Anda di halaman 1dari 37

BAB II

LANDASAN TEORETIS

Pada bab ini, penulis memaparkan beberapa konsep atau landasan teori

yang digunakan dalam penelitian ini. Teori yang dibutuhkan untuk menganalisis

eksistensi tokoh adalah sebagai berikut.

2.1 Pengertian Novel

Novel merupakan salah satu karya sastra fiksi. Kata novel berasal dari

bahasa Latin novellus yang diturunkan pula dari kata novies yang berarti “baru”

(Tarigan, 2011:167). Dikatakan baru karena jika dibandingkan dengan jenis-jenis

sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, jenis novel ini muncul kemudian

(Tarigan, 2011: 164). Dalam sastra Indonesia, pada angkatan 45 dan seterusnya,

jenis prosa fiksi yang disebut roman lazim dinyatakan sebagai novel. Dengan

demikian, untuk selanjutnya penyebutan istilah novel di samping mewakili

pengertian novel yang sebenarnya, juga mewakili roman.

Dalam dunia sastra novel dikenal sebagai karya fiksi yang bersifat

imajinatif. Sebagai sebuah karya imajinatif, karya fiksi menawarkan berbagai

permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Menurut

Altenbernd dan Lewis (Nurgiyantoro, 2010:2-3), fiksi dapat diartikan sebagai

prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan

mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan

antarmanusia.

12
13

Menurut Abrams (Tuloli, 2000:16), novel adalah fiksi prosa yang dalam

bahasa-bahasa di Eropa disebut roman berasal dari kata romance. Di Inggris novel

berasal dari bahasa Italia novella yaitu sesuatu yang baru yang kecil yang menjadi

cerita pendek dalam bentuk prosa (Nurgiyantoro, 2010:9). Sekarang istilah

novella sering disamakan dengan novelette, yaitu suatu fiksi prosa yang

panjangnya menengah.

Novel adalah salah satu bentuk dari sebuah karya sastra. Novel

merupakan cerita fiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata dan mempunyai unsur

instrinsik dan ekstrinsik. Sebuah novel biasanya menceritakan tentang kehidupan

manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sesamanya. Dalam sebuah

novel, si pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca

kepada gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung

dalam novel tersebut.

Novel merupakan karangan yang panjang dan berbentuk prosa dan

mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang lain di

sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Novel juga

menjadi media penuangan pikiran, perasaan, dan gagasan penulis dalam

merespon kehidupan di sekitarnya. Ketika di dalam kehidupan sekitar muncul

permasalahan baru, nurani penulis novel akan terpanggil untuk segera

menciptakan sebuah cerita. Sebagai bentuk karya, novel sangat ideal untuk

mengangkat peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan manusia dalam suatu

kondisi kritis yang menentukan. Berbagai ketegangan muncul dengan bermacam

persoalan yang menuntut pemecahan. Sebagaimana diutarakan oleh Wiyatmi


14

(2012:80), novel merupakan salah satu karya seni yang diciptakan oleh sastrawan

untuk mengomunikasikan masalah sosial maupun individual yang dialami oleh

sastrawan maupun masyarakatnya.

Novel hanya mengisahkan salah satu kehidupan seseorang yang

mengakibatkan perubahan nasib. Seperti yang dikemukakan Jassin (dalam Suroto,

1989: 19) bahwa novel ialah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang

menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang (tokoh

cerita), luar biasa karena dari kejadian ini terlahir suatu konflik, suatu pertikaian,

yang mengalihkan jurusan nasib mereka. Wujud novel adalah konsentrasi,

pemusatan, kehidupan dalam satu saat, dalam satu krisis yang menentukan. Pada

bagian lain, Jassin (dalam Nurgiyantoro, 2010:16) menyebutkan bahwa novel

dibatasi dengan pengertian suatu cerita yang bermain dalam dunia manusia dan

benda yang ada di sekitar kita, tidak mendalam, lebih banyak melukiskan satu saat

dari kehidupan seseorang, dan lebih mengenai sesuatu episode.

Novel adalah suatu cerita yang bermain dalam dunia manusia dan benda

yang ada di sekitar kita, tidak mendalam dan lebih banyak melukiskan peristiwa

dari kehidupan oleh pengarang (Nurgiyantoro, 2010:10). Novel mengungkapkan

suatu konsentrasi kehidupan pada setiap saat yang tegang dengan memfokuskan

pada kehidupan. Novel berkembang dari bentuk psikologi yang mendalam suatu

cerita yang bermain dalam dunia manusia dan lebih banyak melukiskan kehidupan

seseorang.
15

2.2 Unsur-Unsur Novel

Pendapat lain yang senada dengan pendapat di atas, dikemukakan oleh

Nurgiyantoro (2010:22) bahwa sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu

keseluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai

bagian-bagian, unsur-unsur yang saling berkaitan secara erat dan saling

menggantungkan. Jika novel dikatakan sebagai sebuah totalitas, unsur kata,

bahasa, misalnya, merupakan salah satu bagian dari totalitas itu. Salah satu unsur

pembangun cerita itu, salah satu subsistem organisme itu. Kata inilah yang

menyebabkan novel, juga sastra pada umumnya, menjadi berwujud.

Sebuah karya sastra, baik fiksi mapun nonfiksi dibangun oleh unsur

pembangunnya. Struktur karya sastra diartikan sebagai susunan, penegasan, dan

gambaran yang menjadi komponen secara bersama membentuk kebulatan yang

indah. Analisis struktural bertujuan utuk membongkar dan memaparkan secara

cermat, seteliti, dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua aspek

karya sastra yang sama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Nurgiyantoro,

2010:36).

Nurgiyantoro (2010:10) mengemukakan bahwa novel dan cerpen

merupakan karya fiksi mempunyai persamaan keduanya yang dibangun oleh

unsur-unsur pembangun, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Novel juga

diartikan sebagai suatu karangan berbentuk prosa yang mengandung rangkaian

cerita kehidupan seseorang dengan orang lain di sekelilingnya dengan

menonjolkan watak dan sifat pelaku.


16

Namun, penelitian ini menekankan pada unsur pembentuk karya sastra

yang bersifat intrinsik. Unsur intrinsik tersebut adalah tema, alur, tokoh,

penokohan, dan latar. Akan tetapi, tidak sampai pada fungsi dan hubungan

antarunsur intrinsik. Dipilihnya unsur tersebut karena merupakan unsur isi dari

sebuah karya sastra yang dapat membangun sebuah cerita yang menarik.

Sehubungan dengan hal di atas, diharapkan dengan menganalisis unsur tersebut

dapat membantu mengungkapkan eksistensi tokoh dalam novel.

Dari berbagai teori dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah karya

sastra yang di dalamnya terdapat struktur yang membangun sehingga dapat

disebut sebagai rangkaian cerita. Akan tetapi, fungsi setiap unsur struktur harus

dapat menunjang makna keseluruhannya sehingga secara bersama dapat

membentuk totalitas kebermaknaan. Seperti halnya kaitan hubungan antara alur

dengan tokoh yang berperan dalam cerita.

2.2.1 Tema

Menurut Scharbach (dalam Aminuddin, 2009:91) istilah tema berasal dari

bahasa Latin yang berarti ’tempat meletakkan suatu perangkat’. Disebut demikian

karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga

sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang

diciptakannya. Penyikapan terhadap tema yang diberikan pengarangnya dengan

pembaca umumnya terbalik. Seorang pengarang harus memahami tema cerita

yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara


17

pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-

unsur signifikan yang menjadi media pemapar tema tersebut.

Setiap karya fiksi haruslah mempunyai dasar atau tema yang merupakan

sasaran tujuan. Brooks (dalam Aminuddin, 2009:92) mengungkapkan bahwa

dalam mengapresiasi tema suatu cerita, apresiator harus memahami ilmu-ilmu

humanitas karena tema sebenarnya merupakan pendalaman dan hasil kontemplasi

pengarang yang berkaitan dengan masalah kemanusiaan serta masalah lain yang

bersifat universal.

Tema dinyatakan sebagai ide, inti atau dasar cerita. Sesuai ide dasar itulah

kemudian cerita dibangun oleh pengarangnya dengan memanfaatkan unsur-unsur

intrinsik seperti plot, penokohan, dan latar (Kadir, 2011:115). Tema dalam hal ini

tidaklah berada di luar cerita, tetapi inklusif di dalamnya. Keberadaan tema

meskipun inklusif di dalam cerita tidaklah terumus dalam satu dua kalimat secara

tersurat, tetapi tersebar di balik keseluruhan unsur-unsur signifikan atau media

pemapar prosa fiksi. Dalam upaya pemahaman tema, pembaca perlu

memperhatikan beberapa langkah berikut secara cermat.

(1) memahami setting dalam prosa fiksi yang dibaca;

(2) memahami penokohan dan perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang

dibaca;

(3) memahami suatu peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam

prosa fiksi yang dibaca;

(4) memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca;
18

(5) menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan lainnya yang

disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita;

(6) menentukan sikap penyair terhadap pokok-pokok pikiran yang

ditampilkannya;

(7) mengidentifikasi tujuan pengarang dalam memaparkan ceritanya dengan

bertolak dari satuan pokok pikiran yang ditampilkannya;

(8) menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam

satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang

dipaparkan pengarangnya.

2.2.2 Tokoh

Istilah penokohan mempunyai pengertian yang lebih luas daripada “tokoh”

dan “perwatakan”. Hal ini dikarenakan penokohan cakupan masalahnya sampai

pada tokoh cerita, perwatakan, dan penempatan serta pelukisannya dalam sebuah

cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Di

dalam cerita rekaan keberadaan tokoh merupakan hal yang penting karena pada

hakikatnya sebuah cerita rekaan merupakan serangkaian peristiwa yang dialami

oleh seseorang atau suatu hal yang menjadi pelaku cerita. Jika kita membaca

sebuah cerpen atau cerita yang lainnya, akan timbul dalam pikiran kita tentang

tokoh-tokoh dalam cerita tersebut. Kita akan membayangkan bagaimana wajah

dan sifat-sifat kepribadian tokoh tersebut.

Tokoh dan penokohan merupakan orang-orang yang diperankan oleh

pengarang dalam menggerakkan peristiwa cerita (Kadir, 2011:115). Biasanya


19

peristiwa atau kejadian-kejadian itu menyebabkan terjadinya perubahan sikap

terhadap diri tokoh atau perubahan pandangan kita sebagai pembaca terhadap

tokoh tersebut. Selain itu, ketepatan penempatan tokoh cerita akan menjadikan

tokoh sebagai pembawa pesan, amanat, atau sesuatu yang sengaja ingin

disampaikan kepada pembaca (Ichsan, 2013:2).

Pujiharto (2012:44) mengklasifikasikan tokoh-tokoh dalam cerita

sebagai berikut.

1. Tokoh berdasarkan fungsi penampilannya, dibedakan menjadi


tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis yaitu tokoh yang
dihadirkan sebagai tokoh yang dikagumi oleh pembaca, tokoh yang
merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi
pembaca. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang berkonflik
dengan tokoh protagonis.
2. Tokoh berdasarkan tingkat kepentingan peranannya bisa
diklasifikasikan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan.
3. Tokoh berdasarkan wataknya, yaitu tokoh sederhana dan tokoh
bulat/kompleks. Tokoh sederhana adalah tokoh yang sifat dan tingkah
lakunya datar, monoton, dan hanya satu watak tertentu yang
dicerminkannya. Sedangkan tokoh bulat, sifat dan tingkah lakunya
mengalami perubahan. Perubahan ini mampu memunculkan efek kejutan
pada pembaca.

Menurut Nurgiyantoro (2010:165), istilah “tokoh” menunjuk pada

orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawab terhadap pertanyaan: “Siapakah

tokoh protagonis dan antagonis dalam novel itu?” dan sebagainya. Tokoh adalah

pelaku dalam sebuah cerita. Tokoh yang dijadikan pelaku dalam karya sastra

hendaknya tokoh yang hidup bukan tokoh mati yang merupakan boneka di tangan

pengarang. Tokoh hidup adalah tokoh yang berpribadi, berwatak dan memiliki

sifat tertentu. Sebagaimana diuraikan oleh Nurgiyantoro (2010: 173), tokoh

adalah pelaku, sekaligus penderita kejadian dan penentu perkembangan cerita


20

baik itu dalam cara berpikir, bersikap, berperasaan, berperilaku, dan bertindak

secara verbal maupun nonverbal.

Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai

pesan, amanat, moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada

pembaca (Nurgiyantoro, 2010: 167). Keberadaan tokoh sangat berkorelasi

terhadap isi cerita, seperti apa arah cerita entah itu berakhir senang atau

sebaliknya dapat digambarkan melalui tokoh-tokoh dalam cerita. Pengarang

secara sengaja menempatkan tokoh cerita untuk mempertegas kejadian, peristiwa

atau persoalan yang sedang dibicarakan.

Dilihat dari segi atau tingkat pentingnya, ada tokoh yang tergolong penting

dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian cerita.

Tokoh ini disebut tokoh utama. Tokoh utama adalah tokoh yang banyak

diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.

Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa

jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan.

Berdasarkan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat saja dikategorikan

ke dalam beberapa jenis penamaan sekaligus, misalnya sebagai tokoh utama –

protagonis – berkembang – tipikal (Nurgiyantoro, 2010:176).

Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh, dapat dibedakan

menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Nurgiyantoro (2010:176-177)

menyatakan tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam

novel yang bersangkutan. Selanjutnya, tokoh tambahan adalah tokoh yang

mendukung perwatakan tokoh utama (Nurgiyantoro, 2010:177). Tokoh-tokoh


21

yang hanya muncul sekali atau beberapa kali guna melengkapi dan menyertai

jalannya cerita disebut tokoh komplementer (pelengkap).

Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya

secara populer disebut hero - tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-

norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita (Altenbernd & Lewis dalam Nurgiyantoro,

2010:178). Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan

pandangan, harapan-harapan pembaca. Sebaliknya, penyebab konflik yang tidak

dilakukan oleh seorang tokoh disebut sebagai kekuatan antagonistis, antagonistic

force (Altenbernd & Lewis dalam Nurgiyantoro, 2010:179).

Menurut Nurgiyantoro (2010:181), perwatakan tokoh cerita dapat

dibedakan ke dalam tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh

kompleks atau tokoh bulat (complex atau round character). Tokoh sederhana

dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas

pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja (Nurgiyantoro, 2010:181-182).

Tokoh sederhana bisa saja melakukan berbagai tindakan, namun semua

tindakannya itu akan dapat dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan telah

diformulakan itu.

Menurut Nurgiyantoro (2010:183), tokoh bulat, kompleks, berbeda halnya

dengan tokoh sederhana, adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai

kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Tokoh

kompleks lebih sulit dipahami, terasa kurang familiar karena yang ditampilkan

adalah tokoh-tokoh yang kurang akrab dan kurang dikenal sebelumnya.


22

Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh

cerita dalam sebuah novel, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh statis, tak

berkembang (static character) dan tokoh berkembang (developing character).

Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan

dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa

yang terjadi (Altenbernd & Lewis dalam Nurgiyantoro, 2010:188). Selanjutnya,

tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan

perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (perubahan) peristiwa

dan plot yang dikisahkan.

Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap sekelompok

manusia dari kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh

tipikal dan tokoh netral. Menurut Altenbernd & Lewis (dalam Nurgiyantoro,

2010:190), tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan

individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau

kebangsaannya. Selanjutnya, tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi

demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner yang hanya

hidup bereksistensi dalam dunia fiksi.

Setiap tokoh dalam sebuah cerita pasti akan memiliki watak tertentu.

Watak adalah sifat yang dimiliki oleh seseorang. Cara mengetahui watak dapat

dilihat dari berbagai segi di antaranya adalah ucapan, sikap, tingkah laku, jalan

pikiran, dan cara berpakaian. Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada

sifat dan sikap para tokoh seperti ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada

kualitas pribadi seorang tokoh (Nurgiyantoro, 2010:165).


23

Penokohan di dalam karya sastra adalah cara seorang pengarang untuk

menampilkan para pelaku melalui sifat, sikap dan tingkah lakunya. Menurut

Sudjiman (1991: 78), tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa

atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Cerita rekaan termasuk

novel, terdapat tokoh utama (central character), yaitu orang yang ambil bagian

dalam sebagian besar peristiwa dalam cerita. Selain tokoh utama, ada juga tokoh

tambahan (peripherialcharacter), yaitu tokoh-tokoh yang muncul sekali atau

beberapa kali dalamkehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh

utama (Nurgiyantoro,2010: 176).

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seorang yang

ditampilkan dalam sebuah cerita. Setiap tokoh mempunyai karakter sendiri untuk

membedakannya dengan tokoh lain. Karakter atau waktu merujuk kepada sifat

dan sikap para tokoh, serta kualitas pribadinya. Penokohan mencakup masalah

siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, bagaimana penempatan dan

pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberi gambaran yang

jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyarankan pada teknik

perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita.

Setiap tokoh mempunyai ciri-ciri tersendiri atau watak yang berbeda

satudengan yang lain. Abrams dalam Nurgiyantoro (2010:165) mengemukakan

tokoh cerita (character) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya

naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan

kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang

dilakukan dalam tindakan.


24

Menurut Nurgiyantoro (2010: 175), tokoh dan penokohan, tokoh adalah

orang yang ditampilkan dalam suatu cerita, sedangkan penokohan adalah

pelukisan atau gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam

suatu cerita. Tokoh berdasarkan sifatnya ada tokoh protagonis dan tokoh

antagonis. Tokoh protagonis bersifat statis dan tokoh antagonis bersifat kompleks

Penokohan dan perwatakan memiliki hubungan yang erat satu sama

lainnya. Menurut Waluyo (2002:164), penokohan berhubungan dengan cara

pengarang menentukan, memilih, kemudian menamai tokoh-tokohnya, sedangkan

perwatakan berhubungan dengan karakteristik tokoh. Meskipun keduanya

memiliki tugas yang berbeda, keduanya sama-sama menganalisa diri tokoh-tokoh

dalam cerita rekaan tersebut.

Nurgiyantoro (2010:194) mengatakan secara garis besar teknik pelukisan

tokoh dalam suatu karya atau lengkapnya

Pelukisan sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal lain yang
berhubungan dengan jati diri tokoh- dapat dibedakan ke dalam dua cara
teknik, yaitu teknik uraian (telling) dan teknik ragaan (showing), atau
teknik penjelasan, ekspositori (expoxitory) dan teknik dramatik (dramatic),
atau teknik diskursif (discursive), dramatic, dan konstektual. Teknik yang
pertama – juga pada yang kedua, walau terdapat perbedaan istilah, namun
secara esensial tidak berbeda-menyaran pada pelukisan secara langsung,
sedangkan teknik yang kedua pada pelukisan secara tidak langsung.

Pada cara analitik, pengarang mengisahkan secara langsung sifat-sifat,

tabiat, latar belakang, pikiran dan perasaan tokoh. Penokohan secara dramatik

dapat diungkapkan melalui berbagai cara. Antara lain melalui pengungkapan

lingkungan hidup tokoh, dialog yang satu dengan yang lain, perbuatan tokoh dan

lain-lain.
25

Untuk menghadir tokoh dalam novel, terdapat beberapa teknik

menghadirkan tokoh dalam novel.

a. Metode Analitik (secara langsung)

Pengarang menggambarkan watak-watak tokoh secara langsung,

maksudnya adalah langsung disebutkan wataknya dalam cerita tersebut.

Dipertegas oleh Nurgiyantoro (2010:195) bahwa pelukisan tokoh cerita dilakukan

dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung.

Contoh

Eka memang sangat menarik. Dia cantik dengan rambut ikalnya yang
panjang. Hidungnya kecil dan lancip, matanya yang lebar dilengkapi
dengan bulu mata yang lebat dan lentik. Wajahnya disempurnakan
dengan bibirnya yang sensual dan merah, meski tak memakai lipstik.
Dia sangat supel sehingga disukai teman-temannya. Teman-temannya
pun beragam mulai dari kalangan ekonomi lemah sampai dengan
ekonomi atas. Eka sendiri berasal dari keluarga yang kaya, tetapi sangat
mengedepankan kesederhanaan. Tak heran kalau Eka terbiasa rajin dan
rapi untuk urusan pribadinya.

b. Metode Dramatik (tidak langsung)

Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik mirip dengan yang

ditampilkan pada drama, dilakukan secara tidak langsung. Menurut Nurgiyantoro

(2010:198), pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukkan sendiri

melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun

nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang

terjadi. Pengarang dalam menggambarkan watak watak-watak tokohnya tidak

langsung menyebutkan wataknya, tetapi melalui bermacam-macam cara, yaitu

sebagai berikut.
26

a) Melalui penggambaran tempat tinggal atau lingkungan tokoh

Contoh

Pak Wandi adalah seorang guru. Kamarnya tak terlalu kecil sekitar 4x8.
Akan tetapi, banyak sekali barang berserakan di sana. Bungkus
makanan siap saji tergeletak di dekat TV. Buku-buku kuliah berada di
berbagai sudut kamar.

b) Melalui percakapan tokoh atau tokoh lain

Contoh

Rina : “Sin, bagaimana sebenarnnya Lita ya ?


Sinta : “Ya bagaimana lagi ! Dia itu memang judes sich !
Tapi sebenarnya dia baik juga lho …..”
Rina : “Ya emang. Kemarin aku juga diaajarin dia waktu aku
kesulitan mengerjakan PR matematika.”
Sinta : “Itulah, biar saja dia sekarang marah. Sebentar lagi juga
dia akan baik. Dia itu nggak bakalan tahan kalau marah
lama-lama. Lagian, kalau kamu nggak nyinggung dia
duluan, dia juga ndak mungkin semarah itu.”
Rina : “Aku emang salah. Tapi tadi aku sudah minta maaf. Cuma
Lita emang marah banget, jadi pas aku minta maaf dia
malah pergi.”

c) Melalui pikiran sang tokoh atau tokoh lain

Contoh

Ia dobrak pintu tersebut. Ia lalu menangis. Mengapa setiap orang tidak


memedulikannya bahkan di hari ulang tahunnya, batinnya. Mak Reno,
pembantu Santi, mencoba menenangkan Santi agar berhenti menangis.

d) Melalui perbuatan atau tingkah laku tokoh

Contoh

Pulang sekolah tanpa mengetuk pintu, Tono langsung masuk rumah dan
dibantingnya pintu rumahnya dengan keras. Ibunya yang sedang berada
di dapur sampai terkejut. Begitu masuk, Tono langsung menuju meja
makan, segera dibukanya tudung saji. Ketika dilihatnya lauknya itu-itu
saja, dibantingnya tudung saji sampai gelas yang yang ada di meja
27

makan jatuh dan hancur berkeping-keping. Dengan muka masam ia


menuju ke kamarnya. Ditendangnya pintu kamarnya samapi terbuka,
lalu masuk. Dibantingnya pintu itu untuk menutup. Kemudian ia
membantingkan badannya di tempat tidur tanpa mencopot sepatu.
Tangannya meraih tape recorder, lalu dia menyetel lagu-lagu rock
dengan volume maksimal.

Menurut Egri (dalam Sukada, 1987:62) perwatakan dapat dilihat melalui

tiga dimensi sebagai struktur pokoknya, yaitu dimensi fisiologis, psikologis, dan

sosiologis. Ketiga dimensi tersebut adalah unsur yang membangun perwatakan

dalam sebuah karya sastra. Dimensi fisiologis, meliputi jenis kelamin, umur,

tinggi, berat badan, warna kulit, rambut, potongan tubuh, penampilan, dan cacat

tubuh. Dimensi psikologis, meliputi moral, ambisi, pribadi, tempramen, sikap

hidup, pikiran, perasaan, kecerdasan, tanggung jawab, dan tingkat kesadaran.

Dimensi sosiologis, meliputi golongan masyarakat, pekerjaan, pendidikan, agama,

suku bangsa, penduduk di masyarakat, tempat tinggal, dan hobi.

Melalui analisis penokohan dapat diketahui gambaran jelas mengenai para

tokoh dalam sebuah cerita. Semua unsur cerita rekaan hanya bersifat rekaan

semata. Tokoh dalam cerita di dunia nyata tidak ada. Sudjiman (1991:58)

menyebutkan penokohan sebagai penyajian watak tokoh dan pencitraan tokoh.

apa yang diucapkannya, apa yang diperbuatnya, apa yang dipikirkannya, serta apa

yang dirasakannya harus betul-betul menunjang penggambaran watak dari tokoh

tersebut.
28

Ada beberapa cara yang dapat membuat pembaca mendalami suatu

karakter, yaitu sebagai berikut.

a. Melalui tindakan. tindakan-tindakannya, terutama dari suatu karakter

bersikap dalam situasi kritis. Watak seseorang sering kali tercermin

dengan jelas ketika ia berada di dalam suatu keadaan penting (gawat)

karena ia tidak bisa berpura-pura. ia akan bertindak secara spontan

menurut karakternya.

b. Melalui ucapan-ucapannya. Ini dapat dilihat dari ucapan oleh suatu

karakter/tokoh dalam suatu cerita. Para pembaca dapat mengenali

tingkatan karakter. Apakah ia memiliki sifat yang baik atau jahat.

c. Melalui penggambaran fisik tokoh. Pengarang sering membuat deskripsi

mengenai bentuk tubuh dan wajah tokoh-tokohnya. Selain itu, dari cara

berpakaian tokoh, bentuk tubuh, dan sebagainya.

d. Melalui pikiran-pikirannya. Pelukisan apa yang dipikirkan oleh seorang

tokoh adalah salah satu cara penting untuk mengungkapkan suatu karakter.

e. Melalui penerangan langsung. Pengarang mengungkapan secara panjang

lebar watak tokoh secara langsung.

Contoh:

Cathie Novel Liak Ngakaki Karya Putra Mada dilukiskan sebagai tokoh
yang mudah bergaul. Pengarang juga menggambarkan Cathie sebagai
tokoh yang agresif dan pemberani. Hal ini mengakibatkan Cathie bisa
beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga mudah untuk Cathie
mencari informasi tentang ilmu liak. Dari gayanya berbicara aku dapat
menarik kesimpulan bahwa gadis Australia yang cantik ini adalah
seorang periang, lincah dan berhati terbuka. Belum ada 5 menit kami
berkenalan namun rasa-rasanya bagaikan sudah kenal bertahun- tahun
saja.
29

Banyaknya permasalahan tokoh utama pada novel Detik Terakhir Karya

Alberthiene Endah yang sangat kompleks wujud konflik batin ini yaitu

pertentangan antara pilihan tidak sesuai dengan keinginan, kebimbangan dalam

menghadapi permasalahan, dan harapan tidak sesuai dengan kenyataan.

Sejujurnya, saya ingin seperti teman yang lain, yang menikmati peluh
dalam antrean tukang bakso kojek. Atau menjumput panganan yang legit
di pelataran sekolah. Sebagian lagi tak jajan apa-apa.Tapi mereka bisa
main dorong-dorongan.

Konflik batin tokoh utama yang disebabkan adanya pertentangan antara

pilihan tidak sesuai dengan keinginan dalam novel digambarkan oleh tokoh utama

melalui pernyataan simbolis.

Satu-satunya yang saya syukuri dari segenap pemberian Mama adalah


ketika dia membelikan saya seperangkat alat tulis yang sangat bagus.
Saya bisa menulis dengan warna apa saja yang saya inginkan, hanya
dengan menggerak-gerakkan tuas kecil di atas pena. Magic Pen,
namanya.

Tokoh Jimbron dalam novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata

mencerminkan tokoh yang taat beragama dengan mengaji setiap harinya,

walaupun dia hidup di lingkungan agama yang berbeda, yaitu agama Katolik

Jimbron adalah seorang yang membuat kami takjub dengan tiga macam
keheranan. Pertama, kami heran karena kalau mengaji, ia selalu diantar
seorang pendeta. Sebetulnya beliau adalah seorang pastor karena beliau
seorang Katolik, tapi kami memanggilnya Pendeta Geovany.

Karakter Arai dalam kesehariannya mencerminkan seorang muslim. Orang

yang taat pada perintah agama, hal itu terbukti bahwa setiap habis magrib dia

selalu membacakan ayat-ayat suci Al Quran dengan kesadarannya sendiri, tanpa

diperintah siapa pun.


30

Setiap habis maghrib, Arai melantunkan ayat-ayat suci Al Quran di


bawah temaram lampu minyak dan saat itu seisi rumah kami terdiam.

2.2.3 Latar

Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita,

semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung,

Stanton (2007:35). Latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu,

menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat

terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro,

2010:216). Berdasarkan urutan penceritaan peristiwa, peristiwa yang satu

diceritakan lebih dahulu kemudian disusul peristiwa yang lainnya. Peristiwa yang

satu melatari peristiwa yang lain. Latar adalah segala keterangan, petunjuk,

pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa

dalam suatu karya sastra.

Latar memberi pijakan secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk

memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang

seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca dengan demikian merasa

dipermudah untuk menggunakan daya imajinasinya. Di samping itu juga

memungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan

pengetahuannya tentang latar.

Peristiwa-peristiwa di dalam cerita dapat dibangun dengan menarik jika

penempatan latar waktu dan latar tempatnya dilakukan secara tepat, karena latar

berhubungan dengan tokoh, dan tokoh berkaitan erat dengan karakter. Kontruksi

latar yang baik dapat menunjukkan bahwa cerita tertentu tidak dapat dipindahkan
31

ke kawasan lain karena latarnya tidak menunjang tokoh dan peristiwa-peristiwa

khas yang hanya terjadi di suatu latar tertentu saja. Dengan kata lain, latar

menunjukkan keunikan tersendiri dalam rangkaian kisah sehingga membangun

tokoh-tokoh spesifik dengan sifat-sifat tertentu yang hanya ada pada kawasan

tertentu itu. Dengan demikian, tampak latar memperkuat tokoh dan

menghidupkan peristiwa-peristiwa yang di bina di dalam alur, menjadi cerita

spesifik dan unik. Cakupan latar dalam sebuah cerita sangat luas. Keluasan ini

dapat disimpulkan dalam tiga bagian yakni latar tempat, latar waktu, dan latar

sosial.

2.2.4 Gaya Bahasa

Gaya berkaitan dengan pemilihan berbagai aspek kebahasaan yang

dipergunakan dalam sebuah teks kesusastraan, manakala nada adalah sesuatu yang

terbangkitkan oleh pemilihan berbagai bentuk komponen gaya tersebut. Jadi, nada

pada hakikatnya merupakan sesuatu yang terbentuk, terbangkitkan, atau sebagai

konsekuensi terhadap pemilihan gaya bahasa. Menurut Keraf (2009:5), gaya

bahasa merupakan bahasa indah yang digunakan untuk meningkatkan efek dengan

jalan memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu

dengan benda atau hal lain yang lebih umum.

Secara tradisional, dapat dikatakan bahwa keberhasilan sebuah cerita

bukan pada apa yang disampaikan, tetapi pada bagaimana mengatakannya. Senada

dengan hal ini, Sarumpaet (2010:119) mengatakan bahwa bagaimana seorang

penulis mengisahkan, itulah gaya bahasa. Hal ini dapat dilihat sebagai tulisan itu
32

sendiri atau isi keseluruhan bukunya. Selain itu, gaya bahasa haruslah cocok

dengan isi, dalam arti keduanya harus saling mempengaruhi.

Hakikat gaya bahasa itu sendiri dapat dipahami sebagai sebuah cara

pengungkapan dalam bahasa, cara bagaimana seseorang mengungkapkan sesuatu

yang akan diungkapkan. Sementara itu, gaya bahasa juga ada yang menyebutkan

sebagai majas. Hal ini dikarenakan majas adalah gaya bahasa dalam bentuk

tulisan maupun lisan yang dipakai dalam suatu karangan yang bertujuan untuk

mewakili perasaan dan pikiran dari pengarang (Sadikin, 2011:32).

2.2.5 Alur

Pengertian alur dalam cerpen atau pada karya sastra pada umumnya adalah

rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin

suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Istilah alur

dalam hal ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita. Tahapan peristiwa

yang menjalin suatu cerita dapat berbentuk dalam rangkaian peristiwa yang

berbagai macam (Aminuddin, 2009:83).

Alur ialah sambung-sinambung peristiwa berdasarkan sebab akibat. Alur

tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi lebih penting ialah

menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Selanjutnya Nurgiyantoro (2010:16)

menyebutkan bahwa alur adalah cerita yang berisi uraian kejadian. Namun, tiap

kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu

disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. Dalam sebuah cerita, mesti ada

banyak peristiwa yang dirangkai menjadi satu kesatuan yang padu. Peristiwa-
33

peristiwa yang dimunculkan itu sendiri tidak boleh terjadi secara insidental yang

tidak saling terkait, melainkan mesti dalam kaitan sebab akibat.

Menurut Hariyanto (dalam Nurgiyantoro, 2010:17) jenis alur dapat

dikelompokkan dengan menggunakan berbagai karakteristik, yaitu:

(1) alur maju disebut juga alur kronologis, alur lurus, atau alur progresif.
Peristiwa-peristiwa ditampilkan secara kronologis, maju, secara runtut
dari awal tahap, tengah, dan hingga akhir;
(2) alur mundur disebut dengan alur tidak kronologis, sorot balik, regresif,
atau flash-back. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dari tahap akhir atau
tengah dan baru kemudian tahap awalnya; dan
(3) alur campuran merupakan hasil paduan dari alur maju dan alur mundur.

2.2.6 Amanat

Amanat (pesan moral) adalah gagasan yang mendasari karya sastra.

Pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca dan pendengar terdapat

di dalam karya sastra. Amanat ini biasanya tersirat di dalam karya sastra lama

pada umumnya amanat tersurat (Siswanto, 2009:161-162).

Pesan moral dalam sastra lebih memberat pada kodrati manusia yang

hakiki, bukan pada aturan-aturan yang dibuat, ditentukan, dan dihakimi oleh

manusia (Nurgiyantoro, 2010:265-266). Amanat juga merupakan ajaran moral

atau pesan yang ingin disampaikan pengarang pada pembaca. Akhir permasalahan

ataupun jalan keluar permasalahan yang timbul dalam sebuah cerita bisa disebut

amanat. Amanat sebagai renungan yang disajikan kembali oleh pembaca. Pesan

atau amanat, yakni maksud yang terkandung dalam suatu cerita. Amanat sangat

erat hubungannya dengan tema. Bentuk penyampaian amanat yang bersifat

langsung, boleh dikatakan, identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang

bersifat uraian atau penjelas. Jika dalam teknik uraian pengarang secara langsung
34

mendeskripsikan cerita yang bersifat “memberi tahu” atau memudahkan pembaca

untuk memahaminya, hal yang demikian juga terjadi dalam penyampaian amanat.

Artinya, amanat yang ingin disampaikan, atau diajarkan, kepada pembaca itu

dilakukan secara langsung dan eksplinsit.

2.2.7 Sudut Pandang

Sudut pandang atau point of view berkenaan dengan cara sebuah cerita

dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan

pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai

peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.

Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik,

siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan

ceritanya.

Menurut Aminuddin (2009:96) sudut pandang adalah kedudukan atau

posisi pengarang dalam cerita tersebut. Dengan kata lain, posisi pengarang

menempatkan dirinya dalam cerita tersebut dari titik pandang ini pula pembaca

mengikuti jalannya cerita dan memahami temanya. Terdapat beberapa jenis sudut

pandang (pusat pengisahan/point of view), yaitu:

(1) pengarang sebagai tokoh utama. Sering juga posisi yang demikian

disebut sudut pandang orang pertama aktif. Disini pengarang

menuturkan dirinya sendiri;

(2) pengarang sebagai tokoh bawahan atau sampingan. Di sini, pengarang

ikut melibatkan diri dalam cerita, tetapi ia mengangkat tokoh utama.


35

Dalam posisi yang demikian itu, sering disebut sudut pandang orang

pertama pasif;

(3) pengarang hanya sebagai pengamat sebagai yang berada di luar cerita.

2.3 Eksistensi

2.3.1 Pengertian Eksistensi

Secara etimologi, istilah existence berasal dari bahasa Latin existo, yang

terdiri dari dua suku kata, ex dan sistere yang berarti muncul, menjadi, atau hadir

(Misiak & Sexton, 2005:80-84). Menurut Sartre (dalam Hassan, 2005:133-134),

manusia ada sebagai dirinya sendiri dengan kesadaran. Dengan demikian maka

“ada” tidak dapat dipertukarkan. Hal ini jugalah yang menyebabkan manusia

berbeda dari benda-benda atau hal-hal lain. Dengan kata lain, bagi manusia,

eksistensi adalah keterbukaan. Ini berarti bahwa manusia sebagai pencipta dirinya

sendiri tidak akan pernah berhenti dengan keinginan-keinginannya.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, eksistensi adalah keberadaan,

kehadiran yang mengandung unsur bertahan.

Eksistensi adalah suatu proses yang dinamis, suatu, menjadi atau mengada.
Ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri, yakni exsistere, yang
artinya keluar dari, melampaui atau mengatasi. Jadi eksistensi tidak
bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau kenyal dan mengalami
perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan
dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya (Abidin, 2007:16).

Eksistensi bisa juga dikenal dengan satu kata yaitu keberadaan. Eksistensi

dapat diartikan sesuatu yang menganggap keberadaan manusia tidaklah statis,

artinya manusia senantiasa bergerak dari kemungkinan ke kenyataan. Proses ini

berubah bila kini menjadi sesuatu yang mungkin maka besok akan berubah
36

menjadi kenyataan karena manusia itu mempunyai kebebasan untuk bergerak.

Bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan bagi

hidupnya. Konsekuensinya jika kita tidak bisa mengambil keputusan dan tidak

berani berbuat, kita tidak bereksistensi dalam arti yang sebenarnya.

Menurut Stanton (2007:137), dalam menyadari keberadaannya ini manusia

hampir selalu memperbaiki, atau membangun dirinya karena akhirnya ia tidak

akan pernah selesai dalam membangun dirinya. Hal ini karena eksistensi manusia

dipandang sebagai satu kesatuan yang menyeluruh, yakni sebagai kesatuan individu

dan dunianya.

Sebagaimana diungkapkan Heidegger (dalam Friedman & Schustack, 2008)


bahwa eksistensi adalah makna dari keberadaan manusia yang
mengedepankan masalah being-in-the-world, yaitu diri manusia tidak akan
ada tanpa dunia dan dunia tidak akan ada tanpa makhluk yang
mempersepsikannya. Dunia manusia bukan dunia fisik saja, melainkan dunia
makna, yakni pemaknaan individu terhadap dunia. Oleh sebab itu, tidak
mungkin bisa memahami manusia tanpa memahami dunia tempat eksistensi
manusia (misalnya rumah tempat tinggal individu dan tempat dimana ia
merasa bermakna sebagai individu; orang lain terhadap siapa ia berbicara atau
mengungkapkan perasaannya; tempat kerja di mana ia mengekspresikan
kemampuannya dan merasa menjadi manusia; sekolah di mana ia belajar dan
mengekspresikan keberadaannya; dan seterusnya).

Eksistensi diri merupakan segala kemungkinan yang apabila direalisasikan

dapat mengarahkan individu pada keberadaan autentik, yaitu manusia menjadi

dirinya sendiri, mengambil tanggung jawab untuk menjadi dirinya sendiri dengan

menyeleksi kemungkinan-kemungkinan yang ada disediakan dalam kehidupan

(Rodgers & Thompson, 2015). S ebagai kesadaran manusi terhadap tujuan hidup

dan dengan sepenuhnya dapat menerima potensi-potensi serta batasan diri secara

hakiki. Menurut Abidin (2002), kesadaran manusia pada dasarnya adalah

intensionalitas (selalu memiliki maksud atau terarah kepada sesuatu) dan dunia
37

manusia pada dasarnya merupakan hasil penciptaan (pemaknaan) manusia, serta ia

hidup dalam dunia yang telah “diciptakan” atau dimaknakannya. Para eksistensialis

lebih lanjut memiliki keyakinan bahwa setiap manusia mempunyai potensi untuk

menangani beberapa kondisi bawaannya dan membuat hidupnya menjadi lebih

bermakna.

Setiap manusia yang hadir di dunia ini memiliki tugas sendiri yang sesuai

dengan kodratnya. Tugas tersebut merupakan pilihan sendiri tanpa ada ada

campur tangan orang lain atau paksaan. Menurut Hassan (2005:125), dalam

memilih bagi diri sendiri, ia memilih sebagai manusia. Tidak ada yang memaksa

kita untuk melakukan tindakan dengan cara apapun juga atau secara mutlak kita

bebas.

Sartre (dalam Tong, 2010:255-256) membedakan antara pengamat dan

yang diamati dengan membagi diri ke dalam dua bagian, yaitu ada untuk

dirinya sendiri yang mengacu kepada kehadiran material repetitif yang dimiliki

oleh manusia dengan binatang, sayuran, dan mineral. Selanjutnya, ada untuk

dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran yang bergerak dan berkesadaran,

yang hanya dimiliki manusia Keduanya berguna dalam melakukan analisis

tentang manusia. Dengan memilih apa yang mau kita lakukan, kita sendiri

menciptakan nilai-nilai. Sartre menguraikan keyakinan inti eksistensialisme,

menurutnya manusia menciptakan dirinya sendiri. Eksistensi manusia mendahului

esensinya.

Dalam setiap pilihan manusia tidak bisa tidak memilih apa yang

dianggapnya lebih baik, jadi apa yang menjadi cita-citanya tentang dirinya

karena itu manusia bertanggung jawab seratus persen atas dirinya sendiri. Ia
38

adalah hasil dari pilihan-pilihannya sendiri. Sejalan dengan pendapat di atas,

menurut Ascher (dalam Tong, 2010:282) manusia membuat keputusan untuk

melepaskan diri dari atau bertahan dengan harus menghadapi tingkat

hambatan yang berbeda-beda. Pada kondisi tertentu tidak ada keputusan

positif yang mungkin diambil. Meskipun begitu, keputusan tetap diambil dan

setiap individu harus bertanggung jawab atas keputusan tersebut sehingga para

eksistensialis memahami keberadaan manusia bukan semata-mata sebagai ada

yang statis dan selalu sama, melainkan sebagai penciptaan dirinya yang secara

sinambung berubah dan berkembang.

Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa eksistensi diri adalah

cara individu memaknai keberadaan dirinya di dunia melalui berbagai upaya dengan

mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimiliki untuk mencapai keberadaan

autentik dan membuat hidupnya menjadi bermakna. Sebagai eksistensi yang

ditandai dengan keterbukaan menjelang masa depannya maka manusia pun

merencanakan segala sesuatu bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, manusia

bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Sebab dalam membentuk dirinya

tersebut, ia memiliki kebebasan untuk memilih yang baik dan kurang baik untuk

dirinya sendiri. Pilihan itu adalah pilihannya sendiri tanpa melibatkan orang lain.

Berbicara tentang eksistensi atau keberadaan tokoh dalam cerita, tentu

tidak terlepas dari peran yang dilakukan tokoh. Dari peran tokoh, akan ditemukan

bagaimana eksistensi tokoh dalam cerita. Menurut Tafsir (2006:218-219),

manusia menghadapi dunia, mengerti apa yang dihadapinya, dan mengerti akan

arti hidupnya. Artinya, manusia adalah subjek, yang menyadari, yang sadar akan
39

keberadaan dirinya. Barang-barang atau benda yang disadarinya adalah objek.

Manusia mancari makna keberadaan di dunia bukan pada hakikat manusia sendiri,

melainkan pada sesuatu yang berhubungan dengan dirinya.

2.3.2 Eksistensi Ayah

Eksistensi merupakan sebuah filsafat yang memandang segala gejala

berpangkal pada keberadaan (eksistensi) dan titik sentralnya adalah manusia.

Menurut Resky (2017:21), eksistensi direfleksikan dari pribadi seorang manusia

dalam menjalankan peran dan kedudukannya di dalam keluarga dan

masyarakatnya melalui sikap, tindakan, perilaku, ucapan, jalan pikiran, dan

rencana hidup. Eksistensi seseorang tercermin dari diri seseorang karena suatu

kompleksitas pengharapan manusia terhadap cara bereksistensi dalam situasi

tertentu yang berdasarkan status dan fungsi sosialnya (Abu, 1982:24). Di samping

itu, eksistensi juga muncul dari perilaku yang dapat dilaksanakan oleh individu

dalam masyarakat sebagai status sosialnya dalam keluarga, misalnya ayah.

Ayah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang tua

seorang laki-laki seorang anak. Tergantung hubungannya dengan sang anak,

seorang “ayah” dapat merupakan ayah kandung (ayah secara biologis) atau ayah

angkat. Panggilan “ayah” juga diberikan kepada seorang yang secara defacto

bertanggung jawab memelihara seorang anak meskipun antar keduanya tidak

terdapat hubungan resmi.

Peran orang tua (parenting) dapat diartikan sebagai peran pengasuhan.

Parenting merupakan tugas orang tua untuk mengarahkan anak menjadi mandiri di
40

masa dewasanya, baik secara fisik dan biologis. Parenting merupakan suatu

perilaku yang menunjukkan suatu kehangatan, sensitif, penuh penerimaan, bersifat

resiprokal, saling pengertian, dan respon terhadap apa yang dibutuhkan oleh anak

(Yuniardi, 2009:44). Selain itu, keterlibatan ayah dalam parenting mengandung

aspek waktu yaitu ketersediaan waktu orang tua untuk anaknya, interaksi yang

intens antara orang tua dan anak, dan perhatian yang cukup dari orang tua. Peran

ayah dan ibu dalam sebuah keluarga harus baik dan saling melengkapi terlebih

dalam memberikan role model dalam kehidupan sehari-hari (Yuniardi, 2009:44).

Adapun peran ayah dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut.

(1) Ayah Sebagai Pencari Nafkah

Sebagai tokoh utama yang mencari nafkah untuk keluarga. Mencari nafkah

merupakan suatu tugas yang berat. Pekerjaan mungkin dianggap hanya sebagai

suatu cara untuk memenuhi kebutuhan utama dan kelangsungan hidup. Padahal

melihat pekerjaan seorang ayah, ibu mempunyai jangkauan lebih jauh. Anak yang

melihat ibu dan ayah bekerja, atau ayah saja yang bekerja akan melihat bahwa

tanggung jawab dan kewajiban harus dilaksanakan secara rutin (Niken, 2004:24).

Dengan demikian, anak tahu bahwa kewajiban dan tanggung jawab harus

dilaksanakan tanpa paksaan. Selanjutnya dari cerita orang tua mengenai tugas dan

pekerjaan sehari-hari, anak belajar tentang pekerjaan yang kelak bisa

dilaksanakan. Akhirnya anak memperoleh bahan pemikiran dan pilihan peran

manakah yang kelak akan dimainkan.


41

(2) Ayah Sebagai Pemberi Rasa Aman

Ayah sebagai suami yang memberikan keakraban, kemesraan bagi istri.

Hal ini sering kurang diperhatikan dan dilaksanakan. Padahal istri sebagai ibu,

bila tidak mendapat dukungan keakraban dan kemesraan dari suami, bisa jemu

terhadap semua kegiatan rumah tangga, mengurus keluarga, membesarkan anak,

dan pekerjaan di luar rumah, akhirnya uring-uringan dan cepat marah sehingga

merusak suasana keluarga. Ibu yang merasa tidak aman dengan adanya suasana

keluarga yang gaduh, akan mengakibatkan anak merasa tidak aman dan tidak

senang di rumah. Agar suasana keluarga bisa terpelihara baik maka perlu tercipta

hubungan yang baik antara suami istri.

(3) Ayah Sebagai Pemberi Pendidikan Anak

Dalam hal pendidikan, peranan ayah di keluarga sangat penting. Terutama

bagi anak laki-laki, ayah menjadi model, teladan untuk perannya kelak sebagai

seorang laki-laki. Bagi anak perempuan, fungsi ayah juga sangat penting yaitu

sebagai pelindung. Ayah yang memberi perlindungan kepada putrinya memberi

peluang bagi anaknya kelak memilih seorang pria sebagai pendamping,

pelindungnya. Dari sikap ayah terhadap ibu dan hubungan timbal balik mereka,

anak belajar bagaimana ia kelak harus memperlihatkan pola hubungan bila ia

menjadi seorang istri.

Ayah tidak jauh berbeda dengan ibu, ayah juga harus berperan aktif dan

bertanggung jawab apa saja yang diperlukan oleh anak. Kebutuhan anak dari

balita hingga anak tumbuh menjadi dewasa. Ayah merupakan sosok teladan bagi
42

anak, karena anak akan mengikuti perilaku yang dilakukan oleh ayahnya. Selain

itu juga ayah juga harus bias bertindak sebagai pengajar dalam kehidupan sehari-

hari di rumah, seperti membantu menyelesaikan pekerjaan rumah, bergaul dengan

orang lain. Oleh karena itu ayah sering kali dijadikan sebagai panutan dan teladan

bagi anak, terutama anak laki-laki (Yuniardi, 2009:45).

(4) Ayah Sebagai Pelindung

Seorang ayah adalah pelindung dan tokoh otoritas dalam keluarga, dengan

sikapnya yang tegas dan penuh wibawa menanamkan pada anak sikap-sikap patuh

terhadap otoritas, dan disiplin. Ayah dalam memberikan tugas kepada anak perlu

melihat kemampuan anak untuk bisa menyelesaikan tugas itu (Santrock, 2007:45).

Dengan kemampuan menyelesaikan tugasnya, anak mengetahui kemampuan dan

batas-batasnya. Ayah dengan sikap wibawanya sering menjadi wasit dalam

memelihara suasana keluarga sehingga mencegah timbulnya keributan akibat

perselisihan dan pertengkaran dalam keluarga. Ayah yang diharapkan lebih

rasional, biasanya lebih adil dan konsisten sebagai wasit.

(5) Ayah Sebagai Teman Bermain (Friend and Playmate)

Bahwa ayah sering kali dianggap sebagai sosok “fun parent”. dan lebih

memiliki waktu bermain dibandingkan dengan ibu. Ayah sering bermain dan

memberikan stimulus fisik terutama kepada anak laki-laki, selain itu melalui

permainan dengan anak, ayah dapat berhumor dan bercanda dengan sehat kepada

anak.. Sehingga dengan demikian terjalin hubungan yang baik, kesulitan dan stres
43

yang dialami oleh anak dapat dikeluarkan. Dengan demikian peran ayah sebagai

friend and playmate menjadi harmonis sehingga dapat meningkatkan belajar dan

perkembangan anak (Yuniardi, 2009:45).

Peran ayah sebagai teman ataupun sahabat anak laki-lakinya, mereka akan

lebih terbuka kepada ayahnya untuk menyampaikan permasalahan yang mereka

alami. Ayah harus tahu permasalahan apa yang dialami oleh anak laki-lakinya.

Sehingga ketika anak memiliki masalah dapat bercerita dengan ayahnya, karena

anak menganggap ayahnya adalah teman sehingga anak tidak sungkan untuk

bercerita.

2.4 Sinopsis Novel Ayah Karya Andrea Hirata

Novel ini menceritakan seorang pemuda yang tergila-gila kepada seorang

gadis bernama Marlena. Sabari pertama kali berjumpa dengan Marlena ketika

ujian masuk SMA. Pertemuan mereka terjadi dengan tidak sengaja. Pada saat itu

Marlena tidak belajar untuk mengikuti ujian sehingga ketika ujian dia mengambil

paksa kertas jawaban Sabari. Sabari ini dikenal sebagai siswa yang pandai dala

bahasa Indonesia. Setelah kejadian itu, Sabari tergila-gila dengan Marlena.

Sabari menunggu hasil pengumuman ujian agar bisa berjumpa dengan

Marlena, tetapi dia tidak tau raut wajah Marlena. Ketika berjumpa, Marlena tidak

acuh dengan Sabari. Lena tidak pernah memedulikannya Sabari. Sabari tidak

pernah menyerah. Ia kerap memajang kertas berisi puisinya untuk Lena di majalah

dinding sekolahnya. Sesekali, gadis itu membalas, juga lewat mading.


44

Setelah lulus SMA, Sabari mencari kerja ke Tanjung Pinang. Setelah

beberapa tahun bekerja, dia balik ke Belitong untuk bekerja di pabrik Batako toko

Markoni, ayahnya Marlena. Tujuan dia bekerja agar bisa berjumpa dengan

Marlena.

Ketika sudah dewasa pun, Sabari tetap tak bisa melupakan Lena. Suatu

hari, ia mendengar kabar bahwa Lena hamil di luar nikah. Saat itu Sabari bekerja

di pabrik batako milik Markoni, ayah Lena. Sabari pun mau saja ketika diminta

menikahi Lena, demi menyelamatkan nama baik Markoni yang kurang akur

dengan Lena itu.

Anak lelaki yang kemudian lahir dari rahim Lena itu kemudian diberi

nama Zorro oleh Sabari. Pasalnya, bocah itu ketika diberi boneka Zorro tak mau

melepasnya. Sabari sangat menyayangi Zorro. Dia ingin memeluknya sepanjang

waktu, terpesona melihat makhluk kecil yang sangat indah itu dan seluruh

kebaikan yang terpancar darinya. Tiap malam, Sabari susah susah tidur lantaran

membayangkan bermacam rencana yang akan dia lakukan bersama anaknya jika

besar nanti. Dia ingin mengajaknya melihat pawai 17 Agustus, mengunjungi pasar

malam, membelikannya mainan, menggandengnya ke masjid, mengajarinya

berpuasa dan mengaji, dan memboncengnya naik sepeda saban sore ke taman

kota.

Dia juga Ikhlas ketika Lena bahkan tak mau tinggal bersama mereka.

Beberapa tahun kemudian Lena malah minta cerai dan menikah lagi hingga tiga

kali, bahkan akhirnya mengambil Zorro dari Sabari. Pelan-pelan, Sabari mulai

tampak seperti orang gila dalam penampilan dan tingkah laku. Dua sahabatnya,
45

Ukun dan Tamat, lama-lama tak tahan melihat Sabari seperti itu, sehingga

akhirnya mereka memutuskan menjelajahi Sumatra demi menemukan Lena dan

Zorro dan membawa mereka kembali.

2.6 Sinopsis Ayahku (Bukan) Pembohong KaryaTere Liye

Dam adalah seorang anak yang dididik dan dibesarkan dengan segala

cerita hebat masa muda ayahnya. Akan tetapi, dengan semua cerita itulah, tumbuh

keperibadian yang baik dalam diri Dam. Pengajaran yang sederhana, namun

berdampak sangat besar. Ayah Dam adalah seseorang yang dikenal sebagai

pegawai negeri biasa yang ramah,baik dan tidak pernah berbohong dalam setiap

ucapannya. Hampir seluruh kota tempat mereka tinggal kenal dengannya.

Dam sangat mengidolakan ayahnya karena cerita-cerita itu.Salahsatunya

adalah tentang seorang pemain sepak bola terkenal yang dijuluki “ Sang Kapten”.

Ayah menceritakan bagaimana pekerja kerasnya sang Kapten saat masih kecil,

bekerja menjadi pengantar sup untuk menghidupi keluargannya dan juga terus

berlatih saat ada waktu demi meraih cita-citanya menjadi pemain sepak bola. Dari

cerita itu Dam belajar yang namanya kerja keras.

Hari berganti menjadi minggu,bulan dan tahun, kini Dam sudah lulus SMP

dan ayahnya mendaftarkannya di sekolah berasrama bernama Akademi Gajah.

Dam tiba disana dengan menaiki kereta api selama 8 jam dari kotanya. Di tahun

pertama ini Dam sering membuat masalah, yaitu dengan menonton Piala Dunia

beramain-ramai dikamarnya sehingga Dam dan Retro (teman sekamar Dam)

dihukum kepala sekolah. Selain itu, saat pelajaran tentang gravitasi, mereka
46

merusak alatnya sehingga dihukum menunggui buah apel jatuh dari pohonnya.

Awalnya Dam memang kesal dan bosan disana, tetapi akhirnya Dam memiliki

kesenangannya sendiri disana, yaitu menggambar bangunan sekolah untuk

ditunjukkan pada ibunya. Akhirnya, Dam pulang untuk liburan, sepanjang

perjalanan Dam membantu seorang ibu untuk mengurus anak-anaknya.

Tinggal beberapa hari menjelang pembebasan hukuman, Dam dikagetkan

dengan judul buku yang sedang dibaca Retro, “Apel Emas Lembah Bukhara”.

Dam ingat itu adalah cerita petualangan ayahnya tentang keindahan lembah

Bukhara yang dibangun selama 100 tahun karena kerusakan yang ditimbulkan

oleh penambang liar dan juga tentang adanya apel emas yang diberikan pada

ayahnya.

Selesai liburan, Dam kembali ke Akademik Gajah dan langsung dihadiahi

hukuman untuk membayar buku perpustakaan yang rusak. Akhirnya, Dam bekerja

di rumah penduduk dan banyak temannya yang ikut serta. Dam juga menabung

untuk biaya pengobatan ibunya. Namun, pada pagi setelah acara perburuan tim

memanah, Dam mendapatkan kabar bahwa ibunya sakit. Ia langsung

membereskan barangnya dan pulang.

Sampai di sana, Dam sangat marah pada ayahnya karena berbohong

tentang keadaan ibunya setahun lalu. Melalui penanganan dokter, Ibu Dam tetap

tidak dapat diselamatkan. Malam itu Dam memutuskan untuk berhenti

mempercayai semua cerita ayahnya.Sehari setelah pemakaman ibunya, Dam

kembali ke Akademi Gajah. Sekolah itu kosong. Dam menemui kepala sekolah

dan mendapatkan ijazah beserta sertifikat penghargaannya, Dam juga


47

mendapatkan surat pengantar masuk universitas. Akhirnya, Dam dapat kuliah

dengan menggunakan surat itu. Beberapa tahun kemudian, Dam bertemu dengan

Taani (teman SMP Dam). Mereka mengobrol dan jadi sering bertemu. Semakin

lama mereka menjadi dekat dan memutuskan untuk menikah dengan syarat dari

Taani bahwa kelak Ayah bisa tinggal dengan mereka.

Dua tahun setelah menikah, lahirlah anak pertama mereka, Zas. Taani

sering mengunjungi Ayah bersama Zas dan lebih sering lagi saat lahirnya anak

kedua mereka dua tahun kemudian, Qon. Saat Zas berusia 8 tahun dan Qon 6

tahun, akhirnya Dam memperbolehkan Ayah tinggal dengan mereka.

Selama Ayah tinggal dengan mereka, Dam selalu berusaha menjauhkan

anak-anaknya dari segala cerita ayahnya, tetapi dilarang Taani. Sampai suatu hari

Dam mengetahui kalau anaknya membolos yang ternyata karena mencari cerita

kakeknya di perpustakaan kota. Dam marah dan menghukum mereka juga

melarang ayahnya bercerita. Saat Dam pergi dinas, Ayah kembali bercerita hanya

saja itu tentang Akademik Gajah dan Ibu Dam. Dam yang mengetahuinya marah

dan di malam hujan itu Ayah memutuskan pergi dari rumah. Dam kembali

keruang kerjanya dan mencari Akademik Gajah, namun tidak ditemukan. Hal ini

membuat Dam bingung sampai Dam menuliskan nama ibunya di kolom pencarian

dan keluarlah semua berita tentang ibunya yang ternyata seorang artis saat masih

muda seperti yang diberitahukan semua orang selama ini padanya.

Esok harinya Ayah dibawa kerumah sakit karena pingsan di pemakaman

kota. Setelah ditangani Ayah sempat siuman dan memanggil Dam. Ayah meminta

Dam mendengarkan cerita terakhinya tentang Danau Para Sufi. Danau Para Sufi
48

adalah danau yang dibuat oleh ayahnya selama bertahun-tahun untuk mencari tahu

definisi dari kebahagiaan dan akhirnya Ayah mendapatkan jawaban. Definisi

kebahagiaan itu adalah hati yang lapang. Jika seseorang memiliki hati yang

lapang, hidup dalam kesederhanaan pun akan terasa indah dan itulah kebahagiaan.

Setelah bercerita, akhirnya Ayah pergi untuk selama-lamanya. Dan hari itu Dam

tahu bahwa selama ini ibunya bahagia.

Pada hari pemakaman Ayah Dam, tempat itu dipenuhi hampir seluruh

warga kota itu sendiri. Mereka menyalami Dam dan mengucapkan rasa

belasungkawanya. Namun, saat melihat ke langit Dam dikejutkan dengan adanya

formasi layang-layang dimusim hujan seperti ini yang menurut Qon adalah

formasi layang-layang suku Penguasa Angin. Namun, yang membuat Dam merasa

lebih kaget,bersalah sekaligus terharu adalah ketika “Sang Kapten” dan “Si

Nomor 10” datang dan mengucapkan rasa sedihnya karena tidak sempat bertemu

dengan ayahnya. Dam hanya bisa terisak mendengarnya.

Anda mungkin juga menyukai