SEBUAH PENGANTAR
Oleh
Azizatuz Zahro
1
DRAMA SEBAGAI TEKS SASTRA
2
Pada zaman Pujangga Baru mulai muncul drama asli yang dipakai dalam
pementasan-pementasan. Naskah drama yang dianggap sebagai naskah drama
pertama dalam khasanah sastra Indonesia modern adalah "Bebasari" karya Sanusi
Pane (1926), meskipun oleh beberapa kalangan pengakuan ini perlu ditinjau ulang
karena sebelum era Balai Pustaka telah ada kehidupan sastra yang juga telah
mengenal genre drama, utamanya sastra oleh keturunan Cina dan Eropa yang
dikenal dengan sastra Melayu Rendah.
Sebagai teks sastra, naskah drama memiliki unsur-unsur yang relatif sama
dengan karya sastra yang lain, utamanya prosa fiksi. Drama juga dibangun oleh
seperangkat unsur yang disebut dengan unsur intrinsik atau unsur-unsur yang
secara internal terkandung dalam suatu karya sastra dan unsur ekstrinsik sastra.
1. Plot/Alur
Plot/alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan
peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku yang
berkonflik dalam suatu cerita. Karya sastra pada umumnya dan drama khususnya
menampilkan peristiwa-peristiwa nyata dan peristiwa batin. Peristiwa nyata
adalah peristiwa yang dapat dilihat-didengar oleh tokoh-tokoh melalui gerak dan
ucapannya, dalam arti peristiwa tersebut dapat saja benar-benar terjadi, sedangkan
peristiwa batin adalah peristiwa yang tidak pemah terjadi dalam kenyataan. Alur
dalam sebuah cerita berfungsi untuk menggerakkan jalan cerita melalui rumitan
ke arah klimaks dan selesaian.
3
1) Syarat Alur
Alur dapat dikatakan bagus atau baik apabila memenuhi empat syarat,
yaitu (1) urutan, (2) kompleksitas, (3) kesatuan, dan (4) koherensi (Simanjuntak,
2002).
(1) Urutan
Kejadian-kejadian dalam peristiwa alur terjalin secara erat dan dalam
hubungan sebab-akibat serta membentuk urutan hubungan yang logis. Titik
penting dalam hubungannya dengan masalah ini adalah kata logis tersebut. Yang
dimaksud dengan logis di sini adalah kewajaran, sesuai dengan jalan dan cara
masalah tersebut dihadirkan dan dipersoalkan, dan kemudian dipecahkan bersama.
ibaratnya adalah perjalanan hidup yang dimulai dari bayi, anak-anak, remaja,
dewasa, kemudian mati. Dengan demikian, urutan yang terjalin dalam alur adalah
hubungan yang logis dan tidak berbelit-belit sehingga menimbulkan jalan cerita
yang dapat dengan mudah dipahami penikmat.
Bagaimanapun sulitnya pemahaman kita terhadap suatu lakon, alur cerita
masih dapat diikuti dengan jelas meskipun kadang-kadang dihadirkan dengan cara
agak tidak jelas, atau melingkar-lingkar.
(2) Kompleksitas
Alur harus juga memberi kesempatan kemungkinan berkembangnya suatu
permasalahan atau peristiwa-peristiwa. Kesempatan yang longgar ini akan
mewujudkan suatu bentuk yang kompleks, ruwet, dan sporadis. Keruwetan suatu
masalah sudah pasti dapat dijumpai pada setiap masalah yang muncul secara tiba-
tiba atau sudah lama terpendam, semakin ruwet keadaan yang terjadi kemudian.
Seperti halnya konflik yang terjadi dalam suatu lakon yang juga merupakan unsur
ensensial lakon. Sejumlah konflik yang dihadirkan akan menimbulkan suasana
yang ruwet yang benar-benar kompleks hingga seolah-olah sulit untuk
dipecahkan. Kompleksitas masalah ini terjadi karena satu masalah yang hadir
4
yang belum dipecahkan, sedangkan masalah baru tiba-tiba muncul diiringi dengan
jumlah pelaku yang ikut serta di dalamnya sehingga masalah semakin tidak
karuan dan tidak menentu.
(3) Kesatuan
Apapun bentuk dan jenis karya sastra (drama) sudah tentu
mempertimbangkan aspek kesatuan ini. Suatu kesatuan yang utuh merupakan
syarat utama dalam kaitannya demngan peristiwa-peristiwa yang terjalin dalam
suatu karya sastra. Khusus dalam drama, peristiwa-peristiwa tersebut, yang dijalin
melalui konflik-konflik harus merupakan keutuhan cerita bukan lepas-lepas.
Dengan kata lain, syarat ini memberikan arahan kepada penikmat/pembaca untuk
tidak memasukkan unsur-unsur peristiwa lain yang tidak berhubungan erat dengan
drama tersebut.
Meskipun keruwetan suatu lakon dapat menampakkan ketidaklogisan atau
ketidakjelasan jalan cerita atau bahkan seolah-olah terbagi-bagi atau terpotong-
potong, tetapi pada hakikatnya masing-masing potongan atau bagian merupakan
satu kesatuan yang saling berkaitan dan berjalinan erat dalam suatu lakon. Teeuw
(1984) menyebutkan strukturalisme dalam sastra pun yang secara umum
memilah-milah karya sastra dilihat dari berbagai sudut atau unsur, tetapi pada
akhirnya juga disatukan kembali sehingga menjadi suatu keutuhan yang
bermakna.
(4) Koherensi
Drama merupakan peneladanan atau mimesis kehidupan yang dihadirkan
dalam bentuk karya sastra. Dengan demikian, cerita dapat dihadirkan berdasarkan
realita, kemungkian-kemungkinan, dan imajinasi/fiktif belaka. Sekalipun cerita
tersebut diangkat dari salah satu di antara ketiga masalah tersebut di atas, dalam
penyusunan cerita harus merupakan suatu keterhubungan antara satu aspek
dengan aspek yang lainnya. Yang biasanya terjadi adalah dihubungkannya suatu
peristiwa yang realistis dengan khayalan atau imajinasi yang dibarengi pula
dengan kemungkinan-kemungkinan, kenisbian. Sekalipun demikian, tiga hal
5
tersebut tampaknya menjadi hukum sastra yang harus juga terjalin ketergantungan
dan keterhubungan.
Mengingat pembicaraan masalah koherensi tidak lepas dari pemaknaan
suatu lakon yang dihadirkan dalam naskah, maka pembaca/penikmat dapat pula
melacak makna suatu lakon melalui aspek-aspek kohesifnya yang kadang juga
dihadirkan untuk memudahkan pemahaman suatu naskah lakon.
2) Tahapan Alur
Ada berbagai pendapat tentang tahapan-tahapan peristiwa dalam suatu
cerita. Tahapan yang paling pokok terdiri atas pembuka, klimaks, dan penutup.
Teori klasik tentang konstruksi dramatik ini dikemukakan oleh Aristoteles (dalam
Harymawan, 1988) yang membagi alur dalam tahap protasis (permulaan),
epitasio (jalinan kejadian), catastasis (puncak laku), dan catastrophe (penutup).
Teori modern lebih detail membagi tahapan alur. Pentahapan alur yang
populer dari Gustav Freytag (1863) terdiri atas dramatic structure atau the
structure of tragedy atau dramatic plot, yaitu exposition (pengantar),
complication (munculnya kerumitan), dimax (puncak laku), resolution
(penguraian), dan condusion (kesimpulan yang dapat berupa catastrophe
(bencana) atau denoument (penyelesaian yang baik). Meskipun demikian, tidak
semua cerita memiliki tahapan yang lengkap dan berurutan.
Tahap exposition, berisi gambaran situasi yang melatari cerita, latar
tempat, gambaran umum tentang watak tokoh, dan peristiwa-peristiwa awal yang
akan membuka sebuah masalah. Dari gambaran awal yang sekilas tersebut
diharapkan penonton memiliki imajinasi berikutnya yang juga akan menuntun
penikmat untuk dapat melanjutkan cerita tersebut berdasarkan insiden-insiden
awal yang disajikan dalam tahapan tersebut. Dalam suatu naskah yang
konvensional, tahapan ini biasanya diwujudkan dalam bentuk deskripsi panjang
yang dapat menginformasikan para pelaku dari sisi usia, kedudukan, peran dalam
lakon tersebut secara pasti dan memperkenalkan latar yang akan dijadikan tempat
bermain lakon tersebut.
6
Tahap komplikasi berisi pertikaian yang dialami oleh tokoh. Pertikaian
tersebut terjadi karena pertemuan dan hubungannya dengan tokoh yang lain, atau
karena sang tokoh berhadapan dengan keadaan alam atau situasi tertentu yang
biasanya inklusif dalam tahap eksposisi. Sebelum tahap eksposisi usai sudah
ditampakkan adanya insiden awal yang akan menjadi sumber petaka cerita
berikutnya. Kejadian dalam insiden permulaan menuntut penikmat untuk
memasuki peristiwa berikutnya. Keruwetan yang semakin menjadi tersebut
merupakan inti tahap komplikasi. Tiap watak, laku dari situasi serta kejadian
sebenarnya tumbuh dan berkembang secara wajar. Peranan motif harus nyata dan
jelas berhubungan dengan apa yang diucapkan dan diperbuat atau dilakukan
tokoh.
Tahap klimaks terjadi apabila pertikaian tersebut makin menghebat dan
memunculkan suasana yang sangat dramatik. Klimaks adalah ketegangan lakon.
Apabila ditinjau dari sudut lakon, klimaks berarti titik balik perselisihan paling
ujung yang dapat dicapai oleh adanya konfrontasi protagonis-antagonis. Apabila
suatu lakon sudah mencapai tahapan ini, maka konflik dapat saja mengalami
penurunan atau sebaliknya semakin hebat lakon tersebut. Dalam tahapan ini,
konflik harus sudah mendekati gambaran yang jelas pada tahapan akhir. Hal ini
mungkin saja dapat digambarkan melalui salah satu pihak yang mulai kalah atau
kembali pada keseimbangan semula. Tahap klimaks merupakan inti sebuah drama
karena merupakan bagian yang paling dramatis atau tragis. Tahap ini juga
menentukan menarik tidaknya sebuah permainan drama.
Setelah titik puncak atau klimaks sampailah pada tahap peleraian. Dalam
tahap ini, persoalan mulai dapat diurai. Alternatif pemecahan masalah mulai
tampak dan akhirnya sampailah pada tahap penyelesaian yang dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Cara yang menyenangkan, membahagiakan, atau
menggantung.
Bagi pengarang, plot berfungsi sebagai kerangka yang dijadikan pedoman
dalam mengembangkan keseluruhan isi cerita. Bagi pembaca, pemahaman plot
berarti juga pemahaman terhadap keseluruhan isi cerita.
7
3) Jenis Alur
Jenis alur dapat didasarkan pada tingkat kerapatan jalan ceritanya maupun
jalan ceritanya tersebut. Alur rapat apabila tokoh cerita bergerak dengan wajar,
tidak membuat alur lain yang tidak perlu. Apabila dalam sebuah cerita, walaupun
dipakai alur gabungan, rangkaian peristiwanya merupakan sesuatu yang berkaitan
dan dirasakan sebagai suatu kewajaran, berarti alur cerita masih dalam katagori
rapat. Sebaliknya, alur renggang bila jalan cerita panjang dan banyak pelaku
sehingga timbul alur sampingan, di samping alur utama. Alur renggang ini
biasanya dapat ditemui pada drama seri atau drama dengan durasi pentas yang
lama dan melibatkan banyak pelaku. Berbeda dengan fragmen atau drama pendek,
dalam drama yang melibatkan banyak tokoh (pelaku), perkembangan tokoh pun
dapat lebih bebas. Pengaturan cerita (perkembangan watak, ketegangan cerita)
dapat lebih lambat temponya. Karena sifat seperti itu, tokoh pembantu dalam
drama tersebut dapat membuat alur juga (alur sampingan), namun alur ini
akhirnya kembali kepada alur utama. Jadi, alur ini bersifat menunjang alur utama.
Jenis alur menurut jalan ceritanya, biasa dibedakan atas (1) alur maju, (2)
alur mundur, (3) alur maju-mundur dan (4) alur kilatan. Penjelasan tentang
keempat jenis alur tersebut adalah sebagai berikut.
(1) Alur Maju
Alur maju adalah alur yang terjalin dengan urutan yang teratur diawali
dengan pengantar atau perkenalan dan diakhiri dengan pemberian keputusan. Alur
maju ini bersifat kronologis. Pengaturan peristiwa dari masa kini (saat sedang
berlangsungnya peristiwa) terus ke depan dengan gerak maju. Oleh karena itu,
karya sastra yang ditulis dengan alur seperti ini mudah diikuti jalan ceritanya.
Penikmat dengan mudah mengaitkan satu peristiwa dengan peristiwa yang lain
karena disusun secara berurutan sehingga jalan cerita tampak sangat logis.
Drama dengan alur ini pada umumnya mengisahkan perjalanan hidup
seseorang atau kelompok yang diawali dengan unsur-unsur duka pada diri tokoh
utamanya, kemudian muncullah dewa penolong yang akhimya dapat
mengantarkan tokoh tersebut pada jenjang kebahagiaan yang diidamkan semua
8
orang. Alur ini biasanya dapat dilacak mulai dari awal, yaku apabila seorang
pelaku pada awal sajian mengalami nasib yang mengenaskan.
Puncak penantian tokoh utama untuk memperoleh kebahagiaan pada
akhimya dapat dijumpai pada akhir sajian tersebut. Cerita dengan alur maju ini
menyajikan sesuatu yang pada akhirnya dapat memberikan sesuatu yang
menyenangkan diri penikmatnya dan terlebih lagi adanya kebahagiaan yang
ditonjolkan pada akhir cerita.
2. Penokohan
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa sehingga peristiwa itu
menjalin suatu cerita. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh disebut
penokohan (Aminuddin, 2002). Tokoh dalam karya fiksi selalu mempunyai sifat,
sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu
karya oleh pengarang disebut perwatakan atau karakterisasi.
Bagi penulis drama, karakter tokoh akan menentukan wama dialog dan
gaya tingkah lakunya, sedangkan bagi penikmat atau pembaca, lewat dialoglah
10
mereka akan dapat mengatahui watak seorang tokoh. Seorang tokoh yang
berwatak kasar biasanya akan tampil dengan kata-kata dan dialog yang kasar pula.
Demikian pula seorang tokoh yang berbudi bahasa baik dan sopan merupakan
ekspresi watak yang baik dan sopan pula.
Pengertian yang lebih terperinci diberikan oleh Mbijo Saleh (dalam
Simanjuntak 2002) yang mengatakan bahwa perwatakan atau karakterisasi ialah
penampilan keseluruhan ciri atau tipe jiwa seseorang tokoh dalam drama. Dalam
ilmu jiwa pada umumnya, karakter ditafsirkan sebagai tingkah laku manusia, yaitu
perasaan, pikiran, dan kehendak pembawaan yang menentukan cara seseorang
bertindak dalam bermacam-macam keadaan hidup.
Watak seorang tokoh suatu saat dapat mengalami perubahan. Akan tetapi,
perubahan itu harus disertai dengan alasan. Alasan tersebut dapat ditemukan
melalui pembicaraan antartokoh. Bisa juga dengan percakapan batin sendiri
(monolog interior). Perubahan watak juga dapat dijelaskan melaui penjelasan
pengarang.
Karakter seorang tokoh dapat diperjelas dengan penampilan fisiknya. Rok
mini yang ketat, rokok, riasan yang tebal, dan warna pakaian yang mencolok
memberikan kesan kurang susila seorang wanita. Watak kasar dapat diperjelas
dengan reaksi atau karakteristik wajah yang member kesan culas, misalnya sudut
mata agak tertarik ke atas. Selain itu, karakterisasi juga sangat terbantu oleh
pemilihan permeran yang sesuai. Misalnya seorang ksatria yang gagah juga harus
diperankan oleh seorang yang berperawakan tegap dan tinggi.
Watak tokoh dapat dipahami melalui (1) keterangan tentang karakteristik
pelaku, (2) gambaran lingkungan kehidupan dan caranya berpakaian, (3) perilaku
yang ditunjukkan, (4) bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri, (5)
jalan pikiran tokoh, (6) tokoh lain yang berbicara tentangnya, (7) tokoh lain yang
berbicara dengannya, (8) reaksi tokoh lain terhadapnya, dan (9) reaksi tokoh itu
terhadap tokoh lainnya (Aminuddin, 1984).
Dilihat dari perkembangan kepribadiannya, tokoh dapat dibedakan atas
tokoh dinamis dan tokoh statis. Jika dilihat dari masalah yang dihadapi tokoh,
maka dapat dibedakan atas simple karakter dan kompleks karakter (Aminuddin,
11
1984). Tokoh yang sederhana biasanya bersifat statis, sedangkan tokoh yang
memiliki kekomplekan watak bersifat dinamis.
Ditinjau dari peranan dan keterlibatannya dalam cerita, tokoh dapat
dibedakan atas (a) tokoh primer/utama, (b) tokoh sekunder/tokoh bawahan (c)
tokoh komplementer/tambahan (Aminuddin, 1984). Apabila ditinjau dari
dukungannya terhadap tema, dikenal adanya tokoh protagonis (tokoh yang
mengemban tugas untuk menyampikan tema) dan tokoh antagonis (tokoh yang
melawan tema).
3. Seting/Latar Cerita
Aminuddin (1984) memberi batasan seting sebagai latar peristiwa dalam
suatu karya fiksi baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa, serta memiliki
fungsi fisikal dan fungsi psikologis.
Kenny (dalam Sudjiman, 1988) mengungkapkan cakupan seting dalam
cerita fiksi adalah penggambaran lokasi geografis, pemandangan, perincian
perlengkapan sebuah ruangan, pekerjaan atau kesibukan sehari-hari para tokoh,
waktu berlakunya kejadian, masa sejarahnya, musim terjadinya dalam sebuah
tahun, lingkungan agama, moral, intelektual, soail, dan emosional para tokoh.
Sebuah pertunjukan drama akan menjadi sempurna bila didukung oleh
setting yang tepat dan baik. Dikatakan tepat bila seting benar-benar cocok dengan
situasi waktu maupun situasi tempat. Dikatakan baik jika seting yang ditampilkan
benar-benar ditata secara rapi, tidak asal, atau ceroboh. Kecerobohan dalam
menata setting akan mengganggu pandangan penonton, sedang ketidaktepatan
penataan setting akan terasa janggal.
Menata seting tidak sekedar menempatkan perlengkapan atau peralatan di
panggung atau pentas. Penata harus tahu bagaimana warna dan nada ceritanya.
Kapan cerita itu terjadi dan dimana peristiwa itu berlangsung. Itulah sebabnya
setting harus sesuai dengan waktu dan tempat.
Ruang tamu di rumah seorang pengusaha kaya tentu berbeda dengan
rumah seorang pedagang sederhana. Namun demikian, untuk memudahkan
12
pementasan, penataan panggung harus dibuat fieksibel sehingga tidak
menyulitkan pengubahan setting pada saat pergantian adegan.
Setting selalu memiliki keterkaitan dengan penokohan, perwatakan,
suasana cerita atau atmosfir, alur atau plot maupun dalam rangka mewujudkan
tema suatu cerita. Setting berfungsi sebagai pendukung. Gambaran setting yang
tepat akan membantu memperjelas peristiwa yang sedang dikemukakan.
Untuk dapat melukiskan setting yang tepat diperlukan sekali pengetahuan
yang memadai tentang keadaan atau waktu yang akan digambarkan. Hal tersebut
dapat diperoleh melalui pengamatan langsung atau melalui bacaan-bacaan atau
sumber informasi lainnya.
4. Dialog
Dialog pada hakikatnya adalah percakapan yang dilakukan oleh dua orang
atau lebih. Dalam drama, cerita disajikan dalam bentuk dialog-dialog sehingga
bentuknya sangat khas. Unsur dialog ini dapat dikatakan sebagai pembeda antara
drama dan karya sastra yang lain, khususnya dengan prosa fiksi yang juga
mungkin terdapat dialog di dalamnya. Dialog dalam drama bersifat sangat
fundamental, bahkan drama dapat diidentikkan dengan daftar dialog antartokoh
dalam cerita. Ini berbeda dengan prosa fiksi yang dialognya sangat terbatas sebab
masih dijabarkan dalam bentuk narasi.
Pentingnya dialog dalam drama juga berkaitan dengan peran dialog
sebagai alat untuk menyampaikan gagasan. Melalui bahasa dalam dialog, dapat
diketahui watak seseorang secara jelas. Hanya melalui bahasa yang diwujudkan
dalam bentuk dialoglah dapat dipahami siapa dan bagaimana seorang tokoh. Dan
di antara dialog-dialog antartokoh itulah pesan drama disampaikan.
Selain dialog, dalam drama juga dikenal adanya monolog. Dalam
monolog, ungkapan atau kalimat diucapkan oleh seorang saja. Monolog dapat
berorientasi pada sesuatu di luar dirinya, dapat pula berwujud membicarakan
orang lain dari segi positif dan negative.
Istilah lain yang masih berhubungan dengan dialog adalah sosiolog. Ciri
khas sosiolog menurut Maryaeni (1992) adalah mengungkapkan perasaan-
13
perasaan, gagasan yang secara prinsip selalu mengalami kegagalan hidup seorang
pelaku. Kegagalan tersebut menyebabkan tokoh mengeluh, memelas, dan ingin
dikasihi. Visualisasi sosiolog ini dapat seorang diri, bias juga dengan bersama-
sama tokoh lain.
5. Tema
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga
sebagai pangkal tolak pengarang dalam mengembangkan cerita (Aminuddin,
1984). Tema merupakan pokok pikiran atau sesuatu yang melandasi suatu karya
sastra diciptakan. Tema merupakan sesuatu yang paling hakiki dalam setiap karya
sastra meskipun bukan berarti mengesampingkan unsur lainnya. Tanpa tema,
suatu karya tidaklah berjiwa. Ia ada di dalam dan dimana-mana.
Pengarang dalam mengembangkan ceritanya bukan sekedar mau bercerita,
tetapi hendak menyampaikan sesuatu pada pembaca atau penontonnya. Sesuatu
yang akan disampaikan dapat berupa suatu masalah kehidupan, pandangan
hidupnya tentang kehidupan ini atau komentar terhadap kehidupan ini. Kejadian
dan perbuatan tokoh cerita, semuanya diriasari oleh ide pengarang ini. Sebuah
karya sastra harus selalu mengatakan sesuatu, yaitu pendapat pengarang tentang
hidup ini sehingga orang lain dapat mengerti hidup ini lebih baik.
Tema tidak selalu dikemukakan secara definitif. Pengarang kadang-kadang
menyatakan tema ceritanya secara tersembunyi dalam suatu potongan perkataan
tokoh utamanya atau dalam satu adegan cerita. Dengan kata lain, pengarang dapat
menyatakan ide atau temanya dalam elemen-elemen cerita. Tema dapat tersamar
dalam seluruh elemen karya sastra. Pengarang dapat mempergunakan dialog-
dialog tokoh-tokohnya, jalan pikirannya, perasaannya, kejadian-kejadian, dan
seting cerita untuk mempertegas atau menyarankan isi temanya. Seluruh unsur
cerita menjadi mempunyai satu arti saja, satu tujuan. Dan yang mempersatukan
segalanya itu adalah tema.
Tema meliputi beragam permasalahan. Scharbah (dalam Aminuddin,
1984) membedakan tema atas (1) tema keindahan yang meliputi keserasian,
14
keselarasan, dan keseimbangan (unsur bentuk pemandangan atau sublimasi
pernyataan yang menimbulkan kegembiraan spiritual; (2) tema cinta kasih yang
meliputi simpati, rasa senang dan keterikatan yang mendalam sehingga
menimbulkan penyerahan, pengorbanan, kesetiaan, kebanggaan, pengabdian, dan
pembelaan; (3) tema keadilan, yaitu kualitas perlakuan, tindakan, perbuatan,
penerimaan, perolehan secara benar, jujur, seimbang dan proporsional, merata
baik dari Tuhan maupun dari manusia mengenai pelaksanaan kewajiban dan
haknya, (4) tema tanggung jawab dan pengabdian, yaitu panggilan hati nurani,
kesadaran untuk berperan serta atau melaksanakan tugas dan kewajiban
berdasarkan norma dan moral tertentu, (5) tema penderitaan, yang meliputi
siksaan batin atau jasmani yang disebabkan faktor dari dalam, yaitu penindasan
atau karena rasa memiliki yang mendalam, (6) tema harapan dan cita-cita, yaitu
dambaan atau keinginan terpenuhinya sarana dan prasarana guna memenuhi
kebutuhan dan kebahagiaan hidup, (7) tema kemerdekaan dan kebebasan, yaitu
tedepasnya seseorang atau kelompok masyarakat atau bangsa dari tekanan atau
penindasan jasmani dan rohani dan terlaksananya secara baik hak asasi manusia,
(8) tema hawa nafsu, yaitu dorongan emosional yang sangat kuat, terutama yang
bersifat alamiah dan animalisfil yang bertentangan dengan kemanusiaan yang adil
dan beradab, (9) tema keyakinan, keimanan, dan kepercayaan yang meliputi
kepercayaan yang kuat berdasarkan wahyu Tuhan atau agama atau peristiwa
sejarah serta logika dan nalar ilmiah, dan (10) tema pandangan hidup, yaitu suatu
wawasan tentang pedoman hidup berdasarkan agama, filsafat moral atau filsafat
politik, social, dan kenegaraan.
15
Unsur ekstrinsik ini mencakup berbagai aspek kehidupan social yang
tampaknya menjadi latar belakang penyampaian tema dan amanat cerita. Unsur
ekstrinsik sangat mempengaruhi penciptaan sebuah karya sastra. Seorang
pengarang dengan latar belakang agama Islam tentu tidak akan sama dengan
orang beragam Kristen dalam menghadapi persoalan yang prinsip karena yang
mendasari sikap dan tindakannya juga tidak sama. Hal seperti tersebut akan
mewarnai karya-karya yang dihasilkannya. Demikian pula seorang yang realis
akan berbeda dengan orang yang romants, orang yang berlatar Jawa berbeda
dengan yang Batak, Bugis, dan sebagainya. Pembahasan tentang unsur ekstrinsik
ini yang utama adalah pembahasan tentang sastra dan masyarakat, pengarang dan
masyarakat, dan ideology pengarang dalam karya sastra.
filsafat yang diterjemahkan dalam bentuk pencitraan dan sajak atau prosa,
melainkan ekspresi suatu sikap yang umum terhadap kehidupan. Filsafat dan
pemikiran dalam konteks tertentu menambah nilai artistic karya sastra karena
18
banyak ideologi yang tidak disatukan dengan unsur-unsur karya sastra justru dapat
mengganggu.
mendeskripsikan bahwa tidak dapat disangkal, sastra Inggris dapat dipakai untuk
antara hakikat alam dan kecenderungan untuk berubah. Pilihannya jatuh pada
keteraturan yang bersifat abadi dan tak dapat berubah. Dalam karya-karya
Morlowe dapat didengar gaung skeptisisme dan atheisme Italia pada zamannya.
hubungan yang padu antara filsafat dan sastra sering hanya merupakan ilusi saja.
Hubungan yang padu dibuktikan atas dasar penelitian tentang ideologi sastra,
dengan penciptaan karya sastra yang sebenarnya. Memang keraguan akan adanya
integrasi tidak dapat membantah bahwa hubungan itu ada dan bahwa ada
social dan kurun waktu tertentu atau oleh kesamaan pengaruh pada sastra dan
filsafat.
19
Permasalahan masuknya pemikiran dalam kesusastraan baru muncul
kalau pemikiran mulai diwujudkan dalam tekstur karya sastra dan menjadi bagian
dari karya sastra. Dengan kata lain, ini terjadi kalau pemikiran berubah dari
pemikiran dalam arti biasa menjadi symbol atau mitos. Dalam puisi-puisi didaktis,
pemikiran sering hanya dinyatakan atau disampaikan melalui metafora. Ada juga
novel-novel ide yang penuh dengan diskusi problem social, moral, dan filsafat.
mencapai kadar yang lebih tinggi dalam novel seperti Moby Dick. Seluruh lakuan
suatu perdebatan ideologis. Pada saat yang sama, konflik-konflik mereka juga
hanya merefleksikan kondisi masyarakat masa tertentu, tetapi juga sebagai bentuk
dari itu, pada masa Orde Baru, karya Pramoedya Ananta Tour diidentikkan
20
mengekspresikan perasaan sekaligus gagasan tentang warga bangsa. Itulah awal
bergerak dari tanah air sebagai tempat kelahiran menjadi tanah air Indonesia.
Pada masa Balai pustaka, drama Bebasari (1926) dari Rustam Efendi sering
dimaknai secara simbolik tokoh Sita mewakili ibu pertiwi dan Rama mewakili
potret sosial dan semangat zaman juga mnyelusupkan ideologi penulis dalam
Mustofa Bisri, Zawawi Imron, Emha Ainun Najib, dan Djamal D. Rahman sering
2000-an marak pula karya-karya dengan muatan didaktis yang tinggi. Karya-karya
sebagian besar ditulis untuk para remaja tersebut disebut dengan Novel Remaja
Islami (NORI).
21
Menurut Wellek dan Warren (1995:143) sebagian permasalahan yang
dicatat seorang penulis bersifat filosofis atau ideologis. Dalam hal ini, pengarang
termasuk masalah perasaan dan cara berpikir, bukan pemikiran. Sering ideologi
terpengaruh bukan saja oleh kepercayaan agama dan pandangannya tentang alam
semsta, tetapi juga oleh pertimbangan estetis, konvensi sastra, dan mungkin juga
penulis harus dipelajari dari segi lima jenis permasalahan, (1) masalah nasib, yaitu
alam, perasaan terhadap alam, juga mitos, dan ilmu gaib; (4) masalah manusia,
melalui jenis permasalah yang diangkat dalam karya sastra. Berbeda halnya
(sosial) ke dalam novel. Pertama, gagasan disampaikan secara lugas. Dengan kata
lain, gagasan menjadi hal yang dipropagandakan di dalam novel. Dalam novel
22
interpretasi. Menurut catatan Damono (2009), novel Cinta Tanah Air karya Nur
Sutan Iskandar dapat dibaca sebagai karya yang menerapkan konsep demikian.
lugas tetapi secara jelas tetap menunjukkan niat untuk memikat orang ke arah
Damono (2009) memberi contoh Siti Nurbaya (Marah Rusli) dan Atheis (Achdiat
dan tampak sebagai sesuatu yang wajar dan tidak sebagai suatu propaganda. Bagi
pembaca, gagasan demikian akan muncul sebagai common sense atau bahkan
sebagai pengalaman manusia yang universal. Dalam novel seperti itu gagasan
tidak terasa lagi sebagai gagasan, tetapi sebagai sesuatu yang memang sudah
menjadi milik bersama. Novel N.H. Dini Padang Ilalang Sebelah Rumah dan
Sebuah Lorong di Kotaku dikatagorikan Damono (2009) sebagai novel jenis ini.
gagasan sama sekali tidak kelihatan atau tidak bisa dikenali dengan langsung
23
karena sudah menyatu dengan tokoh, bahkan harus dikatakan sudah menjadi
tokoh itu sendiri seperti pada novel Pada Sebuah Kapal karya N.H. Dini.
Dalam novel jenis ini, gagasan mewujud dalam dunia rekaan yang sebenarnya
sebagai dunia yang dapat berdiri sendiri tanpa harus ditentukan hubungan-
hubungannya dengan dunia lain di luarnya. Gagasan pengarang tentu saja masih
dapat ditelusuri, tetapi karena gagasan sudah demikian dalam masuk ke dunia
pandangan pengarang di luar karya sastra dan gagasan yang masuk ke dalamnya.
hakikat sastra yang dibangun oleh berbagai unsur. Di antara unsur yang paling
penting yang membangun karya sastra, khususnya prosa adalah peristiwa. Oleh
naratif yang ada dalam karya sastra, bahasa juga dapat mengindikasikan ideologi
24
tertentu, khususnya bagi pemerhati studi wacana kritis. Hal ini karena mereka
beranggapan bahwa bahasa bukanlah media netral bagi pembentukan makna dan
pengetahuan tentang dunia objek independen yang ada di luar bahasa. Penggunaan
bahasa yang bertujuan untuk dikonsumsi public haruslah disikapi sebagai sebuah
25
DRAMA SEBAGAI SENI PENTAS
Naskah Drama
Naskah drama biasa dimaknai sebagai kertas kerja yang berisi dialog yang
mempertentangkan suatu alur yang berfungsi sebagai pemandu kerja para pekerja
teater yang termasuk di dalamnya sutradara dan pernain. Seperti telah
dikemukakan, naskah drama berisi unsur pembangun yang terdiri atas unsur
intrinsik dan ekstrinsik seperti karya sastra pada umumnya. Yang membedakan,
naskah dalam drama juga berfungsi sebagai pemandu kerja pekerja teater.
1) Pemilihan Naskah
Salah satu di antara masalah-masalah dalam pementasan drama adalah
pemilihan naskah. Sebelum mementaskan sebuah naskah, seorang sutradara
dituntut untuk dapat menentukan naskah yang memiliki potensi dramatik.
Kalau seorang sutradara menjatuhkan pilihan terhadap suatu naskah untuk
mementaskannya, menurut Saini (1984:9) sedikitnya ada dua alasan yang
mendorongnya. Pertama, karena ia menghayati dan (mungkin) setuju dengan
pandangan, sikap, dan perasaan pengarang yang diungkapkan dalam naskah
tersebut. Kedua, karena ia sudah dapat melihat kemungkinan-kemungkinan
mengungkapkan isi naskah secara teaterikal.
Hal pertarna, lebih berkaitan dengan isi atau cerita. Dalam masyarakat
yang pluralistik seperti sekarang ini, dramawan dituntut kreatif. Pada masa
26
sekarang hampir tidak ada penonton yang memandang sesuatu secara homogen.
Sutradara dituntut dapat menyajikan tontonan yang memuaskan sernua kalangan.
Dramawan bukan saja dituntut untuk dapat menemukan nilai-nilai bersama, kalau
perlu mereka harus membina nilai-nilai baru yang mereka anggap berharga bagi
masyarakat penonton mereka. Pengarang-pengarang naskah bukan saja harus
memahami masalah-masalah apa saja yang jadi bahan renungan masyarakat
umumnya, tetapi dia pun harus mampu menemukan dan mengajukan masalah
yang pantas menjadi bahan renungan masyarakatnya. Ia harus tahu nilai-nilai apa
yang menjadi sendi kehidupan masyarakatnya, akan tetapi iapun harus
memperkenalkan nilai-nilai baru agar kehidupan masyarakatnya menjadi lebih
mantap dan lebih kukuh.
Seorang sutradara harus pandai memilih naskah hingga pementasan teater
yang disutradarainya akan menjadi suatu peristiwa teater yang bernilai ritual.
Untuk itu ia harus mengetahui naskah mana yang mengandung nilai-nilai yang
berkaitan dengan nilai-nilai masyarakat penontonnya, bahkan iapun harus berani
memilih naskah yang mengandung nilai-nilai baru yang penting bagi
masyarakatnya.
Beberapa ciri naskah yang sering dijadikan dasar pernilihan adalah (1)
mampu mencetuskan kegembiraan dan ketakutan pada diri penonton, (2) mampu
memberikan kekayaan batin, membebaskan manusia dari prasangka dan memberi
rasa senang, (3) mampu menciptakan situasi yang membutuhkan jawaban, (4)
tidak terdapat pemyataan-pernyataan yang membingungkan, (5) memiliki dialog
yang menarik, (6) apabila dibaca berulang-ulang akan menimbulkan pengertian
yang lebih jelas pada pembaca, dan (7) naskah berisi kebenaran, mendalam, dan
tidak palsu.
Selain harus pandai memilih naskah yang mengandung nilai-nilai utama
tersebut, seorang dramawan juga harus mampu memvisualisasikan nilai-nilai
tersebut ke dalam bentuk-bentuk simbol-simbol yang tepat dan dikenal
masyarakat penontonnya. Dengan demikian, seorang sutradara juga harus mampu
memilih naskah yang memiliki kemungkinan dramatik yang mampu menarik
perhatian penonton.
27
Hal-hal yang mungkin menarik diungkapkan secara teaterikal dapat
meliputi banyak hal. Selain isi dan alur unsur-unsur intrinsik lain juga memiliki
potensi untuk divisualisasikan secara menarik. Yang utama tentu saja berkaitan
dengan tokoh dan penokohan dan bagaimana unsur-unsur lain seperti dialog,
kinetik, dan setting dapat mendukung penokohan tersebut.
2) Menafsirkan Naskah
Sebelum mementaskan naskah, ada beberapa sutradara yang sengaja
berkunjung ke tempat penulis naskah untuk menanyakan keinginan penulis dalam
hubungan dengan pementasan naskah dan meminta saran-saran bagaimana
sebaiknya naskah tersebut dipentaskan. Biasanya penulis selalu menolak untuk
menjelaskan keinginan maupun memberikan saran. Penolakan tersebut diriasarkan
kepada beberapa alasan.
Pertama, penulis berpendapat bahwa seorang calon sutradara seyogyanya
mementaskan suatu naskah alas dasar tafsiran pribadinya terhadap naskah itu dan
tidak berdasarkan keinginan pengarang. Sutradara itu hendaknya lebih percaya
pada apa yang terjadi dalam pikiran dan perasaaannya daripada pada keinginan-
keinginan dan saran-saran pengarang. Karena, bagaimanapun juga pikiran dan
perasaannya sendiri itulah yang merupakan pengalaman pribadinya yang otentik
dan pengalaman pribadi yang otentik inilah yang dapat menjadi pijakan yang
kokoh dalam upaya kreatifnya sebagai seniman. Keinginan pengarang dan saran-
sarannya belum tentu dapat dipahami oleh sutradara, apalagi dihayati. Oleh karena
itu, manfaatnya tidak akan banyak. Apalagi kalau diingat bahwa tidak semua
pengarang memahami media sutradara, maka keinginan-keinginan dan saran-
sarannyapun mungkin saja tidak mengenai sasaran.
Kedua, kalau pengarang masih menyampaikan keinginan-keinginan,
saran-saran dan bahkan penjelasan-penjelasan tentang naskah dan cara
pementasannya, hal itu berarti bahwa ia tidak punya keyakinan karyanya dapat
berbicara sendiri. Dengan kata lain, mungkin ia beranggapan bahwa karyanya itu
sebenamya belum selesai. Penjelasan tentang naskah tersebt juga mengindikasikan
bahwa pengarang sebenarnya punya ambisi untuk jadi sutradara dan oleh karena
28
itu secara tak sadar ia campur tangan dalam bidang kegiatan yang sebenarnya di
luar haknya sebagai seniman.
3) Mengedit Naskah
Meskipun tidak sernua penulis naskah sependapat adanya pengeditan
terhadap naskah yang telah dibuat, terkadang sebuah naskah perlu disesuikan
dengan keadaan pentas yang sebenamya. Misalnya, naskah agak goyah secara
struktural sehingga perlu "diperbaiki", naskah terlalu panjang, atau ada bagian
yang karena suatu sebab (misalnya sulit/memerlukan biaya banyak, terkait SARA)
tidak dapat dipentaskan. Oleh karena itulah, tidak jarang pemotongan,
pengubahan, dan penambahan "terpaksa" dilakukan.
Pemotongan naskah dilakukan dengan membuang bagian-bagian tertentu
dari naskah. Biasanya penulis cukup toleran dengan ini. Contohnya Saini, KM
(1984:15) yang dapat menyetujui pengurangan atau pemotongan naskah drama
yang ditulisnya. Namun, harus diupayakan agar pemotongan tersebut tidak akan
mengurangi kejelasan masalah dan pesan pengarang.
Seperti halnya mengubah suatu cerita, pengubahan naskah drama dapat
dilakukan terhadap setiap unsur drama. Namun, harus diingat bahwa tidak semua
penulis menyetujui hal ini. Saini, KM (1984) mengatakan sebenarnya tidak salah
jika dikatakan bahwa pengubahan merupakan suatu pelanggaran. Dalam
pengubahan, sutradara sudah berfindak di luar haknya, yaitu sebagai pengarang
dan tidak hanya sebagi penerjemah naskah di atas pentas. Karena hal itulah maka
pengubahan seyogyanya hanya dilakukan bila dianggap perlu.
Penambahan terhadap suatu naskah juga tidak disetujui banyak pihak. Hal
ini karena tindakan sutradara sudah jauh di luar wewenangnya. Penambahan
memiliki sisi negatif karena menjadikan cerita tidak lagi sebagai karya seorang
pengarang secara utuh.
Hal yang paling aman dilakukan oleh sutradara dalam melakukan
penyesuaian adalah dengan tidak mengubah isi cerita. Seorang sutradara
seyogyanya menambah naskah yang dianggapnya tidak lengkap dengan mengolah
medianya. Apa yang kurang secara verbal harus ditampilkan secara audio visual
dan kinetik. Di sinilah letak hak dan kewajiban sutradara. Dengan demikian,
29
seorang sutradara tidak dengan seenaknya sendiri mengubah dan menambah suatu
naskah.
4) Menulis Naskah
Membuatnaskah sendiri sebenarnya tidak menguntungkan karena akan
memperbanyak kegiatan dalam sebuah persiapan pementasan. Akan tetapi,
berkaitan dengan tidak banyaknya naskah drama yang memenuhi selesa pelaku
pementasan, membuat naskah sendiri dapat menjadi pilihan. Naskah seperti ini
bersifat situasional, tetapi akan menjadi kepuasan tersendiri karena naskah sesuai
dengan keinginan.
Hal pertama yang dapat dilakukan oleh seorang penulis naskah drama
adalah menentukan tema. Oleh karena tema merupakan gagasan dasar cerita atau
pesan yang akan disampaikan oleh pengarang kepada penonton, tema akan
menuntun jalannya cerita dari awal sampai akhir. Visualisasi para tokoh, dialog
tokoh, latar merupakan pencerminan tema tersebut.
Langkah berikutnya yang dapat ditempuh oleh seorang penulis naskah
drama adalah menentukan persoalan dalam cerita sesuai dengan tema. Persoalan
berkaitan dengan rangkaian konflik yang merupakan inti sebuah cerita. Tanpa
konflik, sebuah cerita tidak akan menarik karena seperti yang diungkapkan
Marahimin (2000) inti sebuah cerita adalah konflik.
Langkah berikutnya adalah menentukan protagonist. Toko protagonist
merupakan tokoh yang membawa laku cerita secara keseluruhan. Dengan
menentukan tokoh protagonist, berarti pembawa tema telah terbnetuk. Dengan
mennetukan tokoh protagonist berikut dengan gambaran karakternya juga dengan
sendirinya akan memunculkan pembanding yang akan menjadi calon tokoh
antonis yang menentang tema.
Cara penyelesaian persoalan juga penting ditentukan lebih dahuu. Ada
beberapa teknik engakhiri cerita. Akhir cerita yang baik adalah logis, tidk tergesa-
gesa, baik sehingga mengesankan.
Membuat kerangka cerita perlu dilakukan penulis setelah penulis
menetapkan konflik. Kerangka akan membingkai jalannya cerita dari awal hingga
30
akhir. Kerangka cerita meliputi bagian pembukaan yang berisi gambaran singkat
tokoh-tokoh cerita, bagian awal cerita yang berisi pengenalan yang lebih
terperinci mengenai masing-masing tokoh dan titik awal munculnya konflik,
bagian tengan adalah peruncingan konflik hingga klimaks, dan bagian akhir titik
balik cerita dan penyelesaian konflik.
Dengan adanya kerangka cerita, penulisan drama menjadi terarah. Selain
itu, kerangka juga memudahkan penulis dalam mengembangkan tiap bagian
ceritanya. Oleh karena itu, pembuatan kerangka drama tidak dapat dianggap
remeh.
Pemeran
Akting adalah seni yang sangat kompleks. Ada tiga hal yang dibutuhkan
oleh seorang pemeran agar dapar berakting dengan maksimal, yaitu kernampuan,
belajar, dan latihan (Arifin, 1980).
Sebagaimana seniman lainnya, untuk menjadi pemeran yang sempurna
diperlukan kerja keras melalui belajar dan berlatih secara kontinyu.
Kemampuan/bakat dapat ditingkatkan, dikembangkan, dan diperhalus melalui
latihan-latihan yang tetap dan disiplin.
Beberapa hal penting yang harus dipegang oleh seorang pemeran, menurut
Pramana (dalam Arifin, 1980) adalah sebagai berikut.
1. Analisis pikir dan rasa terhadap gambaran watak yang akan dibawakan.
2. Dalam intensifikasi penggambaran watak, perlu dilakukan identifikasi terhadap
watak tersebut.
3. Mencari personifikasi terhadap watak yang akan dibawakannya.
4. Menghadirkannya di atas pentas dengan bantuan sang sutradara.
5. Mengadakan latihan di luar latihan.
Selain tuntutan atas kernampuan pemeran dalam berakting, keberhasilan
acting juga didukung kesesuaian pemeran untuk memerankan tokoh dalam sebuah
lakon. Berkaitan dengan itu, diperlukan teknik casting untuk memilih aktor/aktris.
Ada lima teknik casting yang sering digunakan untuk menyeleksi pernain, yaitu
31
(1) casting ability, pemilihan pemeran berdasar kecakapan atau kemahiran yang
sama atau mendekati peran yang dibawakan; (2) casting to type, pemilihan
pemeran berdasarkan atas kecocokan fisik si pernain; (3) anti type casting,
pemilihan pemeran bertentangan dengan watak dan ciri yang dibawakan, (4)
casting to emotional temperament, pemilihan pemeran berdasarkan observasi
kehidupan pribadi calon pemeran, dan (5) therapeutic casting, pemilihan pemeran
dengan maksud untuk penyembuhan terhadap ketidakseimbangan psikologis
dalam diri seseorang.
Sutradara
Sutradara adalah pekerja teater yang bertugas mengkoordinasikan segala
unsur teater dengan kecakapan dan daya khayal yang intelegen sehingga mencapai
suatu pertunjukan drama yang berhasil. Seorang sutradara bukan hanya seorang
organisator terhadap pikiran-pikiran dan mimpinya, tetapi juga organisator
terhadap kelompok yang dipimpinnya. Karena itulah seorang sutradara harus
memiliki dedikasi yang lebih dari seorang perneran. Untuk melangkah menjadi
seorang sutradara, seseorang haruslah lebih dulu mengikuti dan menguasai teknik-
teknik acting dan seyogyanya telah menjadi pemain untuk beberapa lama.
Seorang sutradara yang baik harus mengetahui dengan baik drama yang
akan dipimpinnya. Ia harus mempelajari struktur lakon dengan meneliti pola-pola
persiapannya, komplikasinya, krisis, dan penyelesaiannya. Hal ini karena
sutradara memiliki tugas yang berat yang meliputi semua aspek pementasan.
Secara umurn tugas sutradara adalah (1) merencanakan produksi pementasan, (2)
mengkoordinasikan produksi, meliputi menghayati naskah drama, menangkap
pesan dan tema dalam naskah, memahami nada, suasana misted,
mengkoordinasikan waktu, mengetahui dan mengkaji calon penonton, dan
mempersiapkan aktor, dan (3) memimpin latihan aktor/aktris, meliputi latihan
pembacaan teks drama, latihan blocking, latihan akting/latihan kerja teater, latihan
pengulangan atau pelancaran.
Sutradara dapat dikelompokkan dalam beberapa tipe. Berdasarkan
bagaimana, cara sutradara mempengaruhi jiwa pemain, dikenal (1) sutradara
32
teknikus, yaitu sutradara yang mementingkan segi luar yang gemerlapan dan (2)
sutradara psikolog dramatik, yaitu sutradara yang mementingkan penggambaran
watak secara psikologis dan tidak menghiraukan faktor-faktor luar.
Berdasarkan cara melatih pemain, terdapat (1) sutradara interpretator,
yaitu sutradara yang hanya berpegang pada interpretasinya terhadap naskah secara
kaku, (2) sutradara kreator, yaitu sutradara yang secara kreatif menciptakan varisi
baru, dan (3) gabungan, yaitu sutradara interpretator dan kreator.
Berdasarkan cara penyutradaraan yang dilakukannya, dikenal (1) sutradara
yang diktator yaitu seluruh langkah pernainnya ditentukan oleh sutradara dan (2)
sutradara yang menganggap aktor atau aktris sebagai pencipta permainan dan
peranan sutradara sebagai supervisor yang membiarkan pemain melaksanakan
proses kreatif.
4. Pentas
Istilah pentas dipergunakan karena dalam pementasan drama tidak selalu
di panggung tetapi terkadang juga di arena.
Dalam dunia teater modern, pentas disesuaikan dengan kebutuhan
penonton dan lakonnya, antara lain sebagai berikut.
1. Pentas konvensional, yaitu bentuk pentas panggung yang masih menggunakan tirai
depan (proscenium). Bentuknya statis, ada korden-korden, pembatas (wing),
hiasan atas (teaster dan border) dan dekorasi lukisan yang disesuaikan dengan
latar kejadiannya.
2. Pentas arena, yaitu bentuk pentas tidak di panggung, tetapi sejajar dnegan
penonton. Arena ini ada yang berbentuk tapal kuda, huruf L, huruf U, bentuk
segetiga, dan yang disebut amphiteater, yaitu arenanya lebih rendah dari tempat
duduk penonton yang berundak-undak.
3. Refolving, yaitu panggung yang dapat diputar. Tujuannya adalah untuk
mengurangi waktu kosong selama menunggu adegan berikutnya.
4. Elevator/lift, yaitu tiga pentas atau lebih yang disusun secara vertical dan
digunakan secara silih berganti untuk menaikkan/menurunkan panggung dengan
lantai permainan yang sedang berjalan sejajar dengan auditorium.
33
Tata Pakaian
Tata pakaian pentas adalah segala sandangan dan perlengkapannya
(accessories) yang dikenakan di dalam pentas (Harymawan, 1988). Pakaian atau
kostum pentas meliputi semua pakaian, sepatu, pakaian kepala, dan perlengkapan-
perlengkapannya, baik semua itu kelihatan atau tidak oleh penonton.
Kostum dapat digolongkan menjadi lima bagian, yaitu (1) pakaian dasar
atau foundation, (2) pakaian kaki/sepatu, (3) pakaian tubuh/body, (4) pakaian
kepala/headdress, dan (5) perlengkapan-perlengkapan/accessories (Harymawan,
1988).
Perencanaan dan penataan kostum atau costuming mempunyai tujuan
sebagai berikut.
1) Membantu penonton agar mendapatkan suatu cird atas pribadi peranan.
2) Membantu memperlihatkan adanya hubungan peranan yang satu dengan peranan
yang lain, misalnya seragam tentara.
Agar kostum pentas mempunyai efek yang diinginkan, kostum pentas
harus menunaikan beberapa fungsi tertentu. Fungsi-fungsi tersebut meliputi
berikut ini.
1) Fungsi yang pertama dan paling penting ialah membantu menghidupkan
perwatakan pelaku.
2) Fungsi yang kedua untuk individualisasi peranan. Warna dan gaya kostum dapat
membedakan seorang peranan dari peranan yang lain dan dari setting serta latar
belakang.
3) Fungsi yang ketiga ialah memberi fasilitas dan membantu gerak pelaku. Kostum
tidak hanya harus menjadi baju bagi pelaku, tetapi juga harus menambah efek
visual gerak, menambah indah dan menyenangkan setiap posisi yang diambil
pelaku setiap saat.
Perlengkapan
Perlengkapan meliputi segala sesuatu yang diperlukan dalam pementasan,
terutama untuk penataan pentas dan yang dibutuhkan oleh para pemeran dalam
34
pementasan tersebut. Pengertian tata pentas untuk kepentingan seni teater pada
awalnya memang mencakup arti keseluruhannya, yaitu segala sesuatu yang ditata,
disusun, guna mencapai komposisi pentas yang artistic dan estetis. Ini berarti tata
pentas meliputi penataan setting property, kostum, rias, suara, dan cahaya yang
merupakan faktor-faktor primer di dalam penataan artisfik panggung. Namun,
dalam pelaksanaannya, guna spesifikasi keda, penataan pentas dipilah-pilah
diantara penataan artistic tsebut.
Secara garis besar, perlengkapan biasanya dipisahkan atas (1)
perlengkapan untuk tata pentas (2) perlengkapan yang berkaitan dengan tata
lampu, (3) perlengkapan yang berkaitan dengan tata suara, dan (4) perlengkapan
yang berkaitan dengan tata rias.
Dengan demikian, tata pentas lebih ditekankan pada penataan pentas
sesuai dengan latar belakang suasana yang mendukung keadaan pentas. Istilah
yang umum digunakan adalah dekorasi. Latar harus bermakna dan biasa disebut
dengan scenenry, yaitu latar belakang tempat pentas diadakan untuk
mempertunjukkan lakon. Scenery meliputi segala hiasan yang melingkupi daerah
permainan.
Sebuah penataan pentas harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk
mencapai tujuan dan fungsi yang diharapkan (Arifin, 1980). Pokok-pokok
persyaratan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Lokatif, yaitu tata pentas harus memberi ruang pada gerak laku.
2. Ekspresif (tata pentas harus dapat memperkuat gerak laku dan memberi
pemyataan suasana (hati/jiwa) lakon.
3. Atraktif, yaftu tata pentas harus memberi pemandangan yang menarik atau dapat
memberi daya tarik.
4. Sederhana, yaitu tata pentas harus dapat menghilangkan segala sesuatu yang tidak
relefan denagn gagasan pokok.
5. Bermanfaat, yaitu tata pentas harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat
berguna bagi peran secara efisien dan efektif dan dapat diriayagunakan secara
terus menerus.
35
6. Prakfis, yaitu penataan pentas harus secara efisien dibuat, disusun. Dan mudah
untuk dibawa ke mana saja.
7. Organis, yaitu penataan pentas harus dapat menunjukkan setiap elemen yang
terdapat di dalam penampilan visual, memiliki hubungan satu sama lain serta
memenuhi tuntutan aspek orientasi dan relevansi terhadap naskah.
8. Ekonornis, yaitu penataan pentas harus dapat dibuat dari bahan-bahan yang tidak
banyak memakan biaya namun memenuhi tuntutan artistic yang diharapkan.
Perlengkapan yang berkaitan dengan dekorasi meliputi gambar-gambar
ilustrasi latar, bangku-bangku, kursi, almari, bunga dalam pot, dan benda-benda
yang diperlukan dalam pementasan baik yang bersifat alami maupun artifisial.
Perlengkapan untuk tata lampu meliputi segala jenis lampu, yaitu (1)
lampu primer, lampu yang sinarnya secara langsung menuju ke arah benda atau
daerah yang ingin disinari; (2) lampu sekunder, digunakan untuk menetralisir
bayangan yang ditimbulkan oleh sumber lampu primer; dan (3) lampu khusus
yang digunakan untuk menyinari dan menerangi latar belakang. Selain itu, dalam
tata lampu diperlukan juga alat-alat tata sinar seperti striplight, spotlight, dan
floodlight.
Perlengkapan untuk tata bunyi meliputi sernua jenis mikrofbn, yaitu
mikrofon omni (nondireksional), mikrofon bidireksional, mikrofon unidireksional,
mikrofon lapel, dan mikrofon boom. Selain itu diperlukan pula alat-alat musik,
lagu-lagu, atau rekaman-rekaman suara tertentu yang relefan dengan pementasan
seperti untuk memberi ilustrasi, menciptakan suasana tertentu, sebagai selingan,
pemberi tekanan, membantu penanjakan, dan sebagainya.
Penonton
Sesuai kodratnya, teater membutuhkan kehadiran suatu publik atau
audience dalam suatu tempat dan waktu yang khusus. Penonton yang diharapkan
bukanlah suatu penonton yang melimpah ruah, tapi suatu partisipasi yang bersifat
rohaniah, suatu dialog yang intim. Oleh sebab itu, publik yang ideal bagi suatu
pementasan menurut Arifin (1980) adalah publik yang sudah siap. Labih lanjut
Arifin (1980) menjelaskan publik atau audience itu bukanlah sesuatu yang polos
36
yang dengan teater akan diwarnai oleh cat tertentu. Mereka adalah partisipan-
partisipan yang dengan tingkat persiapan kreativitas tertentu sanggup mengadakan
dialog.
Bagi seorang penonton, drama harus memberikan sesuatu yang dia
inginkan, yang tidak diperolehnya dari kehidupan sehari-hari yang semarwut ini,
yang serba terikat oleh batasan-batasan konvensi lingkungannya. Penonton
melihat dalam drama kebenaran hakikat dirinya, kebenaran hakikat orang lain
dalam lingkungannya; dia ingin membanding, ingin meniru, ingin mencari, ingin
menemukan! (Arifin, 1980).
Drama adalah laksana cermin kehidupan manusia. Kehidupan manusia
bersendi pada unsur psikologis yang menentukan sepak terjang dan sikap hidup
manusia dalam mengahdapi masalahnya menurut watak dan pribadi masing-
masing. Suatu masalah menimbulkan konflik. Tanpa konflik tak ada masalah. Dan
perikehidupan manusia ini dipadati oleh segala macam konflik, sebab manusia
dengan naluri aslinya yang menghendaki kebebasan terbentur pada reaksi atau
konvensi lingkungannya yang serba membatasi.
Apabila dipilah-pilah, faktor psikologis yang mempengaruhi penonton
dapat dikelompokkan sebagai berikut.
1) Polarisasi
Polarisasi adalah keadaan yang menunjukkan tendensi penonton dalam membuat
suatu orientasi diri dalam hubungan dengan stimulus. Sumber stimulus itu adalah
lakon yang dipentaskan.
2) Stimulus
Perhatian sangat bermanfaat bagi stimulus. Dengan perhatian yang lengkap dan
jeli mengakibatkan timbulnya hipnotis. Massa menjadi emosional dan mudah
tersentuh. Jadi, jelaslah bahwa stimulus adalah faktor penentu dalam polarisasi.
3) Sikap social
Jika seseorang berkumpul dengan orang lain maka ada kecenderungan untuk
bereaksi sama dengan mereka. Sikap orang lain dalam kelompok itu akan
mempengaruhinya.
37
Reaksi massa atas stimulus yang kuat akan mempengaruhi reaksi individu.
Penonton di dalam studio yang melihat pertunjukan secara langsung mengarah
kepada respon dan psikologi massa pada tingkat yang sangat berbeda dengan
objektivitas tunggal seorang penonton di rumah. Faktor sosial dalam teater sangat
penting.
4) Regimentation
Hilangnya individualitas mengakibatkan kemudahan mengatur kesaman
psikologis dan fisik. Massa yang diarahkan pada pola kesibukan yang sama akan
lebih mudah cara pengaturannya. Bawalah penonton teater ke arah keseragaman
psikologis dalam menanggapi ide suatu lakon.
38
HAKIKAT APRESIASI DRAMA
44
BENTUK APRESIASI DRAMA
Membuat Sinopsis
Membuat sinopsis merupakan salah satu kegiatan apresiasi drama yang
cukup baik. Kegiatan ini dilakukan tidak dengan semata-mata memendekkan
naskah drama, tetapi juga mengubah drama menjadi prosa.
Drama biasanya terdiri atas bagian-bagian (adegan dan babak). Pembagian
ini biasanya tidak kebetulan, tetapi pengarang memiliki tujuan yang jelas terhadap
pembagian tersebut. Mungkin sekali tiap bagian itu merupakan peristiwa dalam
sebuah tahapan alur. Dalam mebuat sinopsis, hendaknya diriasarkan pada
peristwa-peristiwa tersebut. Berikut ini adalah sebuah contoh sinopsis naskah
drama kekerasan polifik yang berjudul. Jakarta 2039, 4 Tahun 9 Bulan setelah
13-14 Mei 1998 dari kumpulan Mengapa Kau Culik Anak Kami karya Seno
Gumira Ajidarma (Naskah tedampir).
45
JAKARTA 2039
4 Tahan 9 Bulan setelah 13-14 Mei 1998
(Sinopsis)
46
Jakarta, Februari 2039. Empat puluh tahun sudah peristiwa Mei berlalu.
Anak hasil perkosaan telah dewasa. Orang-orang yang merasa tercampakkan,
riwayat hidupnnya terhapus seketika saat tahu asal-usulnya. Hidup penuh
kegamangan. Ada rasa dendam dan benci pada para pemerkosa namun juga
ada sebuah kesadaran bahwa mereka adalah bapaknya.
Perempuan yang diperkosa, hidup penuh tekanan, sakit jiwa setelah
menanggung kehamilan yang tidak dikehendakinya. Namun, setelah bayi
dalam kandungannya lahir, ia langsung sembuh. Meninggalkan bayinya,
memulai hidup barunya, dan berusaha melupakan kenangan buruknya. Namun
semua itu adalah sia-sia.
Pun bagi seorang pemerkosa. Hidupnya bagai menanggung beban dunia
di punggungnya. Segala akibat dari perbuatannya seolah telah kembali
padanya. Anak-anak yang tercerai berai. Istri menjadi pelacur dan lari dengan
orang lain. Tubuh yang digerogoti penyakit tanpa seorangpun peduli, kecuali
anak perempuannya yang tidak menikah dalam usia yang tidak lagi muda
karena merawatnya. Sehingga ia yang masih berusia 60 tahun tampak
demikian lemah. Hanya pada anak perempuan yang mau tinggal
bersamanyalah, laki-laki itu bisa berkeluh kesah, mengeluarkan segala rahasia
yang mengahantui dan membuntutinya. Seperti anak-anak yang lain, anak
perempuannya sama sekali tidak menyangka bahwa ayahnya seorang
pemerkosa.
Memprosakan Drama
Memprosakan drama berarti mengurai drama sehingga menjadi bentuk
prosa. Kegiatan ini mirip dengan membuat sinopsis. Hanya saja, dalam sinopsis
bisa berisi inti peristiwa saja, sedangkan dalam memprosakan drama seyogyanya
tidak ada bagian yang dihilangkan. Berikut ini contoh kegiatan mengubah naskah
drama ke dalam bentuk prosa.
47
DIAM
48
Aleks : Kau juga ngomong melulu. Nggak konsekuen itu namanya. Absurd.
Buat larangan dilanggar sendiri. Huh, dasar …,
Irna : Kau mulai lagi. Komentar itu secukupnya. Tidak ngelantur kesana
kesini
Aleks : Diam, Irna, diaaaam!
Dawud: Kau diam dulu, jangan menyuruh melulu, nggak memberi contoh …
Irna : Kau juga sendiri mesti diam dulu, baru yang lain itu, Wud. Diam
Semua. Tiba-tiba meledak tawa mereka bersama-sama.
49
DIAM
(Diprosakan oleh Suroto)
53
DUKUN GHAIB
(diubah oleh Rizky Lia A. dan Murwiyati dari cerpen "Mbah Danu"
karya Nugroho Notosusasnto)
Seorang laki-laki tua berpakaian hitam-hitam dan memakai ikat kepala coklat
duduk di depan kepulan asap pedupaan sambil berkomat-kamit.
Mbah Danu : Ho ….. ho ….. cuih …… cuih …… cuih ….. (meludah).
Setan ijo, ijo alas, setan, setan ijo, ijo royo-royo, tanduranku,
tanduranmu, podo ijo …. ho …. ho …….. cuih ………
Pak Jaksa : Nyuwun sewu ………… Mbah, nyuwun sewu …………
Mbah Danu : Heh …… ono opo? Ada apa Pak Jaksa? Sini-sini, duduk.
Duduk dulu, ada apa?
Pak Jaksa : Itu Mbah, Si Inah itu lho ………… Si Nah, pembantu saya,
kumat lagi! Tulung Mbah, tulung si Nah!
Bu Jaksa : Pak ………. Pak …….. Pak …….. Bapak ……… (datang
tergopoh-gopoh)
Pak Jaksa : Kenapa Bu? Kok nyusul kemari? Sebentar lagi Bapak juga
pulang kok!
Ba Jaksa : Itu lho …. Si Nah, kumatnya makin parah. Ayo cepet pak!
Pak Jaksa : Sebentar to Bu, itu lho Mbah Danu masih buat mantra dan
jampi-jampi. Ayo sungkem Mbah Danu! Ayo Bu! (menarik
istrinya)
Bu Jaksa : Iya, iya … (gugup)
Mbah Danu : Hem …. iya cucuku. Sama-sama, santai sajalah! Mbah
masih bikin mantra dan jampi-jampi iki lho! (sambil
menunjukkan plastik isi kembang tujuh rupa)
Pak Jaksa : Nopo niku Mbah? (sambil mengamat-amati isi plastik)
Mbah Danu : Oalah Le … Le … ini namanya kembang tujuh rupa. Lha
kalau ini namanya kemenyan (sambil mengendus-enduskan
barang di tangan kirinya). Ini nanti akan Mbah berikan pada
si Nah. Untung-untung kalau dimakannya, pasti mujarab!
Bu Jaksa : Wah … wah … cek … ck … ! (manggut-manggut), jadi, si
Nah bisa sembuh lagi?
Pak Jaksa : Lha iya to Bu. Pasti itu. Pasti sembuh si Inah. Ya. Pasti
sembuh. Mbah danu ini dukun hebat. Ya kan Mbah?
(melirik Mbah Danu)
Bu Jaksa : Saya sudah tak sabar lagi menunggu si Nah sembuh. Saya
sudah capek nyapu, nyuci, dan masak sendiri. Boyok ini
pegel semua.
Pak Jaksa : Makanya sabar Bu. Ini Mbah Danu akan mengatasi
semuanya.
Mbah Danu : Sudah …. sudah ….. sudah ….. begini saja, ayo kita
berangkat. Nanti setan dan roh jahat keburu kerasan tidur di
tubuh si Nah. Ayo berangkat!
54
Pak Jaksa : Monggo Mbah …. Monggo …. Ati-ati Mbah …. Wonten
watu niki lho Mbah. (menuntun Mbah Danu yang berjalan
sempoyongan dengan tongkat di tangan kanannya). Ayo Bu,
bawakan sesajennya!
Bu Jaksa : Iya … iya … Pak. Nggak usah diperintah, monggo Mbah
kita berangkat.
Istri Hendra : Aduh ……… aduh ………. aduh …….. perutku sakit …….
aduh ……….. aduh ……. ibu ……… ibu ……… sakit ……
ibu ……… ibu ……. perutku sakit.
Bu Jaksa : Lhadalah ….. Nduk ….. Nduk …… kenapa perutmu?
(panik)
Istri Hendra : Nggak tahu Bu. Tiba-tiba saja seperti ada yang mengiris-iris
dari dalam.
Bu Jaksa : Oh sebentar. Sabar ya Nduk, ibu akan memanggilkan Mbah
Danu, mungkin beliau bisa meyembuhkamnu!
Istri Hendra : Cepat Bu ……. ! Aduh …… sakit …… aduh …….! Aduh!
56
Bu Jaksa : Ayo Mbah lekas. Lekas Mbah!
Mbah Danu : Baik
(Mbah Danu memijat bagian perut, istri Hendra terus-
meringis kesakitan)
Hendra : Hai, apa-apaan ini laki-laki tua? Keluar! Keluarrrr! Keluar
kau Mbah dukun (datang dengan marah-marah tidak terima
atas perbuatan Mbah Danu yang meremas-remas perut
istrinya)
Bu Jaksa : Hai apa-apaan kau! Istrimu sedang diobati, sebaiknya kau
bersikap sopan sedikit pada Mbah Danu!
Hendra : Apa diobati? Bu, ibu lihat sendiri apakah seperti ini cara
pengobatan? Hei istriku, kau tahu kan bahwa pijatan seperti
itu bisa merusak rahimu? Kau bisa mandul! Ayo laki-laki
tua, jangan kau injakkan kakimu di rumah ini lagi! Pergiiiii!
Hendra yang sejak tadi diam saja sibuk menguari bale-bale tempat tidur Mbok
Rah, tiba-tiba berteriak keras dan kaget.
Semua bingung dan tiba-tiba terdengar suara Mbah Danu tertawa terbahak-
bahak dengan keras, tetapi orangnya tidak tampak.
58
Mementaskan Drama
Bentuk apresiasi ini merupakan bentuk apresiasi tingkat tinggi yang
melibatkan berbagai kemampuan. Pementasan drama merupakan karya seni paling
lengkap yang di dalamnya melibatkan seni-seni yang lain, seperti seni suara, seni
musik, seni rupa, seni rias, dan seni gerak/tari. Karena itulah, tidak semua
apresiator sampai pada tahap ini, meskipun dalam kehidupan sehari-hari pun
banyak diantara mereka yang juga mengimitasi permainan drama.
Pementasan drama dapat dikelompokkan dalam berbagai jenis mulai dari
tingkat yang paling sederhana sampai yang paling rumit atau yang amatir sampai
yang profesional, baik untuk drama tradisional maupun modern. Pementasan
drama yang melibatkan masyarakat biasanya terjadi dalam moment peringatan
hari-hari besar seperti hari kemerdekaan, hari sumpah pemuda, dan tahun baru.
Pementasan tersebut dapat berupa pembacaan puisi secara teaterikal, pentas
komedi, atau bahkan pementasan dengan suatu tema yang serius berkaitan dengan
tema peringatan, misalnya perjuangan kemerdekaan. Tentu saja pementasan
tersebut terbatas segala sesuatunya, baik tata panggung, tata musik, tata cahaya,
tata rias, maupun kostum yang dikenakan. Para pernain yang biasanya terdiri atas
anak-anak yang tinggal di komplek perumahan tersebut yang dilatih oleh
sutradara amatir. Meskipun demikian, tidak berlebihan bila dikatakan
sesungguhnya drama penting bagi masyarakat, baik sebagai hiburan maupun
sarana aktualisasi diri.
59
PEMBELAJARAN APRESIASI DRAMA DI SEKOLAH
2. Menulis
61
dapat memilih naskah yang sesuai dengan karakteristik siswa atau jenjang
pendiidkannya.
2. Menulis Naskah Drama
Agar pembelajaran drama dapat berfungsi dengan baik, Maryaeni (1992)
mengunpkapkan dalam pembelajaran drama, guru dituntut mempunyai program
yang sistematis, menyajikan bahan pembelajaran yang menarik minat dan
perhatian, dan mampu memilih stratgei belajar-mengajar yang tepat. Selain
kemmapuan memillih tema yang menarik, mampu membuat penonton berfikir,
penulisan naskah drama menuntu t keterampilan siswa dalam menyusun unsure
kebahasaan dan adegan. Seorang guru hendaknya mampu melihat bermacam-
macam ekspresi
62
DAFTAR PUSTAKA
Murriat, Jean. Tanpa Tahun. Le Silence. Disadur oleh Bakdi Soemanto. Dapat
diakses di Id.scribd/doc/1427.
Wiyatmi. 2013. Sosiologi Sastra, Teori dan Kajian terhadap Sastra Indonesia.
Kanwa Publisher.
http://staffnew.uny.ac.id/upload/131873962/pendidikan/
Bahan+ajar+Sosiologi+Sastra.pdf
Damono, S. D. 2017. Sosiologi Sastra. Jakarta: Aulia
63
Noorman, S. S. 2010. Kajian Sastra Remaja Lupus, Remaja Jakarta yang Berada
di Posisi-Antara, Analisis Subjektivitas dan Agensi Remaja. Bandung:
Kiblat Buku Utama
Sutrisno, Mudji (Ed.) Tanpa Tahun. Cultural Studies, Tantangan bagi Teori-teori
Besar Kebudayaan. Depok: Koekoesan
64
Lampiran
Cerpen “Mbah Danu” Karya Nugroho Notosusanto
MBAH DANU
Nugroho Notosusanto
65
Dia tembusi badan Nah dengan panang membara sambil mengelilingkan
susur besar di dalam mulutnya. Nah mengigau dengan mata tertutup, buih di
mulutnya melelh ke bawah membasahi bantalnya yang kumal seperti tempat
duduk jeep militer yang sudah tua. Wajahnya pucat seperti kain mori.
“Ambilkan sapu lidi!” perintah Mbah Danu dengan sikap Srikandi wayang
orang. Kemudian dia mencengkeram lengan Nah dan menyeretnya dari tikarnya
ke lantai. Sapu lidi dating. Ukurannya istimewa besar karena Pak Jaksa
mempunyai 60 pohon kelapa di pekarangannya. Mbah Danu memegang sapu lidi
itu pada ujungnya yang lunak, kemudian bongkotnya yang garis tengahnya kira-
kira 10 cm itu diayunkan ke atas dan dia pukulkan sekuat tenaga ke pantat Nah
yang terbaring miring. Segenap hadirin melotot matanya dan mekar kupingnya
melihat dan mendengar pukulan dahsyat itu.
“Ngeoooong!” keluar dari mulut Nah, mendirikan bulu-bulu di kulit
penonton.
“Mampus engkau sekarang!” seru Mbah Danu bengis dan sapu lidi terus
menerus menghantam pantat Nah dengan irama rumba. Nah tidak mengeong lagi
sekarang, melainkan mengaum seperti singa sirkus yang marah. Sebagian hadirin
mau lari.
“Minggat! Ayo minggat!” teriak Mbah Danu dengan amat murka dan
dengan tendangan jitu Nah ditengkurapkannya. Kemudian deraannya menghujam
pula ke pantat Nah yang kini sadar, bahwa ia manusia Nah, bukan kucing, anjing,
kuda atau singa.
“Aduh biyuuuuung!Aduh biyuuung!! Tangisnya mengaung.
“Minggat!Minggat!Minggat!!” suara Mbah Danu menggelora sampai
tetangga-tetangga dan pelintas-pelintas pada mengalir masuk ke rumah itu untuk
menyelidiki sebab-musabab suara ngeri yang mereka dengar.
“Aduuuuh!Aduh, aduh, aduuuh!” pekik Nah seperti manusia biasa.
“Minggat! Minggat! Ayo minggat!” jarit Mbah Danu senyaring-
nyaringnya sambil memukul dengan tangn kanan dan menggenggam susur
ditangan kiri. Air liurnya memercik merah ke lantai dan badan Nah dalam
setengah lingkaran yang radiusnya 1.5 meter.
66
“Salah hamba apa kok disuruh minggat dan dihajar?” Tanya Nah sambil
menangis dan ia mencoba merangkak.
Sikap Mbah Danu sekaligus berubah.
“Aku bukannya berbicara kepadamu, Nah!” katanya dengan suara yang
lembut. “Aku mengusir setan-setan di dalam badanmu”.
“Sebagai pengeras perkataannya yang terakhir, ia tegak sekali lagi serta
memukulkan sapu lidi itu sedemikian kerasnya ke badan Nah sehingga si sakit
rebah ke lantai dan mengerang. Peluhnya bercucuran dan menguyupkan
pakaiannya.
“Ha! Hampir modar engkau sekarang!” seru Mbah Danu dengan ganas
sambil melangkah maju dan menginjak tubuh Nah dengan kedua kakinya. Selama
5 menit ia mondar-mandir di atas tubuh Nah sampai nafas si sakit seperti ububan
pandai besi bunyinya. Kedua lengannya diacung-acungkan untuk
mempertahankan keseimbangan. Gerak-geriknya persis seperti Batar Durga yang
menari di atas mayat manusia. Setelah sudah, ia menelentangkan badan Nah yang
keringatnya membuat lantai mengkilat basah dan mukanya kini merah padam.
Mbah Danu berdiri dan member isyarat supaya para penonton yang tak
berkepentingan mengundurkan diri. Pintu ditutup dan ia kembali kepada
pasiennya. Dengan gerakan-gerakan tangkas pakaian si sakit dibukanya dan
kemudian seperti orang kegila-gilaan ia meremas seluruh badan Nah sambil
menggelitik si sakit pada tempat-tempat yang penuh rasa geli. Dan mula-mula
Nah menggelepar-gelepar, akhirnya kegelian seperti erawan sehat. Seperempat
jam Mbah Danu meraba-raba tubuh pasiennya, kemuan ia melepaskannya dan
tegak pada lututnya.
“Setan-setan sudah lari dari badanmu, Nah,” katanya tenang. “Engkau
telah sembuh”. Dan di hadapan mata hadirin, Nah yang tadi sudah seperti
setengah mati duduk bersandar pada dinding dan tersenyum seperti orang bangun
tidur.
“Tidurlah dulu sampai besok,” kata Mbah Danu lebih jauh sambil
membaringkan dan menyelimuti Nah dengan penuh kasih saying. Sebentar ia
67
memijit-mijit kepala Nah, kemudian memercikkan ludah sedikit dari mulutnya
pada dahi si sakit. Setelah itu, ia berdiri dan keluar untuk meminum kopinya.
Prabawa Mbah Danu di rumah Pak Jaksa yang jadi sebagian prabawanya
di daerah yang terentang dari Kudus sampai Tuban, dari Bonang sampai ke
Randublatung, mengalami tantangan ketika MR. Saljo Kunto, salah satu menantu
Pak Jaksa, bersama isterinya mengunjungi mertuanya. Beberapa hari sesudah
kedatangannya, Nyonya Saljo sakit kepala dan pegal-pegal tubuhnya. Bu Jaksa,
sesuai dengan tradisi, segera menyuruh panggil Mbah Danu.
“O, ada sedikit angin jahat bersarang di dalam, Raden Ayu,” kata Mbah
Danu setelah mendengarkan gejala-gejala penyakit dari mulut Nyonya Saljo
sendiri. “Coba buka baju saja: akan saya usir’. Dan Mbah Danu mulai berpraktik.
Pertama kali ibu jarinya kedua-duanya ditekankannya ke dalam daging perut
Nyonya Saljo sehingga terbenam sama sekali dan si pasien mencetuskan bunyi
yang sukar dilukiskan. Kemudian perut Nyonya Saljo ditekannya dengan kedua
telapak tangannya sehingga angin ke luar dari bawah dengan bunyi meletup.
Setelah itu, punnggung dan tengkuk mendapat giliran dan dengan lega Nyonya
Saljo bersendawa. Kemudian Mbah Danu melakukan kombinasi kedua pijatan itu
sehingga angin berlomba-lomba ke luar dari atas dan dari bawah dengan
berletusan. Justru ketika itu Mr Saljo masuk ke kamar dari jalan-jalan ke pantai.
Dengan keras Mbah Danu diperintahkannya ke luar dari kamar seperti Mbah danu
mengusir setan-setan dari tubuh orang sakit. Kemudian istrinya dimarahinya.
“Engkau tahu bukan, bahwa pijatan itu bias merusakkan rahimmu?!”
Sebagai akibat insiden itu, Mbah Danu tak diizinkan mneginjak lantai
rumah itu kalau menantu akademikus Pak Jaksa itu dating. Suatu kekalahan bagi
Mbah Danu. Untung hal itu terjadi paling kerap hanya dua kali dalam setahun.
Pada waktu-waktu lainnya kedaulatan Mbah Danu tetap utuh.
Clash II antara Mbah Danu dan Mr. Saljo meskipun tak langsung
berhadap-hadapan, terjadi ketika Mbok Rah, pelayan Pak Jaksa yang setengah
umur, sakit keras, justru ketika menantu Pak Jaksa yang berpendidikan tinggi itu
berkunjung ke Rembang. Pak Jaksa dan Bu Jaksa tanpa piker panjang segera
menyuruh panggil Mbah Danu ketika Mbok Rah sudah mulai mengigau;
68
sedangkan Mr. Saljo dengan penuh pertimbangan meminta dating Dokter Umar
Chattab. Sangat kebetulan Dokter Umar Chattab lebih awal datangnya daripada
Mbah danu yang tidak punya mobil. Sehingga yang beraksi tangan dan stetoskop
dokter Umar, bukan tangan dan air ludah Mbah Danu.
“Malaria”, diagnose Dokter Umar Chattab di kamar Mbok Rah yang gelap.
Ia member resep kinine yang ada pada masa itu satu-satunya obat paling mujarab
untuk malaria. Setelah member petunjuk-petunjuk lain tentang makan dan rawatan
si sakit, Pak dokter pulang.
Penyakit Mbok Rah makin lama makin keras. Pak Jaksa dan Bu Jaksa dan
tetangga-tetangga yang dekat tahu benar apa sebabnya. Kualat Mbah Danu! Dan
mereka mendesak agar supaya Mbah Danu dipanggil. Tetapi sebagai jawaban, Mr.
Saljo memanggil Dokter Umar Chattab lagi. Soal ini jadi perkara kehormatan
baginya dan perhubungan antara mertua-mennatu jadi tegang. Nyonya Saljo
dengan susah payah bias tetap tinggal netral, tetapi sebagimana juga di dalam
politik ia dipandang marah oleh kedua belah pihak yang bertentangan. Namun ia
tetap mempertahankan politik bebas yang pasif itu.
Dokter Umar Chattab heraan.
“Kininenya sudah Tuan berikan sebagaai yang saya tetapkan?” tanyanya.
“Ya” jawab Nyonya Saljo mendahului suaminya. “Saya sendiri yang
memberikan pil-pil itu kepada Mbok Rah.”
Dokter Umar Chattab pulang dengan ti yang saya tetapkan?” tanyanya.
“Ya” jawab Nyonya Saljo mendahului suaminya. “Saya sendiri yang
memberikan pil-pil itu kepada Mbok Rah.”
Dokter Umar Chattab pulang dengan tidak mengubah ketetapannya. Hanya
saja ia berpesan agar supaya waktu menelan pil, si sakit diawasi sungguh-
sungguh.
Keadaan Mbidak mengubah ketetapannya. Hanya saja ia berpesan agar
supaya waktu menelan pil, si sakit diawasi sungguh-sungguh.
Keadaan Mbok Rah makin lama makin buruk dan malamnya lagi ia mati.
69
Perang dingin kini mencair jadi gugatan-gugatan lisan yang pedas
meskipun tak ditujukan secara langsung. Dengan tak dipanggil, Mbah ok Rah
makin lama makin buruk dan malamnya lagi ia mati.
Perang dingin kini mencair jadi gugatan-gugatan lisan yang pedas
meskipun tak ditujukan secara langsung. Dengan tak dipanggil, Mbah Danu
dating sendiri. Mr. Saljo mengundurkan diri ke dalam kamar tamu. Asbaknya
penuh dengan puntunng sigaret.
“Kita telah berbuat sebaik mungkin…” kata Nyonya Saljo menghibur
suaminya.
“Mengapa Jeng, mengapa ia meninggal?!” seru Mr. Saljo sambil memeluk
bahu isterinya yang tidak menjawab.
“Kita t Nyonya Saljo menghibur suaminya.
“Mengapa Jeng, mengapa ia meninggal?!” seru Mr. Saljo sambil memeluk
bahu isterinya yang tidak menjawab.
“Kita tak bias percaya kepada nonsense itu bukan!” katanya lgak bias
percaya kepada nonsense itu bukan!” katanya lagi.
“Inna li’llahi wa inna illaihi roji’un,” kata kata Nyonya Saljo.
Ketika fajar menyingsing, persiapan-persiapan untuk penguburan dimulai.
Pda jam 7 orang-orang masuk ke kamar jenazah dan mengangkatnya ke luar. Mr.
Saljo dan Nyonya ikut menyaksikan pengambilan jenazah dari dalam kamr tempat
ia dan Dokter Umar Chattab menderita kekalahan terhadap mertuanya dan Mbah
Danu. Nyonya Sljo yang mendampingi suaminya di kamar itu dalam hati kecilnya
cenderung kepada ayah bundanya, tetapi merasa harus solider dengan kekecewaan
suaminya. Hawa di kamar itu pengab, tambah menyesak dada oeh asap
kemenyan.Mr. Saljo membuka jendela lebar-lebar sehingga sinar matahari pagi
masuk dengan gelombang-gelombang besar. Suatu sosok tubuh muncul di
ambang pintu. Mbah Danu. Matanya membara. Mr. Saljo merasa tengkuknya
dingin. Ia menghela nafas panjang dan melemparkan pandang terakhir kepada
bale-bale tempat semalam jenazah terbaring. Dengan snagat tiba-tiba ia terpekik
dan telunjuknya diacungkannya ke sudut kamar. Matanya terbelalak lebar-lebar.
70
Nyonya Saljo dan Mbah Danu menengok. Dan mereka juga melihat pil kinine
membukit di lantai di bawah bale-bale Mbok Rah.
71
Penelitian yang dilakukan Zahro antara lain penelitian tindakan kelas,
penelitian sastra, dan penelitian tentang gender. Penelitian gender dilakukan
karena keterlibatannya dalam menggiatkan Pusat Studi Wanita (PSW) UM
sebagai pusat studi gender. Judul-judul penelitian tersebut adalah Penggunaan
Debat untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Argumentasi pada Siswa SMU
(2005), Pengoptimalan Kemampuan Berargumentasi (Mengkritik dan Memuji)
Siswa Kelas VI SDN 4 Bandulan Malang melalui Pemanfaatan Pertanyaan
Komparasi (2006), Moralitas Wanita dalam Novel Karya Novelis Wanita tahun
2000-an (2006), Moralitas Tokoh remaja Puteri dalam Novel Teenlit (2007),
Penerimaan Perempuan terhadap Poligami dalam Film Ayat-Ayat Cinta (2008),
Strategi Kooperatfi dalam Pembelajaran Menyimak dan Berbicara (2009) dan
Gender Mainstreaming Implementation in Kabupaten Malang in 2006-2010: A
Case Study in 2 SKPDs (2010).
Buku yang pernah ditulis adalah Strategi Kooperatif dalam Pembelajaran
Menyimak dan Berbicara (A3), sebuah buku teks untuk SD Terampil Berbahasa
Indonesia V (Pusbuk), dan sebuah buku ajar untuk matakuliah menyimak
Menyimak Beragam Wacana Lisan.
Karya pengabdiannya diwujudkan dalam bentuk pembimbingan penulisan
buku teks bahasa Indonesia (Dinas Pendidikan kota Malang) (2005),
pendampingan penulisan modul pada sekolah laboratorium UM (2006/2007),
pendampingan Lesson Study di Kota dan Kabupaten Pasuruan (2010/2011),
pendampingan Lesson Study di MIN Malang 1 (2011), tim ahli dalam program
pemberdayaan guru Sekolah Dasar kerjasama UM dan PT Pertamina (2011), dan
pengelola penerbitan koran ibu “Kabar dari Ibu” (2010) dan “Kalam Fatimah”
(2011) kerjasama Pusat Studi Wanita (PSW) UM dan Dirjen PAUDNI
Kemendiknas.
72
73