Mata Kuliah:
Penulisan Drama
Dosen Pengampu:
Ita Khairani, S.Pd., M.Hum.
Oleh:
KELOMPOK 2
Asna Sari Pardede NIM.2191210013
OKTOBER 2021
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga Kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam meningkatkan kemampuan
sastra pada umumnya, dan pendalaman kajian teori kritik sastra secara khusus.
Hanya ungkapan terima kasih dan salam penghormatan yang dapat kami berikan kepada
Ibu Ita Khairani, S.Pd, M.Hum selaku Dosen pengampu yang sangat membantu dalam proses
perbaikan makalah, juga kepada seluruh teman sejawat yang secara tidak langsung menjadi
semangat dan motivasi besar kami dalam merampungkan makalah ini. Karenanya, kami berharap
semoga makalah ini benar-benar dapat membantu menambah ilmu, pengetahuan, dan
pengalaman bagi anda semua juga seluruh pembaca.
i
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................................2
1.3 Tujuan................................................................................................................................................2
BAB II.........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................3
2.1 Sejarah Pendekatan Ekspresif............................................................................................................3
2.2 Hakikat Pendekatan Ekspresif...........................................................................................................4
2.3 Langkah Penerapan Pendekatan Ekspresif.........................................................................................4
2.4 Contoh Penerapan Pendekatan Ekspresif...........................................................................................5
Lampiran Naskah Drama Anak "Bundaku, Maafkan Aku."................................................................9
BAB III......................................................................................................................................................12
PENUTUP.................................................................................................................................................12
3.1 Kesimpulan......................................................................................................................................12
3.2 Saran................................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Karena karya sastra sarat dengan nilai seni, maka dalam menganalisisnya harus
menggunakan metode/cara yang tepat. Agar apa yang ingin disampaikan dapat kepada pembaca
atau penikmat karya itu. Salah satunya menggunakan pendekatan ekspresif. Pendekatan ekspresif
ini menggunakan/mempunyai tiga tahapan. Dalam pembuatan karya sastra juga mengandung
aspek ekspresif. Penekanan aspek ekspresif karya sastra telah lama dimulai. Pada masa Yunani
dan Romawi penonjolan aspek ekspresif karya sastra telah dimulai seorang ahli sastra Yunani
Kuno, Dionysius Casius Longius, dalam bukunya On the Sublime (Mana Sikana, dalam
Atmazaki, 1990: 32-33). Bila kemudian Plato mengungkapkan bahwa karya sastra adalah meniru
dan meneladani ciptaan Tuhan, cukupkah sampai di situ peran seorang pengarang? Ternyata
Aristoteles menolak pendapat yang menyatakan bahwa posisi pengarang hanya berada di bawah
Tuhan. Menurutnya, ciptaan Tuhan hanyalah sebagai tempat bertolak. Pengarang dalam
penciptaan karyanya, dengan daya khayal dan kreativitas yang dipunyainya, justru mampu
menciptakan kenyataan yang lebih kurang terlepas dari kenyataan alami. Dalam hal ini secara
“lancang” menurut Aristoteles (dalam Atmazaki, 1990: 33) pengarang dengan sombongnya
sebagai pencipta telah menyamai Tuhan.
Aspek ekspresif sebagai salah satu pendekatan dalam sastra barangkali lebih cocok dipakai
dalam melihat kebimbangan pengarang dalam berkarya. Para kritikus ekspresif meyakini bahwa
sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran,
presepsi-prespsi dan perasaan yang dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus cendrung
1
menimba karya sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan penglihatan mata batin
pengarang/keadaan pikiranya.
1.3 Tujuan
1. Mendapatkan pemahaman dasar tentang hakikat Pendekatan Ekspresif
2. Memahami bagaimana langkah penerapan Pendekatan Ekspresif.
3. Menjelaskan tentang penerapan Pendekatan Ekspresif dapat diterapkan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Bila kemudian Plato mengungkapkan bahwa karya sastra adalah meniru dan meneladani
ciptaan Tuhan, cukupkah sampai di situ peran seorang pengarang? Ternyata Aristoteles menolak
pendapat yang menyatakan bahwa posisi pengarang hanya berada di bawah Tuhan. Menurutnya,
ciptaan Tuhan hanyalah sebagai tempat bertolak. Pengarang dalam penciptaan karyanya, dengan
daya khayal dan kreativitas yang dipunyainya, justru mampu menciptakan kenyataan yang lebih
kurang terlepas dari kenyataan alami. Dalam hal ini secara “lancang” menurut Aristoteles (dalam
Atmazaki, 1990: 33) pengarang dengan sombongnya sebagai pencipta telah menyamai Tuhan.
Aspek ekspresif sebagai salah satu pendekatan dalam sastra barangkali lebih cocok dipakai
dalam melihat kebimbangan pengarang dalam berkarya. Atmazaki (1990: 34-35) mengatakan
bahwa pementingan aspek ekspresif ini disebabkan oleh alasan-alasan berikut:
1. Pengarang adalah orang pandai. Ia adalah filsuf yang ajarannya dianggap sebagai filsafat
yang menguasai cara berpikir manusia.
2. Kata author berarti pengarang, yang bila ditambah akhiran –ity berarti berwenang atau
berkuasa. Dalam hal ini yang dimaksudkan sudah tentu penguasaan bahasa, namun
menciptakan kenyataan lewat bahasa yang tidak sama dengan kenyataan alami. Akan tetapi,
walaupun tidak sama kenyataan itu adalah hakiki, kenyataan yang tinggi nilainya, sehingga
orang dapat bercermin dengan kenyataan tersebut.
3
3. Pengarang adalah orang yang mempunyai kepekaan terhadap persoalan, punya wawasan
kemanusiaan yang tinggi dan dalam. Pengarang punya pemikiran dan perasaan yang selalu
lebih maju, walau dalam masyarakat hal ini seringkali dianggap membingungkan lantaran
rumitnya.
Kritik ekspresif mendefinisikan karya sastra sebagai ekspresi atau curahan, atau ucapan
perasaan, atau sebagai produk imajinasi penyair yang beroperasi/bekerja dengan pikiran-pikiran,
perasaan; kritik itu cenderung menimbang karya sastra dengan kemulusan, kesejatian, atau
kecocokan vision pribadi penyair atau keadaan pikiran; dan sering kritik ini mencari dalam karya
sastra fakta-fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman penulis, yang secara sadar
ataupun tidak, telah membukakan dirinya dalam karyanya tersebut (Pradopo, 1997:193). Dan
pendapat lain menyatakan, pendekatan ekspresif merupakan pendekatan yang mengkaji ekspresi
perasaan atau temperamen penulis (Abrams, 1981:189). Menurut Semi (1984), pendekatan
ekspresif adalah pendekatan yang menitikberatkan perhatian kepada upaya pengarang atau
penyair mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra.
Pendekatan kritik ekspresif ini menekankan kepada penyair dalam mengungkapkan atau
mencurahkan segala pikiran, perasaan, dan pengalaman pengarang ketika melakukan proses
penciptaan karya sastra. Pengarang menciptakannya berdasarkan subjektifitasnya saja, bahkan
ada yang beranggapan arbitrer. Padahal, ekspresif yang dimaksud berkenaan dengan daya
kontemplasi pengarang dalam proses kreatifnya, sehingga menghasilkan sebuah karya yang baik
dan sarat makna.
Para kritikus ekspresif meyakini bahwa sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan
unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, presepsi-prespsi dan perasaan yang
dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus cendrung menimba karya sastra berdasarkan
kemulusan, kesejatian, kecocokan penglihatan mata batin pengarang/keadaan pikiranya.
4
Karena pendekatn ini merupakan pendekatan yang mangaitkan sebuah karya sastra dengan
pengarangnya. Maka, langkah pertama dalam menerapkan pendekatan ekspresif, seorang
kritikus harus mengenal biografi pengarang karya sastra yang akan dikaji.
Langkah kedua, melakukan penafsiran pemahan terhadap unsur-unsur yang terdapat dalam
karya sastra, seperti tema, gaya bahasa/ diksi, citraan, dan sebagainya. Menurut Todorov dalam
menafsirkan unsur-unsur karya sastra bisa dengan cara berspekulasi, sambil juga meraba-raba,
tetapi sepenuhnya memiliki kesadaran diri, dari pada merasa memiliki pemahaman tetapi masih
buta. Artinya, seorang kritikus boleh bebas melakukan penfasiran pemahaman terhadap unsur-
unsur yang membangun sebuah karya sastra.
5
Teman-temannya sesama dokter pun panik, dan kemudian ia diperiksa kesehatannya. Ternyata
lambung Karin bermasalah hingga membuatnya tidak kuat dan akhirnya jatuh pingsan.
Mendengar kabar Karin sakit dan dirawat di rumah sakit, ibu Karin sangat khawatir dan dengan
setia menunggui anaknya hingga ia bangun. Akhirnya Karin terbangun dari pingsannya, ia
mendapati ibunya ada di sampingnya. Dokter Reza yang memeriksa Karin menjelaskan bahwa
selama ini yang menungguinya adalah ibunya. Mendengar hal tersebut Karin merasa bersalah
dan ia pun meminta maaf pada ibunya selama ini sudah menyakiti hati ibunya.
6
bebas melakukan penafsiran pemahaman terhadap unsur-unsur yang membangun sebuah karya
sastra.
Langkah ketiga, mengaitkan hasil penafsiran dengan berdasarkan tinjauan
psikologis/kejiwaan pengarang, Asumsi dasar penelitian psikologi sastra antara lain dipengaruhi
oleh anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran
pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconcius) setelah jelas baru dituangkan ke
dalam bentuk secara sadar (conscius).
7
Diharapkan anak-anak akan lebih menghormati orang tua dan tidak tinggi hati terhadap apapun
yang dimiliki.
8
F. Latar Belakang Pendidikan
Penulis tentu merupakan pemerhati anak. Hal ini tak lepas dari perannya sebagai
pendidik. Melalui naskah drama dan biografinya, kita bisa menyimpulkan bahwa penulis sangat
menyukai hal-hal yang berkaitan dengan drama. Drama tersebut seolah-olah ditemukan dari
salah satu anak didiknya. Penulis merupakan guru yang aktif. Ia lebih suka praktik langsung
daripada sekadar mengajar teori. Sehari-hari, dunia pendidikan sudah menjadi bagian dari
hidupnya.
Karin sangat pintar. Ia berprestasi tinggi dan selalu menjadi juara. Tetapi ia lupa pada
ibunya saat sudah besar, ia menjadi orang yang berhasil. Ia sudah menjadi seorang dokter sesuai
dengan cita-citanya.
Suatu ketika, ia terkena sakit parah, ternyata yang datang pertama kali adalah
ibunya...yang dulu pernah ia sia-siakan. Akankah ia sadar akan kesalahannya itu? Mari kita
saksikan pada drama “BUNDA, MAAFKAN AKU”
9
Adegan 1
Karin selalu menjadi juara kelas di sekolahnya.
Mila : “Selamat ya, Rin. Kamu selalu menang!”
Nana : “Kamu hebat deh, Rin! Aku ngiri sama kamu...”
Karin : “Iya dong. Aku emang hebat. Kalian berjuang dong biar bisa kayak aku!”
Lila : “Aah...gimana caranya bisa kayak kamu. Otakmu udah encer gitu!”
Tiba-tiba datanglah Rara, Tina dan Kaila di tengah-tengah mereka.
Rara : “Eh, Karin. Jangan lupa berterimakasih kepada ibumu. Jangan seneng-seneng
aja!”
Kaila : “Iya, Rin. Jangan sampai kamu melupakan ibumu.”
Karin : “Untuk apa berterimakasih sama ibu? Aku berhasil kan karena usahaku
sendiri...”
Tina : “Itu ibumu, Rin. Masa kamu nggak berterimakasih sedikitpun? Apa kamu nggak
takut kena laknat Allah?”
Karin : “Udah deh, nggak usah khutbah di sini. Khutbah itu di masjid. Dan itu juga
dilakukan oleh laki-laki!”
Karin meninggalkan mereka semua.
Adegan 2
Ibu : “Ibu bangga padamu, Nak. Kamu selalu berprestasi.”
Karin : “Huh! Nggak usah sok perhatian gitu deh, Bu.
Ibu : “Nak. Kamu ini anak ibu. Ibu pasti selalu bangga dan bahagia dengan semua
prestasimu. Kamu adalah kebanggaan ibu.”
Karin berlalu sambil menggebrak meja. Ia benci kepada ibunya.
Adegan 3
Dua puluh tahun kemudian, Karin sudah menjadi dokter anak. Ia baru selesai memeriksa
balita bernama Talita.
Mama : “Terimakasih ya, dokter. Kami pamit dulu.”
Talita : “Aku bisa sembuh nggak, dokter Kayin?”
Karin : “Pasti Talita akan sembuh kok. Ibu yang baik ya menjaganya. Jangan lupa
obatnya diminum.”
Mama : “Baik, dok.”
10
Adegan 4
Para dokter sekerja Karin begitu panik. Dokter Shinta, Nia, dan Sheryl mengitari Karin
yang baru saja jatuh pingsan.
Shinta : “Ada apa dengan Karin nih?”
Nia : “Kita panggil dokter Reza!”
Sheryl : “Ya. Aku akan memanggilnya sekarang. Kalian bawa Karin masuk dulu.”
S & N : “Ayo, cepat!”
Adegan 5
Karin tertidur lemas.
Reza : “Lambungnya bermasalah. Untuk sementara ia harus melakukan perawatan dulu
di sini.”
Ibu Karin tiba-tiba datang.
Ibu : “Apa yang terjadi denganmu, Nak? Ibu sangat khawatir.”
Selama 24 jam ibu menemani Karin yang selama ini telah menyia-nyiakannya. Teman-
temannya sangat kasihan pada ibunya.
Adegan 6
Karin terbangun dan mendapati ibunya berada di sampingnya. Ia menangis tergugu tak
tahu harus berbuat apa. Dokter Reza menjelaskan bahwa selama ini yang menungguinya adalah
ibunya. Karin lalu meminta maaf.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penekanan aspek ekspresif karya sastra telah lama dimulai. Pada masa Yunani dan
Romawi penonjolan aspek ekspresif karya sastra telah dimulai seorang ahli sastra Yunani Kuno,
Dionysius Casius Longius, dalam bukunya On the Sublime (Mana Sikana, dalam Atmazaki,
1990: 32-33). Menurut Longius karya sastra harus mempunyai gaya bahasa yang baik,
mempunyai falsafah, pemikiran, dan persoalan agung yang penting, harus mempunyai emosi
yang intens dan terpelihara serta tahan menghadapi zaman. Kenyataan ini menyebabkan
pengarang mesti punya konsep yang jelas dan jauh dari kebimbangan-kebimbangan yang
melanda dirinya.
Kritik ekspresif mendefinisikan karya sastra sebagai ekspresi atau curahan, atau ucapan
perasaan, atau sebagai produk imajinasi penyair yang beroperasi/bekerja dengan pikiran-pikiran,
perasaan; kritik itu cenderung menimbang karya sastra dengan kemulusan, kesejatian, atau
kecocokan vision pribadi penyair atau keadaan pikiran; dan sering kritik ini mencari dalam karya
sastra fakta-fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman penulis, yang secara sadar
ataupun tidak, telah membukakan dirinya dalam karyanya tersebut (Pradopo,
1997:193Pendekatan kritik ekspresif ini menekankan kepada penyair dalam mengungkapkan
atau mencurahkan segala pikiran, perasaan, dan pengalaman pengarang ketika melakukan proses
penciptaan karya sastra. Pengarang menciptakannya berdasarkan subjektifitasnya saja, bahkan
ada yang beranggapan arbitrer. Padahal, ekspresif yang dimaksud berkenaan dengan daya
kontemplasi pengarang dalam proses kreatifnya, sehingga menghasilkan sebuah karya yang baik
dan sarat makna.
Karena pendekatn ini merupakan pendekatan yang mangaitkan sebuah karya sastra dengan
pengarangnya. Maka, langkah pertama dalam menerapkan pendekatan ekspresif, seorang
kritikus harus mengenal biografi pengarang karya sastra yang akan dikaji.
Langkah kedua, melakukan penafsiran pemahan terhadap unsur-unsur yang terdapat dalam
karya sastra, seperti tema, gaya bahasa/ diksi, citraan, dan sebagainya. Menurut Todorov dalam
menafsirkan unsur-unsur karya sastra bisa dengan cara berspekulasi, sambil juga meraba-raba,
12
tetapi sepenuhnya memiliki kesadaran diri, dari pada merasa memiliki pemahaman tetapi masih
buta. Artinya, seorang kritikus boleh bebas melakukan penfasiran pemahaman terhadap unsur-
unsur yang membangun sebuah karya sastra.
3.2 Saran
Dalam membuat suatu karya sastra, kita harus mempunyai banyak pengalaman dan
pengetahuan supaya dalam mengekspresikan sebuah pengalaman atau sebuah peristiwa yang
terjadi di sekitar kita, kita bisa menggambarkan atau mengekspresikan dalam bentuk karya
sastra.
13
DAFTAR PUSTAKA
14