Anda di halaman 1dari 6

UJIAN TENGAH SEMESTER

Nama : Asysyifa Aulia


NIM : 1185020025
Kelas/Jurusan : 5A BSA
Mata Kuliah : Stilistika

Petunjuk UTS :

- Jawab 4 (empat) dari 5 (lima) pertanyaan berikut dengan benar dan tepat.

- Kirimkan jawaban UTS ke edikomarudin@uinsgd.ac.id

SOAL-SOAL

1. Apa pengertian, objek, sumber dan tujuan kajian Stilistika?

2. Terangkan dengan singkat perkembangan stilistika di dunia Barat, dunia Arab dan Indonesia.

3. Bagaimana relasi Stilistika dengan Linguistik, Kritik Sastra dan Ilmu Balaghah? Jelaskan!

4. Jelaskan yang dimaksud dengan istilah style, uslub dan gaya bahasa!

5. Apakah hakikat dari gaya bahasa?

JAWAB

1. Pengertian Stilistika
Menurut Panuti Sudjiman. Stilistika adalah suatu ilmu yang digunakan untuk mengkaji cara
sastrawan memanipulasi, dengan arti memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa
dan efek apa yang ditimbulkan oleh pengarang itu. Stilistika juga meneliti ciri khas penggunaan
bahasa dalam wacana sastra, ciri-ciri yang membedakan atau mempertentangkan dengan wacana non
sastra, meneliti deviasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literer, Jadi stilistika meneliti fungsi
puitik suatu bahasa.
Menurut Atmazaki bahwa stilistika sebenarnya merupakan salah satu pendekatan dalam kritik
sastra, yaitu kritik sastra yang menggunakan linguistic sebagai dasar kajian.
Menurut Ratna (2009: 167) secara definisi stilistika adalah ilmu yang berkaitan dengan gaya dan
gaya bahasa. Tetapi pada umumnya lebih mengacu pada gaya bahasa. Dalam bidang bahasa dan
sastra stilistika berarti cara-cara penggunaan bahasa yang khas sehingga menimbulkan efek tertentu
yang berkaitan dengan aspek-aspek keindahan.
Menurut Teeuw (dalam Fananie, 2000: 25) stilistika merupakan sarana yang dipakai
pengarang untuk mencapai suatu tujuan, karena stilistika merupakan cara untuk mengungkapkan
pikiran, jiwa, dan kepribadian pengarang dengan cara khasnya.
Secara teoretis, Verdonk (2002: 4) memandang stilistika, atau studi tentang gaya, sebagai
analisis ekspresi yang khas dalam bahasa untuk mendeskripsikan tujuan dan efek tertentu. Bahasa
dalam karya sastra adalah bahasa yang khas sehingga berbeda dari bahasa dalam karya-karya
nonsastra. Untuk itulah, analisis terhadap bahasa sastra pun membutuhkan analisis yang khusus.
Dalam hal ini dibutuhkan stilistika sebagai teori yang secara khusus menganalisis bahasa teks sastra.
Dengan begitu, kata stilistika secara etimologis berasal dari Bahasa Inggris yang dikenal
dengan istilah stylistic. Kata stylistic berasal dari dua kata, yaitu kata style dan kata istic. Kata style
berarti gaya sedangkan kataistic berarti ilmu. Jadi kata Stylistic dalam bahasa Inggrisnya dapat
diartikan sebagai Ilmu Gaya (Gaya Bahasa). Stilistika membicarakan bagaimana memahami dan
mengkaji sastra dari segi penggunaan bahasa yang dilakukan oleh penyair.

Objek Kajian Stilistika

Stilistika mengkaji semua fenomena bahasa berawal dari fonologi (bunyi bahasa) hingga
semantik (makna dan arti bahasa). Dalam pengkajiannya stilistika biasanya terdapat pembatasan
terhadap suatu teks tertentu, misalnya dengan hanya mengkaji sebagai berikut.

1) Memperhatikan preferensi penggunaan kata atau struktur bahasa.


2) Mengamati antar hubungannya, untuk mengidentifikasi ciri-ciri stilistik (stylistic features).
Adapun ciri-cirinya antara lain sebagai berikut;
a) Sintaksis (tipe struktur kalimat).
b) Leksikal (diksi atau penggunaan kelas kata tertentu).
c) Retoris atau deviasi (Penyimpangan dari kaidah umum tata bahasa).

Sumber Kajian Stilistika

Gaya menyangkut masalah penggunaan bahasa, dalam hal ini karya sastra dianggap sebagai
sumber data utama dan pada perkembangan terakhir dalam sastra menunjukkan bahwa gaya dibatasi
dalam analisis puisi, karena dilihat secara umum puisilah yang memiliki penggunaan bahasa yang
khas, selain itu gaya pada dasarnya ada dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Tujuan Kajian Stilistika

Tujuan memahami kajian stilistika yaitu untuk mengetahui dan menjelaskan ketepatan suatu
penggunaan bentuk-bentuk bahasa baik secara estetis (keindahan) dan ke-efektivitasannya sebagai
sarana komunikasi. Fungsi estetis yang dimaksud yaitu kesesuaian penggunaan bentuk-bentuk
bahasa yang digunakan untuk mendukung suatu teks.

2. Sejarah Perkembangan Stilistika di dunia Barat


Banyak faktor pembentuk sebuah karya sastra membuat kritik sastra di Barat pada abad ke-19 dan
ke-20 berada dikesimpangan, tarik menarik antara berbagai kecenderungan. Ada sekelompok kritikus
yang melihat sastra dari hubungan antara sastrawan dengan karyanya. Menurut mereka, karya sastra
adalah pengungkapan sebagai objek atau keseluruhan kehidupannya. Dari perspektif ini, muncullah
apa yang dikenal dengan biografi sastrawan. Sementara itu, ada juga kritikus sastra yang
memperhatikan sastra dari aspek kejiwaan sasatrawannya yang terkadang tidak tampak dalam hidup
kesehariannya. Dari perspektif ini muncullah psikologi sastra. Kritikus lainnya memperhatikan sastra
dari kaitannya dengan msyarakat termasuk lapisan-lapisannya dan kondisi serta masa lahirnya. Dari
perspektif ini muncullah sosiologi sastra. Disamping itu, para kritikus sastra yang memperhatikan
aspek-aspek lainnya, seperti nasionalisme, politik, teologi, filsafat dan lain-lain. Kecenderungan-
kecenderungan tersebut membuat para kritikus terlena. Mereka lebih memperhatikan teori-teori
sosial, teori psikologi dan teori-teori lainnya daripada teori sastranya. Kejadian-kejadian ini
mendorong para peneliti dan kritikus sastra lainnya untuk kembali kepada kritik sastra yang berfokus
pada aspek bahasa sastra itu sendiri sehingga bisa diketahui nilai suatu sastra. Corak analisis dan
kritik sastra yang berfokus pada aspek kebahasaan terus berlangsung didunia kritik dibelahan Eropa
dengan nama kritik bahasa, analisis struktual, dan stilistika.1 Revolusi terhadap paradigma analisis
sastra klasik dilakukan oleh Charles Bally (1865-1947) dengan teori stilistika deskriptif ekspresif-
nya. Ia merupakan murid Ferdinand De Saussure (1857-1913). De Saussure dikenal dengan peletak
linguistik modern, sedangkan Bally adalah peletak stilistika moderan. Pemikiran yang berkembang
sebelum De Saussure bahwa bahasa merupakan produk masyarakat. Individu hanya mewarisi bahasa
dari masyarakat sehingga peran individu terhadap perkembangan bahasa sangat minim. Bahasa,
kaidah-kaidah dan sastranya, adalah karya generasi lalu, sedangkan individu hanyalah
mengungkapkan pola-pola lama. De Saussure berpendapat bahwa individu memiliki peran palimg
besar dalam menciptakan bahasanya yang khas. Menurutnya, bahasa bukan hanya merupakan pola-
pola kolektif yang lama, melainkan juga dalam ukuran tertentu merupakan pencampuran dengan
spirit individu. Ferdinand De Saussure (1857-1913) membagi bahasa menjadi dua: languge dan
parole. Yamg pertama menitikberatkan pada kaidah-kaidah dasar kebahasaan, sedangkan yang kedua
menitikberatkan pada bagaimana bahasa itu dalam penggunaanya. Dan, yang terakhir ini merupakan
objek analisis stilistika. `Parole yang merupakan analisis stilistika dibagi menjadi dua: tuturan biasa
dan tuturan sastra atau seni. Tuturan biasa bersifat spontan, rasional. Jenis ini menggunakan bahasa
sesuai dengan keterbatasan makna yang terkandung dalam kamus, tidak ada kata ataupun makna
yang baru sehingga tidak dibutuhkan pemikiran yang mandalam untuk memahaminya. Adapun
tuturan sastra bersumber dari penutur yang megarahkan tuturannya pada indera perasaan
pendengaranya atau pembacanya dengan menggunakan kata-kata dan makna pilihan yang terkadang
bisa dipahami secara mudah dan terkadang dibutuhkan pemikiran secara mendalam. 1 Ahmad
Darwisy, Dirasah Al-Uslub bain Al-Mua’sirah wa at-Turas,( Kairo; Dar Garib Lit-Taba’ah wat-
Tauzi 1998), hal.13-14 Tujuan tuturan biasa adalah penyampaian isi pesan dengan gambaran yang
jelas, berbeda dengan tuturan sastra: mempengaruhi penutur dengan kata-kata yang bagus yang
kadang tidak dijumpai dalam tuturan biasa. Dalam stilistika desktiptif terdapat dua aliran. Dalam hal-
hal yang bersifat rinci, keduanya banyak perbedaan. Namun, dalam hal-hal yang prinsip keduanya
ada persamaan: sama-sama berfokus pada karya sastra berdasarkan analisis tuturan itu sendiri. Aliran
pertama dinamai structural deskriptif. Aliran ini memandang tuturan atau karya sastra sebagai
kesatuan dari unsur-unsurnya yang saling berhubungan tanpa bisa dipisah-pisahkan. Jika ada unsur
yang rusak, rusaklah stuktur karya sastra secara keseluruhan. Kesatuan unsur-unsur ini bukan terjadi
secara kebetulan, tetapi didasarkan pada analisis dan aturan-aturan. Aliran kedua dinamai
formalisme. Muncul di Rusia pada tahun 1917, aliran ini dipelopori oleh Roman Jacobson. Diantara
pendapatnya, bahwa studi sastra adalah analisis terhadap faktor-faktor yang menjadikan karya ini
mempunyai nilai sastra. Dengan kata lain, mereka memfokuskan pada tuturannya saja dan
mengabaikan aspek-aspek lain seperti aspek psikologi dan sosial kemasyarakatan. Dengan demikian,
perbedaan diantara kedua aliran ini adalah bahwa structural deskriptif memperluas analisisnya,
disamping tuturan ke aspek sosial, filsafat, psikologi, sejarah dan laim-lain yang mempengaruhi dan
mewarnai karya sastra. Dilain pihak, aliran formalisme menjauhi aspek-aspek tersebut dan
memfokuskan hanya pada tuturan yang sudah menjadi karya sastra. Berdasarkan atas pemikiran De
Saussure, Charles Bally mengembangkan pemikiran stilistika ekspresif. Menurutnya, nilai-nilai
stilistika tidak bisa ditampung dalam “nilai-nilai statis”. Pendapat ini bersebrangan dengan pendapat
para ahli sastra sebelumnya ( pra De Saussure ), yang mengatakan bahwa nilai-nilai stilistika terletak
pada kerangka nuansa atau rasa bahasaa, yang menurut mereka berpusat pada soal metapora.
Menurut Bally, nilai-nilai stilistika lebih dari itu. Kadang ungkapanungkapan sederhana pun terdapat
nilai-nilai keindahan. Dengan kata lain, ungkapanungkapan seperti itu termasuk kedalam kerangka
nuansa atau rasa bahasa. Dengan demikian, ranah analisis stilistika semakin meluas karena termasuk
juga bahasa tuturan yang tidak bisa lepas dari konteks2 . Berdasarkan penjelasan diatas, stilistika
deskriptifnya Charles Bally merangkum dalam tiga prinsip berikut ini : a) Ranah analisis stilistika
deskriptif tidak terbatas pada kaidah-kaidah sastra tradisional saja. b) Bahasa tuturan dimasukan
kedalam ranah analisis stilistika. c) Stilistika menggunakan metode deskriptif. Konsep ini merupakan
salah satu fragmen stilistika di dunia barat dari sekian banyak fragmen yang ada.
Sejarah Perkembangan Stilistika di Indonesia
Di Indonesia, stilistika juga mengalami sejarah dan perkembangan. Pada tahun 1956, Slamet
Mulyana menerbitkan buku Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Budaya, penerbit Ganaco, Bandung.
Buku ini berisi sekalar pemandangan tentang Poesi juga biasa disebut Puitika. Pandangan Puitika
tidak terlepas dari persoalan poetika pada hakikatnya adalah persoalan filsafat. Dengan demikian,
peristiwa sastra dihubungkan dengan peristiwa Bahasa Indonesia. Hal ini ada hubungannya dengan
pengajaran bahasa. Kekurangan penyelidikan bahasa dan sastra Indonesia terasa sekali oleh pengajar
di sekolah, yaitu sifat pembelajaran tidak lagi merupakan perluasan, tetapi pendalaman. Bahasa
Indonesia merupakan salah satu fenomena yang berhubungan adat dengan manusia Indonesia.
Slamat Mulyana mendefinisikan stilistika adalah pengetahuan tentang kata yang berjiwa. Istilah
stilistika kemudian dikembangkan oleh Jassin. Ia menguraikan bahwa ilmu bahasa yang menyelidiki
gaya bahasa disebut stilistika atau ilmu gaya biasa orang menyebut gaya bahasa apa yang disebut
Stijl dalam bahasa Belanda, Style dalam bahasa Ingggris dan Perancis, Stil dalam bahasa Jerman.
Jassin selanjutnya mengemukakan bahwa kata gaya bahasa bermakna cara menggunakan bahasa. Di
dalamnya tercakup gaya bercerita. Biasanya orang jika berbicara tentang stil seseorang pengarang
yang dimaksud bukan saja gayanya dalam mempergunakan 2 Ibid, hal.31-32 bahasa, melainkan juga
gayanya bercerita. Seorang stilistikus atau ahli gaya bahasa menjawab pertanyaan mengapa seorang
pembicara atau pengarang menyatakan pikiran dan perasaan seperti yang dilakukan dan tidak dalam
bentuk lain, atau bagaimana keharmonisan gabungan isi dan bentuk. Pada 1982, Sudjiman membuat
Diktat Mata Kuliah Stilistika, Program S1. Universitas Indonesia. Kemudian Ia menerbitkan buku
Bunga Rampai Stilistika. Grafiti, Jakarta 1993. Istilah stilistika sejak 1980-an ini mulai dikenal di
dunia Pengetahuan Tinggi sebab telah menjadi satu disiplin ilmu. Hal ini dilatarbelakangi oleh
kenyataan selama ini bahwa dalam usaha memahami karya sastra para kritikus sastra menggunakan
pendekatan intrinsik dan ekstrisik, bahkan ada yang menggunakan beberapa pendekatan sekaligus.
Semua itu ada hukum untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang alasan pengarang
menciptakan karya tertulis, gagasan yang hendak disampaikan ataupun hal-hal yang mempengaruhi
cara penyampaiannya semua itu dilakukan untuk merebut makna yang terkandung dalam karya sastra
serta menikmati keindahannya. Karena medium yang digunakan oleh pengarang adalah bahasa,
pengantar bahasa pasti akan mengungkapkan hal-hal yang membantu kita menafsirkan makna suatu
karya sastra atau bagian-bagiannya untuk selanjutnya memahami dan menikmatinya. Pengkajian ini
disebut pengkajian stilistika. Dalam pengkajian ini tampak relevansi linguistik atau ilmu bahasa
terhadap studi sastra. Dengan stilistika, dapat dijelaskan interaksi yang rumit antara bentuk dan
makna yang sering luput dari perhatian dan pengamatan para kritikus sastra. Pada tahun 1986,
Natawidjaja menerbitkan buku Apresiasi Stilistika, Intermasa, Yogyakarta. Dalam buku ini diuraikan
penggunaan bahasa suatu karya sastra melalui aspek bahasa, misalnya peribahasa, ungkapan, dan
gaya bahasa dalam karya sastra. Buku ini sangat bermanfaat bagi siswa SMA dan mahasiswa yang
ingin meningkatkan pemahaman mengenai stilistika bahasa Indonesia. Di Universitas Gadjah Mada,
penelitian skripsi sarjana juga membahas masalah stilistika. Hal ini sudah dilaksanakan sejak 1958
sampai dengan sekarang ini, misalnya Budi S telah membuat skripsi tentang ”Bahasa Danarto dalam
Godlob: Kajian Stilistika Cerpencerpen Danarto”, 1990. Ia memberi penekanan analisis terhadap
kosakata, majas (bahasa kiasan), sarana retorika, struktur sintesis, interaksi bahasa dan humor dari
mantra (Puleh, 1994:X). Pada 1993, Lukman Hakim membahas stilistika judul makalahnya
”Tinjauan Stilistika terhadap Robohnya Surau Kami”, (AA. Navis). Ia membahas cerita pendek ini
dari sisi gaya bahasa/stil, pengarangnya terutama yang berhubungan dengan (1) struktur kalimat
yang dihubungkan dengan gaya bercerita; dan (2) pemilihan leksikal yang dikaitkan dengan
pemakaian majas (Depdikbud, 1993:28-38, Bahasa dan Sastra, X.4). Pada 1995, Aminuddin
menerbitkan bukunya Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra, IKIP Semarang
Press, Semarang. Kajian stilistika dalam buku ini terdiri dari enam bab. Bab 1 mengenai Pengertian
Gaya dalam Perspektif Kesejarahan; Bab 2 mengenai Studi Stilistika dalam Konteks Kajian Sastra;
Bab 3 Bentuk Ekspresi sebagai Pangkal Kajian Stilistika; Bab 4 Aspek Bunyi dalam Teks Sastra;
Bab 5 Bentuk Simbolik dalam Karya Sastra; dan Bab 6 Bentuk Bahasa Kias dalam Karya Sastra.
Pada 2003, Tirto Suwondo membahas cerpen dengan pandangan stilistika, judul makalahnya
”Cerpen Dinding Waktu, karya Danarto, Studi Stilistika” dimuat dalam bukunya Studi Sastra
Beberapa Alternatif, Hanindita, Yogyakarta, 2003. Suwondo berkesimpulan bahwa cerpen dinding
waktu karya Danarto kaya akan gaya bahasa, baik gaya bahasa berdasarkan struktur kata dan kalimat
maupun berdasarkan langsung atau tidaknya makna. Dengan demikian, hingga saat sekarang ini,
stilistika sudah berkembang dengan pesat. Perkembangan stilistika di Indonesia sangat lambat
bahkan hampir tidak mengalami kemajuan. Penelitian tentang stilistika pada umumnya terbatas
sebagai sub bagian dalam sebuah buku teks atau dalam skripsi dan tesis. Kualitas penelitianpun
terbatas sebagai semata-mata deskripsi pemakaian bahasa yang khas, sebagai gaya bahasa. Oleh
karena itu sampai saat ini belum ada buku yang secara khusus membahas stilistika. Sebagai contoh
untuk menelusuri sejarah perkembangan stilistika di Indonesia, maka dicoba menelusuri buku-buku
yang dapat diimplikasikan baik terhadap gaya bahasa maupun stilistika itu sendiri. Buku pertama
berkaitan dengan gaya bahasa ditulis oleh Slametmuljana. Meskipun tidak secara eksplisit
menyebutkan gaya bahasa dan stilistika, tetapi dikaitkan dengan judulnya Peristiwa Bahasa dan
Peristiwa Sastra (1956) dapatlah disebutkan bahwa buku tersebut mengawali studi stilistika di
Indonesia. Sebagian besar pembicaraan yang dilakukan berkaitan dengan Bahasa Sastra, khususnya
puisi (yang disebut kata „berjiwa‟), bahasa kontekstual, yang di bedakan dengan bahasa kamus
(bahasa dengan arti tetap), sebagai bahasa bebas konteks. Menurut Slametmuljana, perkembangan
mengenai kata-kata berjiwa inilah yang disebut sebagai stilistika. Bahasa adalah alat untuk
mewujudkan pengalaman jiwa yaitu cita dan rasa ke dalam rangkaian bentuk kata yang tepat dan
dengan sendirinya sesuai tujuan pengarang. Teeuw dalam bukunya yang berjudul Tergantung pada
Kata (1980) menganalisis sepuluh puisi dari sepuluh penyair terkenal, sehingga dapat mewakili ciri-
ciri pemakaian bahasa pada masing-masing puisi sekaligus mewakili kekhasan personalitas
pengarangnya. Menurut Teeuw, melalui karya-karya Chairil Anwarlah terjadi revolusi total dalam
bahasa, dengan cara mendekonstruksi sistem sastra lama yang didiominasi oleh berbagai ikatan,
sehingga menjadi baru sama sekali. Panuti Sudjiman dalam bukunya yang berjudul Bunga Rampai
Stilistika (1993), secara jelas telah menyinggung makna stilistika itu sendiri, yaitu mengkaji ciri khas
penggunaan bahasa dalam wacana sastra. Dengan singkat stilistika mengkaji fungsi puitika suatu
bahasa. Sesuai dengan judulnya, sebagai bunga rampai pembicaraan stilistika dibicarakan dalam
empat bab dari keseluruhan buku yang terdiri atas delapan bab. Menurut Sudjiman, stilistika
menjembatani analisis bahasa dan sastra. Pembicaraan ini hanya mengemukakan pembicaraan gaya
bahasa dan stilistika dalam bentuk buku yang sudah diterbitkan dengan maksud untuk mengetahui
seberapa jauh stilistika menjadi pusat perhatian bagi kritikus sastra Indonesia, sekaligus
menunjukkan masih lemahnya industri penerbitan di Indonesia.

4. Style atau sering disebut gaya bahasa adalah cara mengungkapkan gagasan dan perasaan dengan
bahasa khas sesuai kreativitas, kepribadian, dan karakter pengarang untuk mencapai efek tertentu,
yakni efek estetik atau efek kepuitisan dan efek penciptaan makna.
Uslub ialah cara atau gaya bahasa yang dipakai oleh seseorang untuk menuangkan pokok-pokok
pikiran dan perasaannya melalui untaian kata dan ditujukan kepada para pembaca dan pendengar.

5. Hakikat Gaya Bahasa


Gaya bahasa atau style adalah pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseoarang dalam
bertutur atau menulis; pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu: keseluruhan
ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra: cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam
bentuk tulis atau lisan ( Hasan dalam Murtono, 2010:15). Gaya bahasa juga bermakna cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian
penulis atau pemakai bahasa (Keraf dalam Murtono, 2010:15). Gaya bahasa ini bersifat individu dan
dapat juga bersifat kelompok. Gaya bahasa yang bersifat individu disebut idiolek, sedangkan
yang bersifat kelompok (masyarakat) disebut dialek. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat
menilai pribadi, watak, dan watak, dan kemampuan seseorang ataupun masyarakat yang
menggunakan bahasa tersebut

Anda mungkin juga menyukai