BAB I
FIKSI : SEBUAH TEKS PROSA NARATIF
FIKSI
PENGERTIAN DAN HAKIKAT
Menurut Altenbernd dan Lewis (1996:14) mengartikan fiksi sebagai prosa naratif yang
bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang
mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia. Fiksi menceritakan berbagai masalah
kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan
diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Membaca sebuah karya fiksi berarti menikmati
cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Betapapun syaratnya pengalaman
dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya fiksi haruslah tetap merupakan
cerita yang menarik, tetap merupakan bangunan struktur yang koheren, dan tetap mempunyai
tujuan estetik (Wellek & Warren, 1956: 212). Fiksi pertama-tama menyrankan pada prosa
naratif, yang dalam hal ini adalah novel dan cerpen, bahkan kemudian fiksi sering dianggap
bersinonim dengan novel (Abrams, 1981: 61).
Kebenaran dalam dunia fiksi adalah kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang,
keyakinan yang diyakini keabsahannya sesuai dengan pandangannya terhadap masalah hidup
dan kehidupan. Menurut Teeuw, 1984: 121 mengemukakan bahwa sastra mengemukakan
berbagai peristiwa yang masuk akal dan harus terjadi berdasarkan tuntutan konsistensi dan
logika cerita. Wellek Warren (1989:278-9) mengemukakan bahwa realitas dalam karya fiksi
merupakan ilusi kenyataan dan kesan yang meyakinkan yang ditampilkan, namun tidak selalu
merupakan kenyataan sehari-hari.
PEMBEDAAN FIKSI
Novel Dan Cerita Pendek
Perbedaan antara novel dengan cerpen yang pertama (dan yang terutama) dapat dilihat dari
segi formalitas bentuk, segi panjang cerita.sebuah cerita yang panjang, katakanlah berjumlah
ratusan halaman, jelas tidak dapat disebut sebagai cerpen, melainkan lebih tepat sebagai
novel. Edgar Allan Poe (Jassin, 1961:72) mengatakan bahwa sebuah cerita yang selesai
dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam, suatu hal yang
tak mungkin dila Novel dan cerpen sebagai karya fiksi mempunyai persamaan, keduanya
dibangun oleh unsur-unsur pembangun (baca: unsure-unsur cerita) yang sama, keduanya
dibangun dari dua unsure intrinsic dan ekstrinsik. Oleh karena itu novel dan cerpen dapat
dianalisis dengan pendekatan yang kurang lebih sama.
Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak, jadi
secara implicit dari sekedar apa yang diceritakan. Kelebihan novel yang khas adalah
kemampuannya menyampaikan permasalahan yang kompleks secara penuh, mengkreasikan
sebuah dunia yang jadi. Plot pada cerpen umumnya tunggal, hanya terdiri dari satu urutan
peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir . pada novel biasanya memiliki lebih dari satu
plot. Tema pada cerpen hanya berisi satu tema, sedangkan pada novel menawarkan lebih dari
satu tema. Penokohan pada cerpen dan novel terbatas, apalagi yang berstatus tokoh utama,
namun tokoh dalam cerpen lebih terbatas lagi. Latar pada cerpen hanya memerlukan
pelukisan secara garis besar saja, sedangkan novel dapat saja melukiskan keadaan latar secara
rinci sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas, konkret dan pasti. Kepaduan
dunia imajiner yang ditampilkan cerpen hanya menyangkut salah satu sisi kecil pengalaman
kehidupan saja, sedang yang ditawarkan novel merupakan dunia dalam skala yang lebih besar
dan kompleks, mencakup berbagai pengalaman kehidupan yang dipandang aktual, namun
semuanya tetap saling berjalinan. Novel bersifat relistis sedangkan romansa puitis dan epic.
Novel berkembang dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi, sedangkan roman merupakan
kelanjutan epik dan romansa abad pertengahan, mengabaikan kepatuhan pada detil (Wellek
Warren, 1989: 282-3).
BAB 2
KAJIAN FIKSI
BAB 3
TEMA
HAKIKAT TEMA
Mempertanyakan makna sebuah sebuah karya sastra, sebenarnya juga berarti
mempertanyakan tema. Setiap karya fiksi tentulah mengandung dan atau menawarkan tema,
namun apa isi tema itu sendiri tak mudah ditunjukkan. Ia haruslah dipahami dan ditafsirkan
melalui cerita dan data-data (baca unsur-unsur pembangun cerita) yang lain, dan itu
merupakan kegiatan yang sering tidak mudah dilakukan. Pengertian tema sebagai salah satu
unsur karya sastra, maupun untuk mendeskripsikan pernyataan tema yang dikandung dan
ditawarkan oleh sebuah cerita novel. Kedua hal itu memang berkaitan. Kejelasan pengertian
tema akan membantu usaha penafsiran dan pendeskripsian pernyataan tema sebuah karya
fiksi. Tema (theme), menurut Stanton (1965:20) dan Kenny (1966: 88), adalh makna yang
dikandung oleh sebuah cerita. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah
karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai stuktur semantis dan yang
menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko dan Rahmanto, 1986:
142). Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai
seluruh bagian cerita itu. Pengertian tema menurut Staton (1965: 21), yaitu yang mengartikan
tema sebagai makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya
dengan cara yang sederhana. Tema menurutnya, kurang lebih dapat bersinonim dengan ide
utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose).
PENGGOLONGAN TEMA
Tema Tradisional dan Nontradisional
Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya itu-itu
saja, dalam arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita,
termasuk cerita lama. Tema-tema tradisional walau banyak variasinya, boleh dikatakan selalu
ad kaitannya dengan masalah kebenaran dan kejahatan (Meredth & Fitzgerald, 1972:
66). Pada umumnya tema-tema tradisional merupakan tema yang digemari orang dengan
status sosial apa pun, di manapun, dan kapanpun. Hal itu disebabkan pada dasarnya setiap
orang cinta akan kebenaran dan membenci sesuatu yang sebaliknya, (bahkan mungkin)
termasuk orang yang sebenarnya tak tergolong baik sekalipun.
Selain hal-hal yang bersifat tradisional, tema sebuah karya mungkin saja mengangkat sesuatu
yang tidal lazim, katakan sasuatu yang bersifat nontradisional. Karena sifatnya yang
nontradisional, tema yang demikian, mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat
melawan arus, mengajutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai
reaksi afektif yang lain.
PENAFSIRAN TEMA
Penafsiran tema sebuah novel memang bukan pekerjaan yang mudah. Walau betul penulisan
sebuah novel didasarkan pada tema atau ide tertentu, pernyataan tema itu sendiri pada
umumnya tidak dikemukakan secara eksplisit. Tema hadir dan berpadu dengan unsur-unsur
struktural yang lain sehingga yang kita jumpai dalam sebuah novel adalah (hanya) cerita.
Tema tersembunyi dibalik cerita itu. Jika pekerjaan menafsirkan itu sudah sitemukan, artinya
kita sudah menentukan tema karya novel yang bersangkutan, hasil penafsiran itu pun belum
tentu diterima orang lain.
Berhubung tema tersembunyi di balik cerita, penafsiran terhadapnya haruslah dilakukan
berdasarkan fakta-fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita itu. Kita
haruslah mulai dengan memahami cerita itu, mencari kejelasan ide-ide perwatakan, peristiwa-
peristiwa-konflik, dan latar. Para tokoh utama biasanya dibebani tugas membawakan tema,
maka kita perlu memahami keadaan itu.
Dalam usaha menentukan dan menafsirkan tema sebuah novel, secara lebih khusus dan rinci,
Stanton (1965: 22-3) mengemukakan adanya sejumlah kriteria yang dapat di ikuti seperti
ditunjukkan berikut.
Pertama, penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang
menonjol. Kriteria ini merupakan hal yang paling penting. Hal itu disebabkan pada detil-detil
yang menonjol (atau ditonjolkan) itulah yang dapat diidentifikasi sebagai tokoh masalah-
konflik utama- pada umumnya sesuatu yang ingin disampaikan ditempatkan.
Kedua, penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detil
cerita. Novel, sebagai salah satu genre sastra, merupakan suatu sarana pengungkapan
keyakinan, kebenaran, ide, gagasan, sikap dan pandangan hidup pengarang, dan lain-lain
yang tergolong unsur isi dan sebagai sesuatu yang ingin disampaikan.
Ketiga, penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti
yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tak langsung dalam novel yang
bersangkutan.
Keempat, penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang
secara langsung ada dan atau yang disarankan dalam cerita.
BAB 4
CERITA
Hakikat Cerita
Membaca sebuah karya fiksi, novel ataupun cerpen pada umunya yang menarik perhatian
orang adalah ceritanya. Faktor cerita yang utama memepengaruhi sikap dan selera orang
terhadap buku yang akan, sedang atau sudah dibacanya. Berdasarkan keadaan cerita itu
pulalah biasanya memandang bahwa buku tersebut menarik, menyenangkan, mengesankan
atau sebaliknya bertele tele. Tentu saja sikap pembaca terhadap karya tersebut bersifat nisbi
artinya selera pembaca yang satu belum tentu sama dengan pembaca yang lain. Membaca
sebuah buku cerita akan memberikan semacam kenikmatan dan kepuasan tersendiri di hati
pembaca, baik pembaca awam maupun pembaca yang dapat dikategorikan sebagai kritikus.
Pembaca golongan pertama biasanya terhenti pada rasa kekaguman terhadap
kehebatan cerita dan tidak memikirkan lebih lanjut tentang kualitas pemahamannya
terhadap apa yang ingin disampaikan pengarang terhadap lewat cerita itu. Pembaca
golongan kedua dipihak lain biasanya tak akan berhenti pada kekaguman terhadap
kehebatan cerita dan keindahan cara pengungkapannya. Mereka memiliki semacam
kepekaan reaktif untuk memberikan tangapan tanggapan.
Aspek cerita (story) dalam sebuah karya fiksi merupakan suatu hal yang sangat
esensial. Ia mememiliki peranan sentral dari awal hingga akhirnya ditemui adalah cerita.
Forster (1970 : 33-34) jauh-jauh telah menegaskan bahwa cerita merupakan hal yang
fundamental dalam karya fiksi. Tanpa unsur cerita, eksistensi sebuah fiksi tak mungin
berwujud, sebab cerita merupakan inti sebuah karya fiksi yang sendiri adalah karya rekaan.
Bagus tidaknya cerita yang disajikan, di samping akan memotivasi seseorang untuk
membacanya juga akan mempengaruhi unsur unsur pembangun yang lainnya. Foster (1970
: 35) mengartikan cerita sebagai sebuah narasi berbagai kejadian yang sengaja
disususun berdasarkan urutan waktu. Misalnya (kejadian) mengantuk kemudian tertidur,
begitu melihat wanita cantik lansung jatuh cinta, marah marah karena disinggung
perasaannya dan sebagainya. Abrams (1981 : 61) juga memberikan pengertian cerita
sebagai sebuah urutan kejadian yang sederhana dalam urutan waktu. Kenny (1966 :
12) mengartikan sebuah peristiwa yang terjadi berdasarkan urutan waktu yang
disajikan dalam sebuah karya fiksi. Dalam cerita, peristiwa yang satu berlangsung sesudah
terjadinya peristiwa yang lain. Kaitan waktu dan urutan antar peristiwa yang dikisahkan
haruslah jelas, yang sesuai dengan pengertian di atas, bersifat kronologis di samping
sebagaimana dikemukakan Aristoteles, ia harus bersebab akibat sehingga jelas urutan awal,
tengah dan akhirnya. Urutan waktu linier kronologis adalah urutan waktu yang
sederhana, mudah dipahami bagaimana hubungan antar peristiwa yang dikisahkan. Di
samping aspek bentuk, cerita juga memiliki aspek subtansi yaitu yang berwujud
keseluruhan semesta, baik yang nyata maupun yang imajinatif, yang diimitasikan ke
dalam karya dan telah disaring oleh kode sosial budaya pengarang. Dengan demikian
pembicaraan tentang hakikat cerita mau tak mau akan melibatkan kedua unsur (bentuk dan
subtansi) cerita tersebut.
Unsur peristiwa merupakan sesuatu yang diakui dan atau ditimpakan kepada tokoh
cerita. Unsur subtansi menyediakan sumber persoalan dan memberikan model kehidupan
sebagaimana yang terdapat di semesta ini ditampilkan dalam cerita. Peristiwa merupakan
gagasan yang berwujud lakuan, gerak atau aktivitas yang lain. Walau cerita merupakan
deretan peristiwa yang terjadi sesuai dengan urutan waktu, jadi secara kronologis dalam
sebuah karya fiksi, urutan peristiwa itu sering disiasati dan dimanipulasi sehingga tak dapat
lagi disebut sederhana. Peristiwa yang dikisahkan tak harus urut dari awal sampai akhir,
melainkan dapat dimulai dari titik peristiwa mana saja sesuai dengan keinginan dan
kreativitas pengarang. Manipulasi waktu tersebut dalam karya fiksi biasanya pembalikan
waktu penceritaan, peristiwa yang secara logika kualitas terjadi belakangan justru
diceritakan lebih dulu. Pembicaraan urutan peristiwa dan juga peristiwanya itu sendiri dalam
sebuah karya fiksi memang tak dapat di pisahkan dengan pembicaraan plot.
Cerita dan Plot
Cerita dan plot merupakan dua unsur fiksi yang erat berkaitam sehingga keduanya tak
mungin dipisahkan. Objek pembicaraan cerita dan plot boleh dikatakan sama. Peristiwa baik
cerita maupun plot sama sama mendasarkan diri pada rangkaian peristiwa sebagaimana
yang disajikan dalam sebuah karya.Dengan demikian terdapat perbedaan inti permasalahan
antara cerita dengan plot. Keduanya memang sama sama mendasarkan diri pada
rangkaian peristiwa namun tuntutan plot bersifat lebih kompleks daripada cerita.
Cerita sekedar mempertanyakan apa dan atau bagaimana kelanjutan peristiwa sedang
plot lebih menekankan permasalahannya pada hubungan kualitas, kelogisan hubungan
antara peristiwa yang dikisahkan dalam karya naratif yang disangkutan. Kedua hal ini
lah yang menurut Forster (1970 : 94). Forster mencotohkan bahwa pernyataan yang
berbunyi : sang raja meninggal, kemudian yang permaisuri menyusulnya merupakan cerita,
sedang pernyataan : sang raja meninggal kemudian sang permasuri menyusulnya karena
sedih merupakan plot. Chatman (1980 : 45-46) sebenarnya pernyataan pertama dan
kedua itu hampir sama artinya pembaca dapat merasakan dan atau memahami adanya
hubungan antara kejadian sang raja meninggal dan sang permaisuri meninggal
kemudian, yaitu yang berupa hubungan kelogisan, tepatnya hubungan kualitas. Hal
yang membedakan keduanya sebenarnya hanya kadar keeksplisitannya. Hubungan
kualitas pada pernyataan pertama hanya dikemukakan secara implisit sedang yang
kedua secara eksplisit.
Tuntutan untuk plot dalam sebuah karya fiksi lebih daripada sekedar cerita. Plot,
seperti dikatakan forster (1970 : 34, 94) merupakan sesuatu yang lebih tinggi dan
kompleks daripada cerita. Plot mengandung unsur misteri di samping untuk
memahaminya dan juga mengembangkan, menuntut adanya unsur intelegensia. Plot
menuntut adanya kejelasan peristiwa yang dikisahkan dan tidak sekedar urutan temporal saja.
Jika kita sekedar ingin tahu isi dan kehebatan cerita, hal ini dapat dipenuhi hanya dengan
membaca ringkasan cerita atau sinopsis saja. Sinopsis yang baik dari hal itu dapat ditentukan
oleh bentuknya yang panjang atau pendek sudah dapat mencerminkan garis besar cerita
aslinya. Sinopsis hanya mengemukakan peristiwa yang penting saja, peristiwa yang
menentukan jalannya plot jadi terbatas pada peristiwa yang tergolong fungsional saja dan
karenanya ia dapat dibaca secara cepat.
Plot biasanya dalam suatu cerita langsung ditampilkan dengan adegan-adegan yang tergolong
menegangkan. Pembaca langsung dihadapkan pada peristiwa cerita yang berkadar konflik
dan dramatic tinggi yang barangkali, justru konflik yang amat menentukan plot karya yang
bersangkutan. Padahal pembaca belum lagi masuk kedalam suasana cerita, belum tahu mula-
mula terjadinya konflik. Secara teoritis plot dapat diurutkan kedalam tahapan-tahapan
tertentu secara kronologis. Secara teoritis kronologis tahap-tahap pengembangan atau
kelengkapannya : struktur plot, dikemukakan sebagai berikut.
Tahapan Plot : Awal-Tengah_akhir
Plot sebuah cerita yang bersifat padu, antara peristiwa yang satu dengan yang lain , antara
peristiwa yang diceritakan lebih dahulu dengan yang kemudian, ada hubungan, ada sifat yang
saling berkaitan. Untuk memperoleh keutuhan sebuah plot cerita, aristoteles mengemukakan
bahwa sebuah plot haruslah terdiri dari tahap awal, tahap tengah dan tahap akhir
(Abram,1981:18). Ketiga tahap tersebut penting untuk dikenali, terutama jika kita bermaksud
menelaah plot karya fiksi yang bersangkutan.
Tahap Awal. Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut tahap perkenalan. Tahap awal
biasanya berisi sebuah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan
dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya.
Tahap Tengah. Tahap tengah cerita yang dapat juga disebut dengan tahap pertikaian,
menampilkan pertentangan dan konflik yang sudah dimunculkan pada tahap sebelumnya,
menjadi semakin meningkat dan semakin menegangkan. Konflik yang dikisahkan terjadi
dalam diri tokoh konflik eksternal terhadap tokoh-tokoh antagonis. Dalam tahap tengah inilah
klimaks ditampilkan, yaitu ketika konflik telah mencapai titik intensitas tertinggi.
Tahap Akhir. Tahap akhir pada sebuah cerita dikatakan sebagai tahap peleraian,
menampilkan adegan tertentu sebgai akhir klimaks. Dalam bagian ini biasanya menampilkan
kesudahan cerita, atau biasanya menampilkan bagaimana akhir dari sebuah cerita. Dalam
teori klasik Aristoteles, penyelesaian cerita dibedakan kedalam dua macam kemungkinan :
kebahagiaan dan kesedihan.
Tahapan Plot
Plot menurut Tasrif ( dalam Mohtar Lubis, 1978 :10) dibedakan menjadi lima
tahapan. Diantaranya adalah sebagai berikut
Tahapan Situation biasanya berisi pelukisan dan pengenalan situasi, latar, dan tokoh.
Tahap generating circumstances: tahap pemunculan konflik. Peristiwa yang menyulut
terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi tahap ini merupakan tahap awal pemunculan
konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan dikembangkan menjadi konflik-konflik
pada tahap beriutnya.
Tahap Rising Action : tahap peningkatan konflik, konflikyang dimunculkan pada tahap
sebelumnya semakin berkembang kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa semakin
mencengkam, dan tokoh mencapai ke klimaks yang tak dapa dihindari
Tahap Climax : Tahap kilimaks, konflik yang terjadi dan dilakui ditimpakan kepada para
tokoh untuk mencapai intensitas puncak.
Tahap Denoument : Tahap penyelesaian, konfik yang telah mencapai klimaks diberi
penyelesaian, ketegangan dikendorkan
BAB 7
PELATARAN
BAB 8
SUDUT PANDANG SEBAGAI UNSUR FIKSI
Dia Mahatahu
Dia melihat segala betapa Maria sekuat tenaga menjaga dirinya jangan menangis trisak-isak
kareena ada ibunya, dan karena ibunya telah mengatakan padanya, bahwa semua ini akan
terjadi, dan Maria mengatakan pada ibunya dia akan kuat menahannya.
Apa yang dilakukan Maria kini? Tanya Sadeli pada dirinya sendiri. Dan sadeli tak tahu,
bahwa saat itu Maria sedang terbaring di bantalnya, air mata mengalir membasahi pipinya,
membasahi bantalnya, dan dia mencoba menghidupkan kemabli dalam ingatannya, dalam
seluruh badannya apa yang pernah terjadi di tempat tidur dia dengan Sadeli.
(Maut dan Cinta, 1977: 254-6)
Kita melihat dalam teknik mahatahu tersebut bahwa narator mampu menceritakan sesuatu
baik yang bersifat fisik, dapat diindera, maupun sesuatu yang hanya terjadi dalam hati da
pikiran tokoh, bahkan lebih dari seorang tokoh. Lebih dari itu, ia tak hanya mampu melapor
dan menceritakan kisah tentang tokoh-tokoh saja, melainkan juga dapat mengomentari dan
menilai secara bebas dengan penuh otoritas, seolah-olah tak ada satu rahasia pun tentang
tokoh yang tidak diketahuinya. Ia dapat memasukkan berbagai informasi tanpa haris
menerangkan cara memperolehnya. Ia dapat bergerak ke seluruh arena untuk memberikan
kepada pembaca detil-deil cerita secara lengkap seperti tak ubahnya gambar tiga dimensi
(Altenberd & Lewis: 1966: 62)
Dia Terbatas, Dia sebagai Pengamat
Dalam sudut pandang dia terbatas, seperti halnya dalam dia mahatahu, pengarang
melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita,
namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja (Stanton, 1965: 26).
Dalam teknik dia terbatas sering juga dipergunakan teknik narasi aliran kesadaran, stream
of consciousness, yang menyajikan kepada pembaca pengamatan-pengamatan luar yang
berpengaruh terhadap pikiran, ingatan, dan perasaan yang membentuk kesadaran total
pengamatan. Sudut pandang cerita,dengan demikian, menjadi bersifat objektif, objektive
point of view, atau narasi objektif, objektivenarration. Pengarang tidak mengganggu dengan
memberikan komentar dan penilaian yang bersifat subjektiveterhadap peristiwa, tindakan,
ataupun tokoh-tokoh yang diceritakanny. Ia hanya berlaku sebagai
pengamat, obsever, melaporkan sesuatu yang dialami dan dijalani oleh seorang tokoh yang
sebagai pusat kesadaran. Ia sama halnya dengan pembaca, adalah seorang yeng berdiri diluar
cerita.
Novel Indonesia yang secara mutlak bersudut pandang dia terbatas dan atau sebagai
pengamat saja, barangkali amat jarang untuk tak dikatakan tidak ada. Namun, dalam bagian-
bagian tertentu, sering dijumpai adanya deskripsi dan cerita yang lebih merupakan laporan
pengamat. Novel Ronggeng Dukuh Paruk pun tampak diawali, pada bagian pertama, dengan
sudut pandang dia sebagai pengamat, walau pada bagian-bagian (dan serial) berikutnya
bersifat campuran antara dia dan aku
Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki sedang bersusah payah mencabut sebatang
singking. Namun ketiganya masih terlampau lemah untuk mengalahkan cengeraman akar
ketela yang terpendam dalam tanah kapur. Kering dan membatu. Mereka terengah-engah,
namun batang singkong itu tetap tegak ditengahnya. Ketiganya hampir berputus asa
seandainya salah seorang anak di antara mereka tidak menemukan akal.
Cari sebatang cungkil, kata rasus kepada dua temannya. Tanpa cungkil mustahil kita dapat
mencabut singkong sialan ini.
(Ronggeng Dukuh Paruk, 1986: 7-8)
BAB 9
BAHASA
Unsur Gramatikal
Unsur gramatikal yang dimaksud menyaran pada pengertian struktur kalimat. Dalam kegiatan
komunikasi bahasa, juga jika dilihat dari kepentingan stile, kalimat lebih penting dan
bermakna daripada sekedar kata walaukegayaan kalimat dalam banyak hal juga banyak
dipengaruhi oleh pilihan katanya. Sebuah gagasan, pesan dapat diungkapkan ke dalam
berbagai bentuk kalimat yang berbeda-beda struktur dan kosa katanya. Penggunaan bentuk
struktur kalimat tertentu apakah mempunayai efek tertentu bagi karya yang bersangkutan,
baik efek yang bersifat estetis maupun dalam hal pemyampaian pesan. Apakah struktur
kalimat itu lebih memperjelas makna yang ingin disampaikan, adakah penekanan terhadap
makna tertentu, dan sebagainya.
Retorika
Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis. Ia dapat
diperoleh melalui kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana pengarang menyiasati
bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya. Pengungkapan bahasa dalam
sastra mencerminkan sikap dan perasaan pengarang, namun sekaligus dimaksudkan untuk
mempengaruhi sikap dan perasaan pembaca yang tercermin dalam nada. Pembacaan unsure
retorika berikut akan meliputi bentuk-bentuk yang berupa pemajasan, penyiasatan struktur,
dan pencitraan, dengan memasukkan contoh-contoh antara lain Keraf.
Pemajasan
Pemajasan (figure of thought) merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan,
yang ,maknanya tidaka menunjuk pada makna harfiah kta-kata yag mendukungnya,
melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat. Bentuk-bentuk pemajasan
yang sering digunakan pengarang adalah bentuik perbandingan, yaitu membandingkan
sesuatu dengan yang lain melalui cirri-ciri kesamaan antara keduanya, misalnya berupa cirri
fisik, sifat, sikap, keadaan, suasana, tingkah laku, dan sebagainya. Bentuk-bentuk
perbandingan tersebut dapat dilihat dari sikap kelangsungan pembandingan persamaannya
dapat dibedakan ke dalam bentuk simile, metafora, dan personifikasi.
Penyiasatan Struktur
Ada bermacam gaya bahasa yang terlahir dari penyiasatan struktur kalimat. Salah satu gaya
yang banyak dipergunakan orang adalah yang berangkat dari bentuk pengulangan, baik yang
berupa pengulangan kata, bentukan kata, frase, kalimat, maupun bentuk-bentuk yang lain,
misalnya gaya repitisi, paralelisme, anaphora, polisidenton, dn asindenton, sedangkan bentuk-
bentuk yang lain misalnya alitrasi, antitesis, klimaks, antiklimaks, dan pertanyaan retoris.
Pencitraan
Pencitraan merupakan suatu gaya penuturan yang banyak dimanfaatkan dalam penulisan
sastra. Ia dapat dipergunakan untuk mengkonkretkan pengungkapan gagasan-gagasan yang
sebenarnya abstrak melalui kata-kata dan ungkapan yang mudah mambangkitkan tanggapan
imajinasi. Dengan daya tanggapan indera imajinasinya, pembaca akan dapat dengan mudah
membayangkan, merasakan, dan mengkap pesan yang ingin disampaikan pengarang.
Kohesi
Antara bagian kalimat yang satu dengan bagian yang lain, yang satu dengan yang lain,
terdapat hubungan yang bersifat mangaitkan antarbagian kalimat atau kalimat itu. Penanda
kohesi yang berupa sambungan dalam bahasa Indonesia ada banyak sekali dan berbeda-beda
fungsinya. Ia dapat berupa kata-kata seperti: dan, kemudian, sedang, tetapi, namun,
melainkan, bahwa, sebab, jika, maka, dan sebagainya yang menghubungkan antarbagian
kalimat, sebagai preposisi ataupun konjungsi. Penanda kohesi yang menghubungkan
antarkalimat biasanya berupa kata atau kelompok kata seperti: jadi, dengan demikian, akan
tetapi, oleh karena itu, di samping itu, dan sebagainya.