Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH TELAAH

IDEOLOGI PANCASILA DAN LIBERALISME DI INDONESIA

PENDIDIKAN PANCASILA

Dosen Pengampu:

Muhammad Mujtaba Habibi, S.Pd, M.AP.

Disusun oleh :

Elita Dwi Kusmudiasri (NIM : 210211602834)

Putri Albett Ayuminadi (NIM : 210211602839)

Salisa Salsabila (NIM : 210211602808)


I. Pendahuluan
a. Latar belakang
Ada banyak paham ideologi yang dianut oleh negara-negara di dunia. Contoh
ideologi yang dianut, yaitu ideologi liberalisme dan ideologi pancasila. Ideologi
liberalisme adalah suatu ideologi atau ajaran tentang negara, ekonomi, dan masyarakat
yang mengharapkan kemajuan di bidang budaya, hukum, ekonomi, dan tata
kemasyarakatan atas dasar kebebasan individu yang dapat mengembangkan bakat dan
kemampuannya sebebas mungkin. Beberapa negara menganut ideologi liberalisme,
salah satunya Indonesia lebih tepatnya pada tahun 1950-1959.
Akan tetapi, Indonesia tidak cocok menganut ideologi tersebut. Oleh karena itu,
Indonesia membuat ideologi sendiri yang sesuai dengan jati diri negara Indonesia, yaitu
ideologi Pancasila. Ideologi Pancasila merupakan ideologi terbuka, dalam artian
Pancasila sebagai ideologi mampu mengikuti perkembangan zaman yang dinamis dan
termasuk hasil konsensus masyarakat itu sendiri. Maka dari itu, Pancasila sebagai dasar
negara harus terwujud dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
b. Rumusan masalah
1. Bagaimana penerapan demokrasi liberal di Indonesia?
2. Apa hubungan negara dengan agama menurut paham liberalisme?
3. Mengapa ideologi pancasila lebih cocok dengan Indonesia daripada ideologi
liberalisme?
II. Kerangka Teoritik
1. Penerapan Demokrasi Liberal di Indonesia
Penerapan Demokrasi Liberal yang dijalankan oleh Indonesia sesuai dengan
konstitusi yang berlaku pada saat itu, yakni Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Kondisi ini bahkan sudah dirintis sejak dikeluarkannya maklumat pemerintah pada
tanggal 16 Oktober 1945 dan maklumat tanggal 3 November 1945, tetapi kemudian
terbukti bahwa Demokrasi Liberal yang meniru sistem Eropa kurang sesuai diterapkan
di Indonesia.
Demokrasi Liberal yang berlangsung pada tahun 1950 hingga Juli 1959
merupakan waktu di mana partai-partai politik berkiprah. Saat itu Partai PNI dan Partai
Masyumi merupakan dua partai politik yang terkuat dalam memimpin kabinet. Karena
sering bergantinya kabinet pada masa demokrasi liberal berimplikasi terhadap
ketidakstabilan pada politik, sosial, ekonomi, dan keamanan.
Sistem Politik pada masa Demokrasi Liberal di Indonesia pada tahun 1950-1959
mendorong untuk lahirnya partai-partai politik. Hal ini dikarenakan menganut sistem
multipartai atau lebih dari satu partai yang mencoba untuk silih berganti dalam
memperoleh kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Dimana lembaga legislatif seperti
DPR dan Parlemen memiliki kekuasaan yang lebih besar dibandingkan dengan lembaga
eksekutif yang terdiri dari Presiden dan Wakil Presiden maupun menteri-menteri.
Sistem pemerintahan yang dikehendaki pada masa demokrasi liberal menggunakan
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 adalah sistem parlementer,
dimana dalam hal ini kabinet tidak bertanggung jawab kepada Presiden seperti yang
ditentukan oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Tetapi dalam UUDS 1950
bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat atau dalam istilah yang hidup
ketika itu disebut sebagai parlemen (Zulfikar Gazali, Anhar Gonggong dan JR
Chaniago,1989: 11-12).
Di Indonesia, sistem politik liberal berjalan kurang lebih 9 tahun dari 17 Agustus
1950 sampai dengan 5 Juli 1959. Akan tetapi pada waktu yang singkat itu Indonesia
telah 7 kali pergantian kabinet yang memerintah antara lain: Kabinet Natsir (6
September 1950-21 Maret 1951), Kabinet Sukiman (27 April 1951-3 April 1952),
Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953), Kabinet Ali Satromidjojo I (31 Juli 1953-12
Agustus 1955), Kabinet Burharuddin Harahap (12 Agustus 1955-3 Maret 1956), Kabinet
Ali Satromidjojo II (20 Maret 1956-4 Maret 1957), dan terakhir Kabinet Djuanda (9 April
1957-5 Juli 1959).

2. Hubungan Negara dengan Agama Menurut Paham Liberalisme


Negara liberal memberikan kebebasan kepada warganya untuk menganut agama
dan melakukan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya. Namun dalam negara
liberal diberikan kebebasan untuk tidak percaya terhadap Tuhan atau atheis, bahkan
negara liberal memberi kebebasan warganya untuk menilai dan mengkritik agama.
Misalnya Salman Rusdi yang mengkritik kitab suci dengan tulisan ayat-ayat setan.
Karena menurut paham liberal bahwa kebenaran individu adalah sumber kebenaran
tertinggi. Berdasarkan pandangan tersebut, hampir dapat dipastikan bahwa sistem
negara liberal membedakan dan memisahkan antara negara dan agama atau bersifat
sekuler (Kaelan, 2000: 231)
Paham liberalisme dalam pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh paham
rasionalisasi yang mendasarkan atas kebenaran rasio. Paham rasionalisasi ini percaya
bahwa dunia memiliki struktur yang rasional, yang dapat dipahami secara logis.
Keteraturan dunia bisa dipahami lewat pencarian kritis secara terus menerus.
Nilai-nilai agama dalam negara dipisahkan dan dibedakan dengan negara,
keputusan dan ketentuan kenegaraan terutama peraturan perundang-undangan
sangat ditentukan oleh kesepakatan individu-individu sebagai warga negaranya.
Walaupun ketentuan tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. Misalnya,
UU aborsi di Negara Irlandia tetap diberlakukan walaupun ditentang oleh gereja dan
agama lainnya, karena UU tersebut merupakan hasil referendum. Berdasarkan
pandangan filosofis tersebut hampir dapat dipastikan bahwa dalam sistem negara
liberal membedakan dan memisahkan antara negara dengan agama atau bersifat
sekuler. Hal itu berbeda dengan ideologi Pancasila dengan rumusan Ketuhanan Yang
Maha Esa telah memberikan sifat yang khas kepada negara Indonesia, yaitu bukan
merupakan negara sekuler yang memisah-misahkan agama dengan negara (Kaelan,
2000: 220).

3. Tidak Cocoknya Indonesia dengan Ideologi Liberalisme


Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sebenarnya merupakan perwujudan
dari nilai-nilai budaya milik bangsa Indonesia yang diyakini kebenarannya. Pancasila
diambil dari budaya bangsa yang sudah ada, tumbuh, dan berkembang berabad-abad
lamanya. Oleh karena itu, Pancasila merupakan kekhas Indonesia sejak keberadaannya
sebagai sebuah bangsa. Pancasila merangkum nilai-nilai yang sama yang terkandung
dalam adat-istiadat, kebudayaan, dan agama yang ada di Indonesia. Dengan demikian,
Pancasila sebagai pandangan hidup mencerminkan jiwa dan kepribadian bangsa
Indonesia.
Sementara itu, ideologi liberal memandang manusia adalah rasional, masing-
masing memiliki kepentingan, dan memiliki kemampuan bersaing. Implikasinya,
manusia akan mampu hidup dalam sebuah kebebasan. Liberalisme mendorong
kebebasan individu dengan memberikan persamaan kesempatan dalam sebuah
masyarakat yang toleran. Dengan kata lain, liberalisme berkeyakinan mengenai
pentingnya kemerdekaan setiap individu untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Maka dari itu, menurut liberalisme semua manusia memiliki hak yang sama di depan
hukum yang dimaksudkan bagi kemerdekaan sipil. Sementara itu, tujuan utama dari
setiap pemerintahannya adalah mempertahankan kebebasan, persamaan dari semua
warga negara, serta adanya kebebasan berpikir dan berekspresi.
Indonesia tidak menerima liberalisme dikarenakan individualisme Barat yang
mengutamakan kebebasan makhluknya, sedangkan paham integralistik yang kita anut
memandang manusia sebagai individu dan sekaligus juga makhluk sosial (Alfian dalam
Oesman dan Alfian, 1990: 201). Negara demokrasi model Barat lazimnya bersifat
sekuler, dan hal ini tidak dikehendaki oleh segenap elemen bangsa Indonesia (Kaelan,
2012: 254).

III. Analisis Kasus


a. Sumber studi kasus :
berita ‘Mereka Hidup Tanpa Tuhan, Pengakuan Orang-orang Atheis di Indonesia’ –
Suara.com

b. Identifikasi kasus :
Pada artikel tersebut, berisi tentang salah satu WNI bernama Tina yang memilih
menganut atheis dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan. Tina mengaku bahwa
salah satu alasan semakin kuatnya untuk menjadi atheis bermula pada saat ia tergabung
dalam komunitas Free-Thinker yang berasal dari berbagai macam negara dan ideologi.
Free-thinker sendiri secara umum adalah orang-orang yang berpikir bebas atau
independen yang mengandalkan rasionalitas, sehingga tak mengakui otoritas apapun.
Free-Thinker menolak atau setidaknya bersikap skeptis terhadap dogma religi. Pilihan
menjadi atheis di Indonesia membuatnya hingga saat ini (2019) mengalami banyak
kesulitan, sehingga ia menjadi tertutup dalam sehari-harinya.

c. Pemecahan kasus :
Ditinjau dari sisi ideologi Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, apa yang
dilakukan oleh Tina merupakan suatu hal yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Hal ini sangat bertentangan dengan bunyi sila pertama Pancasila, yaitu “Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Pada sila pertama Pancasila, sudah sangat jelas menunjukkan bahwa
ideologi di Negara Kesatuan Republik Indonesia salah satunya adalah setiap WNI wajib
dan bebas untuk menganut agama dan beribadah sesuai dengan agama yang dianutnya.
Sementara itu, atheis secara jelas bukan merupakan cerminan dari ideologi Pancasila
tersebut. Justru merupakan salah satu cerminan dari negara yang menganut ideologi
liberal, yaitu memberikan kebebasan kepada warganya untuk menganut agama dan
melakukan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya dan kebebasan untuk tidak
percaya terhadap Tuhan atau atheis, bahkan negara liberal memberi kebebasan
warganya untuk menilai dan mengkritik agama.

IV. Penutup
a. Kesimpulan
Demokrasi liberal di Indonesia berlangsung pada tahun 1950 hingga juli 1959.
Sistem politik pada masa demokrasi liberal di Indonesia mendorong lahirnya partai-
partai politik. Hal ini dikarenakan menganut sistem multipartai atau lebih dari satu
partai. Negara liberal hakikatnya mendasarkan pada kebebasan individu, sehingga
masalah agama dalam negara sangat ditentukan oleh kebebasan individu. Berdasarkan
pandangan filosofis, dalam sistem negara liberal membedakan dan memisahkan antara
negara dengan agama atau bersifat sekuler. Hal itu berbeda dengan ideologi Pancasila
yang bukan merupakan negara sekuler yang memisah-misahkan agama dengan negara.
Ideologi liberalisme tidak cocok dengan Indonesia karena ideologi tersebut
bertentangan dengan elemen bangsa Indonesia.

b. Saran

Daftar Rujukan

Ansari, M.E. 2009. Hubungan Negara dengan Agama, (Online),


(https://edwanansari.blogspot.com/2009/11/hubungan-negara-dengan-agama.html),
diakses 18 Februari 2021.

Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan
Pancasila.

Gunadha, R., Tanjung, R. 2019. Mereka Hidup Tanpa Tuhan, Pengakuan Orang-orang Ateis di
Indonesia, (Online), (https://www.suara.com/news/2019/07/10/080500/mereka-hidup-
tanpa-tuhan-pengakuan-orang-orang-ateis-di-indonesia ), diakses 18 Februari 2022.

Hakim, M. A. (2016). Repositioning Pancasila Dalam Pergulatan Ideologi-Ideologi Gerakan Di


Indonesia Pasca-Reformasi. Kontemplasi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 4(1), 131-164.

Setiawan, J., Permatasari, W. I., & Kumalasari, D. (2018). Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Pada Masa Demokrasi Liberal Tahun 1950-1959. HISTORIA: Jurnal Program Studi
Pendidikan Sejarah, 6(2), 365-378.
Utama, A. S., & Dewi, S. (2018). Pancasila sebagai Ideologi Bangsa Indonesia serta
Perkembangan Ideologi Pancasila pada Masa Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi.

Anda mungkin juga menyukai