Anda di halaman 1dari 14

Pendahuluan

Sebuah karya sastra tidak dapat dipisahkan dari kondisi sosial, politik,
psikologis, dan historis ketika karya sastra tersebut diciptakan. Puisi sebagai salah
satu karya sastra lahir dari pengalaman manusia sebagai anggota masyarakat.
Pengalaman tersebut muncul dari interaksi penulis sebagai anggota masyarakat
dan pemahaman akan fakta-fakta sosial, budaya, politik, ekonomi, dan humaniora.
Puisi adalah interpretasi penyair terhadap kondisi sosial masyarakat yang di
dalamnya memuat pesan-pesan tertentu. Oleh karena itu, puisi dapat dipandang
sebagai suatu gejala sosial. Maksudnya bahwa puisi yang ditulis oleh seorang
penyair pada kurun waktu tertentu pasti memiliki keterkaitan dengan keadaan
sosial politik yang terjadi pada zaman tersebut.
Suatu karya sastra terutama puisi juga dapat dipandang sebagai suatu
potret sosial yang mengungkapkan kondisi masyarakat pada kurun waktu tertentu
dan memancarkan semangat zamannya. Puisi lahir dari proses yang rumit akibat
kegelisahan sastrawan atas kondisi yang terjadi dalam masyarakat.
Dalam menggambarkan kondisi sosial, budaya, dan politik tersebut,
sebuah karya sastra khususnya puisi memiliki gaya bahasa yang khas yang
mencerminkan keindahan estetika sastra. Gaya bahasa (style) memiliki peran yang
sangat penting dalam mencapai efek estetik dalam puisi. Salah satu disiplin ilmu
yang mengkaji mengenai gaya bahasa adalah stilistika.
Stilistika merupakan ilmu yang meneliti mengenai penggunaan bahasa dan
gaya bahasa dalam karya sastra.1 Stilistika dikenal dalam keilmuan Barat dan
Timur. Dalam tradisi keilmuan Arab, stilistika ini dikenal dengan nama ‘ilm al-
uslūb atau al-uslūbiyyah.2
Stilistika dapat dikaji dengan menggunakan beberapa pendekatan, salah
satunya adalah pendekatan sosiostilistika. Pendekatan sosiostilistika merupakan
pendekatan yang digunakan untuk mengkaji gaya bahasa dalam karya sastra dan
kemudian menghubungkannya dengan kondisi sosial yang ada dalam kehidupan
masyarakat.

1
Ali Imron Al-Ma’ruf, Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika
Bahasa, Solo: Cakra Books, 2009, hlm.8.
2
Syihabuddin Qalyubi, “Kontribusi ‘Ilm al-Uslub (Stilistika) dalam Pemahaman
Komunikasi Politik”, dalam http://www.digilib.uin-suka.ac.id diakses pada 15 Juni 2015.

1
Puisi sebagai salah satu karya sastra juga dapat dikaji dengan
menggunakan pendekatan sosiostilistika ini. Salah satu puisi yang dapat dianalisis
dengan menggunakan pendekatan sosiostilistika ini adalah puisi ‘Sajak Burung-
burung Kondor’ karya WS. Rendra.
Rendra merupakan salah seorang sastrawan yang banyak menciptakan
puisi yang berisikan kritik terhadap permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia.
‘Sajak Burung-burung Kondor’ ini adalah salah satu puisinya yang
merepresentasikan keadaan sosial yang terjadi pada zaman Orde Baru. Puisi
‘Sajak Burung-burung Kondor’ menggambarkan keadaan petani dan buruh yang
kehidupannya tetap sengsara walaupun hasil panennya melimpah. Adapun pihak
investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia dengan begitu mudahnya
dapat menikmati hasil kerja keras rakyat Indonesia tanpa harus berkeringat dan
bersusah payah. Sedangkan petani dan buruh yang telah bekerja keras tetap berada
dalam kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Pada puisi tersebut, tampak dengan
jelas bahwa Rendra mengkritisi kebijakan Pemerintah yang tidak mampu untuk
mensejahterakan rakyatnya.

Kajian Stilistika dengan Menggunakan Pendekatan Sosiostilistika


Pendekatan disebut juga dengan perspektif, kerangka konseptual, atau
kerangka pemikiran. Pendekatan merupakan alat untuk menangkap realita atau
fenomena sebelum dilakukan kegiatan analisis atas sebuah karya. Dengan
menggunakan pendekatan tertentu berarti seorang analis atau peneliti akan
mempergunakan cara pandang, kerangka konseptual, dan kerangka pemikiran
dalam usaha memahami realita sebelum melakukan analisis interpretatif terhadap
sebuah karya sastra baik berupa puisi, prosa, maupun drama.3 Cara memandang
dan mendekati objek dengan titik pandang tersebutlah yang disebut dengan
pendekatan.
Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis sebuah karya sastra bersifat
subjektif dan sesuai dengan pilihan peneliti sendiri tetapi harus tetap disesuaikan
dengan objek karya sastra yang akan dikaji. Salah satu pendekatan dalam kajian

3
Siswantoro, Metode Penelitian Sastra: Analisis Struktur Puisi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010, hlm. 47.

2
stilistika yang dapat digunakan untuk mengkaji sebuah karya sastra adalah dengan
menggunakan pendekatan sosiostilistika.
Pendekatan sosiostilistika merupakan kajian stilistika dalam kaitannya
dengan masyarakat dan kehidupan sosial. Pendekatan sosiostilistika berarti
pendekatan yang digunakan dalam stilistika untuk mengkaji gaya bahasa dalam
karya sastra dan kemudian menghubungkannya dengan kondisi sosial yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat.
Hal penting yang diteliti dalam kajian stilistika dengan menggunakan
pendekatan sosiostilistika ini adalah berbagai variasi dan ragam gaya bahasa yang
dihubungkan dengan kerangka sosial. Banyak tanda linguistik yang dapat
memberikan informasi sosial seperti aksen, dialek, sampai pada pemilihan diksi
dan sistem gramatikanya. Aneka ragam tanda linguistik ini (linguistic diversity)
merupakan salah satu hal penting dalam sosiostilistika.4
Pemilihan gaya bahasa dalam karya sastra yang tercermin dalam tanda-tanda
linguistik ini sangat tergantung pada penulisnya, pembaca yang dituju, tema karya
sastra, dan situasi yang melatar belakangi lahirnya karya sastra. Aspek penulis,
pembaca yang dituju, tema karya sastra, dan situasi sosial politik yang melatar
belakangi lahirnya karya sastra merupakan hal-hal yang akan dibahas dalam
kajian stilistika dengan menggunakan pendekatan sosiostilistika.5
Hal-hal yang dikaji dalam analisis puisi dengan menggunakan pendekatan
sosiostilistika ini meliputi stuktur fisik dan struktur batin. Struktur fisik (‫) لفظى‬
merupakan struktur dalam puisi yang dapat diamati secara visual. Hal-hal yang
termasuk dalam struktur fisik puisi seperti bunyi, diksi, baris (larik), enjambemen,
tipografi, dan bahasa figuratif. Struktur fisik tersebut akan dijelaskan sebagai
berikut:
1. Bunyi
Dalam karya sastra genre puisi, bunyi (fonem) merupakan unsur yang
berperan penting dalam penciptaan efek estetis. Adapun hal-hal yang berkaitan
dengan masalah bunyi ini seperti rima dan irama. Rima adalah pengulangan bunyi
dalam puisi sedangkan irama atau ritme merupakan gerakan yang teratur dari

4
A. Chaedar Al Wasilah, Pengantar Sosiologi Bahasa, Bandung : Angkasa, 1993, hlm.4.
5
Ibid., hlm.47.

3
kata-kata, frase, dan kalimat dalam bait-bait puisi dan prosa. Dalam kesusastraan
Arab, istilah rima (persajakan) dalam puisi ini disebut dengan qāfiyah sedangkan
ritme (irama) disebut dengan bahr atau wazan. 6
2. Diksi
Diksi dapat diartikan sebagai pilihan kata-kata yang dilakukan oleh
pengarang dalam karyanya guna menciptakan makna tertentu. Diksi yang baik
adalah diksi yang sesuai dengan tuntutan cerita, keadaan, dan pembacanya.
Dengan demikian, diksi dalam konteks sastra merupakan pilihan kata pengarang
untuk mengungkapkan gagasannya guna mencapai efek tertentu dalam karyanya. 7
Dalam kaitannya dengan sosiostilistika, analisis terhadap diksi yang
digunakan pengarang sangat penting untuk dilakukan karena diksi yang
digunakan pengarang dapat mencerminkan kelas sosial, latar sosial, dan gejala
sosial lainnya.
3. Baris (larik)
Wujud larik dalam puisi ditujukan untuk mendapatkan nilai artistik dan
untuk membangkitkan makna. Larik-larik dalam puisi ini kemudian akan
membentuk bait.
4. Enjambemen
Enjambemen merupakan sambung menyambungnya baris atau larik
seperti qasidah dalam puisi Arab yang barisnya dua sejajar atau ruba’iyyat yang
barisnya empat dengan tersusun ke bawah.
5. Tipografi
Tipografi merupakan tata wajah puisi yang dapat diamati secara visual.
Tipografi dalam puisi berperan untuk menampilkan aspek artistik visual dan
menciptakan nuansa makna dan suasana tertentu.
6. Bahasa Figuratif (Figurative Language)
Bahasa figuratif merupakan cara pengarang dalam memanfaatkan bahasa
untuk memperoleh efek estetis dengan pengungkapan gagasan secara kias. Bahasa
figuratif meliputi majas, idiom, dan peribahasa.

6
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta: Rajawali Pers,
2012, hlm. 184.
7
Ali Imron Al-Ma’ruf, Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika
Bahasa, op.cit., hlm. 38.

4
Beberapa aspek yang termasuk struktur fisik puisi merupakan unsur-unsur
yang menjadi kajian stilistika. Sebagaimana yang dikatakan Leech dan Short
seperti dikutip dalam buku ‘Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian
Estetika Bahasa’, mengemukakan bahwa unsur stilistika (stylistic categories)
meliputi unsur leksikal, gramatikal, konteks, dan kohesi. Menurut Keraf, gaya
bahasa mencakup semua hierarki kebahasaan yaitu pilihan kata (diksi), frasa,
klausa, kalimat, serta wacana.8 Senada dengan pernyataan sebelumnya, Pradopo
juga menyebutkan bahwa unsur-unsur gaya bahasa itu meliputi intonasi, bunyi,
kata, kalimat, dan wacana. Sayuti menjelaskan bahwa unsur-unsur yang
membangun gaya bahasa dalam sebuah karya sastra meliputi diksi, citraan, dan
sintaksis.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
unsur-unsur stilistika itu dapat berupa bunyi (fonem), diksi, kalimat atau bentuk
sintaksis, wacana, bahasa figuratif, dan citraan.
Adapun struktur batin ( ‫ ) معنوى‬puisi merupakan struktur yang tersembunyi
yang baru dapat dipahami dengan menganalisis bangun strukturnya terlebih
dahulu. Sehingga struktur batin ini sering disebut sebagai unsur lapis makna.
Unsur-unsur yang termasuk ke dalam struktur batin meliputi tema (sense),
perasaan (feeling), nada (tone), citraan (imagery), dan amanat/pesan (intention).
Tema merupakan gagasan atau ide pokok yang ingin disampaikan dalam
sebuah karya sastra. Dalam kesusastraan Arab, tema dalam karya sastra disebut
dengan ‫ فكرة‬/fikrah/. Sedangkan perasaan (feeling) adalah sikap penyair terhadap
subject matter atau pokok persoalan yang terdapat dalam puisinya.9 Istilah unsur
perasaan dalam karya sastra ini disebut juga dengan ‫ عاطفة‬/’ātifah/.
Adapun nada (tone) adalah sikap penyair terhadap pembacanya. Nada
yang terdapat dalam karya sastra berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair
dapat menyampaikan tema karya sastranya dengan nada menggurui, mendikte,
menyindir, atau bersikap lugas. Sikap penyair terhadap pembacanya sangat

8
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010,
hlm.113.
9
N. Nurhayati, “Stilistika”, dalam http://www.eprints.unsri.ac.id diakses pada 15 Juni
2015.

5
tergantung pada kondisi penyair saat itu dan keadaan masyarakat sekitarnya.
Seorang penyair yang berada pada masa yang penuh dengan tekanan dan
kezaliman dari pihak yang berkuasa dapat menghasilkan puisi yang bernada sinis,
menyindir, atau bahkan persuasif. Dengan nada tersebut, penyair berusaha
mengajak pembaca untuk membangkitkan emosinya dan merenungi sisi
kehidupan yang diungkapkannya.
Adapun citraan dapat diartikan sebagai kata atau serangkaian kata yang
dapat membentuk gambaran mental atau dapat membangkitkan pengalaman
tertentu. Fungsi citraan adalah untuk membuat gambaran dalam penginderaan dan
pikiran menjadi lebih hidup, menarik perhatian, dan membangkitkan
intelektualitas dan emosi pembaca dengan cepat. Citraan kata dalam karya sastra
dapat dibagi menjadi tujuh jenis yaitu citraan penglihatan, citraan pendengaran,
citraan penciuman, citraan pencecapan, citraan gerak, citraan intelektual, dan
citraan perabaan.
Unsur batin lainnya adalah amanat (intention). Amanat merupakan tujuan
yang mendorong pengarang untuk menciptakan suatu puisi dan amanat ini tersirat
di balik kata-kata yang disusun dan di balik tema yang diungkapkan. Tujuan atau
amanat yang hendak disampaikan pengarang sangat berkaitan dengan pekerjaan,
cita-cita, pandangan hidup, dan keyakinan yang dianut pengarang.

Analisis ‘Sajak Burung-burung Kondor’ dengan Pendekatan Sosiostilistika


W.S Rendra dilahirkan di Surakarta pada 7 November 1935. Dalam dunia
seni budaya Indonesia, Rendra dikenal sebagai penyair dan dramawan. Puisi-puisi
yang diciptakan Rendra pada hakikatnya berupa balada-balada. Apabila
didasarkan atas proses terciptanya puisi-puisinya, kumpulan puisi Rendra dapat
diklasifikasikan menjadi tiga periode yaitu 1) periode Solo-Yogya yang dapat
dikatakan sebagai periode romantik, 2) periode New York yang dapat disebut
sebagai periode pemberontakan moral, dan 3) periode Jakarta yang dikenal
sebagai periode pamflet ekonomi. ‘Sajak Burung-burung Kondor’ ini termasuk ke

6
dalam periode Jakarta yang banyak menggambarkan permasalahan ekonomi yang
dihadapi bangsa Indonesia.10
Puisi ‘Sajak Burung-burung Kondor’ berisi kritik sosial yang berkenaan
dengan problem kesejahteraan petani dan buruh serta penanaman modal asing
yang cenderung hanya menguntungkan investor asing. Puisi ini ditulis pada tahun
1973 sebagai gambaran mengenai keadaan sosial dan ekonomi yang terjadi pada
zaman Orde Baru tersebut. Pada zaman tersebut, bidang pertanian memang
berkembang dengan pesat. Akan tetapi, pembangunan di sektor pertanian tersebut
tidak mampu menjamin kesejahteraan bagi para petani dan buruh yang notebene
sebagai pelaku utama dalam sektor pertanian.
Bunyi puisi ‘Sajak Burung-burung Kondor’ tersebut sebagai berikut:
Sajak Burung-Burung Kondor
Karya: W.S. Rendra

Angin gunung turun merembes ke hutan


Lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas
Dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau
Kemudian hatinya pilu
Melihat jejak-jejak sedih para petani – buruh
Yang terpacak di atas tanah gembur
Namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya

Para tani – buruh bekerja


Berumah di gubug-gubug tanpa jendela
Menanam bibit di tanah yang subur
Memanen hasil yang berlimpah dan makmur
Namun hidup mereka sendiri sengsara

Mereka memanen untuk tuan tanah


Yang mempunyai istana indah
Keringat mereka menjelma menjadi emas
Yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa
Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan
Para ahli ekonomi membetulkan letak dasi
Dan menjawab dengan mengirimkan kondom

10
Sukron Kamil, Sejarah Sastra Indonesia: Tematik dan Periodik (Diktat), Jakarta:
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah, 2007, hlm. 229-230.

7
Penderitaan mengalir
Dari parit-parit wajah rakyatku
Dari pagi sampai sore
Rakyat negeriku bergerak dengan lunglai
Menggapai-gapai
Menoleh ke kiri, menoleh ke kanan
Di dalam usaha tak menentu
Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah
Dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai
Dan sukmanya berubah menjadi burung kondor

Beribu-ribu burung kondor


Berjuta-juta burung kondor
Bergerak menuju ke gunung tinggi
Dan disana mendapat hiburan dari sepi
Karena hanya sepi
Mampu menghisap dendam dan sakit hati

Burung-burung kondor menjerit


Di dalam marah menjerit
bergema di tempat-tempat yang sepi

Burung-burung kondor menjerit


di batu-batu, gunung menjerit
bergema di tempat-tempat yang sepi

Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu


Mematuki batu-batu, mematuki udara
Dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.11

Puisi ‘Sajak Burung-burung Kondor’ tersebut akan dianalisis dengan


menggunakan pendekatan sosiostilistika. Unsur-unsur yang akan dianalisis
meliputi struktur fisik dan struktur batin yang terkandung dalam puisi. Struktur
fisik meliputi bunyi, diksi, baris (larik), enjambemen, kalimat, dan bahasa
figuratif (figurative language). Adapun struktur batinnya meliputi tema ( ‫) فكرة‬
perasaan (‫) عاطفة‬, nada (tone), citraan atau imajinasi ( ‫) خيّال‬, dan amanat yang
terkandung dalam puisi. Setiap unsur tersebut kemudian akan dikaitkan dengan
keadaan sosial ekonomi yang terjadi saat puisi ‘Sajak Burung-burung Kondor’
diciptakan oleh penulisnya.
Secara keseluruhan, puisi ‘Sajak Burung-burung Kondor’ ini menceritakan
mengenai kehidupan para petani dan buruh yang hidup pada zaman Orde Baru.

11
Ibid., hlm. 247-248.

8
Para petani dan buruh sebagai pelaku utama sektor pertanian tidak mendapatkan
kesejahteraannya walaupun para petani tersebut telah bekerja keras untuk
menanam dan mendapatkan hasil pertanian yang melimpah. Hal ini tampak dalam
bait: Para tani – buruh bekerja / Berumah di gubug-gubug tanpa jendela /
Menanam bibit di tanah yang subur / Memanen hasil yang berlimpah dan
makmur / Namun hidup mereka sendiri sengsara. Hal ini sangat bertolak belakang
dengan kehidupan para investor asing yang lebih banyak mendapatkan
keuntungan tanpa harus bekerja keras dan bersusah payah. Sebagaimana makna
puisi yang terkandung dalam larik ‘mereka memanen untuk tuan tanah / yang
mempunyai istana indah’.
Puisi ‘Sajak Burung-burung Kondor’ memiliki estetika tersendiri ketika
diramu dengan pola persamaan bunyi (rima) pada setiap baitnya. Pola persamaan
bunyi (rima) di sini telah menjadikan puisi ini memiliki ritme yang indah dan
dinamis. Selain untuk mencapai efek estetis, rima dalam puisi ini juga berfungsi
untuk menyelaraskan bunyi. Hal ini tampak dalam bait: ‘Para tani-buruh bekerja
/ berumah di gubuk-gubuk tanpa jendela / menanam bibit di tanah yang subur /
memanen hasil yang berlimpah dan makmur/.’ Pola rima yang terdapat pada bait
tersebut adalah a-a-b-b.
Pola rima a-a-b-b pada bait di atas telah menarik perhatian pembaca untuk
menghayati makna puisi tersebut. Pada bait tersebut, penyair ingin menunjukkan
tentang kehidupan petani dan buruh yang telah bekerja keras. Para petani telah
menanam bibit di tanah yang subur dan memanen hasil yang berlimpah dan
makmur. Walaupun demikian, para petani ini masih berada di jurang kemiskinan
dan belum memperoleh kesejahteraan yang diungkapkan dengan kalimat
‘berumah di gubuk-gubuk tanpa jendela’.
Pada ‘Sajak Burung-burung Kondor’ juga terdapat pengulangan bunyi
yang membuat puisi tersebut semakin indah. Selain rima, pola pengulangan bunyi
yang terdapat dalam puisi tersebut berupa aliterasi. Aliterasi merujuk kepada
pengulangan bunyi mati atau konsonan pada posisi awal kata seperti pengulangan
bunyi /k/ pada frase ‘kelap-kelip’ atau bunyi /m/ pada frasa ‘mondar-mandir’.

9
Fungsi aliterasi adalah untuk memberikan tekanan makna kepada kata tertentu dan
menciptakan rangkaian bunyi yang musikal.12
Keberadaan aliterasi dalam ‘Sajak Burung-burung Kondor’ teridentifikasi
lewat bunyi /m/ pada kata menoleh berikut.
Menggapai-gapai
Menoleh ke kiri, menoleh ke kanan
Berdasarkan data dari salah satu larik puisi tersebut, terlihat bahwa bunyi /m/ pada
kata menoleh dan bunyi /k/ pada kata ke kiri dan ke kanan telah menghasilkan
pengulangan bunyi yang musikal dan melodius.
Dalam kaitannya dengan baris (larik), puisi ‘Sajak Burung-burung
Kondor’ ini terdiri dari 44 baris yang membentuk 8 bait. Jumlah baris dalam
setiap bait tidaklah sama. Hal ini dilakukan untuk mencapai efek artistik dan
untuk membangkitkan makna puisi itu sendiri.
Unsur lainnya yang dapat diamati dari puisi ini adalah dari segi pemilihan
diksi yang digunakan. Diksi yang digunakan dalam ‘Sajak Burung-burung
Kondor’ memang terkesan sederhana dan mudah untuk dipahami. W.S. Rendra
cenderung menggunakan kata-kata yang bermakna polos dan denotatif tetapi
pilihan diksinya memiliki makna yang padat dan tepat. Pilihan diksi yang polos
dan detotatif ini telah menjadi ciri khas Rendra. Pilihan diksi ini juga tidak
terlepas dari kegiatan pementasan puisi yang sering dilakukan oleh Rendra. Puisi
yang dipentaskan (dibacakan) umumnya menggunakan diksi yang sederhana
karena puisi tersebut merupakan ekspresi emosi langsung dari sang penyair
sehingga dapat langsung dipahami oleh hadirin yang mendengarkannya.
Pada ‘Sajak Burung-burung Kondor’, terdapat beberapa diksi yang
menarik untuk dikaji lebih lanjut. Salah satunya adalah ‘gubuk-gubuk tanpa
jendela’. Kata ‘gubuk’ menunjukkan keadaan yang benar-benar miskin dan kata
‘gubuk’ tersebut ditambah lagi dengan kata ‘tanpa jendela’ yang semakin
menyiratkan kemiskinan. Penulis menggunakan diksi tersebut bukanlah tanpa
alasan. Penulis ingin melukiskan keadaan para petani dan buruh yang benar-benar
berada dalam jurang kemiskinan sehingga mereka harus bertempat tinggal di
gubuk-gubuk tanpa jendela.

12
Siswantoro, op.cit., hlm.229.

10
Diksi lain yang juga menunjukkan keadaan para petani dan buruh terdapat
dalam larik ‘di hari senja mereka menjadi onggokan sampah’. Diksi ‘di hari
senja’ bermakna ‘di hari tua’. Sedangkan kata ‘onggokan sampah’ merupakan
diksi untuk menggambarkan keadaan yang tidak berguna dan tidak dihargai.
Dalam larik tersebut, penyair ingin menunjukkan keadaan para petani dan buruh
yang telah bekerja keras tetapi hasil panen yang didapatkan tidak menjamin
kesejahteraan bagi mereka. Para petani tetap berada dalam kondisi ekonomi yang
memprihatinkan dan tetap mengalami penderitaan dalam kehidupannya. Sehingga
pada saat hari tua, mereka hanya dianggap sebagai onggokan sampah karena
mereka sudah tidak lagi mempunyai tenaga untuk menggarap lahan pertanian dan
mereka dianggap sudah tidak berguna lagi.
Pilihan diksi yang paling banyak digunakan dalam puisi tersebut yang juga
digunakan sebagai judul dari puisi adalah kata ‘burung kondor’. Diksi ‘burung
kondor’ di sini merupakan representasi dari rakyat kecil yang miskin dan selalu
menderita. Dalam puisi ini digambarkan bahwa rakyat kecil yang diwakili oleh
diksi ‘burung kondor’ tidak mampu untuk melawan rezim yang serakah. Rezim
yang serakah ini diwakili oleh para tuan tanah dan cukung-cukong pabrik yang
saat ini dikenal sebagai investor. Para tuan tanah dan cukong-cukong pabrik
tersebut mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dibandingkan dengan para
petani dan buruh yang telah bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan. Puisi
‘Sajak Burung-burung Kondor’ ini telah menggambarkan kondisi ketidakadilan
yang dialami para petani dan buruh pada era Orde Baru. Keadaan pada zaman
Orde Baru tersebut tidak ada bedanya dengan zaman pascareformasi saat ini
dimana kehidupan ekonomi para petani dan buruh masih sangat memprihatinkan
dan jauh dari kesejahteraan.
Nilai estetika dalam ‘Sajak Burung-burung Kondor’ juga dapat dilihat dari
penggunaan bahasa figuratif (figurative language) yang terdapat di dalamnya.
Bahasa figuratif yang digunakan dalam puisi ini umumnya berupa majas.
Beberapa majas yang terdapat dalam ‘Sajak Burung-burung Kondor’ di antaranya
majas metafora, personifikasi, dan ironi.
Majas metafora merupakan majas yang membandingkan secara implisit
antara dua hal baik yang berwujud benda, fisik, ide, sifat, maupun perbuatan tanpa

11
menggunakan kata-kata pembanding seperti ibarat, bagaikan, atau seperti.13
Contoh majas metafora yang digunakan dalam ‘Sajak Burung-burung Kondor’
terdapat pada larik keringat mereka menjelma menjadi emas. Maksud dari larik
tersebut adalah bahwa kerja keras para petani dan buruh menghasilkan sesuatu
yang sangat berharga yang diibaratkan dengan ‘emas’. Akan tetapi hasil kerja
keras tersebut lebih banyak dinikmati oleh para tuan tanah dan cukong-cukong
pabrik sedangkan para petani dan buruh tetap berada dalam penderitaan dan
kemiskinan.
Larik di hari senja mereka menjadi onggokan sampah juga termasuk salah
satu majas metafora yang digunakan dalam puisi tersebut. Penulis mengibaratkan
keadaan para petani dan buruh yang sudah tidak produktif lagi karena faktor usia
senja membuat mereka seperti onggokan sampah yang tidak berguna. Kemudian
frase ‘burung kondor’ juga merupakan majas metafora yang digunakan penulis
dalam puisi ini. Penulis membandingkan kehidupan para petani dan buruh yang
miskin dan menderita seperti burung kondor yang lemah dan tidak berdaya.
Majas lain yang terkandung dalam ‘Sajak Burung-burung Kondor’ adalah
majas personifikasi. Majas personifikasi merupakan bentuk majas yang
menggambarkan sifat benda-benda mati seolah-olah hidup. Majas personifikasi
ini terkandung dalam kalimat angin gunung turun merembes ke hutan / lalu
bertiup di atas permukaan kali yang luas / dan akhirnya berumah di daun-daun
tembakau. Angin yang merupakan benda mati diibaratkan dalam puisi ini
memiliki sifat seperti manusia yang mempunyai tempat tinggal (berumah).
Majas yang paling dominan digunakan dalam puisi ini adalah majas ironi.
Ironi merupakan gaya bahasa yang menampilkan sesuatu yang kontras. Gaya
bahasa ironi dimaksudkan untuk menyindir, mengkritik, dan mengecam sesuatu
hal yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.14 Gaya bahasa ironi ini terdapat
dalam bait para tani-buruh bekerja / berumah di gubuk-gubuk tanpa jendela /
menanam bibit di tanah yang subur / memanen hasil yang berlimpah dan makmur
/ namun hidup mereka sendiri sengsara. Pada bait tersebut tampak jelas adanya
sesuatu yang sangat kontras terjadi dalam kehidupan para petani dan buruh. Para

13
Burhan Nurgiyantoro, Stilistika, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014,
hlm.218.
14
Ibid., hlm.269.

12
petani dan buruh telah bekerja keras untuk menggarap lahan pertanian Indonesia
yang dikenal subur dan hasil pertaniannya pun cukup melimpah. Namun keadaan
tersebut bertolak belakang dengan keadaan petani dan buruhnya yang melarat dan
berada dalam kemiskinan. Penulis dalam puisi ini ingin menunjukkan bahwa
seharusnya para petani dan buruh sebagai aktor utama dalam sektor pertanianlah
yang mendapatkan keuntungan dari kerja kerasnya tersebut. Tetapi faktanya pihak
yang mendapatkan keuntungan dari hasil kerja keras tersebut adalah para tuan
tanah dan cukong-cukong pabrik. Hal ini tampak jelas dalam bait puisi berikut:
mereka memanen untuk tuan tanah / yang mempunyai istana indah / keringat
mereka menjelma menjadi emas / yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu
di Eropa.
Adapun dalam kaitannya dengan struktur batin yang terdapat dalam ‘Sajak
Burung-burung Kondor’ ini, tema yang terkandung dalam puisi tersebut adalah
tentang potret keadilan sosial yang terjadi di Indonesia. Penulis ingin melakukan
kritik melalui puisinya atas fakta ketidakadilan sosial antara petani dan para
investor yang dalam puisi ini diwakili oleh tuan tanah dan cukong pabrik. Melalui
puisi tersebut Rendra mencurahkan perasaannya melihat keadaaan para petani
pada masa itu. Oleh karena itu, Rendra mencoba untuk mengkritisi kebijakan
yang dilakukan pemerintah yang berujung pada ketidaksejahteraan para petani.
Rendra juga mengkritik perihal investor asing yang menanamkan modalnya
kepada perusahaan-perusahaan ataupun pabrik-pabrik di Indonesia. Tanpa
mengeluarkan keringat dan bersusah payah, mereka bisa dengan mudah
menikmati hasil kerja keras rakyat kecil di Indonesia. Sementara rakyat kecil
kurang begitu menikmati hasil kerja keras mereka. Kritik terhadap ketidakadilan
tersebut juga merupakan amanat yang ingin disampaikan penulis dalam puisinya.
Dalam ‘Sajak Burung-burung Kondor’, penulis telah berhasil menciptakan
suasana sedih dan miris menyaksikan nasib para petani di Indonesia yang miskin
di tanahnya sendiri. Adapun dalam menyampaikan tema puisinya, penulis
menyampaikannya dengan nada yang menyindir. Sikap penyair yang telah
menghasilkan puisi yang bernada sinis, menyindir, dan persuasif ini memang
sangat berkaitan dengan kondisi sosial saat puisi ini diciptakan. Pada saat puisi ini
ditulis, kondisi sosial masyarakat berada dalam masa yang penuh tekanan dan

13
kezaliman dari pihak yang lebih berkuasa. Dengan nada tersebut, penyair telah
berusaha mengajak pembaca untuk membangkitkan emosinya dan merenungi
kehidupan para petani dan buruh yang melarat dan mempihatinkan yang hidup di
tanah yang subur dan makmur bernama Indonesia.

Penutup
Pendekatan sosiostilistika merupakan salah satu pendekatan dalam
stilistika yang digunakan untuk mengkaji gaya bahasa dalam karya sastra dan
kemudian menghubungkannya dengan kondisi sosial yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat saat karya sastra tersebut diciptakan. Pendekatan
sosiostilistika dapat diterapkan dalam karya sastra yang berupa prosa dan puisi.
Salah satu puisi yang sangat sesuai untuk dikaji dengan menggunakan pendekatan
sosiostilistika ini adalah ‘Sajak Burung-burung Kondor’ karya W.S. Rendra.
‘Sajak Burung-burung Kondor’ sebagai kritik sosial yang dilontarkan W.S.
Rendra menceritakan tentang keadaan sosial ekonomi yang terjadi pada era Orde
Baru khususnya problem ketidakadilan sosial dan kemiskinan yang terjadi di
Indonesia. Dalam puisi ‘Sajak Burung-burung Kondor’ digambarkan keadaan
para petani dan buruh sebagai aktor utama dalam sektor pertanian yang masih
hidup dalam kemiskinan, penderitaan, dan jauh dari kesejahteraan. Keadaan ini
sangat kontras dengan kondisi para investor yang dalam puisi ini diwakili oleh
para tuan tanah dan cukong pabrik yang lebih banyak mendapatkan keuntungan
tanpa harus bekerja keras. Kondisi sosial ekonomi ini pada hakikatnya masih
sangat relevan dengan masa kini karena keadaan pascareformasi saat ini pun tidak
jauh berbeda dengan keadaan pada masa Orde Baru dimana rakyat kecil yang
bekerja keras namun para investorlah yang menikmati hasilnya. Ketidakadilan
sosial inilah yang menjadi fokus utama dalam puisi ini dan hal ini sangat
merepresentasikan keadaan Indonesia yang gemah ripah loh jinawi namun
rakyatnya mati kelaparan di tanah sendiri.

14

Anda mungkin juga menyukai