Anda di halaman 1dari 17

PENDEKATAN EKSPRESIF

Mata Kuliah:
Penulisan Drama

Dosen Pengampu:
Ita Khairani, S.Pd., M.Hum.

Oleh:

KELOMPOK 2
Asna Sari Pardede NIM.2191210013

Difa Mulia Insani NIM. 2192510013

Eris Nababan NIM. 2193210008

Tri Mania Gea NIM. 2191210001

PROGRAM STUDI S1 SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI – UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

OKTOBER 2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga Kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam meningkatkan kemampuan
sastra pada umumnya, dan pendalaman kajian teori kritik sastra secara khusus.

Hanya ungkapan terima kasih dan salam penghormatan yang dapat kami berikan kepada
Ibu Ita Khairani, S.Pd, M.Hum selaku Dosen pengampu yang sangat membantu dalam proses
perbaikan makalah, juga kepada seluruh teman sejawat yang secara tidak langsung menjadi
semangat dan motivasi besar kami dalam merampungkan makalah ini. Karenanya, kami berharap
semoga makalah ini benar-benar dapat membantu menambah ilmu, pengetahuan, dan
pengalaman bagi anda semua juga seluruh pembaca.

Makalah ini kami sadari masih memiliki banyak kekurangan dikarenakan


pengalaman dan kemampuan yang kami miliki masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami
harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun
untuk kesempurnaan makalah ini.

Medan, Oktober 2021

i
Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................................2
1.3 Tujuan................................................................................................................................................2
BAB II.........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................3
2.1 Sejarah Pendekatan Ekspresif............................................................................................................3
2.2 Hakikat Pendekatan Ekspresif...........................................................................................................4
2.3 Langkah Penerapan Pendekatan Ekspresif.........................................................................................4
2.4 Contoh Penerapan Pendekatan Ekspresif...........................................................................................5
Lampiran Naskah Drama Anak "Bundaku, Maafkan Aku."................................................................9
BAB III......................................................................................................................................................12
PENUTUP.................................................................................................................................................12
3.1 Kesimpulan......................................................................................................................................12
3.2 Saran................................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Karya sastra merupakan hasil dari daya cipta, karsa manusia yang dimana mengandung
nilai seni yang tinggi. Dalam penciptaan karya sastra, seorang seniman/ penyair tidak
menciptakannya hanya asal-asalan. Melainkan membutuhkan usaha yang keras baru bisa
menghasil sebuah karya yang bermutu. Selain itu, banyak aspek yang dipertimbangkan dalam
penbuatan kayra sastra. Minsalnya aspek keindahan, nilai guna/manfaat. Akibatnya banyak
waktu yang diperlukan penyair/pengarang dalam membuat suatu karya.

Karena karya sastra sarat dengan nilai seni, maka dalam menganalisisnya harus
menggunakan metode/cara yang tepat. Agar apa yang ingin disampaikan dapat kepada pembaca
atau penikmat karya itu. Salah satunya menggunakan pendekatan ekspresif. Pendekatan ekspresif
ini menggunakan/mempunyai tiga tahapan. Dalam pembuatan karya sastra juga mengandung
aspek ekspresif. Penekanan aspek ekspresif karya sastra telah lama dimulai. Pada masa Yunani
dan Romawi penonjolan aspek ekspresif karya sastra telah dimulai seorang ahli sastra Yunani
Kuno, Dionysius Casius Longius, dalam bukunya On the Sublime (Mana Sikana, dalam
Atmazaki, 1990: 32-33). Bila kemudian Plato mengungkapkan bahwa karya sastra adalah meniru
dan meneladani ciptaan Tuhan, cukupkah sampai di situ peran seorang pengarang? Ternyata
Aristoteles menolak pendapat yang menyatakan bahwa posisi pengarang hanya berada di bawah
Tuhan. Menurutnya, ciptaan Tuhan hanyalah sebagai tempat bertolak. Pengarang dalam
penciptaan karyanya, dengan daya khayal dan kreativitas yang dipunyainya, justru mampu
menciptakan kenyataan yang lebih kurang terlepas dari kenyataan alami. Dalam hal ini secara
“lancang” menurut Aristoteles (dalam Atmazaki, 1990: 33) pengarang dengan sombongnya
sebagai pencipta telah menyamai Tuhan.

Aspek ekspresif sebagai salah satu pendekatan dalam sastra barangkali lebih cocok dipakai
dalam melihat kebimbangan pengarang dalam berkarya. Para kritikus ekspresif meyakini bahwa
sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran,
presepsi-prespsi dan perasaan yang dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus cendrung

1
menimba karya sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan penglihatan mata batin
pengarang/keadaan pikiranya.

1.2 Rumusan Masalah


Sesuai dengan latar belakang di atas, berikut ini adalah beberapa rumusan masalah
yang dapat kami himpun :
1. Apakah hakikat Pendekatan Ekspresif?
2. Bagaimanakah langkah penerapan Pendekatan Ekspresif?
3. Di mana letak penerapan Pendekatan Ekspresif dapat diterapkan?

1.3 Tujuan
1. Mendapatkan pemahaman dasar tentang hakikat Pendekatan Ekspresif
2. Memahami bagaimana langkah penerapan Pendekatan Ekspresif.
3. Menjelaskan tentang penerapan Pendekatan Ekspresif dapat diterapkan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Pendekatan Ekspresif


Penekanan aspek ekspresif karya sastra telah lama dimulai. Pada masa Yunani dan
Romawi penonjolan aspek ekspresif karya sastra telah dimulai seorang ahli sastra Yunani Kuno,
Dionysius Casius Longius, dalam bukunya On the Sublime (Mana Sikana, dalam Atmazaki,
1990: 32-33). Menurut Longius karya sastra harus mempunyai gaya bahasa yang baik,
mempunyai falsafah, pemikiran, dan persoalan agung yang penting, harus mempunyai emosi
yang intens dan terpelihara serta tahan menghadapi zaman. Kenyataan ini menyebabkan
pengarang mesti punya konsep yang jelas dan jauh dari kebimbangan-kebimbangan yang
melanda dirinya.

Bila kemudian Plato mengungkapkan bahwa karya sastra adalah meniru dan meneladani
ciptaan Tuhan, cukupkah sampai di situ peran seorang pengarang? Ternyata Aristoteles menolak
pendapat yang menyatakan bahwa posisi pengarang hanya berada di bawah Tuhan. Menurutnya,
ciptaan Tuhan hanyalah sebagai tempat bertolak. Pengarang dalam penciptaan karyanya, dengan
daya khayal dan kreativitas yang dipunyainya, justru mampu menciptakan kenyataan yang lebih
kurang terlepas dari kenyataan alami. Dalam hal ini secara “lancang” menurut Aristoteles (dalam
Atmazaki, 1990: 33) pengarang dengan sombongnya sebagai pencipta telah menyamai Tuhan.

Aspek ekspresif sebagai salah satu pendekatan dalam sastra barangkali lebih cocok dipakai
dalam melihat kebimbangan pengarang dalam berkarya. Atmazaki (1990: 34-35) mengatakan
bahwa pementingan aspek ekspresif ini disebabkan oleh alasan-alasan berikut:

1.    Pengarang adalah orang pandai. Ia adalah filsuf yang ajarannya dianggap sebagai filsafat
yang menguasai cara berpikir manusia.

2.    Kata author berarti pengarang, yang bila ditambah akhiran –ity berarti berwenang atau
berkuasa. Dalam hal ini yang dimaksudkan sudah tentu penguasaan bahasa, namun
menciptakan kenyataan lewat bahasa yang tidak sama dengan kenyataan alami. Akan tetapi,
walaupun tidak sama kenyataan itu adalah hakiki, kenyataan yang tinggi nilainya, sehingga
orang dapat bercermin dengan kenyataan tersebut.

3
3.    Pengarang adalah orang yang mempunyai kepekaan terhadap persoalan, punya wawasan
kemanusiaan yang tinggi dan dalam. Pengarang punya pemikiran dan perasaan yang selalu
lebih maju, walau dalam masyarakat hal ini seringkali dianggap membingungkan lantaran
rumitnya.

2.2 Hakikat Pendekatan Ekspresif

Kritik ekspresif mendefinisikan karya sastra sebagai ekspresi atau curahan, atau ucapan
perasaan, atau sebagai produk imajinasi penyair yang beroperasi/bekerja dengan pikiran-pikiran,
perasaan; kritik itu cenderung menimbang karya sastra dengan kemulusan, kesejatian, atau
kecocokan vision pribadi penyair atau keadaan pikiran; dan sering kritik ini mencari dalam karya
sastra fakta-fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman penulis, yang secara sadar
ataupun tidak, telah membukakan dirinya dalam karyanya tersebut (Pradopo, 1997:193). Dan
pendapat lain menyatakan, pendekatan ekspresif merupakan pendekatan yang mengkaji ekspresi
perasaan atau temperamen penulis (Abrams, 1981:189).  Menurut Semi (1984), pendekatan
ekspresif adalah pendekatan yang menitikberatkan perhatian kepada upaya pengarang atau
penyair mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra.
Pendekatan kritik ekspresif ini menekankan kepada penyair dalam mengungkapkan atau
mencurahkan segala pikiran, perasaan, dan pengalaman pengarang ketika melakukan proses
penciptaan karya sastra. Pengarang menciptakannya berdasarkan subjektifitasnya saja, bahkan
ada yang beranggapan arbitrer. Padahal, ekspresif yang dimaksud berkenaan dengan daya
kontemplasi pengarang dalam proses kreatifnya, sehingga menghasilkan sebuah karya yang baik
dan sarat makna.
Para kritikus ekspresif meyakini bahwa sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan
unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, presepsi-prespsi dan perasaan yang
dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus cendrung menimba karya sastra berdasarkan
kemulusan, kesejatian, kecocokan penglihatan mata batin pengarang/keadaan pikiranya.

2.3 Langkah Penerapan Pendekatan Ekspresif

4
Karena pendekatn ini merupakan pendekatan yang mangaitkan sebuah karya sastra dengan
pengarangnya. Maka, langkah pertama dalam menerapkan pendekatan ekspresif, seorang
kritikus harus mengenal biografi pengarang karya sastra yang akan dikaji.

 Langkah kedua, melakukan penafsiran pemahan terhadap unsur-unsur yang terdapat dalam
karya sastra, seperti tema, gaya bahasa/ diksi, citraan, dan sebagainya. Menurut Todorov dalam
menafsirkan unsur-unsur karya sastra bisa dengan cara berspekulasi, sambil juga meraba-raba,
tetapi sepenuhnya memiliki kesadaran diri, dari pada merasa memiliki pemahaman tetapi masih
buta. Artinya, seorang kritikus boleh bebas melakukan penfasiran pemahaman terhadap unsur-
unsur yang membangun sebuah karya sastra.

 Langkah ketiga, mengaitkan hasil penafsiran dengan berdasarkan tinjauan


psikologis/kejiwaan pengarang, Asumsi dasar penelitian pikologi sastra antara lain dipengaruhi
oleh anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran
pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconcius) setelah jelas baru dituangkan
kedalam bentuk secara sadar (conscius). Dan kekuatan karya sastra dapat dilihat dari seberapa
jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah
cipta sastra.

2.4 Contoh Penerapan Pendekatan Ekspresif

Contoh Penerapan Pendekatan Ekspresif Kaitannya dengan makalah ini yaitu


menganalisis naskah drama anak yang berjudul “Bunda, Maafkan Aku”.

A. Sinopsis Drama Anak “Bunda, Maafkan Aku”


Dalam naskah drama berjudul “Bunda, Maafkan Aku” berisi tentang seorang anak
bernama Karin yang durhaka terhadap ibunya. Kedurhakaan itu muncul karena Karin adalah
seorang anak yang sangat pintar dan berprestasi tinggi. Ia pun selalu mendapat juara. Kisahnya
kedurhakaannya berawal dari ia mendapat juara, teman-temannya memberi selamat kepadanya
tetapi ia bersikap sombong dan merasa hanya dia yang paling pintar. Ketika ibunya memberi
perhatian kepada Karin atas prestasi yang didapatkannya, Karin menganggap ibunya yang
bersikap sok perhatian. Bahkan Karin membentak-bentak ibunya.
Dua puluh tahun kemudian Karin pun sudah mencapai cita-citanya menjadi seorang
dokter. Suatu ketika setelah ia memeriksa pasiennya, tiba-tiba dokter Karin jatuh pingsan.

5
Teman-temannya sesama dokter pun panik, dan kemudian ia diperiksa kesehatannya. Ternyata
lambung Karin bermasalah hingga membuatnya tidak kuat dan akhirnya jatuh pingsan.
Mendengar kabar Karin sakit dan dirawat di rumah sakit,  ibu Karin sangat khawatir dan dengan
setia menunggui anaknya hingga ia bangun. Akhirnya Karin terbangun dari pingsannya, ia
mendapati ibunya ada di sampingnya. Dokter Reza yang memeriksa Karin menjelaskan bahwa
selama ini yang menungguinya adalah ibunya. Mendengar hal tersebut Karin merasa bersalah
dan ia pun meminta maaf pada ibunya selama ini sudah menyakiti hati ibunya.

B. Analisis Drama Anak “Bunda, Maafkan Aku” dengan Pendekatan Ekspresif


Pendekatan ekspresif ini menekankan kepada penyair dalam mengungkapkan atau
mencurahkan segala pikiran, perasaan, dan pengalaman pengarang ketika melakukan proses
penciptaan karya sastra. Pengarang menciptakannya berdasarkan subjektifitasnya saja, bahkan
ada yang beranggapan arbitrer. Padahal, ekspresif yang dimaksud berkenaan dengan daya
kontemplasi pengarang dalam proses kreatifnya, sehingga menghasilkan sebuah karya yang baik
dan sarat makna.
Para kritikus ekspresif meyakini bahwa sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan
unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, presepsi-presepsi dan perasaan yang
dikombinasikan dalam karya sastra.
Dalam menganalisis drama “Bunda, Maafkan Aku” karya Isnaini DK, menggunakan
pendekatan ekspresif yang mengulas karya sastra sebagai ekspresi/curahan, ucapan perasaan,
atau sebagai produk imajinasi penyair yang beroperasi/bekerja dengan pikiran-pikiran, perasaan,
dan kritik yang cenderung menimbang karya sastra dengan kemulusan, kesejatian, atau
kecocokan pelihatan pribadi penyair atau keadaan pikiran. Kritik ini sering dicari dalam karya
sastra yang berkaitan dengan fakta-fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman
penulis, yang secara sadar ataupun tidak telah membukakan dirinya dalam karyanya tersebut.
Karena pendekatan ini merupakan pendekatan yang mangaitkan sebuah karya sastra
dengan pengarangnya. Maka, langkah pertama dalam menerapkan pendekatan ekspresif, seorang
kritikus harus mengenal biografi pengarang karya sastra yang akan dikaji.
 Langkah kedua, melakukan penafsiran pemahaman terhadap unsur-unsur yang terdapat
dalam karya sastra, seperti tema, gaya bahasa/ diksi, citraan, dan sebagainya. Seorang kritikus

6
bebas melakukan penafsiran pemahaman terhadap unsur-unsur yang membangun sebuah karya
sastra.
 Langkah ketiga, mengaitkan hasil penafsiran dengan berdasarkan tinjauan
psikologis/kejiwaan pengarang, Asumsi dasar penelitian psikologi sastra antara lain dipengaruhi
oleh anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran
pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconcius) setelah jelas baru dituangkan ke
dalam bentuk secara sadar (conscius).

C.    Biografi Pengarang


Isnaeni DK adalah seorang pengajar dan pendidik. Ia menikmati perannya sebagai
pengajar drama. Baginya, drama adalah bagian dari hidupnya. Isnaeni DK senang bersama anak-
anak, mengajarkan tentang ekspresi, cara mengucapkan (vokal) dialog, akting, juga pengambilan
hikmah dari sebuah naskah drama, dan ia paling suka menulis naskah drama ataupun cerpen
untuk anak-anak. Sehingga ia lebih suka meminta anak-anak (siswanya) praktik drama daripada
mengajari anak-anak (siswanya) secara teori.
Menurut ibu satu anak ini, anak-anak tidak perlu diceramahi panjang lebar dalam kelas
drama karena dengan melakukan akting, mereka belajar sosio drama. Dan menurut Isnaeni DK
amanat-amanat yang terkandung dalam alur cerita akan mudah  diserap oleh anak-anak sesuai
dengan cara mereka masing-masing.

D.    Latar Belakang Psikologi Pengarang


Pengarang drama anak yang berjudul “Bunda, Maafkan Aku” merupakan seorang
pendidik. Dalam kesehariannya, ia tentu banyak menjumpai siswa-siswi dengan berbagai
karakter. Melalui pengamatan secara langsung ketika mengajar, ia menuliskan berbagai kisah
yang ia temui di antara anak didiknya. Pengalaman menuntunnya untuk membuat sebuah drama
yang berlatar belakang kehidupan sehari-hari.
Di dalam drama tersebut dikisahkan seorang anak yang tinggi hati dan tidak menghormati
orang tua. Bisa jadi penulis terinspirasi oleh anak didiknya. Di sekolah, pasti banyak dijumpai
anak yang sombong, tinggi hati, dan tidak sopan dengan orang tua. Penulis menuliskan cerita
berbentuk drama anak sebagai bahan bacaan untuk anak didiknya. Dengan tema yang mengambil
tak jauh dari kehidupan sehari-hari bisa menjadi bahan ajar yang baik untuk anak didiknya.

7
Diharapkan anak-anak akan lebih menghormati orang tua dan tidak tinggi hati terhadap apapun
yang dimiliki.

E.     Latar Belakang Sosial dan Budaya


Sebagai seorang pendidik, penulis pasti memiliki anak didik dengan berbagai watak dan
perilaku yang berbeda-beda. Penulis menggambarkan watak Karin sebagai sosok yang tinggi hati
ketika ia berhasil menjadi juara kelas. Memang, tak sedikit anak yang berubah menjadi sombong
ketika berhasil memperoleh juara. Penulis tentu sering menjumpai siswa seperti yang dikisahkan
dalam drama.
Ketika masih bersekolah, kita tentu senang jika mendapat juara kelas apalagi jika
mendapat pujian dari guru. Bahkan, jika ada siswa yang mengalahkan kita di bidang akademik,
rasa kecewa pasti ada. Berbagai reaksi dari para siswa yang mendapatkan juara tentu beragam.
Ada yang senang karena akan mendapat hadiah tambahan dari orang tua, ada yang bersikap
biasa-biasa saja, dan ada yang bersikap sombong karena merasa dirinya paling pintar. Penulis
mengisahkan sosok Karin sebagai anak yang sombong. Ketika ia mendapat juara dan dipuji
teman-temannya, ia merasa besar kepala. Ketika teman-temannya mengingatkannya untuk
berterima kasih kepada ibunya, ia acuh saja. Ia merasa bahwa kesuksesannya adalah hasil
usahanya sendiri,  jadi ia tidak perlu berterima kasih kepada ibunya.
Penggambaran tokoh seperti Karin tentu sering kita jumpai di kalangan anak-anak. Anak
yang membentak-bentak orang tua dan orang tua yang hanya bisa pasrah menyaksikan tingkah
laku putra-putrinya. Selain dari sekolah, penulis pun dapat mengamati lingkungan di sekitar
tempat tinggalnya. Mungkin, banyak anak-anak yang memiliki sifat seperti Karin yang bisa
diamati. Penulis juga memiliki seorang anak. Penulis pun bisa mengamati tingkah laku anaknya.
Budaya yang ditonjolkan penulis dalam drama tersebut yaitu anak pintar selalu merasa
senang ketika dipuji yang kebanyakan dari mereka langsung merasa dirinya paling pintar.
Meskipun tidak semua anak seperti itu, tetapi tidak mudah meninggalkan watak seperti Karin
bagi anak yang sering berprestasi. Lalu, ketika si anak itu sukses, kebanyakan dari mereka
melupakan jasa orangtuanya dan selalu beranggapan bahwa kesuksesan yang diraihnya adalah
hasil kerja kerasnya sendiri. Dan ketika tertimpa musibah barulah ia akan menyadari bahwa
orang tualah yang amat berjasa dalam hidupnya. Dalam sebuah cerita, selalu diungkapkan
penyesalan yang datang di akhir.

8
F.     Latar Belakang Pendidikan
Penulis tentu merupakan pemerhati anak.  Hal ini tak lepas dari perannya sebagai
pendidik. Melalui naskah drama dan biografinya, kita bisa menyimpulkan bahwa penulis sangat
menyukai hal-hal yang berkaitan dengan drama. Drama tersebut seolah-olah ditemukan dari
salah satu anak didiknya. Penulis merupakan guru yang aktif. Ia lebih suka praktik langsung
daripada sekadar mengajar teori. Sehari-hari, dunia pendidikan sudah menjadi bagian dari
hidupnya.

G.    Latar Belakang Agama


Dalam menciptakan sebuah naskah drama, penulis tentu ingin menyampaikan pesan
secara tersirat dalam drama yang ditulisnya. Misalnya pada drama “Bunda, Maafkan aku”,
penulis ingin menyampaikan pesan kepada anak-anak bahwa kita tidak boleh sombong dan tidak
boleh membentak-bentak orang tua. Secara tidak langsung penulis ingin mengajarkan nilai-nilai
moral sekaligus nilai agama pada anak-anak. Di dalam Islam, agama tidak memperbolehkan
bersikap kasar kepada orang tua. Anak yang durhaka kepada orang tua akan mendapat laknat
dari Allah. Bisa jadi, penulis merupakan sosok yang religius karena menuangkan unsur
keagamaan dalam naskah drama yang ditulisnya.

Lampiran Naskah Drama Anak "Bundaku, Maafkan Aku."

“Bunda, Maafkan Aku”

Karin sangat pintar. Ia berprestasi tinggi dan selalu menjadi juara. Tetapi ia lupa pada
ibunya saat sudah besar, ia menjadi orang yang berhasil. Ia sudah menjadi seorang dokter sesuai
dengan cita-citanya.
Suatu ketika, ia terkena sakit parah, ternyata yang datang pertama kali adalah
ibunya...yang dulu pernah ia sia-siakan. Akankah ia sadar akan kesalahannya itu? Mari kita
saksikan pada drama “BUNDA, MAAFKAN AKU”

9
Adegan 1
Karin selalu menjadi juara kelas di sekolahnya.
Mila     : “Selamat ya, Rin. Kamu selalu menang!”
Nana    : “Kamu hebat deh, Rin! Aku ngiri sama kamu...”
Karin    : “Iya dong. Aku emang hebat. Kalian berjuang dong biar bisa kayak aku!”
Lila      : “Aah...gimana caranya bisa kayak kamu. Otakmu udah encer gitu!”
Tiba-tiba datanglah Rara, Tina dan Kaila di tengah-tengah mereka.
Rara    : “Eh, Karin. Jangan lupa berterimakasih kepada ibumu. Jangan seneng-seneng
aja!”
Kaila    : “Iya, Rin. Jangan sampai kamu melupakan ibumu.”
Karin    : “Untuk apa berterimakasih sama ibu? Aku berhasil kan karena usahaku
sendiri...”
Tina     : “Itu ibumu, Rin. Masa kamu nggak berterimakasih sedikitpun? Apa kamu nggak
takut kena laknat Allah?”
Karin    : “Udah deh, nggak usah khutbah di sini. Khutbah itu di masjid.  Dan itu juga
dilakukan oleh laki-laki!”
Karin meninggalkan mereka semua.
Adegan 2
Ibu       : “Ibu bangga padamu, Nak. Kamu selalu berprestasi.”
Karin    : “Huh! Nggak usah sok perhatian gitu deh, Bu.
Ibu       : “Nak. Kamu ini anak ibu. Ibu pasti selalu bangga dan bahagia dengan semua
prestasimu. Kamu adalah kebanggaan ibu.”
Karin berlalu sambil menggebrak meja. Ia benci kepada ibunya.
Adegan 3
Dua puluh tahun kemudian, Karin sudah menjadi dokter anak.  Ia baru selesai memeriksa
balita bernama Talita.
Mama : “Terimakasih ya, dokter. Kami pamit dulu.”
Talita   : “Aku bisa sembuh nggak, dokter Kayin?”
Karin    : “Pasti Talita akan sembuh kok. Ibu yang baik ya menjaganya. Jangan lupa
obatnya diminum.”
Mama : “Baik, dok.”

10
Adegan 4
Para dokter sekerja Karin begitu panik. Dokter Shinta, Nia, dan Sheryl mengitari Karin
yang baru saja jatuh pingsan.
Shinta  : “Ada apa dengan Karin nih?”
Nia       : “Kita panggil dokter Reza!”
Sheryl  : “Ya. Aku akan memanggilnya sekarang. Kalian bawa Karin masuk dulu.”
S & N   : “Ayo, cepat!”
Adegan 5
Karin tertidur lemas.
Reza    : “Lambungnya bermasalah. Untuk sementara ia harus melakukan perawatan dulu
di sini.”
Ibu Karin tiba-tiba datang.
Ibu       : “Apa yang terjadi  denganmu, Nak? Ibu sangat khawatir.”
Selama 24 jam ibu menemani Karin yang selama ini telah menyia-nyiakannya. Teman-
temannya sangat kasihan pada ibunya.
Adegan 6
Karin terbangun dan mendapati ibunya berada di sampingnya. Ia menangis tergugu tak
tahu harus berbuat apa. Dokter Reza menjelaskan bahwa selama ini yang menungguinya adalah
ibunya. Karin lalu meminta maaf.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penekanan aspek ekspresif karya sastra telah lama dimulai. Pada masa Yunani dan
Romawi penonjolan aspek ekspresif karya sastra telah dimulai seorang ahli sastra Yunani Kuno,
Dionysius Casius Longius, dalam bukunya On the Sublime (Mana Sikana, dalam Atmazaki,
1990: 32-33). Menurut Longius karya sastra harus mempunyai gaya bahasa yang baik,
mempunyai falsafah, pemikiran, dan persoalan agung yang penting, harus mempunyai emosi
yang intens dan terpelihara serta tahan menghadapi zaman. Kenyataan ini menyebabkan
pengarang mesti punya konsep yang jelas dan jauh dari kebimbangan-kebimbangan yang
melanda dirinya.

Kritik ekspresif mendefinisikan karya sastra sebagai ekspresi atau curahan, atau ucapan
perasaan, atau sebagai produk imajinasi penyair yang beroperasi/bekerja dengan pikiran-pikiran,
perasaan; kritik itu cenderung menimbang karya sastra dengan kemulusan, kesejatian, atau
kecocokan vision pribadi penyair atau keadaan pikiran; dan sering kritik ini mencari dalam karya
sastra fakta-fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman penulis, yang secara sadar
ataupun tidak, telah membukakan dirinya dalam karyanya tersebut (Pradopo,
1997:193Pendekatan kritik ekspresif ini menekankan kepada penyair dalam mengungkapkan
atau mencurahkan segala pikiran, perasaan, dan pengalaman pengarang ketika melakukan proses
penciptaan karya sastra. Pengarang menciptakannya berdasarkan subjektifitasnya saja, bahkan
ada yang beranggapan arbitrer. Padahal, ekspresif yang dimaksud berkenaan dengan daya
kontemplasi pengarang dalam proses kreatifnya, sehingga menghasilkan sebuah karya yang baik
dan sarat makna.
Karena pendekatn ini merupakan pendekatan yang mangaitkan sebuah karya sastra dengan
pengarangnya. Maka, langkah pertama dalam menerapkan pendekatan ekspresif, seorang
kritikus harus mengenal biografi pengarang karya sastra yang akan dikaji.

 Langkah kedua, melakukan penafsiran pemahan terhadap unsur-unsur yang terdapat dalam
karya sastra, seperti tema, gaya bahasa/ diksi, citraan, dan sebagainya. Menurut Todorov dalam
menafsirkan unsur-unsur karya sastra bisa dengan cara berspekulasi, sambil juga meraba-raba,

12
tetapi sepenuhnya memiliki kesadaran diri, dari pada merasa memiliki pemahaman tetapi masih
buta. Artinya, seorang kritikus boleh bebas melakukan penfasiran pemahaman terhadap unsur-
unsur yang membangun sebuah karya sastra.

 Langkah ketiga, mengaitkan hasil penafsiran dengan berdasarkan tinjauan


psikologis/kejiwaan pengarang, Asumsi dasar penelitian pikologi sastra antara lain dipengaruhi
oleh anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran
pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconcius) setelah jelas baru dituangkan
kedalam bentuk secara sadar (conscius). Dan kekuatan karya sastra dapat dilihat dari seberapa
jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah
cipta sastra.

3.2 Saran

Dalam membuat suatu karya sastra, kita harus mempunyai banyak pengalaman dan
pengetahuan supaya dalam mengekspresikan sebuah pengalaman atau sebuah peristiwa yang
terjadi di sekitar kita, kita bisa menggambarkan atau mengekspresikan dalam bentuk karya
sastra.

13
DAFTAR PUSTAKA

KS, Yudiono, 2009, Pengkajian Kritik Sastra Indonesia, (Grasindo, Jakarta).


Rokhmansyah, Alfian,2014, Studi Dan Pengkajian Sastra, (Graha Ilmu,Yogyakarta).
Bahasa Pelajar, 2015, Pendekatan Ekspresif,
http://ssgpelajarbahasa.blogspot.co.id/2011/11/pendekatan-ekspresif.html
Brigaseli MJ, 2015, Makalah Pendekatan Ekspresif,
http://mjbrigaseli.blogspot.co.id/2014/07/makalah-pendekatan-ekspresif_25.html

14

Anda mungkin juga menyukai