.“Bu, aku dirumah mempunyai ibu,” kata Acep
menatapku sejenak, lalu melihat pada Si Penjual.
Acep menatapku dengan sangat sopan. “Tapi saya sudah sangat berterima
kasih dengan traktiran sebungkus saja. Saya tidak menggantungkan diri
terlalu banyak dari belas kasihan orang.”
Aku terkejut dengan jawaban Acep. Kukontrol diriku sendiri untuk tak
menunjukkan keterkejutan sepenuh keheranan tersebut. Akan tetapi mau
tak mau aku tak bisa berhenti menatapnya begitu saja. Malahan kian aku
menolak keinginan tersebut.
“Kenapa buru-buru?”Tanyaku.
Hari demi hari telah kulewati. Kejadian itu telah aku lupakan. Aku melalui
hariku seperti biasannya. Malam berganti pagi. Aku bangun untuk lari pagi.
Kuambil handuk kecilku dan kukalungkan di leherku. Kubuka pintu
rumahku.
Dari kejauhan, kulihat seorang ibu berbalutkan kain dengan baju atasan
kumal sedang menuntun sepeda tua. Sepeda itu membawa dua bagor dan
tumpukan kardus pada boncengannya. Sesosok anak remaja mengikuti di
sebelahnya.
Tapi kebersamaan itu? Hati yang dapat bicara satu sama lain; berbagi
kepedulian, kesedihan dan kegembiraan kecil. Betapa indahnya saat saat
kebersamaan dengan seseorang yang siap mendengar keluh kesah kita dan
siap menyentuh bahu kita ketika kita ingin merasakan betapa dalam
perhatian itu. Sekarang ini aku sangat ingin merasakannya. Kenapa aku
memikirkannya begitu dalam?
Sebenarnya siapa yang harus mengasihani siapa? Aku kah yang harus
mengasihani Acep karena tidak dapat hidup layak dengan memiliki rumah,
makanan dan pakaian yang layak serta kesenangan lain seperti anak anak
di usiaku dulu?
Aku memiliki banyak sekali mainan di rumah, bisa lihat TV dengan layar
yang lebar, bepergian dengan mobil ke tempat tempat menyenangkan,
membeli pakaian dan makanan yang bagus bagus dan enak-enak dengan
harga yang mahal dan di tempat tempat yang bagus.
Tetapi pada akhirnya, ibuku meninggal karena tak tahan menahan malu,
dan bapakku mengakhiri hidupnya sendiri di luar kewenangan Tuhan yang
menghidupkannya karena sebuah kecurangan demi uang. Beberapa waktu
kemudian aku merasa tak nyaman untuk bertemu orang lain.Aku perlu
hampir setahun untuk dapat berdiri tegak kembali.
Kuambil apel di dalam kulkas. Kubawa apel itu ke kamarku dan kubuka
jendela kamarku. Semribit angin menerpa wajahku. Di kamarku yang
biasanya kudinginkan dengan AC, aku melihat diriku sendiri dalam diri
Acep.