PENDAHULUAN
Karya sastra sebagai realitas imajiner pengarang dapat dibedakan atas puisi, fiksi
atau prosa naratif, dan drama, “Fiksi atau prosa naratif terbagi atas tiga gendre, yaitu (1)
novel atau roman, (2) cerita pendek atau novel, dan (3) komik (Sumardjo, 1991:19).
Pemakaian bahasa sebagai medium dalam sastra (puisi) tidak lagi dipandang terpisah-
pisah dalam bentuk bunyi, kata, frasa, ataupun kalimat. Pemakaian bahasa itu
menggunakan kalimat yang saling berkaitan. Kalimat pertama menyebabkan timbulnya
kalimat kedua, kalimat kedua menjadi acuan kalimat ketiga, kalimat ketiga mengacu
kembali ke kalimat pertama, dernikian seterusnya. Rentetan kalimat berkait yang
menghubungkan preposisi satu dengan preposisi yang lain itu membentuk kesatuan
yang dinamakan wacana. Dalam mengkaji karya sastra terdapat beberapa pendekatan
yang tepat digunakan untuk mengungkap maksud yang tersirat dalam ide, gagasan, dan
pikiran pengarang. Salah satu pendekatan tersebut, yaitu semiotik yang mengkhususkan
pada sistem tanda (ikon, indeks, dan simbol). Semiotik merupakan ilmu tentang tanda
atau sebagai pengkajian tentang tandatanda “the study qf sign”. Semiotik pada dasarnya
merupakan sebuah studi atas kode-kode/lambang, yaitu sistem yang memungkinkan
sebuah entitas tertentu sebagai tanda-tanda yang bermakna. Pengkajian tentang
tanda/lambang merupakan pengkajian bahasa karena bahasa merupakan suatu medium
dalam menafsirkan sebuah makna yang memiliki sejumlah aspek secara situasional dan
informativitas. Misalnya sebuah teks puisi tidak dipahami sebagai konfigurasi dari
morfem dan kalimat tanpa melihat sebagai satuan dan pola operasional yang secara
keseluruhan untuk menafsirkan sejumlah makna dan tujuan selama proses komunikasi
berlangsung. Bahasa yang digunakan dalam puisi terikat dalam sistem tanda (Sobur,
2003). Sistem tanda dan lambang yang digunakan di dalamnya berupa satuan-satuan
bunyi arti (yang ditentukan oleh masyarakat bahasa), diatur dalam bidang yang disebut
semiotik (semiologi, istilah Barthes). Tanda tersebut oleh Endraswara (2003) dianggap
mewakili suatu objek secara representatif. Jabrohim (2002) mengungkapkan bahwa
dalam karya sastra arti bahasa ditentukan oleh konvensi sastra. Hal ini relevan dengan
1
anggapan Preininger, seperti yang dikutip oleh Pradopo (2002), bahwa konvensi
semacarn itu disebut konvensi tambahan, yaitu konvensi yang ditambahkan kepada
konvensi bahasa. Dengan begitu, sastra bergantung atau ditentukan oleh konvensi
tambahan tersebut. Artinya, makna dalam sastra sama sekali tidak lepas dari arti bahasa,
meskipun telah mendapat makna tambahan sesuai konvensi sastra. Apalagi dalam puisi,
bahasa menjadi lebih berbunga karena mendapat arti tambahan dan konotasinya. Tata
letak huruf atau model huruf serta tipografi, misalnya, secara linguistik tidak
mempunyai arti, tetapi sangat bermakna dalam puisi. Dalam hubungan ini, pemberian
makna terhadap sebuah puisi membutuhkan kecakapan tersendiri. Salah satu di antara
sekian banyak metode dalam mengungkap makna puisi adalah dengan pendekatan
semiotik.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Semiotika Michael Riffaterre
Michael Riffaterre dalam bukunya yang berjudul Semiotics of Poetry, mengemukakan
bahwa ada empat hal yang harus diperhatikan dalam memahami dan memaknai sebuah
puisi. Keempat hal tersebut adalah: (1) puisi adalah ekspresi tidak langsung,
menyatakan suatu hal dengan arti yang lain, (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik
(retroaktif), (3) matriks, model, dan varian, dan (4) hipogram (Riffatere dalam Salam,
2009:3).
Pergeseran makna terjadi apabila suatu tanda mengalami perubahan dari satu arti ke arti
yang lain, ketika suatu kata mewakili kata yang lain. Umumnya, penyebab terjadinya
pergeseran makna adalah penggunaan bahasa kiasan, seperti metafora dan metonimi.
Perusakan atau penyimpangan makna terjadi karena ambiguitas, kontradiksi, dan non-
sense. Ambiguitas dapat terjadi pada kata, frasa, kalimat, maupun wacana yang
disebabkan oleh munculnya penafsiran yang berbeda-beda menurut konteksnya.
3
Kontradiksi muncul karena adanya penggunaan ironi, paradoks, dan antitesis. Non-
sense adalah kata-kata yang tidak mempunyai arti (sesuai kamus) tetapi mempunyai
makna “gaib” sesuai dengan konteks (Salam, 2009:4).
Tipografi adalah tata huruf. Tata huruf dalam teks biasa tidak mengandung arti tetapi
dalam sajak akan menimbulkan arti. Sedangkan homolog adalah persejajaran bentuk
atau baris. Bentuk yang sejajar itu akan menimbulkan makna yang sama (Salam,
2009:5).
Di antara ketiga ketidaklangsungan tersebut, ada satu faktor yang senantiasa ada, yaitu
semuanya tidak dapat begitu saja dianggap sebagai representasi realitas. Representasi
realitas hanya dapat diubah secara jelas dan tegas dalam suatu cara yang bertentangan
dengan kemungkinan atau konteks yang diharapkan pembaca atau bisa dibelokkan tata
bahasa atau leksikon yang menyimpang, yang disebut ketidakgramatikalan
(ungrammaticality).
Dalam ruang lingkup sempit, ketidakgramatikalan berkaitan dengan bahasa yang
dipakai di dalam karya sastra, misalnya pemakaian majas. Sebaliknya, dalam ruang
lingkup luas, ketidakgramatikalan berkaitan dengan segala sesuatu yang “aneh” yang
terdapat di dalam karya sastra, misalnya struktur naratif yang tidak kronologis.
4
2 1.2 Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Menifestasi semiotik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda-tanda dari
tingkat mimetik ke tingkat pemaknaan yang lebih tinggi. Proses semiotik pada dasarnya
terjadi di dalam pikiran pembaca sebagai hasil dari pembacaan tahap kedua. Sebelum
mencapai tahap pemaknaan, pembaca harus menghadapi rintangan pada tataran
mimetik. Proses dekoding karya sastra diawali dengan pembacaan tahap pertama yang
dilakukan dari awal hingga akhir teks. Pembacaan tahap pertama ini disebut sebagai
pembacaan heuristik sedangkan pembacaan tahap kedua disebut sebagai pembacaan
hermeneutik.
Pembacaan heuristik adalah pembacaan sajak sesuai dengan tata bahasa normatif,
morfologi, sintaksis, dan semantik. Pembacaan heuristik ini menghasilkan arti secara
keseluruhan menurut tata bahasa normatif dengan sistem semiotik tingkat pertama.
Setelah melalui pembacaan tahap pertama, pembaca sampai pada pembacaan tahap
kedua, yang disebut sebagai pembacaan retroaktif atau pembacaan hermeneutik. Pada
tahap ini terjadi proses interpretasi tahap kedua, interpretasi yang sesungguhnya.
Pembaca berusaha melihat kembali dan melakukan perbandingan berkaitan dengan
yang telah dibaca pada proses pembacaan tahap pertama. Pembaca berada di dalam
sebuah efek dekoding. Artinya pembaca mulai dapat memahami bahwa segala sesuatu
yang pada awalnya, pada pembacaan tahap pertama, terlihat sebagai
ketidakgramatikalan, ternyata merupakan fakta-fakta yang berhubungan.
5
meliputi segala bentuk ketidaklangsungan, disebut sebagai significance yang dapat
diterjemahkan sebagai “arti” (Faruk, 2012:142).
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa “makna” (meaning) adalah semua informasi
dalam tataran mimetik yang disajikan teks kepada pembaca, sedangkan “arti”
(significance) adalah kesatuan antara aspek bentuk dan semantik. Secara sederhana,
dapat dinyatakan bahwa makna sepenuhnya bersifat referensial sesuai dengan bahasa
dan bersifat tekstual, sedangkan arti bisa saja “keluar” dari referensi kebahasaan dan
mengacu kepada hal-hal di luar teks.
Pada tataran pembacaan heuristik pembaca hanya mendapatkan “makna” sebuah teks,
sedangkan “arti” diperoleh ketika pembaca telah melampaui pembacaan retroaktif atau
hermeneutik.
Secara teoretis puisi merupakan perkembangan dari matriks menjadi model dan
ditransformasikan menjadi varian-varian. Dalam menganalisis karya sastra (puisi)
matriks diabstraksikan berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat atau kalimat
sederhana (Salam, 2009:7). Matriks, model, dan varian-varian dikenali pada pembacaan
tahap kedua.
Matriks bersifat hipotesis dan di dalam struktur teks hanya terlihat sebagai aktualisasi
kata-kata. Matriks bisa saja berupa sebuah kata dan dalam hal ini tidak pernah muncul
di dalam teks. Matriks selalu diaktualisasikan dalam varian-varian. Bentuk varian-
varian tersebut diatur aktualisasi primer atau pertama, yang disebut sebagai model.
Matriks, model, dan teks merupakan varian-varian dari struktur yang sama.
Kompleksitas teks pada dasarnya tidak lebih sebagai pengembangan matriks. Dengan
demikian, matriks merupakan motor atau generator sebuah teks, sedangkan model
menentukan tata cara pemerolehannya atau pengembangannya.
6
2.2. Analisis Pendekatan Semiotika dalam Puisi “Jaket Berlumuran Darah”
Taufiq Ismail
7
Karya : Taufik Ismail (http://puisi.nadiguru.web.id/2016/08/puisi-taufik-
ismail-sebuah-jaket.html )
1. Pada kalimat Sebuah jaket berlumur darah, disini dapat digambarkan sebuah
perjuangan penuh penderitaan dan pengorbanan yang dilumuri darah, penyair
memilih kata jaket disini menunjukan sebuah identitas atau almamater dari
mahasiswa. Kata darah menggambarkan telah terjadinya perjuangan yang sangat
besar.
2. Pada kalimat Kami semua telah menatapmu, yang menggambarkan sebuah
pengorbanan dan perjuangan yang memang benar-benar terlihat dan nyata
dengan panca indra yaitu dengan panca indra penglihatan (mata)
3. Pada kalimat telah berbagi duka yang agung, dalam kepedihan bertahun-tahun,
bahwa penyair ingin menggambarkan perasaan duka dan kepedihan yang sudah
lama tersimpan bertahun-tahun dan berlarut-larut sehingga potret pengorbanan
jiwa dan raga sungguh terasa jelas.
8
2.2.2. Analisis bait kedua
1. Pada kalimat sebuah sungai membatasi kita, disini dapat dibayangkan bahwa
ada pembatas atau hambatan dalam perjuangan.
2. Pada kalimat di bawah terik matahari jakarta, diindikasikan bahwa kejadian
tersebut terjadi pada pagi hari atau siang hari di kota Jakarta.
3. Pada kalimat Antara penindasan dan kebebasandalam hal ini penyair
menyuguhkan dua kata yang berlawanan, sehingga lebih tampak perjuangan
yang sebenarnya.
4. Pada kalimat Berlapis senjata dan sangkur baja yang bisa memperkuat bahwa
hambatan /sungai/adalah orang-orang yang bersenjata dan bersangkur baja, yaitu
aparat keamanan dan kepolisian.
9
1. “Akan mundurkah kita sekarang” memiliki arti bahwa para tentara sedang merasa
bimbang antara ingin maju untuk tetap berjuang atau mundur dalam menghadapi
musuh.
3. “Berikrar setia kepada tirani”. Tirani berarti pemerintahan atau negara yang
dipimpin oleh penguasa yang semena-mena. Jadi, bait tersebut memiliki arti bahwa
para tentara pastilah telah mengucapkan janji setia pada negara yang dibelanya.
4. “Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?” memiliki arti bahwa apabila
para tentara memilih mundur dalam menghadapi musuh saja saja dengan merelakan
baju tentara mereka berganti menjadi baju pelayan, atau dengan kata lain para tentara
yang mundur dalam medan perjuangan akan berakhir menjadi seorang pecundang.
10
- Dalam kalimat ini terdapat beberapa pengulangan kata, kata “spanduk” diulang dua
kali untuk memperkuat keberadaan spanduk-spanduk yang berisi perlawanan
terhadap kekuasaan
2. Pada kalimat Kami semua telah menatapmu
- Menggambarkan sebuah pengorbanan dan perjuangan yang memang benar-benar
terlihat nyata oleh panca indra.
- Penggunaan kata “kami” merupakan simbol dari masyarakat secara universal dari
berbagai lapisan, karena penyair mungkin beranggapanbahwa perjuangan merupakan
milik dan hak semua orang.
- Menatapmu berarti memberikan perhatian lebih pada sesuatu yaitu pahlawan dengan
mengenang jasa-jasanya.
3. Pada kalimat Dan di atas bangunan-bangunan
- Menggambarkan para pejuang yang berdiri di atas bangunaan-bangunan sebagai
- Di atas memiliki makna dihormati dan disegani akan jasa-jasanya.
4. Pada kalimat Menunduk bendera setengah tiang
- Frasa bendera setengah tiang melambangkan kematian atau keguguran
- Menunduk bendera setengah tiang menunjukkan simbol adanya
penghormatan tertinggi atas pejuang yang mengalami kematian atau gugur
dalam perjuangan.
- Menunduk memiliki makna berkabung atas kepergian pahlawan yang telah gugur.
Pawai-pawai perkasa
Mereka berkata
11
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Puisi adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana
kepuitisan. Sebagai salah satu genre sastra, puisi memiliki kekhasan tersendiri yakni
penggunaan bahasanya yang tidak seperti bahasa percakapan sehari-hari (bahasa tingkat
satu), namun menggunakan bahasa tingkat dua (konotatif). Dalam mengkaji sebuah
karya sastra terdapat berbagai macam pendekatan, salah satunya adalah pendekatan
semiotik. Secara etimologis istilah semiotik diturunkan dan kata Yunani, “semeion”
yang berati tanda. Tanda didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi
masyarakat yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain
(Eco,1979:16).Versi lain berpendapat semiotik berasal dan kata “semeion” atau
“semiotikos” yang berarti penafsiran tanda-tanda (Zoest, 1993). Kristeva dalam Zaimar,
(2003:182) mengatakan bahwa “semiotik (semanalyse) tidak melihat semiotik sebagai
sistem tanda tetapi sebagai proses memaknai tanda.” Kristeva berasumsi bahwa
semiotik memandang bahasa sebagai struktur yang heterogen. Dalam hal ini, bahasa
merupakan suatu proses pemahaman yang dinamis, bukan sekadar sistem yang statis.
Karya sastra sebagai tanda, ditandai oleh beberapa komponen yang sekaligus
membentuk tanda itu. Komponen tersebut adalah pencipta, karya sastra, pembaca,
kenyataan dalam semesta, sistem bahasa, konvensi sastra, variasi bentuk karya sastra
dan nilai keindahan.
3.1.Saran
Makalah ini ditujukan kepada seluruh masyarakat, terutama kepada mahasiswa
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sebagai mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia, tentunya harus mengetahui macam-macam pendekatan dalam mengkaji
sebuah karya sastra salah satunya dengan pendekatan semiotik. Kami mengharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Dalam penulisan makalah ini
penulis masih memiliki banyak kekurangan dalam menyusun makalah ini. Kami
mengharapkan saran dari pembaca agar kedepannya lebih baik lagi dalam mengerjakan
tugas.
13
14