Anda di halaman 1dari 15

ANALISIS STILISTIKA DALAM NOVEL “THEN CAME YOU”

KARYA JENNIFER WEINER

Skripsi
diajukan untuk melengkapi
persyaratan mencapai
gelar sarjana

NAMA : ROIMAN ERICARTER HUTAPEA

NPM : 200912500869

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
2013
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian


Bahasa merupakan alat komunikasi yang mempunyai peranan penting dalam
kehidupan manusia. Seperti yang dikemukakan oleh Leonard Bloomfield (1925:3),
“Language plays a great part in our life. Perhaps of its familiarity, we rarely observe it,
taking it for granted, as we do breathing or walking”
Bahasa dapat diungkapkan baik secara lisan maupun tulisan. Dengan bahasa kita
dapat menyampaikan ide, pendapat, harapan, kehendak ataupun perasaan kita kepada
orang lain dan begitu pula sebaliknya kita dapat menerima atau mengetahui apa yang
ingin disampaikan oleh orang lain melalui bahasa. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi ke-3 (2008:88), “Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang
digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi dan
mengidentifikasikan diri;...”
Komunikasi yang terjadi dalam kehidupan manusia tidak hanya disampaikan
melalui lisan saja namun dapat juga berupa tulisan. Oleh karena itu bahasa merupakan
sarana pengungkapan sastra. Dalam seni sastra, bahasa diibaratkan sebagai cat pada seni
lukis, dimana bahasa merupakan salah satu unsur yang dapat menjadikan karya sastra
menjadi sebuah karya dengan nilai lebih dari pada sekedar bahannya itu sendiri. Dipihak
lain, sastra lebih dari sekedar bahasa, deretan kata, namun unsur kelebihannya itupun
hanya dapat diungkap dan ditafsirkan melalui bahasa.
Bahasa merupakan sarana yang dapat mengkomunikasikan segala sesuatu yang
ingin disampaikan oleh suatu karya sastra. Bahasa dalam sastra pun mengemban fungsi
utamanya: fungsi komunikatif (Nurgiyanto, 1993:1)
Dalam wacana tulis, seperti dalam karya-karya sastra, pesan disampaikan oleh
pengarang (addresser) kepada pembaca (addressee) dengan menggunakan sistem bahasa
masyarakat yang bersangkutan dengan menggunakan tanda-tanda tersebut. Pengarang
menyampaikan apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan dengan ragam bahasa yang
sering dipergunakan dalam karya sastra atau bahasa sastra.
Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban
manusia semenjak ribuan tahun yang lalu. Tak heran kehadirannya ditengah peradaban
manusia tidak dapat ditolak, bahkan kehadiran tersebut diterima sebagai salah satu
realitas sosial budaya. Saat ini, sastra tidak hanya dinilai sebagai sebuah karya seni yang
memiliki budi, imajinasi dan emosi semata tetapi juga telah dianggap sebagai suatu karya
kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual.
Kelahiran sastra disebabkan oleh dorongan dari dalam diri manusia untuk
mengungkapkan dirinya, menaruh minat terhadap masalah kemanusiaan bahkan terhadap
masalah yang dialami dunia realitas yang berlangsung sepanjang masa.Sastra yang telah
dilahirkan oleh para sastrawan diharapkan dapat memberikan kepuasan estetik dan
kepuasan intelek bagi para pembaca walau sering kali karya sastra itu tidak mampu
dinikmati atau dipahami sepenuhnya oleh masyarakat awam.
Berbicara mengenai sastra, sastra tidak lepas dari segi seni, artistik dan gaya
bahasa. Tentunya segala sesuatu tersebut dibuat dengan tanpa adanya alasan. Dengan
adaya unsur seni, artistik dan gaya bahasa, sebuah karya sastra akan lebih tersaji dengan
menarik sehingga para pembaca mempunyai rasa ketertarikan dan tertantang untuk
menelaah lebih jauh sebuah hasil karay tersebut.
Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style.
Kata style diturunkan dari kata dalam bahasa latin yaitu stylus, yaitu semacam alat untuk
menulis pada lempengan lilin. Maka style diartikan menjadi kemampuan dan keahlian
untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah. Karena perkembangan itu,
gaya bahasa atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi yaitu pilihan kata yang
mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa, atau klausa, kalimat tertentu untuk
menghadapi situasi tertentu. Oleh sebab itu persoalan gaya bahasa meliputi semua
hierarki kebahasaan, pilihan kata secara individual, frasa, klausa, kalimat bahkan
mencangkup pula wacana secara keseluruhan.
Walaupun kata style itu sendiri berasal dari bahasa latin, orang Yunani telah
mengembangkan sendiri teori-teori mengenai style. Terdapat dua aliran yang terkenal,
yaitu:
a. Aliran Platonik
Aliran ini menganggap style sebagai kualitas suatu ungkapan. Style. Mereka
beranggapan bahwa tidak semua ungkapan dalam sebuah sastra yang memiliki style.
Dengan kata lain ada ungkapan yang memiliki namun ada juga yang tidak memiliki style.
b. Aliran Aristoteles
Aliran ini menganggap gaya adalah suatu kualitas yang inheren, yang ada dalam
setiap ungkapan.
Dengan membandingkan antara kedua aliran tersebut, dapat di ungkapkan bahwa
aliran Platonik mengatakan bahwa tidak semua karya memiliki gaya. Sedangkan, aliran
Aristoteles mengatakan bahwa semua karya memiliki gaya namun dengan kapasitas atau
kualitas yang berbeda. Ada karya yang memiliki gaya yang tinggi atau rendah dan ada
juga karya dengan gaya yang kuat atau lemah. Bila kita melihat gaya secara umum, kita
dapat menyimpulkan bahwa gaya adalah cara mengungkapkan diri sendiri, entah melalui
bahasa, tingkah laku, cara berpakaian dan lain sebagainya. Dilihat dari segi bahasa, gaya
bahasa adalah cara menggunakan bahasa itu sendiri.
Akhirnya style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan
pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis
(pemakai bahasa). Dalam penelitian ini penulis akan menganalisis gaya bahasa dalam
novel Then Came You karya Jennifer Weiner.

B. Identifikasi Masalah
Stilistika dalah bidang ilmu bahasa terapan yang mempelajari gaya, yaitu
bagaimana bahasa digunakan dalam karya sastra agar dapat mengekspresikan tujuan
penulisan pengarang. Gaya suatu karya sastra dapat dianalisis dari pemakaian majas, gaya
bahasa dan unsur-unsur kebahasaan lainnya.

C. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi masalah yang akan dianalisa adalah
hanya pada pengidentifikasian jenis gaya bahasa yang terdapat dalam novel ” Then Came
You” karya Jennifer Weiner.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan paparan pada bagian latar belakang, identifikasi masalah hingga
pembatasan masalah diatas, masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
Gaya bahasa apa saja yang digunakan dan diucapkan secara dominan oleh tokoh-tokoh
serta gaya bahasa jenis apa yang jarang digunakan dalam novel ini.

E. Tujuan Penulisan dan kegunaan penelitian


Berdasarkan masalah-masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, penelitian
ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai karakter tokoh-tokoh ditinjau dari
sebuah analisis stilistikanya.

F. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini disajikan dengan menggunakan sistematika penulisan sebagai
berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi penjelasan tentang latar
belakang penelitian, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan kegunaan penelitian serta sistematika
penulisan.
Bab kedua berisi uraian tentang hakikat bahasa, hakikat sastra, hakikat novel,
hakikat style , hakikat stilistika dan kerangka berfikir yang terkait dengan permasalahan.
Bab ketiga memuat penjelasan tentang metode penelitian yang berisi teknik
analisa, pendekatan penelitian, teknik penelitian, teknik pengumpulan data instrumen
penelitian.
Bab keempat merupakan uraian hasil analisa tentang deskripsi informasi
penelitian, deskripsi temuan penelitian, interpretasi data yang berisi uraian hasil analisi
stilistik tentang ragam penggunaan gaya bahasa dan pemakaian gaya bahasa yang paling
dominan yang digunakan dalam novel Then Came You.
Bab kelima berisi tentang kesimpulan yang diambil berdasarkan pembasan dari
bab sebelumnya dan diakhiri dengan pengutaraan saran-saran.
BAB II

A. Landasan Teori
1. Hakikat Bahasa
Bahasa dan seni sastra dapat disamakan degan cat dan seni lukis. Keduanya
merupakan unsur bahan,alat,sarana yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang
mengandung “nilai lebih” daripada sekedar bahannya itu sendiri. Dipihak lain sastra lebih
dari sekedar bahasa, deretan kata, namun unsur “kelebihannya” itupun hanya dapat
diungkapkan dan ditafsirkan melalui bahasa. Jika sastra dikatakan ingin menyampaikan
sesuatu, mendialogkan, sesuatu tersebut hanya dapat dikomunikasikan lewat sarana
bahasa.Bahasa dalam sastra pun mengemban fungsi utamanya: fungsi komunikatif
(Nurgiyantoro, 1993:1)
Sedangkan menurut ahli bahasa yang lain Clark mendefenisikan bahwa
bahasa sebagai alat komunikasi hanya digunakan oleh manusia(Clark,1981)
Menyuk (dalam Alam 2006:15) mengatakan untuk memperkuat arti dari
bahasa, Menyuk mendefinisikan bahasa sebagai berikut : Bahasa adalah satu-satuan
proposisi yang dituangkan dalam kalimat.
Berbeda dengan Menyuk, Piagiet(dalam Nurgiyantoro 2005:275) memiliki
pendapat yang berbeda tentang definisi bahasa. Bahasa bukan hanya pengetahuan penutur
bahasa tentang proposisi, tetapi lebih luas dari itu, hubungan logis antar proposisi.
Bahasa tidak saja di pandang dari konten proposisi, hubungan logis antar
proposisi, tetapi juga melibatkan interpretasi sebagai hasil komunikasi antara pembicara
dan pendengar. Interpretasi dapat dilakukan apabila konteks dapat dipahami baik oleh
pembiaca maupun pendengar(Vygotsky, 1973).
Sastra khususnya fiksi, disamping sering disebut dunia dalam kemungkinan,
juga dikatakan sebagai dunia dalam kata. Hal itu disebabkan”dunia” yang diciptakan,
dibangun, ditawarkan, diabstraksikan, dan sekaligus ditafsirkan lewat kata- kata, lewat
bahasa. Apapun yang akan dikatakan pengarang atau sebaliknya ditafsirkan oleh
pembaca, mau tak mau harus bersangkut-paut dengan bahasa.
Fowlwer (dalam Nurgiantoro 2005: 272) memiliki pendapat bahwa struktur
novel dan segala sesuatu yang dikomunikasikan senantiasa di kontrol langsung oleh
manipulasi bahasa pengarang.
Untuk memperoleh efektivitas pengungkapan, bahasa dan sastra disiasati,
dimanipulasi, dan didayagunakan secermat mungkin sehingga tampil dengan sosok yang
berbeda dengan bahasa nonsastra.
Dengan pijakan ilmu kebahasaan yang sudah ada, para ahli semakin lama
semakin menyadari bahwa sebenarnya bahasa itu tidak hanya digunakan oleh individu
tertentu, melainkan digunakan juga oleh semua kalangan atau komunitas masyarakat.

Karena itu Grundy menegaskan bahwa :


...Truth or enlightenment is contingent on an infinite process of scientific
enquiry within a community of interpreters vis-a-vis phonema of the real
world, rather than being a transcendental state of mind arrived at by one
particular individual ( or groups of individual) at some particular period of
time...(Grundy, 1998)

Pada umumnya orang beranggapan bahwa bahasa sastra berbeda dengan


bahasa nonsastra, bahasa yang dipergunakan bukan dalam (tujuan) pengucapan sastra.
Namun “perbedaan”-nya itu sendiri tidakalah bersifat mutlak, atau bahkan sulit
diidentifikasikan. Bahasa sastra bagaimanapun, perlu diakui eksistensinya,
keberadaannya. Sebab, tidak dapat disangkal lagi, ia menawarkan sebuah fenomena yang
lain. Keberadaannya paling tidak perlu disejajarkan dengan ragam-ragam bahasa dalam
seperti dalam konteks sosiolinguistik yang lain (Nurgiyantoro, 1993: 2)
Bahasa sastra, menurut kaum Formalis Rusia, adalah bahasa yang mempunyai
ciri deotomatisasi (penyimpangan dari cara penuturan yang telah bersifat otomatis, rutin,
biasa, dan wajar). Sastra mengutamakan keaslian pengucapan, dan untuk memperoleh
cara itu mungkin sampai pada penggunaan berbagai bentuk penyimpangan, deviasi
(deviation) kebahasaan. Kaum Formalis berpendapat bahwa adanya dari sesuatu yang
wajar itu merupakan proses sastra yang mendasar. Teeuw (dalam Nurgiyantoro 2005:
274)
Penyimpangan dalam bahasa sastra dapat dilihat secara sinkronik, yang
berupa penyimpagan dari bahasa sehari-hari, dan secara diakronik, yang berupa
penyimpangan dari karya sastra sebelumnya. Kebebasan menyimpangi bahasa sastra
bukannya tak terbatas. Bahasa adalah sebuah sistem tanda yang telah mengkonvensi.
Penyimpagan secara ekstrem terhadap bahasa yng bersangkutan akan berakibat tak dapat
dipahaminya karya yang bersangkutan atau sesuatu yang akan dikomunikasikan. Fungsi
komunikatif hanya akan efektif jika sebuah penuturan masih tunduk dan memamfaatkan
konvensi bahasa itu betapapun kadarnya. Culler (dalam Nurgiyantoro 2005: 275)
memiliki pendapat bahwa makna dalam sastra pada umumnya memang bukan makna
pertama seperti yang dikonvensikan bahasa, melainkan bersifat second- order semiotic
system.
2. Hakikat sastra

Sastra adalah suatu bentukdari hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya
adalah manusia dan kehidupannya degan menggunakan bahasa sebagai medianya. Sastra
seni kreatif tidak hanya menggunakan manusia sebagai penyampai, tetapi menjadi alat
penyampai ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh pengarang mengenai
kehidupannya.
Menurut Jonathan Culler :
“Literature is itself a continual exploration of and reflection upon signification in all it
forms: an interpretationof experience ; a commentatory on the validity of various ways of
interpreting experience ; an exploration of the creative processes manifestedin uor
language and in previous literature” (Culler, 1981: 85)

Berdasarkan pendapat Jonathan Culler di atas sastra itu sendiri merupakan


explorasi dan perenungan yang terus menerus mengenai pemberian makna dalam segala
bentuknya ; penafsiran pengalaman ; komentar mengenai tingkah laku berbagai cara
menafsirkan pengalaman ; peninjauan atas kekuasaan bahasa yang kreatif ; bahasa
pengungkap dan penipu ; kritik terhadap kode-kode dan proses-proses interpretasi yang
terwujud dalam bahasa-bahasa kita saat ini dan dalam sastra sebelumnya.
Sedangkan berdasarkan pendapat Jacob Sumardjo, sastra adalah ungkapan
pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide dan semangat keyakinan
dalam suatu bentuk gambaran kongkret.
Menurut M. Atar Semi, sastra adalah suatu bentuk dari hasil pekerjaan
seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan
bahasa sebagai medianya.
Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya merupakan unsur integral
dari kebudayaan, usianya sudah cukup tua, Kehadirannya hampir bersamaan dengan
manusia, karena ia diciptakan dan dinikmati oleh manusia. Daripadanya kita memperoleh
pengetahuan yang mendalam tentang manusia, dunia, dan kehidupan(Sumardjo, 1988 : 8)
Teew (dalam Alam 2006 : 14) memiliki definisi tentang sastra. Sastra
dalam bahasa Indonesia mempunyai pengertian yang berarti mengajar, mengarahkan,
memberi petunjuk ; dan “tra” berarti sarana, alat, Maka dari itu sastra dapat berarti alat
untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran ; misalnya sila sastra,
buku arsitektur kama sastra, buku petunjuk mengenai seni cinta.
Sedangakan menurut Mulyana, keindahan dalam seni sastra di bangun
oleh seni kata. Yang dimaksud dengan seni kataialah penjelmaan pengalaman jiwa
diekspresikan kedalam keindahan kata. (Mulyana, 1956 : 4)
Berbeda dengan Mulyana, Kneller (dalam Arsanajaya 2006 : 18)
berpendapat lain tentang sastra, Manusia dapat berpikir dan mengungkapkan pengalaman
batinnya, seperti dalam penciptaan seni sastra, karena kemampuannya. Bahasa
mempunyai tiga fungsi, yaitu : fungsi afektif, simbolik, dan emotif.
Seni sastra merupakan kegiatan estetik yang menggunakan aspek dan
simbolik emotif dan bahasa. Maksudnya ciri khas bahasa sastra bersifat perasaan (emotif)
dan menggunakan bahasa simbolik, simbol-simbol degan kata-kata yang konotatif,
berjiwa atau ambiguitas, dan mengandung kesan ekstetik (easthetic effect). Istilah estetika
disini berasal dari bentuk ejektif “aesthetic” yang berkenaan dengan keindahan dalam
alam, seni, sastra, musik, dan dapat menghargai bermacam-macam keindahan ;
memperlihatkan rasa bagus, baik dalam seni, dan lain-lain. Hornby (dalam Arsanajaya
2006 : 20)
Dari defenisi-defenisi sastra dapat di ketahui sifat-sifat sastra, yaitu :

a. Sastra bersifat khayali (fictiojality) : maksudnya lewat daya imajinasinya ingin


mengungkapkan kenyataan-kenyataan hidup ini menafsirkannya menjadi kenyataan
imajinatif, sehingga kehidupan lebih bermakna dan menarik bagi peminat.
b. Sastra mengandung nilai ekstetik (keindahan seni) sehingga karya sastra punya daya
pesona tersendiri. Nilai estetik ini memiliki kriteria seperti keutuhan (unity),
keseimbangan (balance), keselarasan (harmony) dan fokus atau tekanan (righemphasis).
c. Sastra memakai bahasa yang khas yaitu bahasa yang ekstetik.

3. Hakikat Novel
Novel adalah gambaran kehidupan manusia dengan segala permasalahannya yang
disajikan dengan serangkaian alur dan tertuang dalam tulisan panjang. Selain tentang kehidupan
nyata atau pengalaman hidup manusia. Reeve (dalam Kennedy, 1979 : 231) menjelaskan bahwa
novel mungkin juga bertutur tentang kisah hasil rekaan dan imajinasi pengarang yang tidak
mungkin ada dalam kehidupan nyata. Senada dengan itu, Nurgiyantoro mengatakan : novel
adalah suatu karya sastra yang berisi cerita model kehidupan dunia imajinatif yang dibangun
melalui unsur-unsur intrinsiknya. (Nurgiyantoro, 2005: 8)
Novel yang baik biasanya digemari dan populer di kalangan masyarakat pembaca, karena
ia dapat melibatkan pembaca dalam kehidupan moralnya. Pembaca dapat menjadikannya sebagai
aspek yang dapat membantunya dalam mengubah sikap hidup, dengan cara berkaca dari
pengalaman orang lain. Pesan moral yang terkandung dalam novel juga dapat mengubah sikap
seseorang atau si pembaca menjadi lebih baik dari sebelumnya, karena pesan moral itu berisi
sesuatu yang baik bagi pembaca tersebut.
Trilling (dalam Kennedy, 1979: 239) memaparkan ambaran novel yang baik, dengan
mengatakan :
“Involving the reader himself in the moral life, inviting him to his own motives under
examination, suggesting that reality is not as his conventional education has led him i see it, as
if by turning on lights ang ovening windows, help as behold aspec of other people can do of our
self that we had not observed before”
Pendapat-pendapat tersebut juga menjelaskan berupa unsur yang mendukung terciptanya
sebuah novel. Unsur yang terdapat diluar novel disebut unsur ekstrinsik seperti : sosial ekonomi,
sosial politik, budaya keagamaan, tata nilai dalam masyarakat, dan lain-lain. Sedangkan unsur
yang terdapat didalam novel disebut dengan unsur intrinsik seperti : tokoh, aliu, peralatan, tema,
dan bahasa
4. Hakikat style
Style (gaya bahasa) adalah cara untuk mengungkapakan pikiran melalui bahasa secara
khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Agar karya yang dituangkan lebih
artistik, biasanya sang penulis menggunakan gaya bahasa dalam karyanya. Abrams (dalam
Nurgyiantoro 2005: 276) mengatakan bahwa Style (gaya bahasa) adalah cara pengucapan bahasa
dan prosa, atau bagaimana seseorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan
dikemukakan.
Style ditandai oleh cri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur, kalimat,
bentuk-bentuk bahasa figurativ, penggunaan kohesi, dan lain-lain. Suatu hal yang pada umumnya
tidak lagi mengandung sifat kontroversial, menyaran pada cara pengertian cara penggunaan
bahasa dalam konteks tertentu, dan sebagainya. Dengan demikian, Style dapat bermacam-macam
sifatnya, tergantun konteks dimana diperguakan selera pengarang, namun juga tergantung apa
tujuan penuturan itu sendiri. Leech (dalam Nurgiantoro 2005 : 276).
Cuddon mengatakan :
“style is the characteristic manner of expression in prose or verse, how a particular writer
say things. The analysis and assessment of style involves examinations of a writer’s choice of
word, his figure of seech, The device, the shape of his sentences (wheter they be loose or
periodic). The conceivable aspect of his language and the way in which he uses it. Then the style
has a specific element, called stilisticswich is a kind of linguistic an simantics it is an analytical
science which covers all the expressive of language : phonology, prosody, morphology, syntax,
and lexicology.” (cuddon, 1998: 967)
Style dalam penulisan sastra tidak akan lepas dari hal-hal di atas. Ia akan menjadi style
(bahasa) sastra karena memang ditulis dalam konteks kesastraan, ditambah tujuan mendapatkan
efek keindahan yang menonjol. Adanya konteks, bentuk dan tujuan yang telah tertentu inilah
yang akan menentukan style sebuah karya. Seorang pengarang pun jika menulis dalam konteks
dan tujuan yang berbeda misalnya dalam konteks sastra-fiksi dan makalah ilmiah, mau tak mau
akan mempergunakan gaya yang berbeda juga.
Style pada hakikatnya merupakan teknik, teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang di
rasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Teknik itu sendiri, dipihak lain, juga
merupakan suatu bentuk pilihan; dan pilihan itu dapat dilihat pada bentuk ungkapan bahasa
seperti yang dipergunakan dalam sebuah karya. (Nurgiyantoro, 1993; 4).
Style merupakan suatu bentuk Parole. Langue merupakan suatu sistem kaidah yang
berlaku dalam suatu bangsa. Sedangkan Parole merupakan penggunaan dan perwujutan sistem.
Seleksi terhadap sistem yang di pergunakan oleh penutur (pengarang) sesuai degan konteks atau
situasi. Parole adalah bentuk performansi kebahasaan yang telah melewati proses seleksi dari
keseluruhan bentuk performansi kebahasaan. Pengarang tentu saja memiliki kompetensi tergadap
bahasa yang bersangkutan, dan itulah langue. Langue dan Parole berkesesuaian dengan struktur
batin (deep structure) dan struktur lahir (surface structure)-nya Chomsky, yang dapat pula
identik dengan perbedaan antara unsur isi dan bentuk dalam style. Struktur lahir adalah wujud
bahasa yang kongkret, yang dapat diobservasi.
Fowler (dalam Nurgiyantoro 2005: 278) berpendapat bahwa style merupakan suatu
bentuk perwujudan bahasa, performasi (kinerja) kebahasaan struktur makna yang ingin di
ungkapkan. Membaca baris-baris kalimat dalam sebuah novel berarti kita berhadapan dengan
unsur lahir, pemilihan bentuk struktur lahir, dengan demikian dapat dipandang sebagai teknik,
teknik pengungkapan struktur batin. Struktur batin yang sama dapat diungkapkan dalam berbagai
struktur lahir.
Makna bersifat konstan, sedang bentuk bervariasi. Fowler dalam (Nurgiyantoro 2005:
278). Jika terdapat dua penuturan dalam bahasa yang sama yang menyampaikan pesan yang
kurang lebih sama, namun diungkapkan dalam struktur bahasa yang berbeda, hal itu dapat
dipandang sebagai style yang berbeda pula. Leech & Short,(dalam Nurgiyantoro 2005: 279).
Style, atau wujud performasi kebahasaan, lahir kepada pembaca dalam sebuah fiksi
melalui proses penyeleksian dai berbagai bentuk linguistik yang berlaku dalam sistem bahasa itu.
5. Hakikat Stilistika
Leech (dalam Nurgiyantoro 2004: 279) mengatakan bahwa stilistika (stylitics)
menyarankan pada pengertian studi tentang style.
Champman (dalam Nurgiyantoro 2005: 279) memiliki pendapat bahwa kajian terhadap
wujud performansi kebahasaan yang khususnya yang terdapat didalam karya sastra. Kajian
stilistika itu sendiri sebenarnya dapat ditujukan terhadap berbagai ragam penggunaan bahasa, tak
terbatas pada sastra saja, namun biasanya stilitika lebih sering dikaitkan dengan bahasa sastra.
Berbeda dengan Champman. Leech&short (dalam Nurgiyantoro 2005: 280) berpendapat
bahawa analisis stilistika biasanya dimaksudkan untuk menerangkan sesuatu, yang pada
umumnya dalam dunia kesastraan untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi
artistik dan maknanya.
Selain itu analisis stilistika juga dimaksudkan untuk mengamati dan menerangkan
hubungan teks dengan fungsi artistik dan maknanya yang dibangun berdasarkan kode-kode
bahasa dan berdasarkan tanda-tanda linguistik yang digunakan dalam ilmu stilistika.
Widowson (dalam Brumfit, 1987: 152) mengatakan :
“The concern of literary critic is not principally with the way the signals of the artist are
construted but with the underlying message which on interpretation of these signal will reveal.
The linguist on the other hang is primarily concerned with the codes themselves and particular
messagesare of interest in so far as the examplify how the codes are construced”
Senada dengan pendapat itu, Nugriyantoro (2005 : 279) menambahkan bahwa disamping
media mencari hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dn maknanya. Stilistika juga
memperlihatkan penyimpangan dan bagaimana pengarang menggunakan tanda-tanda linguistik
untuk memperoleh efek khusus.
Champman (dalam Nurgiyantoro 2005: 279) menambahkan pendapat Nurgiyantoro
disamping itu, stilistika dapat juga bertujuan untuk menentukan seberapa jauh da dalam hal apa
bahasa yang dipergunakan itu memperlihatkan penyimpangan, dan bagaimana pengarang
mempergunakan tanda-tanda linguistik untuk memperoleh efek khusus.
Abrams (dalam Nurgiyantoro 2005: 280) berpendapat bahwa stilistika, kesastraan dengan
demikian, merupakan sebuah metode analisis karya sastra. Stilistika dimaksudkan untuk
menggantikan kritik yang bersifat subjektif dan impresif dengan analisis style teks kesastraan
yang lebih bersifat objekti dan ilmiah. Analisis dilakukan dengan mengkaji berbagai bentuk dan
tanda-tanda linguistik yang di pergunakan seperti yang terlihat dalam struktur lahir.
Kridalaksana dalam kamus linguistik, memberikan batasan stilistika, stilistika adalah (1)
ilmu yang menyelidik, bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra ; ilmu disiplin antara
linguistik dan kesusahtraan (2) penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa (kridalaksana,
1982: 157)
Tuner (dalam Nurgiyantoro 2005 : 282) mengatakan bahwa Stilistika adalah bagian dari
linguistik yang memusatkan perhatiannya pada pariasi penggunaan bahasa terutama dalam
kesusahtraan.
Fowler (dalam nurgiyantoro 2005: 282) mengatakan bahwa stilistika merupakan cabang
dari sastra, menurutnya para ahli mengatakan bahwa stilistika meneliti sastra pada aspek
bahasanya, yakni imaji, struktur suara, sintaksis, dan lain-lain.
Hakikat stilistika adalah pemakaian dan penggunaannya dalam sastra, tetapi
kemunculannya sudah ada dalam linguistik ( Umar Junus, 1989:xvii)
Stilistika adalah ilmu tentang gaya bahasa. Gaya bahasa sendiri adalah (1) pemamfaatan
kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur dan menulis, (2) pemakaian ragam tertentu (3)
keseluruhan cirir bahasa sekelompok penulis sastra (kridalaksana, 1982: 49-50)

B. Kerangka Berpikir

Dari teori-teori diatas, penulis memperoleh suatu pemikiran bahwa sastra merupakan sebuah
karya tulis yang memiliki kekuatan yang membangkitkan emosi dan perasaan pembaca.
Sastra biasanya mengandung keindahan karena berasal dari jiwa seni, emosi, dan perasaan
yang dirasakan dan dimiliki oleh pengarangnya, maka ia dapat dikatakan sebagai suatu karya
agung dengan kreatifitas tertentu dalam pengungkapannya kedalam bentuk tulisan, Ia juga
hanya dapat dituturkan melalui media bahasa. Oleh karena itu, bahasa merupakan alat
komunikasi paling penting dominan berperan dalam novel. Bahasa merupakan alat
komunikasi paling penting dalam kehidupan manusia, dan bahasa merupakan sarana
pengungkapan pikiran gagasan.
Dalam kajian sastra, kajian terhadap ragam penggunaan bahasa disebut stilistika, kajian
bahasa ini meliputi cakupan yang sangat luas dan kompleks yang dapat terdiri dari beberapa
unsur diantaranya style atau gaya bahasa yang berdasarkan pada stilistika.
Setiap pengarang memiliki ciri tersendiri dalam menggunakan unsur-unsur bahasa, tapi
menurut penulis, yang menarik dikaji adalah gaya bahasanya. Dengan gaya bahasa tersebut,
sebuah karya sastra akan lebih menarik untuk di telaah, dan karena unsur gaya bahasa tersebut
akan dapat menarik minat dari para pembaca.
Dengan berpedoman pada konsep-konsep diatas, dalam skripsi ini penulis akan
menganalisis unsur stilistika dalam novel “Then Came You” karya Jennifer Weiner.

Anda mungkin juga menyukai