Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Karya sastra pada umumnya menceritakan kenyataan hidup dalam bentuk
artistik sehingga mempunyai arti tersendiri bagi penikmatnya. Begitu pun
dengan drama. Umumnya jarang disadari kalau drama itu sungguh penting. Di
dalam drama terdapat prosa dan puisi, yang tidak kalah menarik bagi subjek
didik. Banyak orang berasumsi, drama itu sekedar tontonan. Memang hal
tersebut tidak keliru. Hampir semua drama dipentaskan memang untuk
ditonton. Drama tanpa penonton jelas sulit ditafsirkan, apakah menarik atau
tidak. Karena yang dapat memberikan apresiasi adalah penonton, siapa pun dan
apa
pun latar belakangnya. Drama sendiri adalah karya yang memiliki daya
rangsang cipta, rasa, dan karsa yang amat tinggi. Sama halnya seperti karya
sastra lainnya, drama pun dapat dikaji menggunakan teori-teori yang ada.
contohnya seperti teori sosiologi sastra, teori psikologi sastra, teori pos-
kolonial, teori kritik sastra.
Kisah percintaan memang selalu menjadi hal menarik untuk diulas. Begitu
pun pada naskah drama karya Utuy Tatang Sontani yang berjudul Awal dan
Mira. Naskah drama klasik yang menceritakan bagaimana perjuangan pria
bernama Awal yang begitu berat memperjuangkan cintanya pada perempuan
bernama Mira. Naskah drama dasarnya memiliki kesamaan seperti karya sastra
percintaan lainnya yang juga ikut memunculkan kata-kata penuh gelora asmara
dari seorang jejaka kepada perempuannya.
Dalam naskah Awal dan Mira, tokoh Awal tak jarang melemparkan jurus-
jurus mautnya pada Mira berupa kata-kata yang sangat hiperbolis agar Mira
luluh dan mau menerima perasaan yang dimiliki Awal. Dalam naskah Utuy
Tatang Sontani ini diperlihatkan juga sikap Mira yang seakan jual mahal
terhadap maksud hati seorang pria. Beruntunglah karena memang Mira terlahir
sebagai gadis cantik, sehingga menjadikannya semakin tak gampang untuk

1
Awal menaklukkan hatinya. Namun, setiap cerita jelas memiliki alurnya sendiri
dan setiap tokoh sudah digariskan takdirnya oleh sang penulis.
Jika kita berpikir naskah drama karya Utuy ini sama seperti karya sastra
percintaan klasik lainnya jelas itu sebuah kekeliruan. Naskah drama Utuy ini
jelas berbeda, ada sejumlah perihal pengaluran atau penyebaban dalam kisah
drama ini yang cukup membuat kita bisa menilai bahwa kisah tak dibuat
semena-mena, begitu saja, alias tak orisinil atau Cuma mengulang plot yang
sudah umum dalam kisah serupa.
Ada keistimewaan yang muncul dalam naskah drama yang diciptakan Utuy
agar para penikmatnya menganggap karya tersebut dapat dikatakan sebagai
karya sastra, meski dengan tema umum seperti percintaan. Keistimewaan
tersebutlah yang menjadikan naskah drama Awal dan Mira karya Utuy sebagai
salah satu karya sastra yang dipilih penulis sebagai bahan kajian yang akan
dikaji menggunakan pendekatan sosiologi.
1.2 Rumusan Masalah

Hal-hal yang akan dikaji dalam makalah ini terdiri atas beberapa bahasan,
seperti berikut:
1. Bagaimana konteks sosial pengarang pada naskah drama Awal dan Mira
karya Utuy Tatang Sontani?
2. Bagaimana gambaran masyarakat yang tercermin dalam naskah drama
Awal dan Mira karya Utuy Tatang Sontani?
3. Bagaimana fungsi sosial naskah drama Awal dan Mira karya Utuy Tatang
Sontani?
1.3 Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan bagaimana konteks sosial pengarang yang
tercermin di dalam naskah drama Awal dan Mira karya Utuy Tatang
Sontani
2. Untuk mendeskripsikan bagaimana gambaran masyarakat yang tercermin
di dalam naskah drama Awal dan Mira karya Utuy Tatang Sontani.
3. Untuk mendeskripsikan bagaimana fungsi sosial dalam naskah drama
karya Utuy Tatang Sontai.

2
1.4 Manfaat

Penelitian ini dapat dijadikan bahan bacaan atau pegangan dalam melakukan
penelitian berikutnya khususnya penelitian dengan pendekatan sosiologi sastra.

3
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Drama

Drama adalah karya yang memiliki daya rangsang cipta, rasa, dan karsa
yang amat tinggi. Sesungguhnya, dalam drama juga terkandung aspek negatif, di
antaranya drama yang memuat kekerasan dan adegan seksual, kadang memicu
penonton untuk meniru. Drama yang menawarkan erotika tersembunyi pun sering
memengaruhi romantika hidup berkeluarga. Bahkan romantika dalam drama sering
kali juga memperdaya antar-pelaku untuk saling berkasih-kasihan di luar panggung.

Drama merupakan genre (jenis) karya sastra yang menggambarkan


kehidupan manusia dengan gerak. Drama menggambarkan realita kehidupan,
watak, serta tingkah laku manusia melalui peran dan dialog yang dipentaskan.

Adapun pengertian lain yang di ambil dari berbagai sumber yaitu sebagai berikut:

 Drama ialah sebuah cerita konflik kehidupan manusia berbentuk dialog


yang dipentaskan menggunaan aksi dan percakapan yang dihadapkan
kepada audiance.
 Drama juga dapat berarti situasi, action, kualitas komunikasi dan axciting
(kehebatan)

Percakapan atau dialog dalam pertunjukkan sebuah drama diatas panggung


merupakan hal yang sangat penting, karena didalam dialog tersebut menentukan isi
dari cerita drama yang dipentaskan. Drama kini telah banyak dinikmati sebagai
suatu hiburan ataupun pengetahuan tentang sejarah dan pengalaman hidup
seseorang yang ditampilkan diberbagai media seperti televisi. (wikipedia).

Menurut Tjahjono (1988: 186) drama termasuk dalam karya sastra adalah
naskah ceritanya. Sebagai karya sastra, drama memiliki keunikan tersendiri. Drama
diciptakan bukan untuk dibaca saja, namun juga harus memiliki kemungkinan
untuk dipentaskan. Drama sebagai tontonan atau pertunjukan inilah yang sering

4
disebut dengan istilah teater. Sebagai sebuah seni pertunjukan, drama memiliki sifat
ephemeral, artinya bermula pada suatu malam dan berakhir pada malam yang sama.

2.2 Teori Sosiologi Sastra


Kata sastra secara etimologis dalam bahasa Indonesia berasal dari
Bahasa Sansekerta, Sas artinya mengajar, memberi petunjuk atau instruksi.
Akhiran -tra biasanya menunjukkan alat atau sarana yang artinya alat untuk
mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Sedangkan sastra
dalam bahasa Barat menggunakan kata Sastra bahasa Barat istilah sastra secara
etimologis diturunkan dari bahasa Latin literature (littera = huruf atau karya
tulis). Tata bahasa dan puisi. Istilah Inggris Literature, istilah Jerman Literatur,
dan istilah Perancis litterature berarti segala macam pemakaian bahasa dalam
bentuk tertulis.
Kata Sosiologi secara terminologi berasal dari kata Yunani, yakni
kata socius dan logos. Socius dalam bahasa Yunani berarti kawan atau
berkawan ataupun bermasyarakat sedangkan kata logos artinya ilmu bisa juga
tentang sesuatu.dengan demikian sosiologi secara harfiah dapat diartikan ilmu
tentang masyarakat (Abdulsyani, 1987: 1). Sedangkan definisi sosiologi
menurut ahlinya seperti Soemarjan dan Soemarji (1964: 11) mengatakan
sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang struktur sosial dan proses-
proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Sehingga jika kata sastra
dan sosiologi dijadikan satu maka akan membentuk arti yang berbeda.Sosiologi
sastra Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 855). Sosiologi Sastra
merupakan pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat dari atau
mengenai sastra. Karya para kritikus dan sejarawan yang terutama
mengungkapkan pengarang yang dipengaruhi oleh status lapisan masyarakat
tempat ia berasal, ideologi politik dan sosialnya, kondisi ekonomi serta
khalayak yang ditujunya. Sedangkan menurut pandangan Ratna (2003: 25)
Sosiologi sastra adalah penelitian terhadap karya sastra dan keterlibatan struktur
sosialnya.
Menurut Ian Watt (dalam Damono, 1989 : 3-4) sosiologi sastra meliputi hal-hal
berikut:

5
a) Konteks Sosial Pengarang
Ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya
dengan masyarakat, pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat
mempengaruhi karya sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan dengan
:
1. bagaimana pengarang mendapat mata pencahariannya, apakah ia
mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara langsung, atau pekerjaan
yang lainnya;
2. Profesionalisme dalam kepengaragannya; dan
3. Masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.

b) Sastra Sebagai Cermin Masyarakat


Maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap cermin keadaan
masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak
disalah tafsirkan dan disalah gunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi
sastra sebagai cermin masyarakat adalah :
1. Sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada
waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya
itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis;
2. Sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi
pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya;
3. Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan
bukan sikap sosial seluruh mayarakat;
4. Sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-
cermatnya mungkin aja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat.
Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan
masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan
informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial
pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat.

2.3 Pendekatan Sosiologi Sastra

6
Dalam bukunya yang berjudul The Sociology Of Literature, Swingewood
(1972) mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai
manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses
sosial. Selanjutnya dikatakan, bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan
mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan
mengapa masyarakat bertahan hidup. Melalui penelitian yang ketat mengenai
lembaga-lembaga sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga, yang secara
bersama-sama membentuk apa yang disebut sebagai struktur sosial, sosiologi,
dikatakan memperoleh gambaran mengenai cara-cara manusia menyesuaikan
dirinya dengan dan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran
mengenai mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, yang dengannya
individu-individu dialokasikan pada dan menerima peran-peranan tertentu dalam
struktur sosial itu.

Wellek dan Warren mengungkapkan pandangannya mengenai pendekatan


sosiologi sastra. Menurutnya pendekatan pada sastra itu ada dua yaitu pendekatan
secara intrinsik dan ekstrinsik. Unsur-unsur yang ada pada karya sastra seperti tema,
alur, setting, penokohan, majas, amanat merupakan unsur-unsur yang ada di dalam
sastra itu dan itu dinamakan pendekatan secara intrinsik. Sedangkan pendekatan
secara ekstrinsik adalah pendekatan yang melihat dari unsur luar karya sastra
tersebut seperti sosiologi yang dialami oleh pengarang, karya sastra dan pembaca.

Ketiga tipe sosiologi sastra di atas ditawarkan oleh Wellek dan Warren dalam
bukunya Theory of Literature (1994:109-133). Sosiologi pengarang berhubungan
dengan profesi pengarang dan institusi sastra. Masalah yang dikaji antara lain dasar
ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang, dan ideologi
pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra.
Sosiologi karya sastra mengkaji isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang
tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial.
Sosiologi pembaca mengkaji permasalahan pembaca dan dampak sosial karya
sastra, serta sejauh mana karya sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial,
perubahan dan perkembangan sosial. Paparannya sebagai berikut.

a) Sosiologi Pengarang

7
Dengan fokus agak berbeda wilayah kajian sosiologi sastra yang berorientasi
pada pengarang, yaitu pada posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan
kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dari yang dikemukakan oleh Wellek dan
Warren wilayah yang menjadi kajian sosiologi pengarang antara lain adalah:
1. status sosial pengarang,
2. ideologi sosial pengarang,
3. latar belakang sosial budaya pengarang,
4. posisi sosial pengarang dalam masyarakat,
5. masyarakat pembaca yang dituju,
6. mata pencaharian sastrawan (dasar ekonomi produksi sastra),
7. profesionalisme dalam kepengarangan.

b) Sosiologi Karya Sastra


Sosiologi karya sastra adalah kajian sosiologi sastra yang mengkaji karya
sastra dalam hubungannya dengan masalah-masalah sosial yang hidup dalam
masyarakat. Sosiologi sastra ini berangkat dari teori mimesis Plato, yang
menganggap sastra sebagai tiruan dari kenyataan.
Fokus perhatian sosiologi karya sastra adalah pada isi karya sastra, tujuan, serta hal-
hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan
masalah sosial (Wellek dan Warren, 1994). Oleh Watt (via Damono, 1979:4)
sosiologi karya sastra mengkaji sastra sebagai cermin masyarakat. Apa yang
tersirat dalam karya sastra dianggap mencerminkan atau menggambarkan kembali
realitas yang terdapat dalam masyarakat.
Mengaji dari dua ahli sastra di atas, ada beberapa masalah yang menjadi
wilayah kajian sosiologi karya sastra adalah isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal
lain yang tersirat dalam karya sastra yang berkaitan dengan masalah sosial. Di
samping itu, sosiologi karya sastra juga mengkaji sastra sebagai cermin
masyarakat, sastra sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat kenyataan sosiol
budaya suatu masyarakat pada masa tertentu (Junus, 1986), mengkaji sastra sebagai
bias (refract) dari realitas (Harry Levin).
Kajian sosiologi karya sastra memiliki kecenderungan untuk tidak melihat karya
sastra sebagai suatu keseluruhan, tetapi hanya tertarik kepada unsur-unsur

8
sosiobudaya yang ada di dalam karya sastra. Kajian hanya mendasarkan pada isi
cerita, tanpa mempersoalkan struktur karya sastra atau unsur intrinsik karya sastra.
Senada dengan pengertian di atas, sosiologi karya satra menurut kajian Junus
(1986:3-5), sebagai berikut sosiologi karya sastra yang melihat karya sastra sebagai
dokumen sosial budaya ditandai oleh :
1. unsur (isi/cerita) dalam karya diambil terlepas dari hubungannya dengan unsur
lain. Unsur tersebut secara langsung dihubungkan dengan suatu unsur
sosiobudaya karena karya itu hanya memindahkan unsur itu ke dalam dirinya,
2. pendekatan ini dapat mengambil citra tentang sesuatu, misalnya tentang
perempuan, lelaki, orang asing, tradisi, dunia modern, dan lain-lain, dalam suatu
karya sastra atau dalam beberapa karya yang mungkin dilihat dalam perspektif
perkembangan, dan
3. pendekatan ini dapat mengambil motif atau tema yang terdapat dalam karya
sastra dalam hubungannya dengan kenyataan di luar karya sastra.

c) Sosiologi Pembaca
Sosiologi pembaca merupakan salah satu model kajian sosiologi sastra yang
memfokuskan perhatian kepada hubungan antara karya sastra dengan pembaca.
Pembaca merupakan audiens yang dituju oleh pengarang dalam menciptakan karya
sastranya. Dalam hubungannya dengan masyarakat pembaca atau publiknya,
menurut Wellek dan Warren (1994), seorang sastrawan tidak hanya mengikuti
selera publiknya atau pelindungnya, tetapi juga dapat menciptakan publiknya dan
harus menciptakan cita rasa baru untuk dinikmati oleh publiknya.
Hal-hal yang menjadi wilayah kajian sosiologi pembaca antara lain
adalah permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra, serta sejauh mana
karya sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan
perkembangan sosial (Wellek dan Warren, 1994).

9
BAB III

ANALISIS

3.1 Analisis Unsur Interinsik


3.1.1 Analisis Tokoh dan Penokohan
a. Awal
Tokoh awal dalam naskah drama “Awal dan Mira” ini merupakan
tokoh utama yang paling dominan diceritakan. Tokoh Awal merupakan
sosok jejaka yang pantang menyerah terutama dalam memperjuangkan
cintanya. Terbukti pada dialog antara Awal dan Mira setelah Tukang Potret
dan Wartawan pergi meninggalkan kedai kopi Mira.
Mira: Dari itu… Mas lebih baik tinggal di rumah. Di sana kedai
kopi.
Awal: Tapi selama kau tak dapat kubawa, aku tak akan pergi.
Selain itu tokoh Awal juga memiliki sifat pemarah dan juga suka
meremehkan orang dengan cara memandang mereka seperti badut-
badut dengan omong kosongnya.
b. Mira
Tokoh Mira dalam naskah “Awal dan Mira” sama pentingnya dalam
teks drama karya yang ditulis Utuy tersebut. Tokoh Mira merupakan sosok
wanita tangguh yang mampu menjalankan hidupnya dengan kondisi
fisiknya yang cacat. Selain itu Mira memiliki sifat keras dan percaya diri
yang tinggi, hal tersebut terbukti dalam dialog berikut:
Laki-laki Muda: Melihat wajahmu saja mesti bayar?

Mira: Mengapa tidak? Memangnya istrimu di rumah cantik


seperti aku?

c. Ibu Mira
Tokoh Ibu Mira dalam naskah drama “Awal dan Mira” merupakan
tokoh sampingan. Tokoh Ibu Mira memiliki sifat perhatian dan ramah. Hal
itu dibuktikan pada dialog berikut:

10
Awal: (tegas) Saya mau bicara dengan Mira, Bu.
Ibu Mira: Tapi barangkali akan lama juga dia pergi. Tidak
dapatkah ibu menolong menyampaikan pesan Aden kepadanya?
d. Laki-laki Muda
Sama seperti tokoh Ibu Mira, tokoh Laki-laki muda pun tak begitu
berperan penting dalam naskah drama “Awal dan Mira”. Tokoh Laki-laki
Muda bahkan hanya muncul pada babak pertama. Tokoh laki-laki Muda
memiliki sifat pasrah. Hal itu terbukti pada dialog berikut:
Mira: Mengapa tidak? Memangnya istrimu di rumah lebih cantik
dari pada aku?
(Laki-laki muda itu kebingungan, tetapi akhirnya ia bangkit
berdiri)
Laki-laki Muda: (Seraya berdiri) Yah, apa boleh buat.
(Dengan tidak berkata lagi, Laki-laki Muda terus berjalan
meninggalkan kedai, pergi ke arah kanan)
e. Si Baju Biru
Tokoh Si Baju Biru hadir ketika Awal sedang menunggu
kemunculan Mira di kedai kopi milik wanita itu. Tokoh Si Baju Biru
memiliki sifat nyinyir. Selain itu sifat kasar dan suka mencampuri urusan
orang lain. Hal tersebut dapat dibuktikan pada dialog berikut:
Si Baju Biru: Apa isi suratnya, Mira?

Mira: Itu urusanku.

Selain sifat tersebut, tokoh si baju biru pun juga memiliki sifat
perayu. Hal itu terbukti pada ucapan tokoh yang berusaha menggoda
Mira dengan kata-katanya.

Si Baju Putih: Biar, serel saja.

Si Baju Biru: Tak usah… tak usah dengar radio. Lihat Mira saja
sudah puas!

f. Si Baju Putih

11
Sama halnya dengan tokoh Si Baju Biru, tokoh Si Baju Putih muncul
secara bersamaan. Tokoh Si Baju Putih memiliki sifat yang tak jauh berbeda
dengan tokoh Si Baju Biru, yaitu nyinyir dan suka mencampuri urusan
orang lai. Selain itu tokoh Si Baju Putih memiliki sifat provokator. Berikut
pembuktiannya:
(Si Baju Biru mengamangkan tinju. Awal yang sudah mengepalkan
tangan tidak berkata lagi. Terus saja menyerbu, meninjukan
kepalan tangannya kepada Si Baju Biru. Tapi Si Baju Biru yang
berbadan besar tinggi—jauh lebih besar dari badan Awal—cepat
menangkis dan terus membalas dengan mengasih pukulan sengit.
Sekali, dua kali, tiga kali ia melepaskan pukulannya dan Awal yang
berbadan kurus itu pun tak sanggup menahan serangan
pembalasan. Jatuh ia, tersungkur ke tanah).
Si Baju Putih: Terus hajar!
g. Si Perempuan
Tokoh Si Perempuan dalam naskah drama “Awal dan Mira”
memiliki sifat pencemburu dan tidak tahu etika. Hal tersebut dapat
dibuktikan dari dialog berikut:
Si Perempuan: Ayoh!
(Si laki-laki yang diperintah menurut dan mempercepat langkah.
Tapi Si Perempuan terus melihat Mira, dan setelah lama melihat
terus meludah)
Mira: (berteriak) Hei! Apa arti ludah itu? Takut suaimu direbut?
Si Perempuan: (Meludah lagi kemudian menyahut)
Memangnya?! (cepat berjalan menjauh)

h. Anak Laki-laki
Tokoh Anak Laki-laki dalam naskah drama “Awal dan Mira” sama
halnya dengan tokoh-tokoh lain yang hanya berperan sebagai tokoh
pendukung. Tokoh Anak Laki-laki memiliki sifat penurut, hal tersebut
terbukti ketika Mira menyuruh Anak Laki-laki tersebut untuk
menyampaikan perkataannya pada Awal. Berikut pembuktiannya.

12
Mira: (Sejurus kemudian kepada anak laki-laki) Katakan saja
kepadanya, bahwa saya tidak dapat meninggalkan kewajiban di sini.
Lebih baik dia saja yang datang kemari.
Anak laki-laki : (seraya melangkah akan pergi) Baik.
Mira: Katakan saya menunggu ya?
Anak laki-laki: Ya.
i. Laki-laki Tua
Tokoh laki-laki tua dalam naskah drama “Awal dan Mira” memiliki
sifat ramah. Hal itu terbukti pada dialog antara Mira dengan Laki-laki Tua.
Berikut pembuktiannya.
Laki-laki Tua: Aku tak akan membiarkan pemuda itu terlalu
lama menunggu kesempatan untuk dapat bicara lagi dengan kau.
Mira: percaya, Bapak, bahwa dia akan datang lagi di sini?
Laki-laki Tua: Aku sudah tua, Mira. Dan meskipun aku bukan
pemuda di zaman sekarang, tapi aku pun pernah merasakan apa
yang dirasakan pemuda itu (setelah laki-laki tua pergi, Mira
menghitung uang).
j. Juru Potret
Tokoh Juru Potret dalam naskah drama “Awal dan Mira” memiliki
sifat angkuh. Hal itu terbukti pada percakapan antara Juru Potret dan Mira.
Berikut pembuktiannya.

Mira : berapa akan saya dibayar?

Juru potret : Loh! Bukan kau mesti minta dibayar, Mira, tapi kau
mesti berterima kasih.

k. Wartawan
Tokoh wartawan dalam naskah drama “Awal dan Mira” memiliki
sifat mengambil keuntungan dari orang lain. Hal itu dapat dibuktikan dari
percakapan antara tokoh tersebut dengan Mira, yang mana sang Juru potret
berusaha mengambil keuntungan dari kecantikan Mira, meminta Mira agar
bersedia jika fotonya di muat di salah satu majalah.

13
Wartawan: bagaimana, Nona? Setuju, kalau potret Nona dimuat
dalam majalah saya?
Mira: berapa akan saya dibayar?
3.1.2 Analisis Latar
a. Latar Tempat
Kejelasan latar tempat dalam naskah drama satu babak “AWAL
DAN MIRA“ ini dijelaskan secara lengkap, seperti nama tempatnya. Pada
dialog ibu Mira dalam naskah drama satu babak “AWAL DAN MIRA“
menjelaskan tempat yang ditempati oleh tokoh.
“ (Dari dalam kedai) Kopi susu, Den.”
b. Latar Waktu
Latar waktu peristiwa pada naskah drama satu babak “AWAL DAN
MIRA”, banyak berlangsung pada malam hari. Salah satu peristiwa yang
berlangsung pada malam hari, yaitu ketika Laki-laki tua datang ke kedai
kopi Mira dan mengatakan bahwa malam ini sepi sekali.
“Sepi sekali malam ini, Mira.”
c. Latar Suasana
Dalam naskah drama satu babak “AWAL DAN MIRA” terdapat
suasana sepi dan tegang. Suasana sepi terjadi ketika seorang laki-laki tua
yang sedang berada di kedai kopi Mira merasakan bahwa pada malam ini
suasana sepi sekali.
“Sepi sekali malam ini, Mira.”
Selain suasana sepi yang dirasakan dalam naskah drama satu babak
“Awal dan Mira” ada suasana lain yang di hadirkan di dalam naskah
ini, yaitu suasana tegang. Suasana tegang ini terjadi ketika SI BAJU
BIRU dan AWAL bertengkar mengenai Mira.
“(Langsung berdiri) Gila kau! Gampang saja menyebut bukan
manusia padaku.
(SI BAJU BIRU mengamangkan tinju. AWAL yang sudah
mengepalkan tangan tidak berkata lagi. Terus saja menyerbu,
meninjukan kepalan tangannya kepada SI BAJU BIRU. Tapi SI
BAJU BIRU yang berbadan besar-tinggi—jauh lebih besar dari

14
badan AWAL—cepat menangkis dan terus membalas dengan
mengasih pukulan sengir. Sekali, dua kali, tiga kali ia melepaskan
pukulannya. Dan AWAL yang berbadan kurus itu pun tak
sanggup menahan serangan pembalasan Jatuh ia, tersungkur ke
tanah.)”
3.1.3 Analisis Alur
Di dalam naskah yang berjudul “Awal dan Mira” mengandung alur
campuran hal itu dapat dibuktikan pada dialog tokoh antara Mira dan Laki-
Laki Tua di kedai kopinya.
Mira: di zaman sekarang ini, dimana ada manusia….maksud saya,
manusia yang bisa dipercaya?
Laki-Laki Tua: memang, Mira, sebagai orang tua, hidup di zaman
setelah peperangan sekarang ini akupun sering bertanya-tanya.
Apakah dunia sekarang sudah akan kiamat? Dimana-mana
terjadi kekacauan, dimana-mana sekarang terjadi penggedoran,
perampokan, pembunuhan, seolah-olah sudah tak ada lagi cinta
diantara sesama manusia. Antara kita saling curiga, sedang para
pemimpin dunia pun pada berteriak menganjurkan damai tapi
sambil bersedia-sedia akan perang lagi. Ini semuanya
menimbulkan kegelisahan dan kegelisahan ini kurasakan pula.
Tapi bagaimanapun juga sebagai orang tua aku masih pada
pegangan. Dan pegangan itu ialah pegangan kita bersama, yaitu
kepercayaan kepada tuhan yang lebih berkuasa dari manusia.
Akan tetapi tampaknya pemuda itu sudah kehilangan pegangan
sama sekali. Dan itu sangat berbahaya.

3.1.4 Analisis Tema

Tema yang terdapat dalam naskah drama Awal dan Mira ini adalah
tentang percintaan. Dimana kita harus selalu berjuang dan berusaha untuk
mendapatkan apa yang kita inginkan dan bagaimana kita untuk tetap selalu
mensyukuri nikmat yang telah dimiliki.

15
3.1.5 Analisis Gaya Bahasa
Terdapat bermacam gaya bahasa pada naskah “Awal dan Mira”
1. Majas Metafora: Karena pada kalimat ini terdapat objek yang bersifat
sama dengan tujuan untuk menyampaikan dalam bentuk ungkapan
“badut”
“Jadi kau masih menuduhku badut? Menuduh aku sama dengan
orang banyak yang suka omong kosong dihadapanmu?”
2. Majas Hiperbola: Karena di dalam kalimat tersebut ada kata “berjalan
dimuka” kalimat itu terlalu berlebihan, karena pada hakikatnya berjalan
tidak mungkin di muka. Kalimat ini bermajasa hiperbola yang melebih-
lebihkan.
Awal: (Dengan suara berat sayup-sayup) Ya, didalam aku gelisah,
kau… tenang…
(Pada saat IBU MIRA masuk lagi ke dalam ruangan kedai, datang
tergopoh-gopoh dari kiri dua orang PEMUDANYA. Kedua-duanya
berumur dibawah 20 tahun. Tergopoh-gopoh pula PEMUDA itu. Yang
berjalan di muka melahirkan pertanyaan.)
3. Majas Metafora: Karena pada kalimat ini terdapat objek yang bersifat
sama dengan tujuan untuk menyampaikan dalam bentuk ungkapan.
SI BAJU BIRU: Mira! Meskipun kau barusan mendustai aku, tapi
jiwamu dan duniamu bagiku tetap merupa soal.
(AWAL yang duduk membelakangi dagangan mendadak tegak. Tegak
memandang SI BAJU BIRU. Tapi yang dipandang pura-pura tidak tahu
dipandang)

3.1 Kajian Naskah Drama


3.1.1 Konteks Sosial Pengarang

Informasi yang akan menjadi data analis mengenai konteks sosial


pengarang yaitu, beberapa peristiwa yang terjadi pada tahun 1949,
melatarbelakangi peristiwa apa yang terjadi sehingga mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Awal dan Mira merupakan drama karya Utuy Tatang Sontani.

16
Naskah drama ini pertama kali dimuat dalam majalah Indonesia, nomor 8,
Agustus 1951, dan nomor 9 September 1951. Ketika dimuat dalam majalah
tersebut, naskah drama ini mendapat hadiah dari BKMN sebagai drama terbaik
tahun 1952. Naskah drama itu kemudian diterbitkan dalam bentuk buku oleh Balai
Pustaka 1957. Pada tahun 1950an naskah ini sering dipentaskan.

Dalam naskah ini Utuy menjadikan pengalaman pribadinya sebagai bahan


naskah. Mira yang dalam cerita aslinya adalah Onih, perempuan yang dicintainya.
Kerabat dari janda tua, tukang jahit yang pernah menjadi pembantu ayahnya
sewaktu masih berjualan batik, juga tempat menitipkan Utuy saat di Bandung.
Perempuan dengan wajah dan perawakan Indo-Eropa, panggilannya Onih sebutan
untuk anak-anak Indo. Bapak Onih orang Belanda, seorang penguasa perkebunan,
sedangkan ibunya gundik. Setelah beberapa kali bertemu, Onih dan Utuy saling
menyukai satu sama lain.

Naskah yang berlatar tahun 1951, dua tahun setelah Belanda mengakui
kedaulatan Republik Indonesia, Utuy menggambarkan situasi kacau yang terjadi
di masyarakat Indonesia saat itu dimana orang-orang tidak ada yang bisa saling
percaya satu sama lain. Tokoh Mira yang diceritakan seorang wanita cantik
memiliki kedai kopi, kecantikan yang dimilikinya yang membuat para lelaki
berdatangan ke kedai kopinya.

Tokoh Awal yang diciptakan untuk menggambarkan diri Utuy sendiri


diceritakan sebagai pemuda berbadan ringkih dan pemarah yang sangat mencintai
Mira. Karena situasi yang terjadi saat itu sedang terjadi kekacauan setelah
Belanda berulah, membuat Awal putus asa pada kehidupannya. Dia menganggap
semua orang badut-badut yang tidak berguna dan omong kosong belaka.

Tokoh Mira seorang gadis cantik pemilik kedai kopi juga diciptakan untuk
menggambarkan keadaan yang sedang terjadi saat itu. Seorang pelayan kedai kopi
yang memiliki sebuah rahasia besar dan menjadi teka-teki bagi Awal. Mira yang
tidak pernah mau diajak berbicara diluar kedai ternyata menyembunyikan
rahasianya. Penggambaran cerita diakhiri oleh terbongkarnya rahasia Mira yang
ternyata gadis cantik yang cacat dikarnakan perang yang sering terjadi di
Indonesia.

17
Drama yang dikelompokan dalam era 1950-an yang berisi kritik terhadap
perang rovolusi Indonesia yang sedang terjadi waktu itu pernah dinyataan sebagai
salah satu buku terlarang dengan alasan untuk mengadakan tindak lanjut di dalam
usaha menumpas pengaruh G30SPKi, khususnya dibidang mental ideologi,
berdasarkan Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No.1381/1965,
tanggal 30 November 1965 yang ditandatangani oleh Pembantu Menteri Bidang
Teknis Pendidikan, Kolonel Dr. M. Setiadi Kartodikusumo.

Utuy Tatang Sontani dipandang sebagai tonggak penting dalam maraknya


drama realis di Indonesia. Realisme konvensional dan naturalisme pada saat itu
menjadi pilihan berbagai generasi karena sudah terbiasa dengan teater barat.
Naskah ini tidak hanya terkenal di Indonesia, melainkan sampai ke Malaysia.
Naskah ini juga termasuk naskah terpenting dalam periode 50an. Sampai saat ini
naskah Awal dan Mira masih sering digunakan untuk pementasan para pelajar
maupun para anggota kesenian.

3.1.2 Sastra Bagi Cermin Masyarakat


Pada dasarnya, karya sastra merupakan kristalisasi nilai-nilai dari
suatu masyarakat. Meskipun karya sastra yang baik pada umumnya tidak
langsung menggambarkan atau memperjuangkan nilai-nilai tertentu, tetapi
aspirasi masyarakat mau tidak mau tercermin dalam karya sastra tersebut.
Oleh karena itu, karya sastra tidak terlepas dari sosial-budaya dan
kehidupan masyarakat yang digambarkannya. Sama halnya dengan naskah
drama karya Utuy Tatang Sontani “Awal dan Mira”.
Dalam naskah drama ini, Utuy mencoba memunculkan masalah
mengenai kisah percintaan seorang pemuda yang memperjuangkan
cintanya pada seorang perempuan bernama Mira. Pemuda bernama Awal
yang rela membagi seluruh hidup dan kepercayaannya kepada perempuan
bernama Mira, harus menelan kenyataan pahit bahwa perempuan yang
dicintainya itu malah terus mencoba menolak kehadiran dirinya.
Mira sendiri adalah sosok perempuan cantik di desanya, banyak
laki-laki yang selalu memujinya, tapi dibalik paras rupawannya itu, Mira

18
hanyalah sosok perempuan cacat yang berusaha menutupi kenyataan
tersebut dari orang-orang banyak. Pada dasarnya Mira pun memiliki
perasaan yang sama dengan Awal, namun, karena kekurangannya
tersebutlah Mira selalu berusaha menjauh dari Awal dengan berbagai
alasan. Hingga suatu saat semua kebenaran yang selama ini berusaha
ditutup-tutupi terbongkar. Awal yang selama ini mempercayai Mira dan
menjadikan perempuan itu sebagai pegangan hidupnya merasa ditipu.
Melihat kaki Mira yang buntung akibat kekejaman perang, Awal marah. Ia
merasa kecewa, begitu pun Mira. Perempuan itu sedih dengan reaksi Awal,
meskipun Mira sudah menduga hal tersebut.
Hal ini merupakan penggambaran yang agak memprihatinkan.
Bagaimana seseorang yang saling mencintai saling menyakiti diri mereka
masing-masing dengan cara saling menutupi kebenaran di hidup mereka.
Juga penggambaran bagaimana sebuah cinta bisa menghilangkan jiwa
seseorang.
Awal : “Mira! Masyarakat kita sekarang banyak badutnya adalah
karena orang tak mau menyerahkan kepercayaan kepada yang lain. Tapi
aku, selama perempuan dilahirkan ke dunia untuk jadi kawan hidup laki-
laki, selama itu aku harus dan mesti menyerahkan kepercayaan pada
orang lain yang akan ku jadikan kawan hidupku.”
3.1.3 Fungsi Sosial Sastra
Fungsi sosiologi sastra selain sebagai media penghibur bagi
masyarakat, tetapi juga sebagai pembaharu dan perombak dari tradisi yang
dijalani oleh masyarakat saat ini. Naskah drama “Awal dan Mira” karya
Utuy Tatang Sontani cukup menghibur masyarakat dengan kisah
percintaan seorang pemuda bernama Awal yang memperjuangkan cintanya
kepada perempuan cantik bernama Mira yang berakhir tragis karena
ternyata Mira hanyalah seorang perempuan cacat akibat peperangan yang
terjadi setahun yang lalu. Awal merasa ditipu dan tidak mau menerima
Mira. Begitu pun dengan Mira, ia sedih dan merasa kecewa karena reaksi
Awal ternyata sesuai dengan dugaannya selama ini.

19
Naskah “Awal dan Mira” pertama kali diterbitkan pada tahun 1949
di sebuah majalah. Pandangan masyarakat pada saat itu tidak jauh berbeda
dengan masyarakat pada saat ini yang hanya menilai seseorang dari fisik
dan membedakan kedudukan kondisi status sosial dalam bergaul. Jadi
fungsi sosial sastra dalam naskah ini tidak dapat mempengaruhi pandangan
masyarakat terhadap orang-orang yang memiliki kekurangan fisik dan
kedudukan kondisi status sosial yang lebih rendah.

20
BAB IV

PENUTUP

4.1 Simpulan
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan, terdapat beberapa hal yang dapat
disimpulkan. Drama berjudul “Awal dan Mira” karya Utuy Tatang Sontani yang
dikaji menggunakan sosiologi sastra, terdapat analisis unsur interinsik yang di
dalamnya terbagi lagi dalam unsur tokoh dan penokohan, kategori latar, teman,
alur, dan gaya bahasa. Kajian pada naskah memuat hal-hal berikut, yaitu,
konteks sosial pengarang, sastra sebagai cerminan masyarakat, dan fungsi sosial
sastra.

4.2 Saran
Kajian pada karya sastra merupakan hal yang benar-benar dilakukan secara
teliti, bukan sembarang. Baiknya, apabila ingin mengkaji sebuah karya sastra,
penulis harus melakukannya secara mendalam. Penulis harus benar-benar
mengetahui makna dari karya tersebut juga mencari tahu hal-hal yang berkaitan
dengan penciptaan sebuah karya. Dengan begitu penulis akan lebih mudah
memahami karya sastra yang akan dikajinya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Endraswara Suwardi. (2014). Metode Pembelajaran Drama Apresiasi, Ekspresi


dan Pengkajian.Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta.

Utuy Tatang Sontani dalam Pengasingan “Di Bawah Langit Tak Berbintang,
[Online] https://www.kompasiana.com/kocom/550a1f03813311490eb1e443/utuy-
tatang-sontani-dalam-pengasingan-di-bawah-langit-tak-berbintang. Diunduh pada
tanggal 15 Oktober 2019.

Utuy Tatang Sontani Seniman Pelarian Indonesia dan Karyanya yang Tercecer di
Moskow [Online] https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-45670272. Diunduh pada
tanggal 15 Oktober 2019.

22

Anda mungkin juga menyukai