Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL

DAN SOSIOLOGI SASTRA

2.1 Novel

2.1.1 Defenisi Novel

Sebutan novel berasal dari bahasa Italia, yakni novella yang secara

harafiah berarti “sebuah barang baru yang kecil” dan kemudian diartikan sebagai

“cerita pendek dalam bentuk prosa” (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:9).

Dalam bahasa jerman novel disebut novelle dan dalam bahasa Inggris disebut

dengan novel, istilah inilah yang kemudiam masuk ke dalam bahasa Indonesia.

Novel merupakan jenis dan genre prosa dalam karya sastra. Prosa dalam

kesusastraan juga disebut sebagai fiksi. Karya fiksi menyarankan pada suatu karya

sastra yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang

tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehinggga tidak perlu dicari kebenarannya

pada dunia nyata (Nurgiyantoro, 1995:2). Tokoh peristiwa dan tempat yang

disebut-sebut dalam fiksi adalah tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat

imajiner.

Menurut Jacob Sumardjo (1999:11-12), novel adalah genre sastra yang

berupa cerita, mudah dibaca dan dicerna, juga kebanyakan mengandung unsur

suspensi daam alur ceritanya yang mudah menimbulkan sikap penasaran bagi

pembacanya. Walau bersifat imajiner namun ada juga karya fiksi atau novel yang

berdasarkan dari pada fakta. Karya fiksi yang demikian oleh Abrams dalam

Nurgiyantoro (1995:4) digolongakn sebagai fiksi nonfiksi (nonfiction fiction),

yang terbagi atas (10 fiksi historical (historical fiction) atau novel historis, jika

Universitas Sumatera Utara


menjadi dasar penulisan fakta sejarah, (2) fiksi biografis (biographical fiction)

atau novel biografis, jika yang menjadi dasar penulisan fakta biografis, dan (3)

fiksi sains (science fiction) atau novel sains, jika yang menjadi dasar penulisannya

fakta ilmu pengetahuan.

Dilihat dari penggolongannya, maka penulis memasukkan novel “Samurai

‘Kastel Awan Burung Gereja’” ini ke dalam novel historis karena terikat oleh

fakta-fakta yang dikumpulkan melalui penelitian dari berbagai sumber.

2.1.2 Novel sebagai Sebuah Karya Fiksi

Fananie (2000:6) mengungkapkan bahwa secara umum sastra merupakan

karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan

yang mampu mengungkapkan aspek-aspek estetik baik yang didasarkan aspek

kebahasaan maupun efek makna.

Dunia kesastraan mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra

disamping genre-genre lainnya. Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut

fiksi (fiction), teks naratif (narrative text), atau wacana naratif (narrative

discource).

Menurut Altenbern dan Lewis dalam Nurgiantoro (1966:14), mengatakan

bahwa fiksi dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun

biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan

hubungan-hubungan antar manusia. Pengarang mengemukakan hal itu

berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu

dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya sekaligus

memasukkan unsur-unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman hidup

Universitas Sumatera Utara


manusia. Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam

interaksinya dengan diri sendiri, orang lain dan interaksinya dengan Tuhan.

Fiksi juga merupakan sebuah cerita, karena didalamnya terkandung tujuan

untuk memberikan hiburan kepada pembaca disamping adanya tujuan estetik.

Wellek dan Waren dalam Nurgiantoro (1956:22) mengutarakan betapapun

saratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya

fiksi haruslah merupakan cerita yang menarik, tetap merupakan bangunan struktur

yang koheren dan tetap mempunyai tujuan estetik.

Abrams (1981:61) mengungkapkan bahwa pada awalnya fiksi mengacu

pada prosa naratif, yang dalam hal ini adalah novel dan cerpen, tapi kemudian

fiksi sering dianggap bersinonim dengan novel. Novel sebagai sebuah karya fiksi

menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan,

dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai peristiwa dan kondisi yang juga

imajinatif. Kesemuanya itu walau bersifat noneksintensial, karena dengan sengaja

dikreasikan oleh pengarang, dibuat mirip, diimitasikan atau dianalogikan dengan

dunia nyata lengkap dengan pristiwa-peristiwa latar aktualnya, sehingga tampak

sungguh ada dan terjadi, terlihat berjalan dengan sistem koherensinya sendiri.

Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling populer di dunia.

Bentuk sastra ini paling banyak beredar, karena daya komunikasinya yang luas

pada masyarakat. Novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas , menyajikan

sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, dan melibatkan berbagai permasalahan

yang lebih kompleks. Oleh karena itu novel memiliki kelebihan yang khas.

Sebagai salah satu karya fiksi, novel memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Bentuknya lebih panjang, biasanya lebih dari 10.000 kata.

Universitas Sumatera Utara


2. Jumlah pelaku dalam novel biasanya lebih dari satu.

3. Ditulis dengan gaya narasi, yang terkadang dicampur deskripsi untuk

menggambarkan suasana.

4. Bersifat realistis, artinya merupakan tanggapan pengarang terhadap

situasi lingkungannya.

5. Novel banyak menceritakan dan melibatkan berbagai permasalahan

yang lebih kompleks.

6. Alur ceritanya cukup kompleks.

7. Novel juga sering menawarkan lebih dari satu tema.

8. Novel lebih mencerminkan gambaran tokoh nyata, tokoh yang

berangkat dari realitas sosial.

Novel juga lebih menitikberatkan kepada tokoh manuasia dalam

karangannya dari pada kejadiannya dan secara keseluruhannya mengambil bentuk

yang dikatakan dengan ciptaan dunia berdasarkan perbedaan individu.

Selain itu novel mampu menghadirkan perkembangan suatu karakter,

situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter

dan berbagai peristiwa rumit yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih

mendetail.

2.1.3 Unsur-Unsur Pembangun Novel

Novel merupakan sebuah totalitas, suatu paduan yang bersifat artistik.

Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian atau unsur-unsur yang

berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan. Sehingga

dengan unsur-unsur tersebut keterpaduan sebuah novel akan terwujud.

Secara garis besar unsur-unsur pembangun sebuah novel antara lain :

Universitas Sumatera Utara


1. Unsur intrinsik

Unsur intrinsik merupakan unsur-unsur yang berada dalam karya sastra itu

sendiri. Nurgiantoro (1998:23) berpendapat unsur-unsur inilah yang menyebabkan

karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan

dijumpai ketika orang-orang membaca sebuah karya sastra.

Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung

turut serta membangun cerita. Keterpaduan antar berbagai unsur inilah yang

membuat sebuah novel berwujud.

Unsur-unsur yang dimaksud adalah tema, alur atau plot, penokohan, latar,

sudut pandang, gaya bahasa, amanat dan lain-lain.

a. Tema

Setiap karya fiksi termasuk novel mengandung atau menawarkan tema

kepada pembacanya. Menurut Stanton (1965:88) dan Kenny (1966:20) dalam

Nurgiantoro, tema (theme) merupakan makna yang dikandung oleh sebuah cerita.

Namun, ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita (novel) itu.

Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam

pengalaman manusia, sesuatu yang menjadikan pengalaman begitu diingat. Jadi,

dengan kata lain tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang

mendasari jalan cerita novel atau karya sastra.

b. Alur atau Plot

Stanton dalam Nurgiantoro (1965:14) mengemukakan bahwa plot atau alur

merupakan urutan kejadian dalam sebuah certita, tiap kejadian tersebut

dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau

menyebabkan terjadinya peristiwa lainnya.

Universitas Sumatera Utara


Paulus Tukan membedakan alur menjadi 2 bagian, yaitu alur maju

(progresif) yaitu apabila peristwa bergerak secara bertahap berdasarkan urutan

kronologis menuju alur cerita. Sedangkan alur mundur (flash back progresif) yaitu

terjadi ada kaitannya dengan peristiwa yang sedang berlangsung.

c. Penokohan

Penokohan menggambarkan karakter untuk pelaku. Pelaku bisa diketahui

karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, lingkungan tempat tinggal. Penokohan

mencakup pada masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan atau karakter

tokoh, dan bagaimana penempatan atau pelukisannya dalam sebuah cerita

sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan

sekaligus mencakup pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam

sebuah cerita.

d. Latar

Stanton (2007:35) menyebutkan latar merupakan lingkungan yang

melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan

peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berwujud dekor

(tempat), dan juga berwujud waktu-waktu tertentu. Biasanya latar diketengahkan

melalui baris-baris deskriptif.

e. Sudut pandang

Abarms dalam Nurgiantoro (1981:142) memaparkan bahwa sudut pandang

(point of view) mengacu pada cara sebuah cerita dikisahkan. Hal ini merupakan

cara atau pandagan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk

menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk

sebuah cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.

Universitas Sumatera Utara


Dengan demikian sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi,

teknik, siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan

gagasan ceritanya.

f. Gaya bahasa

Gaya bahasa merupakan tingkah laku pengarang dalam mengunakan

bahasa dalam membuat karyanya. Gaya bahasa yang digunakan pengarang

berbeda satu sama lain. Hal ini dapat menjadi sebuah ciri khas seorang pengarang.

g. Amanat

Amanat merupakan pesan moral atau hikmah yang ingin disampaikan

pengarang pada pembacanya. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan

pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai

kebenaran dan hal itulah yang ingin disampaikan pada pembacanya.

Menurut Kenny (1966:89), moral dalam cerita biasanya dimaksudkan

sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat

praktis, yang dapat diambil melalui cerita oleh pembaca.

2. Unsur ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu

sendiri, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem

organisme karya sastra tersebut. Secara lebih khusus dapat dikatakan sebagai

unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra. Unsur

ekstrinsik karya sastra cukup berpengaruh terhadap totalitas keterpaduan cerita

yang dihasilkan. Wellek dan Warren (1956) mengatakan bahwa unsur ekstrinsik

sebuah novel haruslah tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting.

Universitas Sumatera Utara


Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga memiliki

beberapa unsur diantaranya keadaan subjektifitas individu pengarang yang

memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan

mempengaruhi karya yang ditulisnya. Unsur ekstrinsik merupakan segala faktor

yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Yang merupakan milik subjektif

pengarang yang berupa kondisi sosial, motivasi, tendensi yang mendorong dan

mempengaruhi kepengarangan seseorang.

Unsur-unsur ekstrinsik meliputi tradisi dan nilai-nilai, struktur kehidupan

sosial, keyakinan dan pandangan hidup, suasana politik, lingkungan hidup, agama

dan sebagainya.

2.1.4 Klasifikasi Novel

Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling populer di dunia.

Bentuk sastra ini paling banyak beredar, karena daya komunikasinya yang luas

pada masyarakat. Novel merupakan dunia dalam skala yang lebih besar dan

kompleks, mencakup berbagai pengalaman kehidupan yang dipandang aktual,

namun semuanya tetap saling berkaitan.

Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu

novel serius dan novel populer. Sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia

merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian juga memberikan

hiburan pada kita, tetapi ia juga dituntut lebih dari itu. Syarat utama sebuah novel

adalah menarik, menghibur dan mendatangkan rasa puas setelah membacanya.

Universitas Sumatera Utara


1. Novel populer (novel pop)

Novel populer sering disebut juga sebagai novel pop. Kata pop erat

diasosiasikan dengan kata populer. Kayam dalam Nurgiantoro (1981:82)

mengatakan bahwa istilah pop merupakan istilah baru dalam dunia kesusastraan.

Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak

penggemarnya, khususnya pembaca dikalangan remaja. Ia menampilkan masalah-

masalah yang aktual dan menzaman, namun hanya sampai pada tingkat

permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara

intens dan tidak berusaha meresapi masalah kehidupan, karena akan dapat

membuat novel ini menjadi berat dan dapat berubah menjadi novel serius.

Novel populer adalah perekam kehidupan dan tidak banyak

memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan

kembali rekaman-rekaman kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal

kembali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur dan menceritakan

kembali pengalamannya itu. Kayam (1981:88) kembali mengungkapkan novel

populer yang baik banyak mengundang pembaca untuk mengidentifikasi dirinya.

Novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena

novel populer memang hanya semata-mata menyampaikan cerita dan tidak

berpotensi mengejar efek estetis melainkan memberikan hiburan langsung dari

aksi ceritanya.

2. Novel serius (novel sastra)

Berbeda dengan novel populer, novel serius atau novel sastra harus

sanggup memberikan yang serba kemungkinan. Jika ingin memahami novel sastra

diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan disertai kemauan untuk itu.

Universitas Sumatera Utara


Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini

disoroti dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal.

Disamping memberikan hiburan, novel serius juga memiliki tujuan

memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca atau mengajaknya untuk

meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sunguh tentang permasalahan

yang dikemukakan.

Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan

cara yang baru juga. Karena adanya unsur pembaharuan tersebut teks kesastraan

menjadi mengesankan. Oleh karena itu, novel serius tidak akan terjadi sesuatu

yang bersifat ketinggalan karena pengarang akan berusaha untuk menghindarinya.

Novel sastra menuntut aktifitas pembaca secara lebih serius, menuntut

pembaca untuk mengoperasikan daya intelektualnya. Pembaca dituntut untuk ikut

merekonstruksikan duduk persoalan masalah dan hubungan antar tokoh. Teks

kesastraan sering mengemukakan sesuatu secara inplisit sehingga menyebabkan

pembaca harus benar-benar mengerahkan konsentrasinya untuk memahami teks

cerita. Luxemburg, dkk (1989:6) mengungkapkan jika cerita bertentangan dengan

pola harapan pembaca , disamping itu juga memiliki kontras yang ironis, hal ini

justru menjadikan teks yang bersangkutan suatu cerita yang memiliki kualitas

kesusastraan.

Stanton (2007:4) menjelaskan bahwa secara implisit maupun eksplisit

disebutkan bahwa novel serius dimaksudkan untuk mendidik dan mengajarkan

sesuatu yang berguna untuk kita dan bukan hanya memberi kenikmatan. Faktanya,

novel serius dapat memberikan kenikmatan dan memang begitu adanya.

Pernyataan ini telah diungkapkan dan dibuktikan oleh banyak orang.

Universitas Sumatera Utara


2.2 Novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’

Novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’ ini merupakan novel

pertama yang ditulis oleh Takashi Matsuoka. Novel ini pertama kali dierbitkan

oleh Bantam Dell Publishing Group di New York dan telah diterjemahkan ke

dalam berbagai bahasa, salah satunya yaitu bahasa Indonesia. Setelah

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh PT Mizan Pustaka pada

Januari 2005.

2.2.1 Biografi Pengarang

Takashi Matsuoka tumbuh di Hawaii. Sejak kecil Takashi sudah bercita-

cita menjadi penulis mengikuti jejak sang ayah, seorang reporter surat kabar di

Hawaii. Sebelum menjadi penulis fulltime, Takashi matsuoka sempat bekerja di

kuil sekte Zen Buddha di Honololu. Hal inilah yang melatarbelakangi ia dapat

dengan fasih menggambarkan kehidupan spiritual penganut Zen dalam bukunya.

Takashi juga belajar tenteng hukum di New York, meskipun kini ia hanya

menulis dan tinggal di Honolulu bersama anak perempuannya.

2.2.2 Setting Novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’

Setiap karya sastra disusun atas unsur-unsur yang mejadikannya sebuah

kesatuan. Salah satu unsur yang sangat mempengaruhi keberadaan karya sastra

adalah unsur instrinsik. Setting merupakan salah satu unsur intrinsik yang terdapat

dalam karya sastra yang dalam hal ini adalah novel.

Setting atau latar yang disebut juga landasan tumpu, menyaran pada

lingkungan tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya

peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:216)

Unsur-unsuur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu:

Universitas Sumatera Utara


1. Latar tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang

diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin

berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi

tertentu tanpa nama jelas. Dalam novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’

mengambil latar tempat di beberapa tempat di Jepang, seperti Hiroshima, Edo,

Distrik Tsukiji dan lain sebagainya. Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi di tempat-

tempat seperti di hutan-hutan, gunung, pelabuhan, kuil dan lain-lain.

2. Latar waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-

peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut

biasanya dihubungkan dengan waktu factual, waktu yang ada kaitannya atau dapat

dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Oleh sebab itu dalam kaitannya sebagai latar

waktu maka dalam novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’ karya Takashi

Matsuoka mengambil setting pada masa akhir Keshogunan Tokugawa sekitar

tahun 1861-1867.

3. Latar Sosial

Latar sosial menyaran kepada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku

kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi

maupun nonfiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat dapat berupa kebiasaan

hidup, adapt istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan

bersikap, dan lain-lain. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh

yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas.

Universitas Sumatera Utara


Demikian juga dalam novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’

terdapat ruang lingkup tempat dan waktu sebagai wahana para tokohnya

mengalami berbagai pengalaman dalam hidupnya. Peristiwa-peristiwa yang

terdapat dalamm novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’ ini terjadi di

Jepang dan berlangsung pada akhir keshogunan Tokugawa sekitar tahun 1861-

1867.

Pada zaman ini Jepang mengalami sistem pengontrolan masyarakat oleh

rezim penguasa secara sistematis mulai dari struktur pemerintahan, masyarakat,

pemikiran, ekonomi, budaya, seni, pendidikan, diplomasi, dan hukum.

Pada saat itu Jepang di perintah dengan adanya sebuah keshogunan, yang

kemudian dipecah-pecah menjadi beberapa bagian yang kemudian masing-masing

wilayah dipimpin oleh seorang daimyo.

Dalam kondisi yang seperti itu dibentuklah bushi atau samurai sebagai

pengawas pertanian dan untuk memperluas wilayah kekuasaan. Novel ini

menggambarkan kisah kehidupan seorang Daimyo Akaoka, Genji Okumichi yang

mampu melihat masa depan. Dimana pada pemerintahan saat itu menetapkan

masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial. Genji selaku seorang daimyo yang berada

pada kelas golongan atas merupakan seoarang yang baik hati, tampan, berpikir

terbuka dan berusaha melawan Kawakami yang ingin menumpas habis seluruh

keturunan klan Okumichi. Klan Okomichi bermusuhan dengan penguasa pada

saat itu. Namun klan ini terkenal memiliki samurai yang sangat kuat dan

dipercaya pada setaip generasi mempunyai kemampuan untuk meramal masa

depan. Dimulai dari kakek Genji, paman Genji yang bernama Shigeru, dan genji

sendiri pada generasinya.

Universitas Sumatera Utara


2.3 Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal

dari akar kata sosio/socius (Yunani) yang berarti masyarakat, logi/logos berarti

ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal- usul dan pertumbuhan (evolusi)

masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan

antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari

akar kata (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan

instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk

mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra

bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan,

artinya kumpulan hasil karya sastra yang baik (Nyoman, 2003:1)

Sesungguhnya kedua ilmu tersebut yaitu sosiologi dan sastra memiliki

objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat

sosiologi dan sastra berbeda, bahkan bertentangan secar diametral. Sosiologi

adalah ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang sastra sosiologi

merupakan perbedaan hakikat, sebagai perbedaan cirri-ciri, sebagaimana

ditunjukkan melalui perbedaan antara rekaan dan kenyataan, fiksi dan fakta

(Nyoman, 2003:2).

Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.

Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai

cermin kehidupan masyarakat. Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah

kelahiran sastra tidak dalam kekosongan moral. Kehidupan sosial akan menjadi

picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang sukses yaitu karya satra yang dapat

merefleksikan zamannya.

Universitas Sumatera Utara


Kendati sosiologi dan sastra mempunyai perbedaan terentu namun

sebenarnya dapat memberikan penjelasan terhadap makna teks sastra (Laurenson

dan Swingewood, dalam Suwardi 2008:78). Hal ini dapat dipahami, karena

sosiologi obyek studinya tentang manusia dan sastra pun demikian. Sastra adalah

ekspresi kehidupan manusia yang tidak lepas dari akar masyarakatnya. Dengan

demikian, meskipun sosiologi dan sastra adalah dua hal yang berbeda namun

dapat saling melengkapi. Dalam kaitan ini, sastra merupakan sebuah refleksi

lingkungan sosial budaya yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu

sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra.

Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam

kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian,

sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Dari sini,

tentu sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra

bukan sekedar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang tekah ditafsirkan.

Kenyataan tersebut bukan jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus

dan estetis.

Perspektif sosiologi sastra yang patut diperhatikan adalah pernyataan

Levin (Elizabeth dan Burns dalam Suwardi 2008:79) “literature is not only the

effect of social causes but also the cause af social effect” . Sugesti ini memberikan

arah bahwa penelitian sosiologi sastra dapat kearah hubungan pengaruh timbal

balik antara sosiologi dan sastra. Keduanya saling mempengaruhi dalam hal-hal

tertentu yang pada gilirannya menarik perhatian peneliti.

Sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia.

Karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam

Universitas Sumatera Utara


menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan dan intuisi. Dari

pendapat ini, tampak bahwa perjuangan panjang hidup manusia akan selalu

mewarnai teks sastra.

Pada prinsipnya menurut Laurenson dan Swingewood (Suwardi, 2008:79)

terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) penelitian

yang memandang karya sastra sebagai dokuman sosial yang didalamnya

merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan. (2) penelitian

yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisannya, dan (3)

penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan

keadaan sosial budaya.

Langkah yang bisa ditempuh pendekatan ini, menurut Junus (Suwardi,

2008:93) ada tiga strategi, yaitu:

1. Unsur sastra diambil terlepas dari unsur lain, kemudian dihubungkan

dengan suatu unsur sosiobudaya. Strategi ini ditempuh karena karya sastra

tersebut hanya memindahkan unsur itu ke dalam dirinya.

2. Pendekatan ini boleh mengambil image atau citra “suatu”- perempuan,

laki-laki, orang asing, tradisi, dunia modern dan lin-lain dalam suatu karya.

Citra tentang “sesuatu” itu disesuaikan dengan perkembangan budaya

masyarakat.

3. Pendekatan ini boleh juga mengambil motif atau tema, yang keduanya

berbeda secara gradual. Tema lebih abstrak dan motif lebih konkret. Motif

dapat dikonkritkan melalui pelaku.

Ketiga strategi penelitian tersebut menunjukkan bahwa penelitian

sosiologi sastra dapat dilakukan melalui potongan-potongan cerita. Hubungan

Universitas Sumatera Utara


antar unsur dan keutuhan (utinity) unsur juga tidak harus. Hanya saja pendekatan

ini memang ada kelemahannya, antara lain peneliti akan sulit menghubungkan

secara langsung karya sastra dengan sosiobudaya

Di dalam genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama, genre

prosalah yang dianggap paling dominant dalam menampilkan unsur-unsur sosial.

Alas an yang dapat dikemukakan, diantaranya adalah novelmenampilkan unsur-

unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan

masalah-masalah kemasyarakatan yang juga palig luas, bahasa novel juga

cenderung merupakan bahasa sehari-hari. Bahasa yang umum digunakan dalam

masyarakat. Oleh karena itulah dikatakan bahwa novel merupakan genre yang

paling sosiologis dan responsive sebab sangat peka terhadap fluktuasi

sosiohistoris. Oleh karena itu pulalah, menurut Hauser dalam Nyoman (2004:336)

karya sastra lebih jelas mewakili cirri-ciri zamannya. Seperti pada novel Samurai

‘Kastel Awan Burung Gereja’ yang menunjukkan kehidupan manusia Jepang

dalam zaman keshogunan khususnya kehidupan masyarakat yang berada dalam

kelas-kelas sosial yang berupa golongan kelas atas dan golongan kelas bawah

yang memeiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda.

Cara-cara penyajian yang berbeda dibandingkan dengan ilmu sosial dan

humaniora jelas membawa ciri-ciri tersendiri terhadap sastra. Penyajian secara tak

langsung, dengan menggunakan bahasa metaforis konotatif, memungkinkan untuk

menanamkan secara lebih intern masalah-masalah kehidupan terhadap pembaca.

Artinya ada kesejajaran antara cirri-ciri karya sastra dengan hakikat kemanusiaan.

Fungsi karya sastra yang penting yang sesuai dengan hakikatnya yaitu imajinasi

dan kreativitas adalah kemampuannya dalam menampilkan dunia kehidupan yang

Universitas Sumatera Utara


lain yang berbeda dengan kehidupan sehari-hari. Inilah aspek-aspek sosial karya

sastra. Dimana karya sastra diberikan kemungkinan yang luas untuk mengakses

emosi, obsesi, dan berbagai kecenderungan yang tidak mungkin tercapai dalam

kehidupan sehari-hari. Selama membaca karya sastra pembaca secara bebas

menjadi raja, dewa, perampok, dan berbagai sublimasi lain.

Sebagai multidisiplin, maka ilmu-ilmu yang terlibat dalam sosiologi sastra

adalah sastra dan sosiologi. Dengan pertimbangan bahwa karya sastra juga

memasukkan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka ilmu-ilmu yang juga

terlibat adalah sejarah, filsafat, agama, ekonomi, dan politik. Yang perlu

diperhatikan dalam penelitian sosiologi sastra adalah dominasi karya sastra,

sedangkan ilmu-ilmu yang lain berfungsi sebagai pembantu.

Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adalah analisis karya satra

dalam kaitannya dengan masyarakat, maka model analisis yang dapat dilakukan

menurut Nyoman (2004:339-340) meliputi tiga macam, yaitu:

1. Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu

sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi.

Pada umumnya disebut sebagai aspek intrinsik, model hubungan yang terjadi

disebut refleksi.

2. Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarstruktur,

bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika.

3. Menganalisis karya sastra dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu,

dilakukan dengan disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya

menghasilkan karya sastra sebagai gejala kedua.

Universitas Sumatera Utara


Di dalam menganalisis dengan menggunakan sosisologi sastra,

masyarakatlah yang harus lebih berperan. Masyarakatlah yang mengkondidsikan

karya sastra, bukan sebaliknya.

Oleh sebab itu bardasarkan atas metode penelitian sastra inilah penulis

berusaha menjadikannya pedoman untuk dapat menganalisis pembahasan pada

bab III yang didalamnya mencakup tentang bagaimana hubungan interaksi sosial

antara masyarakat golongan atas dengan golongan atas seperti daimyo dengan

daimyo, masyarakat golongan atas dengan masyarakat golongan bawah seperti

daimyo dengan rakyat (samurai, pedagang, geisha, dan kaum eta), dan masyarakat

masyarakat golongan bawah dengan masyarakat golongan bawah. Sehingga apa

yang diharapkan penulis dalam keingintahuan tentang hubungan interaksi sosial

pada masyarakat Jepang yang terdiri dari golongan-golongan dapat terjawab

dengan penelitian menggunakan analisis sosiologi sastra, yang sebagai fungsinya

bahwa karya sastra itu merupakan cerminan dari suatu masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai