Abstrak,
Dalam tulisan ini, penulis ingin memberikan gagasan yang diawali dari keresahan
organisasi Hizbut Tahrir di Indonesia. HTI seringkali dianggap sebagai organisasi yang radikal
dalam pandangan masyarakat, karena dalam kegiatannya yang sering meresahkan kehidupan dan
kenyamanan lingkungan di masyarakat dengan hal-hal yang bersifat ekstrim dan in-toleran.
Sebelum penulis masuk pada materi yang terkait, dalam hal ini penulis akan memberikan
gambaran mengenai sikap radikal, radikalisme, dan radikalisasi.
Secara arti akademik, radikal sering disebut mendasar atau mendalam. Sehingga, radikal
merupakan pola pemikiran yang mendasar sampai keakar-akarnya dalam sesuatu
hal/permasalahan. Dalam hal ini radikal merupakan tekstual yang memiliki artian sebagai sebuah
cara atau proses dalam menggali masalah sampai mendalam. Dalam penjelasan tersebut makna
radikal dapat digunakan serta tidak membuat masalah, karena merupakan tekstual bukan
kontekstual (ekstrim yang mengatasnamakan agama). Namun, lain halnya dengan radikalisme
yang dapat memiliki pengertian dan pemaknaan berbeda. Radikalisme yakni sudah menjadi suatu
paham dimana sebagai kontekstualisasi dari kata radikal itu sendiri. Misalkan hal ini hanya
sebatas sebagai pandangan dan pemikiran dalam memecahkan berbagai masalah itu masih tidak
menjadi masalah. Akan tetapi, lain halnya ketika radikalisme menjadi sebagai paham yang
dianggap membahayakan dengan sikap ekstrim dan mengikutsertakan kegiatan-kegiatannya
dengan mengatasnamakan agama. Dan dalam kontekstualisasinya dianggap membahayakan
lingkungan maupun masyarakat. Sedangkan radikalisasi merupakan sikap dimana dalam ranah
pengaplikasian sikap radikalisme dengan mengajak berbagai pihak dalam hal yang mendukung
kegiatan-kegiatannya yang berembel agama. Dalam hal ini sering disebut dengan memberikan
doktrin-doktrin dalam hal tersebut yang mendukung gerakan ekstrimisme dan dengan diberikan
propaganda-propaganda yang menarik.
Nostalgia hidup Hizbut Tahrir di Indonesia
Hizbut Tahrir mengategorikan aktivitasnya sebagai kegiatan politik, bukan sosial maupun
budaya. Hizbut Tahrir merupakan oraganisasi yang tidak bergerak pada bidang kemanusiaan
maupun institusi pendidikan formal. Menahbiskan diri sebagai Parpol yang menjadikan islam
sebagai ideologinya. Kebangkitan bangsa islam sebagai tujuan, yang bukan menjadi organisasi
kerohanian semata. Berdiri tegak dengan keinginan mendirikan khilafah islam dengan
menerapkan Syariah, dengan mengadopsi struktur organisasi yang hierarki yang ketat bersumber
hukum Al-Qur’an dan Hadits.
Dalam pandangan penulis, gerakan Hizbut Tahrir selalu menolak semua ideologi yang
tidak sesuai dengan ajaran islam yang hanya berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits. Dasar negara
Pancasila dan demokrasi yang dianggap tidak layak dianut di Indonesia, notabenenya merupakan
sebagai kesepakatan mayoritas Muslim dengan akulturasi budaya secara sosial-historis. Dengan
gamblang HTI menyatakan bahwasanya khilafah islam-lah yang menjadi sistem paling di Ridhoi
Alloh SWT. Dan yang tidak menganut Khilafah tersebut dianggap sebagai tidak kaffah serta
neraka adalah tempat kembalinya.
Dalam pandangan HTI, dasar negara yang menjadikan nasionalisme sebagai jahiliyah
modern, Pancasila sebagai ideologi jahiliyah modern. Pancasila yang pada masa orde lama
1
Zully Qodir, HTI dan PKS: perilaku gerakan islam politik Indinesia, Jusuf Kalla School of Government (hlm.
48)
mengarah pada sistem sosialisme, yang dimulai dari Uni Soviet dan dianggap sebagai komunis.
Ketika masa orde baru dianggap sebagai masa kapitalisme. HTI secara tegas mengatakan telah
mengutuk paham nasionalisme dan menjadikannya sebagai biang keladi perpecahan umat islam
sedunia, karena dianggap mementingkan kebutuhan yang berkepentingan.
Dalam melihat pandangan HTI yang bernarasi ingin mendirikan negara islam di
Indonesia ialah sangat tidak sesuai pada sosial-kultur yang berada di Indonesia, serta tidak
adanya kesesuaian dengan nilai-nilai Pancasila. Dalam hal ini HTI melanggar kode etik
keorganisasian dalam hukum, karena menjelek-jelekkan sesama muslim yang pada dasarnya
merupakan agama rahmatan lil ‘alamin.
Dalam hal ini penulis mengemukakan bahwasanya secara sejarah islam masuk ke
Indonesia melalui perjalanan yang panjang. Dimulai dari akulturasi budaya dan agama islam
sebagai perwujudan kesepakatan toleransi pada awal perkembangan islam di Nusantara. Hampir
700 tahun islam masuk ke tanah Nusantara yang dapat menyesuaikan dengan budaya keaslian,
tanpa adanya sikap ekstrim dalam beragama selama sekian tahun. Bahwasanya yang tercantum
dalam Pancasila sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang memiliki makna bahwasanya
setiap warga negara wajib untuk memiliki agama, namun bebas dalam menentukan agama yang
diyakini. Hal ini menandakan bahwa sikap toleransi beragama merupakan perwujudan persatuan
dan kesatuan bangsa demi menjalin kerukunan antar umat beragama.
Indonesia sejatinya dalam membuat hukum tidak luput dari ketentuan Al-Qur’an, hanya
kontekstualnya disesuaikan pada keadaan sosial-kemanusiaan di Indonesia. Sehingga masuknya
HTI untuk merubah ideologi dasar negara Pancasila menjadi Al-Qur’an dan Hadits tidak akan
sinkron dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki keberagaman budaya dan
agama (multicultural).
Dalam hal ini tidak akan mampu minoritas yang ekstrim melawan mayoritas keaslian
penduduk Indonesia. Namun, hal ini sangat merugikan bangsa Indonesia sendiri. Karena dapat
menghambat perkembangan kedaulatan negara dan menjadi momok bagi masyarakat akan sikap
in-toleran serta terkadang yang kurang bisa bersosial.
Kesimpulan
Mungkin HTI tidak akan dapat menggulingkan kedaulatan negara, akan tetapi dari hal ini
dapat menjadi perusak mental bangsa dan mencemaskan keamanan serta kenyamanan
lingkungan masyarakat dari sikap ekstrimisme dan separatisme.
Memang benar pepatah mengatakan bahwasanya “musuh terbesar diri adalah diri itu
sendiri”, maknanya musuh dari bangsa Indonesia ini adalah mengurus bangsa Indonesia itu
sendiri. Dan penulis memberikan pesan kepada para pemuda agar selalu lebih cermat dalam
memahami agama, untuk dapat melihat mana yang banyak madhorot dan mana yang banyak
faedah (manfaat) serta mengetahui mana yang ekstrim dan mana yang moderat atau
washotiyyah.