Anda di halaman 1dari 19

8

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Novel

2.1.1 Pengertian Novel

Novel berasal dari bahasa Italia novella, yang dalam bahasa Jerman

disebut novelle dan novel dalam bahasa Inggris, dan inilah yang kemudian masuk

ke Indonesia. Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil, yang

kemudian diartikan sebagai cerita pendek yang berbentuk prosa (Nurgiyantoro,

2010:9). Novel merupakan karya fiksi yang dibangun oleh unsur-unsur

pembangun, yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Novel juga diartikan

sebagai suatu karangan berbentuk prosa yang mengandung rangkaian cerita

kehidupan seseorang dengan orang lain di sekelilingnya dengan menonjolkan

watak dan sifat pelaku (Nurgiyantoro, 2010:10).

Adapun menurut Tarigan (2011) bahwa novel adalah suatu cerita dengan

alur yang cukup panjang mengisi satu buku atau lebih yang menggarap kehidupan

pria dan wanita yang bersifat imajinatif. Menurut pengeritan tersebut dapat

dikatakan bahwa novel adalah sebuah karya fiksi berbentuk prosa yang

menceritakan kehidupan para tokoh yang diceritakan dalam sebuah alur atau

peristiwa yang panjang cakupannya cerita tidak terlalu panjang dan tidak terlalu

pendek, yang setidaknya terdiri dari 100 halaman. Berdasarkan jenisnya novel

dibagi ke dalam lima bagian yaitu, novel avontur, psikologis, detektif, sosial,

politik dan kolektif. Senada dengan pendapat Kosasih (2012:60) novel adalah

karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan

seseorang atau beberapa orang tokoh.


9

Susanto (2012:32) menyatakan bahwa karya sastra (novel, cerpen, dan

puisi) adalah karya imajinatif, fiksional, dan ungkapan ekspresi pengarang. Fiksi

adalah hasil imanjinatif, rekaan, dan angan-angan pengarang. Bentuk karya fiksi

yang terkenal dewasa ini adalah novel dan cerpen. Novel dan cerpen merupakan

dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi bahkan dalam

perkembangannya, novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Novel adalah bentuk

karya sastra cerita fiksi yang paling baru. Novel memiliki ciri-ciri yaitu bahwa

pelaku utamanya mengalami perubahan nasib baru (Waluyo, 2011:5-6). Novel

merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap kehidupan

dan lingkungannya setelah melalui penghayatan dan perenungan secara intens

(Al-Ma‟ruf, 2010:17).

Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel

adalah karya sastra imajinatif yang mengisahkan tentang sisi utuh problematika

kehidupan sejumlah tokoh yang dalam penyajiannya dapat ditemukan nilai

pendidikan budi pekerti.

2.1.2 Karakteristik Novel

Menurut Hidayati (2009:22) bahwa novel dibagi menjadi lima sudut, yaitu

berdasarkan bentuk pengutaraan, jenis pemilihan kerangka, isi sebagai muara

makna cerita, sifat yang membedakan teks ini dengan teks lainnya, serta struktur

yang memuat unsur-unsur pembangun novel itu sendiri. Pertama, berdasarkan

bentuk, bahwa novel diwujudkan dalam bentuk karangan prosa, dan tidak

menutup kemungkinan unsur puitik masuk di dalamnya sepanjang unsur tersebut

menyangkut bahasanya. Kedua, dilihat dari segi jenisnya, novel lebih cenderung

menampilkan jenis narasi, karena dalam novel lebih mengutamakan unsur


10

penceritaan dalam menggambarkan para perilaku ceritanya. Ketiga, isi novel pada

dasarnya mengetengahkan gambaran hidup dan kehidupan lahir batin tokohnya

dalam mengarungi dunianya, masyarakat. Keempat, bahwa novel berkesan fiktif,

khayalan. Kelima, sebagai suatu karya novel memiliki struktur, dan struktur yang

utama adalah plot, penokohan, dan peristiwa. Struktur-struktur itu tersusun secara

kronologis.

2.1.3 Unsur-unsur Pembangun Novel

Novel sebagai karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur pembangun cerita

(unsur-unsur cerita). Unsur-unsur pembangun cerita dalam sebuah novel yang

membentuk totalitas terdiri atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

1. Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra,

unsur-unsur yang secara faktual dijumpai saat orang membaca karya sastra

(Nurgiyantoro, 2010:23). Unsur yang dimaksud antara lain, peristiwa, cerita,

plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa, atau gaya

bahasa, dan lain-lain. Di dalam penelitian ini, dijelaskan unsur-unsur

instrinsik yang meliputi tema, plot, latar/setting, penokohan, dan sudut

pandang penceritaan. Adapun menurut Sadikin (2011:8) bahwa unsur

intrinsik ialah unsur yang menyusun sebuah karya sastra dari dalam yang

mewujudkan struktur suatu karya sastra. Unsur-unsur inilah yang

menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks sastra, unsur intrinsik sebuah

novel adalah unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Unsur

intrinsik terdiri atas alur, tema, perwatakan/penokohan, sudut pandang, latar,

gaya bahasa, dan amanat.


11

a. Alur (Plot)

Novel merupakan karya fiksi yang tidak terikat pada panjang-

pendeknya cerita, sehingga memungkinkan pengarang untuk

menempatkan lebih dari satu plot di dalamnya. Umumnya sebuah novel

terdiri dari satu plot utama dan beberapa subplot (Nurgiyantoro, 2010:12).

Plot utama berisi konflik utama yang menjadi inti persoalan yang

diceritakan di sepanjang karya. Subplot adalah munculnya konflik-konflik

tambahan yang bersifat menopang, mempertegas, dan mengintensifkan

konflik utama untuk sampai ke klimaks. Plot-plot tambahan atau subplot

berisi konflik-konflik yang memiliki kadar kepentingan yang berbeda-beda

dan peran yang berbeda terhadap plot utama. Masing-masing subplot

berjalan sendiri dan memeiliki penyelesaiannya sendiri, namun tetap

terkait satu sama lain dalam hubungannya dengan plot utama

(Nurgiyantoro, 2010:12).

Adapun Karmini (2011:53) berpendapat bahwa alur atau plot adalah

rangkaian kejadian atau peristiwa dalam cerita yang disusun sebagai

sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-

bagian dalam keseluruhan fiksi. Selanjutnya menurut Sembodo (2010:6)

bahwa alur atau plot yaitu rangkaian peristiwa yang terjalin dalam suatu

cerita.

b. Tema

Novel dapat memiliki lebih dari satu tema, yang terdiri dari satu

tema utama dan tema-tema tambahan, sehingga memampukan novel untuk

mengungkapkan berbagai masalah kehidupan dalam satu karya saja. Hal


12

ini sejalan dengan adanya plot utama dan subplot-subplot. Tema-tema

tambahan yang termuat dalam sebuah novel harus bersifat menopang dan

berkaitan dengan tema utama, sehingga tercipta kepaduan (Nurgiyantoro,

2010:13).

Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan „makna‟ dalam

pengalaman manusia, sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu

diingat (Stanton, 2012:36). Adapun Sadikin (2011:9) mengemukakan

bahwa tema ialah persoalan yang menduduki tempat utama dalam karya

sastra. Selanjutnya, Sembodo (2010:8) berpendapat bahwa tema yaitu

permasalahan yang diangkat dalam suatu cerita dan menjadikan garis besar

permasalahan yang dipaparkan.

c. Penokohan

Tokoh-tokoh dalam novel ditampilkan secara lengkap, misalnya

yang berhubungan dengan ciri-ciri fisik, keadaan sosial, tingkah laku, sifat

dan kebiasaan, termasuk hubungan antar tokoh, yang dilukiskan secara

langsung maupun tidak langsung (Nurgiyantoro, 2010:13). Adapun

menurut Aminuddin (2013:79) menyebutkan bahwa pelaku yang

mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu

menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh, sedangkan cara pengarang

menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut dengan penokohan.

Penokohan merupakan salah satu hal yang sangat penting bahkan

menentukan dalam sebuah fiksi, tanpa ada tokoh yang diceritakan dan

tanpa ada gerak tokoh fiksi tidak ada artinya (Karmini, 2011:17).

Selanjutnya Wicaksono (2014:214) mendefinisikan penokohan adalah sifat


13

yang diletakkan pada diri tokoh, penggambaran atau pelukisan mengenai

tokoh cerita, baik lahirnya maupun batinnya oleh seorang pengarang.

d. Latar (Setting)

Dalam novel, keadaan latar dilukiskan secara rinci, sehingga

memberikan gambaran yang jelas, konkret, dan pasti. Namun demikian,

cerita yang baik hanya akan melukiskan detil tertentu yang dianggap perlu.

Cerita yang baik tidak akan terjatuh pada pelukisan yang berkepanjangan

sehingga menimbulkan kebosanan dan mengurangi kadar ketegangan

cerita (Nurgiyantoro, 2010:13-14).

Sadikin (2011:11) menjelaskan bahwa, latar yaitu tempat atau waktu

terjadinya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sebuah karya sastra.

Sementara itu, Stanton (2012:35) berpendapat bahwa latar adalah

lingkungan yang meliputi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang

berinteriraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.

Selanjutnya, Wicaksono (2014:251) menyatakan bahwa latar merupakan

bagian cerita atau landas tumpu yang merujuk pada masalah tempat dan

waktu tempat terjadinya peristiwa lingkungan sosial yang digambarkan

untuk menghidupkan peristiwa.

e. Sudut Pandang (Point of View)

Sudut pandang merupakan suatu metode narasi yang menentukan

posisi atau sudut pandang dari mana cerita disampaikan. Secara umum,

terdapat empat sudut pandang yaitu, sudut pandang persona ketiga (diaan),

sudut pandang persona pertama (akuan), sudut pandang campuran dan

sudut pandang dramatic (Nurgiyantoro, 2010:170). Adapun menurut


14

Wicaksono (2014:275) sudut pandang bisa diartikan sebagai teknik yang

digunakan pengarang untuk berperan dalam cerita itu. Pengarang sebagai

orang pertama (juru cerita) atau sebagai orang ketiga (menyebut pelaku

sebagai dia). Selanjutnya Sembodo (2010:7) mengemukakan bahwa sudut

pandang adalah penempatan pandangan pada tokoh utama.

f. Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah alat atau sarana utama pengarang untuk

melukiskan, menggambarkan, dan menghidupkan cerita secara estetika.

Gaya bahasa juga dapat diartikan sebagai cara pengarang mengungkapkan

ceritanya melalui bahasa yang digunakan dalam cerita untuk memunculkan

nilai keindahan. Contohnya gaya bahasa personifikasi yang digunakan

untuk mendeskripsikan benda-benda mati dengan cara memberikan sifat-

sifat seperti manusia atau mengubah benda mati menjadi benda yang

seolah-olah hidup (Nurgiyantoro, 2010:168).

Pada setiap karya sastra, dalam pemakaian bahasa antara pengarang

yang satu dengan pengarang yan lain tidak sama. Dalam hal pemakaian

bahasa ini terlihat adanya bermacam-macam gaya bahasa, yang

memberikan corak yan bermacam-macam pula. Pengarang akan senantiasa

memilih kata-kata dan menyusunnya menjadi kalimat-kalimat sedemikian

rupa dalam proses menulis sehingga mampu mewadahi apa yang

dipikirkan dan dirasakan tokoh-tokoh (Nuryatin, 2010:16).

g. Amanat

Amanat dapat diartikan pesan berupa ide, gagasan, ajaran moral

dan nilai-nilai kemanusiaan yang ingin disampai-kan/dikemukakan


15

pengarang lewat cerita. Menurut Sumardjo (dalam Wijaya dan

Wahyuningtyas, 2011:4) amanat adalah gagasan yang mendasari karya

sastra, pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya.

Sementara itu, Sadikin (2011:9) berpendapat bahwa amanat ialah

pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan di dalam karya

sastra.

2. Unsur Ekstrinsik

Menurut Nurgiyantoro (2010:23) bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur-

unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung

mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Menurut Suroto

(1989:138) bahwa secara spesifik, unsur tersebut dikatakan sebagai unsur-

unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, tetapi tidak

menjadi bagian di dalamnya. Seperti halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik

juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur tersebut meliputi latar belakang

kehidupan pengarang, keyakinan, dan pandangan hidup pengarang, adat

istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik, persoalan sejarah, ekonomi,

pengetahuan agama dan lain-lain yang ke semuanya akan mempengaruhi

karya yang ditulisnya. Unsur ini mencakup berbagai aspek kehidupan sosial

yang menjadi latar belakang penyampaian tema dan amanat cerita.

Kelemahan penelitian struktural adalah hanya menekankan pada sastra secara

otonom sehingga menghilangkan konteks, fungsinya dan relevansi sosial,

yang justru asal-usulnya (Ratna, 2004:332). Sehingga diperlukan análisis

terhadap unsur ekstrinsik agar karya sastra dapat bermakna dan bermanfaat

bagi kehidupan.
16

2.2 Kearifan (Wisdom)

2.2.1 Pengertian Kearifan (Wisdom)

Lerner et al., dalam Kurniawan dkk (2015) menyatakan bahwa beberapa

ahli menyebutkan kearifan (wisdom) sebagai sebuah penilaian yang baik dari

perilaku yang ada. Penilaian baik yang dimaksud adalah mempertimbangkan

secara menyeluruh terkait sejumlah aspek pada situasi tertentu ketika individu

menghadapi masalah. Individu akan mempertimbangkan kelebihan dan

kekurangan dari dirinya, bagaimana pembawaan dan emosinya sekaligus

kesehatan dan kemampuan fisiknya ketika mengambil sebuah keputusan serta

mempertimbangan situasi sosial dan budaya.

Menurut Birren & Fisher dalam Wiratih dan Aima (2012) wisdom adalah

integrasi dari aspek afektif, konatif, dan kognitif dalam kemampuannya

menanggapi kewajiban dan problema hidup. Pandangan lama mengatakan bahwa

wisdom adalah area lansia (lanjut usia) karena lansia sudah lebih banyak

pengalaman sehingga bisa memberikan nasehat yang berguna. Namun pandangan

terbaru menyatakan bahwa wisdom tersebut bisa diperoleh siapa saja, bahkan

remaja, karena wisdom adalah suatu kemampuan yang dapat dipelajari dan

merupakan gabungan dari aspek intelegensi, sosial, emosi, dan motivasi.

Sternberg & Jordan (2005) mendefinisikan kearifan sebagai keseimbangan

antara pemahaman individu tentang dirinya sendiri (intrapribadi), orang lain

(antarpribadi) dan berbagai aspek kehidupannya (ekstrapribadi) yang

dinamakannya sebagai teori keseimbangan kearifan (balance theory of wisdom).

Elemen inti dari kearifan adalah kecerdasan diam-diam (tacit knowledge) yang

berorientasi pada perilaku dan membantu individu mencapai tujuan pribadi.


17

Kecerdasan diam-diam ini hanya dapat diperoleh melalui pengalaman nyata yang

dialami langsung oleh individu, bukan berasal dari ilmu yang dibaca dari buku-

buku atau pengalaman orang lain yang didengarnya.

Menurut Kunzmann & Baltes dalam Nugrohadi (2012), wisdom dalam

kajian psikologi dilatarbelakangi oleh kajian ilmu lain, yakni: filsafat, sejarah, dan

budaya. Perkembangan kajian sejarah, budaya, dan filsafat tentang masalah

wisdom memberikan sumbangan bagi psikologi dalam membahas tema tersebut.

Adapun Webster (2007:164) mendefinisikan kearifan (wisdom) sebagai

kompetensi di dalam niat dan penerapan, pengalaman hidup kritis untuk

memfasilitasi pengembangan optimal diri dan orang lain.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa

kearifan (wisdom) merupakan kompentensi yang diterapkan dalam mengatasi

permasalahan mendasar yang berkaitan dengan perilaku dan makna hidup serta

keseimbangan antara pemahaman individu tentang dirinya sendiri, orang lain dan

berbagai aspek kehidupannya.

2.2.2 Bentuk/Model Kearifan

Berdasarkan sudut pandang psikologi dengan mengikuti pemikiran Yang

dalam Nugrohadi (2012:32), maka kearifan dapat dibedakan dalam empat bentuk

atau model sebagai berikut:

1. Kearifan dipahami sebagai kompetensi atau karakteristik kepribadian.

Berdasarkan sudut pandang kompetensi kepribadian, kearifan dipahami

sebagai kemampuan yang memungkinkan seseorang untuk memahami

kodrat manusia secara utuh; dari sudut pandang karakteristik kepribadian,


18

kearifan dipahami sebagai karakteristik kepribadian yang dikonstitusi

oleh dimensi kognitif, reflektif, dan afektif seseorang.

2. Kearifan dipahami sebagai hasil positif (baik sebagai kondisi akhir

maupun sebagai kapasitas-kapasitas tertentu yang muncul setelah struktur

kognitif yang lebih tinggi dicapai) dari perkembangan kodrat manusia.

Berdasarkan sudut pandang ini, kearifan dipahami muncul dari

keberhasilan seseorang dalam mengatasi krisis-krisis psikososial yang

dialami dalam setiap tahap perkembangannya. Kearifan juga dipahami

muncul dari masalah-masalah yang dihadapi oleh seseorang dengan

melibatkan berbagai sudut pandang.

3. Kearifan dipahami sebagai sebuah sistem pengetahuan. Dari sudut

pandang ini, kearifan dipahami sebagai sistem pengetahuan tentang arti

dan aturan hidup. Konsep tersebut dikonkritkan dalam bentuk sistem

ekspertis yang kompleks dan dinamis dalam pragmatisme hidup yang

fundamental.

4. Kearifan dipahami sebagai sebuah proses hidup. Berdasarkan sudut

pandang ini, kearifan dipahami sebagai penerapan pengetahuan (baik

yang implisit maupun eksplisit) dengan menyeimbangkan antara tujuan,

respon, dan kepentingan yang dimediasi oleh sistem nilai demi

tercapainya kebaikan bersama.

2.2.3 Aspek Kearifan

Ardelt (2003) menjelaskan bahwa aspek-aspek dari wisdom terdiri dari

tiga, yaitu:
19

1. Kognitif

Aspek kognitif adalah kemampuan seseorang untuk memahami apa

yang terjadi di kehidupannya, terutama yang berkaitan dengan hubungan

sesama individu dan hubungan individu dengan kelompok. Kognitif juga

menyangkut sifat positif dan negatif dalam diri seseorang. Dalam aspek

ini seseorang dikatakan memiliki wisdom yang baik apabila lebih bisa

memahami kemampuan dan sifat manusia di lingkungan masyarakat.

2. Reflektif

Dalam kehidupannya seseorang harus mampu mengembangkan

kesadaran diri dan kepedulian dirinya mengenai sesuatu yang ada di

sekitar kita. Oleh karena itu, aspek reflekif yang dilakukan akan

mengurangi seseorang dalam mementingkan dirinya sendiri, dan

meningkatkan motivasi seseorang untuk peduli dengan lingkungannya.

Aspek reflektif bisa dikatakan bagaimana seseorang melihat peristiwa

yang ada di sekitarnya dengan sudut pandang yang berbeda, dan

mengurangi seseorang untuk menyalahkan orang lain.

3. Afektif

Aspek afektif adalah mementingkan orang lain dan lebih mengerti

sikap yang timbul dari seseorang oleh karena itu dapat meningkatkan

rasa simpatik dan lebih menghargai orang lain. Rasa afektif pada diri

seseorang menimbulkan emosi positif terhadap perilaku orang lain

seperti lebih mengerti perasaan orang lain, bertindak simpati, dan lebih

menyayangi orang lain. Selain itu aspek afektif seseorang juga akan

mengurangi seseorang untuk bersikap acuh terhadap orang lain.


20

Pendapat lain dikemukakan oleh Birren & Fisher dalam Wiratih dan

Aima (2012) yang menyebutkan aspek-aspek wisdom ada tiga, yaitu:

4. Afektif

Menurut Allport dalam Djaali (2009) ranah afektif adalah ranah

yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Sikap adalah suatu kesiapan

mental dan syaraf yang tersusun melalui pengalaman dan memberikan

pengaruh langsung kepada respons individu terhadap semua objek atau

situasi yang berhubungan dengan objek itu. Sikap tidak muncul ketika

dibawa lahir, tetapi disusun dan dibentuk melalui pengalaman serta

memberikan pengaruh langsung kepada respons seseorang. Sikap bukan

tindakan nyata (overt behavior), melainkan masih bersifat tertutup

(covert behavior).

5. Konatif

Menurut Alport dalam Djaali (2009) komponen konatif

merupakan kesiapan merespon obyek atau kecenderungan bertindak

dengan obyek sikap. Berdasarkan hasil kerja pikir dan pengetahuan

ditunjang dengan warna emosi timbul suatu kecenderungan untuk

bertindak. Bentuk kecenderungan bertindak ini dapat berupa tingkah laku

yang nampak, pernyataan atau ucapan dan ekspresi atau mimic.

Kecenderungan bersifat subyektif dan sangat dipengaruhui oleh emosi

seseorang yang dianggap atau sesuai dengan perasaan yang akan menjadi

bentuk kecenderungan terhadap objek.

6. Kognitif
21

Menurut Allport dalam Djaali (2009) komponen kognitif berupa

pengetahuan dan informasi mengenai obyek, mencakup fakta-fakta,

pengetahuan, persepsi dan keyakinan tentang obyek, berisi kepercayaan

mengenai obyek, sikap yang diperoleh dari apa yang dilihat dan

diketahui, sehingga terbentuk ide, gagasan, atau karekteristik umum

mengenai obyek sikap.

Berdasarkan dari ketiga aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa

aspek kognitif adalah kemampuan seseorang memahami kejadian yang ada

di lingkungannya, aspek afektif adalah tindakan seseorang dalam

mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri, sedangkan aspek reflektif

adalah melihat sesuatu di lingkungannya dari sudut pandang yang berbeda

dan mengurangi seseorang dalam menyalahkan orang lain.

2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kearifan

Basri (2006) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

kearifan (wisdom) ada lima, yaitu:

1. Kondisi spiritual-moral

Kondisi spiritual adalah kondisi seseorang dalam berhubungan

dengan Tuhan. Dalam faktor kondisi spiritual moral mencakup indikasi

bertakwa, religius/beriman, saleh, tawakal, sederhana, bersahaja

kehidupannya, tutur kata halus, lemah lembut, sopan santun, tabah, tegas.

2. Kemampuan hubungan antar manusia

Kemampuan dalam berhubungan dengan manusia yang memiliki

latarbelakang yang beragam. Dalam hal ini mencakup mau berkorban,


22

penyayang pada semua, tulus ikhlas, mengayomi, melindungi, pemaaf,

dan penuh pengertian.

3. Kemampuan menilai dan mengambil keputusan

Seseorang dapat menilai lingkungan di sekitarnya seperti meninjau

permasalahan dari berbagai sudut pandang, lebih memperhatikan

kepentingan orang banyak daripada pribadi. Selain itu kemampuan orang

dalam memutuskan sesuatu dengan tepat dan berpandangan menyeluruh

terhadap kehidupan, serta dapat berlaku adil dalam keadaan apapun dan

kepada siapapun.

4. Kondisi personal

Kondisi personal seseorang adalah kondisi yang ada di diri

seseorang seperti mawas diri, memiliki tanggung jawab, konsekuen, dan

memiliki rasa percaya diri.

5. Kemampuan khusus atau istimewa

Kemampuan khusus atau istimewa adalah kemampuan yang

kebanyakan orang tidak memilikinya, seperti kecerdasan, intuitif,

memiliki pengetahuan dan berwawasan luas, serta memiliki rasa empati

yang baik.

2.2.5 Karakteristik Orang yang Arif

Baltes & Kunzmann dalam Sternberg & Jordan (2005) merumuskan

karakteristik orang yang arif atau bijaksana berdasarkan hasil penelitian

mereka, yaitu:

1. Memandang fenomena dari perspektif yang lebih luas.


23

2. Menampilkan sikap detached (membatasi diri) dan kurang emosional.

Hal ini bukan berarti orang yang arif memiliki alam emosi yang datar dan

dangkal. Sebaliknya, orang yang arif justru dapat lebih menunjukkan

kepeduliannya terhadap permasalahan yang dihadapi orang lain karena

pengetahuannya yang mendasar tentang permasalahan hidup yang

kompleks serta dinamika keberhasilan dan kegagalan yang mewarnai

sepanjang perkembangan kehidupan manusia. Di samping itu, mereka

juga cerdas dalam membatasi pengaruh negatif masalah yang dapat

melumpuhkan keberdayaan mereka. Baltes menyebut kemampuan ini

sebagai “constructive melancholy”.

3. Lebih mementingkan pengembangan diri, wawasan, dan kesejahteraan

orang lain daripada kehidupan yang penuh dengan kesenangan dan

kenyamanan.

4. Lebih menggunakan pendekatan kooperatif dalam menyelesaikan konflik

antarpribadi daripada menggunakan pendekatan dominan, submisif, atau

menghindar.

5. Lebih menampilkan struktur afektif yang lebih berorientasi kepada proses dan

lingkungan, seperti inspirasi dan minat, daripada orientasi yang bersifat evaluatif dan

mementingkan diri sendiri.

2.2.6 Indikator Kearifan (Wisdom)

Penelitian ini menggunakan indikator dalam Brief Wisdom Screening

Scale (BWSS) yang diperkenalkan oleh Glück, et al. (2013). BWSS adalah

kompilasi murni empiris dari 20 item yang memiliki korelasi tertinggi

antara kearifan (wisdom) dengan beberapa faktor atau aspek umum. Skala

ini mencakup beragam konten, mulai dari minat pada filosofi hingga
24

perasaan persatuan dengan alam atau disesuaikan dengan emosi sendiri;

dengan demikian, itu tidak mewakili teori kebijaksanaan tertentu atau

memungkinkan untuk analisis segi kebijaksanaan. Berikut ini 8 aspek atau

dimensi dengan 20 item dalam skala BWSS yang menjadi indikator kearifan

(wisdom) menurut Glück, et al. (2013).

1. Transendensi-diri (self-transcendence), yaitu kebebasan dari definisi-diri

eksternal dan pembubaran batas-batas yang kaku antara diri dan orang

lain. Hal ini merujuk pada kedamaian batin yang terlepas dari hal-hal

eksternal, perasaan persatuan dengan orang lain dan alam, kegembiraan

dalam hidup, dan perasaan diri yang terintegrasi (Levenson et al., 2005).

Aspek ini terdiri dari 9 item indikator, yaitu:

a. Mampu mengintegrasikan berbagai aspek kehidupannya

b. Memiliki selera humor yang baik tentang dirinya

c. Dapat menerima ketidakkekalan berbagai hal

d. Telah tumbuh sebagai akibat dari kehilangan yang diderita

e. Ketenangan pikirannya adalah tidak mudah gusar

f. Kebahagiaannya tidak tergantung pada orang dan hal-hal lain

g. Tidak kuatir tentang pendapat orang lain terhadap dirinya

h. Merasa bahwa kehidupan pribadinya adalah bagian dari suatu

keseluruhan yang lebih besar

i. Sering memiliki rasa kesatuan dengan alam

2. Regulasi emosional (emotional regulation), yaitu sensitivitas yang sangat

baik terhadap perbedaan besar, nuansa halus, dan campuran kompleks

dari berbagai pengaruh manusia, yang mencakup kemampuan dan


25

kemauan untuk mengenali, merangkul, dan menggunakan emosi secara

konstruktif (Webster, 2007:166). Aspek ini terdiri dari 3 item indikator,

yaitu:

a. Memiliki bakat untuk membaca emosi orang lain

b. Dapat dengan bebas mengekspresikan emosi tanpa merasa kehilangan

kendali

c. “Mengikuti” emosinya sendiri

3. Dimensi reflektif (reflective dimension), yaitu bersedia melihat fenomena

dan peristiwa dari berbagai perspektif untuk mengembangkan kesadaran

dan wawasan diri, dan mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang

kehidupan (Ardelt, 2003:278). Aspek ini terdiri dari 2 item indikator,

yaitu:

a. Sering menjadi sangat tenang sehingga dapat mempertimbangkan

semua cara untuk mengatasi masalahnya

b. Selalu mencoba melihat semua sisi dari suatu masalah

4. Keterbukaan (openness), yaitu pandangan alternatif, informasi, dan

strategi solusi potensial, tetapi juga pengalaman batin seseorang

(Webster, 2007:166). Aspek ini terdiri dari 2 item indikator, yaitu:

a. Sangat ingin tahu tentang sistem kepercayaan agama dan/atau filosofis

lainnya

b. Suka membaca buku yang menantangnya untuk berpikir secara

berbeda tentang masalah


26

5. Humor, yaitu kemampuan mengenali ironi dan menggunakan humor

untuk mengurangi stres dan ikatan dengan orang lain (Webster,

2007:167). Aspek ini hanya terdiri dari 1 item indikator, yaitu:

a. Dalam hidupnya, mudah menertawakan kesalahannya

6. Kenangan dan refleksivitas (reminiscence and reflectiveness), yaitu

refleksi evaluatif dan integratif dari masa lalu dan sekarang seseorang

yang membantu seseorang untuk menghadapi kesulitan di masa depan

(Webster, 2007; Taylor et al., 2011). Aspek ini hanya terdiri dari 1 item

indikator, yaitu:

a. Telah belajar pelajaran hidup yang berharga dari orang lain

7. Dimensi afektif (affective dimension), yaitu emosi dan perilaku positif

terhadap orang lain dan kasih sayang dengan orang yang membutuhkan

(Ardelt, 2003). Aspek ini hanya terdiri dari 1 item indikator, yaitu:

a. Ada beberapa orang yang dia tahu akan disukainya

8. Pengalaman hidup yang kritis (critical life experience), yaitu pengalaman

pribadi yang penting yang secara moral ambigu, beragam, dan penuh

dengan hasil yang tidak diketahui, tetapi juga peristiwa positif yang dapat

berfungsi sebagai sumber daya (Webster, 2007:167). Aspek ini hanya

terdiri dari 1 item indikator, yaitu:

a. Telah berurusan dengan banyak jenis orang yang berbeda selama

hidupnya

Anda mungkin juga menyukai