Anda di halaman 1dari 73

APRESIASI DRAMA

SEBUAH PENGANTAR

Handout Matakuliah Apresiasi Sastra


(untuk Kalangan Sendiri/Belum Diterbitkan)

Oleh
Azizatuz Zahro

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
2021

1
DRAMA SEBAGAI TEKS SASTRA

Pembahasan tentang apresiasi drama dapat diawali dengan pembahasan


tentang hakikat drama. Kata drama berasal dari bahasa Yunani draomi yang
artinya berbuat, berlaku, bertindak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), drama diartikan sebagai komposisi syair atau prosa yang diharapkan
dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (akting) atau
dialog yang dipentaskan; cerita atau kisah, terutama yang melibatkan konflik atau
emosi, yang khusus disusun untuk pertunjukan teater (Badan Pengembangan
Bahasa dan Perbukuan, 2019).
Pengertian yang lebih luas tentang drama adalah cerita konflik manusia
dalam bentuk dialog yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan
percakapan dan action di hadapan penonton. Jadi, drama adalah seni cerita dalam
percakapan dan akting tokoh. Ini berarti karya drama bukan sekedar naskah untuk
dibaca, tetapi juga untuk dipertunjukkan sebagai tontonan. Ini berarti drama
butuh penggarapan tokoh yang mendalam dan penuh pertimbanganuntuk
dilakonkan.
Drama juga biasa dipertentangkan dengan teater. Drama merupakan cerita
yang dipentaskan atau ‘naskahnya’, sedangkan teater adalah bentuk
pementasannya. Pengapresiasian terhadap drama tidak ubahnya mengapresiasi
karya sastra tulis.
Secara historis, sebelum abad ke-20 naskah dan pentas belum ada. Yang
ada pada saat itu adalah cerita-cerita rakyat dan kisah-kisah yang turun-temurun
disampaikan secara lisan, seperti drama rakyat, istana, keagamaan yang
dimainkan di arena, di bawah atap atau lapangan terbuka.
Permulaan abad ke-20 karena pengaruh drama barat mulai muncul bentuk
drama baru, seperti komedi/stambul/istana/bangsawan, tonil, opera, ketoprak,
ludruk dan lain-lain yang tidak menggunakan naskah tetapi menggunakan pentas,
panggung berbingkai.

2
Pada zaman Pujangga Baru mulai muncul drama asli yang dipakai dalam
pementasan-pementasan. Naskah drama yang dianggap sebagai naskah drama
pertama dalam khasanah sastra Indonesia modern adalah "Bebasari" karya Sanusi
Pane (1926), meskipun oleh beberapa kalangan pengakuan ini perlu ditinjau ulang
karena sebelum era Balai Pustaka telah ada kehidupan sastra yang juga telah
mengenal genre drama, utamanya sastra oleh keturunan Cina dan Eropa yang
dikenal dengan sastra Melayu Rendah.
Sebagai teks sastra, naskah drama memiliki unsur-unsur yang relatif sama
dengan karya sastra yang lain, utamanya prosa fiksi. Drama juga dibangun oleh
seperangkat unsur yang disebut dengan unsur intrinsik atau unsur-unsur yang
secara internal terkandung dalam suatu karya sastra dan unsur ekstrinsik sastra.

Unsur Intrinsik Drama


Unsur intrinsik drama sebagai teks sastra terdiri atas plot, penokohan,
setting, gaya bahasa, dan tema. Semua unsur ini ada yang terdapat dalam dialog
antartokoh, ada juga yang diterangkan lewat keterangan di luar dialog yakni hal-
hal yang berkaitan dengan suasana, pergantian setting, pergantian waktu. Berikut
ini disajikan pembahasan masing-masing unsur tersebut.

1. Plot/Alur
Plot/alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan
peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku yang
berkonflik dalam suatu cerita. Karya sastra pada umumnya dan drama khususnya
menampilkan peristiwa-peristiwa nyata dan peristiwa batin. Peristiwa nyata
adalah peristiwa yang dapat dilihat-didengar oleh tokoh-tokoh melalui gerak dan
ucapannya, dalam arti peristiwa tersebut dapat saja benar-benar terjadi, sedangkan
peristiwa batin adalah peristiwa yang tidak pemah terjadi dalam kenyataan. Alur
dalam sebuah cerita berfungsi untuk menggerakkan jalan cerita melalui rumitan
ke arah klimaks dan selesaian.

3
1) Syarat Alur
Alur dapat dikatakan bagus atau baik apabila memenuhi empat syarat,
yaitu (1) urutan, (2) kompleksitas, (3) kesatuan, dan (4) koherensi (Simanjuntak,
2002).

(1) Urutan
Kejadian-kejadian dalam peristiwa alur terjalin secara erat dan dalam
hubungan sebab-akibat serta membentuk urutan hubungan yang logis. Titik
penting dalam hubungannya dengan masalah ini adalah kata logis tersebut. Yang
dimaksud dengan logis di sini adalah kewajaran, sesuai dengan jalan dan cara
masalah tersebut dihadirkan dan dipersoalkan, dan kemudian dipecahkan bersama.
ibaratnya adalah perjalanan hidup yang dimulai dari bayi, anak-anak, remaja,
dewasa, kemudian mati. Dengan demikian, urutan yang terjalin dalam alur adalah
hubungan yang logis dan tidak berbelit-belit sehingga menimbulkan jalan cerita
yang dapat dengan mudah dipahami penikmat.
Bagaimanapun sulitnya pemahaman kita terhadap suatu lakon, alur cerita
masih dapat diikuti dengan jelas meskipun kadang-kadang dihadirkan dengan cara
agak tidak jelas, atau melingkar-lingkar.

(2) Kompleksitas
Alur harus juga memberi kesempatan kemungkinan berkembangnya suatu
permasalahan atau peristiwa-peristiwa. Kesempatan yang longgar ini akan
mewujudkan suatu bentuk yang kompleks, ruwet, dan sporadis. Keruwetan suatu
masalah sudah pasti dapat dijumpai pada setiap masalah yang muncul secara tiba-
tiba atau sudah lama terpendam, semakin ruwet keadaan yang terjadi kemudian.
Seperti halnya konflik yang terjadi dalam suatu lakon yang juga merupakan unsur
ensensial lakon. Sejumlah konflik yang dihadirkan akan menimbulkan suasana
yang ruwet yang benar-benar kompleks hingga seolah-olah sulit untuk
dipecahkan. Kompleksitas masalah ini terjadi karena satu masalah yang hadir
4
yang belum dipecahkan, sedangkan masalah baru tiba-tiba muncul diiringi dengan
jumlah pelaku yang ikut serta di dalamnya sehingga masalah semakin tidak
karuan dan tidak menentu.

(3) Kesatuan
Apapun bentuk dan jenis karya sastra (drama) sudah tentu
mempertimbangkan aspek kesatuan ini. Suatu kesatuan yang utuh merupakan
syarat utama dalam kaitannya demngan peristiwa-peristiwa yang terjalin dalam
suatu karya sastra. Khusus dalam drama, peristiwa-peristiwa tersebut, yang dijalin
melalui konflik-konflik harus merupakan keutuhan cerita bukan lepas-lepas.
Dengan kata lain, syarat ini memberikan arahan kepada penikmat/pembaca untuk
tidak memasukkan unsur-unsur peristiwa lain yang tidak berhubungan erat dengan
drama tersebut.
Meskipun keruwetan suatu lakon dapat menampakkan ketidaklogisan atau
ketidakjelasan jalan cerita atau bahkan seolah-olah terbagi-bagi atau terpotong-
potong, tetapi pada hakikatnya masing-masing potongan atau bagian merupakan
satu kesatuan yang saling berkaitan dan berjalinan erat dalam suatu lakon. Teeuw
(1984) menyebutkan strukturalisme dalam sastra pun yang secara umum
memilah-milah karya sastra dilihat dari berbagai sudut atau unsur, tetapi pada
akhirnya juga disatukan kembali sehingga menjadi suatu keutuhan yang
bermakna.

(4) Koherensi
Drama merupakan peneladanan atau mimesis kehidupan yang dihadirkan
dalam bentuk karya sastra. Dengan demikian, cerita dapat dihadirkan berdasarkan
realita, kemungkian-kemungkinan, dan imajinasi/fiktif belaka. Sekalipun cerita
tersebut diangkat dari salah satu di antara ketiga masalah tersebut di atas, dalam
penyusunan cerita harus merupakan suatu keterhubungan antara satu aspek
dengan aspek yang lainnya. Yang biasanya terjadi adalah dihubungkannya suatu
peristiwa yang realistis dengan khayalan atau imajinasi yang dibarengi pula
dengan kemungkinan-kemungkinan, kenisbian. Sekalipun demikian, tiga hal
5
tersebut tampaknya menjadi hukum sastra yang harus juga terjalin ketergantungan
dan keterhubungan.
Mengingat pembicaraan masalah koherensi tidak lepas dari pemaknaan
suatu lakon yang dihadirkan dalam naskah, maka pembaca/penikmat dapat pula
melacak makna suatu lakon melalui aspek-aspek kohesifnya yang kadang juga
dihadirkan untuk memudahkan pemahaman suatu naskah lakon.

2) Tahapan Alur
Ada berbagai pendapat tentang tahapan-tahapan peristiwa dalam suatu
cerita. Tahapan yang paling pokok terdiri atas pembuka, klimaks, dan penutup.
Teori klasik tentang konstruksi dramatik ini dikemukakan oleh Aristoteles (dalam
Harymawan, 1988) yang membagi alur dalam tahap protasis (permulaan),
epitasio (jalinan kejadian), catastasis (puncak laku), dan catastrophe (penutup).
Teori modern lebih detail membagi tahapan alur. Pentahapan alur yang
populer dari Gustav Freytag (1863) terdiri atas dramatic structure atau the
structure of tragedy atau dramatic plot, yaitu exposition (pengantar),
complication (munculnya kerumitan), dimax (puncak laku), resolution
(penguraian), dan condusion (kesimpulan yang dapat berupa catastrophe
(bencana) atau denoument (penyelesaian yang baik). Meskipun demikian, tidak
semua cerita memiliki tahapan yang lengkap dan berurutan.
Tahap exposition, berisi gambaran situasi yang melatari cerita, latar
tempat, gambaran umum tentang watak tokoh, dan peristiwa-peristiwa awal yang
akan membuka sebuah masalah. Dari gambaran awal yang sekilas tersebut
diharapkan penonton memiliki imajinasi berikutnya yang juga akan menuntun
penikmat untuk dapat melanjutkan cerita tersebut berdasarkan insiden-insiden
awal yang disajikan dalam tahapan tersebut. Dalam suatu naskah yang
konvensional, tahapan ini biasanya diwujudkan dalam bentuk deskripsi panjang
yang dapat menginformasikan para pelaku dari sisi usia, kedudukan, peran dalam
lakon tersebut secara pasti dan memperkenalkan latar yang akan dijadikan tempat
bermain lakon tersebut.

6
Tahap komplikasi berisi pertikaian yang dialami oleh tokoh. Pertikaian
tersebut terjadi karena pertemuan dan hubungannya dengan tokoh yang lain, atau
karena sang tokoh berhadapan dengan keadaan alam atau situasi tertentu yang
biasanya inklusif dalam tahap eksposisi. Sebelum tahap eksposisi usai sudah
ditampakkan adanya insiden awal yang akan menjadi sumber petaka cerita
berikutnya. Kejadian dalam insiden permulaan menuntut penikmat untuk
memasuki peristiwa berikutnya. Keruwetan yang semakin menjadi tersebut
merupakan inti tahap komplikasi. Tiap watak, laku dari situasi serta kejadian
sebenarnya tumbuh dan berkembang secara wajar. Peranan motif harus nyata dan
jelas berhubungan dengan apa yang diucapkan dan diperbuat atau dilakukan
tokoh.
Tahap klimaks terjadi apabila pertikaian tersebut makin menghebat dan
memunculkan suasana yang sangat dramatik. Klimaks adalah ketegangan lakon.
Apabila ditinjau dari sudut lakon, klimaks berarti titik balik perselisihan paling
ujung yang dapat dicapai oleh adanya konfrontasi protagonis-antagonis. Apabila
suatu lakon sudah mencapai tahapan ini, maka konflik dapat saja mengalami
penurunan atau sebaliknya semakin hebat lakon tersebut. Dalam tahapan ini,
konflik harus sudah mendekati gambaran yang jelas pada tahapan akhir. Hal ini
mungkin saja dapat digambarkan melalui salah satu pihak yang mulai kalah atau
kembali pada keseimbangan semula. Tahap klimaks merupakan inti sebuah drama
karena merupakan bagian yang paling dramatis atau tragis. Tahap ini juga
menentukan menarik tidaknya sebuah permainan drama.
Setelah titik puncak atau klimaks sampailah pada tahap peleraian. Dalam
tahap ini, persoalan mulai dapat diurai. Alternatif pemecahan masalah mulai
tampak dan akhirnya sampailah pada tahap penyelesaian yang dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Cara yang menyenangkan, membahagiakan, atau
menggantung.
Bagi pengarang, plot berfungsi sebagai kerangka yang dijadikan pedoman
dalam mengembangkan keseluruhan isi cerita. Bagi pembaca, pemahaman plot
berarti juga pemahaman terhadap keseluruhan isi cerita.

7
3) Jenis Alur
Jenis alur dapat didasarkan pada tingkat kerapatan jalan ceritanya maupun
jalan ceritanya tersebut. Alur rapat apabila tokoh cerita bergerak dengan wajar,
tidak membuat alur lain yang tidak perlu. Apabila dalam sebuah cerita, walaupun
dipakai alur gabungan, rangkaian peristiwanya merupakan sesuatu yang berkaitan
dan dirasakan sebagai suatu kewajaran, berarti alur cerita masih dalam katagori
rapat. Sebaliknya, alur renggang bila jalan cerita panjang dan banyak pelaku
sehingga timbul alur sampingan, di samping alur utama. Alur renggang ini
biasanya dapat ditemui pada drama seri atau drama dengan durasi pentas yang
lama dan melibatkan banyak pelaku. Berbeda dengan fragmen atau drama pendek,
dalam drama yang melibatkan banyak tokoh (pelaku), perkembangan tokoh pun
dapat lebih bebas. Pengaturan cerita (perkembangan watak, ketegangan cerita)
dapat lebih lambat temponya. Karena sifat seperti itu, tokoh pembantu dalam
drama tersebut dapat membuat alur juga (alur sampingan), namun alur ini
akhirnya kembali kepada alur utama. Jadi, alur ini bersifat menunjang alur utama.
Jenis alur menurut jalan ceritanya, biasa dibedakan atas (1) alur maju, (2)
alur mundur, (3) alur maju-mundur dan (4) alur kilatan. Penjelasan tentang
keempat jenis alur tersebut adalah sebagai berikut.
(1) Alur Maju
Alur maju adalah alur yang terjalin dengan urutan yang teratur diawali
dengan pengantar atau perkenalan dan diakhiri dengan pemberian keputusan. Alur
maju ini bersifat kronologis. Pengaturan peristiwa dari masa kini (saat sedang
berlangsungnya peristiwa) terus ke depan dengan gerak maju. Oleh karena itu,
karya sastra yang ditulis dengan alur seperti ini mudah diikuti jalan ceritanya.
Penikmat dengan mudah mengaitkan satu peristiwa dengan peristiwa yang lain
karena disusun secara berurutan sehingga jalan cerita tampak sangat logis.
Drama dengan alur ini pada umumnya mengisahkan perjalanan hidup
seseorang atau kelompok yang diawali dengan unsur-unsur duka pada diri tokoh
utamanya, kemudian muncullah dewa penolong yang akhimya dapat
mengantarkan tokoh tersebut pada jenjang kebahagiaan yang diidamkan semua

8
orang. Alur ini biasanya dapat dilacak mulai dari awal, yaku apabila seorang
pelaku pada awal sajian mengalami nasib yang mengenaskan.
Puncak penantian tokoh utama untuk memperoleh kebahagiaan pada
akhimya dapat dijumpai pada akhir sajian tersebut. Cerita dengan alur maju ini
menyajikan sesuatu yang pada akhirnya dapat memberikan sesuatu yang
menyenangkan diri penikmatnya dan terlebih lagi adanya kebahagiaan yang
ditonjolkan pada akhir cerita.

(2) Alur Mundur


Alur mundur atau flas back adalah alur yang bergerak secara surut ke
belakang. Penyajian peristiwa dilakukan dengan menceritakan masa lalu atau
dengan tolehan kembali ke masa lalu. Dalam alur mundur, klimaks dapat
dimunculkan pertama kali dan baru kemudian diceritakan sebab-sebab terjadinya
peristiwa yang tragis tersebut. Ada kalanya, alur ini mutlak mundur, suatu saat
lakon ini juga memanfaatkan alur maju, aspek klimaks dan penyelesaiannya.
Sebagai gambaran, misalnya suatu masalah yang mungkin sudah memuncak
dihadirkan, baru kemudian dicari jalan keluarnya atau penyelesaiannya. Jalan
keluar ini menuntut kehadiran kembali klimaks, baru disusul dengan
penyelesaian.

(3) Alur Maju-Mundur


Dalam sebuah karya, seorang pengarang dapat menggunakan gabungan
alur maju dan mundur. Dalam alur maju-mundur atau regresif di samping
diceritakan hal-hal yang menyebabkan terjadiya klimaks dipaparkan juga
penyelesaian yang maju. Pemaparan tersebut mengakibatkan suatu cerita, selain
memiliki alur maju juga memiliki alur mundur, mengingat dan menceritakan masa
lampau. Dalam alur ini, ada kecenderungan seorang pelaku menceritakan dirinya
sendiri di masa lalu. Dalam drama, cerita tentang masa lalu dapat juga diikuti
dengan dengan gerak-gerik di atas pentas.
Apabila drama dipentaskan, alur ini sulit dilacak karena tidak dapat secara
jelas dinikmati. Berbeda halnya dengan sinetron atau drama televisi yang dapat
9
dengan mudah diatur kameranya untuk menceritakan masa lalu. Dapat diibaratkan
titik keberangkatan alur ini adalah A dan maju terus ke Z, tetapi sebelum sampai
ke titik Z alur ini berbelok dulu dengan menceritakan titik-titik sebelumnya,
misalnya P, R, dan S sehingga penikmat dapat terkecoh apabila tidak
berkonsentrasi.

(4) Alur Kilatan


Pada alur kilatan, cerita bertumpu pada salah satu bagian alur dan di sini
dimunculkan peristiwa-peristiwa lain yang berhubungan atau menyebabkan
terjadinya bagian alur tersebut secara sebentar-sebentar. Pembaca (penonton)
seolah menikmati cerita berbingkai atau lakuan yang terpotong-potong. Satu
bagian atau tahapan alur diulas sedemikian sebelum menginjak pada tahapan
selanjutnya sehingga menampakkan adanya cerita dalam cerita, tetapi hanya
sekilas dan sangat singkat. Namun demikian, alur kilatan ini tidak meninggalkan
inti cerita secara utuh, tetapi lebih banyak memberikan ilustrasi-ilustrasi yang
masih berhubungan erat dengan cerita intinya. Penikmat yang tidak berkonsentrasi
akan mudah terkecoh oleh cerita dalam satu tahapan alur tersebut sehingga
memungkinkan terjadinya salah paham antara penikmat dan penyaji.
Apabila alur ini dikemas dalam suatu pementasan, tampaknya penonton
akan mengalami kesulitan karena ada kemungkinan terjadinya tumpang tindih
pesan yang ingin disampaikan lewat pemain. Penonton harus bekerja keras
menghubungkan antarsubbagian dan juga antarbagian.

2. Penokohan
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa sehingga peristiwa itu
menjalin suatu cerita. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh disebut
penokohan (Aminuddin, 2002). Tokoh dalam karya fiksi selalu mempunyai sifat,
sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu
karya oleh pengarang disebut perwatakan atau karakterisasi.
Bagi penulis drama, karakter tokoh akan menentukan wama dialog dan
gaya tingkah lakunya, sedangkan bagi penikmat atau pembaca, lewat dialoglah
10
mereka akan dapat mengatahui watak seorang tokoh. Seorang tokoh yang
berwatak kasar biasanya akan tampil dengan kata-kata dan dialog yang kasar pula.
Demikian pula seorang tokoh yang berbudi bahasa baik dan sopan merupakan
ekspresi watak yang baik dan sopan pula.
Pengertian yang lebih terperinci diberikan oleh Mbijo Saleh (dalam
Simanjuntak 2002) yang mengatakan bahwa perwatakan atau karakterisasi ialah
penampilan keseluruhan ciri atau tipe jiwa seseorang tokoh dalam drama. Dalam
ilmu jiwa pada umumnya, karakter ditafsirkan sebagai tingkah laku manusia, yaitu
perasaan, pikiran, dan kehendak pembawaan yang menentukan cara seseorang
bertindak dalam bermacam-macam keadaan hidup.
Watak seorang tokoh suatu saat dapat mengalami perubahan. Akan tetapi,
perubahan itu harus disertai dengan alasan. Alasan tersebut dapat ditemukan
melalui pembicaraan antartokoh. Bisa juga dengan percakapan batin sendiri
(monolog interior). Perubahan watak juga dapat dijelaskan melaui penjelasan
pengarang.
Karakter seorang tokoh dapat diperjelas dengan penampilan fisiknya. Rok
mini yang ketat, rokok, riasan yang tebal, dan warna pakaian yang mencolok
memberikan kesan kurang susila seorang wanita. Watak kasar dapat diperjelas
dengan reaksi atau karakteristik wajah yang member kesan culas, misalnya sudut
mata agak tertarik ke atas. Selain itu, karakterisasi juga sangat terbantu oleh
pemilihan permeran yang sesuai. Misalnya seorang ksatria yang gagah juga harus
diperankan oleh seorang yang berperawakan tegap dan tinggi.
Watak tokoh dapat dipahami melalui (1) keterangan tentang karakteristik
pelaku, (2) gambaran lingkungan kehidupan dan caranya berpakaian, (3) perilaku
yang ditunjukkan, (4) bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri, (5)
jalan pikiran tokoh, (6) tokoh lain yang berbicara tentangnya, (7) tokoh lain yang
berbicara dengannya, (8) reaksi tokoh lain terhadapnya, dan (9) reaksi tokoh itu
terhadap tokoh lainnya (Aminuddin, 1984).
Dilihat dari perkembangan kepribadiannya, tokoh dapat dibedakan atas
tokoh dinamis dan tokoh statis. Jika dilihat dari masalah yang dihadapi tokoh,
maka dapat dibedakan atas simple karakter dan kompleks karakter (Aminuddin,
11
1984). Tokoh yang sederhana biasanya bersifat statis, sedangkan tokoh yang
memiliki kekomplekan watak bersifat dinamis.
Ditinjau dari peranan dan keterlibatannya dalam cerita, tokoh dapat
dibedakan atas (a) tokoh primer/utama, (b) tokoh sekunder/tokoh bawahan (c)
tokoh komplementer/tambahan (Aminuddin, 1984). Apabila ditinjau dari
dukungannya terhadap tema, dikenal adanya tokoh protagonis (tokoh yang
mengemban tugas untuk menyampikan tema) dan tokoh antagonis (tokoh yang
melawan tema).

3. Seting/Latar Cerita
Aminuddin (1984) memberi batasan seting sebagai latar peristiwa dalam
suatu karya fiksi baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa, serta memiliki
fungsi fisikal dan fungsi psikologis.
Kenny (dalam Sudjiman, 1988) mengungkapkan cakupan seting dalam
cerita fiksi adalah penggambaran lokasi geografis, pemandangan, perincian
perlengkapan sebuah ruangan, pekerjaan atau kesibukan sehari-hari para tokoh,
waktu berlakunya kejadian, masa sejarahnya, musim terjadinya dalam sebuah
tahun, lingkungan agama, moral, intelektual, soail, dan emosional para tokoh.
Sebuah pertunjukan drama akan menjadi sempurna bila didukung oleh
setting yang tepat dan baik. Dikatakan tepat bila seting benar-benar cocok dengan
situasi waktu maupun situasi tempat. Dikatakan baik jika seting yang ditampilkan
benar-benar ditata secara rapi, tidak asal, atau ceroboh. Kecerobohan dalam
menata setting akan mengganggu pandangan penonton, sedang ketidaktepatan
penataan setting akan terasa janggal.
Menata seting tidak sekedar menempatkan perlengkapan atau peralatan di
panggung atau pentas. Penata harus tahu bagaimana warna dan nada ceritanya.
Kapan cerita itu terjadi dan dimana peristiwa itu berlangsung. Itulah sebabnya
setting harus sesuai dengan waktu dan tempat.
Ruang tamu di rumah seorang pengusaha kaya tentu berbeda dengan
rumah seorang pedagang sederhana. Namun demikian, untuk memudahkan

12
pementasan, penataan panggung harus dibuat fieksibel sehingga tidak
menyulitkan pengubahan setting pada saat pergantian adegan.
Setting selalu memiliki keterkaitan dengan penokohan, perwatakan,
suasana cerita atau atmosfir, alur atau plot maupun dalam rangka mewujudkan
tema suatu cerita. Setting berfungsi sebagai pendukung. Gambaran setting yang
tepat akan membantu memperjelas peristiwa yang sedang dikemukakan.
Untuk dapat melukiskan setting yang tepat diperlukan sekali pengetahuan
yang memadai tentang keadaan atau waktu yang akan digambarkan. Hal tersebut
dapat diperoleh melalui pengamatan langsung atau melalui bacaan-bacaan atau
sumber informasi lainnya.

4. Dialog
Dialog pada hakikatnya adalah percakapan yang dilakukan oleh dua orang
atau lebih. Dalam drama, cerita disajikan dalam bentuk dialog-dialog sehingga
bentuknya sangat khas. Unsur dialog ini dapat dikatakan sebagai pembeda antara
drama dan karya sastra yang lain, khususnya dengan prosa fiksi yang juga
mungkin terdapat dialog di dalamnya. Dialog dalam drama bersifat sangat
fundamental, bahkan drama dapat diidentikkan dengan daftar dialog antartokoh
dalam cerita. Ini berbeda dengan prosa fiksi yang dialognya sangat terbatas sebab
masih dijabarkan dalam bentuk narasi.
Pentingnya dialog dalam drama juga berkaitan dengan peran dialog
sebagai alat untuk menyampaikan gagasan. Melalui bahasa dalam dialog, dapat
diketahui watak seseorang secara jelas. Hanya melalui bahasa yang diwujudkan
dalam bentuk dialoglah dapat dipahami siapa dan bagaimana seorang tokoh. Dan
di antara dialog-dialog antartokoh itulah pesan drama disampaikan.
Selain dialog, dalam drama juga dikenal adanya monolog. Dalam
monolog, ungkapan atau kalimat diucapkan oleh seorang saja. Monolog dapat
berorientasi pada sesuatu di luar dirinya, dapat pula berwujud membicarakan
orang lain dari segi positif dan negative.
Istilah lain yang masih berhubungan dengan dialog adalah sosiolog. Ciri
khas sosiolog menurut Maryaeni (1992) adalah mengungkapkan perasaan-
13
perasaan, gagasan yang secara prinsip selalu mengalami kegagalan hidup seorang
pelaku. Kegagalan tersebut menyebabkan tokoh mengeluh, memelas, dan ingin
dikasihi. Visualisasi sosiolog ini dapat seorang diri, bias juga dengan bersama-
sama tokoh lain.

5. Tema
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga
sebagai pangkal tolak pengarang dalam mengembangkan cerita (Aminuddin,
1984). Tema merupakan pokok pikiran atau sesuatu yang melandasi suatu karya
sastra diciptakan. Tema merupakan sesuatu yang paling hakiki dalam setiap karya
sastra meskipun bukan berarti mengesampingkan unsur lainnya. Tanpa tema,
suatu karya tidaklah berjiwa. Ia ada di dalam dan dimana-mana.
Pengarang dalam mengembangkan ceritanya bukan sekedar mau bercerita,
tetapi hendak menyampaikan sesuatu pada pembaca atau penontonnya. Sesuatu
yang akan disampaikan dapat berupa suatu masalah kehidupan, pandangan
hidupnya tentang kehidupan ini atau komentar terhadap kehidupan ini. Kejadian
dan perbuatan tokoh cerita, semuanya diriasari oleh ide pengarang ini. Sebuah
karya sastra harus selalu mengatakan sesuatu, yaitu pendapat pengarang tentang
hidup ini sehingga orang lain dapat mengerti hidup ini lebih baik.
Tema tidak selalu dikemukakan secara definitif. Pengarang kadang-kadang
menyatakan tema ceritanya secara tersembunyi dalam suatu potongan perkataan
tokoh utamanya atau dalam satu adegan cerita. Dengan kata lain, pengarang dapat
menyatakan ide atau temanya dalam elemen-elemen cerita. Tema dapat tersamar
dalam seluruh elemen karya sastra. Pengarang dapat mempergunakan dialog-
dialog tokoh-tokohnya, jalan pikirannya, perasaannya, kejadian-kejadian, dan
seting cerita untuk mempertegas atau menyarankan isi temanya. Seluruh unsur
cerita menjadi mempunyai satu arti saja, satu tujuan. Dan yang mempersatukan
segalanya itu adalah tema.
Tema meliputi beragam permasalahan. Scharbah (dalam Aminuddin,
1984) membedakan tema atas (1) tema keindahan yang meliputi keserasian,
14
keselarasan, dan keseimbangan (unsur bentuk pemandangan atau sublimasi
pernyataan yang menimbulkan kegembiraan spiritual; (2) tema cinta kasih yang
meliputi simpati, rasa senang dan keterikatan yang mendalam sehingga
menimbulkan penyerahan, pengorbanan, kesetiaan, kebanggaan, pengabdian, dan
pembelaan; (3) tema keadilan, yaitu kualitas perlakuan, tindakan, perbuatan,
penerimaan, perolehan secara benar, jujur, seimbang dan proporsional, merata
baik dari Tuhan maupun dari manusia mengenai pelaksanaan kewajiban dan
haknya, (4) tema tanggung jawab dan pengabdian, yaitu panggilan hati nurani,
kesadaran untuk berperan serta atau melaksanakan tugas dan kewajiban
berdasarkan norma dan moral tertentu, (5) tema penderitaan, yang meliputi
siksaan batin atau jasmani yang disebabkan faktor dari dalam, yaitu penindasan
atau karena rasa memiliki yang mendalam, (6) tema harapan dan cita-cita, yaitu
dambaan atau keinginan terpenuhinya sarana dan prasarana guna memenuhi
kebutuhan dan kebahagiaan hidup, (7) tema kemerdekaan dan kebebasan, yaitu
tedepasnya seseorang atau kelompok masyarakat atau bangsa dari tekanan atau
penindasan jasmani dan rohani dan terlaksananya secara baik hak asasi manusia,
(8) tema hawa nafsu, yaitu dorongan emosional yang sangat kuat, terutama yang
bersifat alamiah dan animalisfil yang bertentangan dengan kemanusiaan yang adil
dan beradab, (9) tema keyakinan, keimanan, dan kepercayaan yang meliputi
kepercayaan yang kuat berdasarkan wahyu Tuhan atau agama atau peristiwa
sejarah serta logika dan nalar ilmiah, dan (10) tema pandangan hidup, yaitu suatu
wawasan tentang pedoman hidup berdasarkan agama, filsafat moral atau filsafat
politik, social, dan kenegaraan.

Unsur Ekstrinsik Drama


Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar tubuh karya sastra yang
ikut mempengaruhi penciptaan karya sastra. Unsur-unsur tersebut meliputi latar
belakang kehidupan pengarang, keyakinan dan pandangan hidup pengarang, adat
istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik, persolan sejarah, ekonomi,
pengetahuan agama, dan lain-lain.

15
Unsur ekstrinsik ini mencakup berbagai aspek kehidupan social yang
tampaknya menjadi latar belakang penyampaian tema dan amanat cerita. Unsur
ekstrinsik sangat mempengaruhi penciptaan sebuah karya sastra. Seorang
pengarang dengan latar belakang agama Islam tentu tidak akan sama dengan
orang beragam Kristen dalam menghadapi persoalan yang prinsip karena yang
mendasari sikap dan tindakannya juga tidak sama. Hal seperti tersebut akan
mewarnai karya-karya yang dihasilkannya. Demikian pula seorang yang realis
akan berbeda dengan orang yang romants, orang yang berlatar Jawa berbeda
dengan yang Batak, Bugis, dan sebagainya. Pembahasan tentang unsur ekstrinsik
ini yang utama adalah pembahasan tentang sastra dan masyarakat, pengarang dan
masyarakat, dan ideology pengarang dalam karya sastra.

1. Sastra dan Masyarakat


Damono (2017) menyebut setiap fakta sastra merupakan bagian suatu
sirkuit. Dengan alat trannsmisi yang sangat kompleks, yang merupakan bagian
seni sekaligus juga teknologi dan usaha dagang, ia mengaitkan individu-individu
yang jelas definisinya (atau dikenal namanya) pada suatu kolektivitas yang dapat
dikatakan anonim (namun terbatas). Pada semua titik sirkuti itu, kehadiran
individu pencipta menimbulkan masalah interpretasi psikologis, moral, filsafat.
Media karya menimbulkan masalah estetika, gaya, bahasa, teknik. Adanya
kolektivitas-publik menimbulkan masalah dari segi historis, politik, sosial, bahkan
ekonomi. Dengan kata lain, paling tidak ada tiga ribu cara untuk membahas fakta
sastra.
Mengingat fakta sastra merupakan bagian tak terpisahkan dari cara
berpikir individual, bentuk-bentuk abstrak dan sekaligus struktur kolektif,
pembahasannya cukup menyulitkan. Sulit dibayangkan gejala dengan tiga dimensi
(sastra, masyarakat, dan pengarang) harus disusun sejarahnya. Sejarah sastra
seringkali ditulis berdasarkan studi manusia dan karyanya—biografi spiritual dan
komentar teks— karena konteks kolektif hanya dianggap semacam dekor, hiasan
yang dibiarkan menjadi objek studi pakar sejarah politik. Perspektif yang benar-
benar sosiologis sangat sulit dilakukan. Terkadang memang pengarangnya sadar
16
akan dimensi sosial dan berusaha memberikan suatu representasi, tetapi karena
tidak adanya metode yang kokoh dan sesuai dengan tujuan tersebut, sering mereka
tetap terkungkung dalam skema tradisional yang menyangkut manusia dan karya.
Menurut Damono (2017) kesulitan-kesulitan tersebut tidak pernah berhasil diatasi.
Bahkan jika representasi sempurna tidak mungkin, yang penting hendaknya para
penulis biografi atau komentar, ahli sejarah atau kritikus, para peneliti sastra
memiliki vis lengkap tentang fakta sastra dari masa kini atau masa llau. Pada masa
kini ditinjau dari sudut pengarang, menulis adalah suatu profesi atau paling tidak
suatu kegiatan yang menghasilkan uang, dan dilaksanakan dalam lingkup suatu
sistem ekonomi yang pengaruhnya pada penciptaan tidak diragukan. Dari segi
karya, buku adalah suatu produk industry yang didistribusikan secara komersial
sehingga tunduk pada hokum penawaran dan permintaan. Sebagai kesimpulan
dapat dikatakan bahwa kesusastraan antara lain dan dengan cara yang disebut
Damono (2017) tak dapat disangkal—merupakan cabang “produksi” dari industry
buku sebagaimana halnya pembacaan buku adalah cabang “konsumsi” dari
industry tersebut.

2. Pengarang dalam Masyarakat


Berkaitan dengan pengaruh unsur ekstrinsik dalam penciptaan karya
sastra, maka seorang pengarang yang baik akan selalu mempelajari segala macam
persolaan kehidupan manusia. Hal itu berkaitan dengan misinya sebagai seorang
pengarang yang selalu berhubungan dengan manusia dengan segala seluk
beluknya. Seorang pengarang yang kurang mengetahui dan kurang bisa
menyelami kehidupan manusia dengan keunikan-keunikannya hanya akan
menghasilkan sebuah karya yang hambar atau bahkan janggal.
Pengetahuan yang tidak kalah penting bagi seorang pengarang adalah
pengetahuan ilmu jiwa. Dengan ilmu jiwa yang cukup memadai maka ia akan
mampu menampilkan perwatakan yang pas. Dengan pengetahuan ilmu jiwa,
pengarang akan menggambarkan gerak dan tingkah laku yang cocok dengan gerak
jiwa dan batinnya. Berkaiatan dengan sosiologi pengarang ini, Wiyatmi (2013)
menyebutkan sosiologi pengarang berhubungan dengan profesi pengarang dan
17
institusi sastra. Masalah yang dikaji antara lain dasar ekonomi produksi sastra,
latar belakang sosial, status pengarang, dan ideologi pengarang yang terlihat dari
berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra.
Dalam penciptaan karya sastra, campur tangan penulis sangat menentukan.
Realitas yang digambarkan dalam karya sastra ditentukan oleh pikiran penulisnya
(Caute, via Junus, 1986:8). Realitas yang digambarkan dalam karya sastra sering
kali bukanlah realitas apa adanya, tetapi realitas seperti yang diidealkan
pengarang.
Dari yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren, serta Watt, di atas, maka
wilayah yang menjadi kajian sosiologi pengarang antara lain adalah meliputi: 1.
status sosial pengarang, 2. ideologi sosial pengarang, 3. latar belakang sosial
budaya pengarang, 4. posisi sosial pengarang dalam masyarakat, 5. masyarakat
pembaca yang dituju, 6. mata pencaharian sastrawan (dasar ekonomi produksi
sastra) 7. profesionalisme dalam kepengarangan.

3. Ideologi Pengarang dalam Karya Sastra


Meskipun karya sastra sarat dengan muatan ideologi, tetapi karya sastra
memiliki ciri khas yang membedakannya wacana-wacana lainnya, yaitu aspek
estetika yang dominan. Eksistensi estetika ini yang membuat karya sastra selalu
menyampaikan ideologi secara tidak langsung. Artinya, ideologi dalam karya
sastra selalu melubur dalam fakta cerita yang dihadirkannya. Karya sastra selalu
bicara tentang kehidupan yang telah difiksikan pengarangnya sehingga membaca
karya sastra selalu seperti sedang menikmati petualangan lewat kata-kata.
Meskipun demikian, sastra bukanlah buku filsafat. Sastra bukanlah

filsafat yang diterjemahkan dalam bentuk pencitraan dan sajak atau prosa,

melainkan ekspresi suatu sikap yang umum terhadap kehidupan. Filsafat dan

pemikiran dalam konteks tertentu menambah nilai artistic karya sastra karena

mendukung beberapa nilai artistic penting, seperti kompleksitas dan koherensi.

Pemikiran teoritis dapat memperdalam jangkauan sastrawan. Akan tetapi, terlalu

18
banyak ideologi yang tidak disatukan dengan unsur-unsur karya sastra justru dapat

mengganggu.

Mengenai ideologi dalam karya sastra, Wellek dan Warren (1995:137)

mendeskripsikan bahwa tidak dapat disangkal, sastra Inggris dapat dipakai untuk

menjelaskan sejarah filsafat. Plataonisme Renaisans sangat mempengaruhi puisi

zaman Elizabeth. Edimund Spencer menulis empat himne yang menggambarkan

proses Neo Platonik tentang peningkatan jazad bendawi untuk mencapai

keindahan Illahi. Dalam Faerie Queene, Spencer mencari pemecahan konflik

antara hakikat alam dan kecenderungan untuk berubah. Pilihannya jatuh pada

keteraturan yang bersifat abadi dan tak dapat berubah. Dalam karya-karya

Morlowe dapat didengar gaung skeptisisme dan atheisme Italia pada zamannya.

Dalam karya-karya Shakespeare banyak terdapat pengaruh Platonisme Renaisans

dan Stoicisme. Dryden menulis puisi-puisi filosofis yang menguraikan perdebatan

teologi dan politik zamannya.

Meskipun demikian, Wellek dan Warren (1995: 150) juga mengingatkan

hubungan yang padu antara filsafat dan sastra sering hanya merupakan ilusi saja.

Hubungan yang padu dibuktikan atas dasar penelitian tentang ideologi sastra,

pernyataan tentang tujuan penulisan, dan rencana-rencana yang tidak langsung

dengan penciptaan karya sastra yang sebenarnya. Memang keraguan akan adanya

integrasi tidak dapat membantah bahwa hubungan itu ada dan bahwa ada

kemungkinan terjadi kesejajaran. Kesejajarna itu diciptakan oleh kesamaan latar

social dan kurun waktu tertentu atau oleh kesamaan pengaruh pada sastra dan

filsafat.

19
Permasalahan masuknya pemikiran dalam kesusastraan baru muncul

kalau pemikiran mulai diwujudkan dalam tekstur karya sastra dan menjadi bagian

dari karya sastra. Dengan kata lain, ini terjadi kalau pemikiran berubah dari

pemikiran dalam arti biasa menjadi symbol atau mitos. Dalam puisi-puisi didaktis,

pemikiran sering hanya dinyatakan atau disampaikan melalui metafora. Ada juga

novel-novel ide yang penuh dengan diskusi problem social, moral, dan filsafat.

Wellek dan Warren (1995:150) mencontohkan integrasi filsafat dalam sastra

mencapai kadar yang lebih tinggi dalam novel seperti Moby Dick. Seluruh lakuan

dalam novel mempunyai mkna simbolik, yakni sebagai mitos. Selanjutnya,

menurut Wellek dan Warren (1995:150) pada novel-novel dan drama

Dostoyovsky, pemikiran diwujudkan langsung dalam alur dan tokoh-tokohnya.

Empat kakak beradik dalam Brothers Karamazov merupakan symbol-simbol dari

suatu perdebatan ideologis. Pada saat yang sama, konflik-konflik mereka juga

merupakan drama kehidupan pribadi. Kesimpulan ideologis dalam novel ini

merupakan bagian dari tragedi kehidupan pribadi tokoh-tokoh utamanya.

Di Indonesia, karya-karya Pramoedya Ananta Toer sering dianggap tidak

hanya merefleksikan kondisi masyarakat masa tertentu, tetapi juga sebagai bentuk

perjuangan melawan ketidakadilan yang menimpa masyarakat kelas bawah. Lebih

dari itu, pada masa Orde Baru, karya Pramoedya Ananta Tour diidentikkan

dengan ideologi kiri di Indonesia, yakni Komunis.

Jauh sebelum karya-karya Pramoedya Ananta Tour, Mohammad Yamin

telah menulis puisi-puisi yang membangkitkan semangat kebangsaan. Puisi Tanah

Air karya Mohamamad Yamin (1920) menempatkan puisi sebagai alat

20
mengekspresikan perasaan sekaligus gagasan tentang warga bangsa. Itulah awal

konsep tanah air digunakan. Sejalan dengan perkembangan pikirannya, maknanya

bergerak dari tanah air sebagai tempat kelahiran menjadi tanah air Indonesia.

Sebelum masa Balai Pustaka, Marco Kartodikromo dalam Studen Hijo

(1918) menawarkan kesadaran nasional melalui penggambaran kebrengsekan

Belanda di samping pentingnya para bangawan bersatu membantu para pelajar.

Pada masa Balai pustaka, drama Bebasari (1926) dari Rustam Efendi sering

dimaknai secara simbolik tokoh Sita mewakili ibu pertiwi dan Rama mewakili

pemuda Indonesia. Penculikan Sita oleh Rahwana merupakan simbolisasi

penjajahan Belanda. Bebasari secara terselubung menyimpan pesan ideologi

menyikapi bangsa Belanda.

Sastra Indonesia berkembang sesuai perubahan zaman. Ia mewartakan

potret sosial dan semangat zaman juga mnyelusupkan ideologi penulis dalam

menyikapi persoalan masyarakat. Karya-karya Ahmad Tohari, A. Fudholi,

Mustofa Bisri, Zawawi Imron, Emha Ainun Najib, dan Djamal D. Rahman sering

dianggap merepresentasikan ideologi pengarang santri. Berikutnya, pada tahun

2000-an marak pula karya-karya dengan muatan didaktis yang tinggi. Karya-karya

tersebut di antaranya mengusung nilai-nilai Islam sehingga karya-karya yang

sebagian besar ditulis untuk para remaja tersebut disebut dengan Novel Remaja

Islami (NORI).

Teknik Penulis Memasukkan Ideologi dalam Karya Sastra

21
Menurut Wellek dan Warren (1995:143) sebagian permasalahan yang

dicatat seorang penulis bersifat filosofis atau ideologis. Dalam hal ini, pengarang

berfungsi sebagai filsuf popular, sedangkan sebagian permasalahan lainnya

termasuk masalah perasaan dan cara berpikir, bukan pemikiran. Sering ideologi

bercampur dengan emosi. Dalam sikapnya terhadap alam, manusia sangat

terpengaruh bukan saja oleh kepercayaan agama dan pandangannya tentang alam

semsta, tetapi juga oleh pertimbangan estetis, konvensi sastra, dan mungkin juga

perubahan fisiologis dari penglihatannya.

Menurut Unger (dalam Wellek dan Warren, 1995:141), sikap seorang

penulis harus dipelajari dari segi lima jenis permasalahan, (1) masalah nasib, yaitu

hubungan antara kebebasan dan keterpaksaan, semangat manusia: (2) masalah

keagamaan, termasuk interpretasi terhadap dosa dan keselamatan; (3) masalah

alam, perasaan terhadap alam, juga mitos, dan ilmu gaib; (4) masalah manusia,

yaitu menyangkut konsep manusia, hubungan manusia dengan kematian dan

konsep cinta; dan (5) masalah masyarakat, keluarga, dan negara.

Unger lebih mencermati ide, pemikiran, gagasan, dan ideologi pengarang

melalui jenis permasalah yang diangkat dalam karya sastra. Berbeda halnya

dengan Raymond Williams (dalam Damono, 2009:72-76) yang menyebutkan

terdapat tujuh cara yang dipergunakan pengarang untuk memasukkan gagasan

(sosial) ke dalam novel. Pertama, gagasan disampaikan secara lugas. Dengan kata

lain, gagasan menjadi hal yang dipropagandakan di dalam novel. Dalam novel

seperti ini, pengarang menggunakan berbagai teknik propaganda agar gagasannya

sampai pada pembaca secara mudah tanpa banyak menuntut kecanggihan

22
interpretasi. Menurut catatan Damono (2009), novel Cinta Tanah Air karya Nur

Sutan Iskandar dapat dibaca sebagai karya yang menerapkan konsep demikian.

Kedua, novel yang tidak sepenuhnya menyampaikan gagasan secara

lugas tetapi secara jelas tetap menunjukkan niat untuk memikat orang ke arah

gagasan tertentu. Gagasan tersebut dipadukan ke dalam novel dengan cara

melambangkan atau mencontohkan. Tetralogi Pramoedya Ananta Tour termasuk

dalam novel jenis ini.

Ketiga gagasan dimasukkan dalam novel lewat perbantahan di antara

tokoh-tokohnya yang bermain di dalamnya. Gagasan dijadikan bahasan

perbincangan yang pada dasarnya adalah merupakan cara untuk menawarkannya.

Damono (2009) memberi contoh Siti Nurbaya (Marah Rusli) dan Atheis (Achdiat

Kartamihardja). Novel Layar Terkembang yang dikenal dengan tendens

emansiasinya juga menceritakan perbantahan di antara para tokohnya.

Keempat, menyodorkan gagasan sebagai konvensi. Gagasan akan terasa

dan tampak sebagai sesuatu yang wajar dan tidak sebagai suatu propaganda. Bagi

pembaca, gagasan demikian akan muncul sebagai common sense atau bahkan

sebagai pengalaman manusia yang universal. Dalam novel seperti itu gagasan

tidak terasa lagi sebagai gagasan, tetapi sebagai sesuatu yang memang sudah

menjadi milik bersama. Novel N.H. Dini Padang Ilalang Sebelah Rumah dan

Sebuah Lorong di Kotaku dikatagorikan Damono (2009) sebagai novel jenis ini.

Kelima, memunculkan gagasan sebagai tokoh. Dalam novel jenis ini,

gagasan sama sekali tidak kelihatan atau tidak bisa dikenali dengan langsung

23
karena sudah menyatu dengan tokoh, bahkan harus dikatakan sudah menjadi

tokoh itu sendiri seperti pada novel Pada Sebuah Kapal karya N.H. Dini.

Keenam, melarutkan semua gagasan dalam keseluruhan dunia fiksi.

Dalam novel jenis ini, gagasan mewujud dalam dunia rekaan yang sebenarnya

sepenuhnya dikendalikan oleh pengarang. Gagasan sedemikian biasanya

kompleks dan karena dalam-dalam menyatu ke dalam dunia rekaan muncul

sebagai dunia yang dapat berdiri sendiri tanpa harus ditentukan hubungan-

hubungannya dengan dunia lain di luarnya. Gagasan pengarang tentu saja masih

dapat ditelusuri, tetapi karena gagasan sudah demikian dalam masuk ke dunia

rekaan, tanggapan terhadapnya terjadi secara langsung dan tanpa perantara.

Stasiun karya Putu Wijaya dikatagorikan Damono (2009) jenis ini.

Ketujuah menampilkan gagasan sebagai superstruktur. Dengan konsep

ini, novelis menyampaikan gagasan dengan cara menciptakan tokoh yang

menyuarakannya. Akan tetapi, tindakan yang dilakukan dan akibat yang

ditimbulkannya sama sekali berlawanan arah. Hal ini disebabkan perbedaan

pandangan pengarang di luar karya sastra dan gagasan yang masuk ke dalamnya.

Pengkajian ideologi dalam karya sastra tidak dapat dilepaskan dari

hakikat sastra yang dibangun oleh berbagai unsur. Di antara unsur yang paling

penting yang membangun karya sastra, khususnya prosa adalah peristiwa. Oleh

karena itulah, pengkajian terhadap ideologi dalam karya sastra di antaranya

dilakukan melalui peristiwa-peristiwa naratif yang membentuk cerita seperti yang

dilakukan oleh Noorman (2010). Selain melalui penelusuran terhadap peristiwa

naratif yang ada dalam karya sastra, bahasa juga dapat mengindikasikan ideologi

24
tertentu, khususnya bagi pemerhati studi wacana kritis. Hal ini karena mereka

beranggapan bahwa bahasa bukanlah media netral bagi pembentukan makna dan

pengetahuan tentang dunia objek independen yang ada di luar bahasa. Penggunaan

bahasa yang bertujuan untuk dikonsumsi public haruslah disikapi sebagai sebuah

penanaman sebuah ideologi tertentu, termasuk dalam karya sastra.

25
DRAMA SEBAGAI SENI PENTAS

Berkaitan dengan karateristik drama sebagai seni pentas, drama


merupakan sebuah seni yang independen (single fine art) sekaligus gabungan
bermacam-macam seni atau mix art seperti seni tari, musik, rias, vokal, dan
sebagainya. Dengan demikian seni drama juga didukung dengan sejumlah elemen
berkaitan dengan aspek pementasan yang dihadirkan pada penonton melalui
bantuan sutradara sebagai pengatur pementasan. Unsur-unsur penting dalam
pementasan antara lain adalah naskah, pemeran, sutradara, pentas, tata pakaian,
perlengkapan, dan penonton.

Naskah Drama
Naskah drama biasa dimaknai sebagai kertas kerja yang berisi dialog yang
mempertentangkan suatu alur yang berfungsi sebagai pemandu kerja para pekerja
teater yang termasuk di dalamnya sutradara dan pernain. Seperti telah
dikemukakan, naskah drama berisi unsur pembangun yang terdiri atas unsur
intrinsik dan ekstrinsik seperti karya sastra pada umumnya. Yang membedakan,
naskah dalam drama juga berfungsi sebagai pemandu kerja pekerja teater.

1) Pemilihan Naskah
Salah satu di antara masalah-masalah dalam pementasan drama adalah
pemilihan naskah. Sebelum mementaskan sebuah naskah, seorang sutradara
dituntut untuk dapat menentukan naskah yang memiliki potensi dramatik.
Kalau seorang sutradara menjatuhkan pilihan terhadap suatu naskah untuk
mementaskannya, menurut Saini (1984:9) sedikitnya ada dua alasan yang
mendorongnya. Pertama, karena ia menghayati dan (mungkin) setuju dengan
pandangan, sikap, dan perasaan pengarang yang diungkapkan dalam naskah
tersebut. Kedua, karena ia sudah dapat melihat kemungkinan-kemungkinan
mengungkapkan isi naskah secara teaterikal.
Hal pertarna, lebih berkaitan dengan isi atau cerita. Dalam masyarakat
yang pluralistik seperti sekarang ini, dramawan dituntut kreatif. Pada masa
26
sekarang hampir tidak ada penonton yang memandang sesuatu secara homogen.
Sutradara dituntut dapat menyajikan tontonan yang memuaskan sernua kalangan.
Dramawan bukan saja dituntut untuk dapat menemukan nilai-nilai bersama, kalau
perlu mereka harus membina nilai-nilai baru yang mereka anggap berharga bagi
masyarakat penonton mereka. Pengarang-pengarang naskah bukan saja harus
memahami masalah-masalah apa saja yang jadi bahan renungan masyarakat
umumnya, tetapi dia pun harus mampu menemukan dan mengajukan masalah
yang pantas menjadi bahan renungan masyarakatnya. Ia harus tahu nilai-nilai apa
yang menjadi sendi kehidupan masyarakatnya, akan tetapi iapun harus
memperkenalkan nilai-nilai baru agar kehidupan masyarakatnya menjadi lebih
mantap dan lebih kukuh.
Seorang sutradara harus pandai memilih naskah hingga pementasan teater
yang disutradarainya akan menjadi suatu peristiwa teater yang bernilai ritual.
Untuk itu ia harus mengetahui naskah mana yang mengandung nilai-nilai yang
berkaitan dengan nilai-nilai masyarakat penontonnya, bahkan iapun harus berani
memilih naskah yang mengandung nilai-nilai baru yang penting bagi
masyarakatnya.
Beberapa ciri naskah yang sering dijadikan dasar pernilihan adalah (1)
mampu mencetuskan kegembiraan dan ketakutan pada diri penonton, (2) mampu
memberikan kekayaan batin, membebaskan manusia dari prasangka dan memberi
rasa senang, (3) mampu menciptakan situasi yang membutuhkan jawaban, (4)
tidak terdapat pemyataan-pernyataan yang membingungkan, (5) memiliki dialog
yang menarik, (6) apabila dibaca berulang-ulang akan menimbulkan pengertian
yang lebih jelas pada pembaca, dan (7) naskah berisi kebenaran, mendalam, dan
tidak palsu.
Selain harus pandai memilih naskah yang mengandung nilai-nilai utama
tersebut, seorang dramawan juga harus mampu memvisualisasikan nilai-nilai
tersebut ke dalam bentuk-bentuk simbol-simbol yang tepat dan dikenal
masyarakat penontonnya. Dengan demikian, seorang sutradara juga harus mampu
memilih naskah yang memiliki kemungkinan dramatik yang mampu menarik
perhatian penonton.
27
Hal-hal yang mungkin menarik diungkapkan secara teaterikal dapat
meliputi banyak hal. Selain isi dan alur unsur-unsur intrinsik lain juga memiliki
potensi untuk divisualisasikan secara menarik. Yang utama tentu saja berkaitan
dengan tokoh dan penokohan dan bagaimana unsur-unsur lain seperti dialog,
kinetik, dan setting dapat mendukung penokohan tersebut.

2) Menafsirkan Naskah
Sebelum mementaskan naskah, ada beberapa sutradara yang sengaja
berkunjung ke tempat penulis naskah untuk menanyakan keinginan penulis dalam
hubungan dengan pementasan naskah dan meminta saran-saran bagaimana
sebaiknya naskah tersebut dipentaskan. Biasanya penulis selalu menolak untuk
menjelaskan keinginan maupun memberikan saran. Penolakan tersebut diriasarkan
kepada beberapa alasan.
Pertama, penulis berpendapat bahwa seorang calon sutradara seyogyanya
mementaskan suatu naskah alas dasar tafsiran pribadinya terhadap naskah itu dan
tidak berdasarkan keinginan pengarang. Sutradara itu hendaknya lebih percaya
pada apa yang terjadi dalam pikiran dan perasaaannya daripada pada keinginan-
keinginan dan saran-saran pengarang. Karena, bagaimanapun juga pikiran dan
perasaannya sendiri itulah yang merupakan pengalaman pribadinya yang otentik
dan pengalaman pribadi yang otentik inilah yang dapat menjadi pijakan yang
kokoh dalam upaya kreatifnya sebagai seniman. Keinginan pengarang dan saran-
sarannya belum tentu dapat dipahami oleh sutradara, apalagi dihayati. Oleh karena
itu, manfaatnya tidak akan banyak. Apalagi kalau diingat bahwa tidak semua
pengarang memahami media sutradara, maka keinginan-keinginan dan saran-
sarannyapun mungkin saja tidak mengenai sasaran.
Kedua, kalau pengarang masih menyampaikan keinginan-keinginan,
saran-saran dan bahkan penjelasan-penjelasan tentang naskah dan cara
pementasannya, hal itu berarti bahwa ia tidak punya keyakinan karyanya dapat
berbicara sendiri. Dengan kata lain, mungkin ia beranggapan bahwa karyanya itu
sebenamya belum selesai. Penjelasan tentang naskah tersebt juga mengindikasikan
bahwa pengarang sebenarnya punya ambisi untuk jadi sutradara dan oleh karena
28
itu secara tak sadar ia campur tangan dalam bidang kegiatan yang sebenarnya di
luar haknya sebagai seniman.
3) Mengedit Naskah
Meskipun tidak sernua penulis naskah sependapat adanya pengeditan
terhadap naskah yang telah dibuat, terkadang sebuah naskah perlu disesuikan
dengan keadaan pentas yang sebenamya. Misalnya, naskah agak goyah secara
struktural sehingga perlu "diperbaiki", naskah terlalu panjang, atau ada bagian
yang karena suatu sebab (misalnya sulit/memerlukan biaya banyak, terkait SARA)
tidak dapat dipentaskan. Oleh karena itulah, tidak jarang pemotongan,
pengubahan, dan penambahan "terpaksa" dilakukan.
Pemotongan naskah dilakukan dengan membuang bagian-bagian tertentu
dari naskah. Biasanya penulis cukup toleran dengan ini. Contohnya Saini, KM
(1984:15) yang dapat menyetujui pengurangan atau pemotongan naskah drama
yang ditulisnya. Namun, harus diupayakan agar pemotongan tersebut tidak akan
mengurangi kejelasan masalah dan pesan pengarang.
Seperti halnya mengubah suatu cerita, pengubahan naskah drama dapat
dilakukan terhadap setiap unsur drama. Namun, harus diingat bahwa tidak semua
penulis menyetujui hal ini. Saini, KM (1984) mengatakan sebenarnya tidak salah
jika dikatakan bahwa pengubahan merupakan suatu pelanggaran. Dalam
pengubahan, sutradara sudah berfindak di luar haknya, yaitu sebagai pengarang
dan tidak hanya sebagi penerjemah naskah di atas pentas. Karena hal itulah maka
pengubahan seyogyanya hanya dilakukan bila dianggap perlu.
Penambahan terhadap suatu naskah juga tidak disetujui banyak pihak. Hal
ini karena tindakan sutradara sudah jauh di luar wewenangnya. Penambahan
memiliki sisi negatif karena menjadikan cerita tidak lagi sebagai karya seorang
pengarang secara utuh.
Hal yang paling aman dilakukan oleh sutradara dalam melakukan
penyesuaian adalah dengan tidak mengubah isi cerita. Seorang sutradara
seyogyanya menambah naskah yang dianggapnya tidak lengkap dengan mengolah
medianya. Apa yang kurang secara verbal harus ditampilkan secara audio visual
dan kinetik. Di sinilah letak hak dan kewajiban sutradara. Dengan demikian,
29
seorang sutradara tidak dengan seenaknya sendiri mengubah dan menambah suatu
naskah.

4) Menulis Naskah
Membuatnaskah sendiri sebenarnya tidak menguntungkan karena akan
memperbanyak kegiatan dalam sebuah persiapan pementasan. Akan tetapi,
berkaitan dengan tidak banyaknya naskah drama yang memenuhi selesa pelaku
pementasan, membuat naskah sendiri dapat menjadi pilihan. Naskah seperti ini
bersifat situasional, tetapi akan menjadi kepuasan tersendiri karena naskah sesuai
dengan keinginan.
Hal pertama yang dapat dilakukan oleh seorang penulis naskah drama
adalah menentukan tema. Oleh karena tema merupakan gagasan dasar cerita atau
pesan yang akan disampaikan oleh pengarang kepada penonton, tema akan
menuntun jalannya cerita dari awal sampai akhir. Visualisasi para tokoh, dialog
tokoh, latar merupakan pencerminan tema tersebut.
Langkah berikutnya yang dapat ditempuh oleh seorang penulis naskah
drama adalah menentukan persoalan dalam cerita sesuai dengan tema. Persoalan
berkaitan dengan rangkaian konflik yang merupakan inti sebuah cerita. Tanpa
konflik, sebuah cerita tidak akan menarik karena seperti yang diungkapkan
Marahimin (2000) inti sebuah cerita adalah konflik.
Langkah berikutnya adalah menentukan protagonist. Toko protagonist
merupakan tokoh yang membawa laku cerita secara keseluruhan. Dengan
menentukan tokoh protagonist, berarti pembawa tema telah terbnetuk. Dengan
mennetukan tokoh protagonist berikut dengan gambaran karakternya juga dengan
sendirinya akan memunculkan pembanding yang akan menjadi calon tokoh
antonis yang menentang tema.
Cara penyelesaian persoalan juga penting ditentukan lebih dahuu. Ada
beberapa teknik engakhiri cerita. Akhir cerita yang baik adalah logis, tidk tergesa-
gesa, baik sehingga mengesankan.
Membuat kerangka cerita perlu dilakukan penulis setelah penulis
menetapkan konflik. Kerangka akan membingkai jalannya cerita dari awal hingga
30
akhir. Kerangka cerita meliputi bagian pembukaan yang berisi gambaran singkat
tokoh-tokoh cerita, bagian awal cerita yang berisi pengenalan yang lebih
terperinci mengenai masing-masing tokoh dan titik awal munculnya konflik,
bagian tengan adalah peruncingan konflik hingga klimaks, dan bagian akhir titik
balik cerita dan penyelesaian konflik.
Dengan adanya kerangka cerita, penulisan drama menjadi terarah. Selain
itu, kerangka juga memudahkan penulis dalam mengembangkan tiap bagian
ceritanya. Oleh karena itu, pembuatan kerangka drama tidak dapat dianggap
remeh.

Pemeran
Akting adalah seni yang sangat kompleks. Ada tiga hal yang dibutuhkan
oleh seorang pemeran agar dapar berakting dengan maksimal, yaitu kernampuan,
belajar, dan latihan (Arifin, 1980).
Sebagaimana seniman lainnya, untuk menjadi pemeran yang sempurna
diperlukan kerja keras melalui belajar dan berlatih secara kontinyu.
Kemampuan/bakat dapat ditingkatkan, dikembangkan, dan diperhalus melalui
latihan-latihan yang tetap dan disiplin.
Beberapa hal penting yang harus dipegang oleh seorang pemeran, menurut
Pramana (dalam Arifin, 1980) adalah sebagai berikut.
1. Analisis pikir dan rasa terhadap gambaran watak yang akan dibawakan.
2. Dalam intensifikasi penggambaran watak, perlu dilakukan identifikasi terhadap
watak tersebut.
3. Mencari personifikasi terhadap watak yang akan dibawakannya.
4. Menghadirkannya di atas pentas dengan bantuan sang sutradara.
5. Mengadakan latihan di luar latihan.
Selain tuntutan atas kernampuan pemeran dalam berakting, keberhasilan
acting juga didukung kesesuaian pemeran untuk memerankan tokoh dalam sebuah
lakon. Berkaitan dengan itu, diperlukan teknik casting untuk memilih aktor/aktris.
Ada lima teknik casting yang sering digunakan untuk menyeleksi pernain, yaitu
31
(1) casting ability, pemilihan pemeran berdasar kecakapan atau kemahiran yang
sama atau mendekati peran yang dibawakan; (2) casting to type, pemilihan
pemeran berdasarkan atas kecocokan fisik si pernain; (3) anti type casting,
pemilihan pemeran bertentangan dengan watak dan ciri yang dibawakan, (4)
casting to emotional temperament, pemilihan pemeran berdasarkan observasi
kehidupan pribadi calon pemeran, dan (5) therapeutic casting, pemilihan pemeran
dengan maksud untuk penyembuhan terhadap ketidakseimbangan psikologis
dalam diri seseorang.

Sutradara
Sutradara adalah pekerja teater yang bertugas mengkoordinasikan segala
unsur teater dengan kecakapan dan daya khayal yang intelegen sehingga mencapai
suatu pertunjukan drama yang berhasil. Seorang sutradara bukan hanya seorang
organisator terhadap pikiran-pikiran dan mimpinya, tetapi juga organisator
terhadap kelompok yang dipimpinnya. Karena itulah seorang sutradara harus
memiliki dedikasi yang lebih dari seorang perneran. Untuk melangkah menjadi
seorang sutradara, seseorang haruslah lebih dulu mengikuti dan menguasai teknik-
teknik acting dan seyogyanya telah menjadi pemain untuk beberapa lama.
Seorang sutradara yang baik harus mengetahui dengan baik drama yang
akan dipimpinnya. Ia harus mempelajari struktur lakon dengan meneliti pola-pola
persiapannya, komplikasinya, krisis, dan penyelesaiannya. Hal ini karena
sutradara memiliki tugas yang berat yang meliputi semua aspek pementasan.
Secara umurn tugas sutradara adalah (1) merencanakan produksi pementasan, (2)
mengkoordinasikan produksi, meliputi menghayati naskah drama, menangkap
pesan dan tema dalam naskah, memahami nada, suasana misted,
mengkoordinasikan waktu, mengetahui dan mengkaji calon penonton, dan
mempersiapkan aktor, dan (3) memimpin latihan aktor/aktris, meliputi latihan
pembacaan teks drama, latihan blocking, latihan akting/latihan kerja teater, latihan
pengulangan atau pelancaran.
Sutradara dapat dikelompokkan dalam beberapa tipe. Berdasarkan
bagaimana, cara sutradara mempengaruhi jiwa pemain, dikenal (1) sutradara
32
teknikus, yaitu sutradara yang mementingkan segi luar yang gemerlapan dan (2)
sutradara psikolog dramatik, yaitu sutradara yang mementingkan penggambaran
watak secara psikologis dan tidak menghiraukan faktor-faktor luar.
Berdasarkan cara melatih pemain, terdapat (1) sutradara interpretator,
yaitu sutradara yang hanya berpegang pada interpretasinya terhadap naskah secara
kaku, (2) sutradara kreator, yaitu sutradara yang secara kreatif menciptakan varisi
baru, dan (3) gabungan, yaitu sutradara interpretator dan kreator.
Berdasarkan cara penyutradaraan yang dilakukannya, dikenal (1) sutradara
yang diktator yaitu seluruh langkah pernainnya ditentukan oleh sutradara dan (2)
sutradara yang menganggap aktor atau aktris sebagai pencipta permainan dan
peranan sutradara sebagai supervisor yang membiarkan pemain melaksanakan
proses kreatif.

4. Pentas
Istilah pentas dipergunakan karena dalam pementasan drama tidak selalu
di panggung tetapi terkadang juga di arena.
Dalam dunia teater modern, pentas disesuaikan dengan kebutuhan
penonton dan lakonnya, antara lain sebagai berikut.
1. Pentas konvensional, yaitu bentuk pentas panggung yang masih menggunakan tirai
depan (proscenium). Bentuknya statis, ada korden-korden, pembatas (wing),
hiasan atas (teaster dan border) dan dekorasi lukisan yang disesuaikan dengan
latar kejadiannya.
2. Pentas arena, yaitu bentuk pentas tidak di panggung, tetapi sejajar dnegan
penonton. Arena ini ada yang berbentuk tapal kuda, huruf L, huruf U, bentuk
segetiga, dan yang disebut amphiteater, yaitu arenanya lebih rendah dari tempat
duduk penonton yang berundak-undak.
3. Refolving, yaitu panggung yang dapat diputar. Tujuannya adalah untuk
mengurangi waktu kosong selama menunggu adegan berikutnya.
4. Elevator/lift, yaitu tiga pentas atau lebih yang disusun secara vertical dan
digunakan secara silih berganti untuk menaikkan/menurunkan panggung dengan
lantai permainan yang sedang berjalan sejajar dengan auditorium.
33
Tata Pakaian
Tata pakaian pentas adalah segala sandangan dan perlengkapannya
(accessories) yang dikenakan di dalam pentas (Harymawan, 1988). Pakaian atau
kostum pentas meliputi semua pakaian, sepatu, pakaian kepala, dan perlengkapan-
perlengkapannya, baik semua itu kelihatan atau tidak oleh penonton.
Kostum dapat digolongkan menjadi lima bagian, yaitu (1) pakaian dasar
atau foundation, (2) pakaian kaki/sepatu, (3) pakaian tubuh/body, (4) pakaian
kepala/headdress, dan (5) perlengkapan-perlengkapan/accessories (Harymawan,
1988).
Perencanaan dan penataan kostum atau costuming mempunyai tujuan
sebagai berikut.
1) Membantu penonton agar mendapatkan suatu cird atas pribadi peranan.
2) Membantu memperlihatkan adanya hubungan peranan yang satu dengan peranan
yang lain, misalnya seragam tentara.
Agar kostum pentas mempunyai efek yang diinginkan, kostum pentas
harus menunaikan beberapa fungsi tertentu. Fungsi-fungsi tersebut meliputi
berikut ini.
1) Fungsi yang pertama dan paling penting ialah membantu menghidupkan
perwatakan pelaku.
2) Fungsi yang kedua untuk individualisasi peranan. Warna dan gaya kostum dapat
membedakan seorang peranan dari peranan yang lain dan dari setting serta latar
belakang.
3) Fungsi yang ketiga ialah memberi fasilitas dan membantu gerak pelaku. Kostum
tidak hanya harus menjadi baju bagi pelaku, tetapi juga harus menambah efek
visual gerak, menambah indah dan menyenangkan setiap posisi yang diambil
pelaku setiap saat.

Perlengkapan
Perlengkapan meliputi segala sesuatu yang diperlukan dalam pementasan,
terutama untuk penataan pentas dan yang dibutuhkan oleh para pemeran dalam
34
pementasan tersebut. Pengertian tata pentas untuk kepentingan seni teater pada
awalnya memang mencakup arti keseluruhannya, yaitu segala sesuatu yang ditata,
disusun, guna mencapai komposisi pentas yang artistic dan estetis. Ini berarti tata
pentas meliputi penataan setting property, kostum, rias, suara, dan cahaya yang
merupakan faktor-faktor primer di dalam penataan artisfik panggung. Namun,
dalam pelaksanaannya, guna spesifikasi keda, penataan pentas dipilah-pilah
diantara penataan artistic tsebut.
Secara garis besar, perlengkapan biasanya dipisahkan atas (1)
perlengkapan untuk tata pentas (2) perlengkapan yang berkaitan dengan tata
lampu, (3) perlengkapan yang berkaitan dengan tata suara, dan (4) perlengkapan
yang berkaitan dengan tata rias.
Dengan demikian, tata pentas lebih ditekankan pada penataan pentas
sesuai dengan latar belakang suasana yang mendukung keadaan pentas. Istilah
yang umum digunakan adalah dekorasi. Latar harus bermakna dan biasa disebut
dengan scenenry, yaitu latar belakang tempat pentas diadakan untuk
mempertunjukkan lakon. Scenery meliputi segala hiasan yang melingkupi daerah
permainan.
Sebuah penataan pentas harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk
mencapai tujuan dan fungsi yang diharapkan (Arifin, 1980). Pokok-pokok
persyaratan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Lokatif, yaitu tata pentas harus memberi ruang pada gerak laku.
2. Ekspresif (tata pentas harus dapat memperkuat gerak laku dan memberi
pemyataan suasana (hati/jiwa) lakon.
3. Atraktif, yaftu tata pentas harus memberi pemandangan yang menarik atau dapat
memberi daya tarik.
4. Sederhana, yaitu tata pentas harus dapat menghilangkan segala sesuatu yang tidak
relefan denagn gagasan pokok.
5. Bermanfaat, yaitu tata pentas harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat
berguna bagi peran secara efisien dan efektif dan dapat diriayagunakan secara
terus menerus.

35
6. Prakfis, yaitu penataan pentas harus secara efisien dibuat, disusun. Dan mudah
untuk dibawa ke mana saja.
7. Organis, yaitu penataan pentas harus dapat menunjukkan setiap elemen yang
terdapat di dalam penampilan visual, memiliki hubungan satu sama lain serta
memenuhi tuntutan aspek orientasi dan relevansi terhadap naskah.
8. Ekonornis, yaitu penataan pentas harus dapat dibuat dari bahan-bahan yang tidak
banyak memakan biaya namun memenuhi tuntutan artistic yang diharapkan.
Perlengkapan yang berkaitan dengan dekorasi meliputi gambar-gambar
ilustrasi latar, bangku-bangku, kursi, almari, bunga dalam pot, dan benda-benda
yang diperlukan dalam pementasan baik yang bersifat alami maupun artifisial.
Perlengkapan untuk tata lampu meliputi segala jenis lampu, yaitu (1)
lampu primer, lampu yang sinarnya secara langsung menuju ke arah benda atau
daerah yang ingin disinari; (2) lampu sekunder, digunakan untuk menetralisir
bayangan yang ditimbulkan oleh sumber lampu primer; dan (3) lampu khusus
yang digunakan untuk menyinari dan menerangi latar belakang. Selain itu, dalam
tata lampu diperlukan juga alat-alat tata sinar seperti striplight, spotlight, dan
floodlight.
Perlengkapan untuk tata bunyi meliputi sernua jenis mikrofbn, yaitu
mikrofon omni (nondireksional), mikrofon bidireksional, mikrofon unidireksional,
mikrofon lapel, dan mikrofon boom. Selain itu diperlukan pula alat-alat musik,
lagu-lagu, atau rekaman-rekaman suara tertentu yang relefan dengan pementasan
seperti untuk memberi ilustrasi, menciptakan suasana tertentu, sebagai selingan,
pemberi tekanan, membantu penanjakan, dan sebagainya.

Penonton
Sesuai kodratnya, teater membutuhkan kehadiran suatu publik atau
audience dalam suatu tempat dan waktu yang khusus. Penonton yang diharapkan
bukanlah suatu penonton yang melimpah ruah, tapi suatu partisipasi yang bersifat
rohaniah, suatu dialog yang intim. Oleh sebab itu, publik yang ideal bagi suatu
pementasan menurut Arifin (1980) adalah publik yang sudah siap. Labih lanjut
Arifin (1980) menjelaskan publik atau audience itu bukanlah sesuatu yang polos
36
yang dengan teater akan diwarnai oleh cat tertentu. Mereka adalah partisipan-
partisipan yang dengan tingkat persiapan kreativitas tertentu sanggup mengadakan
dialog.
Bagi seorang penonton, drama harus memberikan sesuatu yang dia
inginkan, yang tidak diperolehnya dari kehidupan sehari-hari yang semarwut ini,
yang serba terikat oleh batasan-batasan konvensi lingkungannya. Penonton
melihat dalam drama kebenaran hakikat dirinya, kebenaran hakikat orang lain
dalam lingkungannya; dia ingin membanding, ingin meniru, ingin mencari, ingin
menemukan! (Arifin, 1980).
Drama adalah laksana cermin kehidupan manusia. Kehidupan manusia
bersendi pada unsur psikologis yang menentukan sepak terjang dan sikap hidup
manusia dalam mengahdapi masalahnya menurut watak dan pribadi masing-
masing. Suatu masalah menimbulkan konflik. Tanpa konflik tak ada masalah. Dan
perikehidupan manusia ini dipadati oleh segala macam konflik, sebab manusia
dengan naluri aslinya yang menghendaki kebebasan terbentur pada reaksi atau
konvensi lingkungannya yang serba membatasi.
Apabila dipilah-pilah, faktor psikologis yang mempengaruhi penonton
dapat dikelompokkan sebagai berikut.
1) Polarisasi
Polarisasi adalah keadaan yang menunjukkan tendensi penonton dalam membuat
suatu orientasi diri dalam hubungan dengan stimulus. Sumber stimulus itu adalah
lakon yang dipentaskan.
2) Stimulus
Perhatian sangat bermanfaat bagi stimulus. Dengan perhatian yang lengkap dan
jeli mengakibatkan timbulnya hipnotis. Massa menjadi emosional dan mudah
tersentuh. Jadi, jelaslah bahwa stimulus adalah faktor penentu dalam polarisasi.
3) Sikap social
Jika seseorang berkumpul dengan orang lain maka ada kecenderungan untuk
bereaksi sama dengan mereka. Sikap orang lain dalam kelompok itu akan
mempengaruhinya.

37
Reaksi massa atas stimulus yang kuat akan mempengaruhi reaksi individu.
Penonton di dalam studio yang melihat pertunjukan secara langsung mengarah
kepada respon dan psikologi massa pada tingkat yang sangat berbeda dengan
objektivitas tunggal seorang penonton di rumah. Faktor sosial dalam teater sangat
penting.
4) Regimentation
Hilangnya individualitas mengakibatkan kemudahan mengatur kesaman
psikologis dan fisik. Massa yang diarahkan pada pola kesibukan yang sama akan
lebih mudah cara pengaturannya. Bawalah penonton teater ke arah keseragaman
psikologis dalam menanggapi ide suatu lakon.

38
HAKIKAT APRESIASI DRAMA

Hakikat apresiasi sastra secara umum sering menimbulkan kekaburan.


Pengertiannya yang tumpang tindih dengan kritik dan penelitian sastra
menjadikan kegiatan apresiasi sastra sulit dibatasi. Selain itu, kegiatan apresiasi
sastra juga sangat dilematis untuk dikelompokkan sebagai fenomena kesenian atau
keilmuan.
Apresiasi, kritik, dan penelitian sastra, ketiganya absah menjelajahi seluruh
fenomena karya sastra, baik yang berkaitan dengan aspek intrinsik maupun
ekstrinsik. Perbedaan baru jelas teridentifikasi jika diperhatikan ciri-ciri prilaku
yang harus ada dalam kegiatan tersebut. Sejalan dengan ciri prilaku tersebut,
apresiasi sastra pada hakikatnya merupakan kegiatan internalisasi sastra
sedangkan kritik dan penelitian sastra merupakan kegiatan rasionalisasi sastra
(Saryono, 1996).
Dalam internalisasi sastra, jarak harus dileburkan antara manusia
(pengapresiasi) dan karya sastra. Dalam rasionalisasi sastra, jarak antara manusia
(pengritik atau peneliti) justru harus diciptakan.
Dengan demikian, apresiasi sastra tampaknya perlu diletakkan sebagai
peristiwa atau fenomena kesenian, bukan peristiwa atau fenomena keilmuan atau
lainnya. Sebagai peristiwa kesenian, apresiasi sastra banyak bersangkutan dengan
aspek emosi. Andaikata keterampilan tangan dan keterampilan fisikal diperlukan
hendaklah keterampilan itu disikapi dan dipandang sebagai penyosokan peristiwa
kerokhanian atau kekalbuan tersebut. Selain itu, andaikata teori-teori mapan
diperlukan, hendaklah hal itu dipandang sebagai perangkat yang membantu
berlangsungnya apresiasi sastra dan bukan hal yang utama.
Apresiasi drama sebagai bagian dari apresiasi sastra juga harus dilihat
sebagai kegiatan yang tidak hanya mengandalkan keterampilan fisikal dan
pengetahuan kaidah-kaidah dalam karya sastra berbentuk drama, tetapi juga
pengindahan, penikmatan, penjiwaan dan penghayatan sehingga daripadanya
muncul penghargaan yang didasari oleh kepekaan. Dengan meresepsi drama,
diharapkan pengapresiasi dapat menghayati karakter tokoh-tokoh drama; perasaan
39
dan pikiran tokoh ketika terlibat dengan permasalahan yang dihadapi; dan
perjalanan nasib tokoh. Dengan menghayati tokoh dan perkembangan
permasalahan dalam drama, pengapresiasi dapat memahami dengan baik
keputusan-keputusan yang diambil oleh tokoh drama, perkembangan karakter
tokoh, dan motivasi yang mendorong sang tokoh untuk bertindak tertentu. Dengan
pemahaman seperti inilah, pengapresiasi dapat memberikan penghargaan secara
tepat atas karya drama yang dinikmatinya.

Pengertian Apresiasi Drama


Pengertian apresiasi sastra yang ada saat ini sangat beraneka ragam.
Keragaman tersebut antara lain disebabkan terjadinya perubahan dan
perkembangan pemikiran tentang apresiasi sastra. Perkembangan dan perubahan
itu antara lain pada penyikapan dan pendekatan terhadap apresiasi sastra.
Pengertian yang umum dapat dilacak dari asal kata apresiasi, yaitu to
appreciate (Inggris) yang berarti menghargai, berkenan, atau dari kata appreciate
(Inggris) yang berarti penghargaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) apresiasi diartikan sebagai kesadaran terhadap nilai seni dan budaya atau
penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu (Alwi, 2001:62). Pengertian yang masih
sangat umum ini jika dikenakan pada sastra berarti penghargaan dan pemahaman
atas suatu karya sastra. Panuti Sudjiman (1990) juga menyatakan apresiasi sastra
adalah penghargaan terhadap karya sastra yang didasarkan atas pemahaman.
Pengertian apresiasi yang lebih luas adalah kegiatan menggauli karya
sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan,
kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra.
Pengertian inilah yang banyak berkembang sehingga secara fisik kegiatan
mengapresiasi seringkali menghasilkan bentuk ulasan, resensi, dan analisis.
Berdasarkan pengertian-pengertian apresiasi yang dianggap kurang
lengkap atau mencakup seluruh aspek dalam kegiatan mengapresiasi, Saryono
(1997) memberikan definisi apresiasi sebagai suatu proses (kegiatan)
pengindahan, penikmatan, penjiwaan, dan penghayatan karya sastra secara
individual dan momentan, subjektif dan eksistensial, rohaniah dan budiah, khusuk
40
dan kaffah, intensif dan total supaya memperoleh sesuatu daripadanya sehingga
tumbuh, berkembang dan terpiara kepedulian, kepekaan, ketajaman, kecintaan,
dan keterlibatan dalam karya sastra.
Salah satu bentuk karya sastra yang dimaksud dalam apresiasi tersebut
adalah drama, baik sebagai teks maupun sebagai seni pentas. Sedangkan kegiatan
pengindahan, penikmatan, penjiwaan, dan penghayatan dapat direalisasikan dalam
bentuk membaca naskah drama, mendengar atau menonton pementasan drama,
menghayati dan mengambil nilai yang ada di dalamnya.
Sejalan dengan pengertian apresiasi yang ada, sebagai suatu proses,
apresiasi melibatkan tiga unsur inti, yaitu (1) aspek kognitif, (2) aspek emotif, dan
(3) aspek evaluatif.
Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelek pembaca, penonton,
atau pendengar dalam upaya memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat
objektif. Unsur-unsur tersebut dapat berupa unsur intrinsik maupun unsur
ekstrinsik karya sastra.
Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan emosi pembaca dalam upaya
mengahayati unsur-unsur keindahan dalam karya sastra yang dibaca, ditonton,
atau diriengar. Selain itu, unsur emosi juga sangat berperanan dalam upaya
memahami unsur-unsur yang bersifat subjektif, seperti bahasa yang bersifat
konotatif interpretatif atau unsur-unsur signifikan tertentu, misalnya penampilan
tokoh dan setting yang bersifat metaforis.
Aspek evaluatif berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian
terhadap baik-buruk, indah-tidak indah, sesuai-tidak sesuai, bermanfaat-tidak
bermanfaat, serta sejumlah ragam penilaian lain yang tidak harus hadir dalam
sebuah karya kritik, tetapi secara personal cukup dimiliki oleh penikmat. Dengan
kata lain, keterlibatan unsur penilaian dalam hal ini masih bersifat umum sehingga
setiap pengapresiasi yang telah mampu meresponsi teks sastra yang dibaca,
pembacaan atau pementasan yang ditonton sampai pada tahapan pemahaman dan
penghayatan, sekaligus juga mampu melaksanakan penilaian.

Tujuan Apresiasi Drama


41
Dalam apresiasi sastra terjadi interaksi antara manusia dan sastra.
Terjadinya interaksi ini berarti adanya perjumpaan antara pengapreasiasi dan
sastra yang diapresiasi. Karena itulah Saryono (1997) mengemukakan bahwa
apresiasi sastra sesungguhnya mempunyai satu tujuan saja, yaitu membangun
dunia perjumpaan yang memungkinkan adanya dunia perjamuan dan dunia
percakapan sehingga terselenggara perjamuan-perjamuan dan percakapan-
percakapan antara pengapresiasi dan sastra yang diapresiasi. Di dalam perjamuan
dan percakapan tersebut, sastra menawarkan, menyuguhkan, dan menghidangkan
sesuatu kepada pengapresiasi. Sesuatu yang dimaksud ini setidak-tidaknya dapat
dipilah menjadi 4 macam, yaitu (1) pengalaman, (2) pengetahuan, (3) kesadaran,
dan (4) hiburan (Saryono, 1997).
Pengalaman yang diperoleh melalui kegiatan mengapresiasi karya sastra
dapat bermacan-macam. Pegalaman yang dimaksud di sini bukanlah pengalaman
empiris, fisikal, dan kasat mata yang memerlukan tindakan jasmani, melainkan
pengalaman rohaniah batiniah, misalnya pengalaman yang bermuatan dengan
nilai-nilai keindahan, kemanusiaan, etis dan moral, filosofis, religius, mistis,
sosial budaya, dan sosial politis.
Pengetahuan berbeda dengan pengalaman, meskipun setelah melalui proses
pengendapan dan pengonseptualan, pengalaman bisa menjadi pengetahuan.
Pengetahuan yang terhidang selama apresiasi sastra merupakan penangkapan
kognitif, konseptual, dan penyimpulan atas fenomena-fenomena karya sastra yang
diapresiasi Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1986) mengemukakan bahwa
pengetahuan yang diperoleh pembaca adalah pengetahuan yang bersifat penalaran.
Kesadaran yang dapat diperoleh dalam apresiasi sastra dapat berupa
kesadaran tentang keindahan, kemanusiaan, kebermaknaan, hakikat hidup
bersama, dan sebagainya. Kesadaran tersebut dapat diperoleh melalui penjiwaan,
penghayatan, dan penikmatan yang kenudian mengirimkan sinyal-sinyal
kesadaran kepada nurani, rasa dan budi pengapresiasi.
Apresiasi sastra tidak hanya menghidangkan pengalaman, pengetahuan,
dan kesadaran, tetapi juga hiburan. Ini karena sastra apapun bentuknya selalu
menghibur dan memancarkan sinyal-sinyal permainan yang menyenangkan. Jakob
42
Sumardjo dan Saini K.M. (1986) mengemukakan bahwa karya sastra memberikan
kegembiraan dan kepuasan batin. Hiburan ini adalah jenis hiburan intelektual dan
spiritual. Hiburan yang lebih tinggi, lebih dalam daripada hiburan batin karena
misalnya, memiliki mobil baru.

Tahapan Apresiasi Drama


Tahapan dalam apresiasi drama dapat dikenali dari proses berlangsungnya
kegiatan mulai dari awal sampai akhir. Secara umum, tahapan tersebut meliputi
tahap mengenal, memahami, merespons, dan memproduksi.
Tahap mengenal diwujudkan dalam kegiatan membaca naskah drama,
mendengar atau menonton pementasan drama. Tahap ini merupakan tahap
pengenalan seseorang terhadap karya drama atau awal pengindahan seseorang
yang dapat berlanjut ke tahap berikutnya. Dengan lain kata, tahap ini merupakan
tahap apresiasi yang paling rendah.
Tahap memahami diwujudkan dalam bentuk kegiatan mengahayati karya
drama. Dengan memahami karya drama akhimya muncul penikmatan pada diri
apresiator. Penghayatan yang mendalam terhadap segala hal yang terjadi dan
terdapat dalam karya drama sebaiknya tidak membuat pengapresiasi larut
sehingga pengapresiasi tetap dapat bersikap krifis terhadap apa yang dibaca,
diriengar, atau ditontonnya. Larutnya kejiwaan hanya akan membuat sang
pengapresiasi menangis, tertawa, sedih, atau jengkel, tetapi tidak mampu
memberikan penilaian terhadap drama yang dibaca atau ditontonnya secara
objektif dan kritis. Padahal, sikap objektif dan kritis sangat diperlukan untuk
mendapatkan pemahaman yang utuh dan mendalam terhadap sebuah karya drama.
Sikap objektif dan kritis tersebut hanya dapat dilakukan jika pengapresiasi dapat
selalu menggunakan pengetahuan, pengalaman, dan pikirannya untuk menilai dan
mengkritisi segala hal yang ditemukan dalam drama yang dibaca, diriengar, atau
ditontonnya.
Tahap merespon direalisasikan dalam kegiatan mengahargai karya sastra.
Menghargai karya sastra berarti mengambil manfaat dari padanya sehingga
tumbuh, berkembang, terpiara kepedulian, kepekaan, ketajaman, kecintaan
43
terhadap karya drama. Tahap ini juga dapat disebut sebagai tahap implikasi atau
penerapan. Setelah membaca suatu karya sastra sangat mungkin timbul kesadaran
dan membenarkan hal yang dikemukakan penulis dan kemudian merealisasikan
kesadaran tersebut demi kepentingan masyarakat. Aktivitas yang sering dilakukan
dalam merespon karya drama antara lain mendiskusikan, mengulas, dan
menimbang baik buruknya.
Sementara dalam tahap produktif, fokus utamanya menghasilkan suatu
karya drama. Karya tersebut juga dapat berupa kreasi ulang dari karya sastra yang
dibaca dalam bentuk menciptakan karya sastra lain. Dalam apresiasi drama secara
produktif juga dapat dihubungkan dengan kegiatan pementasan drama sebagai
kegiatan yang bukan semata-mata bersifat produktif, tetapi juga rekreatif. Disebut
rekreatif karena dalam pementasan tersebut seseorang bukan sekedar berperan
sebagai penikmat, tetapi juga berperan dalam mengkreasi ulang karya drama dari
karya naskah menjadi karya pentas.
Secara lebih teknis, Aminuddin dan Roekhan (2002) menyatakan bahwa
ditinjau dari aktivitas batiniahnya, terdapat tiga tahapan pokok dalam
mengapresiasi drama dan karya sastra umumnya, yaku (1) keterlibatan jiwa
pengapresiasi, (2) pemahaman dan penghargaan terhadap cara-cara penulisan
yang digunakan oleh sang penulis, dan (3) pendialogan antara hasil
pemahamannya terhadap drama yang dibaca, diriengar, atau ditonton dengan hasil
pengamatan, penghayatan, dan pemahamannya terhadap kehidupan di sekitamya.
Keterlibatan jiwa pengapresiasi merupakan hal penting karena dengan
keterlibatan jiwa ini pengapresiasi dapat merasakan dengan baik ucapan tokoh,
pemikiran tokoh, tindakan, dan sikap tokoh dalam menghadapi sebuah persoalan;
perubahan karakter tokoh; dan nasib yang dialami oleh seorang tokoh. Dengan
keterlibatan ini pengapresiasi dapat merasakan dengan baik pengaruh lingkungan
terhadap keadaan kejiwaan seorang tokoh; tentang konflik batin yang dialami
sang tokoh; dan tentang segala hal yang terkandung dalam drama.

44
BENTUK APRESIASI DRAMA

Kegiatan spresiasi drama secara garis besar dikelompokkan menjadi dua,


yaitu kegiatan apresiasi secara reseptif dan apresiasi secara produktif. Dalam
apresiasi drama secara reseptif, fokus kegiatannya adalah pemahaman dan
penghayatan karya drama yang dapat diwujudkan dalam bentuk menikmati,
menghayati, dan menghargai karya drama. Hasil penikmatan, penghayatan, dan
penghargaan tersebut bila direalisasikan secara fisik dapat berupa membuat
sinopsis, memprosakan, atau memberikan ulasan. Apresiasi drama secara
produkfif diwujudkan dalam bentuk menghasilkan suatu karya seperti naskah
drama. Selain itu, mementaskan drama tersebut di atas panggung juga
dikatagorikan sebagai kegiatan apresiasi secara produktif.

Membuat Sinopsis
Membuat sinopsis merupakan salah satu kegiatan apresiasi drama yang
cukup baik. Kegiatan ini dilakukan tidak dengan semata-mata memendekkan
naskah drama, tetapi juga mengubah drama menjadi prosa.
Drama biasanya terdiri atas bagian-bagian (adegan dan babak). Pembagian
ini biasanya tidak kebetulan, tetapi pengarang memiliki tujuan yang jelas terhadap
pembagian tersebut. Mungkin sekali tiap bagian itu merupakan peristiwa dalam
sebuah tahapan alur. Dalam mebuat sinopsis, hendaknya diriasarkan pada
peristwa-peristiwa tersebut. Berikut ini adalah sebuah contoh sinopsis naskah
drama kekerasan polifik yang berjudul. Jakarta 2039, 4 Tahun 9 Bulan setelah
13-14 Mei 1998 dari kumpulan Mengapa Kau Culik Anak Kami karya Seno
Gumira Ajidarma (Naskah tedampir).

45
JAKARTA 2039
4 Tahan 9 Bulan setelah 13-14 Mei 1998
(Sinopsis)

Judul : Jakarta 2039 Seorang perempuan cantik


40 tahun 9 bulan
bermata sipit, berkulit putih, dan
setelah 13-14 Mei 1998
Penulis : Seno Gumira Ajidarma berambut merah. Dia membawa
Penerbit : Galang Press
petaka yang menimpanya pada
Jml. Hlm : 36 Halaman
Th. Terbit : 2001 seorang laki-laki bersegaram.
Meski ia tidak tahu siapa
yang ada di hadapannya, Clara, nama perempuan itu, menuturkan peristiwa
yang dialaminya dengan pasrah dan terpatah-patah. Terkadang tubuhnya
lunglai, pingsan, dan matanya menuturkan perasaan terluka yang tak
terbahasakan.
Saat itu bulan Mei tahun 1998, merupakan masa yang amat buruk dan
memilukan bagi Indonesia, utamanya kota Jakarta. Clara tengah dalam
perjalanan pulang menuju rumahnya. Di sebuah jalan tol ia terjebak dalam
sebuah huru hara. Wanita eksekutif itu menghentikan mobilnya.
Segerombolan orang langsung menyongsong, meneriaki, dan menggebuki
BMW merahnya. Beberapa diantaranya menariknya keluar dari mobil,
menginterograsi dengan penuh ancaman, memaki, dan berbuat kasar padanya.
Selanjutnya, ia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Ia ditemukan,
perempuan tua tergeletak di pinggir jalan tol tanpa sehelai benang pun di
tubuhnya.
Dengan selembar kain pemberian perempuan tua itu, Clara tertatih-
tatih mencari HP-nya. Mencari kabar tentang keluarganya. Dari pesan yang
ada di HP, ia mendengar pesan papanya yang berharap ia sudah pergi jauh.
Kedua adiknya telah dilempar ke dalam api setelah diperkosa. Sang mama
melompat dari lantai empat setelah diperkosa pula. Sang papa tidak tahan
menyaksikan semuanya dan menyusul ketiganya.

46
Jakarta, Februari 2039. Empat puluh tahun sudah peristiwa Mei berlalu.
Anak hasil perkosaan telah dewasa. Orang-orang yang merasa tercampakkan,
riwayat hidupnnya terhapus seketika saat tahu asal-usulnya. Hidup penuh
kegamangan. Ada rasa dendam dan benci pada para pemerkosa namun juga
ada sebuah kesadaran bahwa mereka adalah bapaknya.
Perempuan yang diperkosa, hidup penuh tekanan, sakit jiwa setelah
menanggung kehamilan yang tidak dikehendakinya. Namun, setelah bayi
dalam kandungannya lahir, ia langsung sembuh. Meninggalkan bayinya,
memulai hidup barunya, dan berusaha melupakan kenangan buruknya. Namun
semua itu adalah sia-sia.
Pun bagi seorang pemerkosa. Hidupnya bagai menanggung beban dunia
di punggungnya. Segala akibat dari perbuatannya seolah telah kembali
padanya. Anak-anak yang tercerai berai. Istri menjadi pelacur dan lari dengan
orang lain. Tubuh yang digerogoti penyakit tanpa seorangpun peduli, kecuali
anak perempuannya yang tidak menikah dalam usia yang tidak lagi muda
karena merawatnya. Sehingga ia yang masih berusia 60 tahun tampak
demikian lemah. Hanya pada anak perempuan yang mau tinggal
bersamanyalah, laki-laki itu bisa berkeluh kesah, mengeluarkan segala rahasia
yang mengahantui dan membuntutinya. Seperti anak-anak yang lain, anak
perempuannya sama sekali tidak menyangka bahwa ayahnya seorang
pemerkosa.

Memprosakan Drama
Memprosakan drama berarti mengurai drama sehingga menjadi bentuk
prosa. Kegiatan ini mirip dengan membuat sinopsis. Hanya saja, dalam sinopsis
bisa berisi inti peristiwa saja, sedangkan dalam memprosakan drama seyogyanya
tidak ada bagian yang dihilangkan. Berikut ini contoh kegiatan mengubah naskah
drama ke dalam bentuk prosa.

47
DIAM

Judul Asli : Le Silence


Karya : Jean Murriat
Saduran : Bakdi Soemanto
Pelaku : Aleks, Irna, Dawud
Pentas menggambarkan sebuah ruangan tamu rumah kos. Ada beberapa meja
dan kursi. Ada sebuah pintu di sebelah kiri untuk keluar dan masuk. Di atas
meja ada beberapa buku. Saat itu sore hari, kira-kira pukul 18.00. Lampu
belum dinyalakan.
Aleks : (Masuk, menjatuhkan buku-bukunya di meja dan duduk dengan kesal
Bing, Bing. (Berhenti Bing, Bing. (Berhenti) Bong, Bong. (Berhenti
Bong, Boong, Huh,Bongkrek.
Irna : He, sudah lama?
Aleks : Baru saja. kau?
Irna : Lebih baru dari kau. Mana Bing?
Aleks : Tahu. Keluar kali.
Irna : Jadi, nggak jadi?
Aleks : Sejauh info samar-samar, tafsiran masih bebas, kau boleh bilang jadi,
boleh bilang tidak jadi. Boleh bilang ditunda, boleh bilang dimulai,
tetapi terlambat, dan apa saja.
Irna : Kalau tahu begini, aku mestinya
Aleks : Nggak kemari dan ke Rahayu bersama Agus, nonton, dan jajan, dan
minum-minurn dan rileks, dan putar-putar kota, dan cuci mata, dan
Irna : Cukup. Tak usah memperolok-olok Agus begitu. Memang dia tak
sehebat kau, tak sebrilyan kau, tak sepopuler kau, tak serajin kau, dan
tak sekaya kau, ….
Aleks : Cukup. Tak usah kau mengejek begitu. Berkata menyanjung-
nyanjung, tetapi menjatuhkan, menghina, meremehkan, memandang
rendah, me ….
Irna : Cukup, Tak u ….
Aleks : Cukup. Kau ….
Irna : Sudah.
Dawud: (Tiba-tiba masuk). Sudah. Setiap kali ketemu begini. Di sekolah, di
kantin, di sini, di rumah Amroq, di rumah Pak Juweh, di rumah ….
Irna : Sudah. Kau juga sama saja. Marah selalu. Di sini, di sana, dan ….
Aleks : Kau juga mulai lagi. Masalahnya itu apa? Dipecahkan.'Tidak asal
ngomong, asal ….
Dawud: Dim.
Semuanya diam sejenak dan beberapa jenak.
Aleks : Ini jadi ..
Irna : Diam. Dawud bilang apa? Masak nggak dengar bahwa da ….
Dawud: Diam Irna. Kalau kau terus-terus begitu, berkeringan tanpa guna.
Padahal ….

48
Aleks : Kau juga ngomong melulu. Nggak konsekuen itu namanya. Absurd.
Buat larangan dilanggar sendiri. Huh, dasar …,
Irna : Kau mulai lagi. Komentar itu secukupnya. Tidak ngelantur kesana
kesini
Aleks : Diam, Irna, diaaaam!
Dawud: Kau diam dulu, jangan menyuruh melulu, nggak memberi contoh …
Irna : Kau juga sendiri mesti diam dulu, baru yang lain itu, Wud. Diam
Semua. Tiba-tiba meledak tawa mereka bersama-sama.

Dalam mengubah naskah drama menjadi prosa harus diperhatikan dialog-


dialog kunci yang berkaitan dengan persitiwa penting yang mengkin merupakan
tahapan-tahapan penting dalam cerita. Pengubahan juga dapat mempertahankan
dialog-dialog tertentu agar tetap menarik. Naskah drama Diam tersebut dapat
diubah menjadi bentuk prosa seperti berikut ini.

49
DIAM
(Diprosakan oleh Suroto)

Dalam drama berjudul Diam digambarkan pada suatu sore, kira-kira


pukul 18.00 WIB, di sebuah ruang tamu rumah kos. Waktu itu lampu belum
dinyalakan sehingga tampak agak remang-remang. Di ruang itu ada sebuah
meja yang di atasnya terletak bebrapa buku.
Aleks masuk ke ruang tarnu sambil menjatuhkan bukunya dan duduk
dengan perasaan kesal. Tiba-tiba berteriak menyebut natna "Bing" beberapa
kali. Rupa-rupanya "Bing" adalah nama temanya. Tetapi, yang dipanggil
tidak menyahutinya. Karena yang dipanggilnya tidak kunjung tiba, ia
mengumpat dengan kata "Bongkrek".
Ima tiba-tiba muncul dan bertanya apakah Aleks sudah lama ada di
ruang tamu. Ima menanyakan Bing yang memang tidak ada di situ. Akan
tetapi, Aleks juga tidak mengetahuinya apakah Bing sudah datang atau
belum, atau malah telah pergi.
Karena rupa-rupanya
Oleh karena itu, ketika teman-temannya
Ima memperlihatkan tidak tepat waktu, Ima akan
penyesalannya jadi
ragu apakah rencana mereka jadi dilaksanakan atau tidak. Akan
ketidaktepatan teman-temannya dan ia merasa telah buang-buang waktu tetapi, Aleks
yang diajak
dengan bicara "Kalau
mengatakan saat itutahu
hanya menanggapi
begini, dengan
aku mestinya ……..”acuhAleks
tak acuh dan
langsung
bahkan dengan seenaknya ia menjawab. Sebenarnya terlihat
memotong ucapannya dengan "mendingan nggak kemari dan ke Rahayu bahwa Aleks
juga kesal
bersama akannonton,
Agus, ketidaktepatan teman-temannya.
jalan-ialan, jajan..."
Ima merasa jengkel, lalu membalas Aleks dengan cara menyanjungnya
secara berlebihan sehingga terasa sekali mengejek. Maka terjadilah
pertengkeran diantara mereka.
Ketika pertengkaran berlangsung, tiba-tiba Dawud masuk. la mencoba
melerai pertengkaran tersebut. Dari perkataannya seolah-olah Dawud kesal
karena setiap kedua orang itu berternu yang ada hanya pertengkaran saja.
Dimana-mana selalu bertengkar bila bertemu. Akan tetapi, peringatan Dawud
Memberi Ulasanbahkan Dawud sendiri kena bentakan Irna. Peringatan Dawud
tidak digubris
membuat suasana
Resensi makin
drama gaduh
adalah dan ribut.terhadap drama sebagai naskah maupun
pengulasan
Secara bergantian mereka mengingatkan untuk diam. Akan tetapi,
drama
karenasebagai
merekaseni pertunjukan.
saling mengingatkan Pengulasan
maka yang naskah drama,
terjadi justruberarti
bukanmenyikapi
suasana
diam melainkan tetap saja ribut.
drama sebagai karya sastra tertutup. Dalam hal ini, drama diperlakukan sama
Akhirnya mereka sadar bahwa jika terjadi terus menerus seperti itu,
dengan
saling karya sastra tulis
mengingatkan, yangdiam
maka lain,ituseperti
sendirinovel atau cerpen.
tak pernah Pencermatan
akan terjadi. lebih
Salah satu
harus mulai
ditekankan diam,
pada atau
aspek memberi
intrinsik yangcontoh diam, baru
membangun karyayang
sastralain akan sebagai
tersebut diam.
Ternyata itu benar. Semua menjadi diam. Akan tetapi, justru suasana diam
sebuah naskah yang
itulah membuat belum
mereka dipentaskan.
tertawa bersama Dalam hal ini, aspek teaterikal masih
bersifat prediktif. Pengulasan drama sebagai seni pertunjukan berarfi kegiatan
mengulas dilakukan terhadap visualisasi naskah tersebut di atas pentas
pertunjukan. Berikut disajikan contoh resensi sebuah naskah drama.
50
NILAI KEMANUSIAAN YANG TERSERAK DALAM JAKARTA 2039

Judul : Jakarta 2039 Ketika itu, tahun 1998


40 tahun 9 bulan setelah merupakan suatu masa yang amat
13-14 Mei 1998 buruk dan memilukan. Kondisi
Penulis : Seno Gumira Ajidarma perekonomian bangsa yang buruk
Penerbit : Galang Press ditambah keadaan masyarakat
Jml. Hlm : 36 Halaman yang tidak stabil (beberapa
Th Terbit : 2001 kalangan menyebut Indonesia
tengah dilanda krisis multidimensi)
mendorong berbagai kalangan melakukan aksi menuntut dilakukannya
reformasi di segala bidang. Realisasi dari semua itu adalah penurunan
Presiden Soeharto dari kursi empuknya. Saat itu, Indonesia benar-benar
mengalami pergolakan yang amat memprihatinkan. Masalah politik dan
ekonomi yang memanas kala itu, seolah-olah telah menjadi api penyulut
kekisruhan yang terjadi di mana-mana. Kekacauan yang semakin luas
membuat banyak orang gelap mata dan melakukan hal-hal yang tidak
berperikemanusiaan.
Bangsa Indonesia yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai luhur
Pancasila benar-benar terpuruk dalam derajat kemanusiaan yang paling buruk.
Tanggal 14 Mei 1998, masyarakat keturuanan Cina benar-benar mengalami
nasib yang sangat memilukan hati orang-orang yang masih menyisakan rasa
kemanusiaannya. Toko-toko mereka dijarah, rumah-rumah mereka dibakar,
dan mereka diperlakukan tak ubahnya kambing guling yang jadi rebutan.
Peristiwa kelam -yang entah benar atau tidak- tersebut menjadi
perhatian Seno Gumira Ajidarma yang kemudian memvisualisasikannya dalam
sebuah naskah drama berjudul "Jakarta 2039" yang terdapat dalam kumpulan
naskah drama politik berjudul Mengapa Kau Culik Anak Kami? Dengan judul
yang menggelitik, yakni "Jakarta 2039", Seno Gumira berusaha
mengedepankan betapa terseraknya nilai-nilai kemanusiaan di dalam
kerusuhan yang sebenarnya sangat berbau politik. Dalang kekisruhan berperan
dimana-mana, tanpa pernah menampakkan dirinya. Orang-orang yang lemah
dalam segala bidang carut marut dalam kepanikan yang sangat sehingga
mudah sekali terhasut.
Lewat tokoh Clara yang keturunan Cina, Seno berusaha melukiskan
bahwa keturunanan Cina bukanlah orang-orang pragmatis, yang hanya
bernaluri bisnis. Universalitas cinta pun menjadi miliknya yang ternyata
berpacar Jawa. Clara yang eksekutif, meski tenggelam dalam kesibukan bisnis
juga sangat belas kasih. Dibalik rutinitasnya keluar negeri, ia ternyata sangat
mencintai tanah air Indonesia.
Namun, sayang, rasa itu tidak sepenuhnya bersambut, bahkan berujung
51
pada peristiwa tragis. Clara harus kehilangan semua keluarganya bahkan
dirinya sendiri mengalamai peristiwa traumatis yang terus mengikuti
sepanjang hidupnya. Clara 'dianiaya' sekelompok laki-laki yang tak dikenalnya
ketika ia dalam perjalanan menuju rumahnya. Inilah pangkal tolak cerita Seno
dalam "Jakarta 2039". Untuk melukiskan betapa traumatisnya peristiwa yang
terjadi pada Clara, Seno menyeret kisah pada anak Clara dan anak Clara-Clara
lain. Cerita juga semakin terasa diseret-seret karena Seno ingin menampilkan
kisah tidak saja dari berbagai sudut termasuk nasib si pemerkosa, tetapi juga
karena cerita diawali dari munculnya masalah hingga akibat yang ditimbulkan.
Dialog yang disajikan dalam drama ini berkarakter sama dengan
dialog-dialog dalam drama Seno yang lain. Lugas, apa adanya, kadang juga
sarkastis. Keberanian Seno Gumira berdrama tidak saja karena tema yang
dipilih berkaitan dengan peristiwa kekerasan politik, tetapi juga diolog-
dialognya sangat menantang sensitivitas pihak-pihak tertentu. Seno tidak
segan-segan memaki-maki tokohnya -yang mungkin saja melambangkan suatu
kelompok dengan anjing, babi dalam seragam, dan lain-lain. Tidak dapat
dipungkiri bahwa inilah nyawa drama karya Seno. Letupan emosi terjadi
dimana-mana. Ini seiring dengan rangkaian peristiwa yang bercabang-cabang,
namun tetap koheren. Alur drama Seno selalu beriak dengan klimaks-klimaks.
Hal yang paling penting dari karya Seno adalah tertampungnya segala
kegundahan atas apa yang terjadi di negeri yang indah ini. Kesesakan dada
karena kekecewaan yang mendalam terhadap pengelola negeri ini, masyarakat
negeri ini, atau terhadap siapapun yang telah menenggelamkan negeri ini
dalam berbagai persoalan, sesaat terlampiaskan. Semoga saja semua pihak
bersedia, merenungi kandungan pesan yang disampaikan.

Menyusun Naskah Drama


Proses kreatif seseorang dalam memproduksi naskah drama dapat
bermacam-macam. Bagi para pemula, kegiatan menyusun naskah drama dapat
dilakukan dengan membaca, menganalisis, meniru, dan mengkreasikan karya
yang lain. Langkah-langkah menulis dengan meniru teks model untuk
52
menghasilkan teks yang baru ini dikenal dengan nama copy the master. Umar
(2006:284) berpendapat bahwa strategi copy the master adalah strategi pemodelan
yang dekat dengan calon penulis. Adanya model yang dekat dengan penulis
berarti memudahkan penulis untuk memulai kegiatan menulis. Dengan
menggunakan strategi copy the master ini siswa mendapat pengalaman langsung
karena mendapat kesempatan mengamati atau mencermati model tulisan sehingga
pemahaman siswa tentang konsep lebih konkret. Peniruan tersebut dapat
dilakukan dengan mengadaptasi latarnya, mangadopsi temanya, mencontoh
alurnya, meminjam nama-nama tokohnya, memirpikan konfliknya, atau
mengambil seutuhnya cara penyelesaian cerita. Setelah itu dilakukan proses
pengembangan cerita sesuai dengan ide dan kreativitas sendiri.
Strategi lain yang dapat dilakukan dalam menulis naskah drama adalah
mengubah atau mengambil ide dari karya sastra yang lain, misalnya cerpen dan
diubah dalam bentuk drama. Narasi yang ada dalam cerita diubah menjadi dialog-
dialog untuk dipernakan. Berikut ini contoh naskah drama yang merupakan hasil
pengolahan dari cerpen “Mbah Danu" karya Nugroho Notosusanto.

53
DUKUN GHAIB
(diubah oleh Rizky Lia A. dan Murwiyati dari cerpen "Mbah Danu"
karya Nugroho Notosusasnto)

Seorang laki-laki tua berpakaian hitam-hitam dan memakai ikat kepala coklat
duduk di depan kepulan asap pedupaan sambil berkomat-kamit.
Mbah Danu : Ho ….. ho ….. cuih …… cuih …… cuih ….. (meludah).
Setan ijo, ijo alas, setan, setan ijo, ijo royo-royo, tanduranku,
tanduranmu, podo ijo …. ho …. ho …….. cuih ………
Pak Jaksa : Nyuwun sewu ………… Mbah, nyuwun sewu …………
Mbah Danu : Heh …… ono opo? Ada apa Pak Jaksa? Sini-sini, duduk.
Duduk dulu, ada apa?
Pak Jaksa : Itu Mbah, Si Inah itu lho ………… Si Nah, pembantu saya,
kumat lagi! Tulung Mbah, tulung si Nah!
Bu Jaksa : Pak ………. Pak …….. Pak …….. Bapak ……… (datang
tergopoh-gopoh)
Pak Jaksa : Kenapa Bu? Kok nyusul kemari? Sebentar lagi Bapak juga
pulang kok!
Ba Jaksa : Itu lho …. Si Nah, kumatnya makin parah. Ayo cepet pak!
Pak Jaksa : Sebentar to Bu, itu lho Mbah Danu masih buat mantra dan
jampi-jampi. Ayo sungkem Mbah Danu! Ayo Bu! (menarik
istrinya)
Bu Jaksa : Iya, iya … (gugup)
Mbah Danu : Hem …. iya cucuku. Sama-sama, santai sajalah! Mbah
masih bikin mantra dan jampi-jampi iki lho! (sambil
menunjukkan plastik isi kembang tujuh rupa)
Pak Jaksa : Nopo niku Mbah? (sambil mengamat-amati isi plastik)
Mbah Danu : Oalah Le … Le … ini namanya kembang tujuh rupa. Lha
kalau ini namanya kemenyan (sambil mengendus-enduskan
barang di tangan kirinya). Ini nanti akan Mbah berikan pada
si Nah. Untung-untung kalau dimakannya, pasti mujarab!
Bu Jaksa : Wah … wah … cek … ck … ! (manggut-manggut), jadi, si
Nah bisa sembuh lagi?
Pak Jaksa : Lha iya to Bu. Pasti itu. Pasti sembuh si Inah. Ya. Pasti
sembuh. Mbah danu ini dukun hebat. Ya kan Mbah?
(melirik Mbah Danu)
Bu Jaksa : Saya sudah tak sabar lagi menunggu si Nah sembuh. Saya
sudah capek nyapu, nyuci, dan masak sendiri. Boyok ini
pegel semua.
Pak Jaksa : Makanya sabar Bu. Ini Mbah Danu akan mengatasi
semuanya.
Mbah Danu : Sudah …. sudah ….. sudah ….. begini saja, ayo kita
berangkat. Nanti setan dan roh jahat keburu kerasan tidur di
tubuh si Nah. Ayo berangkat!

54
Pak Jaksa : Monggo Mbah …. Monggo …. Ati-ati Mbah …. Wonten
watu niki lho Mbah. (menuntun Mbah Danu yang berjalan
sempoyongan dengan tongkat di tangan kanannya). Ayo Bu,
bawakan sesajennya!
Bu Jaksa : Iya … iya … Pak. Nggak usah diperintah, monggo Mbah
kita berangkat.

Semua berjalan ke luar panggung, perlahan-lahan lampu panggung padam.

Seorang gadis yang kusut dan awut-awutan sedang berteriak-teriak di atas


tempat tidur sendirian. Dari mulutnya keluar suara-suara kadang mendesis-
desis seperti ular kadang mengaum-aum seperti harimau.

Inah : Auuuuuuuuuuuuu ….. huk …. huk …. ngeng ….. ngeong


…. eng ….
Pak Jaksa : Meniko Mbah. Inilah si Inah, dia sudah tiga hari seperti ini.
Kami sampai pusing mendengarnya.
Bu Jaksa : Iya Mbah tidak hanya suara kucing atau anjing yang
ditirukan, tetapi juga suara srigala. Malah kadang-kadang
suara kuda atau kebo atau cicak. Kami nyuwun tulung Mbah
Tolong sembuhkan si Nah, pembantu kami.
Mbah Danu : O ……ooooo gampang. Gampang kuwi nduk! Nah sedang
dirasuki hawa jahat. Saat ini ada yang sedang masuk
ditubuhnya, yaitu setan serigala, berambut keriting, setan
kuda jangkring, setan kucing malu-malu kucing dan setan
anjing budug kegelapan.
Pak Jaksa dan
Bu Jaksa : O…. begitu ya?
Mbah Danu : (Mendekati Nah sambil memukulkan sapu lidi ke pantat Nah
Ayo lungo kowe! Lungo....!Lungo ... ! Lungo setan srigala
rambut keriting! Modar setan kuda jangkring! Hayo, lungo
kowe!
Nah : Heeeeeee … hik ….. hik …. (meringkik seperti kuda)
huk … huk …. guk … guk (menggongnggong seperti
anjing).
Mbah Danu : Pergi! Pergi! Pergi setan jahat! Jangan berani ganggu Nah
lagi! Tak goreng nanti! Pergiiiiiiiiiii!
Nah : Auooooooooooong …. oooo ….
Mbah Danu : Setan alas …… ijo royo-royo …… tak gintung ….
gintung ….. bleng ….. bleng …. Lungo!
Nah : Ngennnnnnnnnnnnnng ….. Ngeooooooooong!
Mbah Danu : Setan alas ijo royo-royo … tak gintung …. gintung …..
bleng ….. bleng …. Lungo!
Nah : Aduh biyung …. aduh biyung …. ampun…!
Mbah …ampun! Ampun …pantatku sakit. Ampun Mbah
…!
55
Mbah Danu : (terus menudingkan sapu lidi ke kepala dan pantat Nah)
Hayoooooooooooo! Sopo Kowe?
Nah : Saya Nah pembantu Pak Jaksa. Kenapa Mbah memukuli
pantat saya?
Mbah Danu : Oaaaaalah …. wis waras saiki to Nduk? Wis waras. Jadi,
kamu sudah sadar?
Nah : Sudah Mbah. Jangan pukuli saya lagi. Saya kapok. Kapoook.
Mbah Danu : Nah, Pak Jaksa, Bu Jaksa …… si Inah sudah sembuh. Ia
sudah pulih. Roh-roh dan setan sudah pergi dari tubuhnya.
Sekarang suruh dia makan kembang tujuh rupa dan bakarlah
kemenyan di kamarnya!
Pak Jaksa dan
Bu Jaksa : Inggih
Mbah Danu : Yo wis. Sekarang aku masih harus pergi semedi di pinggir
Brantas selatan. Nanti kalau si Nah kumat lagi, panggil lagi
Mbah.
Pak Jaksa : Perlu saya antar Mbah?
Mbah Danu : Ndak usah, Mbah pergi sendiri!
Pak Jaksa : Hati-hati Mbah. Terima kasih. Maturnuwun Mbah (sambil
menyelipkan amplop kecil ke kantong Mbah Danu)
Bu Jaksa : Matur suwun sanget lho Mbah.

Di sebuah tempat tidur, seorang wanita cantik sednag duduk merintih-rintih


kesakitan memegangi perutnya.

Istri Hendra : Aduh ……… aduh ………. aduh …….. perutku sakit …….
aduh ……….. aduh ……. ibu ……… ibu ……… sakit ……
ibu ……… ibu ……. perutku sakit.
Bu Jaksa : Lhadalah ….. Nduk ….. Nduk …… kenapa perutmu?
(panik)
Istri Hendra : Nggak tahu Bu. Tiba-tiba saja seperti ada yang mengiris-iris
dari dalam.
Bu Jaksa : Oh sebentar. Sabar ya Nduk, ibu akan memanggilkan Mbah
Danu, mungkin beliau bisa meyembuhkamnu!
Istri Hendra : Cepat Bu ……. ! Aduh …… sakit …… aduh …….! Aduh!

Beberapa saat kemudian, Bu Jaksa keluar panggung dan datang kembali


dengan Mbah Danu sambil tergopoh-gopoh

Mbah Danu : Sejak kapan ini terjadi?


Bu Jaksa : Baru saja Mbah.
Mbah Danu : Hemmmmmmmm ….. (sambil mengelus-elus jenggot
putihnya) Hmm, begini, Den ayu sedang terkena tuah.
Bu Jaksa : Maksudnya apa Mbah?
Mbah Danu : Begini, saat ini banyak roh-roh jahat yang bersarang di
tubuhnya. Jadi, sangat berbahaya kalau tidak segera
dilakukan pemijitan di bagian perutnya.

56
Bu Jaksa : Ayo Mbah lekas. Lekas Mbah!
Mbah Danu : Baik
(Mbah Danu memijat bagian perut, istri Hendra terus-
meringis kesakitan)
Hendra : Hai, apa-apaan ini laki-laki tua? Keluar! Keluarrrr! Keluar
kau Mbah dukun (datang dengan marah-marah tidak terima
atas perbuatan Mbah Danu yang meremas-remas perut
istrinya)
Bu Jaksa : Hai apa-apaan kau! Istrimu sedang diobati, sebaiknya kau
bersikap sopan sedikit pada Mbah Danu!
Hendra : Apa diobati? Bu, ibu lihat sendiri apakah seperti ini cara
pengobatan? Hei istriku, kau tahu kan bahwa pijatan seperti
itu bisa merusak rahimu? Kau bisa mandul! Ayo laki-laki
tua, jangan kau injakkan kakimu di rumah ini lagi! Pergiiiii!

Seorang wanita tua sedang sakit dikelilingi oleh banyak orang.


Dokter : Hasil diagnosis, pasien mengalami demam malaria. Saya
akan memberikan obat ini. Bu, tolong berikan pil ini ini
secara teratur. Awasi pasien bila minum. Insya Allah, dalam
beberapa hari pasien akan sembuh.
Bu Jaksa : Terimaksih Dokter.
Dokter : Baiklah, besok saya akan datang lagi. Permisi ya Pak, Bu.
Assalamualaikum!
Semua : Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuuuuuhuuuu.

Suasana di ruang itu sunyi sesaat.


Hendra : Pokoknya saya tetap tidak setuju kalau Ibu dan Bapak tetap
memanggil Mbah Danu untuk mengobati Mbok Rah.
Bu Jaksa : Tapi, Nak, bukankah Mbah Danu sudah terkenal bisa
menyembuhkan orang dari penyakit apapun!
Hendra : Pokoknya, saya tetap tidak setuju Bu, saya akan tetap
memanggilkan dokter untuk Mbok Rah! Saya tidak percaya
dengan hal-hal mistis seperti itu.
Pak Jaksa : Hendra, Hendra, dengar Nak. Jangan membicarakan Mbah
Danu sembarangan. Nanti kualat! Ingat kualat, Nak!
Hendra : Saya tidak akan membiarkan dukun dan sebangsanya
menginjakkan kakinya di rumah ini. Titik! (pergi dengan
perasaan marah)

Suara orang-orang menangis dan di sebuah bale-bale jenasah seseorang


ditutup dengan kain batik

Bu Jaksa : (Menangis) Mbok …. Mbok ….. Mbok Rah ….. maaafkan


kami! maafkan kami Mbok. Kami memang bersalah. Kami
telah melupakan Mbah Danu. Ini semu gara-gara Hendra
(sambil memukuli tubuh Hendra)
57
Pak Jaksa : Sudah Bu ….. Sudah (Menenangkannya)
Bu Jaksa : Pak ini semua gara-gara menantu kesayanganmu itu. Kalau
saja Mbah Danu ada di sini mungkin Mbok Rah akan
tertolong, tidak akan mati.
Pak Jaksa : Sudah …. sudah Bu. Ini memang sudah takdirnya. Umur
manusia memang sudah digariskan. Sabar Bu …. sabar
(membimbing istrinya duduk di kursi)
Istri Hendra : Maaf Pak …. Bu …. tidak baik kita bertengkar. Mbok Rah
saja masih di sini. Sebaiknya kita berdamai, kita cari
ketenangan demi terangnya jalan Mbok Rah nanti. Ayo
segera kita urus jenasah mbok Rah, jangan sampai ia
berlama-lama menunggu.

Hendra yang sejak tadi diam saja sibuk menguari bale-bale tempat tidur Mbok
Rah, tiba-tiba berteriak keras dan kaget.

Hendra : Tunggu sebentar. Lihat! Lihat! Ayo lihat semua! Semuanya


ayo lihat! Itu....Itu ........!
Istri Hendra : Apa pa? Ada apa …..?
Hendra : Itu … (sambil menuding di bawah bale-bale tempat tidur
Mbok Rah)
Bu Jaksa : Ada apa Hen?
Pak Jaksa : Kenapa? Kenapa kamu Hen?
Hendra : Pak …. , Bu ….. , Itu Pak! Itu Bu! Istriku lihatlah! Lihat, di
bawah bale-bale Mbok Rah, ayo kita ambil. (Mengambil
bingkisan di bawah bale)
Bu Jaksa : Apa ini?
Hendra : (Memberikan bingkisan) Lihatlah! Bukankah ini obat dari
dokter. Lihat semua. Semua pilnya tidak pernah diminum.
Pilnya dibuang. Lihat ini!

Semua bingung dan tiba-tiba terdengar suara Mbah Danu tertawa terbahak-
bahak dengan keras, tetapi orangnya tidak tampak.

Suara : Haaaaaaaaaaaaaaaa …………….. Ha ……………….


Haa ………… Haaaaaaaaaaaaaaaa

Lampu panggung padam.

58
Mementaskan Drama
Bentuk apresiasi ini merupakan bentuk apresiasi tingkat tinggi yang
melibatkan berbagai kemampuan. Pementasan drama merupakan karya seni paling
lengkap yang di dalamnya melibatkan seni-seni yang lain, seperti seni suara, seni
musik, seni rupa, seni rias, dan seni gerak/tari. Karena itulah, tidak semua
apresiator sampai pada tahap ini, meskipun dalam kehidupan sehari-hari pun
banyak diantara mereka yang juga mengimitasi permainan drama.
Pementasan drama dapat dikelompokkan dalam berbagai jenis mulai dari
tingkat yang paling sederhana sampai yang paling rumit atau yang amatir sampai
yang profesional, baik untuk drama tradisional maupun modern. Pementasan
drama yang melibatkan masyarakat biasanya terjadi dalam moment peringatan
hari-hari besar seperti hari kemerdekaan, hari sumpah pemuda, dan tahun baru.
Pementasan tersebut dapat berupa pembacaan puisi secara teaterikal, pentas
komedi, atau bahkan pementasan dengan suatu tema yang serius berkaitan dengan
tema peringatan, misalnya perjuangan kemerdekaan. Tentu saja pementasan
tersebut terbatas segala sesuatunya, baik tata panggung, tata musik, tata cahaya,
tata rias, maupun kostum yang dikenakan. Para pernain yang biasanya terdiri atas
anak-anak yang tinggal di komplek perumahan tersebut yang dilatih oleh
sutradara amatir. Meskipun demikian, tidak berlebihan bila dikatakan
sesungguhnya drama penting bagi masyarakat, baik sebagai hiburan maupun
sarana aktualisasi diri.

59
PEMBELAJARAN APRESIASI DRAMA DI SEKOLAH

Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah meliputi pembelajaran aspek


kebahasan dan kesastraan. Kedua spek tersebut diajarkan secara terpadu dan tidak
terpisah-pisahkan. Salah satu keterampilan bersastra yang dikembangkan di
sekolah adalah drama.
Drama merupakan karya sastra yang khas dari berbagai aspek. Istilah
drama berkaitan dengan dua hal sekaligus, yaitu naskah dan pemetasan. Drama
sebagai naskah tidak akan bermakna dan tidak dapat dinikmati karena naskah
memang dirancang untuk dipentaskan.
Oleh karena kompleksitasnya sebagai sebuah karya sastra, drama sering
dihindari oleh guru di sekolah. Akibatnya, perkembangan pembelajaran drama
dari waktu ke waktu berbanding lurus dengan perkembangan drama di luar
sekolah. Pandangan masyarakat terhadap drama sangat mempengaruhi
penempatan drama sebagai bagian dari kompetensi yang harus dibinakan atau
diabaikan.
Kompetensi kedramaan yang digarskan dalam standar isi kurikulum
biasanya dikelompokkan menjadai (1) memerankan tokoh dalam drama,
(2) menulis naskah drama, dan (3) menanggapi pementasan drama
1. Memerankan Tokoh dalam Drama

2. Menulis

3. Memerankan Tokoh dalam Drama


Drama merupakan alat ekspresi yang paling ekspresif. Bila dalam
membaca karya sastra (cerita) seorang pembaca biasanya diharapkan
menjadi pembaca dewasa yang mampu memisahkan kehidupan dalam
dunia fiksi< dalam pementasan drama, seseorang dapat mencoba berbagai
peran yang tidak pernah dijalaninya dalam kehidupan nyata. Memerankan
tokoh dalam drama akan memberi pengalaman batin yang amat kaya
kepaa siswa. Pemahaman dan penghayatan bahwa setiap orang memiliki
60
sisi baik atau sisi buruk, seseorang memiliki pendirian dan prinsip dapat
dipelajari di sini.
Pembelajaran memerankan tokoh dalam drama juga akan melatih
anak agar mampu berekspresi di hadapan khalayak, menghalukan budi,
meningkatkan kepekaan.
Pembelajaran drama dapat dilakukan mulai dari tingkat yang
paling sederhana hingga sebuah pementasan yang spektakuler. Oleh
karena itu, seorang guru harus menetapkan standar pencapaian dalam
pembelajarannya. Apabila pemblajaran dimaksudkan untuk memberi
keterampilan secara bertahap, pembelajarn dapat dirancang untuk
mencapai keterampilan yang telah ditetapkan. Hal penting yang perlu
dilakukan sebelum siswa dilibatkn dalam sebuah kegiatan bermain peran
siswa perlu dikenalkan
a. Mengenalkan bermacam-macam Ekspresi melalui mimic wajah
b. Mengenalkan bermacam-macam ekspresi melalui intonasi
c. Membiasakan bermacam-macam ekspresi melalui gesture
d. Memeragakan tokoh dalam drama
Pengenalan ini penting karena tidak setiap siswa memiliki kesiapan raga
untuk memerankan tokoh-tokohbdalam sebuah naskah. Pengenalan dapat
dilakukan dengan mengikuti senam atau latihan dasar bermain drama yang
banyak disajikan dalam buku-buku drama atau teter. Latihan juga dapat
dilakukan dengan memeragakan penggalan-penggalan naskah yang
dianggap menarik. Yang jelas, langkah aawal yang harus dilakukan oleh
guru dalam pembelajaran drama adalah membuat siswa memiliki kesiapan
raga, mengenal berbagai ekpresi, tidak canggung, dan tidak malu tampil di
hadapn umum.
Setelah anak memiliki kesiapan barulah anak dihadapkan pada naskah dan
diminta menafsir peragaan yang cocok sesuai karakteristik tokoh. Naskah
yang dipilih dlam pembelajaran di sekolah tentunya juga berbeda dengan
naskah yang dipenstakan oleh kelompok-kelompok teater umum. Mereka

61
dapat memilih naskah yang sesuai dengan karakteristik siswa atau jenjang
pendiidkannya.
2. Menulis Naskah Drama
Agar pembelajaran drama dapat berfungsi dengan baik, Maryaeni (1992)
mengunpkapkan dalam pembelajaran drama, guru dituntut mempunyai program
yang sistematis, menyajikan bahan pembelajaran yang menarik minat dan
perhatian, dan mampu memilih stratgei belajar-mengajar yang tepat. Selain
kemmapuan memillih tema yang menarik, mampu membuat penonton berfikir,
penulisan naskah drama menuntu t keterampilan siswa dalam menyusun unsure
kebahasaan dan adegan. Seorang guru hendaknya mampu melihat bermacam-
macam ekspresi

62
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin dan Roekhan. 2002. Apresiasi Drama. Jakarta: Depdiknas.

Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru


Algesindo.

Aminuddin. 1984. Pengantar dalam Memahami Unsur-unsur dalam Karya


Sastra. Malang: FPBS IKIP Malang.

Arifin, Max. 1980.Teater, Sebuah Perkenalan Dasar. Ende: Nusa Indah.

Harymawan. 1988. Dramaturgi. Bandung: Rosda.


Notosusanto, N. 1990. Mbah Danu.Horison, Juni 1999.
sSaini, K.M. 1984. Pandangan Retrospektif Teater dan Seni. Bandung: Institut
Kesenian Indonesia.
Saryono, Djoko. 1997. Dasar-dasar Apresiasi Sastra. Malang: POPF IKIP
Malang.

Simanjuntak, Robinsar H. 2002. Teknik Pelatihan Analisis Naskah. Makalah


Disajikan dalam Lokakarya Pengembangan Keterampilan Bermain Drama di UM
tanggal 2-3 November.

Siswanto, W. 1991. Teori Kesusatraan. Malang: POPF IKIP Malang.

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta:


Gramedia.

Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.


Your Dictionary. Gustav Freytag Facts.Ensclopedia of World Biography.
Copyright 2010 The Gale Group, Inc. All right reserved.

Murriat, Jean. Tanpa Tahun. Le Silence. Disadur oleh Bakdi Soemanto. Dapat
diakses di Id.scribd/doc/1427.

Wiyatmi. 2013. Sosiologi Sastra, Teori dan Kajian terhadap Sastra Indonesia.
Kanwa Publisher.
http://staffnew.uny.ac.id/upload/131873962/pendidikan/
Bahan+ajar+Sosiologi+Sastra.pdf
Damono, S. D. 2017. Sosiologi Sastra. Jakarta: Aulia
63
Noorman, S. S. 2010. Kajian Sastra Remaja Lupus, Remaja Jakarta yang Berada
di Posisi-Antara, Analisis Subjektivitas dan Agensi Remaja. Bandung:
Kiblat Buku Utama

Santoso, A. 2012. Studi Bahasa Kritis, Menguak Bahasa Membongkar Kuasa.


Bandung: Mandar Maju

Sutrisno, Mudji (Ed.) Tanpa Tahun. Cultural Studies, Tantangan bagi Teori-teori
Besar Kebudayaan. Depok: Koekoesan

Thompson, J.B. 1984. Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia.


Terjemahan Haqqul Yaqin. 2003. Yogyakarta: IRCiSoD

Wellek, R. dan Warren A. 1977. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani


Budianta. 1995. Jakarta: Gramedia

64
Lampiran
Cerpen “Mbah Danu” Karya Nugroho Notosusanto

MBAH DANU
Nugroho Notosusanto

Wajahnya keras-keras seperti tengkorak, kulitnya liat seperti belulang,


pipinya selalu menonjol oleh suara tembakau yang ada dalam mulutnya, jalannya
tegak seperti seorang maharani yang angkuh. Di Rembang di sekitar tahun tiga
puluhan ia lebih terkenal daripada pendeta Osborn pada pertengahan tahun 1954
di Jakarta karena prestasinya menyembuhkan orang-orang sakit secara gaib.
Ditinjau dri sudut tertentu, cara pengobatan Mbah Danu adalah rasional. Titik
pangkalnya adalah suatu anggapan yang logis. Mbah Danu menegaskan bahwa
orang sakit itu “didiami” oleh roh-roh jahat; karena itu cara satu-satunya untuk
menyembuhkannya adalah dengan menghalaukan makhluk-makhluk yang
merugikan kesehatn itu.
Si Nah, gadis pelayan pada keluarga Pak Jaksa (pension) telah sebulan
sakit demam. Keadaannya makin lama makin payah. Matanya kelihatan putihnya
saja, mulutnya berbuih dan ia mengeluarkan bunyi-bunyi binatang, kadang-kdang
meringkik seperti kuda, kadang-kadang menyalak, mengeong, berkaok-kaok, dan
kalu sudah mengaum, anak-anak dan perempuan-perempuan serumah dan
tetangga-tetangga yang bertandang semua lari terbirit-birit seolah-olah percaya
bahwa suatu saat kemudian Nah akan menjelma jadi macan gadungan.
Menurut kabar-kabar yang cepatnya tersiar hamper seperti berita radio,
Mbah Danu sedang turne. Rutenya adalah Lasem, Pamotan, Jattirogo,
Bojonegoro, Tuban, Padangan, Cepu, Blora, dan kembali ke Rembang. Kini ia
disinyalir sudah ada di Blora, jadi sudah hamper pulang. Dan benar, ketika Nah
tengah mengeong-ngeong seperti kucing kasmaran, Mbah Danu dating membawa
koper besi yang sama antiknya dengan yang punya.

65
Dia tembusi badan Nah dengan panang membara sambil mengelilingkan
susur besar di dalam mulutnya. Nah mengigau dengan mata tertutup, buih di
mulutnya melelh ke bawah membasahi bantalnya yang kumal seperti tempat
duduk jeep militer yang sudah tua. Wajahnya pucat seperti kain mori.
“Ambilkan sapu lidi!” perintah Mbah Danu dengan sikap Srikandi wayang
orang. Kemudian dia mencengkeram lengan Nah dan menyeretnya dari tikarnya
ke lantai. Sapu lidi dating. Ukurannya istimewa besar karena Pak Jaksa
mempunyai 60 pohon kelapa di pekarangannya. Mbah Danu memegang sapu lidi
itu pada ujungnya yang lunak, kemudian bongkotnya yang garis tengahnya kira-
kira 10 cm itu diayunkan ke atas dan dia pukulkan sekuat tenaga ke pantat Nah
yang terbaring miring. Segenap hadirin melotot matanya dan mekar kupingnya
melihat dan mendengar pukulan dahsyat itu.
“Ngeoooong!” keluar dari mulut Nah, mendirikan bulu-bulu di kulit
penonton.
“Mampus engkau sekarang!” seru Mbah Danu bengis dan sapu lidi terus
menerus menghantam pantat Nah dengan irama rumba. Nah tidak mengeong lagi
sekarang, melainkan mengaum seperti singa sirkus yang marah. Sebagian hadirin
mau lari.
“Minggat! Ayo minggat!” teriak Mbah Danu dengan amat murka dan
dengan tendangan jitu Nah ditengkurapkannya. Kemudian deraannya menghujam
pula ke pantat Nah yang kini sadar, bahwa ia manusia Nah, bukan kucing, anjing,
kuda atau singa.
“Aduh biyuuuuung!Aduh biyuuung!! Tangisnya mengaung.
“Minggat!Minggat!Minggat!!” suara Mbah Danu menggelora sampai
tetangga-tetangga dan pelintas-pelintas pada mengalir masuk ke rumah itu untuk
menyelidiki sebab-musabab suara ngeri yang mereka dengar.
“Aduuuuh!Aduh, aduh, aduuuh!” pekik Nah seperti manusia biasa.
“Minggat! Minggat! Ayo minggat!” jarit Mbah Danu senyaring-
nyaringnya sambil memukul dengan tangn kanan dan menggenggam susur
ditangan kiri. Air liurnya memercik merah ke lantai dan badan Nah dalam
setengah lingkaran yang radiusnya 1.5 meter.
66
“Salah hamba apa kok disuruh minggat dan dihajar?” Tanya Nah sambil
menangis dan ia mencoba merangkak.
Sikap Mbah Danu sekaligus berubah.
“Aku bukannya berbicara kepadamu, Nah!” katanya dengan suara yang
lembut. “Aku mengusir setan-setan di dalam badanmu”.
“Sebagai pengeras perkataannya yang terakhir, ia tegak sekali lagi serta
memukulkan sapu lidi itu sedemikian kerasnya ke badan Nah sehingga si sakit
rebah ke lantai dan mengerang. Peluhnya bercucuran dan menguyupkan
pakaiannya.
“Ha! Hampir modar engkau sekarang!” seru Mbah Danu dengan ganas
sambil melangkah maju dan menginjak tubuh Nah dengan kedua kakinya. Selama
5 menit ia mondar-mandir di atas tubuh Nah sampai nafas si sakit seperti ububan
pandai besi bunyinya. Kedua lengannya diacung-acungkan untuk
mempertahankan keseimbangan. Gerak-geriknya persis seperti Batar Durga yang
menari di atas mayat manusia. Setelah sudah, ia menelentangkan badan Nah yang
keringatnya membuat lantai mengkilat basah dan mukanya kini merah padam.
Mbah Danu berdiri dan member isyarat supaya para penonton yang tak
berkepentingan mengundurkan diri. Pintu ditutup dan ia kembali kepada
pasiennya. Dengan gerakan-gerakan tangkas pakaian si sakit dibukanya dan
kemudian seperti orang kegila-gilaan ia meremas seluruh badan Nah sambil
menggelitik si sakit pada tempat-tempat yang penuh rasa geli. Dan mula-mula
Nah menggelepar-gelepar, akhirnya kegelian seperti erawan sehat. Seperempat
jam Mbah Danu meraba-raba tubuh pasiennya, kemuan ia melepaskannya dan
tegak pada lututnya.
“Setan-setan sudah lari dari badanmu, Nah,” katanya tenang. “Engkau
telah sembuh”. Dan di hadapan mata hadirin, Nah yang tadi sudah seperti
setengah mati duduk bersandar pada dinding dan tersenyum seperti orang bangun
tidur.
“Tidurlah dulu sampai besok,” kata Mbah Danu lebih jauh sambil
membaringkan dan menyelimuti Nah dengan penuh kasih saying. Sebentar ia

67
memijit-mijit kepala Nah, kemudian memercikkan ludah sedikit dari mulutnya
pada dahi si sakit. Setelah itu, ia berdiri dan keluar untuk meminum kopinya.
Prabawa Mbah Danu di rumah Pak Jaksa yang jadi sebagian prabawanya
di daerah yang terentang dari Kudus sampai Tuban, dari Bonang sampai ke
Randublatung, mengalami tantangan ketika MR. Saljo Kunto, salah satu menantu
Pak Jaksa, bersama isterinya mengunjungi mertuanya. Beberapa hari sesudah
kedatangannya, Nyonya Saljo sakit kepala dan pegal-pegal tubuhnya. Bu Jaksa,
sesuai dengan tradisi, segera menyuruh panggil Mbah Danu.
“O, ada sedikit angin jahat bersarang di dalam, Raden Ayu,” kata Mbah
Danu setelah mendengarkan gejala-gejala penyakit dari mulut Nyonya Saljo
sendiri. “Coba buka baju saja: akan saya usir’. Dan Mbah Danu mulai berpraktik.
Pertama kali ibu jarinya kedua-duanya ditekankannya ke dalam daging perut
Nyonya Saljo sehingga terbenam sama sekali dan si pasien mencetuskan bunyi
yang sukar dilukiskan. Kemudian perut Nyonya Saljo ditekannya dengan kedua
telapak tangannya sehingga angin ke luar dari bawah dengan bunyi meletup.
Setelah itu, punnggung dan tengkuk mendapat giliran dan dengan lega Nyonya
Saljo bersendawa. Kemudian Mbah Danu melakukan kombinasi kedua pijatan itu
sehingga angin berlomba-lomba ke luar dari atas dan dari bawah dengan
berletusan. Justru ketika itu Mr Saljo masuk ke kamar dari jalan-jalan ke pantai.
Dengan keras Mbah Danu diperintahkannya ke luar dari kamar seperti Mbah danu
mengusir setan-setan dari tubuh orang sakit. Kemudian istrinya dimarahinya.
“Engkau tahu bukan, bahwa pijatan itu bias merusakkan rahimmu?!”
Sebagai akibat insiden itu, Mbah Danu tak diizinkan mneginjak lantai
rumah itu kalau menantu akademikus Pak Jaksa itu dating. Suatu kekalahan bagi
Mbah Danu. Untung hal itu terjadi paling kerap hanya dua kali dalam setahun.
Pada waktu-waktu lainnya kedaulatan Mbah Danu tetap utuh.
Clash II antara Mbah Danu dan Mr. Saljo meskipun tak langsung
berhadap-hadapan, terjadi ketika Mbok Rah, pelayan Pak Jaksa yang setengah
umur, sakit keras, justru ketika menantu Pak Jaksa yang berpendidikan tinggi itu
berkunjung ke Rembang. Pak Jaksa dan Bu Jaksa tanpa piker panjang segera
menyuruh panggil Mbah Danu ketika Mbok Rah sudah mulai mengigau;
68
sedangkan Mr. Saljo dengan penuh pertimbangan meminta dating Dokter Umar
Chattab. Sangat kebetulan Dokter Umar Chattab lebih awal datangnya daripada
Mbah danu yang tidak punya mobil. Sehingga yang beraksi tangan dan stetoskop
dokter Umar, bukan tangan dan air ludah Mbah Danu.
“Malaria”, diagnose Dokter Umar Chattab di kamar Mbok Rah yang gelap.
Ia member resep kinine yang ada pada masa itu satu-satunya obat paling mujarab
untuk malaria. Setelah member petunjuk-petunjuk lain tentang makan dan rawatan
si sakit, Pak dokter pulang.
Penyakit Mbok Rah makin lama makin keras. Pak Jaksa dan Bu Jaksa dan
tetangga-tetangga yang dekat tahu benar apa sebabnya. Kualat Mbah Danu! Dan
mereka mendesak agar supaya Mbah Danu dipanggil. Tetapi sebagai jawaban, Mr.
Saljo memanggil Dokter Umar Chattab lagi. Soal ini jadi perkara kehormatan
baginya dan perhubungan antara mertua-mennatu jadi tegang. Nyonya Saljo
dengan susah payah bias tetap tinggal netral, tetapi sebagimana juga di dalam
politik ia dipandang marah oleh kedua belah pihak yang bertentangan. Namun ia
tetap mempertahankan politik bebas yang pasif itu.
Dokter Umar Chattab heraan.
“Kininenya sudah Tuan berikan sebagaai yang saya tetapkan?” tanyanya.
“Ya” jawab Nyonya Saljo mendahului suaminya. “Saya sendiri yang
memberikan pil-pil itu kepada Mbok Rah.”
Dokter Umar Chattab pulang dengan ti yang saya tetapkan?” tanyanya.
“Ya” jawab Nyonya Saljo mendahului suaminya. “Saya sendiri yang
memberikan pil-pil itu kepada Mbok Rah.”
Dokter Umar Chattab pulang dengan tidak mengubah ketetapannya. Hanya
saja ia berpesan agar supaya waktu menelan pil, si sakit diawasi sungguh-
sungguh.
Keadaan Mbidak mengubah ketetapannya. Hanya saja ia berpesan agar
supaya waktu menelan pil, si sakit diawasi sungguh-sungguh.
Keadaan Mbok Rah makin lama makin buruk dan malamnya lagi ia mati.

69
Perang dingin kini mencair jadi gugatan-gugatan lisan yang pedas
meskipun tak ditujukan secara langsung. Dengan tak dipanggil, Mbah ok Rah
makin lama makin buruk dan malamnya lagi ia mati.
Perang dingin kini mencair jadi gugatan-gugatan lisan yang pedas
meskipun tak ditujukan secara langsung. Dengan tak dipanggil, Mbah Danu
dating sendiri. Mr. Saljo mengundurkan diri ke dalam kamar tamu. Asbaknya
penuh dengan puntunng sigaret.
“Kita telah berbuat sebaik mungkin…” kata Nyonya Saljo menghibur
suaminya.
“Mengapa Jeng, mengapa ia meninggal?!” seru Mr. Saljo sambil memeluk
bahu isterinya yang tidak menjawab.
“Kita t Nyonya Saljo menghibur suaminya.
“Mengapa Jeng, mengapa ia meninggal?!” seru Mr. Saljo sambil memeluk
bahu isterinya yang tidak menjawab.
“Kita tak bias percaya kepada nonsense itu bukan!” katanya lgak bias
percaya kepada nonsense itu bukan!” katanya lagi.
“Inna li’llahi wa inna illaihi roji’un,” kata kata Nyonya Saljo.
Ketika fajar menyingsing, persiapan-persiapan untuk penguburan dimulai.
Pda jam 7 orang-orang masuk ke kamar jenazah dan mengangkatnya ke luar. Mr.
Saljo dan Nyonya ikut menyaksikan pengambilan jenazah dari dalam kamr tempat
ia dan Dokter Umar Chattab menderita kekalahan terhadap mertuanya dan Mbah
Danu. Nyonya Sljo yang mendampingi suaminya di kamar itu dalam hati kecilnya
cenderung kepada ayah bundanya, tetapi merasa harus solider dengan kekecewaan
suaminya. Hawa di kamar itu pengab, tambah menyesak dada oeh asap
kemenyan.Mr. Saljo membuka jendela lebar-lebar sehingga sinar matahari pagi
masuk dengan gelombang-gelombang besar. Suatu sosok tubuh muncul di
ambang pintu. Mbah Danu. Matanya membara. Mr. Saljo merasa tengkuknya
dingin. Ia menghela nafas panjang dan melemparkan pandang terakhir kepada
bale-bale tempat semalam jenazah terbaring. Dengan snagat tiba-tiba ia terpekik
dan telunjuknya diacungkannya ke sudut kamar. Matanya terbelalak lebar-lebar.

70
Nyonya Saljo dan Mbah Danu menengok. Dan mereka juga melihat pil kinine
membukit di lantai di bawah bale-bale Mbok Rah.

Diambil dari “Mbah Danu” karya Nugroho Notosusanto dalam sisipan


“Kakilangit”, Horison Juni 1999.

RIWAYAT HIDUP PENULIS


Azizatuz Zahro dilahirkan di Kediri 9 Oktober 1973. Gelar Sarjana
Pendidikan diperoleh dari IKIP Malang Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia (1996) dan magister dari Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas
Negeri Malang (2000).
Karir mengajarnya diawali dengan menjadi guru pada SMA Laboratorium
UM pada tahun 1997 hingga 2003. Pada tahun 2003, ia diterima sebagai dosen di
Jurusan sastra Indonesia Universitas Negeri Malang. Jiwa keguruannya
membuatnya memiliki perhatian yang tinggi pada bidang pembelajaran.
Ketertarikan pada sastra diawali dari sebuah tuntutan sebagai guru bahas
Indonesia yang juga harus mengajarkan sastra.
Selama menjadi guru, Zahro aktif membina keterampilan menulis dalam
kegiatan ekstrakurikuler. Zahro juga pernah dilatih membaca, menulis dan
apresiasi sastra oleh sastrawan Taufik Ismail, Ismail Marahimin, Maman
Muhayana, dan Agus R. Sarjono karena partisipasinya menulis untuk “Horison”
dan lomba mengulas karya sastra yang diselenggarakan majalah sastra tersebut.

71
Penelitian yang dilakukan Zahro antara lain penelitian tindakan kelas,
penelitian sastra, dan penelitian tentang gender. Penelitian gender dilakukan
karena keterlibatannya dalam menggiatkan Pusat Studi Wanita (PSW) UM
sebagai pusat studi gender. Judul-judul penelitian tersebut adalah Penggunaan
Debat untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Argumentasi pada Siswa SMU
(2005), Pengoptimalan Kemampuan Berargumentasi (Mengkritik dan Memuji)
Siswa Kelas VI SDN 4 Bandulan Malang melalui Pemanfaatan Pertanyaan
Komparasi (2006), Moralitas Wanita dalam Novel Karya Novelis Wanita tahun
2000-an (2006), Moralitas Tokoh remaja Puteri dalam Novel Teenlit (2007),
Penerimaan Perempuan terhadap Poligami dalam Film Ayat-Ayat Cinta (2008),
Strategi Kooperatfi dalam Pembelajaran Menyimak dan Berbicara (2009) dan
Gender Mainstreaming Implementation in Kabupaten Malang in 2006-2010: A
Case Study in 2 SKPDs (2010).
Buku yang pernah ditulis adalah Strategi Kooperatif dalam Pembelajaran
Menyimak dan Berbicara (A3), sebuah buku teks untuk SD Terampil Berbahasa
Indonesia V (Pusbuk), dan sebuah buku ajar untuk matakuliah menyimak
Menyimak Beragam Wacana Lisan.
Karya pengabdiannya diwujudkan dalam bentuk pembimbingan penulisan
buku teks bahasa Indonesia (Dinas Pendidikan kota Malang) (2005),
pendampingan penulisan modul pada sekolah laboratorium UM (2006/2007),
pendampingan Lesson Study di Kota dan Kabupaten Pasuruan (2010/2011),
pendampingan Lesson Study di MIN Malang 1 (2011), tim ahli dalam program
pemberdayaan guru Sekolah Dasar kerjasama UM dan PT Pertamina (2011), dan
pengelola penerbitan koran ibu “Kabar dari Ibu” (2010) dan “Kalam Fatimah”
(2011) kerjasama Pusat Studi Wanita (PSW) UM dan Dirjen PAUDNI
Kemendiknas.

72
73

Anda mungkin juga menyukai