Anda di halaman 1dari 7

Nama : Tiara Aulia Putri

NPM : 1406570902
Pengkajian Prosa Indonesia

Analisis Psikologi dalam Novel Telegram Karya Putu Wijaya


Novel Telegram merupakan novel kedua setelah Bila Malam Bertambah Malam (1971)
karya I Gusti Ngurah Putu Wijaya atau yang biasa dikenal sebagai Putu Wijaya, yang lahir di
Puri Anom, Tabanan, Bali, 11 April 1944. Novel Telegram pertama kali diterbitkan pada tahun
1973 oleh Pustaka Jaya dan pernah mendapat juara pertama sayembara mengarang roman yang
diselenggarakan oleh Panitia Tahun Buku Internasional pada tahun 1972 Daerah Khusus Ibukota
Jakarta.
Novel ini mengisahkan seorang lelaki dihantui firasat akan menerima telegram dari
kampungnya. Ia selalu berpikir bahwa sebuah telegram pasti mengabarkan malapetaka.
Kesadaran si Lelaki bercampur dengan khayalan-khayalan yang ia ciptakan sendiri. Dalam
khayalannya, ia betul-betul menerima telegram dari kampungnya yang mengabarkan bahwa
ibunya meninggal dunia, itu berarti malapetaka baginya. Masalahnya, sebagai anak sulung ia
bertanggungjawab terhadap pengurusan jenazah ibunya (red. ngaben), mengurus beberapa hektar
tanah, tiga buah rumah dengan semua penghuninya dan tugas berat lainnya yang harus ia pikul
sebagai seorang kepala keluarga. Semuanya wajib ia lakukan, sebab kalau tidak itu berarti ia
putus hubungan dengan keluarganya.
Sewaktu Sinta, anak angkatnya menanyakan isi telegram itu. Lelaki itu terpaksa
berbohong kepada Sinta. Ia tidak tahu bahwa sebenarnya Sinta sudah mengetahui isi telegram
tersebut. Sehingga, ketika Sinta mendesaknya, terpaksa ia harus mengakui yang sebenarnya.
Akhirnya, keduanya sepakat untuk segera bersiap-siap ke Bali. Sebelum berangkat tiba- tiba
muncul masalah baru, yaitu ibu kandung Sinta kembali. Awalnya, si Lelaki menolak mentahmentah permintaan ibu kandung Sinta. Namun, akhirnya keduanya sepakat untuk menyerahkan
pilihannya itu pada Sinta. Belum selesai masalahnya dengan ibu kandung Sinta, datang lagi
masalah baru yaitu ia tiba-tiba merasa takut akibat kesehatannya yang makin menurun. Ia
berpikir pasti penyakit itu datangnya dari Nurma, pelacur yang sering ditidurinya.

Pada akhirnya, lelaki itu mengalami depresi kejiwaan. Ia tak bisa membedakan antara
realita dan khayalan yang ada di kepalanya. Satu-satunya pelarian baginya adalah Rosa, pacar
khayalannya, yang juga telah memutuskan hubungan dengan lelaki itu. Sampai suatu hari,
seseorang mengantarkan sebuah telegram kerumahnya yang mengabarkan bahwa Ibunya telah
meninggal dunia. Hal itu seakan menjadikan khayalannya sebuah kenyataan.
Unsur ekstrinsik dalam novel Telegram ini adalah unsur psikologi yaitu Konsep
Unconscious. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud dalam teorinya,
Psikoanalisis, pada tahun 1900-an. Teori Psikoanalisis berhubungan dengan fungsi dan
perkembangan mental manusia (Minderop, 2010:10).
Psikoanalisis mendasarkan pemikirannya pada proses bawah sadar (unconscious mind)
yang membetuk perilaku dan segala penyimpangan perilaku sebagai akibat proses tak sadar.
Psikoanalisis tidak bertujuan atau mencari apapun kecuali penemuan tentang alam bawah sadar
dalam kehidupan mental. (Freud, 2002:424)
Freud menyatakan bahwa pikiran manusia lebih dipengaruhi oleh alam bawah sadar
(unconscious mind) ketimbang alam sadar (conscious mind). Ia melukiskan bahwa pikiran
manusia seperti gunung es yang justru bagian terbesarnya berada di bawah permukaan laut yang
tidak dapat dilihat. Ia mengatakan kehidupan seseorang dipenuhi oleh berbagai tekanan dan
konflik, untuk meredakan tekanan dan konflik tersebut manusia rapat menyimpannya di alam
bawah sadar. Freud merasa yakin bahwa perilaku seseorang kerap dipengaruhi oleh alam bawah
sadar yang mencoba memunculkan diri, dan tingkah laku itu tampil tanpa disadari. (Minderop,
2010: 13)
Menurut Freud, hasrat tak sadar selalu aktif, dan selalu siap muncul. Kelihatannya hanya
hasrat sadar yang muncul, tetapi melalui suatu analisis ternyata ditemukan hubungan antara
hasrat sadar dengan unsur kuat yang datang dari hasrat taksadar. Hasrat yang timbul dari alam
taksadar yang direpresi selalu aktif dan tidak pernah mati. (Minderop, 2010: 15)
Freud menghubungkan kondisi bawah sadar dengan gejala-gejala neurosis. Aktivitas
bawah sadar tertentu dari suatu gejala neurosis memiliki makna yang sebenarnya terdapat dalam
pikiran. Namun, gejala neurosis tersebut akan diketahui setelah gejala tersebut muncul ke alam

sadar yang sesungguhnya merupakan gambaran gejala neurosis yang diderita seseorang di alam
bawah sadarnya. (Freud, 2002: 297)
Dalam novel Telegram karya Putu Wijaya tindakan-tindakan tokoh utamanya yaitu Aku
selalu dipengaruhi oleh tekanan atau konflik yang berada di alam bawah sadarnya (unconscious
mind) yang berusaha mencari pelepasan ketegangan. Tindakan-tindakan pelepasan ketegangan
tersebut akhirnya berwujud sebagai Rosa, yang merupakan pacar khayalan ciptaan tokoh Aku.
Aku ada janji dengan Rosa. Sebagaimana biasa aku mengganggap setiap
perjumpaan dengannya adalah peristiwa resmi (Putu Wijaya, 1986: 5)
Setiap tokoh Aku mengalami masalah dalam kesehariannya, ia akan selalu
menghadirkan sosok Rosa. Namun, kebiasaannya yang selalu mencari objek pelepasan
ketegangan dengan menghayalkan Rosa, menjadikan tokoh Aku terkadang tak dapat lagi
membedakan kapan ia berkhayal dan kapan ia dalam keadaan tidak berkhayal. Pada puncaknya,
khayalan tokoh Aku mengenai Rosa tidak dapat lagi dikontrol. Rosa menjadi hidup, ia tidak
lagi berupa tokoh khayalan tokoh Aku, namun ia menjadi sosok yang mempunyai kesadaran
sendiri. Akhirnya, tokoh Aku menghentikan khayalannya tentang Rosa karena ia menganggap
khayalannya ini berbahaya dan jika diteruskan memungkinkan tokoh Aku menjadi gila.
Aku masih mencoba menanyainya. Tak bisa lagi. Ia sudah di luar kekuasaankku.
Ia sudah di luar bayanganku. Ia bukan tokoh khayal lagi. Seorang wanita biasa
utuh dengan rahasianya, temperamennya maupun kemauannya untuk melakukan
keinginannya sendiri. Ia telah terlepas dari tanganku. Ajaib, setelah tiga ribu kali
pacaran, ia hidup dan lepas (Putu Wijaya, 1986: 125-126)
Selain sosok Rosa, tokoh Aku juga mencari pelepasan ketegangan dengan tokoh Nurma,
seorang pelacur yang biasa tokoh Aku datangi ketika ia sedang banyak masalah. Kesinilah aku
biasa menyelesaikan dan melarikan setiap persoalan yang tak bisa kuhadapi sendiri (Putu
Wijaya, 1986: 32)
Tokoh Aku yang tidak dapat membedakan keadaan ia berkhayal atau tidak mendapatkan
sebuah telegram dari keluarganya di Bali. Ia mengganggap telegram sebagai sebuah malapetaka
yang hanya datang pada saat ada kabar buruk. Dalam pikiran tokoh Aku isi telegram itu
3

mengabarkan bahwa ibunya telah meninggal dan ia diminta untuk segera pulang. Seperti dalam
kutipan berikut.
Kurogoh saku, mengeluarkan kembali telegram itu. Putih, pendek, resmi
sebagaimana umumnya telegram. Aku membacanya kembali untuk diriku: IBU
MENINGGAL CEPAT PULANG TITIK. (Putu Wijaya, 1986: 28)
Pada saat tokoh Aku dan anak angkatnya Sinta hendak pulang dari Stasiun Gambir,
tokoh aku telah sadar dan membaca kembali telegram yang ditemukan oleh Sinta semalam
bahwa isinya ternyata adalah ibunya sakit keras dan menyuruhnya untuk cepat pulang.
Di dalam helicak yang mengantar kami pulang, aku mengebitkan telegram itu
kembali. Walaupun dengan perasaan yang tetap tidak enak. Isinya kami baca
bersama-sama: IBU SAKIT KERAS CEPAT PULANG TITIK. (Putu Wijaya,
1986: 57)
Pada saat yang lain, tokoh Aku mengkhayal ia dan sahabatnya mengalami banyak
masalah dan mereka berdua memilih untuk melupakan semua masalahnya dengan berhujanhujanan bersama anak-anak kecil di jalanan. Bermain, mendorong mobil-mobil yang mogok,
berlari-larian, sampai pada saat mereka lelah dan memilih bertepi di warung di pinggir jalan
untuk mengeringkan tubuh mereka. Lalu tokoh aku pergi mengendap-endap di balik tembok
hendak menyelamatkan diri dari kejaran diri sendiri. Dan akhirnya tokoh Aku berjumpa dengan
sahabatnya, keluarganya, keluarga sahabatnya, Sinta, dan Rosa. Tokoh Aku yang bingung
kenapa semuanya ada disana akhirnya tersadar bahwa itu semua hanyalah mimpi.
Aku merasa malang sekali. Untunglah aku segera dapat menginsafkan diri
bahwa semuanya itu hanya mimpi. Omong kosong. Lelucon. Permainan bathin
yang capek. Terhibur juga. (Putu Wijaya, 1986: 48)
Tokoh Aku mengalami demam yang tinggi dan ia mulai berpikir bahwa ia tertular
penyakit dari Nurma tetapi ia tidak mengatakan kepada dokter Goenawan. Tokoh Aku semakin
berpikir bahwa ia akan segera meninggal karena penyakitnya tersebut. Pada saat ia pulang ke
rumah Sinta mengatakan bahwa mukanya merah-merah dan setelah dilihat bahwa seluruh
badannya mengalami bintik-bintik merah. Tokoh Aku mengatakan bahwa ia menderita penyakit
4

menular dan orang-orang dilarang untuk mendekatinya. Setelah dokter Syubah datang dan
memeriksanya, dokter Syubah mengatakan bahwa tokoh Aku tidak sakit keras dan hanya
mengalami alergi akibat obat yang diberikan oleh dokter Goenawan. Akhirnya ia pun merasa
sedikit lebih baik dan jauh dari kematian.
Aku menyesal sekali mengapa tidak bilang saja padanya, penyakit yang kudapat
dari Nurma kambuh lagi, supaya dapat kapsul. (Putu Wijaya, 1986: 62)
Perasaan mau mati terus mengejar-ngejar. Tubuhku masih dapat kukuasai
meskipun memang lesu sekali rasanya. (Putu Wijaya, 1986: 83)
Dokter Syubah, menghidupkan aku kembali. Setelah memeriksa bintik-bintik
yang misterius itu, ia hanya menyangka aku kena alergi. Barangkali obat dokter
Goenawan terlalu serampangan. Syubah memberikan aku kapsul berwarna merah
hitam, pel merah untuk menurunkan panas dan incidal yang kecil-kecil lucu
bentuknya. Meskipun aku curiga karena ia tidak mengatakan penyakitku yang
sebenarnya, aku pulang dengan perasaan yang agak reda. (Putu Wijaya, 1986:
91)
Dalam kondisi seperti itu tokoh Aku tidak dapat membedakan dunia khayal dan dunia
nyata. Semakin ia mengalami banyak masalah dan kondisi tubuhnya yang sedang sakit tingkat
khayalan tokoh Aku semakin menjadi-jadi. Pada saat ia bertemu dengan orangtua Sinta, anak
angkatnya, yang datang untuk mengambil kembali Sinta dari tokoh Aku setelah sepuluh tahun,
tokoh Aku sangat marah dan tidak dapat mengendalikan dirinya. Karena ia lebih banyak hidup
di dalam khayalannya, ia jadi tidak bisa menerima kenyataan yang ia alami di dunia nyata.
Sampai pada akhirnya tokoh Aku mengetahui semuanya yang ia alami sebelumnya
adalah khayalan ia semata. Semua yang ia rasakan, alami, temui, semuanya adalah khayalan.
Tidak ada tokoh Rosa, Nurma, semua yang ia lalui bersama sahabatnya Zen, orangtua Sinta yang
datang kepadanya, telegram dari Bali, semuanya hanyalah mimpi, khayalan tokoh Aku. Hal ini
dibuktikan dalam kutipan berikut.
Tidak ada bulan. Tidak ada Balu. Tidak ada telegram. Tidak ada Rosa. (Putu
Wijaya, 1986: 136)
5

Diakhiri dengan tokoh Aku dan Sinta yang akan berangkat ke Bali, lalu Bibi datang dan
membawa secarik kertas yang ternyata adalah sebuah telegram dan isinya seperti yang sudah
diduga oleh tokoh Aku bahwa ibunya telah meninggal. Dibuktikan dalam kutipan berikut ini.
Pintu diketok. Bibi keluar menjenguk. Ia masuk lagi membawa secarik kertas.
Telegram. Hatiku bereaksi. Telegram dibuka. Isinya seperti yang sudah kuduga.
Ibu telah meninggal (Putu Wijaya, 1986: 153)
Sebagai sebuah karya sastra, novel Telegram karya Putu Wijaya ini memiliki keunggulan
bangunan cerita yang menarik. Ceritanya merupakan perpaduan antara realitas dan khayalan
yang dialami tokoh utamanya. Bahkan terdapat seorang tokoh yang merupakan rekaan dari tokoh
lainnya, bersifat khayalan dan tak nyata, namun tetap digambarkan hidup di dalam novel ini.
Putu Wijaya sukses menggambarkan bagaimana kehidupan pada saat itu yang penuh
dengan tekanan dalam keseharian yang muncul sebagai masalah-masalah yang dihadapi oleh
manusia melalui sebuah karya novel.
Dalam menghadapi tekanan yang terdapat dalam alam bawah sadar (unconscious)
manusia membutuhkan suatu bentuk pelepasan ketegangan dan setiap orang memiliki cara yang
berbeda dalam menanganinya. Sebagai tokoh utama dalam novel Telegram, tokoh Aku memilih
mewujudkan pelepasan ketegangannya sebagai sosok Rosa, hingga kemudian sosok ini lepas dari
kendalinya dan ia memilih untuk menghapus Rosa. Selain sosok Rosa tokoh Aku juga
mewujudkan pelepasan ketegangannya dengan sosok Nurma, Zen sahabatnya, dan orang-orang
yang berada di dalam pikirannya.
Dari novel ini, pengarang ingin memperlihatkan bahwa orang yang terlihat biasa-biasa
saja bisa melakukan tindakan-tindakan luar biasa yang diakibatkan oleh represi konflik dalam
alam bawah sadarnya (unconscious).

Daftar Pustaka
Freud, Sigmund. 2002. General Introduction to Psychoanalysis: Psikoanalisis diterjemahkan
oleh Ira Puspitorini. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Minderop, Dr.Albertine,M.A. 2010. Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh
Kasus. Edisi Pertama. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Wijaya, Putu. 1986. Telegram. Cetakan ketiga (Cetakan I 1973). Jakarta: Pustaka Jaya.

Anda mungkin juga menyukai