Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH UNSUR INTRISTIK PROSA FIKSI

Disusun Guna Melengkapi Tugas Mata Kuliah

Prosa Fiksi

Dosen Pengampu : Lukman Hakim Chumaini S.Pd

Disusun Oleh : M. Miftachul Rizqi

Naila Rizky Nahdia

Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

FAKULTAS PEDAGOGI DAN PSIKOLOGI


UNIVERSITAS PGRI WIRANEGARA
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Massalah

Banyak hal yang dapat kita lihat dan kita alami dalam hidup ini. Hal-hal yang kita
lihat dan kita alami ini sering kita sebut dengan pengalaman yang terkadang begitu dalam
menyentuh perasaan dan kadang pula tidak. Sebagian membiarkannya berlalu dan
sebagian lagi ada yang menuangkannya dalam bentuk prosa. Prosa adalah karya sastra
yang disusun dalam bentuk cerita atau narasi.

Dalam penciptaan sebuah prosa, kita  harus  mengetahui beberapa hal yang
berhubungan dengan prosa seperti mengenai unsur intrinsik dan  ekstrinsiknya.  Namun
pada kenyataan di lapangan para penyair baru maupun pencipta sebuah karya prosa
kurang memahami mengenai hal penting tersebut. Untuk itu, di dalam makalah ini akan
dibahas mengenai masalah tersebut, agar bibit- bibit pencipta prosa dapat membuat
sebuah karya dengan baik dan indah.

1.2  Rumusan  Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan masalah sebagai


berikut:
1.2.1        Apakah pengertian dari prosa fiksi ?
1.2.2        Unsur Intrinstik yang ada dalam sebuah prosa fiksi ?

1.3  Tujuan Penulisan Makalah

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antar lain :


1.      Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah prosa fiksi
2.      Agar para mahasiswa khususnya calon guru bahasa Indonesia dapat mengetahui
lebih terperinci tentang unsur intrinsik sebuah  prosa fiksi.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Prosa Fiksi

Prosa fiksi adalah karya sastra yang bersifat naratif dengan menceritakan suatu
cerita rekaan, khayalan, dan tidak bersifat asli.. Dalam buku pengantar Seni Sastra Slamet
Mulyana mengemukakan istilah prosa berasal dari bahasa Latin “Oratio Provorsa” yang
berarti ucapan langsung, bahasa percakapan, sehingga prosa berarti bahasa bebas,
bercerita, ucapan langsung. Secara etimologis ini maksudnya ialah mengungkapkan apa
yang ia rasakan, diketahui dan dimaksudkan pengarang, diucapkan dengan bahasa yang
langsung dan bebas, tidak memerlukan bahasa yang rumitseperti puisi.

Prosa yang bersifat sastra haruslah memenuhi syarat kesenyawaan yang harmonis
antara bentuk dan isi, kesatuan yang serasi antara pikiran dan perasaan. Jadi, dapat
disimpulkan prosa adalah karangan bebas yang mengekspresikan pengalaman batin
pengarang mengenai masalah kehidupan dalam bentuk dan isi yang harmonis yang
menimbulkan kesan estetik.

2.2 Unsur Intrinsik Prosa Fiksi

Sebagai cerita fiksi, novel mempunyai unsur-unsur cerita baik intrinsik maupun
ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur
inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur yang secara
faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel
adalah unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antar unsur
inilah yang membuat sebuah novel terwujud. Unsur intrinsik yang dimaksud meliputi
tema, plot, penokohan, setting atau latar. Sudut pandang,  dan amanat.

a.      Tema

Menurut KBBI (2007: 1164) tema adalah pokok pikiran, dasar cerita (yang
dipercakapkan, dipakai sebagai dasar mengarang, mengubah sajak).” Sedangkan menurut
Stanton (2007: 36) “tema merupakan aspek yang sejajr dengan makna dalam pengalaman
manusia atau sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat.”

Burhan Nurgiyantoro (2010: 25) menyatakan bahwa “tema adalah sesuatu yang
menjadi dasar cerita, tema dapat bersinonim dengan ide atau tujuan utama cerita.”Senada
dengan pendapat tersebut, Kosasih (2008: 223) menyatakan bahwa “tema adalah inti atau
ide dasar sebuah cerita .

Dengan demikian, tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar
umum, sebuah karya novel.  Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan
sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan sebuah cerita.
Berdasarkan pendapat para pakar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tema
merupakan gaagasan utama dalam suatu cerita yang digunakan sebagai dasar
pengembangan sebuah cerita yang digarap oleh pengarang agar ceritanya itu tidak keluar
dari gagasan awal yang telah ditentukan sebelumnya.

b.      Alur (Plot)

Menurut Sayuti (dalam Wiyatmi, 2009: 36) “alur atau plot adalah rangkaian
peristiwa yang disusun berdasarkan hubungan kausalitas. Secara garis besar alur dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu awal, tengah, akhir.” “Alur merupakan perpaduan unsur-unsur
yang membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita” (Semi, 2004:43).
Selanjutnya, Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010:113) menyatakan bahwa “plot
adalah cerita yang berisikan urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan
sebab akibat, peristiwa  yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa
lain.”

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa alur atau plot adalah urutan
peristiwa atau kejadian dalam sebuah cerita yang saling berkesinambungan antara
peristiwa yang satu dengan yang lainnya.

Plot dalam sebuah karya sastra tidak selalu menyajikan cerita berdasarkan pada urutan
waktu cara  secara kronologis. Akan  tetapi, terkadang akhir sebuah cerita terletak di awal
atau di tengah cerita. Jadi, tidak selalu awal sebuah cerita merupakan awal sebuah cerita,
bisa jadi terletak dimanapun tergantung pada kemauan pengarang.

Burhan Nurgiyantoro (2010:142) menyatakan secara teoritis tahapan sebuah plot


sebagai berikut :
a)    Tahap awal, tahap ini sering disebut tahap perkenalan. Pada umumnya berisi
sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan
pada tahap berikutnya, misalnya berupa penunjukkan atau pengenalan latar seperti nama
tempat, suasana alam, dan waktu kejadian (pendeskripsian setting). Pada tahap ini tokoh
diperkenalkan, baik deskripsi fisik atau sedikit disinggung perwatakannya. Jadi, fungsi
utama tahap awal yaitu untuk mendeskripsikan latar dan penokohan.

b)   Tahap tengah, disebut juga tahap pertikaian atau tahap komplikasi. Konflik-konflik
yang sudah mulai muncul di bagian awal cerita semakin meningkat.

c)    Tahap akhir, disebut juga tahap peleraian, menampilkan adegan-adegan tertentu


sebagai akibat klimaks, tahap ini disebut dengan denoument atau penyelesaian. Tahap ini
berisi bagaimana akhir sebuah cerita, penentuan nasib seorang tokoh.

c.       Tokoh dan Penokohan

Dalam pembicaraan Fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan


penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian
dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah-istilah tersebut sebenarnya tidak
menyaran pada pengertian yang persis sama. Istilah “tokoh“ menunjuk pada orangnya,
pelaku ceritanya. Sedangkan watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan
sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk kualitas pribadi
seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan
karakter dan perwatakan, yang menunjuk pada penempatan tertentu dalam sebuah cerita.

Dengan demikian istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya dari pada “tokoh” dan
“perwatakan” sebab ia mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan
bagaimana penempatan, dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup
memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca  (Burhan Nurgiyantoro, 2010 : 166)

Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita ada
tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa
mendoninasi sebagian besar cerita dan sebaliknya, ada tokoh yang hanya dimunculkan
sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itupun mungkin dalam porsi penceritaan yang
relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita. Dan tokoh yang
kedua adalah tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan
penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak
diceritakan. Dipihak lain, pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita
lebih sedikit. Tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya
dengan tokoh utama secara langsung maupun tidak langsung.

Menurut Altenberd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, 2010: 178) Jika dilihat dari
fungsi penampilan tokoh, maka tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh
protagonist dan tokoh antagonis. Tokoh pritagonis yaitu tokoh yang kita kagumi, yang
salah satu jenisnya secara popular disebut hero, tokoh yang merupakan pengejawatan
norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh
yang menyebabkan konflik.

Secara garis besar “teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya dapat dibedakan
menjadi dua cara yaitu teknik ekspositori dan teknik dramatik.” (Alternberg dan Lewis
dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010: 194 ).

1)    Teknik ekpositori
Teknik ini sering disebut dengan teknik analitis. Pelukisan tokoh cerita dilakukan
dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung.  Tokoh cerita
hadir dan dihadirkan oleh pengarang kehadapan pembaca secara tidak berbeli-belit,
melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi kediriannya, yang mungkin berupa
sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya.

2)    Teknik dramatik
Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik, artinya mirip dengan yang
ditampilakan pada drama, dilakukan secara tidak langsung. Artinya, pengarang tidak
mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh.  Pengarang
membiarkan tokoh cerita untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai
aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal maupun non verbal lewat tindakan atau
tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi.

Penampilan tokoh secara dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah teknik, yaitu sebagai
berikut :
a)      Teknik cakapan
Percakapan yang dilakukan oleh tokoh biasanya juga dimaksudkan untuk
menggambarkan sifat tokoh yang bersangkutan. Bentuk percakapan dalam sebuah karya
fiksi, khususnya novel umunya cukup banyak, baik percakapan yang pendek maupun
yang panjang.

Menurut Fadlan (2010: 63) “teknik cakapan tercakup ragam duolog dan monolog.
Duolog adalah cakapan antara dua orang saja, sedangkan dialog merupakan percakapan
yang dilakukan seorang tokoh dengan banyak tokoh.”

Teknik cakapan tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:


Rudio menata kursi bagi ayahnya. Mereka hanya berdua karena Bu Gono langsung ke
dalam mengambil teh.
“Jadi kau tinggal bersama bibimu di sini?”
“Ya, Ayah…”
“Sekolahmu ?”
“Di STM, kelas tiga. Empat bulan lagi ujian.”
“Syukurlah. Dan adik-adikmu?”
“Tini tinggal bersama ibu. Dia hanya menamatkan SMP.”
“Dan Tono meninggal?”
“Benar, Ayah. Sudah satu tahun. Saya dilarang memberi kabar kepada Ayah. Hanya akan
menambah beban pikiran Ayah, begitu kata Ibu.”
“Oh ya, tak mengapa. Seorang seperti Ayah ini sudah terlalu sering mengalami hal yang
menyedihkan. Lupakan itu. tetapi dimana pamanmu? Tampaknya kok sepi-sepi saja?”
(Kubah: 29).

Cakapan itu adalah percakapan antara Karman dengan anaknya Rudio, anak
lelakinya yang telah ditinggal selama dua belas tahun karena dipenjara di pulau B.
Melalui cakapan tersebut, membesitkan hubungan yang akrab antara ayah dan anak,
sekaligus menunjukkan sifat kebapakan tokoh Karman yang menaruh perhatian pada
keluarganya yang selama itu ditinggal.

b)      Teknik tingkah laku


Teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat non verbal. Apa yang
dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak hal dapat
dipandang sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan
sifat-sifat kediriannya.

c)      Teknik pikiran dan perasaan


Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di dalam
pikiran dan perasaan serta apa yang sering dipikir dan dirasakan oleh tokoh, dalam
banyak hal  akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya jua. Bahkan, pada hakikatnya ,
tingkah laku, pikiran dan perasaanlah yang kemudian diejawatahkan menjadi tingkah
laku verbal dan non verbal itu.  dengan demikian teknik pikiran dan perasaan dapat
ditemukan dalam teknik cakapan dan tingkah laku. Artinya, penuturan itu sekaligus untuk
menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh.

d)     Teknik arus kesadaran


Teknik ini berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Keduanya tidak
dapat dibedakan secara pilah, bahkan mungkin dianggap sama karena memang sama-
sama menggambarkan tingkah laku batin tokoh.
‘Teknik arus kesadaran merupakan cara penceritaan untuk menangkap dan
melukiskan perkembangan karakterisasi, dimana persepsi bercampur dengan kesadaran,
kenangan dan perasaan. Teknik jenis ini biasanya muncul dalam cakapan batin yang
berupa monolog dan solilokui. Ragam monolog adalah cakapan batin yang seolah-olah
menjelaskan kejadian-kejadian yang sudah lampau, peristiwa-peristiwa, dan perasaan-
perasaan yang sudah terjadi atau bahkan yang sedang terjadi. Sedangkan ragam solilakui
merupakan ragam cakapan batin yang menyarankan hal-hal, tindakan-tindakan, kejadian-
kejadian, perasaan dan pemikiran yang masih akan terjadi atau mendasari pikiran yang
akan datang.’ (Fadlan Wahyudi, 2010 :66).

e)      Teknik reaksi tokoh


Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian,
masalah, keadaan, kata, sikap-tingkah laku orang lain, dan sebagainya yang berupa
“rangsang” dari luar diri tokoh yang bersangkutan.

f)       Teknik reaksi tokoh lain


Reaksi tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain
terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan,
pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain.

g)      Teknik pelukisan latar


Suasana latar sekitar tokoh juga sering dipakai untuk melukiskan kediriannya.
Pelukisan suasana latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh seperti yang
telah diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain. Keadaan latar tertentu, memang
dapat menimbulkan kesan yang tertentu pula di pihak pembaca.

h)      Teknik pelukisan fisik


Pelukisan keadaan fisik tokoh, dalam kaitannya dengan penokohan, kadang-
kadang memang terasa penting. Keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jika ia
memiliki bentuk fisik yang khas sehingga pembaca dapat menggambarkan secara
imajinnatif.

d.      Setting atau Latar

Menurut Abram (dalam Nurgiantoro, 2010 : 216) “latar atau setting sering juga
disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu,
dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.”
Sedangkan menurut KBBI (2007: 643) “latar adalah keterangan mengenai waktu, ruang,
dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra.”
Burhan Nurgiantoro (2010: 227) mengemukakan bahwa latar terdiri dari tiga
unsur pokok yang meliputi latar tempat, waktu dan sosial. Latar tempat menyaran pada
lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu
berhubungan dengan masalah “kapan“ terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi. Latar sosial yaitu menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan
prilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam sebuah karya
fiksi.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa latar itu adalah tempat
terjadinya suatu peristiwa dalam suatu karya sastra yang mencakup latar fisik, sosial, dan
waktu.

e.       Sudut Pandang atau Pusat Pengisahan

“Sudut pandang dalam karya fiksi (novel) mempersoalkan siapa yang


menceritakan atau dari posisi mana peristiwa atau tindakan itu dilihat.”(Burhan
Nurgiyantoro, 2010: 246).

Menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010: 248) sudut pandang


merupakan cara atau pandangan yang dapat digunakan pengarang sebagai sarana untuk
menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam
sebuah karya fiksi kepada pembacanya.

Sedangkan menurut Booth (dalam Nurgiyantoro, 2010: 246) sudut pandang


merupakan teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan
makna karya artistiknya, untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca.”

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sudut pandang atau
pusat pengisahan yang ada dalam sebuah cerita terdapat hubungan antara pengarang
dengan alam fiktif ceritanya sehingga dapat diketahui posisi pengarang di dalam cerita.

Burhan Nurgiyantoro (2010: 256) membedakan sudut pandang menjadi tiga


macam yaitu:
(a)    Sudut pandang persona ketiga “Dia”
Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “Dia”,
pengarang adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh
cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh
utama khususnya yang utama, kerap atau terus menerus disebut, dan sebagai variasi
digunakan kata ganti.

(b)   Sudut pandang persona pertama “Aku”


Dalam pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang persona pertama,
“Aku”, pengarang adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “Aku”
tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan
tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya
terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca.

(c)    Sudut pandang campuran


Penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran itu di dalam sebuah novel
berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik “dia” mahatahu dan
“dia” sebagai pengamat. Persona pertama dengan teknik “aku” sebagai tokoh utama dan
“aku” tambahan. Bahkan dapat berupa campuran antara persona pertama dan ketiga.

f.       Amanat

Karya sastra yang mengandung tema sesungguhnya merupakan suatu penafsiran


atau pemikiran tentang kehidupan. Permasalahan yang terkandung di dalam tema atau
topik cerita ada kalanya diselesaikan secara positif ataupun secara negatif. Dari karya
sastra ada kalanya dapat diangkat suatu ajaran moral, atau pesan yang ingin disampaikan
pengarang. Hal itulah yang disebut dengan amanat.

Menurut KBBI (2007: 37) “amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh
pengarang kepada pembaca atau pendengarnya.” Sejalan dengan pengertian tersebut,
Burhan Nurgiyantoro (2010: 322) juga mengatakan bahwa “amanat adalah pesan atau
hikmah yang dapat diambil dari sebuah cerita untuk dijadikan sebagai cermin maupun
panduan hidup.” Melalui cerita,sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca
diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan dan yang
diamanatkan.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa amanat adalah pesan
yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karya sastra yang diciptakan.

g.      Gaya Bahasa

Menurut KBBI (2007: 340) Gaya Bahasa adalah “pemanfaatan atas kekayaan
bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis atau cara khas dalam menyatakan
pikiran dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan.”

Sedangkan menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010: 237) “gaya  bahasa


adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seseorang pengarang
mengungkapkan suatu yang akan dikemukakan.” Senada dengan pendapat di atas, Leech
dan Short (dalam Nurgiyantoro, 2010: 277) “gaya bahasa menyaran pada pengertian cara
penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, dan untuk tujuan
tertentu.”

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah cara
pengarang mengungkapkan pikiran dan perasaan serta mewakili kepribadiannya melalui
pemakaian bahasa yang khas.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan makalah yang telah kami susun, dapat diambil kesimpulan bahwa
prosa adalah karya sastra yang disusun dalam bentuk cerita atau narasi. Karya sastra yang
berupa prosa lebih kita kenal dalam bentuk novel dan cerpen. Dalam penciptaan sebuah
novel ataupun cerpen diperlukan pengetahuan dan pemahaman mengenai unsur-unsur
pembentuknya, seperti unsur intriksik. Unsur intrinsik itu sendiri meliputi tema, alur,
tokoh dna penokohan, latar, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa.

3.2 Saran

Prosa merupakan sebuah karya sastra yang dalam penciptaannya tidaklah


sesederhana yang kita pikirkan. Oleh karena itu, hendaknya seorang penikmat karya
sastra yang yang sekaligus ingin menciptakan karya sastra harus memahami dan
menguasai unsur-unsur pembentuk karya sastra, khususnya karya sastra yang berbentuk
prosa.

Anda mungkin juga menyukai