Semiotika adalah ilmu yang mempelajari struktur, jenis, tipologi, serta relasi-relasi tanda
dalam penggunaannya di dalam masyarakat. Semiotika mempelajari relasi diantara
komponen-komponen tanda, serta relasi antar komponen-komponen tersebut dengan
masyarakat penggunanya. Semiotika, yang berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti
tanda (sign), bermula dari kajian tentang bahasa, dan kemudian berkembang menjadi kajian
kebudayaan, adalah akar dari perkembangan gerakan intelektual dan filsafat strukturalisme
dan poststrukturalisme tersebut, yang merupakan bagian dari gemuruh wacana kritis tahun
1950-1960-an yang mempertanyakan kembali ―kebenaran-kebenaran‖ universal dan tunggal
yang dibangun oleh rasionalisme, logosentrisme, positivisme, dan modernisme. Meskipun
demikian, Strukturalisme sendiri sesungguhnya masih menggunakan pendekatan ―ilmiah‖
yang positivistik, yang kemudian dikritik dan dikoreksi oleh Poststrukturalisme. (Dikutip dari
Semiotika: Tentang Membaca Tanda-Tanda oleh M. Syaom Barliana, dosen Jurusan
Pendidikan Arsitektur Universitas Pendidikan Indonesia)
Menurut beliau, kajian semiotika tidak hanya berpusat pada tanda-tanda, tetapi juga
mengkaji struktur, jenis, dan tipologinya. Semiotika hanya mengkaji semua itu di dalam
lingkungan masyarakat. Kajian semiotika berkaitan dengan filsafat strukturalisme dan
poststrukturalisme. Strukturalisme memusatkan perhatian pada struktur, namun tidak
sepenuhnya sama dengan struktur yang menjadi sasaran perhatian teori fungsionalisme
struktural. Strukturalisme lebih memusatkan perhatian pada struktur linguistik. Sedangkan
poststrukturalisme, menurut Jacques Derrida, tokoh utama pendekatan ini melihat bahasa
tak teratur dan tak stabil. Derrida menurunkan peran bahasa yang menurutnya hanya
sekedar “tulisan” yang tidak memaksa penggunanya, dia juga melihat bahwa lembaga
sosial tak lain hanya sebagai tulisan, karena itu tak mampu memaksa orang. Konteks yang
berlainan memberikan kata-kata dengan arti yang berlainan pula. Akibatnya sistem bahasa
tak mempunyai kekuatan memaksa terhadap orang, yang menurut pandangan teoritisi
strukturalis justru memaksa. Bisa dikatakan, teori Semiotika lahir untuk melengkapi kedua
teori tersebut.
J.H. Lambert, seorang filsuf jerman yang sempat dilupakan, menggunakan kata
semiotika sebagai sebutan untuk tanda. Untuk beberapa masa, perbincangan mengenai
semiotika sempat tenggelam dan tidak menarik perhatian para filsuf atau pemerhati ilmu
bahasa dan kesastraan lainnya. Baru setelah seorang filsuf Logika Amerika pertama, C.S.
Peirce (1834-1914) menuliskan pikirannya guna mendapatkan perhatian pada tahun 30-an,
semiotika kembali dikenal di abad barunya. Hal ini diperkenalkan oleh Charles Morris
(Amerika) dan Max bense (Eropa). Perkembangan semiotika sebagai salah satu cabang ilmu
memang tergolong sebagai ilmu tua yang baru. Perkembangan teori semiotika tidak dapat
dikatakan pesat. Ilmu tanda, sistem tanda, serta proses dalam penggunaan tanda hingga pada
taraf pemahaman melalui makna memerlukan kepekaan yang besar. Makna yang berada
dibalik setiap karya sastra atau bahasa, dengan kepekaan tersebut akan dapat diungkap dan
dipahami dengan baik. (Dikutip dari SEMIOTIKA: TEORI DAN APLIKASI PADA
KARYA SASTRA Oleh Ambarini AS, M.Hum dan Nazla Maharani Umaya, M.Hum.
halaman 27)
Sebagai ilmu tanda, semiotik membagi aspek tanda menjadi petanda (signifier) dan
petanda (signified) dengan pemahaman penanda sebagai bentuk formal yang menandai
petanda, dipahami sebagai sesuatu yang ditandai oleh penanda. Unsur karya sastra dalam
bentuk tanda dibedakan atas ikon, dengan pengertian sebagai tanda yang memiliki hubungan
alamiah antara penanda dan petanda, ideks sebagai tanda yang bersifat memiliki hubungan
kausal antara penanda dan petanda, serta simbol yang merupakan tanda petunjuk yang
menyatakan tidak adanya hubungan alamiah antara penanda dan petanda, bersifat arbitrer dan
ditentukan oleh konvensi (kesepakatan bersama). Kaitannya dengan bahasa dan sastra
(kesusastraan) maka pendekatan semiotik ditetapkan pada 29 tindakan analisis tanda yang
terbaca terhadap karya sastra terbaca. Secara struktural, Barthes (1957) menyatakan bahasa
atau perangkat yang digunakan untuk menguraikan bahasa (metabahasa) dan konotasi
merupakan hasil pengembangan dalam cara manusia memaknai tanda. (Dikutip dari
SEMIOTIKA: TEORI DAN APLIKASI PADA KARYA SASTRA Oleh Ambarini AS,
M.Hum dan Nazla Maharani Umaya, M.Hum. halaman 32)
Semiotika sebagai ilmu tanda menganggap teks dipenuhi ragam tanda, dan dalam hal ini
identifikasi tanda dan susunan tanda alam teks dipahami melalui sistem semiotika. Tanda
diidentifikasikan berupa kata-kata, gambar-gambar yang menghasilkan makna dan terdiri
atas penanda (signifier) dan petanda (signified) dengan konsep yang diwakili oleh tanda
tersebut.
SAJAK MATAHARI
Oleh :
W.S. Rendra
B. TEORI
1. 5 Kode Roland Barthes
Belajar memahami kode dengan menggunakan Teori dari Roland Barthes akan
memudahkan pembaca untuk menilai tingkat konotasi sebuah teks. Dalam bukunya,
Barthes mengembangkan teori kode dengan membongkar teks Balzac Sarrisine, dengan
cara memecahkannya menjadi beberapa bagian, memberi nomor, dan membongkarnya
kembali menjadi 48 tema kemudian menghasilkan 5 kode yang paling popular.
Pertama, kode hermeneutik. Di bawah kode hermeneutik, orang akan mendaftar
beragam istilah (formal) yang berupa sebuah teka-teki (enigma) dapat dibedakan, diduga,
diformulasikan, dipertahankan, dan akhirnya disingkapi. Atau dengan kata lain, kode
hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah
mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya?
Jawaban yang satu menunda yang lain. Kode ini disebut pula sebagai suara kebenaran
(The Voice of Truth).
Kedua, kode proairetik atau kode narasi. Merupakan tindakan naratif dasar (basic
narative action), yang tindakan-tindakannya dapat terjadi dalam berbagai sikuen yang
mungkin diindikasikan. Kode ini disebut pula sebagai suara empirik.
Ketiga, kode budaya. Sebagai referensi kepada sebuah ilmu atau lembaga ilmu
pengetahuan. Biasanya orang mengindikasikan kepada tipe pengetahuan(fisika, fisiologi,
sejarah, dan sebagainya). Kemudian, dicoba untuk mengkonstruksikan sebuah budaya
yang berlangsung pada satu kurun waktu tertentu yang berusaha untuk diekspresikan.
Kode ini disebut pula sebagai suara ilmu.
Keempat, kode semantik. Kode ini merupakan sebuah kode relasi penghubung
(medium-relatic-code), yang merupakan konotasi dari orang, tempat, obyek, yang
petandanya adalah sebuah karakter (sifat, atribut, predikat). Misalnya konotasi
femininitas, maskulinitas. Atau dengan kata lain, kode semantik adalah tanda-tanda yang
ditata sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminin, kebangsaan, kesukuan,
loyalitas.
Kelima, kode simbolik. Tema merupakan sesuatu yang tidak stabil, dan tema ini
dapat ditentukan dan beragam bentuknya sesuai dengan pendekatan sudut pandang
(perspektif) yang digunakan. Kode simbolik juga berkaitan dengan psikoanalisis,
antitesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur, skizofrenia.
Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1)
dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda
konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika
mengenal tanda “singa”, barulah muncul konotasi harga diri, kegarangan, dan keberanian
menjadi mungkin (Cobley dan Jansz dalam Sobur).
Pada peta tanda Roland Barthes tersebut diatas dapat diuraikan secara lebih sederhana
bahwa munculnya sebuah makna denotasi tidak terlepas dari adanya sebuah penanda dan
juga petanda. Namun tanda denotasi juga dapat membuat persepsi kepada sebuah
penanda konotasi. Tetapi jika dapat mengenal adanya bentuk seperti “bunga mawar” .
maka persepsi petanda konotasi yang akan muncul dari bunga mawar adalah cinta,
romantis, dan kelembutan. Itu karena sudah adanya kesepakatan pada sebagian
masyarakat tertentu.
C. ANALISIS
1. tanda pertama “Terbenam”
1. Terbenam 2. Tenggelam
III. seseorang yang terjebak dan tidak ada jalan keluar sehingga
mendapatkan hukuman akibat dari perbuatannya.
Penanda (1) terbenam menempati petanda (1) dalam ranah denotatif. Penanda (1)
menumbuhkan petanda (2) pada ranah denotatif. Petanda (2) ini merupakan hal yang
ditandakan oleh penanda (1) yang menjelaskan bahwa terbenam yang artinya tenggelam atau
masuk ke dalam sehingga tidak terlihat lagi. Tanda (3/I) pada ranah ini denotatif sekaligus
menjadi penanda (1) pada ranah konotatif. Tanda (3) yang dimaksud adalah terjebak. Dengan
demikian, tanda ini menjelaskan bahwa seseorang dalam keadaan terjebak dan tidak tau arah
jalan keluar. Tanda ini terbentuk karena adanya penanda dan petanda pada ranah denotatif
yang tidak bisa terpisahkan sehingga menjadi penanda pada ranah konotatif. Maksudnya,
keadaan terjebak yang dialaminya sehingga dia tidak menemukan jalan keluar merupakan
hukuman hasil dari perbuatannya.
Tanda (III) merupakan simpulan dari pertemuan penanda (I) dan petanda (II) yang
melahirkan sebuah mitos. Mitos “terjebak” ini bermakna “hukuman”.
1. Lumpur 2. Tanah
lunak dan
berair
3/I. Kotor, rendah II. Kesengsaraan hidup
Penanda (1) lumpur menempati petanda (1) dalam ranah denotatif. Penanda (1)
menumbuhkan petanda (2) pada ranah denotatif. Petanda (2) ini merupakan hal yang
ditandakan oleh penanda (1) yang menjelaskan bahwa lumpur yang artinya tanah lunak dan
berair. Tanda (3/I) pada ranah ini denotatif sekaligus menjadi penanda (1) pada ranah
konotatif. Tanda (3) yang dimaksud adalah kotor dan rendah. Dengan demikian, tanda ini
menjelaskan bahwa seseorang mengalami kesengsaraan dalam hidupnya yang sangat
menyakitinya. Tanda ini terbentuk karena adanya penanda dan petanda pada ranah denotatif
yang tidak bisa terpisahkan sehingga menjadi penanda pada ranah konotatif. Maksudnya,
kesengsaraan yang dialaminya terasa sangat mengganggu.
Tanda (III) merupakan simpulan dari pertemuan penanda (I) dan petanda (II) yang
melahirkan sebuah mitos. Mitos “lumpur” ini bermakna “sengsara”.
Penanda (1) lelaki gundul menempati petanda (1) dalam ranah denotatif. Penanda (1)
menumbuhkan petanda (2) pada ranah denotatif. Petanda (2) ini merupakan hal yang
ditandakan oleh penanda (1) yang menjelaskan bahwa lelaki gundul yang artinya lelaki yang
tidak memiliki rambut. Tanda (3/I) pada ranah ini denotatif sekaligus menjadi penanda (1)
pada ranah konotatif. Tanda (3) yang dimaksud adalah para pekerja atau buruh lelaki.
Dengan demikian, tanda ini menjelaskan bahwa para buruh laki-laki itu adalah seorang
pesuruh yang diminta untuk menebang pohon . Tanda ini terbentuk karena adanya penanda
dan petanda pada ranah denotatif yang tidak bisa terpisahkan sehingga menjadi penanda pada
ranah konotatif. Maksudnya, para buruh laki-laki itu menjadi budak bagi para tuannya,
mereka diperintahkan untuk menebang pohon-pohon di hutan yang lebat. Tanda (III)
merupakan simpulan dari pertemuan penanda (I) dan petanda (II) yang melahirkan sebuah
mitos. Mitos “buruh lelaki” ini bermakna “pesuruh” atau “budak”.
Penanda (1) mata mereka menyala menempati petanda (1) dalam ranah denotatif.
Penanda (1) menumbuhkan petanda (2) pada ranah denotatif. Petanda (2) ini merupakan hal
yang ditandakan oleh penanda (1) yang menjelaskan bahwa mata mereka menyala yang
artinya orang-orang yang matanya menyala. Tanda (3/I) pada ranah ini denotatif sekaligus
menjadi penanda (1) pada ranah konotatif. Tanda (3) yang dimaksud adalah kemarahan.
Dengan demikian, tanda ini menjelaskan bahwa dunia dalam keadaan tidak senang atau
murka karena suatu hal yang menjengkelkan. Tanda ini terbentuk karena adanya penanda dan
petanda pada ranah denotatif yang tidak bisa terpisahkan sehingga menjadi penanda pada
ranah konotatif. Maksudnya, akibat dari orang-orang yang menebang pohon sembarangan,
dunia menjadi marah.
Tanda (III) merupakan simpulan dari pertemuan penanda (I) dan petanda (II) yang
melahirkan sebuah mitos. Mitos “kemarahan” ini bermakna “kemurkaan”.
D. Kesimpulan
Menurut Barthes (dalam Sobur 2006:15) semiotika merupakan ilmu atau metode analisis
untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha
mencari jalan didunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama. Semiotika, atau
semiologi menurut Barthes pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan
(humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat
dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa
objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam mana objek-objek itu hendak
berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.
Terdapat 5 kode tinjauan Barthes, yaitu: 1) Kode hermeneutika, 2) kode proairetik, 3)
kode budaya, 4) kode semantic, dan 5) kode simbolik.
Dalam puisi “Sajak Matahari” karya WS Rendra, ditemukan 5 tanda yaitu terbenam,
lumpur, menanam, lelaki gundul, dan mata mereka menyala.
DAFTAR PUSTAKA
https://bahrurrosyididuraisy.wordpress.com/puisi-w-s-rendra/
Swandayani, Dian. 2005. Tokoh Cultural Studies Perancis: Roland Barthes. Makalah
dipresentasikan dalam Seminar Internasional Rumpun Sastra, Fakultas Bahasa dan Seni,
UNY Yogyakarta, pada 14—15 September 2005
Yasraf Amir Piliang. 2003. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna.
Bandung : Jalasutra